Beruflich Dokumente
Kultur Dokumente
contents
1 Contents
3 Instruction for Authors
3
9
14
17
LEADING ARTICLE
Hipertensi
Peran Erdostein Pada Penyakit Paru Obstruktif Kronik
Profil Produk Canderin
Profil Produk Vectrine
Contribution
Medicinus Editors accept participation in
form of writings, photographs and other
materials in accordance with the mission of
this journal. Editors reserve the right to edit
or modify the writings, particulary redactionally without changing the content of the
published articles, if necessary.
Ralat
MEDICINUS edisi Juli 2011, di artikel Research yang berjudul New concept in
the treatment of Premenstrual Syndrome using Bioactive Fraction DLBS1442, di
halaman 24, paragraf terakhir, seharusnya ditambahkan kalimat:
Of relevance to the properties of DLBS1442 in regulating hormone receptors and
antiinflammatory genes, it is suggested that this agent can be used as a plausible
treatment for decreasing the occurrence of PMS.
MEDICINUS
MEDICINUS
Ringsven MK, Bond D. Gerontology and leadership skills for nurses. 2nd ed. Albany (NY):Delmar Publishers; 1996
13. Editor(s), compiler(s) as author
Norman IJ, Redfern SJ, editors. Mental health care for eldery people. New York:Churchill Livingstone; 1996
14. Organization(s) as author
Institute of Medicine (US). Looking at the future of the medicaid
program. Washington:The Institute; 1992
15. Chapter in a book
Note: This Vancouver patterns according to the page marked with
p, not a colon punctuation like the previous pattern).
Phillips SJ, Whisnant JP. Hypertension and stroke. In: Laragh JH,
Brenner BM, editors. Hypertension: Patophysiology, Diagnosis
and Management. 2nd ed. New York:Raven Press; 1995.p.465-78
16. Conference proceedings
Kimura J, Shibasaki H, editors. Recent Advances in clinical neurophysiology. Proceedings of the 10th International Congress of
EMG and Clinical Neurophysiology; 1995 Oct 15-19; Kyoto, Japan.
Amsterdam:Elsevier; 1996
17. Conference paper
Bengstsson S, Solheim BG. Enforcement of data protection, privacy and security in medical information. In: Lun KC, Degoulet P,
Piemme TE, editors. MEDINFO 92. Proceedings of the 7th World
Congress on Medical Informatics; 1992 Sep 6-10; Geneva, Switzerland. Amsterdam:North-Hollan; 1992.p.1561-5
18. Scientific or technical report
Issued by funding/sponsoring agency:
Smith P, Golladay K. Payment for durable medical equipment billed
during skilled nursing facility stays. Final report. Dallas(TX):Dept.
of Health and Human Services (US), Office of Evaluation and Inspections; 1994 Oct. Report No.: HHSIGOEI69200860
Issued by performing agency:
Field MJ, Tranquada RE, Feasley JC, editors. Health Services Research: Work Force and Education Issues. Washington:National
Academy Press; 1995. Contract No.: AHCPR282942008. Sponsored by the Agency for Health Care Policy and Research
19. Dissertation
Kaplan SJ. Post-hospital home health care: The elderys access
and utilization [dissertation]. St. Louis (MO): Washington University; 1995
20. Newspaper article
Lee G. Hospitalizations tied to ozone pollution: study estimates
50,000 admissions annually. The Washington Post 1996 Jun 21;
Sept A:3 (col.5)
21. Audiovisual material
HIV + AIDS: The facts and the future [videocassette]. St. Louis
(MO): Mosby-Year Book; 1995
electronic material
22. Journal article on the Internet
Abood S. Quality improvement initiative in nursing homes: the
ANA acts in an advisory role. Am J Nurs [serial on the Internet].
2002 Jun [cited 2002 Aug 12]; 102(6):[about 3 p.]. Available from:
http://www.nursingworld.org/AJN/2002/june/Wawatch.htm
23. Monograph on the Internet
Foley KM, Gelband H, editors. Improving palliative care for cancer [monograph on the Internet]. Washington: National Academy
Press; 2001 [cited 2002 Jul 9]. Available from: http://www.nap.
edu/books/0309074029/html/
24. Homepage/Web site
Cancer-Pain.org [homepage on the Internet]. New York: Association of Cancer Online Resources, Inc.; c2000-01 [updated 2002
May 16; cited 2002 Jul 9]. Available from: http://www.cancerpain.org/
25. Part of a homepage/Web site
American Medical Association [homepage on the Internet]. Chicago: The Association; c1995-2002 [updated 2001 Aug 23; cited
2002 Aug 12]. AMA Office of Group Practice Liaison; [about 2
screens]. Available from: http://www.ama-assn.org/ama/pub/
category/1736.html
26. CD-ROM
Anderson SC, Poulsen KB. Andersons electronic atlas of hematology [CD-ROM]. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins;
2002
leading article
Hipertensi
Dharmeizar
PENDAHULUAN
Tekanan darah arteri sistemik, dihasilkan oleh kontraksi ventrikel kiri dan resistensi dari arteri dan
arterial. Tekanan darah sistolik terjadi saat jantung memompakan darah ke sirkulasi sistemik, sedangkan tekanan darah diastolik terjadi saat pengisian darah ke jantung. Selisih antara tekanan darah
Sistolik (TDS) dan tekanan darah diastolik (TDD), disebut tekanan nadi. Tekanan darah dikontrol oleh
cardiac output (CO), dan resistensi perifer total, serta bergantung kepada jantung, pembuluh darah,
volume cairan ekstraseluler, ginjal, sistem syaraf, dan faktor humoral. CO ditentukan oleh stroke volume (isi sekuncup) dan frekuensi denyut jantung (heart rate).
Sumber: William B. Pharmacologic Treatment of Hypertension In: Comprehensive Clinical Nephrology 4th ed.
Floege J, Johnson RJ, Feehally J (eds). Elsevier Sanders, St. Louis, Missouri 2010: 430-444
Resistensi perifer total diatur oleh suatu mekanisme interaktif yang kompleks, meliputi aktifitas
baroreseptor dan sistem saraf simpatis, respons terhadap substansi neurohumoral dan faktor-faktor
endotel, respons miogenik dan proses interseluler.
MEDICINUS
leading article
DEFINISI
Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah secara menetap 140/90 mmHg. Klasifikasi hipertensi
dari JNC (the Joint National Committee) VII dan ESH (The European Society of Hypertension) 2007,
dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
Tabel 1. Klasifikasi tekanan darah dari JNC VII untuk dewasa
Sheet1
Tekanan Darah
Normal
Prehipertensi
Hipertensi
TDS (mmHg)
<120
120-139
dan
atau
TDD (mmHg)
<80
80-89
- Stage 1
140-159
atau
90-99
- Stage 2
160
atau
100
Sheet1
Kategori
Normotensi
- Optimal
- Normal
- Normal Tinggi
Hipertensi
- Grade 1 (ringan)
- Grade 2 (moderat)
- Grade 3 (berat)
140-159/ 90-99
160-179/ 100-109
>180/ >110
- Hipertensi Sistolik
Terisolasi
>140/ <90
MEDICINUS
Page 1
leading article
>75 tahun, masing-masing mencapai 53,7%, 63,5%, dan 67,3%. Riset ini juga menunjukkan bahwa
sebanyak 76% kasus hipertensi dalam masyarakat belum terdiagnosis.
JENIS HIPERTENSI
Umumnya hipertensi dapat dibagi dalam 2 jenis yaitu hipertensi primer (esensial) dan hipertensi
sekunder.
Hipertensi Primer (esensial). Hipertensi yang penyebabnya tak diketahui pasti. Jenis hipertensi ini
ditemukan pada 90%-95% dari seluruh kasus hipertensi. Beberapa faktor risiko yang dihubungkan
dengan hipertensi primer (esensial) ialah faktor genetik, kelebihan asupan natrium, obesitas, dislipidemia, asupan alkohol yang berlebih, aktifitas fisik yang kurang, dan defisiensi vitamin D.
Hipertensi Sekunder. Hipertensi yang penyebabnya dapat diidentifikasi. Ditemukan pada 5%-10%
dari seluruh kasus hipertensi. Beberapa keadaan yang dapat menyebabkan hipertensi sekunder
ialah penyakit ginjal primer, kontrasepsi oral, obat-obatan (al. NSAID, antidepresan, steroid), hiperaldosteronisme primer, feokromonistoma, stenosis arteri renalis, koarktasi aorta, dan obstructive sleep
apnea.
EVALUASI
Pasien dengan hipertensi harus dievaluasi sebagai berikut:
(1) Riwayat penyakit (kapan mulai, gejala yang dirasakan, obat-obat yang diminum, termasuk kontrasepsi oral, keterlibatan organ target, hipertensi dalam keluarga, serta adanya faktor-faktor risiko lain dan
penyakit kardiovaskuler); (2)Pemeriksaan fisik, yang bertujuan untuk mengevaluasi adanya kerusakan
organ target dan terdapatnya penyebab hipertensi sekunder.; (3)Pemeriksaan laboratorium, meliputi
hematokrit, urinalisis, gula darah, kreatinin serum, laju filtrasi glomerulus (eGFR), profil lipid (kolesterol
total, LDL, HDL, trigliserid), dan EKG.; (4)Beberapa pemeriksaan lain yaitu; Mikroalbuminuria bila didapatkan DM; Ekokardiografi bila pada EKG ditemukan hipertrofi ventrikel kiri, atau iskemia miokard, atau
pada hipertensi borderline; Elektrolit urin, analisis gas darah, aldosteron plasma, MRI abdomen bila
dicurigai hiperaldosteronisme primer; MRA arteri renalis bila dicurigai adanya stenosis arteri renalis
PENGOBATAN
Dari berbagai penelitian klinik, pengobatan dengan antihipertensi yang dibandingkan terhadap
plasebo, dapat menurunkan risiko infark miokard 25%, stroke 30%-40%, dan gagal jantung kongestif 50%.
Pengobatan nonfarmakologik. Pengobatan hipertensi harus meliputi pengobatan nonfarmakologik yang disebut juga modifikasi gaya hidup seperti terlihat pada tabel di samping ini.
Obat-obat hipertensi. Berbagai guideline dan analisis meta, menyimpulkan bahwa besarnya penurunan tekanan darah merupakan faktor utama dalam menurunkan risiko kardiovaskuler pada pasien
hipertensi, bukan jenis obat yang digunakan. Meskipun demikian terdapat beberapa keadaan atau
kondisi klinis yang mempengaruhi pemilihan obat-obat tertentu seperti terlihat pada tabel dibawah ini.
MONOTERAPI
Pada pasien-pasien hipertensi dimana tidak ada kondisi tertentu untuk pemilihan obat yang spesifik, maka obat yang dapat dipakai sebagai monoterapi adalah diuretik tiazid dosis rendah, antagonis
kalsium dihidropiridin kerja-panjang, dan ACE-I atau ARB (penghambat reseptor angiotensin II).
MEDICINUS
leading article
Disorder
General
Renovascular Disease
Oral Contraceptives
Pheochromocytoma
Primary Aldosteronism
Cushing's syndrome
Sleep Apnea Syndrome
Hypothyroidisme
Primary Hyperparathyroidism
Perbedaan respon ini kemungkinan berhubungPasien yang lebih muda mempunyai respon
an dengan kadar renin plasma yang lebih renyang lebih baik terhadap ACE-I atau ARB, dan
dah pada pasien usia lanjut. Pada pasien usia
penghambat beta (penghambat beta biasanlanjut ini indikasi spesifik pemakaian ACE-I atau
ya tidak dipilih atau tidak digunakan sebagai
ARB adalah gagal jantung, kejadian infark miomonoterapi inisial bila tidal terdapat indikasi
kard sebelumnya, DM, dan adanya penyakit ginspesifik karena kemungkinan meningkatnya
jal kronik dengan proteinuria.
kejadian kardiovaskuler, terutama pada pasien
usia lanjut). Pasien usia lanjut mempunyai re- Page 1
TERAPI KOMBINASI
spon yang lebih baik terhadap diuretik tiazid
atau antagonis kalsium dihidropiridin kerjaPemberian obat-obatan anti hipertensi dalam
panjang.
bentuk kombinasi direkomendasikan oleh be-
MEDICINUS
leading article
Modification
Weight Reduction
Adopt DASH eating plan
Recommendation
Maintain normal body weight (BMI 18,5 to 24,9 kg/m2 )
Consume in diet rich in fruits, vegetables, and low-fat dairy products
with a reduced content of saturated and total fat
Physical Activity
Moderation of Alcohol
Consumption
Limit consumption to no more than 2 drinks per day in most men and
no more than 1 drink in women and lighter-weight person
berapa guidelines seperti JNC VII (2003), British Hypertension Society (2004), dan European Societies
of Hypertension and Cardiology (2010). Pemberian dua macam obat sebagai terapi inisial disarankan
bila didapatkan tekanan darah lebih dari 20/10 mmHg diatas target tekanan darah yang ditentukan. Misalnya bila target tekanan darah adalah <140/90 mmHg, maka terapi kombinasi dapat mulai
diberikan bila pada pasien tersebut dida-patkan tekanan darah 160/100 mmHg. Saat ini dipasaran
MEDICINUS
leading article
7. Pengobatan hipertensi mempunyai target penurunan tekanan darah. Hal ini dimaksudkan
untuk mencegah terjadinya kerusakan organ
target.
REFERENSI
1.
MEDICINUS
2.
3.
4.
5.
6.
leading article
PENDAHULUAN
Paru-paru akan senantiasa terpajan oleh oksidan-oksidan yang berasal endogenik maupun eksogenik sekalipun terdapat mekanisme yang melindunginya yaitu sistem antioksidan baik yang enzimatik maupun yang non enzimatik. Stres oksidatif terjadi bvila terdapat ketidak imbangan antara
oksidan dan antioksidan, dimana oksidan lebih tinggi.1 Setiap saat berbagai jenis polutan yang terdapat di udara masuk ke dalam sistem pernapasan antara lain zat-zat biologi (bakteri, virus, polen),
fisis (berbagai macam debu, bubuk, asbes, ion-ion radiasi) atau bahan kimia seperti sulfur dioksida
(SO2), nitrogen dioksida (NO2) karbon monoksida (CO), timbal (Pb), ozon (O3) dan asap rokok.1
Mekanisme pertahanan paru untuk mengatasi berbagai polutan tersebut adalah dengan reaksi bersin, batuk, mengeluarkan mukus yang dikeluarkan oleh sel goblet, sistem mukosiliar serta makrofag
alveolar.2 Selain dari luar, radikal bebas juga diproduksi didalam paru akibat aktiviti fagosit, makrofag
alveolar (MA) dan neutrofil. Jumlah MA di saluran napas bawah meningkat pada perokok dan secara
spontan mengeluarkan oksidan, aktiviti MA juga penting sebagai sumber penghasil NO yang berperan pada kerusakan jaringan paru (gambar 1).3
Respons inflamasi akibat oksidan melibatkan berbagai sel inflamasi dan mediator inflamasi (leukotrien, prostaglandin, platelet activating factor (PAF),reactive oxygen spesies (ROS), kemokin, sitokin,
growth factor,endotelin, neuropeptidase dan protease.3,4 Pajanan asap rokok atau bahan berbahaya menyebabkan inflamasi paru dengan bertambahnya sel neutrofil, makrofag dan limfosit T
CD8+ pada dinding jalan napas dan parenkim paru. Inflamasi pada paru akan mengakibatkan stres
oksidasi dan beberapa protease dikeluarkan oleh neutrofil seperti neutrofil elastase (NE), kaptensin
G dan protease 3 mengakibatkan kerusakan parenkim berupa elastolisis yaitu hilangnya daya elastik
MEDICINUS
leading article
10
MEDICINUS
leading article
an mempunyai berbagai sistem pertahanan terhadap stres oksidatif yaitu sistem enzimatik dan
non enzimatik. Pertahanan enzimatik antara
lain superoxidismutase (SOD), katalase, glutation peroksidase/reduktase sedangkan sistem
nonenzimatik antara lain vitamin E, asam askorbat, asam urat, karoten, thiols (N-acetylcystein),
ubikuinon,transferin, albumin (gambar 3).1 Berbagai aktiviti antioksidan antara lain menurunkan konsentrasi oksigen lokal, menetralkan
aktiviti radikal bebas, menetralkan peroksida
dengan memblok aktiviti radikal bebas, menghambat reaksi terbentuknya lipoperoksidasi. Peran antioksidan golongan
thiol seperti erdostein, NAC, sistein
adalah membantu memudahkan glutathione (GSH) melintasi membran sel.
Glutathion berfungsi dalam reaksi biokimia dalam metabolisme H2O2 atau
peroksida lainnya.
