Sie sind auf Seite 1von 29

IMUNOMODULATOR

Imunomodulasi adalah suatu cara untuk mengembalikan dan mernperbaiki sistern


imun yang fungsinya terganggu atau untuk menekan yang fungsinya

berlebihan.

Imunomodulator adalah senyawa tertentu yang dapat meningkatkan mekanisme


pertahanan tubuh baik secara spesifik maupun non spesifik, dan terjadi induksi non
spesifik baik mekanisme pertahanan seluler maupun humoral. Pertahanan non spesifik
terhadap antigen ini disebut paramunitas, dan zat berhubungan dengan penginduksi
disebut paraimunitas. Induktor semacam ini biasanya tidak atau sedikit sekali kerja
antigennya, akan tetapi sebagian besar bekerja sebagai mitogen yaitu meningkatkan
proliferasi sel yang berperan pada imunitas. Sel tujuan adalah makrofag, granulosit,
limfosit T dan B, karena induktor paramunitas ini bekerja menstimulasi mekanisme
pertahanan seluler. Mitogen ini dapat bekerja langsung maupun tak langsung (misalnya
melalui sistem komplemen atau limfosit, melalui produksi interferon atau enzim
lisosomal) untuk meningkatkan fagositosis mikro dan makro (Gambar 1). Mekanisme
pertahanan spesifik maupun non spesifik umumnya saling berpengaruh. Dalam hal ini
pengaruh pada beberapa sistem pertahanan mungkin terjadi, hingga mempersulit
penggunaan imunomodulator, dalam praktek.

Gambar 1. Mekanisme stimulant imun non spesifik


Obat yang berfungsi sekaligus untuk memperbaiki fungsi komponen sistem imun yang
satu dan menekan fungsi komponen yang lain, sampai saat ini belum ditemukan.
Obat golongan imunomodulator ini bekerja menurut 3 cara, yaitu melalui:
1. Imunorestorasi
2. Imunostimulast
3. Imunosupresi

Imunomodulator yang dikenal pula sebagai biological respons modifier,


imunoaugmentor adalah berbagai macam bahan baik rekombinan, sintetik maupun
alamiah yang merupakan obat-obatan yang mengembalikan ketidak seimbangan sistim
imun yang dipakai pada imunoterapi. Imunoterapi merupakan suatu pendekatan
pengobatan dengan cara merestorasi, meningkatkan atau mensupresi respon imun.
Berdasarkan hal terebut imunoterapi diklasifikasikan menjadi activation immunotherapy
dan suppression immunotherapy. Dewasa ini belum ditemukan bahan yang sekaligus
memperbaiki fungsi komponen sistim imun yang satu dan menekan fungsi komponen
yang lain. Banyak obat-obatan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan yang dikenal sebagai
obat tradisional, ternyata secara klinis tidak hanya mempunyai efek langsung yang
bersifat anti infeksi, namun ternyata dapat pula meningkatkan mekanisme pertahanan
alamih maupun adaptif. Pada saat ini telah banyak imunomodulator yang telah
mempunyai lisensi untuk dipakai sebagai

pengobatan

pada

manusia,

seperti

granulocyte stimulating factor (G CSF), interferon, imikwimod dan fraksi membran sel
dari bakteri. Sebagian lagi masih dalam proses penelitian yang ekstensif baik penelitian
yang bersifat klinik maupun preklinik, seperti berbagai jenis kemokin, cytosine
phosphate-guanosine (CpG) sintetik, oligodeoxynucleotides dan glucan. Pemberian
rejimen imunomodulator merupakan pendekatan terapi yang atraktif, oleh karena efek
sampingnya yang sering lebih ringan dibandingkan dengan efek samping obat- obatan
yang telah ada, disamping itu lebih jarang menimbulkan resistensi pada pengobatan
penyakit infeksi.
Obat golongan imunomodulator bekerja menurut 3 cara, yaitu melalui
imunorestorasi, imunostimulasi dan imunosupresi. Imunorestorasi dan imunostimulasi
disebut imunopotensiasi atau up regulation, sedangkan imunosupresi disebut juga down
regulation.Obat yang merupakan imunopotensiasi merupakan obat yang dapat diberikan
pada pasien dengan IMS.
Imunostimulasi adalah

