Sie sind auf Seite 1von 43

LAPORAN AKHIR

PRAKTIKUM MATERIAL TEKNIK


PENGUJIAN METALOGRAFI DAN HST

LABORATORIUM METALURGI FISIK


DEPARTEMEN METALURGI DAN MATERIAL
FTUI
2010
1

DAFTAR ISI

Daftar Isi

Bab I Laporan Awal Metalografi dan HST

Bab II Pembahasan Praktikum


II.1. Pengujan Metalografi
1.1.

Mounting
1.2.

Grinding
1.3.

Pemolesan
1.4.

Pengetsaan
1.5.

Pengamatan Struktur Mikro


1.6.

Pengamatan Struktur Makro


II.2. Pengujian Jominy

Hasil
27
Hasil
28
Hasil
28
Hasil
29
Hasil
30
Hasil
30
31

BAB I LAPORAN AWAL METALOGRAFI


MODUL I
PENGUJIAN METALOGRAFI
I.

Tujuan
Melakukan proses persiapan sampel metalografi berbagai

logam dengan benar dan mengidentifikasi struktur mikro dari


logam dan paduan yang diberikan serta menghubungkan dengan
sifat mekanisnya.
II.

Dasar Teori
Metallorafi didefinisikan sebagai pengamatan bentuk

dan struktur material dengan tujuan untuk control kualitas


material. Metalografi merupakan disiplin ilmu yang mempelajari
karakteristik mikrostruktur suatu logam, paduan logam, dan
material lainnya serta hubungannya dengan sifat-sifat material
tersebut

dengan

bantuan

mikroskop elektron,

SEM

alat,

seperti

atau TEM

mikroskop

optik,

dan difraksi sinar X.

Pengamatan metalografi dengan mikroskop umumnya dibagi


menjadi dua bagian, yaitu:
1. Pengamatan

makroskopi

pengamatan

dengan

perbesaran berkisar 10-30x.


2. Perbesaran
perbesaran

mikroskopi:
lebih

dari

pengamatan
10-30x.

dengan

Perbesaran

yang

dilakukan tergantung sifat struktur yang akan diamati,


dapat dilakukan dengan mikroskop optik (1000x), SEM
(hingga 50.000x), atau TEM (hingga 500.000x).
1. Tahap Kerja Preparasi Sampel
Adapun prosedur persiapan sampel metallografi:

1) Penentuann ukuran sampel, tergantung pada sifat material


dan informasi yang akan didapat. Umumnya bervariasi
antara 5-30 mm dan ketebalan lebih kecil dari dimensi
tersebut.
2) Mounting sample, dilakukan jika ukuran sampel terlalu
kecil.
3) Amplas kasar, umumnya untuk menghaluskan permukaan
yang tergores cukup dalam pada proses pemotongan.
4) Amplas halus, dilakukan dengan amplas berpartikel SiC
yang memiliki ukuran antara 400-1000 mesh.
5) Poles kasar, dilakukan dengan menggunakan partikel
alumina atau intan dengan besar partikel sekitar 5
mikrometer. Proses ini digunakan untuk menghilangkan
goresan yang masih tersisa dari proses amplas.
6) Poles halus, untuk menghilangkan goresan yang amat
halus dengan menggunakan partikel alumina atau intan
dengan besar partikel kurang dari 1 mikrometer.
7) Etsa, dilakukan pada sampel yang te;ah dikeringkan
setelah poles halus dengan menggunakan zat kimia yang
bersifat asam atau basa. Setelah proses ini sampel siap
diamati dengan mikroskop optik
2. Mounting
2.1. Tujuan Percobaan
Mounting bertujuan untuk menempatkan
sampel pada suatu ndan tidak beraturan tanpa merusak
sampel
2.2. Dasar teori
Spesimen yang berukuran kecil atau memiliki
bentuk yang tidak beraturan akan sulit untuk ditangani
khususnya

ketika

dilakukan

pengamplasan

dan

pemolesan akhir. Sebagai contoh adalah spesimen yang


berupa kawat, spesimen lembaran metal tipis, potongan
yang tipis, dll. Untuk memudahkan penanganannya,

maka spesimen-spesimen tersebut harus ditempatkan


pada suatu media (media mounting). Secara umum
syarat-syarat

yang

harus

dimiliki

bahan

mounting

adalah :
a. Bersifat inert (tidak bereaksi dengan material dan zat
etsa)
b. Sifat eksoterimis rendah
c. Viskositas rendah
d. Penyusutan linier rendah
e. Sifat adhesi baik
f. Memiliki kekerasan yang sama dengan sampel
g. Flowabilitas baik, dapat menembus pori, celah dan
bentuk
ketidakteraturan yang terdapat pada sampel
h. Khusus untuk etsa elektrolitik dan pengujian SEM,
bahan
mounting harus kondusif

Gambar 1. beberapa teknik Mounting

(1)

(2)

Bentuk hasil mounting: (1) tampak samping (2) tampak atas


Media mounting yang dipilih haruslah sesuai dengan
material dan jenis reagen etsa yang akan digunakan. Pada
umumnya mounting menggunakan material plastik sintetik.
Materialnya dapat berupa resin (castable resin) yang dicampur
dengan hardener, atau bakelit. Penggunaan castable resin lebih
mudah dan alat yang digunakan lebih sederhana dibandingkan
bakelit, karena tidak diperlukan aplikasi panas dan tekanan.
Namun bahan castable resin ini tidak memiliki sifat mekanis yang
baik (lunak) sehingga kurang cocok untuk material-material yang
keras. Teknik mounting yang paling baik adalah menggunakan
thermosetting resin dengan menggunakan material bakelit.
Material ini berupa bubuk yang tersedia dengan warna yang
beragam. Thermosetting mounting membutuhkan alat khusus,
karena dibutuhkan aplikasi tekanan (4200 lb/in 2) dan panas
(1490C) pada mold saat mounting.
2.3.

Metodologi Penelitian
1.3.1 Alat dan Bahan
Alat

Cetakan
Alat khusus compression mounting
Bahan
sampel pengujian
resin, hardener (castable mounting)
bubuk bakelit ( compression mounting)
1.3.2 Flowchart Proses Pengujian

Castable Mounting
Siapkan
cetakan
Tutupi salah satu bagian ujung
silinder dengan isolasi

Letakan sampel
pada dasar cetakan

Siapkan resin 1/3


bagian cetakan)
Campur resin (15 tetes
hardener)
Tuangkan ke dalam
cetakan
Biarkan selama 25-30
menit hingga resin
mengeras

Compression Mounting

Keluarkan mounting dari


cetakan
Persiapakan
sampel

Pengaturan
piston

Peletakkan permukaan
sampel
Pengaturan tekanan
piston
Mensetting alat
mounting

Penuangan
bubuk
bakelit
7

Jalankan alat ( Tekanan konstan,


5 menit)
Pasang balok
pendingin
Penurunan tekanan hingga 1
atm
Pengeluaran
sampel

3. Pengamplasan / Grinding
3.1 Tujuan Percobaan
Untuk meratakan dan menghaluskan permukaan
sampel dengan cara menggosokan sampel pada kain
abrasi/amplas.
3.2 Dasar teori
Sampel yang baru saja dipotong, atau sampel yang
telah terkorosi memiliki permukaan yang kasar. Permukaan
yang kasar ini harus diratakan agar pengamatan struktur
mudah untuk dilakukan. Pengamplasn dilakukan dengan
menggunakan kertas amplas yang ukuran butir abrasifnya
dinyatakan dengan mesh. Urutan pengamplasan harus
dilakukan dengan nomor mesh yang rendah (hingga 150
mash) ke nomor mesh yang tinggi (180 hingga 600mash).
Ukuran

grit

pertama

yang

dipakai

tergantung

pada

kekerasan permukaan dan kedalaman yang ditimbulkan


oleh pemotongan.