MEDICINUS
11
leading article
ketiga kelompok dengan antibiotik siprofloksasin 500 mg dua kali setiap hari ditambah imunomodulator Echinacea purpura (EP) kelompok
(I), antibiotik dan EP ditambah vitamin, Se, Zn
kelompok (II) dan placebo (hanya antibiotik)
kelompok (III). Hasil yang didapat pada pasien
yang mendapatkan EP ditambah vitamin C, Se
dan Zn terjadi penurunan gejala dan lama eksaserbasi serta aktivitas antiinflamasi. Imansyah
dkk,13 ditempat yang sama memberikan Ubiquinon terhadap 30 pasien PPOK dengan dosis
60mg dua kali setiap hari selama 12 minggu.
Hasil yang didapatkan terjadi penurunan kadar
asam laktat, meningkatkan toleransi latihan dan
kualiti hidup, menurunkan eksaserbasi tetapi
tidak dapat meningkatkan kapasiti ventilasi,
peningkatan PaO2 dan penurunan PaCO2. Ubiquinon (CoQ10) berfungsi sebagai transduksi
energi biologi dan antioksidan, kadar CoQ10
serum menurun pada pasien PPOK. Pemberian
CoQ10 mempunyai efek yang menguntungkan
pada metabolisme energi otot pasien penyakit
paru kronik yang mengalami hipoksemi saat
istirahat dan atau saat aktivitas.
Nuclear erythroid 2p45 related factor 2 (NRF2)
adalah suatu faktor transkripsi, mediator respons
stres oksidasi dengan mengatur gen lebih dari
100 antioksidan dan enzim sitoprotektif. Pada
pasien PPOK mungkin terjadi penurunan aktiviti
NRF2 dan berkurangnya faktor transgenik yang
lebih berat pada emfisema serta inflamasi kronik, karena pada studi memberikan pajanan asap
rokok kronik pada mencit sebagai model PPOK
terjadi penurunan aktiviti NRF2 serta inflamasi
kronik daripada mencit yang tidak terpajan.14
Penanda stres oksidasi meningkat pada pasien
PPOK dan secara epidemiologi serta penelitian
terhadap binatang mengindikasikan bahwa antioksidan dapat mencegah kerusakan paru akibat efek asap rokok maka pemberian antioksidan
menguntungkan dan efektif pada pasien PPOK.7
Penelitian terhadap 162 PPOK perokok sehat dan
stabil serta PPOK eksaserbasi, tidak didapatkan
korelasi bermakna antara kadar malonylaldehyde
(MAD) dan eritrosit aktiviti superoxidesmutase
(SOD) dengan VEP1. hal ini mengindikasikan
bahwa terdapat faktor lain disamping keseimbangan oksidan-antioksidan yang mengakibatkan penurunan VEP1 pada pasien PPOK.15
12
MEDICINUS
KESIMPULAN
Antioksidan ada dua bentuk yaitu enzimatik
dan non enzimatik. Peran antioksidan pada penyakit paru obstruktif antara lain menurunkan
konsentrasi oksigen lokal, menetralkan aktiviti
radikal bebas, menetralkan peroksida dengan
memblok aktiviti radikal bebas, menghambat
reaksi terbentuknya lipoperoksidasi. Peran antioksidan golongan thiol seperti erdostein, NAC,
sistein adalah membantu memudahkan glutathione (GSH) melintasi membran sel sehingga
memperbaiki viskositi, elastisiti dan komposisi
biokimia mukus, meningkatkan bersihan mukosiliar serta mengurangi hipersekresi mukus,
volume ekspektoran dan sebagai antiinflamasi.
REFERENSI
1. MacNee W. Treatment of stable COPD : antioxidants. Eur Respir
Rev 2005;14:94: 12-22
2. Braga PC. Oxidative stress: Respiratory disease and thiol
compounds.1th ed. Milan: Grafiche Pacini, 2006.p.9-77.
3. Kirkham P, Rahman I. Oxidative stress in asthma and COPD: Antioxidants as a therapeutic strategy; J Pharmacology & Therapeutics 2006: 476 94.
4. Mohanty KC, Thiappanna G, Singh V, Mancini C. Evaluation of
efficacy and safety of erdostein in patients affected by exacerbation of chronic bronchitis and receiving ciprofloxacin as basic
treatment. Journal of Clinical Research 2001;4:35-9.
5. Anthonisen NR, Connett JE, Murray RP. Smooking and lung function of lung health study participants after 11 years. Am J Respir
Crit Care Med 2002;166:675-9.
6. Barnes PJ, Addock IM, Ito K. Histoneacetylation and deacetylation: importance in inflammatory lung disease. Eur Respir J 2005
;25:552-63.
7. Foronjy R, Wallace A, DArmientoP J. The pharmacokinetic limitations of antioxidant treatment for COPD.J Pulm Pharm & Therapeutics 2008: 3709.
8. Setijadi AR, Suradi, Suryanto E, Yunus F. Korelasi antara jumlah
makrofag, neutrofil dan kadar enzim MMP-9 pada cairan kurasan
bronchial perokok. J Respir Indo 2007:43-7.
9. Widiyawati IN, Suradi, Suryanto E, Yunus F. Peran N-Acetylcysteine dosis tinggi jangka pendek pada perubahan klinis dan
kadar C-Reactive Protein penderita PPOK eksaserbasi akut di
RSUD Dr. Moewardi Surakarta.J Respir Indo 2007:186-96.
10. Subrata G. High dose N-Acetylcysteine for Interstitial Pulmonary
Fibrosis. Presented at: 13TH Congress of APSR & 2nd Joint Congress of APSR/ACCP. Queen Sirikit National Convention Center,
Thailand, Bangkok 19-22 November 2008.
11. Rahmawati I, Mangunnegoro H, Yunus F. Peran erdostein pada
PPOK eksaserbasi yang mendapatkan levofloksasin, evaluasi efikasi dan keamanan.J Respir Indo 2007:85-90.
12. Isbaniah F, Wiyono WH, Yunus F, Setiawati S, Totzke U, Verbruggen MA. Echinacea purpurea along with zinc, selenium and
vitamin C to alleviate exacerbations of chronic obstructive pulmonary disease : results from a randomized controlled trial. J of
Clin Pharm and Ther 2010: 1-9
13. Imansyah B, Yunus F, Wiyono WH. Efek pemberian UBIQUINON
pada penyakit paru obstruktif kronik. J Respir Indo 2008:206-18.
14. Sussan TE, Rangasamy T, Blake DJ, Malhotra D, El-Haddad H, Bedja D et all. Targeting Nrf2 with the triterpenoid CDDO imidazolide
attenuates cigarette smoke-induced emphysema and cardiac
dysfunction in mice. Proc Natl Acad Sci USA 2009;106(1):250-5.
15. Hanta I, Kocabas A, Canacankatan N, Kuleci S, Seydaoglu G.
OxidantAntioxidant Balance in Patients with COPD. Lung
2006:515.
MEDICINUS
13
Sekilas Produk
canderin
PENDAHULUAN1,2,3
JNC-7, ADA-2003, NKF-K/DOQI merekomendasikan pemilihan obat antihipertensi golongan
ACE-I, ARB sebagai pilihan pertama. Rekomendasi ini didasarkan dari bukti penelitian klinik
yang mendukung hasil penelitian dengan hasil
mampu menghambat peningkatan kreatinin,
menurunkan ekskresi albumin/protein pada
pasien hipertensi dengan atau tanpa diabetes
melitus sehingga komplikasi kardiovaskuler dapat dihambat.
ARB memblokade ikatan Ang II dengan reseptor
AT1 maka aktivitas reseptor AT1 diblok sedang
reseptor AT2 akan teraktivasi. Mekanisme kerja
ARB secara kompetitif terhadap Ang II pada
tingkat reseptor. Efek blokade dari ARB dipengaruhi anatara lain oleh ikatan afinitas binding
capacity pada reseptor AT1. Dari beberapa penelitian klinik terlihat bahwa blokade ARB selain
menurunkan tekanan darah juga meningkatkan
kadar NO dalam darah, guanylate cyclase, tissue
bradikinin, antiploriferasi, stimulasi program
cell death. Kedudukan ARB sebagai obat antihipertensi pada JNC7, NICE, dan ESH :
1. Sebagai pilihan pertama untuk hipertensi tanpa komplikasi organ target, dan dapat dikombinasikan dengan diuretika, CCB, ACE-I.
2. Sebagai pilihan pertama bersama obat antihipertensi golongan ACE-I untuk mencegah
progresi penyakit ginjal kronik dan nefropati
diabetika pada pasien diabetes.
3. Sebagai pilihan pertama bersama ACE-I pada
hipertensi non diabetic dengan ekskresi albumin >200 mg/hari.
4. Sebagai pilihan pertama untuk hipertensi
berisiko tinggi terhadap komplikasi kardiovaskuler.
14
MEDICINUS
dengan gagal jantung dan gangguan fungsi sistolik ventrikel kiri (LVEF 40%) ketika obat penghambat ACE tidak ditoleransi.
DOSIS DAN CARA PEMBERIAN CANDERIN4
Dosis pada hipertensi:
Dosis awal candesartan cilexetil adalah 4 mg per hari. Dosis dinaikkan sesuai dengan respon pengobatan sampai maksimum 16 mg sehari. Efek antihipertensi maksimal akan dicapai dalam waktu 4
minggu setelah pengobatan.
Dosis pada gagal jantung:
Dosis awal yang direkomendasikan adalah 4 mg per hari. Peningkatan dosis sampai dengan 32 mg
sekali per hari atau dosis tertinggi yang dapat ditoleransi, dilakukan dengan menggandakan dosis
dengan interval minimal 2 minggu.
Cara pemberian :
Candesartan cilexetil diberikan sekali sehari sebelum atau setelah makan. Candesartan cilexetil dapat diberikan bersamaan dengan obat antihipertensi lain.
KONTRAINDIKASI4
Pada pasien yang hipersensitif terhadap candesartan cilexetil atau komponen yang terkandung
dalam formulasinya, wanita hamil dan menyusui, gangguan fungsi hati yang berat dan/ atau kolestasis
KEMASAN4
Canderin 8 mg, kotak 3 blister, @10 tablet
Canderin 16 mg, kotak 3 blister, @10 tablet
KESIMPULAN
CANDERIN merupakan antihipertensi golongan ARB dengan penurunan tekanan darah yang
superior.
Memiliki efek renoproteksi yaitu dapat menurunkan mikroalbuminuria (CALM trial)
Superior dalam menurunkan proteinuria dan proteksi ginjal (SMART).
Menurunkan mortalitas dan hospitalisasi karena gagal jantung dan stroke (CHARM dan SCOPE
trial).
Mencegah new onset of diabetes dll (ALPINE, DIRECT trial).
Canderin bioekivalen dengan reference product. (SIS/RKS)
REFERENSI
1.
2.
3.
4.
5.
JNC7.National High Blood Pressure Education Program.Seventh Report of the Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure. Hypertension
2003;42:1206-52.
Christian R,et al. Renin Angiotensin-Aldosteron System. JASN 2006,17:2985-91.
Burgess E. Dose of Candesartan in proteinuric renal disease. JASN 2009,20:893-0.
Canderin. Package Inset. PT Dexa Medica.
Yunaidi DA, et al. Bioequivalence study of 16 mg candesartan cilexetil tablets produced by PT Dexa
Medica in comparison with the reference (Blopress 16 mg, PT Takeda IndonesiaIndonesia). Study
report 2011 PT Equilab International Jakarta.
MEDICINUS
15
16
MEDICINUS
Sekilas Produk
vectrine
A. PENGANTAR
Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) merupakan
salah satu penyakit dengan tingkat morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Saat ini PPOK merupakan penyebab kematian ke-4 tertinggi di seluruh dunia. Angka mortalitas dan
morbiditas ini diperkirakan akan terus meningkat, mengingat
penyebab utama dari PPOK ini adalah pengguna rokok yang
semakin meningkat dari tahun ke tahun. Penyakit Paru Obstruktif Kronik meliputi dua diagnosa utama yang seringkali
ditemukan, yaitu: Bronkitis kronis dan Emfisema. Bronkitis kronis sendiri merupakan salah satu kasus yang paling
umum ditemukan. Pada pasien dengan bronkitis kronis,
gangguan umum yang timbul adalah: terjadinya gangguan klirens mukosilier, adanya kolonisasi bakteri, stres
oksidatif dan terjadinya inflamasi/peradangan pada saluran pernapasan. Terapi farmakologi pada PPOK ditujukan
untuk mengurangi gejala dan atau terjadinya komplikasi
dan meningkatkan kualitas hidup dari pasien. Erdostein,
molekul baru yang lebih dari sekedar mukomodulator, namun juga memiliki mekanisme kerja sebagai antia-dhesi
bakteri, antioksidan dan antiinflamasi merupakan pilihan
tepat dalam memperbaiki gangguan siklus etiopatogenesis pada pasien PPOK.
B. MEKANISME KERJA
Erdostein [N-(carboxymethylthioacetyl) homocysteine thyolactone] merupakan pro-drug dengan dua gugus thiol
yang terikat. Cincin thiolakton yang relatif lemah dan
stabil dalam kondisi kering/suasana asam, akan terlepas
dalam lingkungan basa dan berubah menjadi spesies
aktif dengan gugus thiol bebas yang memiliki aktivitas
farmakologi. Metabolit aktif erdostein, (N-thiodiglycolylhomocysteine) akan mencapai konsentrasi plasma
puncak dalam 2 jam dengan kadar 3-4 kali lebih tinggi.
Erdostein akan bekerja dengan 4 mekanisme kerja, yaitu
mukomodulator, aktivitas antibakteri, antioksidan dan
antiinflamasi.
B.1. Vectrine sebagai mukomodulator
Vectrine telah terbukti sebagai agen mukomodulator
yang efektif, bekerja dengan memperbaiki karakteristik
rheologi dari mukus, meliputi viskositas, elastisitas dan
komposisi biokimia dari mukus. Vectrine memperbaiki
rheologi mukus melalui metabolit aktif yang mengandung gugus SH bebas dengan cara memotong ikatan disulfida dari glikoprotein mukus. Penggunaan Vectrine
juga meningkatkan bersihan mukosilier, de-ngan bekerja secara tidak langsung melalui perbaikan karakteristik rheologi dari mukus, dan secara langsung memperbaiki gerakan mukosilier. Vectrine juga bekerja
dengan mengurangi hipersekresi dan volume mukus.
2-6 tahun
2 x 2,5 mL
7-12 tahun
2 x 5 mL
>12 tahun
3 x 5 mL / 2 x 7,5 mL
MEDICINUS
17
Research
Abstract
Stroke is a medical emergency. Thrombolytic therapy is recommended for management stroke.
Previous studies showed that only small proportion of patients received thrombolytic therapy
due to the narrow therapeutic window of thrombolytic drugs (4,5 hours). The delayed arrival
at the hospital is the main problem. This cross sectional study aimed to describe the time from
onset of stroke to the hospital arrival, and to explore the caused of the delay. The data were
obtained from 375 patients with acute stroke from the Bethesda hospital stroke registry. The
data showed that 75% patients with ischemic stroke and 25% patients with hemorrhagic stroke.
The data showed that only 13% patients came to the hospital in 3 hours after onset. The biggest
proportion of patients (46%) came to the hospital after > 24 hours after onset. The main reason
of delay is inadequate knowledge of stroke signs and symptoms. There should be a systematic
approach and effort for campaign to the community that stroke is a medical emergency.
Key word: stroke-onset-delay-awareness
PENDAHULUAN
Stroke merupakan penyebab kematian dan kecacatan yang utama di seluruh dunia. Stroke
merupakan kedaruratan medik yang memerlukan penanganan yang tepat dan cepat.1,2 Salah
satu terapi yang direkomendasikan untuk stroke
adalah trombolisis. Permasalahan yang muncul
adalah sempitnya jendela terapi untuk penggunaan trombolisis bagi pasien stroke. Obat
trombolisis hanya boleh diberikan dalam batas waktu kurang dari 4,5 jam onset serangan.1
Beberapa penelitian di negara maju sekalipun
memperlihatkan rendahnya proporsi pasien
yang mendapat terapi trombolisis.2,3 Penelitian
di banyak tempat menunjukkan bahwa rendahnya proporsi pasien stroke yang mendapat
terapi trombolisis dikarenakan pasien datang
terlambat ke rumah sakit.4,5
Penelitian tentang keterlambatan kedatangan
pasien ke rumah sakit sejak onset serangan
18
MEDICINUS
RESEARCH
stroke. Data tentang alasan keterlambatan pasien datang ke rumah sakit dikumpulkan dalam wawancara dengan kuesioner pertanyaan tertutup oleh perawat yang telah dilatih sebelumnya. Data
diolah dengan paket program statistik terstandar, dan ditampilkan dalam bentuk tabel dan grafik.