cara

memperbaiki

fungsi

sistim

imun

dengan

menggunakan bahan yang merangsang sistim tersebut. Bahan yang termasuk


imunostimulator itu dapat dibagi sebagai berikut :
1. Biologik, seperti hormon timus, limfokin, interferon, antibodi monoklonal,
transfer factor/ekstrak leukosit, sel LAK, bahan biologik asal bakteri dan asal
jamur.
2. Sintetik seperti levamisol, isoprinosin, muramil dipeptid (MDP), biological
respons modifier (BRM), hidroksiklorokuin, arginin, antioksidan dan bahanbahan lain seperti

bahan yang masih dalam percobaan klinik antara lain

azimekson, siamekson, bestati, tuftsin, maleic anhydride dan divynil ether


copolymer dan 6-phenyl-pyrimidinole.
3. Imunorestorasi adalah suatu cara mengembalikan fungsi sistim imun yang
terganggu dengan memberikan berbagai komponen sistim imun, seperti
imunoglobulin dalam bentuk immune serum globulin (ISG), hyperimmune serum
globulin (ISG), plasma, transplantasi sumsum tulang, jaringan hati, timus,
plasmaferesis, dan leukoferesis.

Vaksinasi merupakan imunoterapi dengan

menggunakan bahan-bahan dari mikroorganisme

yang akan mengaktifkan

respon imun terhadap agen infesius. aksin tidak akan dibahas dalam makalah ini.
PEMAKAIAN IMUNOMODULATOR PADA INFEKSI VIRUS
Telah banyak penelitian yang dilaksanakan untuk mengetahui efektivitas dari
berbagai obat yang bersifat imunomodulator pada pengobatan IMS yang disebabkan
oleh virus. Berikut akan disampaikan beberapa obat yang telah dipakai dan juga
beberapa obat yang masih dalam penelitian.
1. Interferon
Interferon (IFN) adalah suatu kelompok glikoprotein yang aktif secara biologis
diproduksi oleh sebagian besar sel eukariotik sebagai respon terhadap induksi
berbagai virus maupun agens bukan virus. Semua IFN mempunyai aktivitas
antivirus dan memodulasi fungsi sel-sel lain. IFN tidak menginaktivasi
virus secara langsung, namun membuat sel menjadi resisten terhadap virus.
IFN menunjukkan adanya sensitivitas spesies. Tergantung dari sel yang
membentuknya dan modus induksinya, sel-sel tubuh manusia membentuk 3 jenis
IFN yang mempunyai sifat antigenik yang berbeda, yaitu IFN yang diproduksi
leukosit, INF yang diproduksi oleh fibroblast dan INF yang diproduksi oleh
sel limfosit yang diaktifkan.
Mekanisme kerja :
Semua

INF

mempunyai

kemampuan

antivirus,

anti

proloferatif

dan

imunoregulator. Kemampuan antivirus terjadi oleh karena IFN menginduksi 2-5 A


synthetase, ribonuclease L dan protein kinase P. Kemampuan antiproliferatif terjadi oleh
karena IFN 2-5 A synthetase, menghambat berbagai growth factor, meningkatkan
ekspresi gen dari p53 tumor suppressor, menimbulkan down regulation dari onkogen cmyc, c-fos dan c-ras tertentu. Kemampuan imunoregulator terjadi oleh karena IFN
menginduksi antigen MHC klas I dan II, meningkatkan jumlah sel NK dan menghambat
produksi sitokin Th-2 seperti IL-4, Il-5 dan IL-6.

