Sie sind auf Seite 1von 7

Penanganan Awal Epilepsi

Penulisan jurnal ini berdasarkan kasus-kasus tersering beserta permasalahan klinis


yang paling sering muncul. Berbagai bukti-bukti pendukung juga ditampilkan, dengan
didasari pada sumber klinis yang disahkan. Penyimpulan artikel ini dijuga disertai dengan
permasalahan klinis yang ingin diungkapkan oleh penulis.
Seorang wanita 29 tahun harus menjalani pemeriksaan. Sore sebelumnya, saat
suaminya sedang berada di sebelah kamarnya, mendengar suara-suara aneh dan menemukan
istrinya terbaring pingsan di samping tempat tidur. Istrinya terlihat kebingungan selama
beberapa menit, namun dapat segera kembali normal. Saat dianamnesa, istrinya mengatakan
bahwa sebelumnya dia pernah mengalami hal yang serupa sekitar 1 bulan yang lalu, dan pada
saat itu, dia terlihat lebih bingung dan juga disertai dengan pusing yang berat, kelemahan
otot, serta dalam posisi menggigit lidah. Bagaimana sebaiknya wanta ini diperiksa dan
dievaluasi ?
Permasalahan Klinis
Epilepsi, didefenisikan sebagai keadaan munculnya kejang lebih dari 2 kali yang
tanpa dicetus dengan penyakit atau kelainan tertentu, yang menyerang hampir 45 juta
penduduk di seluruh dunia. Di Amerika Serikat, prevalensi epilepsi ada sekitar 6-8 per 1000
penduduk, dan insidensinya ada sekitar 26-40 per 100.000orang per tahun.1,2,3 Sekitar 70 %
pasien dewasa mengalami epilepsi dengan kejang fokal. 3 Pada kebanyakan kasus (62%)
penyebabnya masih tidak diketahui. Stroke (9,0%), trauma kepala (9,0%), alkohol (6,0%),
penyakit degeneratif (4,0%), enselopati statik (3,5%), tumor otak (3,0%) dan infeksi (2,0%)
masih dianggap sebagai penyebab tersering timbulnya epilepsi. 4 Selain itu, penyebab
serebrovaskuler umumnya muncul pada fase-fase awal, sekitar 25 pasien dari 40 pasien yang
ada dengan rentang umur 65 tahun atau lebih, dan masih tidak dapat diketahui penyebab pasti
dari epilepsi yang dialami mereka.5
Penilaian dan Pemeriksaan
Diagnosis
Perubahan tingkah laku secara tiba-tiba, sikap abnormal, pergerakan involunter
merupakan gejala klinis yang mendukung diagnosis epilepsi. Dikarenakan kebanyakan kasus
epilepsi ini jarang ditemukan oleh para dokter pada saat onset, diagnosis penegakan epilepsi
ini dapat dilakukan dengan berdasarkan informasi tambahan yang diperoleh dari seleksi tes.
Langkah pertama dalam seleksi tes ini adalah dengan menjawab pertanyaan mengenai proses
epilepsi itu tersendiri. Langkah kedua adalah memastikan kebenaran dan menyakinkan bahwa
pasien tersebut memang benar menderita epilepsi.
Anamnesa yang teliti merupakan bagian yang terpenting dalam penegakan epilepsi,
dengan menfokuskan setiap detail episode epilepsi yang muncul, dan menilai ada tidaknya
riwayat penyerta yang diungkapkan pasien mengenai epilepsi yang dideritanya. Ketika pasien
tidak ingat sama sekali dengan epilepsi yang baru dialaminya, detail informasi yang tepat

dapat diperoleh dari hasil anamnesa yang dilakukan dari orang-orang disekitarnya. Diagnosa
banding dari epilepsi tergantung dari umur dan gejala yang ditimbulkan oleh pasien. (Tabel 1)
Kejang dapat juga sering muncul pada proses metabolik (seperti uremia,
hipoglikemia, hiperglikemia, dan toksisisitas kerusakan hati (seperti overdosis obat atau
kecanduan) dan infeksi ( seperti meningitis dan ensefalitis ).6
Kejang yang muncul pada pasien dengan kondisi-kondisi di atas tidak dapat selalu
dimasukkan sebagai kejang akibat epilepsi. Walaupun obat anti epilepsi terkadang diperlukan
dalam menekan proses terjadinya kejang pada fase singkat, obat-obat ini justru tidak dapat
digunakan pada pasien dengan bila keadaaan pasien membaik.