Pembahasan kualitatif terhadap kemungkinan alternatif pemecahan masalah yang dapat dilakukan
di tingkat rumah sakit.
HASIL
Data dikumpulkan dari register stroke RS Bethesda Yogyakarta (gambar 1) trimester 1 dan 2 tahun
2011. Pengumpulan data dilakukan secara konsekutif. Selama kurun waktu tersebut tercatat 375 pasien stroke. Jenis patologi stroke dapat dilihat di gambar 2.
MEDICINUS
19
RESEARCH
PEMBAHASAN
Penelitian memperlihatkan bahwa sebagain besar pasien datang terlambat ke rumah sakit. Ala-
Alasan
stroke
Tidak dikenalnya stroke
terhadap pelayanan
mahal
20 MEDICINUS
RESEARCH
Strategi untuk memperbaiki waktu kedatangan pasien stroke ke rumah sakit harus selalu diupayakan. Kampanye bagi masyarakat awam tentang gejala dan tanda dini stroke harus terus dilakukan.
Masyarakat awam dan petugas medis harus selalu diingatkan bahwa stroke merupakan kedaruratan
medik yang memerlukan penatalaksanaan yang cepat dan tepat. Petugas unit ambulans perlu mendapatkan pelatihan untuk mengenali gejala stroke dan memberikan tata laksana awal yang tepat.
Ketakutan akan hari perawatan yang lama dan pembiayaan yang tinggi dapat diatasi dengan memberlakukan dan menginformasikan tentang clinical pathway sebagai kendali mutu dan kendali biaya
bagi pasien dan keluarganya.
KESIMPULAN
Hasil penelitian meunjukkan bahwa sebagian besar pasien datang terlambat ke rumah sakit. Proporsi terbesar kelompok pasien datang ke rumah sakit lebih dari 24 jam setelah serangan stroke.
Alasan utama keterlambatan pasien datang ke rumah sakit adalah ketidaktahuan akan gejala dan
tanda stroke.
referensi
1. Hacke W, Kaste M, Bluhmki E, et al. Thrombolysis
with alteplase 3 to 4.5 hours after acute ischemic
stroke. N Engl J Med 2008; 359:131729
2. Reeves MJ, Arora S, Broderick JP, et al. Acute
stroke care in the US: Results from 4 pilot prototypes of the Paul Coverdell National Acute
Stroke Registry. Stroke 2005; 36:123240
3. Yu KH BH, Kwon SU, Kang DW, et al. Analysis of
10,811 cases with acute ischemic stroke from
Korean Stroke Registry: Hospital-based multi
center prospective registration study. J Korean
Neurol Assoc. 2006; 24:53543
4. Harraf F, Sharma AK, Brown MM, Lees KR, Vass
RI, Kalra L. A multi center observational study
of presentation and early assessment of acute
stroke. BMJ 2002; 325:17
5. Kwan J, Hand P, Sandercock P. A systematic review of barriers to delivery of thrombolysis for
acute stroke. Age Agein. 2004; 33:11621
6. Mandelzweig L, Goldbourt U, Boyko V, Tanne
D. Perceptual, social, and behavioral factors associated with delays in seeking medical care in
patients with symptoms of acute stroke. Stroke
2006; 37:124853
7. Kim JS, Yoon SS. Perspectives of stroke in persons living in Seoul, South Korea: A survey of
1000 subjects. Stroke 1997; 28:116569
8. Derex L, Adeleine P, Nighoghossian N, Honnorat
J, Trouillas P. Factors influencing early admission
in a French stroke unit. Stroke 2002; 33:15359
MEDICINUS
21
Case report
BACKGROUND
Rupture of an atherosclerotic plaque is the usual
initiating event in an acute coronary syndrome
(ACS), leading to subsequent thrombus formation. Persistent thrombotic occlusion results in
acute myocardial infarction (MI). Current American Heart Association (AHA) and European
Society of Cardiology (ESC) recommendation
for non-ST-elevation of myocardial infarction
(NSTEMI) use antiplatelet and anticoagulant as
the main therapy. Todays, in Indonesian market,
there are some oral fibrinolytic agents.
A recent oral preparation, DLBS1033, a group of
bioactive protein fraction extracted from the
earthworm (Lumbricus rubellus) have been preclinically studied to have potent fibrinolytic and
fibrinogenolytic activities, lowers blood viscosity, and reduces platelet aggregation.1,2 Based on
pharmacologic activities of DLBS1033 which is
thus far known to improve thrombolytic function, it may benefit patients with NSTEMI.
CASE
Mrs. S, 77 years old came to National Cardiac
and Vascular Center Harapan Kita with the chief
complain of chest pain which had been proceeding for 5 days at the time of presentation.
She had been hospitalized in a private hospital
and diagnosed as NSTEMI with TIMI risk score of
6 (on a-7-point scale) and given standard therapy for NSTEMI, i.e. aspirin, clopidogrel, ISDN,
simvastatin, bisoprolol, and heparinization with
low molecular weight heparin for 5 days. Since
then, she was suffering from complication of
hematemesis and melena due to antiplatelet
and anticoagulant therapy. Her hemoglobin
level was decreased to 7 mg/dL, thus received
a packed red cell transfusion. She was then referred to National Cardiovascular Centre, Hara-
22
MEDICINUS
Case report
Figure 1. Quantitative Polar Map of Myocardial Perfusion SPECT of the patient at presentation (top) and one
month after treatment with DLBS1033 (bottom). Rest perfusion defect size improved significantly from 53 %
to 3 % after treatment with DLBS1033.
MEDICINUS
23
Case report
with stable angina. Patients with in-hospital adverse coronary events are more likely to have higher
admission levels of sVCAM-1.6 In a prospective study of patients with NSTEMI, sVCAM-1 levels were
significantly higher at presentation in patients who had a major adverse cardiovascular event at 6
months.7 In NSTEMI, P-selectin expression in platelets is up-regulated, reflecting platelet activation.8
JAK kinases and STAT proteins are constitutively expressed in the vessel wall in a cell type specific
manner and transfer intracellular signaling events of various receptor families. The JAK/STAT signaling pathways have a critical role as a regulator for cardiovascular disease development, such as
in atherosclerotic plaque progression.9 Collagenase MMP-9 markedly contributes in collagen breakdown in atherosclerotic plaques and is functionally implicated in the process of infarct healing. Increased expression of MMP-9 in patients with ACS, such as NSTEMI, mirrors the progression of CAD.10
Thus down regulation of those genes will result in significant improvement of cardiac function as
well as promoting cardio-protection in patients with ACS. Altogether those properties of DLBS1033
act to reduce microvascular obstruction commonly found in NSTEMI patients. Our case demonstrated that treatment of DLBS1033 for a month was associated with an objective reduction in myocardial
ischemic extent and severity as measured by myocardial perfusion imaging.
CONCLUSION
We have reported a NSTEMI patient with TIMI risk score of 6. This patient received adjunctive therapy
with DLBS1033 for a month and showed a clinically significant improvement of myocardial perfusion
and left ventricular function, without bleeding complications.
references
1. Kurnia F, Tjandrawinata RR. Bioactive Protein Fraction DLBS1033 Exerts its Positive Pleiotropic Effects in the Vascular Cells via Down Regulation of Gene Expression. Medicinus. 2011; 24: 1824.
2. 2.Trisina J, Sunardi F, Suhartono MT, and Tjandrawinata RR. DLBS1033, a protein extract from Lumbricus rubellus, possesses antithrombotic and thrombolytic activities. J Biomed Biotechnol. 2011. 2011;2011: 519652. Epub
2011 Mar 3.
3. 3.Jin L, Jin H, Zhang G, Xu G. Changes in coagulation and tissue plasminogen activator after the treatment of
cerebral infarction with lumbrokinase. Clin.Hemorheol. Microcirc. 2000; 23: 213218.
4. 4.Ji H, Wang L, Bi H, Sun L, Cai B, Wang Y, Zhao J, Du Z. Mechanisms of lumbrokinase in protection of cerebral
ischemia. Eur J Pharmacol. 2008 Aug 20;590(1-3):281-9.
5. 5.Kasim M, Kiat AA, Rohman MS, Hanifah Y, Kiat H. Improved myocardial perfusion in stable angina pectoris by
oral lumbrokinase: A pilot study. J Altern Complement Med. 2009; 15(5): 539544.
6. 6.Armstrong EJ, Morrow DA, Sabatine MS. Inflammatory biomarkers in acute coronary syndromes: part II: acutephase reactants and biomarkers of endothelial cell activation. Circulation. 2006 Feb 21;113(7):e152-5.
7. 7.Mulvihill N, Foley J, Murphy R, Curtin R, Crean P, Walsh M. Risk stratification in unstable angina and non-Q wave
myocardial infarction using soluble cell adhesion molecules. Heart. 2001; 85: 623627.
8. 8.Van der Zee PM, Bir E, Ko Y, de Winter RJ, Hack CE, Sturk A, Nieuwland R. P-selectin- and CD63-exposing platelet microparticles reflect platelet activation in peripheral arterial disease and myocardial infarction. Clin Chem.
2006 Apr;52(4):657-64.
9. 9.Grote K, Luchtefeld M, Schieffer B. JANUS under stress Role of JAK/STAT signaling pathway in vascular diseases. Vascul Pharmacol. 2005 Nov;43(5):357-63.
10. 10.Brunner S, Kim JO, Methe H. Relation of matrix metalloproteinase-9/tissue inhibitor of metalloproteinase-1
ratio in peripheral circulating CD14+ monocytes to progression of coronary artery disease. Am J Cardiol. 2010
Feb 15;105(4):429-34.
24
MEDICINUS
Case report
BACKGROUND
Venous thromboembolism (VTE) refers to all
forms of pathologic thrombosis occurring on
the venous side of the circulation; the most common of which is deep venous thrombosis (DVT)
of the lower extremities (i.e. the leg).1 The pathophysiology of DVT was described by Virchow in
1846 as coming from a triad of possible changes
in the venous system. The triad includes changes
in the vessel wall (injury), changes in the pattern
of blood flow (venous stasis), and changes in
the constituency of blood (hypercoagulability).2
American College of Chest Physicians (ACCP)
recommended antithrombotic therapy for VTE,
such as anticoagulant and thrombolytic agent.3
In clinical practice, thrombolytic agents are particularly given in acute and massive thrombosis.
Most widely used thrombolytic agents in current
practice are available in parenteral preparations,
such as urokinase, streptokinase, recombinant
tissuetype plasminogen activator (rtPA), staphylokinase, and recombinant prourokinase.
They have been reported to be effective but
carry inherent limitations such as lacking resistance to re-occlusion, bleeding complications,
and other adverse effects.4 Apparently, they
require certain skills and qualifications of the
medical personnel administrating the thrombolytic agents to patients. Thrombolytic agents
also have limited availability in hospitals or clinics, most of which are also quite costly, thus
often bring about financial burden to the patients. Such limitation prompts the search for a
safer and more affordable thrombolytic agent,
with simpler method of administration, e.g. oral
preparations.
extracted from the local earthworm (Lumbricus rubellus) which has potent fibrinolytic and
fibrinogenolytic activities, lowers blood viscosity, and reduces platelet aggregation.4,5 Based
on pharmacologic activities of DLBS1033 which
is thus far known to improve thrombolytic function, it may benefit patients with DVT.
CASE
Mrs. YF, 47 years old, had undergone cardiac
catheterization in a hospital other than National
Cardiovascular Centre (NCC), Harapan Kita, on
16 May 2011. Ten days after then, on 27 May 2011,
she was starting to suffer from legs oedema.
On Doppler Ultrasound examination on 30 May
2011, she was diagnosed to have a Deep Vein
Thrombosis (DVT). As a treatment for the DVT,
she was prescribed with warfarin sodium (Simarc). On 3 June 2011, the patient came to the
NCC, Harapan Kita, for checking her condition.
At admission, she was re-examined by Doppler
Ultrasonography (USG). This examination upon
the patients right thigh confirmed that she had
been suffering from DVT with a thrombotic total occlusion of the common femoral vein (vena
femoralis communis dextra). For the treatment,
she received DLBS1033 (Disolf) one enteric
coated caplet @ 490 mg thrice daily and a fixed
combination of Diosmin 450 mg and Hesperidine 50 mg (Ardium) one tablet thrice daily. Warfarin treatment given from the previous hospital
was stopped. Hemostasis parameters such as DDimer and fibrinogen level at admission were
100 ng/mL and 291 mg/dL, respectively.
MEDICINUS
25
Case report
Figure 1. The improvement of thrombus total occlusion in the vena femoralis communis dextra after
treatment with DLBS1033 (Disolf) as shown by Ultrasonography (USG)
DISCUSSION
The patient had been suffering from a DVT as a
26
MEDICINUS
Case report
tiplatelet and fibrinogenolytic) and thrombolytic (including fibrinolytic and clot-lytic) activities
is likely to benefit patients with DVT. It has been
demonstrated in this case.
The administration of DLBS1033 for 14 days was
associated with the objective improvement
of thrombotic total occlusion inside the vena
femoralis communis dextra as measured by
USG, an accurate, non-invasive means of imaging for detecting as well as evaluating the treatment of deep vein thrombosis (DVT). D-Dimer
and fibrinogen levels were relatively stable
during treatment. This also eliminates the clinical issue of the risk of bleeding due to fibrinogen depletion after using DLBS1033 which also
known to exerts fibronogenolytic effect.4,5 In
most of controlled studies of DVT with a shortterm outcome (310 days of treatment), bleeding is the major complication of thrombolytic
therapy 8-17 But, in this case, short-term (14 days
of ) treatment with DLBS1033 demonstrated no
bleeding complication. Furthermore, circulation
improvement of the afflicted vein seen in this
case was also accompanied by the 1-cm reduction of both thigh and calf circumferences.
On 6 June 2011 (Day 3rd of treatment), the presence of oedema on right thigh and calf was still
clinically apparent. Compression ultrasonography (CUS) still showed a presence a thrombotic
occlusion inside the vena femoralis communis
dextra. Thrombus was partially lysed. On 10 June
2011 (Day 7th of treatment), the leg oedema was
apparently reduced, parallel with the lysis of
most part of the thrombus inside the deep vein.
USG showed a partial recanalization of the vein.
On 17 June 2011 (Day 14th of treatment), only
minimal thrombus remained and USG showed a
fully recanalization of the vein, completely connecting the vena saphena magna (a superficial
vein) and vena femoralis communis dextra (a
deep vein).
Conclusion
We reported a patient with Deep Vein Thrombosis (DVT) treated with DLBS1033 for 14 days. The
patient showed an improvement of thrombotic
total occlusion inside the vena femoralis communis dextra without any bleeding complication.
Oral thrombolytics can be considered in certain clinical conditions of arterial and venous
thrombosis. Based on its pharmacologic actions, DLBS1033 would be a rational option in
the treatment of atherothrombosis and venous
thromboembolism. More robust clinical trials
are still needed to confirm its efficacy and safety.
references
1. Segal JB, Eng J, Jenckes MW, Tamariz LJ, Bolger DT, Krishnan
JA, et al. Diagnosis and treatment of deep venous thrombosis
and pulmonary embolism. Agency for Healthcare Research and
Quality. Rockville, Maryland, US. March 2003.
2. Yang JC. Prevention and treatment of deep vein thrombosis and
pulmonary embolism in critically ill patients. Crit Care Nurs Q.
2005; 28(1):7279.
3. Kearon C, Kahn SR, Agnelli G, Goldhaber S, Raskob GE, Comerota AJ. Antithrombotic Therapy for Venous Thromboembolic Disease : American College of Chest Physicians EvidenceBased Clinical Practice Guidelines (8th edition). Chest. 2008;
133(6):454-545.
4. Kurnia F, Tjandrawinata RR. Bioactive Protein Fraction DLBS1033
Exerts its Positive Pleiotropic Effects in the Vascular Cells via
Down Regulation of Gene Expression. Medicinus. 2011; 24:
1824.
5. Trisina J, Sunardi F, Suhartono MT, and Tjandrawinata RR.
DLBS1033, a protein extract from Lumbricus rubellus, possesses
antithrombotic and thrombolytic activities. J Biomed Biotechnol. 2011. 2011;2011:519652. Epub 2011 Mar 3.
6. Lpez JA, Kearon C, Lee AYY. Deep venous thrombosis. Hematology 2004; :439456.
7. Ramzi DW, Leeper KV. DVT and Pulmonary Embolism : Part II.
Treatment and Prevention. American Family Physician. 2004;
69:2841-2848.
8. Arnesen H, Heilo A, Jakobsen E, et al. A prospective study of
streptokinase and heparin in the treatment of deep vein thrombosis. Acta Med Scand. 1978;203:457463.
9. Elliot MS, Immelman EJ, Jeffery P, et al. A comparative randomized trial of heparin versus streptokinase in the treatment of
acute proximal venous thrombosis: an interim report of a prospective trial. Br J Surg. 1979;66:838843.
