Beruflich Dokumente
Kultur Dokumente
1102011088
SKENARIO 3
LARINGITIS AKUT
ANATOMI
Laring merupakan bagian terbawah dari saluran nafas bagian atas. Bentuk laring
menyerupai limas segitiga terpancung dengan bagian atas lebih terpancung dan
bagian atas lebih besar daripada bagian bawah. Batas atas laring adalah aditus
laring sedangkan batas kaudal kartilago krikoid. Struktur kerangka laring terdiri dari
satu tulang (os hioid) dan beberapa tulang rawan, baik yang berpasangan ataupun
tidak. Komponen utama pada struktur laring adalah kartilago tiroid yang berbentuk
seperti perisai dan kartilago krikoid. Os hioid terletak disebelah superior dengan
bentuk huruf U dan dapat dipalapsi pada leher depan serta lewat mulut pada
dinding faring lateral. Dibagian bawah os hioid ini bergantung ligamentum tirohioid
yang terdiri dari dua sayap / alae kartilago tiroid. Sementara itu kartilago krikoidea
mudah teraba dibawah kulit yang melekat pada kartilago tiroidea lewat kartilago
krikotiroid yang berbentuk bulat penuh. Pada permukaan superior lamina terletak
pasangan kartilago aritinoid yang berbentuk piramid bersisi tiga. Pada masingmasing kartilago aritinoid ini mempunyai dua buah prosesus yakni prosessus vokalis
anterior dan prosessus muskularis lateralis.
Pada prossesus vokalis akan membentuk 2/5 bagian belakang dari korda vokalis
sedangakan ligamentum vokalis membentuk bagian membranosa atau bagian pita
suara yang dapat bergetar. Ujung bebas dan permukaan superior korda vokalis
suara membentuk glotis. Untuk lebih jelas dapat dilihat gambar struktur anatomi
laring pada gambar 2. Kartilago epiglotika merupakan struktur garis tengah tunggal
yang berbentuk seperti bola pimpong yang berfungsi mendorong makanan yang
ditelan kesamping jalan nafas laring. Selain itu juga teradpat dua pasang kartilago
kecil didalam laring yang mana tidak mempunyai fungsi yakni kartilago kornikulata
dan kuneiformis.
Gerakan laring dilakukan oleh kelompok otot-otot ekstrinsik dan intrisik. Otot
ekstinsik bekerja pada laring secara keseluruhan yang terdiri dari otot ekstrinsik
suprahioid (m.digastrikus, m.geniohioid, m.stilohioid dan m.milohioid) yang
berfungsi menarik laring ke atas. otot ekstinsik infrahioid (m.sternihioid,
m.omohioid, m.tirohioid). Otot intrisik laring menyebabkan gerakan antara berbagai
struktur laring sendiri, seperti otot vokalis dan tiroaritenoid yang membentuk
tonjolan pada korda vokalis dan berperan dalam membentuk teganagan korda
vokalis, otot krikotiroid berfungsi menarik kartilago tiroid kedepan, meregang dan
menegangkan korda vokalis.
Laring disarafi oleh cabang-cabang nervus vagus yakni nervus laringeus superior
dan nervus laringeus inferior (n.laringeus rekurens). Kedua saraf ini merupakan
campuran saraf motorik dan sensorik. Perdarahan pada laring terdiri dari dua
cabang yakni arteri laringeus superior dan ateri laringeus inferior yang kemudian
akan bergabung dengan vena tiroid superior dan inferior.
FISIOLOGI
Laring berfungsi sebagai proteksi, batuk, respirasi, sirkulasi, respirasi, sirkulasi,
menelan, emosi dan fonasi. Fungsi laring untuk proteksi adalah untuk mencegah
agar makanan dan benda asing masuk kedalam trakea dengan jalan menutup
aditus laring dan rima glotis yang secara bersamaan. Benda asing yang telah
masuk ke dalam trakea dan sekret yang berasal dari paru juga dapat dikeluarkan
lewat reflek batuk. Fungsi respirasi laring dengan mengatur mengatur besar
kecilnya rima glotis. Dengan terjadinya perubahan tekanan udara maka didalam
traktus trakeo-bronkial akan dapat mempengaruhi sirkulasi darah tubuh. Oleh
karena itu laring juga mempunyai fungsi sebagai alat pengatur sirkulasi darah.
Fungsi laring dalam proses menelan mempunyai tiga mekanisme yaitu gerakan
laring bagian bawah keatas, menutup aditus laringeus, serta mendorong bolus
makanan turun ke hipofaring dan tidak mungkin masuk kedalam laring. Laring
mempunyai fungsi untuk mengekspresikan emosi seperti berteriak, mengeluh,
menangis dan lain-lain yang berkaitan dengan fungsinya untuk fonasi dengan
membuat suara serta mementukan tinggi rendahnya nada.
DEFINISI
Laringitis akut adalah radang akut laring yang disebabkan oleh virus dan bakteri
yang berlangsung kurang dari 3 minggu dan pada umumnya disebabkan oleh
infeksi virus influenza (tipe A dan B), parainfluenza (tipe 1,2,3), rhinovirus dan
adenovirus. Penyebab lain adalah Haemofilus influenzae, Branhamella catarrhalis,
Streptococcus pyogenes, Staphylococcus aureus dan Streptococcus pneumoniae.