Evaluasi
Umumnya pada pasien epilepsi, pemeriksaan neorologis didapatkan hasil yang
normal. Penemuan klinis yang mampu menilai ada tidaknya proses patologis pada otak atau
kerusakan spesifik seperti pada gejala neurokutaneus pada abnormalitas kulit. Menurut
Akademi Neurologi Amerika dan Badan Penanganan Epilepsi Amerika, pasien dengan
serangan kejang pertama kali sebaiknya diperiksa electroencephalography (EEG), computed
tomographic (CT) scanning or magnetic resonance imaging (MRI) kepala dan melakukan
pemeriksaan darah yang dapat mendukung keluhan klinis yang muncul. Pola EEG epilepsi
yaitu gambaran gelombang tajam dan runcing dapat menjadi salah satu cara diagnosis dan
pengklasifikasian apakah kejang yang muncul bersifat fokal atau luas. Bagaimanapun, tidak
pernah ada gambaran EEG normal atau justru terlihat abnormalitas interiktal tersendiri atau
tidak dalam penilaian epilepsi. Gambaran EEG abnormal sering muncul pada 50 % kasus
yang mengalami serangan kejang pertama, setengah dari kasus yang ada terlihat
ketidaksesuaian gambaran epileptiform.7 peningkatan kasus insidensi abnormalitas EEG
dapat terulang stelah pasien menglami fase tidur depresi. 8 Gambaran video EEG akan sangat
diperlukan dalam menilai kasus kejang non epilepsi (tabel 1).
Penggunaan MRI kepala jauh lebih sensitif daripada menggunakan CT dalam usaha
untuk mengidentifikasi struktur lesi yang muncul akibat epilepsi. 9 Bagaimanapun CT dapat
jauh lebih mudah digunakan pada kasus gawat darurat. Diantara pasien yang terdiagnosis
epilepsi secara dini, gambaran abnormal dari CT kepala ada sekitar 34 dari 56% yang ada,
dan sekitar 9 dari 17% pasien yang ada tertangani epilpsinya setelah dilakukan CT canial.10
Pemeriksaan darah rutin jarang sekali dipergunakan dalam usaha mendiagnosiskan
epilepsi. Namun, pemeriksaan Diftel, fungsi hati, dan jumlah leukosit sangat perlu diketahui
sebelum dilakukan pemberian obat anti epilepsi, sehingga pada pasien dengan gangguan
fungsi hati atau ginjal, dosis obat yang diberikan dapat diatur terlebih dahulu. Jumlah kadar
albumin dalam tubuh harus sudah diketahui bila ingin memberikan obat yang mengandung
protein tinggi, seperti phenytoin dan valproate, dimana pada pasien dengan kandungan
hiperalbumin, sifat perubahan struktur obatnya menjadi jauh lebih tinggi. Remaja dan orang

dewasa yang mengalami kejang luas yang tidak terjelaskan, skreening sangat diperlukan
untuk menyingkirkan kemungkinan penyebab lain yang muncul.
Usaha untuk menegakkan kasus epilepsi sangat bergantung pada minat pasien,
hubungan interpersonal, pekerjaan, fungsi sosial, kualitas hidup, dan kemampuan dalam
mengenderai diri sendiri. Keseringan berdiskusi sangat disarankan untuk kasus epilepsi ini.
Pasien harus diingatkan bahwa kejang yang muncul akan dapat meningkatkan resiko
kematian apabila melakukan aktivitas seperti mengendarai mobil, mengoperasikan alat
dengan daya yang besar, bekerja di ketinggian, dan berenang atau mandi sendirian. Pada
sebagian wilayah, orang yang pernah mengalami serangan kejang pertama kali tidak
diperbolehkan lagi mengendarai mobil sampai 3 bulan sampai 1 tahun kemudian.11
Pada 55% kasus pasien yang mengalami kejang menderita depresi.12,13 bahkan pasien
dengan serangan kejang yang terkontrol, ternyata memiliki tingkatan depresi yang jauh lebih
tinggi daripada orang normal lainnya, dengan tingkatan kasus bunuh diri yang tinggi, dengan
jumlah yang meningkat sebanyak 6 bulan setelah terdiagnosis. 14,15,16 pasien sebaiknya
diperhatikan apakah ada kemungkinan timbulnya gejala depresi dan berteriak pada emosi
mereka, dengan bantuan baik obat atau edukasi dari para psikiater. Skreening yang
sederhanan saja dapat digunakan pada pasien yang diduga mengalami depresi.17,18
Badan penanganan makanan dan obat-obatan Amerika menyatakan kasus bunuh diri
meningkat pada pasien yang menjalani pengobatan anti epilepsi. 19 pada penelitian yang
dilakukan dari 2samapi 6 bulan, didapatkan bahwa resiko tinggi pada pasien dengan obat anti
epilepsi (0,43%) daripada pasien yang mengkonsumsi plasebo (0,22%). Penemuan inilah
yang menjadi dasar bahwa emosi dari para pasien harus sangat diperhatikan.