10. Kakkar VV, Flanc C, Howe CT, et al. Treatment of deep vein
thrombosis: a trial of heparin, streptokinase, and Arvin. BMJ.
1969;1:806810.
11. Porter JM, Seaman AJ, Common HH, et al. Comparison of
heparin and streptokinase in the treatment of venous thrombosis. Am Surg. 1975;41:511519.
12. Robertson BR, Nilsson IM, Nylander G. Value of streptokinase and
heparin in treatment of acute deep venous thrombosis: a coded
investigation. Acta Chir Scand. 1968;134:203208.
13. Robertson BR, Nilsson IM, Nylander G. Thrombolytic effect of
streptokinase as evaluated by phlebography of deep venous
thrombi of the leg. Acta Chir Scand. 1970;136:173180.
14. Tsapogas MJ, Peabody RA, Wu KT, et al. Controlled study
of thrombolytic therapy in deep vein thrombosis. Surgery.
1973;74:973984.
15. Kiil J, Carvalho A, Sakso P, et al. Urokinase or heparin in the
management of patients with deep vein thrombosis? Acta Chir
Scand. 1981;147:529532.
16. Goldhaber SZ, Hirsch DR, MacDougall RC, et al. Bolus recombinant urokinase versus heparin in deep venous thrombosis: a
randomized controlled trial. Am Heart J. 1996;132:314318.
17. Schweizer J, Kirch W, Koch R, et al. Short- and long-term results
after thrombolytic treatment of deep venous thrombosis. J Am
Coll Cardiol. 2000;36:13361343.
MEDICINUS
27
Case report
Private Clinic
Jl. Bintaro Puspita III/E-7 Komplek Bumi Bintaro Permai, South Tangerang, Indonesia
BACKGROUND
Atherosclerosis is a multifactorial and dynamic
process. One of the early features of atherosclerosis is the presence of fatty streaks along the
vessel wall. These fatty streaks are characterized
by accumulation of lipid-filled smooth muscle
cells and macrophages and fibrous tissue in focal areas of the intima.1 Thickening of the intimal area in blood vessels occur spontaneously
with age or in response to increased intraluminal pressure.2 All these forms of intimal thickening are associated with increases in numbers of
vascular smooth muscle cells (VSMC) and the
amount of VSMC-associated extracellular matrix
(ECM).
DLBS1033, a bioactive fraction containing 8
different proteins of the local earthworm,
Lumbricus rubellus, has been proven to have
antithrombotic and thrombolytic activities.3
In recent studies, DLBS1033 demonstrated its
positive pleiotropic effects onvascular cells via
down regulation of gene expression.3,4 Based on
its pharmacological activity, DLBS1033 may have
benefit in patients with intima media thickness.
This was demonstrated in the case study below.
CASE
NJM, a 73-year-old female came to the clinic on
21 June 2011, complaining pain in the knee, particularly at walking. She was obese with Body
Mass Index (BMI) of 41.08 kg/m2. She had been
diagnosed diabetes mellitus and hypertension,
and taking several medications indicated for
both diseases, i.e.: metformin, glimepiride, pioglitazone, and atenolol. Besides, the patient
had also been given some medications for her
rheumatoid arthritis, such as: methylprednisolon, meloxicam, ocuson (betamethasone and
28
MEDICINUS
Figure 1. Carotid intima media thickness (CIMT) values at Visit 1 (baseline, week 0).
On 21 June 2011, left CIMT was 2.0 mm when the
patient first came to the clinic; while the right was
normal.
Case report
Several laboratory parameters such as ALT, serum creatinine, prothrombin time (PT), and activated
partial thromboplastin time (aPTT) were also examined at Visit 1 and 3 (after 4 weeks of DLBS1033
treatment) to evaluate the safety of DLBS1033. The result showed that DLBS1033 did not give any
significant changes in those safety endpoints as well as lipid profiles as seen in Table 1.
Parameters
ALT
Serum creatinine
PT
aPTT
Total cholesterol
LDL cholesterol
HDL cholesterol
Triglycerides
Week 0
44 U/L
0.70 mg/dL
12.9 secs
32.2 secs
198 mg/dL
120 mg/dL
63 mg/dL
78 mg/dL
Week 4
32 U/L
0.70 mg/dL
12.1 secs
33.5 secs
167 mg/dL
83 mg/dL
62 mg/dL
64 mg/dL
DISCUSSION
This result of this case study suggests that even a short-time-administration of DLBS1033 (Disolf)
could reduce the CIMT. IMT measurement of the carotid artery is accepted as a criterion of atherosclerosis in many clinical and radiological studies and widely used in clinical practice.5 Non-invasively
measured IMT of the common carotid artery may predict occurrence of cardiovascular events in subjects without clinical manifestations of ischemic heart disease or cerebrovascular disease.6-7 Normal
value of IMT has been standardized to be not higher than 0.80 mm.8 It has been suggested that even
a 0.05 mm increase in the carotid IMT is associated with an approximately 3-fold increase in risk for
atherosclerotic calcification.9
Several studies have also confirmed that IMT of the common carotid arteries is a marker for generalized atherosclerosis and may be useful for identification of subjects at risk of cardiovascular disease
even at an early stage.10-11 Diabetic patients are known to have a two to three-fold higher risk for coronary artery disease (CAD) and studies by Kawamori et al.12 have shown that diabetic subjects show
atherosclerosis in carotid arteries 2030 years earlier than in non-diabetic subjects.
MEDICINUS
29
Case report
In the case above, the patient had been diagnosed diabetes mellitus and hypertension, thus
greater chance to have higher IMT value. Sometimes the manifestation of higher IMT is not apparent and direct (asymptomatic). However, as
a widely acceptable cardiovascular marker it is
beneficial to examine the IMT as early as possible, especially for high-risk patients, as proven
by this particular case. DLBS1033 with its antithrombotic as well as thrombolytic activities
reduced the IMT of the patient. The improvement of IMT can be associated with the antiinflammatory effect of DLBS1033 through the
suppression of various genes, such as NF-B,
which has a role in signaling pathway of atherosclerosis. The suppression of NF-B also inhibited the production or activation of other primary inflammatory function, especially that for
promoting leukocytes infiltration to endothelium. This case study is also in line with preclinical data of DLBS1033 indicating that DLBS1033
could increase plaque stabilization and reduce
the intimal medial thickness. In-vitro data also
showed that DLBS1033 significantly reduced Angiotensin II, which characterizes diffuse intimal
medial thickening, and therefore inhibited the
intimal medial thickening.4 Furthermore, the
in-vitro study also demonstrated the activity of
DLBS1033 in the inhibition of vascular smooth
muscle cells (VSMC) proliferation. Proliferation
of VSMC is a crucial event in the formation of
atherosclerotic tissuesDLBS1033 also decreased
the expression of JAK1 and STAT1, which play an
important role in the proliferation of VSMC.4
CONCLUSION
DLBS1033 at the dose of one tablet @ 490 mg
daily for 4 weeks reduced the IMT from 2.0 mm
to the value of nearly normal. This case indicates
that DLBS1033 may reduce the risk for cardiovascular events also via reducing intimal medial
thickness.
30
MEDICINUS
references
1. Mohan V, Deepa R, and Kumar RR. Role of carotid
intimal-medial thickness in assessment of pre-clinical atherosclerosis. Indian Heart J. 2000; 52:395-9.
2. Newby AC, Zaltsman AB. Molecular mechanisms in
intimal hyperplasia. J Pathol. 2000; 190:300-9.
3. Trisina J, Sunardi F, Suhartono M, Tjandrawinata
RR. In Press. DLBS1033, A protein extract from
Lumbricus rubellus, possesses antithrombotic and
thrombolytic activities. J. Biomed. Biotech. 2011;
2011:519652. Epub 2011 Mar 3.
4. Kurnia F and Tjandrawinata RR. Bioactive protein
fraction DLBS1033 exerts its positive pleiotropic
effects in the vascular cells via down regulation of
gene expression. Medicinus. 2011; 24(1):18-24.
5. Sidhu PS, Desai SR. A simple and reproducible
method for assessing intimal-medial thickness of
the common carotid artery. Br. J. Radiol. 1997;
70:85-9.
6. Li C, Engstrom G, erglund G, Janzon L, Hedblad B.
Incidence of ishemic stroke in relation to asymptomatic carotid artery atherosclerosis in subjects with
normal blood pressure: A prospective cohort study.
Cerebrovasc. Dis. 2008; 26:297-303.
7. OLeary DH, Polak JF, Kronmal RA, Manolio TA, Burke
GL, Wolfson SK, Jr. Carotid-artery intima and media
thickness as a risk factor for myocardial infarction
and stroke in older adults. N. Engl. J. Med. 1999;
340:14-22.
8. Allan, Paul. Clinical Doppler Ultrasound, Churcill
Livingstone, London, 2000.
9. Allison MA, Tiefenbrun J, Langer RD, Wright CM.
Atherosclerotic calcification and intimal medial
thickness of the carotid arteries. International Journal of Cardiology. 2005; 1-7.
10. Zheng ZJ, Sharrett AR, Chambless LE, et al. Associations of ankle-brachial index with clinical coronary
heart disease, stroke, and preclinical carotid and
popliteal atherosclerosis: The atherosclerosis risk
in communities (ARIC) study. Atherosclerosis. 1997;
131:115-25.
11. Grobbee DE, Bots ML. Carotid artery intima-media
thickness as an indicator of generalized atherosclerosis. J. Intern. Med. 1994; 236:567-73.
12. Kawamori R, Yamasaki Y, Matsushima H, et al. Prevalence of carotid atherosclerosis in diabetic patients:
Ultrasound high resolution B-mode imaging on carotid arteries. Diabetes Care. 1992; 15:1290-4.
case report
PENDAHULUAN
KASUS I
MEDICINUS
31
Case report
32
MEDICINUS
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan penunjang lainnya, pasien
didiagnosis kerja sebagai ALI derajat IIb et causa
emboli dengan diagnosis banding trombosis arteri
femoralis superfisial, gagal jantung kongestif fc III
dengan edema paru et causa AF respon ventrikel
cepat, AF respon ventrikel cepat et causa mitral
stenosis, mitral stenosis et causa penyakit jantung
rematik dan curiga pneumonia. Pasien diberi pengobatan oksigen binasal (4 liter/menit), infus NaCl
0,9% (10 tetes/menit), streptokinase 1,5 juta UI i.v.
dalam NaCl 0,9% 100 cc habis dalam 1 jam, dabigatran tablet 150 mg 2x sehari, meropenem 1 gram 3x
sehari i.v., furosemide 20 mg 1x sehari i.v., isosorbid
dinitrat tablet 5 mg 3x sehari, aspirin tablet 80 mg 1x
sehari, clopidogrel tablet 75 mg 1x sehari, bisoprolol
tablet 2,5 mg 1x sehari, trimetazidine tablet 35 mg
3x sehari, coenzyme-Q10 kapsul 200 mg 3x sehari,
tramadol i.v. 30 mg 3x sehari, lansoprazole tablet 30
mg 2x sehari.
Dua jam setelah pemberian agen trombolitik, pasien bertambah sesak dan tungkai bawah kanan
masih nyeri. Tekanan darah 100/70 mmHg, nadi 140
kali/menit, denyut jantung 160 kali/menit, frekuensi
pernafasan 44 kali/menit, suhu badan aksiler 37,90C,
saturasi oksigen 80%. Pada pemeriksaan fisik paru
didapatkan ronki basah kasar dan mengi di seluruh lapang paru. Hasil EKG menunjukkan atrial
flutter dengan frekuensi denyut jantung 160 kali/
menit. Diagnosis kerjanya adalah gagal jantung
kongestif fc IV disertai edema paru akut et causa
sindroma reperfusi, atrial flutter dan mitral stenosis
dengan diagnosis banding acute respiratory distress
syndrome et causa curiga pneumonia atau emboli
paru, ALI derajat IIb et causa curiga emboli dengan
diagnosis banding trombosis arteri femoralis superfisial, atrial flutter et causa mitral stenosis, mitral stenosis et causa curiga penyakit jantung rematik, dan
curiga pneumonia. Diberikan terapi oksigen masker
non-rebreathing 10 liter/menit ditambah dengan
furosemide drips 500 mg dalam NaCl 0,9% 100 cc
habis dalam 24 jam, DLBS1033 tablet salut enteric
490 mg, 3x 2 tablet sehari, sprionolakton tablet 25
mg 1x sehari dan dilakukan pemasangan kondom
kateter.
Pada hari III perawatan, keluhan sesak dan nyeri
tungkai bawah kanan berkurang, tidak nyeri dada.
Tekanan darah 90/60 mmgHg, nadi 84 kali/menit,
Case report
denyut jantung 96 kali/menit, tidak teratur, frekuensi pernafasan 28 kali/menit, suhu 36,9oC, saturasi oksigen 94%. Pada pemeriksaan paru didapatkan ronki basah halus di kedua lapang paru setinggi sela
iga IV ke bawah dan tidak ada mengi. Tungkai bawah kanan mulai teraba hangat dan merah, masih
edema non pitting, jari I sianosis berkurang namun
belum bisa digerakkan, jari IIV mulai bisa digerakkan, nyeri tekan berkurang, m.gastrocnemius
masih teraba keras, sensibilitas masih ada, arteri
poplitea, arteri tibialis posterior dan arteri dorsalis
pedis belum teraba. Pemeriksaan laboratorium didapatkan diuresis 3000 cc/24 jam, Hb 15,1 g/dl, Ht
45%, lekosit 14300/mm3, trombosit 228000/mm3,
gula darah puasa 91 mg/dl, SGOT 912 U/L, SGPT 659
U/L, natrium 124 mEq/L, kalium 2,5 mEq/L, klorida
80 mEq/L, kalsium 7,1 mg/dL, magnesium 2,6 mg/
dL, kolesterol total 134 mg/dl, HDL kolesterol 35
mg/dl, LDL kolestreol 72 mg/dl, trigliserida 135 mg/
dl, C-reactive protein (CRP) 12,16 mg/L, Antistreptolysin O titre (ASTO) negatif. Hasil EKG adalah AF
respon ventrikel normal dengan ferkuensi denyut
jantung 80100 kali/menit. Diagnosis kerja adalah
gagal jantung kongestif fc III et causa AF dan mitral
stenosis, ALI derajat IIa, AF respon ventrikel normal
et causa mitral stenosis, mitral stenosis et causa
penyakit jantung rematik, dan curiga pneumonia,
dengan permasalahan peningkatan enzim hati,
hiponatremia, hipokalemia, hipokalsemia ringan.
Terapi yang diberikan pada pasien ini oksigen kanul
(4 liter/menit), IVFD KCl 50 meq dalam NaCl 0,9%
500 cc habis dalam 24 jam, vitamin C 1000 mg dalam
NaCl 0.9% 500 cc habis dalam 24 jam, furosemide
drips diganti dengan oral 2x sehari (pagi dan siang),
tramadol 30 mg i.v. (jika perlu), ekstrak ginkgo
biloba 40 mg 3x 2 kapsul sehari, hepamax (PPC 95%
150 mg, silymarin phytosome 100 mg, schizandra
extr 37.5 mg, d-tocopherol 5 IU) 3x 2 kapsul sehari
dan terapi lain tetap dilanjutkan.
Pada hari VI perawatan, keluhan sesak sangat
berkurang, masih nyeri tungkai bawah kanan.
Tekanan darah 90/60 mmHg, nadi 72 kali/menit, denyut jantung 90 kali/menit, tidak teratur, frekuensi
pernafasan 24 kali/menit, suhu 37oC, saturasi oksigen 99%. Pada pemeriksaan paru sudah tidak didapatkan ronki pada kedua lapang paru. Tungkai bawah kanan teraba hangat dan merah, masih edema
non pitting, jari I mulai merah namun masih belum
bisa digerakkan, jari IIV bisa digerakkan, masih ny-
eri tekan, m.gastrocnemius masih teraba keras namun melunak dibandingkan hari sebelumnya, arteri
poplitea teraba lemah namun arteri tibialis posterior
dan arteri dorsalis pedis belum teraba. Pemeriksaan
laboratorium didapatkan diuresis 1500 cc/24 jam,
SGOT 661 U/L, SGPT 442 U/L, natrium 122 mEq/L, kalium 3,0 mEq/L, klorida 80 mEq/L, antiHCV negatif,
HbsAg negatif. Terapi oksigen binasal (2 liter/menit),
KCl drips diganti dengan Kalium L-aspartate tablet
300 mg tiga kali sehari, furosemide dihentikan.