Bahan ampelas yang umum adalah SiC, intan atau


Al2O3, . Emery adalah campuran Al oksida dan Fe oksida
dengan kekerasan kurang dari SiC. Namun untuk zat yang
digunakan pada poles tidak hanya sebatas alumina, tapi
banyak zat lain yang dapat digunakan Pumice, Kieselguhr
& tripoli, SnO2, MgO, Ce2O3, Diamond, dll. Lihat tabel berikut
:
Ukuran kertas amplas
(grit) untuk

Jenis alat potong

pengamplasan
pertama
60 120
120 240
320 400

Gergaji pita
Gergaji abrasif
Gergaji kawat / intan kecepatan
rendah

Hal yang harus diperhatikan pada saat pengamplasan


adalah pemberian air. Air berfungsi sebagai pemindah
geram, memperkecil kerusakan akibat panas yang timbul
yang

dapat

mengubah

struktur

mikro

sampel

dan

memperpanjang masa pemakaian kertas amplas. Hal lain


yang

harus

diperhatikan

adalah

ketika

melakukan

perubahan arah pengamplasan, maka arah yang baru


adalah 450 atau 900 terhadap arah sebelumnya.
3.3 Metodologi Penelitian
3.3.1 Alat dan Bahan

Alat

Bahan : - sampel pengujian

: mesin amplas.

- kertas amplas ukuran grit 120 dan grit 200


- air
3.3.2 Flowchart Proses Pengujian

Nyalakan dengan kecepatan rendah

Tambahkan air secara kontinu pada permukaan kertas

Amplas sampel

Tambah kecepatan putaran

Ubah arah pengamplasan (45o atau 90o terhadap arah sebelumnya)

Lakukan pengamplasan dengan kertas amplas bergrit lebih tinggi

Sampel telah halus dan rata

4. Pemolesan / Polishing

4.1 Tujuan Percobaan


Pemolesan

bertujuan

untuk

mendapatkan

permukaan

sampel yang halus dan mengkilat seperti kaca tanpa gores.


4.2. Dasar teori
Setelah sampel diamplas hingga

halus (pengamplasan

dilaukan hingga menggunakan kertas amplas dengan grit 600#),


sebelum diamati dengan mikroskop sampel harus dilakukan
pemolesan. Pemolesan bertujuan untuk memperoleh permukaan
sampel yang halus bebas goresan dan mengkilap seperti cermin
dan menghilangkan ketidakteraturan sampel hingga orde 0.01
m.

10

Permukaan sampel yang akan diamati di bawah mikroskop


harus benar-benar rata. Apabila permukaan sampel kasar atau
bergelombang, maka pengamatan struktur mikro akan sulit
untuk dilakukan karena cahaya yang datang dari mikroskop
dipantulkan secara acak oleh permukaan sampel. Hal ini dapat
dijelaskan pada gambar berikut.

Permukaan halus

Permukaan

kasar
Tahap pemolesan dimulai dengan pemolesan kasar
terlebih dahulu kemudian dilanjutkan dengan pemolesan halus.
Ada 3 metode pemolesan antara lain, yaitu :
1. Pemolesan Elektrolit Kimia
Hubungan rapat arus & tegangan bervariasi untuk
larutan elektrolit dan material yang berbeda dimana untuk
tegangan, terbentuk lapisan tipis pada permukaan, dan hampir
tidak ada arus yang lewat, maka terjadi proses etsa. Sedangkan
pada

tegangan

tinggi

terjadi

proses

pemolesan.

Adapun

keuntungan dari pemolesan elektrolit kimia ini adalah kehalusan


permukaan bebas goresan, sulit dicapai secara mekanik, untuk
logam yang sulit dipoles secara meknik; amat lunak, amat keras,
waktu yang dibuthkan jauh lebih efisien dari poles mekanik.
Akan tetapi kelemahan dari pemolesan ini adalah
larutan elektrolit bersifat korosif, dan bersifat eksplosif, untuk

11

logam 2 fase, sulit karena ada 2 macam fase dengan potensial


yang bagian pinggir sampel mounting lebih cepat terserang
daripada bagian tengah, dan sampel yang dimounting harus
dilubang agar konduktif
2. Pemolesan Kimia Mekanis
Merupakan kombinasi antara etsa kimia dan pemolesan
mekanis yang dilakukan serentak di atas piringan halus. Partikel
pemoles abrasif dicampur dengan larutan pengetsa yang umum
digunakan. Hal yang harus diperhatikan pada poles mekanik
adalah gerakan cuplikan, tekanan poles, pencucian, pengeringan,
dan penyimpanan
3.

Pemolesan Elektro Mekanis (Metode Reinacher)


Merupakan kombinasi antara pemolesan elektrolit dan
mekanis pada piring pemoles. Metode ini sangat baik untuk
logam mulia, tembaga, kuningan, dan perunggu.
4.3 Metodologi Penelitian
4.3.1 Alat dan bahan
a)

Alat

: mesin poles

b)

Bahan

: sampel pengujian, kain poles, alumina.

Gambar mesin poles

12

4.3.2 Flowchart Proses Pengujian


Pasang kain poles
pada mesin poles

Tuangkan
alumina
menyalakan mesin
dengan
kecepatan rendah

menambah
alumina

Letakkan sampel
pada permukaan
kain poles
Lakukan
pemolesan

5. Etsa / Etching

5.1 Tujuan Percobaan


a) Mengamati

dan

mengidentifikasi

detil

struktur

logam dengan bantuan mikroskop optik setelah


terlebih dahulu dilakukan proses etsa pada sampel.
b) Mengetahui perbedaan antara etsa kimia dengan
elektro etsa serta aplikasinya.
c) Dapat melakukan preparasi sampel metalografi
secara baik dan benar.

5.2 Dasar teori


Etsa merupakan proses penyerangan atau
pengikisan batas butir secara selektif dan terkendali
dengan pencelupan ke dalam larutan pengetsa baik
menggunakan

listrik

maupun

tidak

ke

permukaan

sampel sehingga detil struktur yang akan diamati akan


terlihat

dengan

jelas

dan

tajam.

Untuk

beberapa

material, mikrostruktur baru muncul jika diberikan zat


etsa. Sehingga perlu pengetahuan yang tepat untuk

13

memilih zat etsa yang tepat. Ada dua jenis etsa, yaitu
etsa kimia dan etsa elekrolitik.
1. Etsa kimia
Merupakan proses pengetsaan dengan
menggunakan larutan kimia dimana zat etsa yang
digunakan memiliki karakteristik tersendiri sehingga
pemilihannya disesuaikan dengan sampel yang akan
diamati. Contohnya yaitu sebagai berikut.
a. Nitrid acid/nital: asam nitrit + alkohol 95 %
(khusus untuk baja karbon) yang bertujuan untuk
mendapatkan fasa perlit dan ferit dari martensit.
b.