ETIOLOGI
1. Laringitis akut ini dapat terjadi dari kelanjutan infeksi saluran nafas seperti
influenza atau common cold. infeksi virus influenza (tipe A dan B),
parainfluenza (tipe 1,2,3), rhinovirus dan adenovirus. Penyebab lain adalah
Haemofilus influenzae, Branhamella catarrhalis, Streptococcus pyogenes,
Staphylococcus aureus dan Streptococcus pneumoniae.
2. Penyakit ini dapat terjadi karena perubahan musim / cuaca
3. Pemakaian suara yang berlebihan
4. Trauma
5. Bahan kimia
6. Merokok dan minum-minum alkohol
7. Alergi
PATOFISIOLOGI
Hampir semua penyebab inflamasi ini adalah virus. Invasi bakteri mungkin
sekunder. Laringitis biasanya disertai rinitis atau nasofaringitis. Awitan infeksi
mungkin berkaitan dengan pemajanan terhadap perubahan suhu mendadak,
defisiensi diet, malnutrisi, dan tidak ada immunitas. Laringitis umum terjadi pada
musim dingin dan mudah ditularkan. Ini terjadi seiring dengan menurunnya daya
tahan tubuh dari host serta prevalensi virus yang meningkat. Laringitis ini biasanya
didahului oleh faringitis dan infeksi saluran nafas bagian atas lainnya. Hal ini akan
mengakibatkan iritasi mukosa saluran nafas atas dan merangsang kelenjar mucus
untuk memproduksi mucus secara berlebihan sehingga menyumbat saluran nafas.
Kondisi tersebut akan merangsang terjadinya batuk hebat yang bisa menyebabkan
iritasi pada laring. Dan memacu terjadinya inflamasi pada laring tersebut. Inflamasi
ini akan menyebabkan nyeri akibat pengeluaran mediator kimia darah yang jika
berlebihan akan merangsang peningkatan suhu tubuh.8
GEJALA KLINIS
1. Gejala lokal seperti suara parau dimana digambarkan pasien sebagai suara
yang kasar atau suara yang susah keluar atau suara dengan nada lebih
rendah dari suara yang biasa / normal dimana terjadi gangguan getaran
serta ketegangan dalam pendekatan kedua pita suara kiri dan kanan
sehingga menimbulkan suara menjada parau bahkan sampai tidak bersuara
sama sekali (afoni).
2. Sesak nafas dan stridor
3. Nyeri tenggorokan seperti nyeri ketika menalan atau berbicara.
4. Gejala radang umum seperti demam, malaise
5. Batuk kering yang lama kelamaan disertai dengan dahak kental
6. Gejala commmon cold seperti bersin-bersin, nyeri tenggorok hingga sulit
menelan, sumbatan hidung (nasal congestion), nyeri kepala, batuk dan
demam dengan temperatur yang tidak mengalami peningkatan dari 38
derajat celsius.
7. Gejala influenza seperti bersin-bersin, nyeri tenggorok hingga sulit menelan,
sumbatan hidung (nasal congestion), nyeri kepala, batuk, peningkatan suhu
yang sangat berarti yakni lebih dari 38 derajat celsius, dan adanya rasa
lemah, lemas yang disertai dengan nyeri diseluruh tubuh .
8. Pada pemeriksaan fisik akan tampak mukasa laring yang hiperemis,
membengkak terutama dibagian atas dan bawah pita suara dan juga
didapatkan tanda radang akut dihidung atau sinus paranasal atau paru
9. Obstruksi jalan nafas apabila ada udem laring diikuti udem subglotis yang
terjadi dalam beberapa jam dan biasanya sering terjadi pada anak berupa
anak menjadi gelisah, air hunger, sesak semakin bertambah berat,
pemeriksaan fisik akan ditemukan retraksi suprasternal dan epigastrium yang
dapat menyebabkan keadaan darurat medik yang dapat mengancam jiwa
anak.
DIAGNOSIS PENUNJANG
PENCEGAHAN
Jangan merokok, hindari asap rokok karena rokok akan membuat tenggorokan
kering dan mengakibatkan iritasi pada pita suara, minum banyak air karena cairan
akan membantu menjaga agar lendir yang terdapat pada tenggorokan tidak terlalu
banyak dan mudah untuk dibersihkan, batasi penggunaan alkohol dan kafein untuk
mencegah tenggorokan kering. jangan berdehem untuk membersihkan tenggorokan
karena berdehem akan menyebabkan terjadinya vibrasi abnormal pada pita suara,
meningkatkan pembengkakan dan berdehem juga akan menyebabkan tenggorokan
memproduksi lebih banyak lendir.
PROGNOSIS6
Prognosis untuk penderita laringitis akut ini umumnya baik dan pemulihannya
selama satu minggu. Namun pada anak khususnya pada usia 1-3 tahun penyakit ini
dapat menyebabkan udem laring dan udem subglotis sehingga dapat menimbulkan
obstruksi jalan nafas dan bila hal ini terjadi dapat dilakukan pemasangan
endotrakeal atau trakeostomiaik
SINDROM STEVEN JOHNSON
DEFINISI
Sindrom Steven Jhonson atau dalam bahasa inggris Stevens-Johnson sindrom (SJS)
adalah suatu kumpulan gejala klinis erupsi mukokutaneus yang ditandai oleh trias
kelainan pada kulit vesikulobulosa, mukosa orifisium serta mata disertai gejala
umum berat. Sinonimnya antara lain : sindrom de Friessinger-Rendu, eritema
eksudativum multiform mayor, eritema poliform bulosa, sindrom muko-kutaneookular, dermatostomatitis, dll. Selain nama sindrom Steven Johnson, ada TEN (Toksic
Epidermal Necrolisys) dimana ketika lesi kulit kurang dari 10% total dati tubuh
disebut SSJ, 10-30% kerusakan kulitdisebut transisi, sementara jika lebih dari 30%
disebut TEN
EPIDEMIOLOGI
Berdasarkan kasus yang terdaftar dan studi observasi, insidensi TEN sekitar 1-1.4
kasus per juta orang per tahun. Sementara insidensi SSJ mungkin hampir sama,
yaitu sekitar 1-3 kasus per juta orang per tahun
ETIOLOGI
Etiologi SSJ sukar ditentukan dengan pasti, karena penyebabnya berbagai faktor,
walaupun pada umumnya sering berkaitan dengan respon imun terhadap obat.