Terapi Farmakologi
Banyak pendapat yang menjelaskan mengenai penggunaan terapi pada kejang
tunggal, dengan riwayat tidak pernah kejang atau riwayat sisa selama lebih dari 2 tahun
(seperti tidak adanya gambaran epilepsi pada EEG atau tidak ditemukannya faktor pencetus
utama seperti trauma kepala).20 Apabila faktor resiko pencetus terlibat satu atau lebih, angka
resiko terkena epilepsi berulang pada 2 tahun kemudian bisa mencapai lebih dari 40%.
Walaupun secara random didapatkan terjadinya penurunan kasus epilepsi berulang sekitar 3060 %, namun bila dilakukan penanganan awal pada serangan kejang pertama atau kedua,
maka kemungkinan terkena serangan epilepsi berulang akan minimal, dimana obat ini
mampu menekan masa serangan epilepsi berulang.21 Pengobatan akan dilakukan bila
diagnosis dari epilepsi telah ditegakkan.
Pada 2 dekade yang lalu, 9 obat anti epilepsi telah diperkenalkan, dan telah menjadi
terapi pilihan pada pengobatan epilepsi. Obat anti epilepsi dibagi atas 2 bagian, yaitu obat
anti epilepsi sperktrum luas atau obat anti epilepsi spektrum pendek, dengan tingkat
efektifitas yang bergantung pada tipe kejang dan jenis epilepsi yang muncul. Obat anti
epilepsi spektrum luas umumnya digunakan secara singkat dikarenakan obat ini lebih aman

digunakan pada pasien dewasa, dengan disesuaikan pada jenis dan tingkat epilepsinya. Jenis
obatnya adalah valproate, lamogtrigine, topiramate, dan levetiracetam (efektifitasnya untuk
(epilepsi yang luas), menurut beberapa penelitian). Kenyataannya, obat anti epilepsi spektrum
sempit, seperti carbamazepine, phenytoin, gabapentin, tiagabine, axcarbazepine, dan
pregabalin, yang sering dipergunakan untuk pasien dengan kejang lokal atau kejang serangan
kedua atau kejang parsial.22 Obat jenis ini tidak terlalu efektif pada pasien dengan serangan
gejala epilepsi (seperti epilepsi mioklonik juvenil, dan epilepsi absence anak), dan pada
pasien denga epilepsi yang mungkin telah lama muncul. 23 Hampir setengah pasien yang
menerima obat anti kejang didiagnosis langsung menderita epilepsi. Gagalnya pengobatan
anti epilepsi pada serangan awal mungkin akan meningkatkan resiko tidak toleransinya obat
anti epilepsi lain yang dapat diberikan,namun akan mempermudah timbulnya serangan
setelah mendapat obat anti epilepsi lain.24
Dari waktu ke waktu banyak penelitian dilakukan untuk penanganan epilepsi terlebih
epilepsi dengan kejang yang parsial.22 Sehingga, jumlah populasi, fragmatik, sistem random,
pengontrolan jenis populasi yang digunakan pada pasien dengan pengkonsumsian asam
valproic pada kejang yang umum menunjukkan keefektifan yang jauh lebih besar daripada
penggunaan lamogtriptine, dan topiramite. Lamogtripine memiliki 2x resiko untuk
mendapatkan kegagalan dikarenakan tidak adekuatnya sistem pengontrolan yang dilakukan,
dimana topiramite juga tidak terlalu adekuat dalam mengendalikan kejang yang muncul,
tetapi jauh lebih memiliki tingkat resiko kegagalan disesbabkan efek samping yang
dihasilkannya.25
Keselektifan penggunaaan obat harus dijelaskan pada pasien dikarenakan sifat pasien
sepeerti umur, jenis kelamin, dan kepatuhan dalam mengkonsumsi obat juga mengendalikan
efek terapi yang ditimbulkan. Tabel 2 menggambarkan tentang informasi yang diperlukan
dalam mengedukasikan pasien tentang cara penggunaan obat. Umumnya, pasien yang baru
mengalami kejang pertama kali, harus diberikan obat dosis tinggi seperti phenytoin pada
kondisi yang darurat. Sehingga, banyak bukti penelitian yang menjelaskan efek dar phenytoin
ini pada kasus kegawatdaruratan.,22 dan jauh lebih dlebih mudah dikonsumsi ke semua jenis
pasien yang ada. Tabel 3 menuliskan tentang relevansi terapi pengguanaan obat pada semua
jenis pasien.
Efek yang ditimbulkan
Tabel 2 menjelaskan mengenai dosis obat, idiosintratik, dan masa efek samping
tambahan yang ditimbulkan. Densitas tulang yang berkurang mungkin muncul selama
pengobatan dengan phenytoin dan obat yang mengandung enzim hepatik termasuk obat anti
epilepsi seperti carbamazepine dan phenobarbital. 28,29 Pasien yang mengkonsumsi obat yang
mengandung enzim hepatik harus mendapatkan vitamin D tambahan (2000IU per hari) dan
kalsium (1200 mg per hari), dan juga harus menjalani pemeriksaan densitas tulang secara
berkala.
Pilihan obat anti epilepsi untuk wanita