Picral: asam picric + alkohol (khusus baja) yang


bertujuan untuk mendapatkan perlit, dan feritdari
martensit.

c. Ferric chloride: Ferric chloride + HCl + air untuk


melihat struktur SS, austenitic nikel dan paduan
tembaga.
d. Hydrofluoric acid : HF + air untuk mengamati
struktur pada aluminium dan paduannya.
Dalam melakukan etsa kimia ada beberapa
hal yang harus diperhatikan :
a. waktu etsa jangan terlalu lama (umumnya sekitar
430 detik),
b. setelah dietsa, segera dicuci dengan air mengalir
lalu dengan alkohol kemudian dikeringkan dengan
alat pengering.
2. Elektro etsa
Merupakan proses etsa dengan
menggunakan reaksi elektro etsa. Cara ini dilakukan
dengan pengaturan tegangan dan kuat arus listrik
serta waktu pengetsaan. Adapun prinsip dasar etsa
elektrolitik sebagai berikut.

14

a. Prinsip reaksi reduksi dan oksidasi. Reduksi pada


ktoda

dan

oksidasi

pada

anoda.

Diberikan

tegangan dari luar, cuplikan sebagai anoda dan


katoda dari logam lain yang lebih inert, misal
platina atau logam lain yang lebih elektronegatif
dibanding cuplikan.
b. Diperlukan potensial kimia yang lebih rendah
daripada poles elektrolitik
c.Kecenderungan tergantung afinitas deret volta,
dengan hydrogen volta dianggap nol.
d. Prinsip adalah korosi dengan masing-masing
elemen struktur mikro mempunyai laju korosi
yang berbeda.
Etsa jenis ini biasanya untuk stainless steel
karena dengan etsa kimia susah untuk mendapatkan
detail strukturnya. Hubungan kuat arus dan tegangan
dalam etsa dapat dijelaskan pada gambar dibawah
ini, dimana kurva tersebut terbagi menjadi beberapa
daerah karakteristik .

a. Daerah A B : daerah proses etsa, dimana ion


logam

sebagai

anoda

larut

dalam

larutan

elektrolit.

15

b. Daerah B C

: daerah tidak stabil, karena

permukaan logam merupakan gabungan dari


daerah pasif dan aktif yang

disebabkan oleh

perbedaan energi bebas antara butir dan batas


butir.
c. Daerah C D : daerah

poles, terjadi kestabilan

arus, meskipun tegangan ditambahkan. Hal ini


disebabkan oleh stabilnya lerutan. Meskipun pada
daerah ini logam berubah menjadi logam oksida,
tetapi oleh larutan elktrolit logam itu dilarutkan
kembali.
d. Daerah D E

: terjadi evolusi oksigen pada

anoda, dimana gelembung gas melekat dan


menetap pada permukaan anoda untuk waktu
yang

lama,

Dengan

sehingga

penambhan

menyebabkan
tegangan,

rapat

pitting.
arus

melonjak tinggi tak terkendali.


5.3 Metodologi Penelitian
5.3.1 Alat dan Bahan
Alat :
a. blower/ dryer
b. Cawan gelas
c. Pipet
d. Alat

elektro-etsa

(rectifier,

amperemeter,

penjepit sampel konduktif)


Bahan :
a. Zat etsa : FeCl3, nital 2%, HF 0.5% dan asam
oksalat (H2C2O4) 15 g/100 ml air)
b. Air, alkohol, tissue.
5.3.2 Flowchart Proses Pengujian
Etsa Kimia

16

Sampel
Dibersihkan
+ zat etsa
+ alkohol

Pengetsaan
Pembersihan
sampel
Pengeringan
(dengan
blower)
Dilap
dengan
tissue

Etsa Elektrolitik
Penyusunan alat dan
bahan
Penentuan daerah
etsa
Pengaturan besarnya
arus
Bilas dengan air dan
HNO3
Keringkan dengan
hair dryer

17

MODUL II
PEMBUATAN FOTO DAN ANALISA STRUKTUR
MIKRO
I. TUJUAN PERCOBAAN
1. Mengetahui proses pengambilan foto mikrostruktur.
2. Menganalisa struktur mikro dan sifat-sifatnya.
3. Mengenali fasa-fasa dalam struktur mikro.
II. DASAR TEORI
Metalografi merupakan disiplin ilmu yang mempelajari
karakteristik mikrostruktur suatu logam dan paduannya serta
hubungannya dengan sifat-sifat logam dan paduannya tersebut.
Ada beberapa metode yang dipakai yaitu: mikroskop (optik
maupun elektron), difraksi ( sinar-X, elektron dan neutron),
analasis (X-ray fluoresence, elektron mikroprobe) dan juga
stereometric

metalografi.

Pada

praktikum

metalografi

ini

digunakan metode mikroskop, sehingga pemahaman akan cara


kerja mikroskop, baik optik maupun elektron perlu diketahui.
Pengamatan

metalografi

dengan

mikroskop

umumnya

dibagi menjadi dua, yaitu:


1. Metalografi makro, yaitu pengamatan struktur dengan
perbesaran 10 100 kali,
2. Metalografi mikro, yaitu pengamatan struktur dengan
perbesaran diatas 100 kali.
Sebelum dilakukan pengamatan mikrostruktur dengan mikroskop
maka diperlukan proses-proses persiapan sampel. Langkahlangkah persiapan sampel untuk mikroskop telah diterangkan
dalam modul-modul sebelumnya.

18

1. Mikrostruktur Baja Karbon


Baja didefinisikan sebagai material ferrous dengan kadar
karbon kurang dari 2,14%. Baja karbon dibagi menjadi 2 yaitu
Baja Hypoeutectoid dan Baja Hypereutectoid, dengan kadar
karbon 0,8 % sebagai batas. Pada kadar karbon 0,8 % akan
terbentuk fasa perlit, yaitu fasa yang terbentuk lamel-lamel yang
merupakan

paduan

antara

ferrit

sebagai

matriksnya

dan

cementit sabagai lamel-lamelnya. Fasa cementit merupakan fasa


yang terbentuk dengan kadar karbon meksimum 6,67 %.
Sementara ferrit pada kadar karbon maksimum 0,02 %.
2. Mikrostruktur Besi Tuang
Besi tuang pada dasarnya merupakan perpaduan antara
besi dan karbon, dimana pada diagram Fe-Fe 3C terlihat bahwa
besi tuang mengandung kadar karbon lebih besar dibandingkan
dengan yang dibutuhkan untuk menjenuhkan austenit pada
temperatur eutectic, yaitu pada rentang 2,14 6,67 %. Secara
komersial besi tuang yang dipakai adalah besi tuang dengan
kadar karbon 2,5-4 %, karena kadar karbon yang terlalu tinggi
membuat besi tuang sangat rapuh. Secara metalografi besi
tuang dibagi dalam 4 tipe yang didasarkan pada variabel kadar
karbon, kadar impuritis dan paduan serta proses perlakuan
panasnya. Tipe-tipe tersebut yaitu:
Besi tuang putih, merupakan besi tuang dimana semua
kadar karbonnya terpadu dalam bentuk cementit.

Besi tuang malleable, dimana hampir semua karbonnya


dalam bentuk partikel tak beraturan yang dikenal dengan
karbon temper. Besi tuang malleable diperoleh dengan
memberikan perlakuan panas pada besi tuang putih.