Beberapa faktor penyebab timbulnya SSJ diantaranya :
Infeksi (virus, jamur, bakteri, parasit
a.
Virus
Sindrom Stevens-Johnson dapatterjadi pada stadium permulaan dari infeksi
saluran nafas atas oleh viruspneumonia.Hal ini dapat terjadi padaAsian
Antibiotics
Antifungals
Antivirals
Allopurinol
Nonsteroidal antiinflammatory drugs (NSAID)
Naproxen
Ibuprofen
Anti-convulsants
Carbamazepine
Phenytoin
Phenobarbital
Valproic acid
Lamotrigine
PATOFISIOLOGI
Stevens-Johnson Syndrome merupakan penyakit hipersensitivitas yang diperantarai
oleh kompleks imun yang mungkin disebabkan oleh beberapa jenis obat, infeksi
virus, dan keganasan. Kokain saat ini ditambahkan dalam daftar obat yang mampu
menyebabkan sindroma ini. Hingga sebagian kasus yang terdeteksi, tidak terdapat
etiologi spesifik yang dapat diidentifikasi. Patogenesisnya belum jelas, disangka
disebabkan oleh reaksi hipersensitif tipe III dan IV. Reaksi tipe III terjadi akibat
2. Reaksi Hipersensitif Tipe IV Pada reaksi ini diperantarai oleh sel T, terjadi
pengaktifan sel T penghasil Limfokin atau sitotoksik oleh suatu antigen
sehingga terjadi penghancuran sel-sel yang bersangkutan. Reaksi yang
diperantarai oleh sel ini bersifat lambat (delayed) memerlukan waktu 14 jam
sampai 27 jam untuk terbentuknya.
MANIFESTASI KLINIS
Gejala bervariasi ringan sampai berat. Pada yang berat penderita dapat mengalami
koma. Mulainya penyakit akut dapat disertai gejala prodromal berupa demam tinggi
39-40 C, malaise, nyeri kepala, batuk, pilek dan nyeri tenggorok. Dengan segera
gejala tersebut dapat menjadi berat. Stomatitis (radang mulut) merupakan gejala
awal dan paling mudah terlihat Pada sindrom ini terlihat adanya trias kelainan
berupa:
1. Kelainan kulit Kelainan kulit terdiri atas eritema ( kemerahan pada kulit ),
vesikel (gelembung berisi cairan) dan bula (seperti vesikel namun ukurannya
lebih besar). Vesikel dan bula kemudian pecah sehingga terjadi erosi yang
luas. Disamping itu dapat juga terjadi purpura. Pada bentuk yang berat
kelainan terjadi di seluruh tubuh. Kelainan Kulit
2. Kelainan selaput lendir di orifisium Yang tersering adalah di selaput lendir
mulut (100%) kemudian disusul oleh kelainan dilubang alat genital (50%), di
lubang hidung dan anus jarang. Vesikel dan bula yang pecah menjadi erosi
dan ekskoriasi dan krusta kehitaman. Juga dapat membentuk
pseudomembran. Kelainan yang tampak di bibir adalah krusta berwarna
hitam yang tebal. Kelainan dapat juga menyerang saluran pencernaan bagian
atas (faring dan esofagus) dan saluran nafas atas. Keadaan ini dapat
menyebabkan penderita sukar/tidak dapat menelan dan juga sukar bernafas.
Kelainan Mulut
3. Kelainan mata Kelainan mata merupakan 80% diantara semua kasus, yang
tersering adalah konjungtivitis kataralis (radang konjungtiva). Dan yang
terparah menyebabkan kebutaan. Disamping kelainan tersebut terdapat juga
kelainan lain seperti radang ginjal, dan kelainan pada kuku.
SSJ dan TEN biasanya mulai dengan gejala prodromal berkisar antara 1-14 hari
berupa demam, malaise, batuk, korizal, sakit menelan, nyeri dada, muntah, pegal
otot dan atralgia yang sangat bervariasi dalam derajat berat dan kombinasi gejala
tersebut. Kemudian pasien mengalami ruam datar berwarna merah pada muka dan
batang tubuh, sering kali kemudian meluas ke seluruh tubuh dengan pola yang
tidak rata. Daerah ruam membesar dan meluas, sering membentuk lepuh pada
tengahnya. Kulit lepuh sangat longgar, dan mudah dilepas bila digosok. Secara
khas, proses penyakit dimulai dengan infeksi nonspesifik saluran napas atas
Lesi mukokutaneus berkembang cepat. Kelompok lesi yang berkembang akan
bertahan dari 2-4 minggu. Lesi tersebut bersifat nonpruritik. Riwayat demam atau
perburukan lokal harus dipikirkan ke arah superinfeksi, demam dilaporkan terjadi
sampai 85% dari seluruh kasus.