Pada hari IX perawatan, pasien sudah tidak sesak,
nyeri tungkai kanan sangat berkurang. Tungkai bawah kanan teraba hangat dan merah, edema nonpitting berkurang, jari I mulai merah namun masih
belum bisa digerakkan, jari IIV bisa digerakkan,
nyeri tekan sangat berkurang, m.gastrocnemius sudah tidak teraba keras, arteri poplitea masih teraba
lemah, arteri tibialis posterior mulai teraba namun
arteri dorsalis pedis belum teraba. Terapi meropenem diganti dengan cefixime oral 100 mg tiga kali sehari, mulai mobilisasi bertahap.
Pada hari XIV perawatan, pemeriksaan laboratorium
didapatkan Hb 11 g/dl, Ht 30,9%, lekosit 8000/mm3,
trombosit 304000/mm3, laju endap darah 117 ml/jam,
bilirubin total 0,46, bilirubin direk 0,16, protein total 7,1,
albumin 2.7, globulin 4,4, SGOT 115 U/L, SGPT 102 U/L,
GT 50, natrium 136 mEq/L, kalium 3,7 mEq/L, klorida
95 mEq/L, kalsium 7,0 mg/dL, magnesium 2,0 mg/dL,
ureum 22 mg/dl, kreatinin 0,8 mg/dl, asam urat 5,1,
INR 1,17, PPT 13,4 detik, APTT 32,9 detik, fibrinogen 467
mg/dL, D-dimer 1,10 g/mL. Pemeriksaan EKG didapatkan AF respon ventrikel normal dengan frekuensi
denyut jantung 6080 kali/menit. Hasil ekokardiografi menunjukkan kesan dimensi ruang jantung
atrium kiri dilatasi, tidak ada hipertrofi ventrikel kiri,
analisis segmental normokinetik, kontraktilitas global
sistolik ventrikel kiri dalam batas normal dengan estimasi fraksi ejeksi ventrikel kiri 5458%, katup mitral
stenosis berat, mitral valve area (MVA) 0,930,95 cm2,
skor Wilkins 8, pressure half time (PHT) 239 mdetik,
mitral regurgitasi moderat, trikuspid regurgitasi moderat, aorta regurgitasi ringan, fungsi dan kontraktilitas
ventrikel kanan agak menurun dengan Tricuspid Annular Plane Systolic Excursion (TAPSE) 16,9 mm, tidak
ada trombus, didapatkan Left Atrial Spontaneous Echo
Contrast (LASEC), tidak ada hipertensi pulmonal.
Hasil echodoppler didapatkan sisa trombus, tidak
ada trombosis vena dalam.
MEDICINUS
33
Case report
Pada hari XV perawatan, pasien pulang dengan keadaan umum baik, tungkai bawah kanan kadang-kadang
masih nyeri, edema pitting minimal, teraba hangat dan merah, arteri poplitea teraba, arteri tibialis posterior
teraba lemah, arteri dorsalis pedis mulai teraba, sendi lutut pergelangan kaki dan jari IIV bisa digerakkan
namun jari I masih tidak dapat digerakkan.
Satu minggu setelah keluar rumah sakit, pasien kontrol di poli jantung. Pasien sudah dapat berjalan dengan
tongkat. Tungkai kanan bawah sudah tidak nyeri, teraba hangat, tidak merah, arteri dorsalis pedis sudah
teraba kuat namun edema pitting lebih tampak (unilateral) dan jari I masih sulit digerakkan.
KASUS II
Seorang laki-laki usia 54 tahun, suku Talaut, masuk rumah sakit pada tanggal 28 Desember 2011, dengan
keluhan utama nyeri tungkai bawah kiri sejak 3 jam sebelum masuk rumah sakit. Nyeri dialami penderita
pada saat beristirahat, bersifat terus menerus, seperti ditusuk-tusuk, dan terasa dingin. Penderita tidak
memiliki riwayat sesak nafas, berdebar-debar, ataupun nyeri tungkai saat berjalan jauh. Tidak ada riwayat
gula, hipertensi, trauma maupun operasi. Penderita memiliki kebiasaan merokok selama kira-kira 30 tahun,
dengan rerata 1 bungkus rokok kretek per hari. Dalam keluarga tidak ada yang menderita penyakit seperti
ini ataupun penyakit jantung dan stroke. Keadaan umum tampak sakit sedang, kesakitan pada tungkai bawah kanan, kesadaran kompos mentis, tekanan darah 180/70 mmHg, nadi 100 kali/menit, teratur, isi cukup,
frekuensi pernapasan 28 kali/menit, teratur, suhu badan aksiler 36,50C, tinggi badan 160 cm, berat badan 52
kg. Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterus. Tekanan vena jugularis 5+0 cm. Leher tidak didapatkan
pembesaran kelenjar getah bening, turgor kulit normal. Pada pemeriksaan paru simetris dalam keadaan
statis dan dinamis, fremitus raba kanan dan kiri normal, sonor di kedua lapangan paru, suara pernapasan
vesikuler, tidak didapatkan ronki di kedua lapang paru. Pada jantung, iktus kordis tak tampak, palpasi iktus
kordis tidak teraba, tidak ada vibrasi, batas jantung kanan di sela iga V 1 cm lateral linea parasternalis kanan,
34
MEDICINUS
Case report
MEDICINUS
35
Case report
36
MEDICINUS
Case report
batan disolf 3x2 tablet, clopidogrel 80 mg 1x1 tablet, atorvastatin 20 mg 1x1 tablet, pentoxifilin 2x1 tablet dan
lansoprazole 30 mg 2x1 kapsul.
PEMBAHASAN
Acute limb ischemia (ALI) didefinisikan sebagai setiap penurunan atau perburukan perfusi tungkai secara
mendadak yang mengancam mobilitas dan viabilitas tungkai dan terjadi kurang dari 14 hari.2 Diperkirakan
insidens ALI mencapai 14 per 100,000 penduduk dan jumlahnya semakin meningkat.2 Iskemia ini berhubungan dengan tingginya angka amputasi yaitu mencapai 25-30% dan angka mortalitasnya dalam 30 hari sebesar 15 %.1,2
Ada bermacam-macam etiologi ALI namun ada dua penyebab yang paling sering yaitu embolus (30 % kasus)
dan trombosis in situ (60 %) yang disebabkan oleh penyakit dasar seperti aterosklerosis.1,2 Etiologi ALI yang
lain adalah diseksi aorta, hiperplasia intima, trombosis yang disebabkan rekonstruksi/graft atau keadaan
hiperkoagulasi, trauma, vaskulitis, dan aneurisma perifer dengan embolus atau trombosis.1,2,7
Emboli menyebabkan iskemia lebih berat daripada trombosis karena emboli menyebabkan oklusi pada vascular bed yang sehat dan belum ada kolateral. Sebaliknya, trombosis in situ menyebabkan penyempitan
pembuluh darah akibat aterosklerotik yang sebelumnya sudah ada dan terjadi secara perlahan-lahan yang
menstimulasi pembentukan kolateral. Adanya kolateral mengurangi progresifitas dan beratnya gejala ketika
penyempitan akibat aterosklerotik berkembang menjadi oklusi, namun pada kejadian vaskular akut berbagai pencetus dapat memicu terbentuknya trombus secara akut pada plak yang kecil, dengan demikian
kolateral belum sempat terbentuk. Pada keadaan ini gejala yang ditimbulkan oleh trombosis in situ dapat
menyerupai emboli.9
Penting juga menanyakan riwayat adanya klaudikasio intermiten, prosedur intervensi, penyakit jantung seperti AF atau aneurisma untuk mengetahui kemungkinan sumber emboli. Perlu dicari faktor risiko, komorbiditas dan riwayat keluarga yang menderita penyakit kardiovaskuler, stroke, hiperkoagulabilitas, amputasi.1
Beberapa faktor risiko yang sering terdapat pada ALI adalah diabetes, merokok, hipertensi, hiperlipidemia,
amputasi, prosedur vaskuler, penyakit jantung, penyakit karotis, pe-nyakit ginjal dan paru.2,9
Emboli sulit dibedakan dengan trombosis, namun oklusi emboli dapat dicurigai pada pasien dengan onset akut dimana pasien dapat menyebutkan secara tepat saat terjadinya nyeri, riwayat emboli, emboli yang
diketahui sumbernya seperti aritmia jantung, tidak ada riwayat klaudikasio intermiten sebelumnya, pemeriksaan nadi dan ekodoppler normal pada ekstremitas yang tidak terkena.7
Pasien-pasien ini didiagnosis sebagai ALI karena terjadi perburukan perfusi secara mendadak. Etiologi ALI
MEDICINUS
37
Case report
38
MEDICINUS
hasilkan parestesia sebagai tanda awal iskemia, sedangkan kulit dan tulang adalah organ yang paling
resisten. Otot skeletal adalah komponen terbesar
dari jaringan pada ekstremitas bawah yang metabolismenya paling aktif sehingga berperan penting pada viabilitas tungkai akibat ALI dan menghasilkan cedera reperfusi. Ketika otot yang iskemia
mengalami reperfusi, dapat terjadi asidosis laktat,
hiperkalemia dan mioglobulinuria yang dapat
menyebabkan disfungsi sistemik dan gagal ginjal.
Mekanismenya adalah melalui interaksi radikal oksigen bebas dengan endotelium dan netrofil yang
secara cepat meningkatkan peroksidasi lipid dan
menyebabkan efek lokal dan sistemik. Edema, pelepasan toksin dan mioglobulin serta radikal oksigen bebas dapat menyebabkan kerusakan sistemik
seperti gagal ginjal akut, edema paru, onset mendadak ARDS dan liver shock. Peningkatan permeabilitas mikrovaskuler dapat menghasilkan efek lokal
berupa edema interstitial yang dapat menyebabkan sindroma kompartemen.8
Pada pasien kasus I, setelah dilakukan revaskularisasi, terjadi cedera reperfusi yaitu berupa takipnea
yang kemungkinan disebabkan oleh asidosis metabolik, gagal jantung dengan edema paru yang
memberat dan terjadi peningkatan SGOT/SGPT
yang menunjukkan inflamasi dan nekrosis pada
otot skelet dan hati namun tidak terjadi gagal ginjal
akut dan sindroma kompartemen yang ditunjukkan
dengan berkurangnya keluhan nyeri.
Karakteristik gejala klinik dan pemeriksaan fisik
ALI terdiri dari 5 P yaitu pain, pulselessness, pallor,
paresthesia, dan paralysis. Beberapa klinisi menambahkan P ke-6 yaitu polar yang berarti ekstremitas
dingin.4 Pain atau nyeri pada ALI ditandai dengan
onset mendadak yang terjadi < 14 hari. Selain itu
dinilai juga durasi dan intensitas nyeri, beratnya iskemia (inkomplit, komplit atau ireversibel),
lokasi oklusi. Pulselessness atau tidak adanya nadi
dibuktikan dengan tidak adanya aliran arteri pada
pemeriksaan ekodoppler. Pallor atau warna pucat
pada tungkai yang iskemia, sering terjadi pada pasien dengan ALI namun yang lebih sering didapatkan
adalah mottling. Paraesthesia adalah berkurangnya
sensorik yang bila disertai dengan tidak adanya
nadi menunjukkan oklusi vaskuler. Paralysis atau
hilangnya kemampuan motorik adalah penanda
buruk untuk dilakukan operasi dan fasiotomi. Polar
Case report
atau rasa dingin pada tungkai tidak dapat digunakan untuk menentukan lokasi oklusi namun bila
disertai mottling yang meluas sampai ke bokong,
kemungkinan lokasi oklusi terdapat di aorta.1,7 Blue
toe syndrome adalah sindroma yang secara mendadak ditandai dengan sianosis, nyeri dan dingin
pada jari kaki I atau punggung kaki.5 Pada pasienpasien ini ditemukan gejala 5P tersebut. Lokasi nyeri
di tungkai bawah kanan sampai dengan kaki, onset
nyeri bersifat akut, intensitasnya semakin hebat dan
beratnya iskemia bersifat komplit (terancam). Arteri
poplitea, arteri tibialis posterior dan arteri dorsalis
pedis tidak teraba pada kasus I dan II. Pada kasus I
hal ini dibuktikan dengan pemeriksaan ekodoppler.
Pada kasus III arteri radialis kiri teraba lebih lemah
dari kanan, sedangkan dari pemeriksaan ekodoppler didapatkan oklusi total arteri ulnaris. Pada
kasus I dan II tungkai bawah sampai kaki kanan
didapatkan mottling yaitu bercak-bercak keunguan yang merupakan tanda iskemia. Ketiga pasien
mengeluh kram yang merupakan tanda paresthesia
yaitu awal dari disfungsi saraf. Paralysis didapatkan
pada pasien ini yaitu berupa keluhan jari-jari tidak
bisa digerakkan yang menujukkan iskemia tahap
lanjut. Pada ujung-ujung jari terdapat tanda sianosis, nyeri dan dingin yang disebut sebagai blue toe
syndrome. Ada 3 tahap diagnosis banding ALI yaitu
1) mengenali kondisi yang menyerupai oklusi arteri,
2) menyingkirkan penyebab lain nonaterosklerotik
oklusi arteri dan 3) menentukan penyebab iskemianya apakah berasal dari trombosis arteri atau emboli.10
MEDICINUS
39
Case report
40 MEDICINUS
Case report
MEDICINUS
41
Case report
diantara enzim-enzim, aktivitas redoks ekstra-mitokondria di dalam sel membran dan endomembran, sebagai
antioksidan yang menghambat peroksidasi lipid dan radikal bebas dengan kekuatan mencapai 50 kali efek anti
oksidan dari vitamin E, serta memberikan efek stabilisasi dan fluiditas membran.22
Berbagai studi mengenai ubiquinone tidak me-nemukan adanya efek samping obat ini, bahkan pada dosis yang
sangat tinggi sekalipun. Pada pasien kasus I, CoQ10 diberikan dengan dosis 600 mg/hari, sesuai dengan dosis
yang digunakan dalam berbagai studi dengan hasil yang baik. Pemberian CoQ10 ditujukan untuk memperbaiki fungsi membran sel sehingga terhindar dari kerusakan akibat iskemia dan stres oksidatif.
Vitamin C dosis tinggi dapat meningkatkan nitric oxide (NO) endotelial dengan cara memproteksinya dari
oksidasi dan meningkatkan sintesisnya. Vitamin C juga terbukti mampu mempertahankan integritas vaskular. Selain itu, vitamin C mempunyai manfaat pada fungsi endotelial vaskuler pasien dengan penyakit kardiovaskular yang merupakan faktor pen-ting untuk terjadinya proses aterosklerosis. Vitamin C juga memiliki
efek vasodilatasi arteri koroner. Efek vitamin C pada komponen koagulasi tidak menunjukkan hasil yang
signifikan.23 Saat ini vitamin C telah banyak digunakan untuk kasus penyakit jantung koroner dan aritmia
jantung. Penggunaan vitamin C dan ubiquinone telah terbukti memiliki efek sinergistik untuk meningkatkan
fraksi ejeksi pada pasien dengan gagal jantung. Dosis vitamin C yang dianjurkan mencapai 3,5 g/hari.27 Pemberian vitamin C pada kasus I ditujukan sebagai antioksidan untuk mengatasi efek radikal bebas setelah
reperfusi. Radikal bebas yang dilepaskan dari jaringan yang iskemik, disamping merusak sel-sel sekitar juga
akan beredar secara sistemik. Vitamin C juga mampu mencegah kerusakan mikrosirkulasi sehingga mencegah risiko perdarahan pada berbagai mukosa tubuh dengan menjaga integritas vaskular mengingat pada
pasien diberikan antikoagulan ataupun fibrinolitik.
REFERENSI
1. Nehler MR. Diagnosis and treatment of acute limb
ischemia. Inter-Society Consensus for the Management
of PAD 2008 [cited 2011 May 13]. Available from URL:
http://www.tasc-2-pad.org
2. Dormandy J, Heeck L, Vig S. Acute Limb Ischemia. Semin
Vasc Surg 1999;12(2):148-53.
3. Rajan DK, Patel NH, Valji , et al. Quality improvement
guidelines for percutaneous management of acute limb
ischemia. J Vasc Interv Radiol 2005;16:585-595.
4. McPherson GAD, Wolfe JHN. Acute Ischemia of the leg.
BMJ 1992;304:169-172.
5. Hirsch AT, Hertzer NR, Bakal CW, et al. ACC/AHA Guidelines for the management of patients with peripheral
arterial disease. J Am Coll Cardiol 2006;47:1239-1312.
6. Mitchell ME, Mohler ER, Carpenter JP. Acute arterial occlusion of the lower extremities (acute limb ischemia). In:
Clement DL, Hoekstra J editors. UpToDate CD room, 18.1
ed, Wallesley, MA. 2010
7. Callum K, Bradbury A. ABC of arterial and venous disease
: acute limb ischemia. BMJ 2000;320:764-7.
