Sie sind auf Seite 1von 33

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Defisiensi vitamin A merupakan masalah kesehatan masyarakat utama
yang terdapat di 60-78 negara berkembang, dan diperkirakan 78-253 juta anak
usia presekolah berpotensi mengalami defisiensi vitamin A.1
Setelah malnutrisi protein dan energi serta anemia karena defisiensi zat besi,
defisiensi vitamin A merupakan persoalan gizi yang paling serius dan paling
sering ditemukan diantara anak-anak kecil di awal tahun 1990-an. World
Health Organization (WHO) memperkirakan bahwa secara global terdapat
hampir 14 juta anak yang setiap tahunnya terkena xeroftalmia dan 190 juta
anak yang mendapat resiko mengalami defisiensi vitamin A subklinis.2
Defisiensi vitamin A merupakan penyebab kebutaan yang paling sering
ditemukan pada anak-anak. Lebih kurang 150 juta anak lainnya menghadapi
resiko yang meningkat untuk meninggal dalam usia anak-anak karena penyakit
infeksi yang disebabkan oleh defisiensi vitamin A.2
Di negara industri lebih dua per tiga asupan vitamin A di dapat dari sumber
makanan hewani, sementara di negara berkembang masyarakatnya bergantung
terutama pada senyawa karotenoid provitamin A yang berasal dari sumber
nabati.2
Vitamin A adalah nutrisi esensial yang diperlukan untuk memelihara fungsi
imun, berperan penting dalam pengaturan imunitas yang cell-mediated dan
dalam respon antibodi humoral. Kekurangan vitamin A adalah masalah
kesehatan umum yang luas. Anak usia prasekolah dan wanita di usia
reproduktif merupakan dua kelompok populasi yang paling berisiko.
Suplementasi vitamin A menunjukkan adanya pengurangan insiden campak,
diare, dan kematian, serta meningkatkan beberapa aspek kesehatan mata.2
B. Rumusan Masalah

Apa definisi, etiologi, epidemiologi, gejala, cara diagnosis, penatalaksanaan,


dan prognosis penyakit defisiensi vitamin A ?
C. Tujuan Penulisan
Referat ini bertujuan untuk mempelajari dan meningkatkan pemahaman
tentang gejala defisiensi vitamin A dan terapinya.
D. Metode Penulisan
Referat ini disusun berdasarkan tinjauan kepustakaan yang merujuk dari
berbagai literatur.
E. Manfaat Penulisan
Referat ini diharapkan dapat bermanfaat dalam memberikan informasi dan
pengetahuan tentang gejala defisiensi vitamin A dan terapinya.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
A. Fisiologi Metabolisme Vitamin A
1. Metabolisme Vitamin A
Saat dikonsumsi, provitamin A (betakaroten) akan dilepaskan dari protein
di lambung. Retinil ester akan di hidrolase menjadi retinol di usus halus, karena
bentuk ini akan mudah diserap.2
Kira-kira 50-90 % retinol yang telah dicerna akan diserap melalui usus
halus dan diangkut, bersama dengan kilomikron, ke hati, tempat retinol mulai
disimpan sebagai retinil palmitat. Ketika diperlukan retinol akan dilepaskan ke
dalam darah sebagai retinol dalam gabungan dengan retinol binding protein
(RBP), suatu protein pengangkut spesifik yang diurai oleh hati. Dalam serum,
kompleks RBP- retinol bergabung dengan transiterin, suatu protein besar yang
juga disintesis di hati. Retinol kemudian dipindahkan dari serum dan
digunakan oleh sel sasaran, seperti fotoreseptor retina dan sel epitel. 2,4
Di dalam jaringan, retinol diikat oleh protein -protein sel pengikat
retinoid, yaitu cellular retinoid-binding protein I (CRBPI) dan cellular retinoidbinding protein II (CRBPII). Pada kompleks ini, retinol bisa saja diesterifikasi
atau dioksidasi lebih lanjut dengan retinol menjadi asam retinoik. dimana
akhirnya terikat pada satu set faktor transkripsi di dalam nukleus. Retinol
intraseluler di jaringan perifer juga bisa berkombinasi dengan protein plasma
pengikat retinol di dalam jaringan atau tergabung menjadi ester retinyl di
lipoprotein. Siklus antara organ penyimpanan utama seperti hepar dan jaringan
epitel yang membutuhkan vitamin A untuk diferensiasi seluler merupakan
siklus yang luas dan efisien.2
Vitamin A yang tidak diabsorpsi di saluran cerna, diekskresikan di feses,
dan derivat metabolisme yang inaktif diekskresikan di urin. Ketika asupan
vitamin A rendah, efisiensi absorpsi tetap tinggi, pemecahan karotenoid
dipertinggi, plasma transport tetap ada di level normal, mekanisme penggunaan
dan recycling menjadi lebih efisien, dan ekskresi

menurun dengan nyata.

Ketika asupan vitamin A tinggi, efisiensi absorpsi dikurangi, transportasi

vitamin A dalam plasma tetap sama, recycling menjadi kurang efisien, oksidasi
vitamin A meningkat, ekskresi bilier meningkat dengan jelas, ekskresi urin dan
fekal diaugmentasi.5

Gambar 1. Skema Metabolisme Vitamin A6


Kadar vitamin A dan retina binding protein (RBP) dalam darah dapat
ditentukan dengan menggunakan metode kromatografi cair tekanan tinggi
(high pressure liquid chromatography/ HLPC). Metode ini cukup akurat dan
cepat. Nilai Vitamin A dalam plasma adalah 0,7 mol/l (50 g/l) sering
didapatkan pada orang dewasa yang sehat, tidak ada batasan yang jelas tentang
berapa nilai yang mengidentifikasikan seseorang mengalami hipervitaminosis,
tetapi kemungkinan diatas 3,5 mol/l (100 g/l). Pembagian tingkat status
vitamin A berdasarkan kadar vitamin A darah adalah6 :
< 10 g/l

indikasi kekurangan vitamin A

10-19 g/l

disebut rendah

20-50 g/l

disebut cukup

> 50 g/l

disebut tinggi

2. Hubungan Vitamin A Dengan Fisiologi Penglihatan


Salah satu fungsi dari vitamin A adalah berperan dalam proses penglihatan,
dimana retina merupakan salah satu target sel dari retinol. Retinol yang telah
berikatan dengan RBP akan ditangkap oleh reseptor pada sel pigmen epitel
retina, yang akan dibawa ke sel-sel fotoreseptor untuk pembentukan rodopsin.
Rodopsin ini sangat berperan terutama untuk penglihatan pada cahaya redup.
Karena itu tanda dini dari defisiensi vitamin A adalah rabun senja.6
3. Fungsi Vitamin A yang Berhubungan Dengan Integritas Sel dan Respon
Imun
Sejak tahun 1920an, telah diketahui adanya hubungan antara defisiensi
vitamin A dengan perubahan fungsi sistem imun. Perubahan-perubahan ini
termasuk gangguan fungsi barrier seperti metaplasia sel gepeng dan
keratinisasi jaringan epitel yang biasanya mensekresi mukus yang terdapat di
konjungtiva dan di sistem respirasi dan genitourinari. Selain itu, defisiensi
vitamin A juga berkaitan dengan gangguan pembentukan respons antibodi
terhadap sebagian antigen. Secara khusus, defisiensi vitamin A berkaitan
dengan penurunan dalam respons antibodi yang sel T dependen dan sel T
independen tipe 2. Defisiensi vitamin A juga mengganggu berbagai subkelas
respons imun seluler yang lain, seperti sitotoksisitas yang dimediasi sel NK
(natural killer) dan trasnformasi blastogenik limfosit.6
Seorang anak dengan gizi dan asupan vitamin A yang minimal mempunyai
simpanan vitamin A yang sangat terbatas. Penurunan yang tiba-tiba baik yang
disebabkan akibat perubahan pola makan atau gangguan absorbsi (seperti pada
gastroenteritis), atau peningkatan tiba-tiba dari kebutuhan metabolik (demam,
khususnya campak, atau lonjakan pertumbuhan) akan menyebabkan penurunan
yang cepat dari cadaangan yang terbatas itu. Jika simpanan retinol hati sangat
tinggi, manusia dapat bertahan selama berbulan- bulan tanpa vitamin A dan
tidak menderita penyakit yang serius.4