Gejala pada membran mukosa oral dapat cukup berat sehingga pasien tidak dapat
makan dan minum. Pasien dengan gejala genitourinari dapat memberi keluhan
disuria. Riwayat penyakit SSJ atau eritema multiforme dapat ditemukan. Rekurensi
dapat terjadi apabila agen yang menyebabkan tidak tereliminasi atau pasien
mengalami pajanan kembali.
Pada TEN, bagian kulit yang luas mengelupas, sering hanya dengan sentuhan
halus. Pada banyak orang, 30 persen atau lebih permukaan tubuh hilang. Daerah
kulit yang terpengaruh sangat nyeri dan pasien merasa sangat sakit dengan panasdingin dan demam. Pada beberapa orang, kuku dan rambut rontok (Adithan, 2006).
Kehilangan kulit dalam TEN serupa dengan luka bakar yang gawat dan samasama berbahaya. Cairan dan elektrolit dalam jumlah yang sangat besar dapat
merembes dari daerah kulit yang rusak. Daerah tersebut sangat rentan terhadap
infeksi, yang menjadi penyebab kematian utama akibat TEN.
Mengenal gejala awal SSJ dan segera periksa ke dokter adalah cara terbaik untuk
mengurangi efek jangka panjang yang dapat sangat mempengaruhi orang yang
mengalaminya. Gejala awal termasuk (Mansjoer, 2002) :
Ruam
Lepuh dalam mulut, mata, kuping, hidung atau alat kelamin
Kulit berupa eritema, papel, vesikel, atau bula secara simetris pada hampir
seluruh tubuh.
Mukosa berupa vesikel, bula, erosi, ekskoriasi, perdarahan dan kusta
berwarna merah. Bula terjadi mendadak dalam 1-14 hari gejala prodormal,
muncul pada membran mukosa, membran hidung, mulut, anorektal, daerah
vulvovaginal, dan meatus uretra. Stomatitis ulseratif dan krusta hemoragis
merupakan gambaran utama.
Bengkak di kelopak mata, atau mata merah.
Pada mata terjadi: konjungtivitis (radang selaput yang melapisi permukaan
dalam kelopak mata dan bola mata), konjungtivitas kataralis ,
blefarokonjungtivitis, iritis, iridosiklitis, simblefaron, kelopak mata edema dan
sulit dibuka, pada kasus berat terjadi erosi dan perforasi kornea yang dapat
menyebabkan kebutaan. Cedera mukosa okuler merupakan faktor pencetus
yang menyebabkan terjadinya ocular cicatricial pemphigoid, merupakan
inflamasi kronik dari mukosa okuler yang menyebabkan kebutaan. Waktu
yang diperlukan mulai onset sampai terjadinya ocular cicatricial pemphigoid
bervariasi mulai dari beberapa bulan sampai 31 tahun.
Bila mengalami dua atau lebih gejala ini, terutama bila baru mulai memakai obat
baru, segera periksa ke dokter.
DIAGNOSIS
Anamnesis mempunyai peranan yang sangat penting dalam menegakkan diagnosa
penyakit.Anamnesis diperoleh dari hasil wawancara antara dokter gigi dengan
penderita atau keluarga penderita yang mengetahui keadaan pasien secara
keseluruhan. Seorang dokter harus menguasai cara melakukan anamnesis yang
baik sehingga dapat mengarahkan dan menganalisis jawaban-jawaban pasien untuk
memperoleh suatu kesimpulan yang merupakan penegakkan diagnosis dari
sindrom Stevens-Johnson.
Anamnesis yang dilakukan meliputi keluhan utama, riwayat penyakit yang sedang
dan pernah diderita baik penyakit umum maupun khusus, riwayat keluarga,riwayat
pemakaian obat baik topikal ataupun sistemik.
Diagnosis ditujukan terhadap manifestasi yang sesuai dengan trias kelainan kulit,
mukosa, mata, serta hubungannya dengan faktor penyebab yang secara klinis
terdapat lesi berbentuk target, iris atau mata sapi, kelainan pada mukosa, demam.
Selain itu didukung pemeriksaan laboratorium antara lain pemeriksaan darah tepi,
pemeriksaan imunologik, biakan kuman serta uji resistensi dari darah dan tempat
lesi, serta pemeriksaan histopatologik biopsi kulit.
Anemia dapat dijumpai pada kasus berat dengan perdarahan, leukosit biasanya
normal atau sedikit meninggi, terdapat peningkatan eosinofil. Kadar IgG dan IgM
dapat meninggi, C3 dan C4 normal atau sedikit menurun dan dapat dideteksi
adanya kompleks imun beredar. Biopsi kulit direncanakan bila lesi klasik tak ada.
Imunoflurosesensi direk bisa membantu diagnosa kasus-kasus atipik.
Pemeriksaan laboratorium :
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang dapat membantu dokter dalam
diagnose selain pemeriksaan biopsy.
Pemeriksaan darah lengkap dapat menunjukkan kadar sel darah putih yang
normal atau leukositosis non spesifik, penurunan tajam kadar sel darah putih
dapat mengindikasikan kemungkinan infeksi bacterial berat.
Imunofluoresensi banyak membantu membedakan sindrom Steven Johnson
dengan panyakit kulit dengan lepuh subepidermal lainnya. Menentukan
fungsi ginjal dan mengevaluasi adanya darah dalam urin.
Pemeriksaan elektrolit
Kultur darah, urine, dan luka, diindikasikan ketika dicurigai terjadi infeksi.