Obat anti epilepsi, khususnya valproate memiliki resiko paling tinggi untuk
menimbulkan gangguan endokrin, namun lebih sering menimbulkan gelaja ovari polikistik
( seperti tidak teraturnya masa menstruasi, penambahan berat badan, dan hhirsutism) 30,31 Efek
ini dikaitkan dengan masa tambahan yang timbul dari obat anti epilepsi itu sendiri,-32,33 tetapi
pada kebanyakan wanita, penggunaan obat anti pilepsi ini harus mengikuti peraturan jenis
obat.34,35 Penelitian lanjutan juga menjelaskan tentang cara penggunaan valproate, baik dosis
tunggal atau kombinasi akan menimbulkan masa ovari polikistik tambahan, tidak teraturnya
anovulari sistem, dan hiperandrogenism34,36,37
Enzim hepatik termasuk obat anti epilepsi seperti phenytoin, carbamazepine, da
phenobarbital, serta obat topiramite dan oxcarbazepine. Mampu meningkatkan pembersihan
obat kontrasepsi. Sehingga, wanita yang dalam keadaan mengkonsumsi obat kontrasepsi dan
mengkonsumsi obat anti epilepsi harus mengkonsumsi estradioal ethynil tambahan sebanyak
50 mikro gram untuk mencegah kemungkinan terjadinya kehamilan. 28 Walaupun, dari hasil
penelitian tidak ada yang menjelaskan tentang efektifitas penggunaan obat kontrasepsi oral,
dan alternatif lain yang bisa dilakukan adalah dengan menggunakan kontrasepsi barrier
sebagai alat perlindungan. Pengaturan dosis lamogtripine juga diperlukan dalam pada wanita
yng mengkonsumsi obat kontrasepsi oral dikarenakan obat tersebut mampu mempercepat
pembersihan efek lamogtripine.38 Konsentrasi serum lamogtripine harus juga diperhatikan
pada wanita yang hamil dan melahirkan,38 dimana kondisi itu akan meningkatkan efek kerja
obat anti epilepsi lain namun tidak untuk lamogtripine.
Bayi yang lahir dari seorang ibu yang menderita epilepsi, kemungkinan tinggi
mengalami malformasi tubuh, dikarenakan obat anti epilepsi yang dikonsumsinya. 39efek ini
telah diteliti pada wanita hamil yang mengalami serangan kejang baik yang umum atau
parsial. Tidak ada satupun obat anti epilepsi yang betul-betul dinyatakan aman. Penelitian
terbaru, termasuk obat valprote dapat mampu meningktkan resiko rusaknya janin di dalam
kandungan.40 Efek ini dapat diminimalkan dengan mengkonsumsi obat tunggal atau obat
dengan efek kecil selama masa kehamilan, walaupun tidak akan terlalu membantu. Penelitian
secara retrospektif pada anak-anak usis sekolah menggambarkan bahwa anak ada hubungan
masa intra uterin anak yang terkena valproate (tidak untuk jenis obat lainnya) dkan mampu
menimbulkan efek rendahnya IQ dan keterbelakangan mental41,42
Kondisi medis yang ditimbulkan
Beberapa pasien termasuk yang usia lanjut, sulit untuk mengkonsumsi obat anti
epilepsi dikarenakan kondisi yang dapat ditimbulkannya. Pada pasien dengan gangguan
disfungsi hati, memperhatikan jenis obat apa yang dapat dimetabolisme di hati akan sangat
diperlukan, walaupun terkadang tidak terlalu kontraindikasi, seperti pada valprote, namun,
pada kondisi amonia sebaiknya obat jenis ini dihindari. Banyak obat anti epilepsi
(penggunaan berkala obat valproate, phenythoin, phenobarbital, dan carbamazepine) dapat
mengelevasi kadar enzim hepatik, yaitu aminotransferase alanine dan gammaglutamyltransferase.43 Elevasi stabil (bahkan meningkat lebih dari 2x lipat dari jumlah
normal) tidak terlalu berbahaya, namun memerlukan perawatan khusus pada kondisi yang
seperti ini. Pasien dengan riwayat ginjal tidak boleh mengkonsumsi obat topiramate dan

