Beruflich Dokumente
Kultur Dokumente
KELOMPOK IV
030-10-140 Jeffrie Irtan
Jakarta
17 Januari 2012
Bab I Pendahuluan
Cedera sistem saraf pusat manusia sering diakibatkan oleh adanya trauma, yang dapat
mengakibatkan berbagai komplikasi seperti edema otak pasca trauma,
Hasil
90/70
Nadi
60x/mnt
Pernapasan
28x/mnt
Suhu
360C
GCS
15
Status lokalis
Hematom
daerah
punggung dan belakang
kepala, luka lecet pada
lengan kanan dan kiri
Saraf kranial
Kekuatan
tangan
motorik 5
Refleks fisiologis
Refleks patologis
Negatif
Kedua tungkai terasa baal dan kesemutan, rasa baal dirasakan pasien sampai ke daerah perut dan
dada
Beberapa saat di UGD pasien mengeluh tidak bias BAK
Pemeriksaan
Hasil
Hb
12.5
Eritrosit
4.45jt
Leukosit
8300
Trombosit
365.000
GDS
155
Ureum
29
Kreatinin
1.1
SGOT
38
SGPT
35
Anamnesis
Identitas Pasien
Nama
: Tn. X
Usia
: 25 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Pekerjaan
: Pekerja Bangunan
II.
Keluhan Utama
: kepala dan punggungnya terasa sakit, kedua tungkai terasa berat
dan baal.
III.
Riwayat Penyakit Sekarang : terjatuh dari atap setinggi 10 meter, sempat pingsan
sekitar 5 menit lalu muntah-muntah, mengeluh nyeri kepala dan nyeri punggung
belakang. Rasa baal dirasakan sampai ke daerah perut dan dada. Pasien mengeluh tidak
bias BAK.
Riwayat Penyakit Dahulu
:Riwayat Penyakit Keluarga : Riwayat Kebiasaan
:Anamnesis tambahan :
Bagaimana posisi jatuh pasien?
I.
IV.
V.
VI.
VII.
Penanganan pertama apa yang diberikan pada pasien sebelum sampai ke UGD?
Pemeriksaan Fisik
Tanda Vital
Pasien
Nilai Normal
Keterangan
Pernapasan
28x/mnt
16-20x/ment
tachypnoe
Nadi
60x/mnt
60-100x/mnt
normal
Tekanan Darah
90/70
<120/<80
normal
Suhu
360C
36.5-37.20C
rendah
Status Lokalis
Hematom di daerah punggung dan belakang kepala.
Luka lecet pada lengan kanan dan kiri.
Pemeriksaan Neurologis
Refleks fisiologis :
BTR (Biceps Tendon Reflex) +/+ (normal).
KPR (Knee Pess Reflex) -/- (tidak ada refleks sama sekali).
APR (Achilles Pess Reflex) -/- (tidak ada refleks sama sekali).
Interpretasi : Dapat disimpulkan lesi medulla spinalis pada pasien ini tidak mencapai
daerah C5-C6 karena lesi pada C5-C6 akan bermanifestasi dengan berkurangnya refleks
pada biceps (BTR). KPR negatif apabila terjadi lesi setinggi L2-L4. APR negatif apabila
terjadi lesi setinggi L5-S1.
B. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada pasien ini berupa pemeriksaan laboratorium
dan foto rontgen. Dari hasil laboratorium didapatkan data sebagai berikut :
Normal
Didapat
Hasil
Leukosit
5.000-10.000/L
8.300/L
Normal
Eritrosit
4.7-6.4 juta/L
4.45 juta/ L
akibat terjatuh.