Pemeriksaan bronchoscopy, esophagogastro duodenoscopy (EGD), dan
kolonoskopi dapat dilakukan.
Imaging studies :
Chest radiography untuk mengindikasikan adanya pneumonitis. Pemeriksaan
histopatologi dan imunohistokimia dapat mendukung ditegakkannya
diagnose (Adithan, 2006).
DIAGNOSIS BANDING
TATA LAKSANA
Kortikosteroid
Bila keadaan umum baik dan lesi tidak menyeluruh cukup diobati dengan
prednisone 30-40 mg sehari. Namun bila keadaan umumnya buruk dan lesi
menyeluruh harus diobati secara tepat dan cepat. Kortikosteroid merupakan
tindakan file-saving dan digunakan deksametason intravena dengan dosis
permulaan 4-6 x 5 mg sehari. Umumnya masa kritis diatasi dalam beberapa hari.
Pasien steven-Johnson berat harus segera dirawat dan diberikan deksametason 65
mg intravena. Setelah masa krisis teratasi, keadaan umum membaik, tidak timbul
lesi baru, lesi lama mengalami involusi, dosis diturunkan secara cepat, setiap hari
diturunkan 5 mg. Setelah dosis mencapai 5 mg sehari, deksametason intravena
diganti dengan tablet kortikosteroid, misalnya prednisone yang diberikan keesokan
harinya dengan dosis 20 mg sehari, sehari kemudian diturunkan lagi menjadi 10 mg
kemudian obat tersebut dihentikan. Lama pengobatan kira-kira 10 hari.
Seminggu setelah pemberian kortikosteroid dilakukan pemeriksaan elektrolit
(K, Na dan Cl). Bila ada gangguan harus diatasi, misalnya bila terjadi hipokalemia
diberikan KCL 3 x 500 mg/hari dan diet rendah garam bila terjadi hipermatremia.
Untuk mengatasi efek katabolik dari kortikosteroid diberikan diet tinggi
protein/anabolik seperti nandrolok dekanoat dan nanadrolon. Fenilpropionat dosis
25-50 mg untuk dewasa(dosis untuk anak tergantung berat badan).Antibiotik Untuk
mencegah terjadinya infeksi misalnya bronkopneumonia yang dapat menyebabkan
kematian, dapat diberi antibiotic yang jarang menyebabkan alergi, berspektrum
luas dan bersifat bakteriosidal misalnya gentamisin dengan dosis 2 x 80 mg.
Infus dan tranfusi darah Pengaturan keseimbangan cairan/elektrolit dan
nutrisi penting karena pasien sukar atau tidak dapat menelan akibat lesi dimulut
dan tenggorokan serta kesadaran dapat menurun. Untuk itu dapat diberikan infus
misalnya glukosa 5 % dan larutan Darrow. Bila terapi tidak memberi perbaikan
dalam 2-3 hari, maka dapat diberikan transfusi darah sebanyak 300 cc selama 2
hari berturut-turut, terutama pada kasus yang disertai purpura yang luas. Pada
kasus dengan purpura yang luas dapat pula ditambahkan vitamin C 500 mg atau
1000 mg intravena sehari dan hemostatik.
Topikal
Terapi topical untuk lesi di mulut dapat berupa kenalog in orabase. Untuk lesi di kulit
yang erosif dapat diberikan sufratulle atau krim sulfadiazine perak
Pada umumnya penderita SSJ datang dengan keadan umum berat sehingga
terapi yang diberikan biasanya adalah :
Cairan dan elektrolit, serta kalori dan protein secara parenteral.
Antibiotik spektrum luas, selanjutnya berdasarkan hasil biakan dan uji
resistensi kuman dari sediaan lesi kulit dan darah.
Kotikosteroid parenteral: deksamentason dosis awal 1mg/kg BB bolus,
kemudian selama 3 hari 0,2-0,5 mg/kg BB tiap 6 jam. Penggunaan steroid
sistemik masih kontroversi, ada yang mengganggap bahwa penggunaan
steroid sistemik pada anak bisa menyebabkan penyembuhan yang lambat
dan efek samping yang signifikan, namun ada juga yang menganggap
steroid menguntungkan dan menyelamatkan nyawa.
Antihistamin bila perlu. Terutama bila ada rasa gatal. Feniramin hidrogen
maleat (Avil) dapat diberikan dengan dosis untuk usia 1-3 tahun 7,5
mg/dosis, untuk usia 3-12 tahun 15 mg/dosis, diberikan 3 kali/hari.
Sedangkan untuk setirizin dapat diberikan dosis untuk usia anak 2-5 tahun :
2.5 mg/dosis,1 kali/hari; > 6 tahun : 5-10 mg/dosis, 1 kali/hari. Perawatan
kulit dan mata serta pemberian antibiotik topikal.
Bula di kulit dirawat dengan kompres basah larutan Burowi.
Tidak diperbolehkan menggunakan steroid topikal pada lesi kulit
Lesi mulut diberi kenalog in orabase.
Terapi infeksi sekunder dengan antibiotika yang jarang menimbulkan alergi,
berspektrum luas, bersifat bakterisidal dan tidak bersifat nefrotoksik,
misalnya klindamisin intravena 8-16 mg/kg/hari intravena, diberikan 2
kali/hari.