Adanya vitamin A yang tersimpan tergantung juga pada status gizi anak
secara umum. Anak dengan defisiensi protein dan malnutrisi berat mengikat
protein pengikat retinol dengan kecepatan yang sangat rendah. Oleh karena itu
kadar retinol serum dapat subnormal, walaupun simpanan di hati tinggi. Selain
itu, bila hati dalam keadaan sakit, tidak dapat menyimpan retinol, atau
membuat protein pengikat retinol sebanyak hati normal.4
B. Defisiensi Vitamin A
1. Definisi
Defisiensi vitamin A adalah suatu kondisi dimana simpanan vitamin A
dalam tubuh berkurang. Keadaan ini ditunjukan dengan kadar serum retinol
dalam darah kurang dari 20g/dl. Xeroftalmia merupakan istilah yang
menerangkan gangguan pada mata akibat kekurangan vitamin A, termasuk
terjadinya kelainan anatomi bola mata dan gangguan fungsi sel retina yang
dapat menyebabkan kebutaan. Defisiensi vitamin A adalah suatu keadaan,
ditandai rendahnya kadar vitamin A dalam jaringan penyimpanan (hati) dan
melemahnya kemampuan adaptasi terhadap gelap dan sangat rendahnya
konsumsi atau masukan karotin dari vitamin A.3
Peranan nyata vitamin A adalah pada fungsi penglihatan mata, yaitu ketika
jaringan retinol kehilangan vitamin A, fungsi sel rod (batang) dan sel cone
(kerucut) pada mata mengalami kegagalan. Hal inilah yang menyebabkan
gangguan kemampuan adaptasi gelap mata. Vitamin A juga berperan dalam
pertumbuhan, reproduksi, sintesa glycoprotein, stabilisasi membran dan
kekebalan tubuh. Defisiensi Vitamin A terjadi jika kebutuhan vitamin A tidak
tercukupi. Kebutuhan vitamin A tergantung golongan umur, jenis kelamin dan
kondisi tertentu. Angka Kecukupan Gizi yang dianjurkan adalah seperti pada
tabel berikut.4
Tabel 1. Angka Kecukupan Gizi yang Dianjurkan untuk Vitamin A

Pada anak-anak, kekurangan vitamin A berakibat lebih parah dibandingkan


dewasa. Pertumbuhan badan terganggu dan kekebalan terhadap penyakit
infeksi berkurang. Sering ditemukan hubungan peningkatan defisiensi vitamin
A terjadi seiring peningkatan angka kesakitan khususnya pada penyakit infeksi.
Konsumsi vitamin A dan provitamin A yang rendah (di bawah kecukupan
konsumsi vitamin A yang dianjurkan), berlangsung dalam waktu lama, akan
mengakibatkan suatu keadaan yang dikenal dengan defisiensi vitamin A.4
Angka kejadian ini semakin meningkat sejalan dengan ditemukannya
berbagai faktor yang dapat mencetuskan terjadinya xeroftalmia. Faktor-faktor
tersebut diantaranya3,4 :
1) Umur
Xeroftalmia paling sering ditemukan pada anak-anak usia pra-sekolah, hal
ini berhubungan dengan kebutuhan vitamin A yang tinggi untuk
pertumbuhan. Di samping itu, anak-anak usia ini sangat rentan oleh infeksi
parasit dan bakteri usus yang dapat mengganggu penyerapan vitamin A di
usus.
2) Jenis Kelamin
Beberapa penelitian menyatakan bahwa laki-laki 1,2 10 kali lebih rentan
untuk menderita xeroftalmia.
3) Status Fisiologis
Wanita hamil dan wanita menyusui cenderung menderita buta senja atau
Bitots Spots karena meningkatnya kebutuhan akan vitamin A. Anak-anak

usia sekolah juga memiliki kecenderungan ini karena tingginya kebutuhan


vitamin A untuk pertumbuhan (adolescent growth spurt).
4) Status Gizi
Xeroftalmia sering kali berhubungan atau didapatkan bersama-sama
dengan kondisi malnutrisi (Kurang Energi Protein).
5) Penyakit Infeksi
Penyakit-penyakit yang mengganggu pencernaan,

pengangkutan,

penyimpanan, pengikatan metabolisme vitamin A, dapat menimbulkan


manifestasi defisiensi vitamin A. Beberapa alasan yang dikemukakan untuk
menerangkan penurunan kadar vitamin A selama demam dan infeksi, yaitu:
Asupan yang rendah karena sakit (anoreksia)
Gangguan absorpsi karena infeksi pada usus
Supresi sntesis albumin dan RBP (retinol binding protein) oleh

hepatosit
Peningkatan katabolisma protein, termasuk RBP
Faktor-faktor yang lain
Keadaan yang kurang menguntungkan adalah jumlah keluarga yang

besar, rendahnya pendidikan kepala keluarga, sanitasi yang buruk, serta


sosial ekonomi yang rendah.
2. Epidemiologi
Estimasi yang dibuat oleh WHO adalah lebih dari 250 juta anak
mengalami kekurangan penyimpanan vitamin A. Prevalensi defisiensi yang
tertinggi ditemukan pada anak pra sekolah, ibu hamil dan menyusui. Namun
tingkat defisiensi vitamin A subklinik juga terlihat banyak pada anak sekolah
dan dewasa di beberapa lokasi. Data yang selalu tersedia di setiap negara
hanyalah prevalensi dari anak prasekolah yang berarti prevalensi pada
kelompok umur lainnya tidak tersedia.5
Kekurangan vitamin A dalam makanan sehari-hari menyebabkan setiap tahunnya sekitar
1 juta anak balita di seluruh dunia menderita penyakit mata tingkat berat (xerop
thalmia) diantaranya menjadi buta dan 60 % dari yang buta ini akan meninggal dalam
beberapa bulan. Kekurangan vitamin A menyebabkan anak berada dalam resiko besar
mengalami kesakitan, tumbuh kembang yang buruk dan kematian dini. Terdapat perbedaan