Besi tuang kelabu, dimana semua atau hampir semua


karbonnya dalam bentuk flake-flake grafit.
Besi tuang nodular, dimana semua atau hampir semua
karbonnya dalam bentuk spheroidal. Bentuk spheroidal ini

19

terjadi akibat adanya penambahan elemen paduan khusus


yang dikenal sebagai nodulizer.
3.

Mikrostruktur

Baja

Karbon

pada

Heat

&

Surface

Treatment
Perlakuan panas adalah rangkaian siklus pemanasan dan
pendinginan terhadap material logam dalam keadaan padat,
yang bertujuan untuk menghasilkan sifat-sifat (mekanis, fisik dan
kimia) yang diinginkan. Dasar dari perlakua panas baja adalah
transformasi fasa dan dekompisisi austenite. Ada beberapa
macam

proses

spheroidisasi,

perlakuan

panas

normalisasi,

yaitu

tempering

dan

annealing,
quenching.

Masing-masing memiliki proses maupu media pendingin yang


berbeda.
Dasar dari transformasi fasa pada heat treatment adalah
diagram TTT (Transformation Temperature Time) dan CCT
(Continuous Cooling Transformation). Perlakuan panas ini akan
menyebabkan pembentukan fasa martensite dan bainite.
Perlakuan

permukaan

adalah

suatu

perlakuan

yang

menghasilkan terbentuknya kulit lapisan pada permukaan logam


dimana

lapisan

tersebut

memiliki

sifat-sifat

lebih

baik

dibandingkan dengan bagian dalam logam. Beberapa contoh


kasus

perlakuan

permukaan

yaitu

karburisasi,

nitridisasi,

sianidisasi atau karbonitridisasi, flame hardening dan induction


hardening. Sampel yang digunakan di sini merupakan hasil
karburisasi dimana terjadi difusi karbon ke dalam permukaan
logam Fe akibat reaksi dekomposisi:
CO CO2 + C(Fe)
4. Mikrostruktur Baja Perkakas
Pada umumnya semua baja dapat digunakan sebagai baja
perkakas. Namun istilah baja perkakas dibatasi hanya pada baja

20

dengan kualitas tinggi yang mampu digunakan sebagai perkakas.


Ada beberapa macam klasifikasi yang digunakan untuk baja
perkakas.

Tingginya

kualitas

baja

perkakas

diperoleh

dari

penambahan paduan-paduan seperti Cr, W, dan Mo, ditambah


perlakuan-perlakuan khusus. Mikrostruktur yang dihasilkan pada
umumnya adalah matriks martensite dengan adanya partikelpartikel karbida, grafit serta presipitat.
Klasifikasi baja perkakas berdasarkan AISI (American Iron
and Steel Institute) dibagi dalam 7 kelompok utama:
Klasifikasi Baja Perkakas
GRUP
Water-hardening
Shock-resisting
Cold-work
Hot-work

SIMBOL
W
S
O
A
D
H

TIPE
Oil hardening
Medium alloy air-hardening
High-carbon high-chromium
H1 H19 : Chromium base
H20 H39 : Tungsten base

Mold

H40 H59 : Molybdenum base


P1P19 : termasuk dalam karbon
rendah
P20-P39 : termasuk tipe lain Low-

Special-purpose

L
F

alloy
Karbon-tungsten

5. Mikrostruktur Paduan Alumunium


Mikrostruktur hampir semua paduan alumunium terdiri dari
kristal utama padatan alumunium (biasanya berbentuk dendritik)
ditambah dengan produk hasil reaksi dengan paduan. Elemen
paduan yang tidak berada dalam keadaan padat biasanya
membentuk fasa campuran pada eutectic, kecuali silikon yang
muncul sebagai produk utama. Pada paduan alumunium-silikon,
eutektik terjadi pada sekitar 12 % Si.

21

6. Mikrostruktur Paduan Tembaga


Paduan tembaga yang akan dibahas di sini adalah paduan
tembaga dengan elemen dasar seng. Kuningan merupakan
paduan tembaga seng, dengan elemen-elemen lainnya seperti
timbal, timah dan alumunium. Pada diagram fasa Cu-Zn,
kelarutan seng dalam larutan padatan fasa meningkat dari
32,5 % pada temperatur 903 oC ke 39 % pada temperatur 454 oC.
Fasa berbentuk FCC, sementara fasa berbentuk BCC.
7 . Metode Perhitungan Besar Butir
Ada

tiga metoda untuk menghitung besar butir yang

direkomendasikan oleh ASTM, yaitu;


1. Metode Perbandingan
Foto mikrostruktur bahan dengan perbesaran 100X dapat
dibandingkan

dengan

grafik

ASTM

E112-63,

dapat

ditentukan besar butir. Nomor besar butir ditentukan oleh


rumus ;
N- 2n-1
Dimana

adalah

jumlah

butir

per

inch2

dengan

perbesaran 100x. Metode ini cocok untuk sampel dengan


butir beraturan.
2. Metode Intercept (Heyne)
Plastik transparant dengan grid (bergaris kotak-kotak)
diletakkan di atas foto atau sampel. Kemudian dihitung
semua butir yang berpotongan dengan satu atau dua garis,
sedangkan butir yang hanya berpotongan pada akhir garis
dianggap setengah. Penghitungan dilakukan pada tiga
daerah agar mewakili. Nilai diameter rata-rata ditentukan
dengan membagi jumlah butir yang berpotongan dengan
panjang

garis. Metode ini cocok untuk butir-butir yang

tidak beraturan.

22

3. Metode Planimetri
Metode

ini menggunakan lingkaran yang umumnya

memiliki luas 5000 mm2.


Perbesaran dipilih sedemikian sehingga ada sedikitnya 75
butir yang berada di dalam lingkaran. Kemudian hitung
jumlah total semua butir dalam lingkaran di tambah
setengah

dari jumlah butir yang berpotongan dengan

lingkaran. Besar butir dihitung dengan mengalikan jumlah


butir dengan pengali Jefferies (f) pada tabel 2 berikut ini.
Perlu diperhatikan bahwa ketiga mode di atas hanya
merupakan besar butir pendekatan , sebab butir memiliki 3
dimendsi bukan dua dimensi.
Tabel 2. Pengali Jefferies
Perbesara

n
1
25
50
75
100
200
300
500
1000

0,002
0,125
0,5
1,125
2,0
8,0
18,0
50,0
200,0

III. Metodologi percobaan


1. Alat dan Bahan
a. Sampel
b. Mikroskop optik
c. Mikroskop kamera
2. Prosedur Percobaan
a. Letakkan sampel pada preparat , berikan lilin pada
bagian bawah sampel

23

b. Ratakan letak sampel dengan alat penekan sampel


c. Letakkan sampel di atas meja objektive mikroskop
optik.
d. Nyalakan lampu mikroskop. Jangan terlalu tinggi !
e. Tentukan perbesaran dengan perbesaran yang kecil
terlebih dahulu.
f. Tentukan

perbesaran

yang

diinginkan

dengan

mengatur lensa objektif.


g. Atur fokus dengan menaik-turunkan lensa.
h. Amati mikrostruktur yang ada dan gambar pada
lembar data.
i. Setelah selesai ambail kembali sampel dari meja
objektif dan matikan lampu mikroskop.
Mempersiapkan sampel
2. 1. Pengambilan Foto Mikro
a. Pengambilan

foto

dilakukan

dengan

meletakkan

sampel di bawah lensa objektif mikroskop kamera.