Penggunaan klinis :
Oleh karena IFN mempunyai kemampuan antivirus, anti proliferatif dan
imunoregulator, maka IFN di bidang IMS, dapat diberikan pada pengobatan
kondiloma akuminata dan sarkoma Kaposi terkait AIDS. IFM diberikan sebagai
suntikan intralesi, sebagai preparat topikal berupa krim dan dapat pula diberikan sebagai
injeksi intra muskuler (IM) atau sub kutan (SK).
Kondiloma akuminata :
Telah dilakukan tiga penilitian yang melibatkan 487 lesi yang diberikan 0.1 ml
IFN -2b intralesi yang mengandung 1 juta UI untuk setiap lesi dengan durasi
seminggu sekali selama 3 minggu berturut-turut dengan kontrol melibatkan 539 lesi
yang diberikan suntikan plasebo intralesi dengan cara yang sama. Tujuh belas
minggu setelah penyuntikan 52% dari lesi pada kelompok IFN menunjukkan hilangnya
lesi secara lengkap, sedangkan pada kelompok plasebo hilangnya lesi hanya terjadi pada
24% saja. Pada pengamatan lanjutan dari kelompok IFN yang berlangsung antara 9-33
bulan, ternyata pada 81% lesi tidak menunjukkan adanya rekurensi. INF -n3 dapat
pula diberikan dengan dosis 250.000 UI intralesi dua kali seminggu sampai delapan
minggu, dengan jumlah maksimal per sesi 2.5 juta UI. IFN secara topikal tidak
memberikan efek yang baik, sehingga tidak direkomendasikan untuk dipakai sebagai
sediaan topikal. Pada penelitian pemberian IFN secara IM dan SK, tingkat
menghilangnya lesi berkisar antara 30-50%.
Data-data yang ada menunjukkan bahwa pengobatan kondiloma akuminata
dengan IFN tidak menunjukkan bahwa IFN lebih superior dari modalitas terapi lain
yang ada.

IFN direkomendasikan hanya pada lesi yang jumlahnya sedikit dengan

ukuran lesi yang tidak besar. Berdasarkan harganya yang mahal, terapi yang harus
dilaksanakan

berkali-kali,

rasa

nyeri

pada

waktu

penyuntikan,

maka

IFN

direkomendasikan hanya pada pasien yang telah gagal dengan modalitas terapi yang
lebih sederhana dan murah. IFN menunjukkan hasil yang baik sebagai terapi ajuvan
pada kondiloma akuminata yang rekalsitran termasuk papilomatosis repirasi yang
rekuren.
anoreksia (69%), mual/muntah (66%}, sakit kepala (62%), efek samping tersebut
dikenal pula sebagai influenza like symptoms yang merupakan efek samping yang
paling sering terjadi. Disamping itu dapat pula terjadi peningkatan fungsi hepar (63%),

diare, trombositopeni dan aritmia. Efek samping dipengaruhi oleh besarnya dosis IFN
yang diberikan. dan biasanya menghilang bila pemberian obat dihentikan atau
diturunkan dosisnya. Sebelum dilaksanakan pemberian IFN,

perlu

dilakukan

pemeriksaan adanya autoantibodi, oleh karena IFN dapat meningkatkan terjadinya


fenomena autoimun.
Imikwimod
Imikwimod merupakan imunomodulator topikal untuk pengobatan kondiloma
akuminata yang dapat diaplikasikan oleh pasien sendiri, Imikwimod baru disetujui
FDA pemakaiannya di Amerika Serikat pada tahun 1997, sedangkan di Indonesia
sampai saat ini imikwimod belum dipasarkan.
Mekanisme kerja :
Imikwimod mengaktivasi sel sistim imun melalui TLR7 yang umumnya terlibat
dalam pengenalan patogen dipermukaan sel.