angka kematian sebesar 30 % antara anak-anak yang mengalami kekurangan vitamin A


dengan rekan-rekannya yang tidak kekurangan vitamin A.5
Angka kebutaan di Indonesia tertinggi di kawasan Asia Tenggara. Berdasarkan survai
kesehatan indera penglihatan dan pendengaran tahun 1993-1996 menunjukkan angka
kebutaan di Indonesia 1,5 % dari jumlah penduduk atau setara dengan 3 juta orang. Jumlah
ini jauh lebih tinggi dibanding Bangladesh (1%), India (0,7 %), dan Thailand
(0,3 %). Kekurangan vitamin A (defisiensi vitamin A) yang mengakibatkan kebutaan pada
anak-anak telah dinyatakan sebagai salah satu masalah gizi utama di Indonesia. Kebutaan
karena kekurangan vitamin A terutama dikalangan anak pra sekolah masih banyak terdapat
didaerah-daerah. Berdasarkan riset kesehatan dasar tahun 2010 pada pasca persalinan, atau
masa nifas, ibu yang mendapat kapsul vitamin A hanya 52,2 persen (rentang: 33,2% di
Sumatera Utara dan 65,8% di Jawa Tengah). 5
Berdasarkan tingkat pendidikan, cakupan Ibu nifas yang tidak sekolah mendapat kapsul
vitamin A hanya 31 persen dibanding yang tamat PT (62,5%). Demikian pula kesenjangan
yang cukup lebar antara ibu nifas di perkotaan dan pedesaan, serta menurut tingkat
pengeluaran. Persentase distribusi kapsul vitamin A untuk anak umur 6-59 bulan sebesar
69,8%. Persentase tersebut bervariasi antar provinsi dengan persentase terendah di Papua
Barat (49,3%) dan tertinggi di DI Yogyakarta (91,1%).4
3. Etiologi
Ada banyak faktor yang berkontribusi terhadap defiiensi vitamin A.
Penyebab paling penting dari defisiensi vitamin A pada anak adalah rendahnya
asupan makanan yang mengandung vitamin A (termasuk pemberian ASI yang
tidak memadai) dan infeksi yang berulang, khususnya campak, diare, dan
infeksi pernafasan. Xeroftalmia terjadi akibat tubuh kekurangan vitamin A.
Bila ditinjau dari konsumsi sehari-hari kekurangan vitamin A disebabkan oleh5:

Konsumsi makanan yang tidak mengandung cukup vitamin A atau

provitamin A untuk jangka waktu yang lama


Bayi tidak diberkan ASI eksklusif (diketahui bahwa ASI memiliki
kandungan vitamin A empat kali lebih besar dibandingkan dengan susu
formula)

Menu tidak seimbang ( kurang mengandung lemak, protein, seng/Zn atau


zat gizi lainnya) yang dioerlukan untuk penyerapan vitamin A dan

penggunaan vitamin A dalam tubuh.


Adanya gangguan penyerapan vitamin A atau pro-vitamin A seperti pada
penyakit-penyakit antara lain penyakit pankreas, diare kronik, Kurang
energi protein ( KEP ) dan lain-lain sehingga kebutuhan vitamin A

meningkat.
Adanya kerusakan hati, seperti pada kwashiorkor dan hepatitis kronik,
menyebabkan gangguan pembentukan RBP ( Retinol Binding Protein ) dan
pre albumin yang penting untuk penyerapan vitamin A.

4. Patofisiologi Defisiensi Vitamin A


Defisiensi vitamin A adalah suatu penyakit sistemik yang mempengaruhi
sel dan organ seluruh tubuh, hasil perubahan arsitektur epitel tersebut disebut
dengan metaplasia keratinisasi. Metaplasia keranisasi pada saluran napas dan
saluran kemih serta perubahan epitel intestinal yang saling terkait mungkin
timbul pada awal penyakit, bahkan sebelum timbulnya perubahan mata yang
dapat dideteksi secara klinis. Walaupun demikian, karena perubahan monokular
ini sebagian besar tidak terlihat, maka perubahan ini tidak memberikan suatu
dasar yang kuat untuk diagnosis klinik spesifik. Oleh karena itu, diantara
populasi dengan dengan defisiensi vitamin A, maka anak-anak dengan campak,
penyakit saluran napas, diare, atau malnutrisi energi protein yang nyata harus
dicurigai memiliki defisiensi vitamin A dan diberi pengobatan yang sesuai.6
Defisiensi vitamin A menekan imunitas humoral dan imunitas cellmediated. Efek utama dari inadekuatnya vitamin A pada fungsi imun bisa jadi
karena konsekuensi dari terganggunya pertumbuhan dan diferensiasi jaringan
myeloid. Vitamin A secara khusus sangat penting untuk menjaga integritas
epitel dan pemeliharaan sekresi di mukosa, yang mana, jika terganggu, bisa
meningkatkan paparan terhadap mikroorganisme dan risiko infeksi.2
Jaringan epitel di mata, paru-paru, dan usus menjadi rusak pada keadaan
defisiensi vitamin A. Pada jaringan-jaringan tersebut, turnover atau pergantian

10

sel epitel tinggi. Pada manusia, berbagai penelitian menunjukkan bahwa level
vitamin A yang rendah di sirkulasi berhubungan dengan meningkatnya risiko
kerusakan epitel di mata, Rusaknya integritas epitel dan barier mukosa akan
memfasilitasi

translokasi

mikrooeganisme

dan

berkontribusi

terhadap

meningkatnya derajat infeksi.2


Vitamin A memiliki dua peran di metabolisme okuler. Pertama di retina,
vitamin A tersedia sebagai prekursor terhadap pigmen visual fotesensitif yang
berpartisipasi dalam inisiasi impuls saraf dari fotoreseptor. Kedua, vitamin A
dibutuhkan untuk sintesis RNA dan glikoprotein sel epitel konjungtiva, yang
membantu memelihara stroma kornea, dan mukosa konjungtiva.2
Pada retina terdapat 2 sistem fotoreseptor yang berbeda, sel kerucut dan
sel batang. Sel batang bertanggung jawab terhadap penglihatan dalam situasi
cahaya yang redup atau rendah, sedangkan sel kerucut bertanggung jawab
penglihatan berwarna dan situasi cahaya yang terang. Vitamin A merupakan
kekuatan utama dari pigmen visual kedua macam sel ini. Perbedaannya terletak
pada jenis protein yang terikat pada retinol. Pada sel batang, bentuk aldehid
dari vitamin A (retinol) dan protein opson bergabung membentuk rhodopsin
yang merupakan pigmen fotosensitif. 2
5. Manifestasi Klinis
Defisiensi vitamin A subklinis biasanya tidak memiliki gejala, namun
resiko terjadinya infeksi saluran pernapasan, diare, dan pertumbuhan
terhambat.2
Xeroftalmia merupakan manifestasi klinis defisiensi vitamin A yang paling
spesifik dan mudah dikenali, dan dipakai secara pasti untuk menilai status
vitamin A. Penurunan penyimpanan vitamin A secara bertahap dan tanpa
komplikasi

dapat,

mengakibatkan

peningkatan

kehebatan

xeroftalmia,

bermanifestasi sebagai rabun senja, xerosis konjungtiva, dan bercak Bitot,


xerosis kornea, dan ulserisasi kornea/keratomalasia.2
Tabel 2 . Klasifikasi Xeroftalmia4
XN