Farmakologi
Penggunaan kortikosteroid sangat diperdebatkan. Obat ini menjadi andalan di
beberapa unit, peneliti bur lain mempertimbangkan kortikosteroid sistemik untuk
memprovokasi penyembuhan luka lama, peningkatan risiko infeksi, menutupi tandatanda awal sepsis, perdarahan gastrointestinal berat dan kematian
meningkat.Sebuah tinjauan literatur menunjukkan hanya seri pasien dan tidak ada
uji klinis acak.Beberapa artikel melaporkan manfaat kortikosteroid: Tegelberg
digunakan 400 atau 200 mg prednison / hari, secara bertahap berkurang selama 4
sampai 6 minggu, dan mengamati kematian tunggal di antara delapan pasien. Lain
mengklaim seri juga hasil yang sangat baik tetapi diagnosis SJS-TEN itu
diperdebatkan untuk sebagian besar kasus. Dalam dua studi retrospektif, ada
perbedaan dalam angka kematian atau komplikasi infeksi tercatat pada pasien yang
menerima steroid sebelum atau setelah rujukan.Sebaliknya, penelitian lain
mengklaim bahwa penggunaan kortikosteroid adalah merugikan. Tiga puluh pasien
dengan SJS atau TEN dilibatkan dalam studi prospektif terkontrol. 15 pertama
pasien menerima kortikosteroid dan tingkat mortalitas adalah 66%. Oleh karena itu,
15 selanjutnya pasien diobati tanpa corticoids dan tingkat kematian adalah 33%.
Kedua kelompok adalah serupa dalam aspek-aspek lainnya dijelaskan.. Namun, 11
dari 15 pasien tanpa kortikosteroid telah menerima kortikosteroid sebelum
rujukan. Jadi tidak ada kesimpulan dapat dibuat tentang administrasi awal eksklusif
kortikosteroid. Dalam sebuah penelitian retrospektif, analisis multivariat faktor
prognostik menunjukkan bahwa terapi kortikosteroid merupakan faktor independen
untuk kematian meningkat seri lain memberikan kesimpulan yang sama.
Selain itu, banyak TEN kasus terjadi selama pengobatan dengan
kortikosteroid dosis tinggi untuk penyakit yang sudah ada sebelumnya.
Kesimpulannya, hari ini, menurut sebagian besar penulis, kortikosteroid
sistemik manfaat terbukti dalam bentuk awal dan jelas merusak dalam bentuk maju
TEN / SJS.
Imunoglobulin intravena (IVIG)
Satu uji klinis terkontrol menunjuk usefullness mungkin IVIG. Hal ini
didasarkan pada dalam demonstrasi imunoglobulin intravena in vitro yang dapat
menghambat Fas-Fas ligan apoptosis dimediasi. Sepuluh pasien berturut-turut
dengan TEN keparahan moderat diobati dengan dosis berbeda dari IVIG (0.2 hingga
0,75 g / kg berat badan per hari selama empat hari berturut-turut); semua selamat.
Namun, tidak ada uji klinis acak dipublikasikan di ini, dan penulis lainnya belum
memperoleh hasil yang sama. Evaluasi rasional dari manfaat pengobatan ini saat ini
tidak dapat dilakukan.
Agen imunomodulasi Beberapa laporan kasus menyatakan manfaat dari
plasmaferesis untuk pengobatan TEN / SJS. Namun, menurut sebuah sidang terbuka
(8 pasien berturut-turut dengan kontrol historis), pertukaran plasma tidak
menghasilkan perbedaan yang signifikan dalam mortalitas, lama tinggal di rumah
sakit, atau waktu untuk re-epitelisasi Siklofosfamid itu. Juga diusulkan. Delapan
pasien dengan TEN dirawat oleh hanya (dosis awal: 300 mg per hari) siklofosfamid;
semua selamat seri lain tidak ditafsirkan, pada rekening terapi bersamaan dengan
cyclophosphamide dan kortikosteroid.. Anekdot, beberapa kasus yang diinduksi
siklofosfamid TEN dilaporkan, satu termasuk tes rechallenge positif.
Dalam sebuah studi komparatif retrospektif, siklosporin aman dan dikaitkan
dengan tingkat re-epitelisasi lebih cepat dan tingkat kematian yang lebih rendah
(0 / 11 vs 3 / 6) dibandingkan pengobatan dengan cyclophosphamide dan
kortikosteroid.Siklosporin juga telah menerima perhatian sebagai obat yang
berguna untuk pengobatan TEN, bagaimanapun, penyelidikan lebih lanjut
diperlukan untuk mengevaluasi nilai riil siklosporin.N-acetylcysteine NAC
meningkatkan pembersihan beberapa obat dan metabolitnya dan in vitro
menghambat produksi TNF-oc dan IL-aku P. Kami tidak menemukan bukti efektivitas
klinis di TEN. Sebuah uji coba secara acak telah menunjukkan kurangnya efektivitas
NAC dalam pencegahan reaksi hipersensitivitas terhadap trimetoprimsulfametoksazol pada pasien dengan infeksi HIV. Selain itu, dosis tinggi dapat
menonaktifkan NAC bukan hanya obat pelakunya, tetapi juga obat lain, berpotensi
berguna untuk pasien.
Thalidomide
Thalidomide telah diusulkan sebagai pengobatan TEN karena merupakan inhibitor
poten TNF- tindakan. Obat ini diuji dalam uji klinis acak-satunya yang pernah
diterbitkan di TEN. Ini adalah double-blind, acak, studi plasebo-terkontrol, rejimen
ini kursus 5-hari thalidomide 400 mg sehari. Penelitian ini dihentikan setelah
masuknya hanya 22 pasien karena ada kelebihan signifikan dijelaskan kematian
pada kelompok thalidomide (10 dari 12 pasien meninggal, dibandingkan dengan 3
dari 10 di kelompok plasebo). Berdasarkan percobaan yang unik, thalidomide
tampaknya merugikan dalam TEN.