Hb
13-18g/dL
12,5 g/dL
Sedikit
menurun/normal
Trombosit
190.000-440.000/L
365.000/L
Normal
GDS
180 mg/dL
155 mg /dL
Normal
SGOT
5-40 u/L
20 u/L
Normal
SGPT
5-41 u/L
16 u/L
Normal
Ureum
19-43 mg/dL
29 mg/dL
Normal
Kreatinin
0,5-1,2 mg/dL
1,1 mg/dL
Normal
Foto polos kepala didapatkan dalam batas normal, meski hasil foto ini terlihat normal,
pada pasien ini didapatkan hematom pada daerah occipital, yang menunjukkan adanya
kemungkinan terjadi konkusio serebri (gegar otak), dimana konkusio serebri juga ditandai
dengan kehilangan kesadaran sejenak pasca trauma, namun tidak menimbulkan kelainan
anatomis.
Foto vertebra thorakal menunjukkan gambaran fraktur kompresi pada corpus vertebra T4,
dari foto tersebut didapatkan bahwa ketika terjatuh, posisi pasien jatuh terlentang karena
adanya hematom di punggung serta kepala bagian belakang, fraktur kompresi pada pasien
ini belum menyebabkan kompresi pada medula spinalis dimana gejala klinis cedera
medula spinalis tidak ditemukan.
C. HIPOTESIS
1) Syok Spinal1
Syok pada medula spinalis adalah suatu keadaan disorganisasi fungsi medula spinal yang
berlangsung secara fisiologis dan untuk sementara waktu, keadaan ini timbul segera
setelah cedera dan dapat berlangsung dari beberapa jam hingga beberapa minggu.
Syok spinal terjadi pada kerusakan mendadak sumsum tulang belakang karena hilangnya
rangsang yang berasal dari pusat. Peristiwa ini umumnya berlangsung selama satu
hingga enam minggu, kadang lebih lama .
Manifestasi Klinis Syok Spinal:
Hipotensi dan bradikardi akibat syok neurogenik yang diakibatkan oleh gangguan
persarafan simpatis descendens ke pembuluh darah yang mendilatasi pembuluh darah.
Tak adanya aktivitas refleks di bawah tingkat cedera; ini dapat menyebabkan retensi
urine, paralisis usus dan ileus
Penampakan ulang refleks yang telah ditekan setelah cedera adalah tanda bahwa syok
spinal membaik
Vertebra yang seringkali terkena dalam cedera medulla spinalis adalah servikal ke-5, ke6, torakal ke-12, dan lumbal ke-1. Vertebra ini lebih mudah terserang karena terdapat
rentang mobilitas yang lebih besar dalam kolumna vertebra dalam area tersebut.
Manifestasi klinis:
-
nyeri akut pada belakang leher, yang menyebar sepanjang saraf yang terkena
paraplegia
paralisis sensorik motorik total
kehilangan kontrol kandung kemih (refensi urine, distensi kandung kemih)
penurunan keringat dan tonus vasomotor
penurunan fungsi pernafasan
gagal nafas
D. DIAGNOSIS
E. PENATALAKSANAAN
F. KOMPLIKASI
Biomekanik
Nyeri tulang belakang persisten dalam kaitannya dengan faktor-faktor mekanik dan
kelemahan otot akibat terjadinya kiphosis. Gejala-gejala pada abdomen, kiphosis
progresif, terutama dengan fraktur kompresi multiple, menyebabkan pemendekan tulang
belakang thorak sehingga menyebabkan penekanan pada abdomen, dimana dapat
menyebabkan gejala gastrointestinal seperti rasa cepat kenyang dan tekanan abdomen.
Pada beberapa pasien yang mengalami pemendekan segmen torakolumbal yang
signifikan, costa bagian terbawah akan bersandar pada pevis, menyebabkan terjadinya
abdominal discomfort. Gejala-gejala pada gangguan abdomen dapat berupa anoreksia
yang dapat mengikibatkan penurunan berat badan, terutama pada pasien yang berusia
lanjut. Konsekuensi pada paru akibat adanya fraktur kompresi pada vertebra dan kyposis
umumnya ditandai dengan penyakit paru restriktif dengan penurunan kapasitas vital paru.