Rabun Senja

11

X1A

Xerosis Konjungtiva

X1B

Bercak Bitot

X2

Xerosis Kornea

X3A

Ulserasi Kornea/ keratomalasia < 1/3 permukaan kornea

X3B

Ulserasi Kornea/ keratomalasia > 1/3 permukaan kornea

XS

Jaringan parut kornea

Gambar: 2. Diagram yang menunjukkan daerah yang dirusak oleh xeroftalmia


(kiri) dan gambaran diagfragmatik lesi Xeroftalmia (kanan)4

a. Rabun Senja
Retinol penting untuk elaborasi rodopsin oleh sel batang, yang merupakan
reseptor sensori retina yang bertanggung jawab terhadap penglihatan dalam
cahaya redup. Oleh karena itu defisiensi vitamin A dapat mengganggu produksi
rodopsin sehingga mengganggu penglihatan saat senja. buta senja umumnya
merupakan manifestasi defisiensi vitamin A yang paling awal. Anak yang buta
senja biasanya tidak akan suka bermain- main setelah senja, tetapi lebih suka
duduk di pojok yang aman, sering tidak mampu untuk mencari makanan
ataupun mainannya.4

12

Buta senja merupakan gejala awal dan tersering pada defisiensi vitamin A,
merupakan akibat dari disfungsi fotoreseptor sel batang pada retina, dengan
gejala kesulitan melihat pada sinar redup. Penilaian dilakukan dengan adanya
riwayat kesulitan melihat pada sore hari. Untuk mendeteksi apakah anak
menderita buta senja dengan cara :

Bila anak sudah dapat berjalan, anak tersebut akan membentur/menabrak


benda didepannya, karena tidak dapat melihat.

Bila anak belum dapat berjalan, agak sulit untuk mengatakan anak tersebut
buta senja. Dalam keadaan ini biasanya anak diam memojok bila
didudukkan ditempat kurang cahaya karena tidak dapat melihat benda atau
makanan di depannya.
Berikut gambar 3 adalah ilustrasi gejala buta senja.

Gambar 3. Buta Senja4


Kelompok risiko tinggi buta senja adalah usia prasekolah (>1 tahun) dan
wanita hamil. Riwayat buta senja pada ibu hamil didapatkan pada akhir masa
kehamilan sampai 3 tahun setelah melahirkan. Prevalensi xeroftalmi ditemukan
sebesar 1% pada anak <1 tahun dan 5% pada ibu hamil. Buta senja pada anak
biasanya berespon baik pada 48 jam dengan pemberian terapi standar 200.000
IU vitamin A peroral. Rekomendasi pemberian vitamin A pada wanita hamil
sebesar 10.000 IU perhari atau 25.000 IU perminggu peroral selama 4 minggu

13

atau lebih, dengan maksud meminimalisasi toksisitas yang dapat terjadi pada
fetus.
b. X1A, X1B Xerosis Konjungtiva dan Bercak Bitot
Epitel konjungtiva pada defisiensi vitamin A berubah bentuknya dari tipe
kollumnar normal menjadi tipe skuamosa bertingkat, dengan akibat hilangnya
sel goblet, pembentukan lapisan sel granular, dan keratinisasi permukaan.4
Secara klinis, perubahan ini ditandai dengan kekeringan yang nyata dan
hilangnya kemampuan membasahi mata, daerah yang terkena dampak lebih
kasar, disertai tetesan-tetesan halus atau gelembung pada permukaan, bukan
permukaan yang licin dan mengkilat. Perubahan ini paling baik dideteksi
dengan pencahayaan dari sisi oblik, perubahan ini sering hampir tidak kentara
dan dapat tidak jelas karena pengeluaran air mata yang hebat. Bila pengeluaran
air mata berhenti, maka daerah yang terkena akan tampak seperti "beting
daerah pasang surut" (sanbank at receding tide).4
Abnormalitas sering diabaikan atau kenyataanya overkompensasi,
overdiagnosis. Maka abnormalitas tidak merupakan suatu dasar yang tepat
untuk menegakkan prevalensi xeroftalmia klinis, dan xerosis konjungtiva tidak
dapat dianggap sebagai kriteria yang dapat diterima untuk menetapkan apakah
defisiensi vitamin A adalah suatu masalah kesehatan yang berarti.4
Xerosis konjungtiva awalnya muncul pada kuadran temporal, sebagai
suatu potongan kecil oval atau segitiga yang berbatasan dengan limbus pada
fisura interpalpebral. Hampir selalu ada pada kedua mata. Pada beberapa
individu, keratin dan basil saprofit berkumpul pada permukaan xerotik,
memberikan suatu gambaran seperti busa atau kiju. Lesi seperti ini dikenal
dengan bercak Bitot. Bahan yang melapisinya lebih mudah dibersihkan, dan
jumlah yang terbentuk lebih bervariasi dari hari ke hari. Bila defisiensi lebih
berat, lesi akan terbentuk juga di kuadran nasal, walau kurang mencolok.
Bercak Bitot dapat segera dikenali dan merupakan suatu kriteria klinis yang
berguna untuk penilaian status vitamin A suatu populasi. 4

14

Gambar 4. X1A Xerosis Konjungtiva4

Gambar 5. X1B Bercak Bitot (busa)4

Gambar 6. X1B Bercak Bitot (kiju)4


c. X2 Xerosis Kornea
Perubahan kornea terjadi pada awal defisiensi vitamin A, jauh sebelum
perubahan kornea dapat dilihat dengan mata telanjang. Banyak anak- anak
dengan rabun senja (tanpa menderita xerosis konjungtiva secara klinis)
mempunyai lesi pungtata superfisial yang khas pada inferior-nasal kornea,
yang berwarna cemerlang dengan fluoresensi. Pada awal penyakit lesi hanya
dapat dilihat dengan menggunakan slitlamp biomikroskop.5
Dengan makin beratnya penyakit, lesi pungtata menjadi lebih banyak,
menyebar ke atas melebihi bagian tengah kornea dan stroma kornea menjadi
bengkak. Secara klinis pada kornea terjadi xerosis klasik, dengan penampilan
yang kabur, tidak bercahaya, kering dan pertama kali tampak dekat limbus
inferior. Plak yang tebal dan
mengalami
menyerupai

keratinisasi
bercak

Bitot

dapat

terbentuk pada permukaan

kornea

dan sering memadat pada

daerah

interpalpebral. 5
Gambar 7,8 : X2

15

Gambar 7. Xerosis Kornea4


d. X3A, X3B. Ulkus Kornea/Keratomalasia
Ulserasi/Keratomalacia mengindikasikan adanya kerusakan permanen dari
sebagian atau semua stroma kornea, mengakibatkan perubahan struktur yang
permanen.5 Keratomalasia yang terlokalisir merupakan kondisi yang secara
cepat dapat memepengaruhi ketebalan kornea. Munculan pertamanya berupa
penonjolan opaque yang berwarna keabuan hingga kekuningan atau perlekukan
keluar dari permukaan kornea. Pada stadium penyakit yang lebih lanjut, stroma
yang nekrotik tersebut akan meluruh dan meninggalkan ulkus yang besar dan
dalam atau descemetocele ( Herniasi dari membrane Descemet ). Sedangkan
ulkus yang kecil akan menyembuh dan membentuk leukoma.4
Ulserasi yang mengenai kurang dari sepertiga permukaan kornea (X3A)
biasanya tidak mengenai zona pupil central dan terapi yang cepat dapat
menyelamatkan pengelihatan normal. Ulserasi yang lebih luas (X3B), terutama
xnekrosis likuofaktif, akan menyebabkan perforasi, extrusi dari bahan
intraocular, dan rusaknya bola mata.4
Kasus ulserasi/nekrosis akibat defisiensi vitamin A dan yang diakibatkan
oleh infeksi bakteri atau jamur biasanya susah dibedakan. Ini dikarenakan lesi
defisiensi vitamin A dapat terinfeksi secara sekunder. Ketika status vitamin A
turun secara drastis, misalnya pada kasus campak, gastroenteritis, atau pada
kwashiorkor pada anak yang status vitamin A yang pas-pasan, kemunculan
ulkus kornea dapat langsung tampak tanpa gejala rabun senja dan xerosis
konjungtiva. Pada kasus tersebut, kita dapat secara aman mengasumsikan
bahwa defisiensi vitamin A dan infeksi ada dan ditatalaksana sesuai
penyakitnya masing-masing.4