Meratakan Sampel

b. Lalu tentuan fokusnya.


c. Setelah

fokus

tentukan

pencahayaannya.

diafragma

dan

Meletakkan sampel ke meja mikroskop optik

d. Setelah selesai selesai, pengambilan foto dapat


dilakukan.
Menyalakan lampu mikroskop

2. 2.

Penghitungan Besar Butir

a. Tentukan Metode yang akan di pilih.


Menentukan Perbesaran
b. Gunakan foto dengan perbesaran 100X

c. Siapkan tabel yang dibutuhkan

mikroskop

d. Hitung besar butir sesuai rumus


e. Isi lembar data

Mengatur fokus Mikroskop

Mengamati mikrostruktur

III.2. Flow Chart Proses Pengujian


Mengambil kembali sampel di mikroskop

24

25

MODUL III
PERCOBAAN JOMINY
I.

Tujuan

Mendapatkan antara jarak permukaan dengan pendingin


langsung dengan kekerasan bahan (kemampukerasan
bahan).

Mendapatkan hubungan antara kecepatan pendinginan


dengan fasa yang terbentuk, serta mendapatkan sifat
kekerasan dari fasa tersebut.

II.

Dasar Teori
Proses

kombinasi

pemanasan

dan

pendinginan

yang

bertujuan mengubah struktur mikro dan sifat mekanis logam


disebut

Perlakuan

Panas

(Heat

Treatment).

Logam

yang

didinginkan dengan kecepatan yang berbeda-beda misalnya


dengan media pendingin yang berbeda, air, udara atau minyak
akan mangalami perubahan struktur mikro yang berbeda. Setiap
struktur mikro misalnya fasa martensit, bainit, ferit, dan perlit
merupaka hasil transformasi fasa dari fasa austenit. Masingmasing fasa tersebut terjadi dengan kondisi pendinginan yang
berbeda-beda dimana untuk setiap paduan bahan dapat di lihat
pada diagram Continous Cooling Transformation (CCT) dan Time
Temperature Transformation (TTT) diagram. Masing-masing fasa
di atas mempunyai nilai kekerasan yang berbeda. Pendinginan
yang cepat akan menghasilkan struktur martesit yang keras,
sedangkan

pendinginan

yang

lambat

akan

menghasilkan

struktur:
1. Bainit bawah : struktur seperti jarum seperti
martensit

26

2. Bainit atas : struktur seperti perlit dengan sifat


lapisan tidak jelas
3. Perlit halus: struktur perlit halus dengan lapisan
ferit dan cementit
4. Perlit kasar: kekerasan dari martensit sampai pearlit
makin menurun
Oleh karena itu, dengan pengujian Jominy maka dapat
diketahui laju pendinginan yang berbeda akan menghasilkan
kekerasan bahan yang berbeda.
Kekerasan

adalah

salah

satu

faktor

penting

dalam

membentuk suatu material maka akan lebih ekonomis apabila


spesifikasi material didasarkan atas perlakuan panas material
tersebut. Oleh karena itu, diperlukan suatu tes yang dapat yang
dapat memprediksikan kemampu-kerasan dari baja tersebut. Tes
yang sangat luas dipakai ialah end-quench hardenability tes atau
jominy test. Tes ini telah distandarkan oleh ASTM, SAE, dan AISI.
Untuk percobaan ini diperlukan : 1 inchi sampel yang bundar dan
panjangnya 4 inchi, dipanaskan sampai suhu austenit. Setelah itu
sampel tadi diangkat dan diletakan pada tempat yang stabil dan
diberikan udara dari bawah sampel dan semua bagian dari
sampel harus mendapatkan pendinginan yang rata. Setelah 10
menit waktu pendinginan maka sampel tadi diangkat dan
dipindahkan. Setelah itu dihitung kekerasannya dan hasilnya
digambarkan dalam kurva kekerasan antara nilai kekerasan
berbanding

lurus

dengan

jarak

dari

tempat

berakhirnya

quenched.
Fitur yang sangat penting dalam Jominy Test ialah setiap
bagian dari sampel akan merespon pendinginan yang diperlukan.
Adalah derajat pendinginan yang menentukan terbentuknya
martensite. Kurva Jominy dapat digunakan untuk memplot profile
kekerasan dari suatu bagian.

27

Makin lambat laju pendinginan logam, makin banyak matriks


perlit yang ditampilkan dan kekerasan makin turun. Penambahan
kadar karbon atau paduan atau bertambah besarnya ukuran butir
akan

menyebabkan

grafik

bergeser

ke

kanan

sehungga

memudahkan pembentukan struktur martensit. Pergeseran grafik


ke kanan juga menggambarkan sifat kemampukerasan bahan
tersebut.
III.

Metodologi Penelitian
1. Alat dan Bahan

Batang baja sebagai benda uji, dengan d=2,5 cm, L= 10 cm

Oven mUffle temperatur makx 11000C

Kran air dengan tekanan cukup

Amplas

Alat penguji kekerasan Brinell

Mikroskop pengukur jejak


2. Flow Chart Pengujian

28

DAFTAR PUSTAKA

Callister, William D.2007.Material science and Engineering.United


State of America: John Wiley&Sons,Inc
Modul Praktikum Metalografi & HST. 2011. Depok : Laboratorium
Metalografi dan
Perlakuan Permukaan &

Panas

Departemen Metalurgi dan

Material FTUI

29

BAB II PEMBAHASAN PRAKTIKUM


II.I Preparasi Sampel
1.1. Hasil Mounting
Berdasarkan landasan teori sebelumnya, proses mounting
bertujuan agar benda yang akan diamati berukuran terlalu kecil
dan tak beraturan sehingga dengan mudah diamati. Sebelum
dimounting material dipotong dahulu, pemotongan dilakukan
dengan low-speed diamond saw, setelah dipotong material
diletakkan di bagian bawah cetakan dan dilapisi lakban lalu
ditambah resin yang telah dicampur hardeness kira-kira 20 tetes
lalu diamkan hingga mengering, dan yang penting dari proses
mounting ini adalah pemasangan isolasi dan peletakan cetakan
mounting pada permukaan yang datar agar permukaan bawah
mounting yang rata. Ketika proses mounting dilakukan, sering
terjadi kecacatan, yakni sebagai berikut:
a. Discoloration
Discoloration

adalah

cacat

dimana

hasil

mounting

tidak

menampakkan warna yang seharusnya dimana warna hasil


mounting seharusnya berwarna bening tetapi pada cacat ini hasil
mounting berwarna kekuning-kuningan, hal ini terjadi karena
resin yang digunakan telah terlalu lama dan teroksidasi,.
b. Bubbles
Bubbles

adalah

gas-gas

yang

terperangkap

didalam

hasil

cetakan mounting, bubbles bisa diakibatkan akibat terlalu


cepatnya pengadukan sehingga udara jadi terperangkap di
dalam resin. Dengan melakukan pengadukan secara perlahan
saat percampuran antara hardener dan resin, cacat ini bisa
dihindari.
c. Tacky tops

30

Cacat jenis ini terjadi saat tidak ratanya permukaan hasil


mounting karena tidak seimbangnya campuran antara resin dan
hardener, serta tidak sempurnanya pencampuran antara kedua
bahan

tersebut,.