8. Iyem H, Eren MN. Should embolectomy be performed in
late acute lower extremity arterial occlusions? Vascular
Health and Risk Management 2009;5:621-626.
9. Kasirajan K, Ouriel K. Current options in the diagnosis
and management of acute limb ischemia. Medscape
News Internal Medicine 2002 [cited 2011 May 4]. Available from URL : http://www.medscape.com/viewarticle/431272.
10. Norgren L, Hiatt WR, J.A. Dormandy JA, et al. InterSociety Consensus for the Management of Peripheral
Arterial Disease (TASC II). Journal of Vascular Surgery
2007;45(1):S5A-S67A.
11. Patel N, Sacks D, Patel IR, et al. SIR reporting standards fot
the treatment of acute limb ischemia with use of transluminal removal of arterial thrombus. J Vasc Interv Radiol
2003;14:S453-S465.
12. Hwang CM, Kim DI, Kim JE, et al. In vivo evaluation of
lumbrokinase, a fibrinolytic enzyme extracted from Lumbricus rubellus, in a prosthetic vascular graft. The Journal
of Cardiovascular Surgery 2002;43(6):891-4.
42
MEDICINUS
13. Jin L, Jin H, Zhang G, et al. Changes in coagulation and tissue plasminogen activator after the treatment of cerebral infarction with
lumbrokinase. Clin Hemorheol Microcirc 2000;23(2-4):213-8.
14. Ding D. The effect of lumbrokinase to the blood clotting in patients with diabetic peripheral neuropathy. Henan Medicine Information Journal 2001.
15. Wang H, Run D, Fang J, Xiao Y. The effect of Baiao-Lumbrokinase
on the plasma endotelin and the diastolic function of left ventricle in unstable angina patients. Capital Medicine 2000;5.
16. Tran A, Lai AC. Dabigatran etexilate: the first oral anticoagulant
available in the United States since warfarin. Cardiology in Review
2011;19(3):154-161.
17. Banach M, Rysz J, Goch A, et al. The role of trimetazidine after acute myocard infarction. Current Vascular Pharmacology
2008;6:282-291.
18. Marzilli M. Trimetazidine : a metabolic agent for the treatment of
stable angina. European Heart Journal Supplements 2001;3:O12
O15.
19. Sierpina VS, Wollschlaeger B, Blumenthal M. Ginkgo Biloba. American Family Phisician 2003;68:923-6.
20. Pournadeali K. Ginkgo biloba, applications for the clinician in
practice [cited 2011 June 20]. Available from URL : http://www.
ncoh.net/services/education/ginkgo.pdf.
21. Collins C, Kemper KJ. Co-Enzyme Q10 (CoQ10 or Ubiquinone) [cited 2011 June 30]. The Longwood Herbal Task Force 1999. Available from URL: http://www.mcp.edu/herbal/default.htm.
22. Padayatty SJ, Katz A, Wang Y, et al. Vitamin C as an antioxidant:
evaluation of its role in disease prevention. Journal of the American College of Nutrition 2003:22(1);18-35.
23. Demir T, Turgut B, Ozercan I, Gul FC, Ilhan N, Celiker
U.Trimetazidine for prevention of induced ischemia and reperfusion of guinea pig retina. Clinical Ophthalmology 2010:4;2126.
24. Tereshchenko SN, Drozdov VN, Levchuk NN, Demidova IV. [Plasma
hemostasis and biochemical indices in trimetazidine treatment of
patients with chronic heart failure]. Ter Arkh. 1998;70(6):41-4.
25. Wolf HR. Does Ginkgo biloba special extract EGb 761 provide additional effects on coagulation and bleeding when added to acetylsalicylic acid 500 mg daily. Drugs R D. 2006;7(3):163-72.
26. John T. A. dan Cheryl A. A Brief Update on Ubiquinone (Coenzyme
Q10). Journal of Orthomolecular Medicine 2000; 15(2):63-68
TEchnology
Abstrak
Abstrack
PENDAHULUAN
Industri Farmasi merupakan industri yang dinamis, perubahan merupakan hal yang konstan terjadi yang tidak dapat dielakkan. Banyak faktor yang mengharuskan industri farmasi
melakukan perubahan, misalnya :
MEDICINUS
43
TEchnology
pengetahuan dan teknologi untuk meningkatkan perlindungan kepada konsumen. Persyaratan penerapan CPOB juga selalu berubah cenderung lebih ketat.
3. Perubahan yang ada kaitannya dengan peningkatkan keselamatan kerja karyawan yang
bekerja di industri farmasi dan keselamatan masyarakat di sekitar industri farmasi
dari pengaruh buruk yang ditimbulkan oleh
kegiatan yang dilakukan oleh industri farmasi.
4. Perubahan pada perangkat lunak yang digunakan di industri farmasi.
5. Perubahan-perubahan standar yang diterapkan di industri farmasi (standar nasional atau
standar internasional)
PENGENDALIAN PERUBAHAN
Industri Farmasi mempunyai kewajiban untuk
menjaga kegiatannya selalu di bawah kendali
dan harus mengendalikan kualitas produknya. Pengendalian yang baik juga merupakan
pengendalian bisnis yang baik, karena dapat
memberikan hasil produk yang konsisten dalam
kualitas dan kuantitas, meminimalkan kegagalan produksi, fasilitas dan proses selalu dalam
kondisi yang baik.
Pengendalian Perubahan adalah suatu fungsi
manajemen dan merupakan elemen yang kritis (rawan) dalam Sistem Manajemen Mutu di
Industri Farmasi, Departemen Pemastian Mutu
(Quality Assurance) adalah departemen yang biasanya ditugaskan sebagai penanggung jawab
Pengendalian Perubahan di Industri Farmasi
karena Pengendalian Perubahan merupakan aspek yang penting dalam penerapan Pemastian
Mutu (Quality Assurance) di Industri Farmasi.
Pengendalian perubahan merupakan tuntutan
CPOB yang difokuskan pada pengelolaan perubahan untuk mencegah konsekuensi yang tidak
diharapkan berkaitan dengan mutu obat yang
dihasilkan. Pengendalian Perubahan merupakan suatu sistem yang formal di mana pimpinan beberapa departemen (Tim Pengendalian
Perubahan) mengkaji usulan perubahan atau
mengkaji perubahan yang terjadi yang mungkin mempengaruhi status validasi suatu fasilitas,
sistem, peralatan atau proses. Tujuan Pengen-
44
MEDICINUS
TEchnology
PENANGANAN PERUBAHAN.
Di dalam melaksanakan penanganan perubahan, dilakukan dengan beberapa langkah
berikut:
1. Identifikasikan perubahan yang potensial.
Perlu dipastikan di sini, apakah perubahan
ini merupakan persyaratan peraturan dan
signifikansi dari perubahan apakah akan
memperbaiki mutu, proses atau mengurangi biaya?
2. Catat perubahan yang diusulkan dalam
format tertentu. Disediakan Format yang
sesuai dengan Protap Pengendalian Perubahan. Format tersebut sudah disetujui pejabat yang berwenang dan masih
berlaku (terkini).Isian pada format menguraikan dengan jelas dan objektif usulan
perubahan berikut alasannya.
3. Berikan alasan ilmiah yang lengkap tentang
usulan perubahan berikut bukti dari data
yang lampau, data penunjang berupa data
teknis yang baru.
4. Persetujuan dari Pejabat yang berwenang.
Usulan perubahan diedarkan kepada
pejabat yang bersangkutan (anggota Tim
Pengendalian Perubahan) untuk dilakukan
evaluasi. Usulan perubahan dievaluasi berdasarkan pertimbangan :
a. Persyaratan Peraturan
b. Kelayakan secara teknis.
c. Kaitannya dengan persyaratan CPOB dan
persyaratan mutu.
d. Efektivitas Biaya
5. Lakukan perubahan pada dokumen yang
diperlukan. Untuk ini perlu dilakukan :
a.Identifikasi dokumen yang diperlukan.
b.Lakukan perubahan dokumen untuk
mengimplementasikan perubahan.
c.Distribusikan dokumen hasil perubahan
dan tarik dokumen yang lama
6. Lakukan Pelatihan-pelatihan Karyawan.
Diberikan pelatihan kepada personil yang
menangani/terlibat pada sistem. Hasil
pelatihan dicatat dan didokumentasikan.
7. Laksanakan Perubahan :
Karyawan yang menangani/terlibat dalam
sistem melaksanakan pekerjaan dengan
mengikuti instruksi/dokumen yang su-
MEDICINUS
45
TEchnology
46
MEDICINUS
rubahan pada peralatan/proses/sistem/ pengujian tanpa adanya peninjauan formal dan tanpa
persetujuan melalui prosedur pengendalian
perubahan. Setiap usulan perubahan yang ada
relevansinya dengan CPOB harus dirancang, ditinjau ulang dan disetujui oleh pejabat yang berwenang (Pemastian Mutu). Usulan hendaklah
disiapkan oleh departemen yang mengajukan
usulan perubahan, ditinjau dan disetujui oleh
Tim pengendalian Perubahan yang terdiri dari
Pimpinan Departemen Pemastian Mutu, departemen lain yang relevan dan dalam hal tertentu
diminta keterlibatan pimpinan puncak
Beberapa Contoh usulan perubahan :
Usulan perbahan yang sering terjadi pada pembuatan obat misalnya adalah :
1. Perubahan Ukuran Bets.
Perubahan ukuran bets menjadi bets yang lebih
besar atau bets yang lebih kecil. Perubahan
ukuran bets memerlukan perubahan mesin/
peralatan atau perubahan pada proses pembuatan. Perubahan ini memerlukan kualifikasi
mesin dan peralatan jika menggunakan mesin/
peralatan baru, perubahan formula untuk satu
bets, perubahan proses pembuatan dan kemungkinan perubahan pada stabilitas produk
obat. Kebutuhan yang diperlukan adalah :
a. Catatan Pengolahan Bets. Karena ukuran bets
berubah, maka jumlah bahan awal yang digunakan untuk pembuatan satu bets juga berubah, juga kemungkinan diperlukan perubahan pada proses produksinya.
b. Validasi Proses. Jika industri farmasi sudah
memiliki cukup pengalaman pada pembuatan produk obat tersebut, validasi proses
yang akan dilakukan cukup validasi kongkuren (concurrent validation).
c. Studi stabilitas.
Perubahan ukuran bets memerlukan studi stabilitas ulang.
2. Perubahan mesin/ peralatan pada proses.
Perubahan mesin/peralatan pada proses pembuatan memerlukan :
a. Kualifikasi mesin/peralatan.
TEchnology
dari vendor lain. Proses pembuatan (sintesa) bahan awal di pabrik pembuat bahan awal antara
suatu pabrik dengan pabrik yang lain tidak selalu sama, juga kemungkinan bahan kimia (termasuk pelarut) yang digunakan pada sintesa
bahan awal tidak sama. Pengotor (impurities),
bentuk kristal dan ukuran kristal produk yang
dihasilkan juga tidak selalu sama.
Perubahan pemasok bahan awal memerlukan :
a. Validasi Proses.
Perbedaan bahan awal karena perbedaan
pembuatnya dapat menyebabkan perubahan
pada kondisi pengendalian selama proses
produksi sehingga diperlukan validasi ulang.
Biasanya validasi yang dilakukan adalah validasi kongkuren.
b. Validasi Metode Analisis.
Bahan awal dari pabrik yang berbeda
menyebabkan kemungkinan perbedaan pada
pengotor, produk uraiannya, bentuk dan ukuran kristal, sisa pelarut dan lain sebagainya.
Metode Analisis yang biasa digunakan kemungkinan tidak memberikan hasil yang
memuaskan. Analisis kualitatif analisis kuantitatif dan analisis lainnya dari bahan awal
perlu divalidasi ulang.
5. Perubahan pada Bahan Pengemas Primer.
Industri farmasi melakukan perubahan bahan
pengemas primer, misalnya mengubah ketebalan aluminium foil untuk strip dan blister,
mengubah kemasan dari strip ke botol dan sebagainya. Perubahan bahan pengemas primer
memerlukan :
a. Catatan Pengemasan Bets.
Industri farmasi belum memiliki Catatan
Pengemasan Bets yang menggunakan bentuk kemasan yang baru, sehingga diperlukan
Catatan Pengemasan Bets
b. Validasi Proses Pengemasan.
Perubahan Proses Pengemasan memerlukan
informasi baru tentang langkah dan kondisikondisi yang diperlukan pada proses pengemasan agar diperoleh hasil produk jadi yang
memenuhi persyaratan sesuai dengan yang
telah ditetapkan. Untuk itu perlu dilakukan
Validasi Proses Pengemasan. Validasi Proses
MEDICINUS
47
TEchnology
yang akan dilakukan adalah validasi prospektif karena perubahan proses pengemasan
merupakan hal yang baru yang belum pernah
dilakukan sebelumnya.
c. Studi Stabilitas.
Perlu dilakukan Studi Stabilitas karena perubahan kemasan misalnya perubahan ketebalan aluminium pada strip atau blister, perubahan bentuk kemasan dari strip/blister ke
botol.
KESIMPULAN
Pengendalian Perubahan merupakan kegiatan
yang sangat penting untuk dilakukan di industri
farmasi. Pengendalian Perubahan merupakan
bentuk pemastian mutu suatu industri farmasi
dan pada penerapannya memerlukan kerja
sama dari semua departemen yang terlibat
dalam pembuatan obat. Prosedur tetap Pengendalian Perubahan hendaklah secara rinci
menjelaskan tujuan dari perubahan, manfaat
perubahan, dampak yang mungkin terjadi akibat perubahan dan mengusahakan seminimal
mungkin dampak negatif. Penerapan Pengendalian Perubahan memerlukan perbaikan terus
menerus untuk meningkatkan kinerja pemastian mutu di industri farmasi.
referensi
1. Simon G.Turner (editor) : Pharmaceutical Engineering Change Control , 2nd
ed. , Interpharm/CRC,2004, p.2-4,16.
2. Badan POM RI, Pedoman Cara Pembuatan Obat yang Baik, 2006,hal. 121-122
3. Badan POM RI, Petunjuk Operasional
Penerapan Cara Pembuatan Obat yang
Baik, 2006 (2009),hal 16-22
4. Willig,Sydney H, Stoker James R, Good
Manufacturing Practice for Pharmaceuticals, A Plan for Total Quality
Control,4th ed, Marcel Dekker,Inc.p 9091.
5. PT.ISFI Millenium, Materi Pelatihan Penanganan Perubahan (2009)
48
MEDICINUS
Calendar Event
MEI 2012
3th National Symposium Cardiovascular
Anesthesia
Tema: From Basic Sciences to Clinical
Practice
9-12 Mei 2012, Hotel Gumaya, Semarang
Contact Person: Erlin
HP: 08121232664
Email: erlin@gpdindonesia.com
Konferensi Nasional XII Perhimpunan
Respirologi Indonesia
Tema: Integrated Management in Respiratory Medicine
25-27 Mei 2012, Hotel Grand Clarion, Makassar
Contact Person: Marjanna
HP: 085 2424 5130
Email: konasperparimakassar@gmail.com
JUNI 2012
Pertemuan Ilmiah Nasional X PB PAPDI
Tema: Emergency in Internal Medicine
Course (EIMED Course)
29 Juni-1 Juli 2012, Hotel Gran Senyiur, Balikpapan, Kalimantan Timur
Contact Person: SEKRETARIAT PIN X PB
PAPDI
Gedung CBB Bumiputera, Ground Floor 2B
Jl. Probolinggo No.18, Gondangdia, Menteng, Jakarta Pusat 10350
Telp: 021-2300881
Fax: 021-2305057/2300588
Email:
pin9pbpapdi@gmail.com,
pin9pbpapdi@yahoo.co.id,
pb_papdi@indo.net.id
Medical review
PENDAHULUAN
Seiring dengan menurunnya angka kematian
perinatal, para ahli obstetri dan ginekologi kini
mulai fokus memperbaiki angka kecacatan ibu
melahirkan dan bayi. Hubungan antara kehamilan, persalinan dan dasar panggul, merupakan
pertanyaan penting bagi para ahli obstetri dan
ginekologi khususnya bidang uroginekologi
rekonstruksi. Seperti diketahui dasar panggul akan mengalami trauma ekstrim selama
persalinan dan ini sering menjadi penyebab
terjadinya prolaps uterovaginal dan simptom
kandung kemih di masa yang akan datang. Jika
hubungan ini dapat dijelaskan, maka ada kemungkinan manipulasi persalinan untuk meminimalkan kecacatan ibu jangka panjang akibat
kerusakan dasar panggul. Fakta-fakta ini akan
dijelaskan dalam makalah ini.