Gambar 8. X3A Ulserasi kornea4

16

Gambar 9. X3B Ulserasi kornea4


e. XS Jaringan Parut Kornea
Gejala sisa yang terjadi setelah sembuh dari penyakit kornea terdahulu
yang berkaitan dengan defisiensi vitamin A termasuk opasitas atau jaringan
parut

dengan

bermacam-macam

identitas/kepadatan

(nebula,

makula,

leukoma), kelemahan dan outpouching (penonjolan) lapisan kornea yang


tersisa.5

Gambar 10. Jaringan Parut kornea5

f. XF. Fundus Xerophtalmik


Lesi retinal kecil putih yang muncul pada beberapa kasus defisiensi vitamin
A. Lesi tersebut dapat disertai dengan konstriksi lapangan pandang dan akan
menghilang dalam 2-4 bulan setelah diberikan terapi vitamin A.4
Anak-anak dengan suspek atau beresiko xerophtalmia harus diperiksa
dengan cahaya luar yang terang pada kedua mata sambil membelakangi
matahari atau dengan bantuan senter dan lup. Namun, karena adanya nyeri dan
reflex blepharospasmik pada keterlibatan kornea, anak biasanya akan menutup
matanya. Bila perlu, kepala anak dapat distabilkan oleh orang tua atau asisten
sementara dokter pemeriksa perlahan-lahan memisahkan kelopak mata dengan
speculum kelopak.4

17

Gambar 11. Fundus Xeroftalmik8


6. Diagnosis
Defisiensi vitamin A dapat dicurigai dengan karakteristik manifestasi klinis
dan dikonfirmasi dengan pemeriksaan kadar vitamin A serum yang kurang dari
200ug/L dan karotenoid kurang dari 500ug/L. Dark adaptation test dapat
berguna dalam diagnosis. Xerosis konjungtiva dapat dideteksi dengan
pemeriksaan mikroskopik. Pemeriksaan apusan mata direkomendasikan untuk
diagnostik. Vitamin A dan serum retinol diperiksa menggunakan High
Performance Liquid Cromatography (HPLC).9,10
7. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan retinol serum dapat dilakukan menggunakan kinerja tinggi
kromatografi cair. Sebuah nilai kurang dari 0,7 mg / L pada anak-anak muda
dari 12 tahun dianggap rendah. Bila ditemukan serum retinol < 20 ug/dl maka
diinterpretasikan menderita KVA sub klinis.10
Sebuah studi RBP serum lebih mudah untuk dilakukan dan lebih murah
daripada studi retinol serum, karena RBP adalah protein dan dapat dideteksi
oleh alat tes imunologi. RBP juga merupakan senyawa yang lebih stabil
daripada retinol sehubungan dengan cahaya dan suhu. Namun, tingkat RBP
kurang akurat, karena mereka dipengaruhi oleh konsentrasi protein serum dan
karena jenis RBP tidak dapat dibedakan.11 Kadar serum retinol mungkin rendah
selama infeksi karena penurunan sementara dalam RBP tersebut. Kadar zink
dapat berguna dalam pemeriksaaan karena kekurangan zink mengganggu
produksi RBP.11

18

Sebuah panel besi berguna karena kekurangan zat besi dapat


mempengaruhi metabolisme vitamin A. Evaluasi elektrolit dan pemeriksaan
fungsi hati harus dilakukan untuk mengevaluasi status gizi dan volume.11
Berikut merupakan pemerikasaan yang dapat dilakukan dalam membantu
penegakkan diagnosa buta senja adalah :

Dark adaptometri (tes adaptasi gelap)


Rod scotometri
Elektroretinografi
Conjunctival impression citology (CIC)
Pemerikasaan kadar serum retinol atau Serum Retinol Binding Protein

b. Pemeriksaan Radiologi
Pada anak-anak, film radiografi tulang panjang mungkin berguna saat
evaluasi sedang dibuat untuk pertumbuhan tulang dan untuk deposisi
berlebihan tulang periosteal.
8. Penatalaksanaan
a. Terapi Pemberian Kapsul Vitamin A
Tatalaksana pada tabel dibawah dapat digunakan kepada individu dengan
semua stadium xeroftalmia, seperti rabun senja, dan xerosis konjungtiva
dengan bintik bitot. Xerosis kornea, ulkus kornea, dan keratomalasia. Dosis
awal dapat dimulai segera setelah didiagnosis ditegakkan. Setelah itu individu
dengan lesi kornea akut segera dirujuk ke rumah sakit

untuk dilakukan

tatalaksana emergensi.12
Anak dengan diare dapat mengalami penurunan absorbsi vitamin A, namun
masih dapat menyerap lebih dari cukup untuk mengatasi defisiensi jika dosis
rekomendasi diberikan. Namun , anak xeroftalmia dengan malnutrisi energi
protein berat butuh dimonitor secara hati-hati sebab status vitamin A tidak
stabil dan dapat secara cepat memburuk, walaupun ditatalaksana sesuai
rekomendasi. Dosis tambahan dapat digunakan terhadap grup yang rentan ini.5
Xeroftalmia kornea adalah kegawatdaruratan medik. Vitamin A harus segera di
berikan sesuai rekomendasi pada tabel diatas.4

19

Tabel 3. Jadwal Terapi Xeroftalmia5


Waktu Pemberian

Dosis Vitamin A

Segera setelah diagnosis:


Usia < 6 bulan

50 000 IU

Usia 6-12 bulan

100 000 IU

Usia > 12 bulan

200 000 IU

Hari berikutnya

Sama sesuai dosis diatas

Minimal 2 minggu berikutnya

Sama sesuai dosis diatas

Untuk mencegah trauma terhadap kornea yang lemah akibat ulkus, mata
harus dilindungi. Pada kasus anak, sebaiknya tangan diikat agar tidak bergerak.
Xerosis kornea berespon terhadap terapi vitamin A dalam waktu 2-5 hari,
dengan kornea yang kembali normal dengan waktu 1-2 minggu.4
Berikut merupakan lamanya respon Pengobatan dengan kapsul vitamin A :

XN

diberikan kapsul vitamin A


XIA & XIB
: Tampak perbaikan dalam 2-3 hari, dan gejala-gejala

menghilang dalam waktu 2 minggu


X2
: Tampak perbaikan dalam 2-5 hari, dan gejala-gejala

menghilang dalam waktu 2-3 minggu


X3A & X3B
: Penyembuhan lama dan meninggalkan cacat mata.