Dalam persamaan, setiap fraktur menurunkan kapasitas vital 9%. Meningkatkan resiko
terjadinya fraktur. Karena terjadinya kyposis, maka beban berlebih akan ditopang oleh
tulang disekitarnya, ditambah lagi dengan adanya osteoporosis semakin meningkatkan
resiko terjadinya fraktur. Adanya satu atau lebih vertebra mengalami fraktur kompresi
semakin meningkatkan adanya fraktur tambahan lima kali lipat dalam satu tahun.
2.
Fungsional
Pasien yang mengalami fraktur kompresi memiliki level yang lebih rendah dalam
performa fungsional dibandingkan dengan control, lebih banyak membutuhkan
pembantu, pengalaman lebih sering mengalami sakit saat bekerja, dan mengalami
kesulitan dalam menjalani aktivitas sehari-hari. Penelitian terbaru pada pasien-pasien ini
memiliki nilai yang rendah pada indeks kulalitas hidup yang berhubungan dengan
kesehatan berdasarkan fungi fisik, status emosi, gejala klinis dan keseluruhan performa
fungsional. Oleh karena itu, banyak pasien yang mengalami fraktur kompresi vertebra
akan menjadi tidak aktif, dengan berbagai alasan antara lain rasa nyeri akan berkurang
dengan terlentang, takut jatuh sehingga terjadi patah tulang lagi. Sehingga kurang aktif
atau malas bergerak pada akhirnya akan mengakibatkan semakin buruknya kemampuan
dalam melakukan aktifitas sehari-hari.
3.
Psikologis
Kejadian depresi meningkat sampai 4-0% pada pasien yang menderita fraktur kompresi
vertebra, akibat nyeri kronis, perubahan bentuk tubuh, detorientasi dalam kemampuan
untuk merawat diri sendiri, dan akibat bedrest yang lama. Pasien yang mengalami depresi
biasanya yang mengalami lebih dari satu fraktur dan akan menjadi cepat tua dan terisolasi
secara sosial.
G. PROGNOSIS
Ad Vitam : Bonam. Pada pasien ini, penanganan yang adekuat dan pemantauan status
neurologik dibutuhkan bukan hanya demi mempertahankan hidup pasien, tapi juga demi
kualitas kehidupannya.
Ad Functionam :
Ad Sanationam : Bonam, dengan melakukan pencegahan terhadap berulangnya trauma.
H. KESIMPULAN
segmen medulla spinalis yang sesuai. Setiap radix mempunyai sebuah gangliom radix
posterior, yang axon sel-selnya memberikan serabut-serabut saraf perfier dan pusat.
Radix nervus spinalis berjalan dari masing-masing segmen medulla spinalis ke
foramen intervertebralis yang sesuai, tempat keduanya menyatu membentuk nervus
spinalis. Di sini serabut-serabut motorik dan sensorik bercampur, sehingga setiap saraf
spinal terdiri atas campuran serabut motorik dan sensorik. Karena pertumbuhan
memanjang columna vertebralis tidak sebanding dengan dengan pertumbuhan medulla
spinalis, panjang radix n.spinalis bertambah panjang dari atas ke bawah. Di daerah
cervical atas, radix nervus spinalis pendek dan berjalan hampir horizontal, tetapi di
bawah ujung medulla membentuk berkas saraf vertical di sekitar filum terminale. Berkas
saraf vertical ini disebut cauda equine. Setelah keluar dari foramen intervertebrale,
masing-masing nervus spinalis segera bercabang dua menjadi ramus anterior yang besar
dan ramus posterior yang lebih kecil, yang keduanya mengandung serabut-serabut
motorik dan sensorik.