Gizi
Untuk gizi pasien SSJ sebaiknya diberikan makanan tinggi kalori dan protein. Dalam
hal ini jika pasien mengalami kesulitan menelan maka bisa diberikan nutrisi
parenteral.
KOMPLIKASI
Oftalmologi -- ulserasi kornea, uveitis anterior, panophthalmitis, kebutaan
Gastroenterologi --Esophageal strictures
Genitourinaria -- nekrosis tubular ginjal, gagal ginjal,penile scarring , stenosis
vagin
Bronkopneumonia
Kutaneua -- timbulnya jaringan parut dan kerusakan kulit permanen, infeksi
kulitsekunde
Infeksi sitemik, sepsis
Kehilangan cairan tubuh, syok
PROGNOSIS
Bila tindakan penanganan yang cepat dan tepat, prognosis cukup baik
Bila terdapat purpura yang luas dan leukopenia prognosis nya buruk
Bronkopneumonia prognosis juga buruK
Pada kasus yang tidak berat, prognosisnya baik
penyembuhan terjadi dalamwaktu 2-3 minggu.
Kematian berkisar antara 5-15% pada kasus berat dengan berbagai
komplikasi atau pengobatan terlambat dan tidak memadai.
Kematian biasanya disebabkan oleh gangguan keseimbangan cairan dan
elektrolit, bronkopneumonia, serta sepsis
ASMA
KLASIFIKASI
Asma dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologi, berat penyakit dan pola
keterbatasan aliran udara. Klasifikasi berdasarkan berat penyakit penting bagi
pengobatan dan perencanaan penatalaksanaan jangka panjang, semakin berat
asma semakin tinggi tingkat pengobatan.
Tabel klasifikasi derajat asma menurut periode timbulnya asma
Derajat asma
Gejala
Gejala malam
Intermitten
Bulanan
Gejala <
1x/minggu
Tanpa gejala
diluar
serangan
Serangan
singkat
Mingguan
Gejala >
1x/minggu
tetapi <
1x/hari
Serangan dpt
mengganggu
aktivitas dan
tidur
Harian
Gejala setiap
hari
Serangan
mengganggu
aktivitas dan
tidur
membutuhkan
bronkodilator
setiap hari
Kontinua
Gejala terus
menerus
Sering kambuh
Aktivitas fisik
terbatas
2x/bulan
Persisten
ringan
Persisten
sedang
Persisten
berat
Faal paru
> 2x/bulan
> 1x/minggu
Sering
APE 80%
VEP1 80% nilai
prediksi APE
80% nilai terbaik
Variabilitas APE <
20%
APE 60-80%
VEP1 60-80% nilai
prediksi APE 6080% nilai terbaik
Variabilitas APE >
30%
APE 60%
VEp1 60% nilai
prediksi 60%
nilai terbaik
Variabilitas APE >
30%
ringan
Sedang
Berat
Sesak
Berjalan
Bayi:
menangis
Berbicara
Bayi: tangis
pendek dan
Istirahat
Bayi: tidak
mau
Ancaman henti
napas
keras
lemah
makan/minum
Posisi
Bias
berbaring
Lebih suka
duduk
Bicara
kalimat
Kesadara
n
Sianosis
Wheezing
Mungkin
irritable
Tidak ada
Sedang,
hanya pada
akhir respirasi
Penggal
kalimat
irritable
Duduk
bertopang
lengan
Kata-kata
Pengguna
an otot
bantu
Retraksi
Biasanya
tidak
Bisanya iya
Dangkal,
retraksi
interkosta
Sedang,
+retraksi
suprasternal
Frek.
Napas
takipneu
Takipneu
Tidak ada
Nyaring,
sepanjang
ekspirasai
iritable
kebingungan
ada
Sangat
nyaring,
terdengar
tanpa
stetoskop
iya
Nyata
Sulit/ tidak
terdengar
Dalam,
ditambah
napas cuping
hidung
Takipneu
Gerakan
thorakoabdomi
nalis
Dangkal/hilang
Takipneu
DIAGNOSIS
Studi epidemiologi menunjukkan bahwa asma tidak terdiagnosis di seluruh dunia,
disebabkan berbagai hal antara lain gambaran klinis yang tidak khas dan beratnya
penyakit yang sangat bervariasi, serta gejala yang bersifat episodik sehingga
penderita tidak merasa perlu berobat ke dokter. Diagnosis asma didasari oleh gejala
yang bersifat episodik, gejala berupa batuk, sesak napas, mengi, rasa berat di dada
dan variabilitas yang berkaitan dengan cuaca.
Anamnesis
Anamnesis yang baik cukup untuk menegakkan diagnosis, ditambah dengan
pemeriksaan jasmani dan pengukuran faal paru terutama reversibiltas kelainan faal
paru akan lebih meningkatkan nilai diagnostik.
Riwayat penyakit atau gejala:
Bersifat episodik, seringkali reversibel dengan atau tanpa pengobatan.
Gejala berupa batuk berdahak, sesak napas, rasa berat di dada.
Gejala timbul/memburuk terutama malam/dini hari.
Diawali oleh factor pencetus yang bersifat individu.
Responsif terhadap pemberian bronkodilator.
Hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam riwayat penyakit
1.
2.
3.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
tidak respons (masih terdapat gejala asma atau gangguan tidur atau
aktivitas sehari-hari), maka dilanjutkan dengan tahap kedua, yaitu
menaikkan dosis steroid hirupan sampai dengan 400g/hari, yang
termasuk dalam tata laksana asma persisten.
Prinsip pengobatan adalah: jika tata laksana suatu derajat penyakit
asma sudah sesuai dengan panduan, namun respon tetap tidak baik
dalam 6-8 minggu, maka derajat tata laksana berpindah ke yang lebih
berat (step-up). Sebaliknya jika asmanya terkendali dalam 6-8 minggu,
maka derajatnya beralih ke yang lebih ringan (step-down). Bila
memungkinkan, steroid hirupan dihentikan penggunaannya.
Catatan: sebelum melakukan step-up, perlu dievaluasi (1) pelaksanaan
penghindaran pencetus, (2) cara penggunaan obat, dan (3) penyakit
penyerta yang mempersulit pengendalian asma (seperti rinitis dan
sinusitis).
Asma Persisten
Cara pemberian steroid hirupan apakah dimulai dari dosis tinggi ke
rendah selama gejala masih terkendali, atau sebaliknya dimulai dari dosis
rendah ketinggi hingga gejala dapat dikendalikan, tergantung pada
kasusnya. Dalam keadaan tertentu, khususnya pada anak dengan
penyakit berat, dianjurkan untuk menggunakan dosis tinggi dahulu,
disertai steroid oral jangka pendek (3-5 hari). Selanjutnya dosis steroid
hirupan diturunkan sampai dosis terkecil yang masih optimal. Setelah
pemberian steroid hirupan dosis rendah tidak mempunyai respons yang
baik, diperlukan terapi alternatif pengganti, yaitu meningkatkan steroid
menjadi dosis medium atau tetap steroid hirupan dosis rendah ditambah
dengan LABA (long acting beta-2 agonist) atau ditambahkan teophylline
slowrelease (TSR) atau ditambahkan anti-leukotriene receptor (ALTR).
Dosis medium adalah setara dengan 200-400 g/hari budosenid (100-200
g/hariflutikason) untuk anak berusia kurang dari 12 tahun, dan 400-600
g/hari budosenid (200-300 g/hari flutikason) untuk anak berusia di atas
12 tahun. Apabila dengan pengobatan lapis kedua selama 6-8 minggu
tetap terdapat gejala asma, maka dapat diberikan alternatif lapis ketiga,
yaitu dapat meningkatkan dosis kortikosteroid sampai dengan dosis tinggi,
atau tetap dosis medium ditambahkan dengan LABA, atau TSR, atau ALTR.
Yang dimaksud dosis tinggi adalah setara dengan > 400 g/hari budesonid
(> 200 g/hari flutikason), untuk anak berusia kurang dari 12 tahun, dan
> 600 g/hari budesonid (> 300 g/hari flutikason) untuk anak berusia di
atas 12 tahun.
Penambahan LABA pada steroid hirupan dibuktikan dapat memperbaiki
FEV1, menurunkan gejala asma, dan memperbaiki kualitas hidup. Apabila
dosissteroid hirupan sudah mencapai > 800g/hari namun tidak mencapai
respon, maka baru menggunakan steroid oral (sistemik). Jadi penggunaan
kortikosteroidoral sebagai controller (pengendali) adalah jalan terakhir.
Langkah ini diambil hanya bila bahaya dari asmanya lebih besar daripada
bahaya efek samping obat. Sebagai dosis awal, steroid oral dapat
diberikan 1-2 mg/kgBB/hari. Dosis kemudian diturunkan sampai dosis
terkecil yang diberikan selang hari pada pagihari.
Pemberian antileukotrien (zafirlukas) dikontra indikasikan pada
kelainan hati. Pemberian obat anti histamin generasi baru non sedatif
(misalnya setirizindan ketotifen), dipertimbangkan pada anak dengan
asma yang disertai rinitis.
Cara Pemberian Obat
Cara pemberian obat asma harus disesuaikan dengan umur anak,
karena perbedaan kemampuan menggunakan alat inhalasi. Perlu
dilakukan pelatihan yang benar dan berulang kali.
Umur
Alat Inhalasi
<
2
Nebuliser (alat uap)
MDI (Metered Dose Inhaler) dengan spacer
t
Aerochamber
a
Babyhaler
h
u
n
5-8
t
a
h
u
n
>
8
Nebuliser
DPI
t
MDI tanpa spacer
a
MDI dengan spacer
h
u
n
Pemakaian
alat
perenggang
(spacer)
mengurangi
deposisi
(penumpukan) obat dalam mulut (orofaring), sehingga mengurangi jumlah
obat yang tertelan, dan mengurangi efek sistemik. Deposisi
(penyimpanan) dalam paru pun lebih baik, sehingga didapatkan efek
terapetik (pengobatan) yang baik. Obat hirupan dalam bentuk bubuk
kering (DPI = Dry Powder Inhaler) seperti Spinhaler, Diskhaler, Rotahaler,
Turbuhaler, Easyhaler, Twisthaler
memerlukan inspirasi (upaya menarik/menghirup napas) yang kuat.
Umumnya bentuk ini dianjurkan untuk anak usia sekolah.
TERAPI INHALASI
Pengobatan asma bertujuan untuk menghentikan serangan asma
secepat mungkin, serta mencegah serangan berikutnya, ataupun bila