: Reaksi pengobatan terlihat dalam 1-2 hari setelah

Pada tahap ini penderita harus berkonsultasi ke dokter spesialis mata


Rumah Sakit/BKMM agar tidak terjadi kebutaan
Anak dengan xeroftalmia, terutama rabun senja, seringkali sakit berat,
malnutrisi , dan dehidrasi. Tatalaksana umum, rehidrasi, dan diet tinggi protein
yang mudah diserap (jika diperlukan via pipa nasogastrik) akan membantu
memperbaiki keadaannya. Penyakit penyerta, seperti infeksi respiratori dan
gastrointestinal, tuberkulosis, cacing, dan amobasis dapat ditatalaksana dengan
obat yang sesuai (antibiotik, anticacing, dan lain-lain).4

20

b. Pemberian Obat Topikal


Antibiotik topikal seperti tetrasiklin atau kloramfenikol dapat diberikan
untuk mengatasi atau mencegah infeksi bakteri sekunder. Salap mata yang
mengandung steroid jangan diberikan dalam keadaan ini.4
Perawatan mata diberikan salap antiobiotik spektrum luas setiap 8 jam
untuk mengurangi resiko infeksi bakteri. Pada infeksi yang nyata dibutuhkan
terapi sistemik yang adekuat, pemberian antibiotik spektrum luas khususnya
terhadap Staphylococcus dan Pseudomonas dapat diberikan sebelum kuman
penyebab infeksi teridentifikasi ( Contoh: Basitrasin dan gentamisin topikal,
ditambah gentamisin dan metisilin subkonjungtiva dan sistemik).13
Proteksi terhadap kornea juga harus diperhatikan, pemeriksaan fisik,
pemberian obat dan mengganti perban sebaiknya dilakukan seperlunya, dan
mata harus dilindungi. Bila diperlukan tangan anak dapat diikat.13
Pada bercak Bitot tidak memerlukan obat tetes mata, kecuali ada infeksi
yang menyertainya. Obat tetes / salep mata antibiotik tanpa kortikosteroid
( tetrasiklin 1%, Kloramfenikol 0.25-1% dan gentamisin 0.3%) diberikan pada
penderita X2,X3A,X3B dengan dosis 4 x 1 tetes/hari dan berikan juga tetes
mata atropin 1% 3 x 1 tetes/hari.
Pengobatan dilakukan sekurang-kurangnya 7 hari sampai semua gejala pada
mata menghilang. Mata yang terganggu harus ditutup dengan kasa selama 3-5
hari hingga peradangan dan iritasi mereda. Gunakan kasa yang telah
dicelupkan kedalam larutan NaCl 0,26 dan gantilah kasa setiap kali dilakukan
pengobatan. Lakukan tindakan pemeriksaan dan pengobatan dengan sangat
berhati-hati. Selalu mencuci tangan pada saat mengobati mata untuk
menghindari infeksi sekunder, Segera rujuk ke dokter spesialis mata untuk
mendapat pengobatan lebih lanjut.
b. Pencegahan Rekurensi
Agar xeroftalmia tidak terjadi ulang diperlukan penyuluhan untuk
masyarakat

dan keluarga, karena kejadian xeroftalmia tidak lepas dari

lingkungan, keadaan sosial ekonomi, pendidikan dan pengetahuan orang tua

21

(terutama ibu). Beberapa kegiatan yang dapat dilakukan sehubungan dengan


hal tersebut diatas adalah :
c. Suplementasi Pencegahan Rekurensi Defisiensi Vitamin A
Tabel 4. Suplementasi Vitamin A
Bayi berumur 611 bulan
Anak 1-6 tahun
Wanita menyusui

Tiap 3-6 bulan diberikan vitamin A secara oral dengan dosis


100.000 IU
Tiap 3-6 bulan diberikan vitamin A secara oral dengan dosis
200.000 IU
Diberikan secara oral dosis tunggal sebanyak 200.000 IU dengan
waktu pemberian :
Saat bersalin
8 minggu pertama setelah persalinan pada wanita yang
menyusui
6 minggu pertama setelah persalinan pada wanita yang tidak
menyusui

d. Fortifikasi
Penambahan vitamin A pada beberapa jenis makanan yang secara alami
kandungan vitamin A-nya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan tubuh per
harinya contohnya gandum, beras, teh, margarin

Ditambahkan juga mikronutrien seperti preparat besi dan seng yang


membantu absorbsi vitamin A
Ibu dan care giver diperlukan untuk memastikan anak mendapatkan diet

kaya vitamin A. Mereka ditunjukkan bagaimana cara menyiapkan makanan


kaya vitamin A dari suber yang tidak mahal seperti mangga, pepaya, wortel,
labu kuning, ubi jalar, sayuran berdaun hijau gelapdan lain-lain)3
Tabel 5. Makanan Vitamin A3
Sumber Makanan
Kelompo
k Usia

Wortel

Ubi jalar
22

Sayuran Hijau

Mangga

Usia anak
0-5 bulan
6-11

ASI Eksklusif
1 sdm
1 sdm

cup

50 mg

bulan

1 sdm

cup

50 mg

1-2 tahun

2 sdm / 25 1 sdm

cup

70 mg

2-6 tahun

mg

1 sdm

Berikut pada tabel 6 dapat dilihat berbagai bahan makanan dan kandungan
vitamin A pada masing-masing bahan makanan.

Tabel 6. Nilai vitamin A dalam berbagai bahan makanan (RE /100g)

23

Depkes RI menyusun bahan makanan berdasarkan satuan Ukuran Rumah


Tangga (URT) seperti yang dipaparkan dalam tabel berikut:
Tabel. 7. Bahan Makanan yang Mengandung Vitamin A dalam Satuan URT

Penyakit infeksi berat, khususnya pada campak, juga malaria dan chiken
pox, dapat menyebabkan dekompensasi akut terhadap status vitamin A. Jika
kadar vitamin A tubuh berada dalam batas rendah, anak akan sangat beresiko
menjadi buta, komplikasi sistemik (seperti laringotrakeobrongkitis) dan
kematian.3
e. Defisiensi Vitamin A Dengan Campak
Anak dengan defisiensi vitamin A bersamaan dengan campak dapat
mengalami komplikasi yang serius, dan segera terapi vitamin A dapat secara
signifikan menurunkan resiko fatal.12
Terhadap semua anak dengan penyakit campak pada populasi yang
diketahui banyak menderita defisiensi

vitamin A, atau case fatality rates

campak diatas 1% harus mendapatkan dosis terapi vitamin A yang sama


dengan mereka yang menderita xeroftalmia ( dosis sesuai usia) selama dua hari
berturu-turut. Anak ini diasumsikan mengalami defisiensi vitamin A, tanpa

24

memperhatikan tampilan anak dengan campak dalam keadaan berat,


komplikasi, ataupun mengancam nyawa.3
Anak yang menderita penyakit campak dibawah usia 2 tahun sebaiknya
diberi terapi vitamin A meskipun tidak merupakan kelompok resiko tinggi.3
f. Terapi Defisiensi Vitamin A Dengan Resiko Tinggi Lainnya
Anak yang mengalami malnutrisi energi protein berat atau penyakit seperti
diare kronik, penyakit saluran pernapasan bawah, dan otitis akut, yang berasal
dari populasi yang diketahui tedapat defisiensi vitamin A, juga meningkatkan
resiko defisiensi. Anak harus mendapatkan terapi vitamin A yang tepat sesuai
kondisi dan usianya. Jika penyakit yang menderita tersebut menetap, tambahan
vitamin A dapat diberikan pada interval 1-3 bulan.3