Tacky

tops

dapat

dihindari

dengan

menyeimbangkan campuran antara resin dan hardener, dan


melakukan pencampuran antara resin dan hardener dengan
sempuna. Adapun parameter dalam proses mounting adalah
hardener, ketebalan resin, dan waktu pengeringan.
1.2. Hasil Grinding/Pengamplasan
Pada proses ini bertujuan untuk menghaluskan permukaan
material yang akan diuji. Grinding/pengamplasan dimulai dengan
mengamplas material dengan menggunakan amplas yang kasar,
yaitu pada grit 1200 yang dilanjutkan dengan amplas yang sudah
agak halus, yaitu pada grit 800 dan kemudian dengan amplas
yang halus, yaitu pada grit 600 dan 400.
Pada proses pengamplasan diawali dengan menggunting
kertas amplas pada kedua sisi agar membentuk lingkaran.
Setelah kertas amplas di pasang pada mesin pengamplas,
kemudian sampel diletakkan bersentuhan langsung pada kertas
amplas. Sampel ditekan dengan gerakan searah. Hal yang perlu
diperhatikan dari proses pengamplasan ini adalah penggunaan
air guna mengalirkan geram logam yang terkikis, karena pada
prosesnya mengeluarkan geram yang dapat merusak struktur
mikro.
Selain itu, perubahan arah pengamplasan setelah pergantian
amplas ke amplas yang lebih halus sebesar 90 derajat sehingga
arah amplasan mengikis arah amplasan pada mesh sebelumnya.
Cacat yang terjadi pada pengamplasan adalah tidak ratanya
permukaan sampel, bisa dikarenakan karena tidak ratanya
penekanan sampel pada kertas amplas dan praktikan yang
terkesan ragu-ragu. Selama pengamplasan antara permukaan

31

sampel dan kertas amplas terjadi gesekan yang memungkinkan


terjadinya

kenaikan

suhu

yang

dapat

mempengaruhi

mikrostruktur sampel sehingga diperlukan pendinginan dengan


cara mengaliri air. Air berfungsi agar sisa-sisa amplas berada
pada tepi kertas amplas sehingga memperkecil kerusakan akibat
panas yang timbul yang dapat merubah struktur mikro sampel
dan memperpanjang masa pemakaian kertas amplas. Apabila
ingin mengganti arah pengamplasan, sampel diusahakan berada
pada

kedudukan

Pengamplasan

tegak

selesai

lurus

apabila

terhadap
tidak

arah

teramati

mula-mula.
lagi

adanya

goresan-goresan pada permukaan sampel. Jika sudah terlihat


garis-garis satu arah, maka amplas diganti dengan amplas yang
agak halus, dengan mengganti sudut pengamplasan sebesar 90
derajat. Setelah selesai proses pengamplasan maka material
akan terlihat halus dan seperti cermin.
1.3. Hasil Pemolesan
Proses pemolesan dilakukan setelah proses pengamplasan.
Pemolesan dilakukan untuk lebih menghaluskan permukaan dari
material tersebut. Alat pemoles ferrous dan non ferrous harus
dibedakan karena sifat dan kekerasannya berbeda. Pemolesan
dilakukan dengan menggunakan cairan alumina. Pemolesan
dimulai

dengan

menyalakan

mesin

poles

pada

kecepatan

sedang. Kain yang digunakan untuk memoles sampel diberikan


cairan alumina. Lalu, sampel digerakkan secara radial dengan
bagian permukaan sampel yang telah dipoles harus dilihat
secara berkala.
Dalam melakukan pemolesan bahan yang akan dipoles
dipegang dengan kuat agar tidak terjadi cacat. Oleh karena itu,
melakukan proses ini harus dengan hati-hati karena jika kurang
kuat dalam memegang bahan yang akan dipoles akan lepas dari
genggaman tangan dan dapat membentur mesin pemoles

32

sehingga akan terjadi goresan bahkan jika sampel yang sudah


dimounting terlempar keluar mesin pemoles maka akan mudah
pecah.

Oleh

karena

itu,

pada

proses

pemolesan

dengan

menggesekkan seluruh
permukaan bahan yang berlawanan arah secara radial selain
bertujuan untuk menghaluskan permukaan, tetapi juga untuk
mengkilatkan material tersebut. Jika sampel sudah terlihat rata,
mengkilap serta sudah tidak ada goresan maka sampel sudah
siap untuk dilakukan dengan proses etsa.
1.4. Hasil Etsa
Proses terakhir dari pengamatan metalografi ini adalah
pengetsaan.

Pada

proses

ini

material/logam

yang

diuji

dimasukkan ke dalam alkohol untuk dinetralkan agar tidak terjadi


hangus. Setelah itu, logam tersebut dimasukkan ke dalam cairan
tertentu sesuai dengan sifat logamnya. Dalam proses ini harus
berhati-hati. Jika gagal dalam melakukan
proses etsa maka logam yang akan diamati tidak terlihat dengan
jelas. Sebelum melakukan proses etsa, bahan yang akan dietsa
dibersihkan dengan mengikis daerah yang akan dietsa sehingga
dapat diamati dengan jelas pada mikroskop optik. Sampel yang
akan dietsa haruslah bersih dan kering. Selama proses etsa,
permukaan sampel diusahakan harus selalu terendam dalam
etsa. Waktu etsa harus diperkirakan sedemikian sehingga
permukaan sampel yang dietsa tidak menjadi gosong karena
pengikisan yang terlalu lama. Oleh karena itu, sebelum dietsa
sampel sebaiknya diolesi alkohol untuk memperlambat reaksi.
Pada pengetsaan masing-masing zat etsa yang digunakan
memiliki

karakteristik

tersendiri

sehingga

pemilihannya

disesuaikan dengan sampel yang akan diamati. Zat etsa yang


umum digunakan untuk baja ialah nital dan picral. Setelah reaksi

33

etsa selesai, zat etsa dihilangkan dengan cara mencelupkan


sampel
ke dalam aliran air lalu dicelupkan ke cairan alkohol untuk
menghentikan proses pengetsaan. Permukaan sampel yang telah
dietsa tidak boleh disentuh untuk mencegah permukaan menjadi
kusam. Setelah dietsa, sampel siap untuk diperiksa di bawah
mikroskop.
1.5. Pengamatan Mikro
1.5.1White Cast Iron

Pembahasan
Pada besi tuang nodular, perlit sebagai matriks, yang
berwarna gelap dan sedikit ferit yang berwarna putih yang
mengelilingi grafit yang berbentuk bulat dan hitam. Bentuk grafit
yang

bulat

ini

menghasilkan

kekuatan

yang

tinggi

dan

ketangguhan. Pada foto struktur mikro standar dan sampel relatif


menunjukan hasil yang sama. Bagian yang berwarna hitam
adalah grafit dan bagian yang berwarna putih adalah matriks

34

ferrite. BTN merupakan besi yang memiliki sifat seperti baja,


diantaranya, mudah permesinannya dan lebih ringan 10% dari
baja, dapat menyerap getaran, dapat di heat-treatment Adapun
sifat mekanis memiliki kekuatan tarik >55 Kg/mm2 dan regangan
mencapai >10%. 29 Aplikasi yang dapatdigunakan pada BTN
adalah pipa, traktor, rol penggiling, flywheels, cetakan, kunci
inggris, komponen.
II.2. Percobaan Jominy
Percobaan jominy bertujuan untuk mengukur hardenability logam
melalui perlakuan panas sehingga didapat informasi mengenai
distribusi kekerasan. Hardenability adalah ukuran kualitas dari
suatu material untuk dapat dikeraskan, dalam hal ini adalah
kemampuannya untuk dapat membentuk fasa martensit minimal
50 % atau kekerasannya minimal 55 HRC dari material tersebut.
Dalam pengujian Jominy akan didapatkan hubungan kekerasan
suatu bahan dengan jarak dari permukaan pendinginan dan
dengan kecepatan pendinginannya, dalam hal ini dianggap
kecepatan

pendinginan

air

adalah

tak

terhingga.