Sel yang diaktivasi oleh imikwimod

melalui TLR7 mensekresi sitokin terutama IFN-, IL-6 dan TNF-. Terdapat pula bukti
bahwa bila imikwimod diaplikasikan pada kulit akan mengaktivasi sel Langerhans, yang
kemudian akan bermigrasi ke kelenjar limf untuk mengaktivasi sistim imun adaptif. Selsel lain yang diaktifkan oleh imikwimod adalah sel-NK, makrofag dan limfosit B.
Penelitian mutakhir menunjukkan bahwa imikwimod mempunyai efek antiproliferatif
yang samasekali tidak tergantung dari aktivasi sistim imun.
Efek samping :
Aplikasi imikwimod topikal dapat menimbulkan inflamasi non spesifik. Hal ini
dapat terjadi bila ada erosi kulit oleh karena garukan atau erosi pada lesi di lipatan. Dapat
terjadi eritem, edema, indurasi, bula, erosi, ulserasi, krusta sangunoilenta, perasaan nyeri,
panas atau perasaan tidak nyaman. Efek samping lainnya adalah sakit kepala, nyeri
pinggang, nyeri otot, perasaan lelah, keluhan seperti flu, pembesaran kelenjar limf dan
diare.
Imunogloblin
Immuniglobulin (Ig) diproduksi oleh sel plasma yang telah matang yang berasal
dari sel B yang teraktivasi. Untuk mengekstraksi Ig intravena (IgIV) diperlukan sekitar
10.000 sampai 20.000 donor, sehingga diperlukan tindakan pengamanan khusus untuk

menjamin keamanan produknya. IgIV dapat diberikan untuk mempertahankan kadar


antibodi yang adekwat untuk mencegah infeksi.
Mekanisme kerja :
IgIV mempunyai kemampuan imunoregulasi melalui molekul IgG yang menempel
pada reseptor Fc IgIV mencegah kerusakan yang diperantarai oleh komplemen, selain itu
IgIV menimbulkan perubahan level sitokin dan antagonis sitokin, menurunkan
autoantibodi yang beredar dalam darah dan mengeliminasi patogen.Ig IM mempunyai
peranan pada profilaksis pasca pajanan (PPP).
Efek samping :
Efek samping penggunaan IgIV jarang terjadi dan umumnya bersifat self limited. Gejala
efek samping yang paling sering terjadi dalam satu jam pertama setelah infus dimulai
adalah sakit kepala, flushing, menggigil, mialgi, wheezing, takikardia, nyeri bokong,
nause dan hipotensi, namun reaksi anafilaksis jarang terjadi. Selain itu dapat pula
terjadi efek samping lain seperti edema paru-paru, gagal ginjal akut, trombosis vena dan
meningitis aseptik.
Interleukin
Interleukin (IL) merupakan suatu sitokin yang merupakan protein yang disekresikan
oleh makrofag dan sel NK pada respon imun alamiah, sedangkan pada respon imun
adaptif terutama oleh limfosit T. Interleukin bereaksi terhadap leukosit dan merupakan
mediator pada reaksi sistim imun dan inflamasi.
Kegunaan klinis :
Beberapa jenis IL telah dapat disintesis dengan rekayasa genetik dan di bidang IMS
dapat diberikan pada penderita AIDS.
Transfer factor
Transfer factor (TF) atau ekstrak leukosit seperti dialysed leucocyte extraxt mempunyai
fungsi sebagai imunostimulator.
Inosipleks
Inosiplex yang lebih dikenal dengan nama isoprinosin (ISO) merupakan bahan
sintetis yang mempunyai efek antivirus dan imunomodulator.

Mekanisme kerja Isoprinosin berefek merestorasi cell mediated immunity yang terganggu
serta meningkatkan respons sistim imun humoral. Isoprinosin diduga pula membantu
produksi IL-2 yang berperan pada diferensiasi limfosit, makrofag dan peningkatan fungsi
sel NK. Sebagai imunostimulator ISO dapat meningkatkan sitotoksisitas sel NK serta
aktivitas sel T dan monosit.
Retinoid

Retinoid merupakan bahan yang bersifat alamiah maupun sintetik yang struktur
kimiawinya berkaitan dengan vitamin A.

Retinoid terdiri dari

all-trans-retinoic acid

(tretinoin), 13-cis retinoic acid (isotertinoin) dan retinoid aromatik (etretinat, asitresin).
Mekanisme kerja :
Retinoid terikat pada reseptor tertentu dan menimbulkan berbagai efek, termasuk
perubahan pada proliferasi epidermal dan efek imunomodulator yang mempunyai
persamaan dengan IFN.