Tabel 8. Terapi Anak Defisiensi Vitamin A dengan resiko tinggi


Kelompok
Anak dan

dewasa

Dosis
dengan Terapi sesuai tabel 3 dilanjutkan dengan

malnutrisi energi protein berat

program preventif

Anak dengan campak

Dosis tunggal atau ganda sesuai jadwal


terapi tabel 3

Anak dengan diare, penyakit Dosis 200 000 IU per oral satu kali
infeki akut lainnya

dilanjutkan dengan program profilaksis

9. Pencegahan
a. Meningkatkan Asupan Makanan Mengandung Vitamin A
Asupan makanan yang inadekuat terhadap vitamin A dapat dimulai dengan
cepatnya penghentian pemberian ASI, kemudian disusul dengan kurangnya
asupan makanan yang kaya karoten atau Vitamin A. Dengan pemberian ASI
kemudian setelah usia 6 bulan anak diberi makanan kaya provitamin A seperti
buah mangga, pepaya, sayuran berdaun hijau gelap, dan dari sumber hewani
25

seperti kuning telur, ayam dan

hati akan secara signifikan mengurangi

terjadinya defisiensi vitamin A.3


Sayuran hijau merupakan sumber yang tidak mahal dan yang paling banyak
mengandung vitamin A. Sebagai acuan, orang tua harus mengetahui bahwa
segenggam sayur bayam segar( 68 gram) memiliki kandungan vitamin A setara
dengan seporsi kecil hati sapi ( 63 gr), dan setara dengan 4 medium size telur
ayam ( 227 gram).3
b. Suplementasi Vitamin A
Suplementasi secara periodik dapat bermanfaat untuk memberikan kuantitas
vitamin A yang besar yang dapat disimpan sebagai cadangan di
hepar.Suplementasi oral retinil palmitat 110 mg atau 66 mg retinil asetat
(200.000 IU vitamin A) dan setengah dosis untuk anak usia 6-11 tahun setiap
4-6 bulan dapat melindungi anak dari defisiensi vitamin A.3
Vitamin A dapat diberikan sebagai kapsul atau cairan. Kecuali pada anak
yang mengalami xerophtalmia, kurang energi protein (kwashiorkor) dan
beberapa penyakit berat, penting untuk dipastikan vitamin A tidak diberikan
melebihi batas dosis yang aman. Pada saat ini, interval pemberian vitamin A
yang telah ditetapkan adalah 4-6 bulan, walaupun telah disarankan bahwa jarak
pemberian ini bisa dikurangi jadi 3 bulan.3
Tabel 9. Jadwal Vitamin A Dosis Profilaksis3
Individu
Usia 0-6 bulan

Dosis Oral
Waktu
13,75 mg retinil palmitat (25 000 1-3 kali hingga usia 6
IU)

bulan

Usia 6-11 bulan

55 mg retinil palmitat (100 000 IU)

Sekali tiap 4-6 bulan

Usia > 12 bulan

110 mg retinil palmitat (200 000 Sekali tiap 4-6 bulan


IU)

10. Rujukan
Anak segera dirujuk ke puskesmas bila ditemukan tanda-tanda kelainan XN,
X1A, X1B, X2. Anak segera dirujuk ke dokter Rumah Sakit/ Spesialis Mata/BKMM
bila ditemukan tanda-tanda kelainan mata X3A, X3B, XS.4
26

Gambar 12. Alur rujukan13


11. Komplikasi
Gejala awal dan defisiensi vitamin A adalah anak tidak lagi dapat melihar
dengan jelas di sore hari, disebut buta senja. Tahapan selanjutnya jika defisiensi
vitamin A terus berlanjut adalah xerosis konjungtiva, bercak bitot, xerosis
kornea, keratomalasia, dan

ulserasi kornea, xeroftalmia scars (bola mata

mengecil atau mengempis akhirnya akan terjadi buta permanen.13


12. Prognosis13
1) Jika pasien masih dalam tahap xerosis kornea (X2), pengobatan yang tepat
dapat menyembuhkan sepenuhnya dalam beberapa minggu. Penyembuhan
sempurna biasanya terjadi dengan pengobatan tiap hari
2) Gejala dan tanda KVA biasanya menghilang dalam waktu 1 minggu setelah
pemberian vitamin A dihentikan
3) Lesi pada mata akan mengancam penglihatan (25% benar-benar buta dan
sisanya sebagian buta)
4) Mortalitas pada kasus-kasus berat mencapai 50% atau lebih karena sering
disertai keadaan malnutrisi yang berat

27

C. Kelebihan Vitamin A
1. Definisi
Hipervitaminosis A (toksisitas vitamin A) merupakan berlebihnya asupan
vitamin A di atas batas yang dianjurkan. Kemampuan tubuh untuk
memetabolisme vitamin A terbatas, jadi apabila terjadi kelebihan asupan vitamin
A dapat menyebabkan penimbunan yang melebihi kapasitas protein pengikat,
sehingga vitamin A dalam bentuk tidak-terikat merusak jaringan4.
Hipervitaminosis A akut bila penderita mengonsumsi sekitar 300.000 IU per
hari sementara dikatakan hipervitaminosis A kronik bila mengonsumsi sekitar
25.000 sampai 50.000 IU per hari. Pada umumnya, suplemen vitamin A tidak
dianjurkan jika tidak dibawah tuntunan profesional kesehatan. Kelebihan vitamin
A umumnya diakibatkan
(megadosis),

sehingga

suplemen vitamin A dalam jumlah yang besar


mengakibatkan

kondisi

yang

dikenal

dengan

hipervitaminosis A. Gejala-gejala yang dapat terjadi seperti lemah, sakit kepala,


kurang nafsu makan, mual, nyeri pada sendi, dan kulit terkelupas. Gejala-gejala
ini dapat menghilang ketika konsumsi suplemen vitamin A dihentikan4.
2. Tanda dan Gejala
Manifestasi klinis kelebihan vitamin A (hipervitaminosis A) adalah sebagai
berikut:
a. Pada anak-anak dapat menjadikan anak-anak tersebut cengeng, pada sekitar
tulang-tulang yang panjang membengkak, kulit kering dan gatalgatal.
b. Pada orang-orang dewasa menimbulkan sakit kepala, mual-mual, dan diare.
Sementara menurut Departemen Gizi dan Kesehatan Masyarakat UI 2010
menyatakan beberapa tanda kelebihan vitamin A, antara lain: sakit kepala, pusing,
rambut rontok, kulit kering, anoreksia, dan sakit pada tulang. Pada wanita dewasa
menstruasi dapat berhenti dan bayi dapat mengalami pembesaran kepala.4
Gejala hipervitaminosis A ini pun dapat dibedakan berdasarkan akut atau
kroniknya. Pada hipervitaminosis A akut ditandai dengan nyeri kepala, mudah
ngantuk, dan muntah. Sedangkan pada hipervitaminosis A kronik biasanya
28