Perubahan Struktur Panggul
Data paling dini mengenai perubahan pada
traktus urinarius bagian bawah sebagai akibat
dari kehamilan dan persalinan didapat dari
pembedahan dua orang wanita pada abad
ke-19. Satu orang meninggal pada kehamilan
lanjut sedang yang lain meninggal pada persalinan. Pembedahan sagital ini menunjukkan
adanya perubahan posisi dari kandung kemih
dan uretra. Malpas dkk1 menampilkan penelitian secara radiologis pada kehamilan dan
persalinan. Hasil penelitian menunjukkan perubahan leher kandung kemih dan pemanjangan
uretra selama persalinan. Perubahan tersebut
dapat menyebabkan kerusakan irreversibel
pada struktur penunjang panggul dan mekanisme sfingter serta dapat memberikan kontribusi
terjadinya prolaps organ panggul dan inkontinensia urin di masa yang akan datang. Meskipun
pada penelitian itu menggunakan sistoskopi2
tapi telah dikonfirmasi bahwa trauma yang terjadi pada persalinan per vaginam diperkirakan
tidak terbukti menimbulkan kerusakan irreversible dan juga tidak terbukti bahwa hal tersebut
merupakan faktor pencetus terjadinya kerusakan dasar panggul.
Apakah Kehamilan Menyebabkan Kerusakan
Sfingter Ani?
Sultan dkk3 meneliti pada 20 orang wanita yang
melahirkan secara seksio sesarea, untuk membuktikan apakah kehamilan itu sendiri mempunyai efek terhadap fungsi dan morfologi dari
sfingter ani. Pemeriksaan endosonografi anus
dan manometri yang dilakukan selama kehamilan dan 6 minggu setelah operasi seksio sesarea
menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang
signifikan dalam hal ketebalan dari muskulus
puborektalis, sfingter ani eksternal ataupun internal pada sebelum dan sesudah seksio sesarea.
Apakah Persalinan Menyebabkan Kerusakan
Sfingter Ani?
Pada tahun 1993, Sultan dkk4 meneliti pada 202
orang wanita yang melahirkan secara berturutturut, dan mengikuti perkembangan 150 orang
diantaranya setelah persalinan. Dua puluh delapan orang (35%) dari primipara yang bersalin per vaginam didapatkan adanya kerusakan
baru dari sfingter ani yang terdeteksi dengan
pemeriksaan endosonografi pada 6 minggu
post partum dan kerusakan ini menetap selama
6 bulan . Sebanyak 19 orang (40%) mengalami
kerusakan sfingter ani sebelum persalinan dan
21 orang (44%) setelah persalinan. Sedangkan
pada kelompok wanita yang melahirkan secara
seksio sesarea tidak mengalami kerusakan baru
MEDICINUS
49
Medical review
50
MEDICINUS
Medical review
Allen dkk8 meneliti 96 wanita nulipara untuk memperkirakan apakah kelahiran bayi
menyebabkan kerusakan pada otot lurik dan
aliran saraf pada dasar panggul. Wanita-wanita
ini diteliti pada umur kehamilan 36 minggu,
pada 25 hari setelah melahirkan dan pada 2
bulan setelah persalinan per vaginam. Pada
penelitian ini mereka menggunakan jarum elektromiografi (EMG) konsentrat, tes konduksi
nervus pudendus dan kekuatan otot-otot dasar
panggul pada 80% kasus. Dalam beberapa kasus dikaitkan dengan inkontinensia.
Bukti-bukti lebih jauh bahwa persalinan per
vaginam menyebabkan trauma pada saraf seperti dikemukakan oleh Snooks dkk9 yang menemukan bukti denervasi dasar panggul terjadi
pada wanita yang bersalin per vaginam tetapi
tidak pada wanita yang bersalin per abdominal.
Sultan dkk11 dalam sebuah penelitian prospektif, meneliti post partum dan sub grup (n=24)
diikuti sampai 6 bulan postpartum. Mereka
menemukan pemanjangan yang signifikan
dari Pudendal Nerve Terminal Motor Latencies (PNTML), terdapat interval waktu stimulasi
elektrik dari saraf dan meningkatnya kontraksi
sfingter ani eksternal, pada wanita yang melahirkan per vagina. PNTML tidak memanjang
pada wanita dengan persalinan secara seksio
sesarea elektif tetapi secara signifikan memanjang pada wanita dengan seksio sesarea darurat.
Penelitian ini menunjukkan bahwa persalinan
per vaginam kemungkinan besar menyebabkan denervasi otot-otot dasar panggul.
Apakah denervasi dasar panggul berkaitan
dengan masalah jangka panjang?
Terdapat bukti-bukti nyata bahwa persalinan
per vaginam dan kemungkinan besar seksio
sesarea darurat dapat menyebabkan denervasi
otot-otot dasar panggul. Hubungan denervasi
parsial dari otot-otot dasar panggul dengan
inkontinensia urin dan alvi telah diteliti oleh
Snooks dkk.9,12 Ia meneliti 40 wanita dengan
inkontinensia alvi idiopatik, 20 orang daripadanya juga menderita inkontinensia urin,
dan ditemukan terminal ketika dibandingkan
dengan 20 orang kontrol. Saraf perineal terminal latennya meningkat lebih bermakna pada
20 orang dengan inkontinensia berganda daripada dengan inkontinensia alvi saja. Penelitian
serupa juga dilaporkan oleh Smith dkk13 yang
menampilkan elektromiografi serat tunggal
dari otot pubokoksigeus 69 wanita asimptomatik dan 105 wanita dengan inkontinensia urin,
prolaps genitourinaria atau keduanya. Wanita
yang simptomatik terjadi peningkatan denervasi dasar panggul yang signifikan dibandingkan
dengan wanita yang asimptomatik. Hasil dari
kedua penelitian ini merupakan bukti langsung
dari denervasi otot-otot dasar panggul pada
prolaps urogenital dan inkontinensia urin dan
alvi.
Apakah kerusakan saraf khususnya akibat persalinan akan mengakibatkan gejala sisa untuk
waktu yang lama? Penelitian mengenai kerusakan saraf akibat persalinan dapat bertahan
lama dan berhubungan dengan inkontinensia
telah dijelaskan oleh Snooks dkk.14 Penelitian
ini mengikuti perkembangan 14 dari 24 orang
(58%) wanita multipara yang melahirkan per
vaginam selama 5 tahun. Penelitian tersebut
menunjukkan bahwa persalinan per vaginam
mengakibatkan neuropati pudendal menetap
dan dapat berakibat pada peningkatan inkontinensia flatus atau urin, terutama setelah persalinan per vaginam ketiga.
Persalinan Menggunakan Alat Dan Kerusakan Dasar Panggul
Mac Arthur dkk,5 pada sebuah penelitian kohort retrospektif yang dilakukan terhadap 906
wanita selama 10 bulan setelah persalinan untuk mendapatkan informasi mengenai inkontinensia alvi post partum. Mereka menemukan
bahwa diantara persalinan per vaginam, persalinan menggunakan alat termasuk forseps
dan vakum ekstraksi, merupakan faktor risiko
tersendiri untuk terjadinya inkontinensia alvi.
Data dari penelitian ini dapat dilihat pada tabel
1 dan jumlah yang dibutuhkan untuk kerusakan
atau number needed to harm (NNH) adalah 16
(95% CI20). Dengan kata lain, untuk setiap 16
persalinan menggunakan alat, 1 pasien mempunyai kemungkinan menderita inkontinensia alvi.
Dalam sebuah penelitian mengenai kerusakan
sfingter ani akibat persalinan per vaginam pada
MEDICINUS
51
Medical review
menemukan bahwa
denervasi dasar panggul lebih buruk pada
wanita yang melahirPersalinan Menggunakan Persalinan
Tanpa
kan bayi dengan berat
Alat
Alat
badan lahir besar.
Inkontinensia Alvi
12
24
Penelitian Sultan dkk,13
Tidak
114
733
menemukan bahwa
persalinan per vagiTabel 2. Angka kejadian inkontinensia alvi pada persalinan menggunakan
nam pada bayi denMEDREV_kerusakan
dasar panggul akibat hamil dan salin
alat dan seksio sesarea
darurat.
gan berat badan lahir
Persalinan Menggunakan
Seksio sesarea darurat
4 kg atau lebih secara
Alat
6
Inkontinensia Alvi
12
signifikan lebih sering
114
Tidak
menyebabkan kerusakan dasar panggul
derajat 3 (p=0,00002).
tahun 1993, Sultan dkk4 mencatat bahwa 8 dari
Allen dkk,8 menemukan bahwa 80% wanita
10 wanita yang melahirkan menggunakan foryang melahirkan per vaginam mendapatkan
ceps mendapat kerusakan sfingter ani, dan
denervasi dasar panggul dengan berbagai deratidak satupun dari 5 wanita yang melahirkan
jat, yang melahirkan bayi lebih berat mendapat
menggunakan vakum ekstraksi mendapat
lebih banyak kerusakan.
kerusakan sfingter. Pada penelitian lebih lanjut,
Mac Arthur meneliti 43 primipara yang bersaLamanya persalinan dan kerusakan dasar
lin menggunakan alat (17 vakum dan 26 forpanggul
ceps) dan membandingkan mereka dengan 47
Selama kala dua dari persalinan di mana kepala
wanita yang melahirkan per vaginam spontan.
bayi telah di dasar panggul dan panggul telah
Hasilnya menunjukkan bahwa yang bersalin
tertekan. Lamanya kala dua dari persalinan dimenggunakan forceps mendapat gejala-gejala
duga dapat menyebabkan kerusakan dasar
kelainan buang air besar secara nyata dibandpanggul lebih besar. Snooks dkk10 menemukan
ingkan dengan yang bersalin menggunakan vabahwa kerusakan saraf pudendus yang lebih
kum atau kelompok kontrol. Penelitian lain dari
buruk mengikuti kala dua lama, dan penelitian
Sultan dkk13 di mana mereka secara retrospektif
lain8,10 menunjukkan bahwa denervasi dasar
melaporkan variabel obstetrik yang memprepanggul lebih berat mengikuti kala dua lama.
disposisi kerusakan sfingter ani derajat 3, menemukan kerusakan derajat 2 terjadi pada 50%
Episiotomi, kerusakan derajat tiga dan kerupasien dengan persalinan menggunakan forsakan dasar panggul
ceps, dibandingkan 7% pada kelompok kontrol
Pada suatu penelitian prospektif, Rockner dkk,14
(p=0,00001). Tidak ditemukan kerusakan derameneliti kekuatan otot dasar panggul sebelum
jat 3 pada 351 persalinan menggunakan vakum
dan sesudah melahirkan pada 87 wanita denekstraksi. Sebagai contoh, pemilihan forceps
gan kehamilan tanpa komplikasi. Pada kelomdaripada vakum ekstraksi disebabkan operapok wanita dengan persalinan per vaginam,
tor mengantisipasi adanya kesulitan dan banmereka membagi menjadi tiga kelompok kecil
yaknya trauma. Allen dkk8 menemukan bahwa
yaitu kelompok dengan episiotomi, kelompok
persalinan forceps tidak meningkatkan derajat
Disampaikan pada Simposium PERINASIA tanggal 24 Maret 2007 Banjarmasin
1
dengan laserasi spontan dan kelompok dengan
denervasi dasar panggul ketika dibandingkan
Page 1
perineum utuh.
dengan persalinan per vaginam spontan.
Tabel 1. Angka kejadian inkontinensia alvi yang mengikuti persalinan
per vaginam spontan dan menggunakan alat.
52
MEDICINUS
Tidak ditemukan perbedaan pada rata-rata berat badan lahir, lama persalinan dan rata-rata
ukuran lingkar kepala bayi diantara ketiga kelompok ini. Kekekuatan otot dasar panggul yang
Medical review
dinilai berdasarkan kekuatan menahan beratnya cones vagina, didapatkan hasil lebih lemah pada
kelompok episiotomi, terdapat perbedaan yang disignifikan antara kelompok ini dengan kelompok
seksio sesarea elektif. Tidak ditemukan adanya perbedaan antara kelompok laserasi spontan dengan
kelompok perineum utuh.
Tabel 3. Perbandingan onset gejala defekasi dan kerusakan sfingter pada berbagai tipe
persalinan per vaginam.
MEDREV_kerusakan dasar panggul akibat hamil dan salin
Persalinan spontan
Persalinan menggunakan Forceps
Persalinan menggunakan vakum
Kerusakan sfingter n
(%) nilai P
2 (4)
10 (38) 0,003
2 (12) NS
17 (36)
21 (81) 0,0005
4 (21) NS
Keterangan :
NS
: Not Significant
Nilai P : dibandingkan dengan kelompok persalinan spontan
KESIMPULAN
Penelitian yang dilakukan sejauh ini menunjang poin-poin berikut :
Persalinan per vaginam dan persalinan lainnya menyebabkan kerusakan langsung pada otot-otot
panggul termasuk struktur-struktur penunjang panggul dan sfingter.
Persalinan per vaginam dan semua persalinan menyebabkan kerusakan tidak langsung terhadap
otot-otot panggul dan sfingter disebabkan oleh denervasi dengan derajat yang berbeda-beda.
Kerusakan langsung dan tidak langsung selama persalinan merupakan dasar dari prolaps uterovaginal dan inkontinensia alvi/urin di kemudian hari.
referensi
1. Malpas P, Jeffoate TNA, Lister UM.The displacement of baldder and urethra during labour. Obstet Gynaecol Br Empire J 1949; 56:949-6
2. Funnell Jw,Klawan AH,Cottrell TLC. The postpartum baldder. AM J Obstet Gynecol 1954;67:1249-56
3. Sultan AH, Kamm MA, Hudson CN. Effect of pregnancy on anal sphinter morphology and function. Int J Colorectal Dis 1993; 4:206209
4. Sultan AH, Kamm MA, Hudson CN. Anal sphinter disruption during vaginal delivery. N Engl J Med 1993; 23:1956-57
5. Mac Arthur C, Blick DE, Keighley MR. Faecal incontinence after childbirth. Br J Obstet Gynaecol l997; 104:46-50
6. Ryhammer AM, Bek KM, Laurberg S. Multiple vaginal deliveries increase the risk of permananernt incontinence of flatus or urine in
normal premenopausal women. Dis colon rectum 1995; 11:1206-09
7. Snooks SJ, Henry MM, Swash M. Faecal incontinence due in external anal sphinter division in childbirth associated with damage to
the innervation of the pelvic floor musculature: Adouble pathology . Br J Obstet Gynaecol 1985; 8:824-28
8. Allen RE, Hosker GL, Smith AR, Warrel DW. Pelvic floor damage and childbirth: A Neuro physiological study: Br J Obstet Gynaecol
1990; 9:770-79
9. Snooks SJ, Swash M, Setchell M, Henru MM. Injury to innervation of the pelvic floor musculature in childbirth. Lancet 1984; 2:546-50
10. Snooks SJ, Swash M, Henry MM, Setchell M. Risk factors in childbirth causing damage to the pelvic floor innervation. Int J Colorect
Dis l986;1:20-4
11. Sultan AH, Kamm MA, Hudson CN. Pudendal nerve damage during labour : prospective study before and after childbirth.Br J Obstet
Gynaecol l994;1:22-5
12. Snooks SJ, Swash M, Matheers SE, Hebry MM. Effect of vaginal delivery on the pelvic floor: a five year follow up. Br J Surg l990;
2:1358-60
13. Sultan AH, Kamm MA, Hudson CN, Batram CI. Third degree obstetric anal sphinter tears: Risk factors and outcome of primary repair.
BMJ l994a; 308:887-91
14. Rockner G, Jonasson A, Olund A. The effect ob medio lateral episiotomy at delivery on pelvic floor muscle strength evaluated wit
vaginal cones. Acta Obstet Gynecol Scand l99l; 70:51-54
Page 1
MEDICINUS
53
Medical review
PENDAHULUAN
Aktivitas seksual pada masa kehamilan, boleh
atau tidaknya seringkali menjadi persoalan
yang menghantui pasangan suami istri. Bahkan
karena alasan takut, seringkali pasangan suami
istri tidak melakukan hubungan seks selama kehamilan. Pada dasarnya seks pada waktu hamil
tidak akan menggangu janin, karena janin
dilindungi oleh banyak barrier seperti kantong
amnion, dinding yang tebal, dan lapisan mucus
yang tebal yang mampu melawan infeksi.1,2
PERUBAHAN FISIOLOGIS SAAT HAMIL
Sebagian besar perubahan tubuh pada ibu
bersifat temporer/sementara dan kebanyakan
disebabkan oleh kerja hormon yang ada dalam
tubuh. Perubahan-perubahan fisiologi pada sistem reproduksi tersebut antara lain :
Perubahan Pada Uterus
Perubahan anatomi yang sangat jelas pada
anatomi maternal adalah pembesaran uterus
untuk menyimpan janin yang sedang tumbuh.