Talidomid
Talidomid diperkenalkan di Eropa pada 1950 sebagai obat tidur yang aman, namun
ternyata obat tersebut telah menimbulkan efek teratogenik (fokomelia) dan kelainan
organ dalam, disamping itu talidomid dapat pula menimbulkan kerusakan saraf
perifer yang bersifat ireversibel. Talidomid telah ditarik dari peredaran, namun ternyata
pada tahun 1965 talidomid terbukti memberikan efek yang dramatis pada pengobaan
eritema nodosum leprosum (ENL), sehingga pada tahun 1997 FDA menyetujui
talidomid sebagai obat untuk ENL. Talidomid Immunostimulatory sequence (ISS)
ISS yang mengandung ologonukleotid yang diberikan secara topikal dapat merupakan
terapi alternatif atau terapi suplemen pada terapi standar dengan asiklovir pada
penderita herpes genital. Selain itu hasil penelitian menunjukkan bahwa ISS
menurunkan pelepasan virus, sehingga mengurangi risiko transmisi
Mekanisme kerja :
ISS merupakan imunomodulator yang dapat menstimulasi respon imun seluler maupun
humoral. ISS dilaporkan pula dapat menginduksi proliferasi sel B dan produksi Ig,
aktivasi sel NK dan sekresi IFN-, dan , IL-6, IL-12 dan IL-18 Dilaporkan pula
bahwa mekanisme kerja ISS berkaitan denganTLR-9. Mekanisme respon imun

terhadap bakteri ekstraseluler.


Mekanisme respon imun terhadap bakteri
Prinsip utama respon imun terhadap bakteri extraseluler adalah: Bakteri ekstrasel dan
antigen yang larut d i i n t e r n a l i s a s i

APCs

( makrofag,

sel dendritik, sel B )

diproses fragmen yang telah diproses berasosiasi dengan molekul MHClI. Fungsi

efektor CD4 + T sel yang merespon Ag-protein yang berhubungan dengan molekul
MHf~ II tersebutdimediasi oleh sitokin yang disekresi yang dapat menstimulasi produks]
anribodi, menginduksi lokal inflamai, meningkatkan fagositosis dan mengaktifkan
mirobicidal makrofag Sitokin pengaktif makrofag yang utama adalah interferon
gamma, sedangkan TNF dan limpotoksin mengaktifkan neutrof
Bakteri intraseluler yang difagosit makrofag yang mungkin selarnat dari ligoson.
CD+ T sel akan merespon MHC II yang berasosiasi dengan peptida antigen yang berasal
dari bakteri intraseluler. Sel T ini akan memproduksi interferon gamma, yang akan
menfaktifkan macrophage untuk menghancurkan mikroba dalam fagosom. CD+8 T sel
akan merespon terhadap peptida yang berasal dari sitosol yang akan berasosiasi
terhadap MHC I dan sel CD+8 (CTL) tersebut akan rnembunuh sel yang terinfeksi
tersebut. Mekanisme tersebut dapat dilihat pada gambar 2 di bawah ini.

Gambar 2. Mekanisme respon imun bakteri ekstrasel


Mekanisme respon imun terhadap bakteri intra sel dapat dilihat pada gambar berikut

Gambar 3 efek berbagai macam imunomodulator terhadap sistem imun


Karakteristika imunomodulator dan metode penguji
Aktivitas suatu senyawa yang dapat merangsang sistem imun tidak tergantung pada
ukuran molekul tertentu. Efek ini dapat diberikan baik oleh senyawa dengan berat
molekul yang kecil maupun oleh senyawa polimer. Karena itu usaha untuk mencari
senyawa semacam ini hanya dapat dilakukan dengan metode uji imunbiologi saja.
Metode pengujian yang dapat dilakukan adalah metode in vitro dan in vivo, yang akan
mengukur pengaruh senyawa kimia terhadap fungsi dan kemampuan sistem
mononuklear, demikian pula kemampuan terstimulasi dari limfosit B dan T.
Metode uji aktivitas imunomoduator yang dapat digunakan,yaitu:
1.