ditandai dengan nyeri sendi dan tulang, kurang nafsu makan, mual, muntah dan
penurunan berat badan.4
Bayi resiko lahir cacat akibat kelebihan vitamin A dapat terjadi. Jika sang ibu
ini mengkonsumsi vitamin A berlebihan maka efek yang ditimbulkan adalah
kecacatan pada bayi. Kecacatan pada bayi ini bisa berupa sumbing palatum,
gangguan jantung, kelainan saluran kemih pada bayi nantinya setelah lahir.
Bahkan pada kasus lain bisa menimbulkan keguguran. Untuk itu disarankan ibu
hamil mengkonsumsi vitamin A alami dari buah dan sayur agar menurunkan
resiko bayi lahir cacat.4
Pada bayi ini terdapat dua hal yaitu kelebihan vitamin A sebelum persalinan
dan setelah persalinan. Jika kelebihan vitamin A ini pada saat mengandung, maka
dapat berakibat pada kecatatan bayi nantinya seperti terjadinya pembesaran
kepala, hidprosefalus. Kecacatan pada bayi ini akibat kelebihan vitamin A lebih
terjadi pada saat semester pertama kehamilan atau sekitar 3 bulan pertama dan 6
bulan pertama. Karena pada masa janin ini mengakibatkan sulit dideteksi dengan
USG apakah ada kecatatan atau tidak. Sehingga dihindari suplemen berlebihan
terhadap ibu hamil ini. Sedangkan gejala yang timbul setelah persalinan pada bayi
seperti adanya penonjolan pada ubun-ubun tetapi hanya sementara sampai
konsumsi suplemen vitamin A dihentikan.4
3. Diagnosis dan Pengobatan
Penegakan diagnosis pada hipervitaminosis A ini dapat melalui pemeriksaan
gejala klinis serta tingginya kadar vitamin A dalam darah. Gejala akan menghilang
selama empat minggu setelah penghentian pemakaian vitamin A

tambahan.

Sayuran yang memiliki kandungan beta-karoten dapat dikonsumsi dalam jumlah


besar tanpa mengakibatkan hipervitaminosis A.4

29

BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Defisiensi vitamin A merupakan persoalan gizi yang paling serius dan
paling sering ditemukan diantara anak-anak kecil di awal tahun 1990 an setelah
malnutrisi protein dan energi serta anemia karena defisiensi zat besi. World
Health Organization (WHO) mengestimasikan bahwa secara global terdapat
hampir 14 juta anak yang setiap tahunnya terkena xeroftalmia dan 190 juta
anak yang mendapat resiko mengalami defisiensi vitamin A subklinis.1
Defisiensi vitamin A merupakan penyebab kebutaan yang paling sering
ditemukan pada anak-anak. Lebih kurang 150 juta anak lainnya menghadapi
resiko kematian yang tinggi dalam usia anak-anak karena penyakit infeksi yang
disebabkan oleh status vitamin A yang tidak adekuat.
Ada banyak faktor yang berkontribusi terhadap defiiensi vitamin A.
Penyebab paling penting dari defisiensi vitamin A pada anak adalah rendahnya
asupan makanan yang mengandung vitamin A ( termasuk pemberian ASI yang
tidak memadai) dan infeksi yang berulang, khususnya campak, diare, dan

30

infeksi pernafasan. Semua orang yang memiliki akses terbatas terhadap


makanan kaya vitamin A, berisiko untuk menderita defisiensi vitamin A.
Beberapa kelompok lebih rentan untuk menderita defisiensi vitamin A
dibanding yang lainnya. Kelompok ini terdiri dari bayi dengan berat badan
lahir rendah (BBLR), bayi prematur, anak dengan infeksi berulang serta yang
menderita malnutrisi.
Manifestasi klinis dari defisiensi vitamin A berkaitan dengan pemeliharaan
fungsi jaringan epitel tubuh, terutama di mata, kulit, saluran cerna, saluran
napas dan epitel di bagian tubuh lainnya. Kombinasi antara defek barier
terhadap infeksi, respon imun yang rendah,dan respon terhadap stress inflamasi
yang rendah yang disebabkan defisiensi vitamin A, bisa menyebabkan jeleknya
pertumbuhan anak dan masalah kesehatan yang serius pada anak.. Tes adaptasi
gelap bisa digunakan untuk menilai stadium dini dari defisiensi vitamin A.
Rentang normal level vitamin A adalah 20-60 g/dL, dan pada defisiensi, serum
< 20 g/L
Penatalaksanaan defisiensi vitamin A terdiri dari suplementasi vitamin A,
ASI eksklusif (pada bayi 0-6 bulan), dan pemberian asupan kaya vitamin A,
Untuk pencegahan defisiensi vitamin A ini, juga ada suplementasi vtamin A
profilaksis yang dosisnya disesuaikan dengan umur penderita seperti yang telah
dietapkan .
B. Saran
Perlunya pemahaman mengenai gejala klinis, penegakan diagnosis, dan
terapinya agar penatalaksanaan bisa dilakukan secara tepat serta perlunya
sosialisasi mengenai bahaya defisiensi vitamin A dan tatalaksananya di
masyarakat.

31

DAFTAR PUSTAKA
1. Semba, RD, MW Bloem. The anemia of vitamin A deficiency: epidemiology and
pathogenesis. European Journal of Clinical Nutrition: 2002.
2. Annstas,

George.

Vitamin

Deficiency.

2012.

Diunduh

dari

http://emedicine.medscape.com/article/126004-overview tanggal 14 Januari


2015
3. Depkes RI . 2003. Deteksi Dan Tatalaksana Kasus Xeroftalmia. Diunduh dari
http://gizi.depkes.go.id /pedoman-gizi/download/xeroftalmia.pdf pada tanggal 14 Januari
2015
4. Sommer, Alfred. Vitamin A deficiency and Its Consequences A Field Guide To
Detection and Control.1995. Penerbit: WHO
5. Salam, dkk . Peranan Suplemen Vitamin A Pada Pengobatan TB.

Diunduh

dari

http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/4207613.pdf pada tanggal 14 Januari 2015


6. Annstas,

George.

Vitamin

Deficiency.

2012.

http://emedicine.medscape.com/article/126004-overview
Januari 2015

32

Diunduh

pada

tanggal

dari
15

7. Behrman, R. dan, R. Kliegman. 2007. Nelson Textbook of Pediatics 17th edition.


pp 242
8. Ostler, Bruce H, et al. Disease of The Eye & Skin: A color Atlas. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins. 2004.
9. Thappa, Devinder Mohan. Clinical Pediatric Dermatology. India: Elsevier.2009.
10. Indicators for assessing vitamin A deficiency and their application in monitoring
and evaluating intervention programmes. World Health Organization.
Geneva:1996.

diunduh

dari

http://whqlibdoc.who.int/hq/1996/

WHO

NUT_96.10.pdf. pada tanggal 15 Januari 2015


11. Buku Panduan Pemberian Suplemen Vitamin A. Depertemen Kesehatan Republk
Indonesia Riset Kesehatan Dasar Indonesia Tahun 2010
12. WHO, UNICEF, VACG Task Force. Vitamin A Supplements: A Guide to Their
Use in Treatment and Prevention of Vitamin A deficiency and Xeroftalmia. 1997.
Diunduh dari http://www.who.int pada tanggal 15 Januari 2015
13. Indonesia Sehat 2010. Deteksi Dini Xeroftalmia. Jakarta: Departemen Kesehatan
Republik Indonesia; 2002.

33

Das könnte Ihnen auch gefallen