zonisamide, karena kan mempermudah terbentuknya batu.44 Carbamazepine dan


oxcarbazeoine akan mampu menimbulkan hiponatremia dan harus dihindari pada pasien
dengan pengeluaran natrium berlebihan atau pada orang yang beresiko hiponatremia ( seperti
usia lanjut, riwayat cepatnya pengeluaran keringat, gagal ginjal, atau obat-obat yang dapat
menimbulkan hipernatremia).45
Metabolisme obat ditentukan oleh enzim mikrosomal hepatis (seperti cytochrome P450 dan glucuronyl transferase) dapat dibatasi dengan penggunaan obat anti epilepsi (tabel
4). Obat anti epilepsi yang mengandung enzim harus dihindari, walaupun memungkinkan,
bila pasien mengkonsumsi terapi antivirus pada infeksi HIV, resepient transplantasi organ,
dan pasien kanker yang diterapi dengan kemoterapi.
Kondisi medis yang lain juga dapat mempengaruhi efek terapi dari obat yang
diberikan. Carbamazepine dapat menimbulkan blok jantung parsial atau komplitdan
mengaggrasi discariasis darah, disebabkan terjadinya perubahan jumalh sel darah putih dan
akan dapat mengendalikan proses seseorang terkena diskaris darah, akibat perubahan
komplemen dari sel darah putih tersebut. Valproate pada dosis rendah dapat menimbulkan
trombositopenia pada sekitar 17% pasien dan meningkatkan resiko terjadinya perdarahan.48,49
Carbamazepine dan gabapentin sangat berhubungan dengan berat taksiran
seseorang( 5-10BB(2,3-4,5 kg), dan valproate dan pregabalin sangat berhubungan dengan
berat substansial (10-50 BB (4,5-23,0 kg)) pada sepertiga jumlah pasien yang ada. Felbamate,
topiramate, danzonosamide dapat menurunkan bear badan.50,51 Berat badan harus dipantau
pad penggunaan obat anti epilepsi baik pada saat permulaan pemakian obat dan saat
pemantauan.
Monitoring
Penggunaan EEG yang secara teratur tidak selalu menjadi monitoring yang baik pada
penggunaan obat anti epilepsi, namun dapat dipergunakan untuk menentukan apakah pasien
memerlukan terapi lanutan atau tudak.52 ada beberapa kontroversi yang menyatakan tentang
kemungkinan pemantauan obat dengan EEG dan tes laboratorium darah (seperti
penghitungan jumlah darah, perhitungan jumlah sel leukosit, dan tes fungsi hati). 53 pada
penggunaan obat anti epilepsi yang lama (seperti phenythoin, carbamazepine, valproate, dan
phenobarbital), monitoring teratur diperlukan untuk menentukan kestabilan efek tubuh pada
kondisi 6-12 bulan pertama. Tabel 2 merumuskan monitoring yang benar pada penggunaan
obat anti epilepsi yang baru.

Hal Yang Tidak Diinginkan


Banyak hal yang dapat ditimbulkan bila obat-obatan dikonsumsi dalam jangka
panjang. Bila obat yang dikonsumsi lebih dari 2 tahun maka kemungkian untuk overdosis
atau kecanduan akan menjadi tinggi.54,56 Faktor resiko timbulnya relapsnya epilepsi dapat

berhubungan dengan usia remaja, riwayat kejang parsial, EEG abnormal, dan sindrome
epilepsi spesifik.
Kesimpulan dan Saran
Pasien yang dideskripsikan di atas kemungkinan memiliki 2 jenis kejang, satu dengan
rangsangan atau diakibatkan rangsangan tertentu. Evaluasi penangannnya tergantung pada
hasil pemeriksaan neurologis, EEG, MRI kepala, namun pengobatannya tergantung pada
manifestasi klinis abnormal yang muncul. Apabila hasil MRI dan EEG normal, diperlukan
informasi tambahan yang disesuaikan dengan obat anti epilepsi dengan kejang lokal dan
umum, dengan efek kejang yang parsial ataupun umum.

Das könnte Ihnen auch gefallen