Metode bersihan karbon ("Carbon-Clearance")

Pengukuran secara spektrofluorometrik laju eliminasi partikel karbon dari daerah


hewan. Ini merupakan ukuran aktivitas fagositosis.
2.

Uji granulosit
Percobaan in vitro dengan mengukur jumlah sel ragi atau bakteri yang difagositir oleh
fraksi granulosit yang diperoleh dari serum manusia. Percobaan ini dilakukan di
bawah mikroskop.

3.

Bioluminisensi radikal
Jumlah radikal 02 yang dibebaskan akibat kontak mitogen dengan granulosit atau
makrofag, merupakan ukuran besarnya stimulasi yang dicapai.

4.

Uji transformasi limfosit T


Suatu populasi limfosit T diinkubasi dengan suatu mitogen. Timidin bertanda ( 3 H)
akan masuk ke dalam asam nukleat limfosit 1. Dengan mengukur laju permbentukan
dapat ditentukan besarnya stimulasi dibandingkan dengan fitohemaglutinin A (PHA)
atau konkanavalin A (Con A).

Persyaratan imunomodulator
Menurut WHO, imunomodulator haruslah memenuhi persyaratan berikut:
1.

Secara kimiawi murni atau dapat didefinisikan secara kimia.

2.

Secara biologik dapat diuraikan dengan cepat.

3.

Tidak bersifat kanserogenik atau ko-kanserogenik.

4.

Baik secara akut maupun kronis tidak toksik dan tidak mempunyai efek samping
farmakologik yang merugikan.

5.

Tidak menyebabkan stimulasi yang terlalu kecil ataupun terlalu besar.

Dasar fungsional paramunitas (menurut A. Mayr)


1.

Terjadinya peningkatan kerja mikrofag dan makrofag serta pembebasan mediator.

2.

Menstimulasi limfosit (yang berperan pada imunitas tetapi belum spesifik


terhadap antigen tertentu), terutama mempotensiasi proliferasi dan aktivitas limfosit.

3.

Mengaktifkan sitotoksisitas spontan.

4.

Induksi pembentukan interferon tubuh sendiri.

5.

Mengaktifkan faktor pertahanan humoral non spesifik (misalnya sistem


komplemen properdin-opsonin).

6.

Pembebasan ataupun peningkatan reaktivitas limfokin dan mediator atau aktivator


lain.

7.

Memperkuat kerja regulasi prostaglandin.

Prinsip umum terapi imunosupresan


Prinsip umum penggunaan imunosupresan untukmencapai hasil terapi yang optimal
adalah sebagai berikut:
1.

Respon imun primer lebih mudah dikendalikan dan ditekan dibandingkan dengan
respon imun sekunder. Tahap awal respon primer mencakup: pengolahan antigen
oleh APC, sintesis limfokin, proliferasi dan diferensiasi sel-sel imun. Tahap ini
merupakan yang paling sensitif terhadap obat imunosupresan. Sebaliknya, begitu
terbentuk sel memori, maka efektifitas obat imunosupresan akan jauh berkurang.

2.

Obat imunosupresan memberikan efek yang berbeda terhadap antigen yang


berbeda. Dosis yang dibutuhkan untuk menekan respon imun terhadap suatu antigen
berbeda dengan dosis untuk antigen lain.

3.

Penghambatan respon imun lebih berhasil bila obat imunosupresan diberikan


sebelum paparan terhadap antigen. Sayangnya, hampir semua penyakit autoimun baru
bisa dikenal setelah autoimuitas berkembang, sehingga relatif sulit di atasi.