Metode

perlakuan panas yang dilakukan dalam praktikum ini adalah end


quench. End Quenching adalah metode di mana bagian bawah
dari sampel langsung bersentuhan dengan media pendingin.
Pada praktikum ini media pendingin yang digunakan adalah air.
Air disemprotkan pada bagian bawah sampel sehingga sampel
yang mengalami pendinginan paling cepat adalah bagian yang
paling dekat dengan media pendingin / bersentuhan langsung,
yaitu bagian bawah sampel. Bagian sampel yang mengalami
pendinginan paling lambat adalah bagian yang paling jauh dari
media pendingin, yaitu bagian atas sampel. Pada percobaan kali
ini, yaitu percobaan Jominy, kita akan mendapatkan nilai
kekerasan (BHN) dari suatu material yaitu Baja. Prinsip kerja dari
percobaan jominy adalah dengan memanaskan baja yang

35

berbentuk lonjong pada temperature yang tinggi dan dipanaskan


selama kurang lebih 30 menit. Setelah dipanaskan, kemudian
baja tersebut didinginkan dengan suatu cara, yaitu dengan
menyemburkan air langsung dari bawah batang baja lonjong
tersebut selama kurang lebih 30 menit juga. Lalu kemudian
batang tersebut diamplas agar batang baja tersebut bersih dari
kotoran-kotoran baja. Setelah baja selesai didinginkan, dan
diamplas, kemudian baja dilakukan percobaan seperti pada
prinsip kerja percobaan kekerasan brinell, yaitu dengan cara
memberikan beban pada baja dengan menggunakan bola baja
yang berindentasi 2,5 mm atau 3,2 mm dan pengindentasian
baja tersebut dilakukan dengan jarak yang konstan sampai 15
kali. Kemudian setelah baja di indentasi, baja tersebut kemudian
di lihat pada mikroskop, untuk melihat besarnya diameter yang
diberikan pada baja tersebut. Dari grafik yang didapat, maka bisa
dilihat

bahwa

semakin

dekat

jarak

dengan

ujung

yang

diquenching maka, kekerasan logam tersebut akan semakin


keras.
2.1. Data Percobaan
Jenis baja (% karbon sampel)

: S50 (0,5% karbon)

Temperatur Austenisasi

: 900O C

Waktu Tahan

: 40 mnt (dapat dilihat pada grafik

T vs t)
Jenis Indentor

: hardened steel ball

Diameter Indentor

: 3,2 mm

Beban Indentasi

: 187,5 kg

Waktu Indentasi

: 15 detik

2.2. Tabel Hasil Penjejakan dan Nilai BHN

Jarak dari end

DX

DY

DAVG

Kekerasan

quench (mm)

(mm)

(mm)

(mm)

(BHN)

36

12

18

24

30

36

42

48

9
1
0
1
1
1
2
1
3
1
4
1
5

54
60
66
72
78
84
90

187,
5
187,
5
187,
5
187,
5
187,
5
187,
5
187,
5
187,
5
187,
5
187,
5
187,
5
187,
5
187,
5
187,
5
187,
5

3,2

0,67

0,695

3,2

0,721

0,772

3,2

0,741

0,788

3,2

0,759

0,858

3,2

0,786

0,848

3,2

0,798

1,008

3,2

0,807

0,931

3,2

0,843

1,009

3,2

0,801

1,012

3,2

0,809

1,031

3,2

0,801

1,086

3,2

0,896

1,138

3,2

0,903

1,145

3,2

1,068

1,26

3,2

1,043

1,217

2.3. Grafik Hardenability

37

BHN Value
600.000
500.000
f(x) = - 3.31x + 461.03
R = 0.91

400.000

BHN

BHN Value

300.000

Linear (BHN Value)

200.000
100.000
0.000
0

20

40

60

80

100

Jarak

2.4. Pembahasan Hasil


Pada tabel di atas terlihat bahwa diameter indentasi pada sumbu
absis, tidak sama dengan diameter indentasi pada sumbu ordinat
dan secara lebih spesifik lagi, terlihat bahwa diameter pada
sumbu absis lebih besar dibanding sumbu ordinat. Hal ini
mungkin disebabkan oleh karena pada pembentukan batang uji
yang terbuat dari rod, baja tersebut telah mengalami proses
forming berupa drawing. Akibatnya maka butir pada baja
tersebut akan cenderung memanjang searah sumbu absis,
sehingga akibatnya panjang daerah untuk pergerakan dislokasi
pun berbeda antara sumbu absis akan lebih besar dibanding
pergerakan pada sumbu ordinat. Akibatnya, karena pergerakan
dislokasi akan lebih mudah pada sumbu absis, maka seolah-olah
sumbu absis terlihat lebih lunak dibanding sumbu ordinat. Dalam

38

ilmu metalurgi fisik, hal ini disebut mekanisme penguatan strain


hardening

(penguatan

akibat

perngerjaan

dingin

drawing/forming) dan grain boundary strengthening (penguatan


akibat adanya batas butir).
Sehingga deformasi plastis pada sumbu absis akan lebih besar
dibanding sumbu ordinat atau dengan kata lain diameter
indentasi yang terjadi pada sumbu absis akan lebih besar
dibanding sumbu ordinat. Selisih diameter tidak selalu sama
karena mengingat pada batang uji ini kekerasan tiap titiknya
berbeda (akibat mekanisme pengerasan quenching), karenanya
perbedaan diameter tersebut tidak dapat dibandingkan satu
dengan yang lainnya. Namun untuk meyakinkan semua asumsi
ini perlu adanya suatu penelaaahan lebih lanjut dengan metode
pengujian lainnya (contohnya pengujian tarik terhadap kedua
sumbu berbeda atau pengamatan butir/struktur mikro dari
batang uji atau bahkan pengukuran diameter indentor), sebab
mungkin juga perbedaan ini semua disebabkan oleh karena
indentor yang memang tidak berbentuk bulat sempurna (sesuai
indentor standar Brinell). Kemudian jika memang indentor ini
tidak bulat sempurna, apakah ini berarti bahwa alat uji Brinell
yang digunakan tidak lagi sesuai standar dan tidak lagi dapat
digunakan? Secara teoritis, sebenarnya bisa saja. Sebab yang
digunakan dalam dasar perhitungan kekerasan oleh standar
Brinell bukanlah bentuk bola indentor, melainkan permukaan dan
tembereng indentasi yang terbentuk. Maksudnya selama bentuk
tembereng indentasi yang terbentuk masih bulat dan memiliki
diameter d, indentasi tersebut masih dapat digunakan dan
disubstitusikan kedalam rumus perhitungan BHN. Sehingga
sebaliknya, jika indentasi yang terbentuk tidak lagi bulat, maka
indentor tidak dapat digunakan lagi atau perlu diganti.