Medulla spinalis diliputi oleh tiga lapis meningen duramater, arachnoidea mater,
dan piamater. Duramater adalah membrane paling luar dan merupakan lapisan fibrosa
padat dan kuat, yang membungkus medulla spinalis dan cauda equine. Membrane ini
dilanjutkan ke atas melalui foramen magnum sebagai lapisan meningeal duramater yang
membungkus otak. Di bawah, duramater berakhir pada filum terminale setinggi pinggir
bawah vertebra S2. Selubung duramater terletak longgar di kanalis vertebralis dan
dipisahkan dari dinding canalis oleh spatium extradural. Spatium ini berisi jaringan ikat
jarang dan plexus venosus vertebralis internus. Duramater meluas menikuti setiap radix
saraf dan menyatu dengan jaringan ikat di setiap nervus spinalis (epineurium) di foramen
intervertebrale. Permukaan dalam duramater dipisahkan dari arachnoidea mater oleh
ruangan potensial, disebut spatium subdural. Arachnoidea mater adalah membrane halus
kedap air yang menutupi medulla spinalis dan terletak diantara piamater di sebelah dalam
dan durmater disebelah luar. Membrane ini dipisahkn dari dura oleh spatium subdural
yang berisi selapis tipis cairan jaringan. Atachoidea mater dipisahkan dari piamater oleh
ruang yang luas, spatium subarachnoidea, yang berisi liquor cerebrospinalis. Ke atas
arachnoideamater berhubungan melalui foramen magnum dengan arachnoidea mater
yangmenutupi cerebrum. Ke bawah, membrane ini berakhir pada ilum terminale setinggi
pinggir bawah vertebra S2. Di antara conus medularis dan ujung saraf cauda equine yang
dibasahi oleh liquor cerebrospinalis. Arachnoidea mater berlanjut sepanjang radix nervus
spinalis, membentuk pelebaran lateral spatium subarachnoidea. Piamater adalah
membrane vascular yang menutup medulla spinalis dengan rapat. Ke atas, melalui
foramen magnum berhubungan dengan piamater menebal pada kedua sisinya diantara
radix-radix saraf untuk membentuk ligamentum denticulatum, yang berjalan ke lateram
menuju tempa perlekatannya pada duramater. Dengan cara ini medulla spinalis terletak di
komosio medulla spinalis berupa edema, perdarahan perivaskular kecil-kecil, dan infark
disekitar pembuluh darah. Pada inspeksi makroskopik medulla spinalis tampak utuh.
Pada kerusakan medulla spinalis yang menetap (irreversible), secara makroskopik pun
kelainannya sudah dapat dikenal. Lesi kontusio, laserasio, dan pembengkakan daerah
tertentu di medulla spinalis sudah dapat ditemukan di pemeriksaan makroskopik. Pada
pemeriksaan mikroskopik lesi tersebut dapat memotong seluruh segmen (transversa),
separuh
segmen
(hemitransversa),
ataupun
sebagian
dari
segmen
saja
(kwadrantransversa).
Kesulitan bernapas
Kelainan kontrol bladder and bowel (konstipasi, incontinensia)
Baal
Spastisitas
Tekanan darah dan suhu abnormal
Pada stadium akut, aktivitas reflex dibawah cedera medulla spinalis hilang sebagian atau
seluruhnya. Paralisis flaccid, hilangnya reflex tendon dalam, hilangnya control suhu dan
tonus vasomotor, serta paralisis usus dan kandung kemih yang menyebabkan retensi urine
dan ileus paralitikus.
Transeksi medulla spinalis menyebabkan perubahan yang luas pada fungsi
visceral. Segera setelah transeksu medulla spinalis, terjadi atoni lengkap pada otot polos
dinding kandung kemih. Pada waktu yang sama, tonus konstriktor otot sfingter
meningkat. Dengan pulihnya reflex somatic, yang dapat terjadi dalam 25 hingga 30 hari
setelah bagian medulla, tonus kembali ke otot kandung kemih dan terjadi reflex
pengosongan kandung kemih. Proses ini dihasilkan oleh kontraksi simultan pada dinding
otot polos dan pada keadaan tertentu terjadi relaksasi tonus sfingter. Setelah reflex
pengosongan kandung kemih, terdapat banyak volume residual yang tertinggal.