Uterus tumbuh dari ukuran yang kecil kemudian menjadi organ yang hampir padat menjadi
dinding yang tebal dengan kantung muscular
yang mengandung janin, plasenta dan air ketuban. Taksiran kasar perbesaran uterus pada perabaan tinggi fundus :
Tidak hamil / normal: sebesar telur ayam (+30
g)
Kehamilan 8 minggu: telur bebek
Kehamilan 12 minggu: telur angsa
Kehamilan 16 minggu: pertengahan simfisispusat
Kehamilan 20 minggu: pinggir bawah pusat
Kehamilan 24 minggu: pinggir atas pusat
Kehamilan 28 minggu: sepertiga pusat-xyphoid
Kehamilan 32 minggu: pertengahan pusatxyphoid
54
MEDICINUS
Medical review
Kehamilan merupakan suatu waktu dimana terdapat banyak perubahan pada pasangan suami
istri termasuk perubahan dalam hubungan seksual. Perubahan fisik dan psikologi dapat mempengaruhi kehidupan dan aktivitas seksual, sehingga komunikasi sangat memegang peranan
penting. Terjadi perubahan-perubahan fisiologi,
yang meliputi morning sickness, pembengkakan
atau perubahan bentuk tubuh, yang dapat
mengurangi hasrat seksualnya.6,7
Kulit.
Peningkatan aktifitas melanophore stimulating hormon menyebabkan perubahan berupa
hiperpigmentasi pada wajah (kloasma gravidarum), payudara, linea alba (-> linea grisea),
striae lividae pada perut.
MEDICINUS
55
Medical review
ngan seksual selama tiga bulan pertama kehamilan dan sebaiknya konsultasi ke dokter.7,9
Hubungan seks pada trimester kedua
Berbagai keluhan ketidaknyamanan yang dirasakan pada trimester pertama biasanya berhenti
pada trimester kedua. Sebagian besar wanita
mengalami pembaharuan energi dan peningkatan gairah seksual ketika rasa tidak nyaman
tersebut berkurang. Selama trimester kedua ibu
hamil mulai merasa nyaman dengan keadaannya. Hal-hal yang terjadi pada trimester kedua
antara lain vagina terasa lebih membengkak
dan terjadi peningkatan lubrikasi vagina. Beberapa wanita hamil mengatakan bahwa mereka
lebih mudah terangsang dan lebih responsif secara seksual pada periode ini.7,9
Master dan Johnson (2004) menemukan bahwa
terdapat peningkatan gairah dan kenikmatan
seksual pada trimester kedua yang diakibatkan
oleh kongesti dari vaskularisasi panggul dan
mungkin karena sudah berkurangnya keluhan
hiperemesis gravidarum. Serupa dengan penelitian tersebut, Reamy (2004) juga menemukan
bahwa gairah seksual akan meningkat pada trimester kedua, namun secara progresif menurun
pada trimester satu dan tiga.6
Hubungan seks pada trimester ketiga
Libido dapat turun ketika kehamilan memasuki
trimester ketiga, karena rasa nyaman yang mulai
berkurang. Pegal di punggung dan pinggul, tubuh
bertambah berat dengan cepat, nafas lebih sesak
(karena besarnya janin mendesak dada dan lambung), dan kembali merasa mual adalah beberapa
penyebab yang dapat 'disalahkan' atau menjadi
alasan menurunnya minat seksual.10
Beberapa pasangan khawatir dalam melakukan aktivitas seksual karena pada saat orgasme kadangkadang wanita hamil dapat merasakan kontraksi
pada uterusnya dan pergerakan janin menjadi
sangat kuat, namun sebenarnya bila tidak ada indikasi medis, kontraksi ini normal dan tidak berbahaya. Namun menjelang hari persalinan pasangan
sebaiknya mengurangi aktivitas seksual bila ada
masalah kelelahan pada wanita hamil. Karena
bagi beberapa atau sebagian kecil wanita hamil,
aktivitas ringan pun dapat sangat melelahkan.
56
MEDICINUS
Medical review
MEDICINUS
57
Medical review
Keuntungan:
(1) Dapat dilakukan pada kehamilan tua atau
bila keduanya payah, usia tua, dan pada masa
penyembuhan penyakit; (2) Tekanan bokong
wanita terhadap tubuh sering kali menambah
rangsangan seksual pria; (3) Tangan pria bebas
memberikan rangsangan pada bagian tubuh
wanita yang peka rangsangan seksual.
Posisi wanita berlutut, baik untuk menghasilkan
pembuahan pada keadaan posisi uterus dengan
kedudukan retrofleksio dan retroversio yang disertai keluhan infertilitas posisi ini sangat menguntungkan. Posisi ini dianjurkan apabila koitus
dirasakan nyeri oleh wanita akibat perlukaan
perineum atau akibat episiotomi pada waktu
persalinan, dan setelah operasi plastik pada vagina dan perineum.
Kekurangan:
(1)Keintiman dan kemesraan kurang terjadi; (2)
Klitoris tidak mengalami gesekan penis, sehingga bagi sebagian wanita kurang memberikan
rangsangan seksual; (3) Tidak menguntungkan
kedua belah pihak karena rangsangan di tempat
erotik tidak dapat berlangsung terus menerus
sehingga orgasme wanita sulit tercapai.
58
MEDICINUS
referensi
1. Gimpaya A.V. Berhubungan sex selama kehamilan.
[online] 2009 Mei 11. [cited 2008 Agustus 22]. Available from URL : http://panduankesehatan.blogspot.
com/search/label/Ensiklopedia/20Seks
2. Emilia O. Good sex membantu siapkan persalinan.
[online] 2009 Mei 11. [cited 2008 Agustus ]. Available
from URL : http://klinik-sehat.com/category/seputarkewanitaan
3. Munandar R. Perubahan psikologis dan fisiologis kehamilan. [online] 2009 Mei 24. [cited 2008 September
13]. Available from : http://one.indoskripsi.com/
4. Harnawatiaj. Perubahan anatomi dan fisiologi wanita hamil. [online] 2009 Mei 24. [cited 2008 April
3]. Available from : http://harnawatiaj.wordpres.
com/2008/04/03/perubahan-anatomi-dan-fisiologiwanita-hamil/
5. Anymous. Perubahan fisik wanita hamil. [online] 2009
Mei 24. Available from : http://medicastore.com/
6. Uwapusitanon W, Choobun T. Sexuality and sexual activity in pregnancy. Thailand: J Med Assoc Thai 2004;
87(suppl 3); S45
7. Anymous. Intercourse during pregnancy. [online]
2009 Mei 11. Available from: URL: http://www.pregnancy.org/articles
8. Indrawan J. Jangan takut menikmati sex saat hamil.
[online] 2009 Mei 11. [cited 2008 Juli 24]. Available
from URL : http://www.tanyadokteranda.com/artikel/
9. University of Pittsburgh Medical Center. Sex during
pregnancy. [online] 2009 Mei 11. [cited 2003]. Available from : http://www.upmc.com
10. Mariana L. Sex selama kehamilan. [online] 2009 Mei
11. [cited 2008 September 21]. Available from URL :
http://dwilovaniez.blogspot.com/2008/12/Sex-selama-kehamilan.html
11. American Academy Of Family Physiclans. Sex During
Pregnancy. [online] 2009 Mei 11. [cited 2008]. Available from URL : http://www.familydoctor.org
12. Wiknjosastro H. Psikomatik dan seksologi. Dalam:
Wiknjosastro H, Saifuddin A.B, Rachimhadhi T, eds.
Ilmu kandungan. Edisi 2, Cetakan III. Jakarta: Yayasan
Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 1999; 590/1
13. Pangkahila W. Posisi hubungan seksual. [online] 2009
Mei 11. [cited 2006 Januari 07]. Available from: http://
kompas.com
14. Suririnah. Posisi hubungan sex yang terbaik selama
kehamilan. [online] 2009 Mei 11. [cited 2004 Nopember 04]. Available from: http://www.infoibu.com/.
15. Kompas. Posisi hubungan seksual yang terbaik . [online] 2009 Mei 11. [cited 2007 April 22]. Available from:
http://arsip.info/0704.22.115127.html.
Referensi:
1. Current Therapeutics. Walter Kluwer Health 2005
2. Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD).National
Institute of Health.National Heart, Lung and Blood Institute, Update 2010
3. Antariksa,B.et al.Diagnosa dan Penatalaksanaan Penyakit Paru Obstruktif
Kronik.Edisi Buku Lengkap 2011 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia
MEDICINUS
59
Menjadi Dokter:
Ejekan Yang Berbuah Kesuksesan!
60 MEDICINUS
sangat mengerti seluk-beluk pekerjaan saya dan kesibukan saya, baik saat mengajar maupun berpraktik di
Rumah Sakit. Begitu pula dengan anak-anak saya yang
juga mendukung penuh karier saya sebagai dokter dan
pengajar. Mereka pun tidak pernah mengeluh tentang
kesibukan saya, sebab bila ada waktu senggang pada
hari kerja, meskipun sebentar, saya selalu menyempatkan diri untuk mengantarkan mereka ke sekolah
hingga mereka tamat SMA. Dengan begitu, meskipun
kesibukan seringkali mendera hari-hari yang saya
jalankan, tetapi anak-anak saya tidak pernah kehilangan perhatian dan komunikasi dengan saya.
RM: Apa hobi Profesor?
FY: Hobi saya membaca dan menonton film. Saya sangat menikmati saat sedang membaca dan menonton
film. Kedua aktivitas itu seperti saling berkaitan. Seperti misalnya saya membaca buku biografi tokoh, saya
hanya membayangkan saja adegan demi adegan yang
digambarkan lewat tulisan di buku itu. Baru ketika saya
menonton tayangan biografi sesungguhnya di televisi,
saya seperti melihat secara nyata apa yang sudah spernah saya bayangkan saat saya membaca bukunya, sebelumnya.
RM: Apakah Profesor memiliki waktu untuk menyalurkan hobi?
FY: Saya sempatkan untuk bisa membaca dan menonton. Ketika sebelum menikah, saya seringnya nonton
di bioskop. Tapi karena sekarang sudah menikah, jadi
lebih menikmati nonton film di DVD di rumah.
RM: Adakah kegiatan favorit yang biasa dilakukan bersama keluarga?
FY: Biasanya, bila ada waktu senggang atau liburan,
kami sekeluarga pergi ke luar rumah untuk makan bersama keluarga. Kegiatan ini cukup rutin, karena selain
untuk menghilangkan penat akibat rutinitas masingmasing, kegiatan ini juga dilakukan untuk membangkitkan memori lama, seperti bercerita tentang masa
kecil dari kami masing-masing. Selain makan, kami juga
sering pergi berlibur bersama, ke luar kota atau ke luar
negeri. Misalnyapun saya diundang kongres atau seminar di luar kota ataupun di luar negeri, biasanya saya
mengajak serta istri dan anak-anak. Jadi, sementara
saya sedang mengikuti kongres atau simposium, anakanak dan istri saya pergi belanja atau berlibur ke tempat wisata di kota tempat kongres diadakan.
RM: Apa prinsip hidup sehat ala Prof. Dr. Faisal?
FY: Prinsip hidup sehat saya adalah menjalani hidup
secara seimbang. Seimbang disini maksudnya adalah
seimbang untuk kebutuhan pribadi (seperti makan
makanan yang bergizi seimbang, olahraga, istirahat,
piknik, atau menyalurkan hobi pribadi), kebutuhan
bekerja (mencari penghasilan, meningkatkan karier, aktualisasi diri), dan juga untuk kebutuhan bersosialisasi
dengan orang lain (mencari koneksi baru atau menyalurkan hobi bersama ).
MEDICINUS
61
Diagnosis Kilat
Medical News
untuk Kanker
62
MEDICINUS
Medical News
Lebih Waspada
Dengan PPOK!
Pada bulan Oktober 2011 yang lalu, di Swiss-Bell
Hotel, telah diadakan Seminar Pertemuan Ilmiah
Respirasi (PIR) PDPI yang membahas tentang PPOK
(Penyakit Paru Obstruktif Kronis). PPOK merupakan penyakit kronis yang kompleks, karena gejala
dan faktor risikonya sangat kompleks, dan pengobatannya pun harus disesuaikan dengan jenis dan
gejalanya, ungkap Ketua Panitia Seminar PIR yang
juga menjadi pembicara ahli di salah satu sesinya,
Dr. Budhi Antariksa, Ph.D, Sp.P. Lebih lanjut, Dr.
Budhi menjelaskan bahwa penyakit paru kronis
ini ditandai dengan hambatan aliran udara yang
tidak sepenuhnya reversible, bersifat progresif,
dan berhubungan dengan respon inflamasi paru
terhadap partikel atau gas beracun/berbahaya.
Faktor risiko PPOK ini meliputi asap rokok, polusi
udara, stres oksidatif, faktor gen, tumbuh kembang paru, dan kondisi sosial ekonomi.
Gejala yang ditimbulkan berupa sesak napas yang
progresif (bertambah berat seiring waktu dan aktivitas), berat dan terengah-engah, batuk kronik
(hilang timbul dan kemungkinan tidak berdahak),
batuk kronik berdahak, terpapar dengan faktor
risiko (asap rokok, bahan kimia, asap dapur, dan
lain-lain). Untuk memastikan diagnosis; apakah
itu PPOK atau bukan, biasanya dokter menggunakan spirometri, lanjut Dr. Budhi. Sementara
itu, penatalaksanaan PPOK ini harus dilaksanakan
secara baik, yakni dengan mengedukasi pasien,
menjauhi rokok dan asap rokok, mengonsumsi
obat-obatan, rehabilitasi, terapi oksigen, ventilasi
mekanis, dan tnutrisi yang seimbang. Untuk obatobatan, Dr. Budhi mengatakan bahwa jenis yang
bisa dikonsumsi antara lain bronkodilator (golongan antokolinergik, agonis beta-2, kombinasi,
dan xanthin). Sementara untuk mengatasi dan
atau mengurangi eksaserbasi, bisa digunakan antiinflamasi, antibiotika, antioksidan, mukolitik, dan
antitusif. (NDA)
MEDICINUS
63
Tips Sehat
Mengatasi Hipertensi
Oleh: dr. Ratna Kumalasari
Sampai saat ini hipertensi masih menjadi salah satu masalah kesehatan yang menjadi public concern dan prevalensi kejadiannya pun dari tahun ke tahun meningkat. Hal
ini disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya makin banyaknya pasien hipertensi yang belum mendapatkan terapi yang tepat ataupun yang sudah mendapatkan terapi
tetapi tekanan darahnya belum mencapai target, adanya
penyakit lain dan komplikasi yang makin memperburuk
kondisi hipertensi sehingga bisa meningkatkan morbiditas dan mortalitas pasien. Hipertensi dibagi menjadi dua
berdasarkan penyebabnya, yaitu hipertensi esensial atau
hipertensi primer (90% dari seluruh penderita hipertensi)
yang tidak diketahui penyebabnya atau idiopatik dan hipertensi sekunder (10% dari seluruh hipertensi) disebabkan oleh adanya penyakit yang mendasar atau juga disebut dengan hipertensi renal. Berdasarkan JNC 7, klasifikasi
hipertensi adalah sebagai berikut:
Sheet1
Klasifikasi tekanan
darah
Normal
Prehipertensi
Hipertensi derajat I
Hipertensi derajat II
Tekanan darah
Diastolik (mmHg)
< 80
80-89
90-99
> 100
64
MEDICINUS
REFERENSI
1. Sudoyo AW et al ed. Hipertensi esensial. Ilmu Penyakit Dalam. Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Jakarta 2009;5;1079-85.
2. JNC 7 Express. JAMA. 2003 Sep 10; 290(10):1314.
3. Ezzati M, et al. Selected major risk factors and global and regional burden
of disease. Lancet 2002;360:134760.Ezzati et al. Lancet 2002;360:134760.
4. Chobanian AV, Bakris GL, Black HR, et al, for the National High Blood Pressure
Education Program Coordinating Committee. The Seventh Report of the Joint
National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of
High Blood Pressure: the JNC 7 report. JAMA. 2003;289:2560-72.
5. Lewington S, et al. Age-specific relevance of usual blood pressure to vascular
mortality: a meta-analysis of individual data for one million adults in 61 prospective studies. Lancet 2002;360:190313.
6. Ogden LG,et al. Long term absolut benefit of lowering blood pressure in hypertensive patients according to the JNC VI risk stratification Hypertension
2000;35;539-43.
7. Hypertension. Medlineplus medical encyclopediahttp://www.nlm.nih.gov/
medlineplus/ency/article/000468.htm).
Memperbaiki resistensi
insulin melalui mekanisme:
INLACIN 50
Box, 5 strip @ 6 kapsul
INLACIN 100
Box, 5 strip @ 6 kapsul
Menurunkan TNF-
Research by:
MEDICINUS
65
66
MEDICINUS