39

Pembahasan Grafik
Prinsip pengujian Jominy ialah pengukuran kekerasan pada
berbagai

titik

pada

kemampukerasan

batang

uji

(kemampuan

jominy

untuk

membentuk

mengetahui
fasa

keras

martensit) suatu material. Mempersiapkan batang uji yang


berbentuk silider dengan kepala sebagai penahannya dengan
ukuran tinggi silinder 4 in, diameter batang 1 in (bahan kuliah
HST). Batang dipanaskan /preheating selama 15 menit pada
temperatur 350

C, tujuan dari preheating ini adalah untuk

homogenisasi temperatur pada batang uji dan mempermudah


kenaikan suhu hingga

temperatur

austenisasi.

Setelah

itu

dilakukan pemanasan hingga temperatur austenisasi 1000 oC


selama 30 menit. Lakukan pendinginan pada batang uji dengan
menyemprot batang dari bawah permukaan batang dengan air,
jarak antara selang penyemprot dengan permukaan bawah
batang adalah 0,5 in. Ukur kekerasan batang pada jarak-jarak
tertentu dari permukaan. Untuk mengukur kekerasan dari batang
uji terlebih dahulu bersihkan batang uji yang akan diukur
kekerasannya dengan cara mengamplas. Pengamplasan ini
berfungsi untuk mengikis permukaan batang dari lapisan kerak
yang terbentuk pada batang. Lakukan penjejakkan pada batang,
lalu ukur diameter penjejakan dibawah measuring microscope.
Pengukuran kekerasan dilakukan dengan metode brinnel. Hal ini
dapat didasarkan pada diagram CCT yang menunjukan bahwa
laju pendinginan yang berbeda akan menghasilkan kekerasan
bahan yang berbeda. Temperatur austenisasi dimaksudkan untuk
mengubah fasa yang dimiliki sampel menjadi fasa austenit agar
dapat ditransformasi, yang menjadi dasar daripada proses
quenching.

Sebelum

dikeluarkan

sampel

tetap

didiamkan

didalam dapur untuk beberapa menit untuk lebih memastikan


temperatur austenisasi tercapai. Kemudian sampel dikeluarkan
dari dapur dan dibawa ke alat bangku jominy dengan penjepit

40

yang kemudian sampel dimasukan kedalam lubang alat bangku


jominy

dan

pendingin

segera
dari

dialiri/disemprotkan

bagian

bawah

air

sampel

sebagai

media

sehingga

terjadi

pendinginan secara bertahap yang dimulai dari bagian bawah


sampel kebagian atas sampel.
Pendinginan yang bertahap ini dimaksudkan untuk mendapatkan
fasa daripada sampel yang berbeda-beda, yang ditujukan untuk
mendapatkan kekerasan yang berbeda-beda daripada bagian
sampel yang disebabkan struktur yang berbeda. Setelah sampel
dingin,

kemudian

daripada

scale

dilanjutkan

yang

dengan

melekat,

pembersihan

dipermukaan

sampel

sampel

dan

dilanjutkan dengan pengamplasan pada salah satu bagian


sampel

untuk

meratakan

permukaan

yang

nantinya

akan

digunakan sebagai daerah penjejakan. Setelah itu, sampel


kemudian diukur dengan alat penjejak yang memiliki diameter
penjejak 3 mm. Penjejakan dilakukan 15 kali dengan jarak antar
penjejakan 1 cm. Hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan
kekerasan yang bervariasi pada sampel. Berdasarkan grafik
dapat

dilihat

bahwa

kekerasan

semakin

menurun

dengan

semakin jauhnya jarak dari ujung yang di Quench. Dalam hal ini
kekerasan dapat dilihat dari nilai BHN yang semakin kecil. Hal ini
dikarenakan semakin jauh jarak nya maka kecepatan penurunan
temperatur semakin lambat sehingga struktur martensite yang
terbentuk semakin sedikit sehingga kekerasannya menurun.
Untuk

mendapatkan

kekerasan

yang

maksimum

maka

martensite yang terbentuk harus 100% semakin jauh dari ujung


yang di quench martensite yang terbentuk semakin sedikit
(<100%) dan terbentuk fasa fasa lain seperti bainite atau
pearlite yang tidak sekeras martensite. Dari grafik diatas dapat
dilihat secara umum bahwa seiring dengan bertambahnya jarak

41

dari end quench (awal pendinginan cepat oleh air), maka


kekerasan dari batang jominy akan menurun. Atau dengan kata
lain

dapat

disimpulkan

bahwa

semakin

lambat

proses

pendinginan material, maka tingkat kekerasan material tersebut


akan menurun. Hal ini berkaitan dengan kecepatan pembentukan
struktur keras martensit yang dalam skala atomik digambarkan
sebagai kecepatan difusi atom karbon dalam baja. Seperti yang
kita ketahui secara umum, semakin cepat waktu pendinginan,
maka kesempatan atom karbon untuk berdifusi akan semakin
kecil, akibatnya atom karbon tersebut akan terperangkap dalam
kisi BCT martensit dan membuat strutur yang keras. Dan
sebaliknya semakin lambat pendinginan, maka atom karbon
semakin mudah berdifusi, sehingga yang terbentuk bukan lagi
BCT melainkan BCC pealit. Melalui grafik jominy test dapat
diketahui

kemamoukerasan

suatu

material

baja.

Apabila

perbedaan kekerasan antara ujung yang di quench dan titik


paling jauh sedikit maka kemempukerasan (hardenability) baja
tersebut baik.
Beberapa

kemungkinan

yang

dapat

menyebabkan

penyimpangan-penyimpangan ini, antara lain:


a) Proses pendinginan yang kurang berjalan dengan baik
sehingga proses pembentukan fasa-fasa yang seharusnya
tidak

dapat

terjadi

sehingga

nilai

kekerasan

yang

didapatkan tidak representatif.


b) Selain itu juga mungkin hal ini disebabkan oleh karena
tekanan air yang digunakan kurang besar dan tidak sesuai
standar, sehingga mungkin saja air yang sebelumnya telah
bersentuhan dengan batang uji, kembali ikut terdorong
mengenai batang uji, oleh karena tekanan yang kurang
kuat. Akibatnya, temperatur air yang digunakan untuk
pendinginan

cepat

tidak

lagi

cukup

dingin

untuk

42

mendorong

terjadinya

proses

pembentukan martensit;
c) Kesalahan
praktikan
dalam

quenching
pengamatan,

untuk
seperti

kekurangan akuratan saat penghitungan diameter jejak


dibawah measuring mikroskop. Hal ini mungkin disebabkan
oleh kesalahan paralaks yang terjadi akibat kecerobohan
praktikan

dalam

menentukan

posisi

garis

ukur

atau

mungkin juga karena terjadi pergantian pengukur indentasi


(sebab praktikan bergantian mengukur dengan rekan-rekan
agar semua memperoleh kesempatan yang sama untuk
dapat mengoperasikan mikroskop ukur), sehingga standar
peletakan posisi garis ukur pun tentu berbeda seiring
pergantian pengukur.

DAFTAR PUSTAKA
Callister, William D. Materials Science and Engineering An
Introduction 6thEdition. 2004. Canada : John Wileys & Sons, Inc.
Modul

Praktikum

Metalografi

&

HST.

2011.

Laboratorium

Metalografi dan HST Departemen Metalurgi dan Material FTUI :


Depok

43

Das könnte Ihnen auch gefallen