Rangsangan kulit ke abdomen, perineum, atau ekstremitas bagian bawah sangat
mempermudah reflex pengosongan.
Pada saluran cerna, proses digesti dan absorbs seolah-olah normal. Kesulitan
besar adalah mengatasi pengosongan feces dari usus bagian bawah dan rectum. Secara
normal, adanya bahan fekal dalam usus bagian bawah dan rectum menyebabkan
terjadinya kontraksi aktif dan peristaltic, hal ini dikombinasikan dengan relaksasi sfingter
sehingga terjadi defekasi. Mekanisme ini ditekan selama syok spinal. Otot sfingter ani
hanya berelaksasi ringan sebagai respons terhadap dilatasi pasif, olehkarna itu terjadi
retensi bahan fekal. Dengan pulihnya reflex eksitabilitas, terjadi reflex pengosongan pada
usus, yang dipermudah oleh rangsangan taktil daerah kulit segmen sacral dan oleh dilatasi
manual otot sfingter ani.
Kerja reflex pembuluh darah perifer dan organ organ yang dipersarafi oleh
susunan otoniom sangat dipengaruhi oleh syok spinal. Transeksi medulla spinalis
menyebabkan penurunan segera dan nyata pada tekanan arterial.penurunan ini terjadi
akibat hilangnya mekanisme vasokonstriktor bulbaris, bila saraf spinal terputus dari
pusat-pusat di medulla spinalis, maka hilang pula koordinasi penting antara keadaan
pembuluh darah dan pusat-pusat tambahan di medulla spinalis.
Pengobatan syokspinal berkisar pada mempertahankan parameter hemodinamik
normal dengan penggantian cairan yang agresif, vasopresor, dan tindakan untuk
mempertahankan denyut jantung lebih atau samadengan 60 kali/menit. Harus dilakukan
pemantauan ketat keluaran urine, tekanan arteria paru atau atrium kanan, hemoglobin,
dan hematorit. Dalam beberapa minggu, fungsi reflex mulai kembali dengan timbulnya
reflex tendon cepat, selain itu kandung kemih dan usus memperoleh kembali beberapa
fungsi reflex.
Syok Spinal
Tidak ada lesi medulla spinalis
LMN syndrome
Paralisis flaksid
Refleks patologis (-)
Bersifat reversibel
1. Wilson LM. Gangguan sistem neurologik: Cedera Sistem Saraf Pusat. Price SA, Wilson LM,
editors. Patofisisologi. 6th ed. Jakarta: EGC; 2006; p. 1178.
2. Wilson LM. Gangguan sistem neurologik: Cedera otak akibat Trauma Ringan (Konkusio).
Price SA, Wilson LM, editors. Patofisisologi. 6th ed. Jakarta: EGC; 2006; p. 1177.
3.Wilson LM. Gangguan sistem neurologik: Cedera Sistem Saraf Pusat. Price
SA, Wilson LM, editors. Patofisisologi. 6th ed. Jakarta: EGC; 2006; p. 1177.
5. Mazanec Daniel J, et. Al, 2003. Vertebral Compression Fracture : Manage aggressively to
Prevent sequel. Cleveland clinic Journal of Medicine. Available at:
http://www.ccjm.org/content/70/2/147.full.pdf. Accesed on Januari 12, 2012.
6.Mrdjono M, Sidharta P. Trauma Medulla Spinalis. In: Neurologi Klinis Dasar. 5th ed.
Jakarta:Dian Rakyat;2009.p.260-2,424
7. Wilson LM. Gangguan sistem neurologik: Cedera Sistem Saraf Pusat. Price
SA, Wilson LM, editors. Patofisisologi. 6th ed. Jakarta: EGC; 2006; p. 1177-8.
8. Price SA, Wilson LM.Cedera Sistem Saraf Pusat. In: Patofisiologi: Konsep Klinis ProsesProses Penyakit Vol 2. 6th ed. Jakarta:EGC;2006.p.1178-9