IMUNOSTIMULAN
Imunostimulan ditunjukan untuk perbaikan fungsi imun pada kondisi-kondisi
imunosupresi. Kelompok obat ini dapat memperngaruhi respon imun seluler maupun
humoral. Kelemahan obat ini adalah efeknya menyeluruh dan tidak bersifat spesifik
untuk jenis sel atau antibodi tertentu. Selain itu efekumumnya lemah. Indikasi
imunostimulan antara lain AIDS, infeksi kronik, dan keganasan terutama yang
melibatkan sistem lifatik. (Widianto B Matildha. 1987)
TERAPI HERBAL IMUNOMODULATOR
1. Nigella sativa L

Gambar 2. Jinten hitam (Nigella sativa L)

Kandungan kimia
Biji jinten hitam mengnadung volatil oil yang berwarna kuning (22,7%), asam amino
seperti albumin, globulin, lysin, leucin, isoleusin, valin, glysin, alanin phenylalanin,
arginin, asparginin, cystine, glutamic acid, aspartic acid, isoleusin, prolin, serin, treonin,
tryptopan, dan tyrosin, gula redusi, musilago, alkaloid, asam organik, tannin, resin,
glukosida toksik, metarbin gykosida saponin, melanthin menyerupai helleborin,
melanthiginin, abu, air dan asam arabik. Dalam biji juga ditemukan lemak, serat, mineral
seperti Fe, Na, Cu, Zn, P,Ca dan vitamin seperti

asam ascorbic, thiamin, niacin,

piridoksin, dan asam folat.

Biji jinten hitam mengandung ester asam lemak: seperti asam palmitat, asam oleik, asam
linoleik, dan asam dehidro stearik, terpenoid, alkohol alpipatik, dan --hidroksiketon
tidak jenuh, sterol bebas, steril ester, steril glukosida dan glukosida steryl terasetilasi.
Alkaloid yang telah diisolasi yaitu nigelliene, alkaloid isoquinolin,, nigellimin, dan
alakaloid indazol, nigellidine. Juga mengandung lipase, phytosterol dan -sitosterol.

Kandungan aktif biji jinten mencakup volatil oil yang terdiri dari carvone, keton tidak
jenuh, terpen atau d-limonen yang dikenal dengan carvene, -pinen dan p- cymene.
Kandungan aktif secara farmakologi pada volatile oil adalah thymoquinone,
ditymoquinone, thymohidroquinone, dan thymol. Kandungan thmoquinone tertinggi

sebesar 57,78% dimana air diberikan selama 12 hari. (Gillani Anwar-ul Hassan dkk,
2004)

1.

Rumus Struktur Utama

Gambar 3. Struktur Kimia Utama Jinten hitam (Nigella sativa L)


Diambil dari WHO Monograph volume 1 1999(G63)

2.

Khasiat dan kegunaan


Biji jinten hitam umumnya digunakan pada pengobatan tradisional, seperti diuretik,
antihipertensi , memperbaiki proses pencernaan, antidiare, stimulan nafsu makan,
emmenogogue, analgesik, anthelmintik, antibakteri dan digunakan untuk penyakit kulit.
Jinten hitam juga telah dilakukan studi untuk aktivitas biologi dan memperlihatkan untuk
antidiabetes, anticancer dan imunomodulator, analgesik, antimikroba, anti-inflamasi,
spasmolitik, bronchodilatot, hepatoprotektive, antihipetensi, pelindung ginjal, dan
antioksidan. (Gillani Anwar-ul Hassan dkk, 2004)
Hasil penelitian Medenica dkk. menunjukkan bahwa Nigella sativa L. mempunyai
aktivitas immunomodulatory kuat dan aktivitas seperti interferon dan mampu
menghambat cancer dan progresi sel endothelial dan menurunnya produksi angiogenic,
faktor pertumbuhan protein fibroblastic oleh sel tumor.

3.

Uji imunomodulator
Prinsip kerja

Diuji efek herbal melanin (ekstrak N.sativa) terhadap produksi 3 jenis sitokin: Tumor
Necrosis Factor Alpha (TNF-); Interleukin 6 (IL-6) dan Vascular Endothelial Growth
Factor (VEGF) pada sel monosit manusia, periferal blood mononuclear cell (PBMC) dan
sel THP-1. Sel mendapat perlakuan melalui berbagai macam variasi konsentrasi melanin.
Diamati ekspresi TNF-2,IL-6,VEGF pada 3 jenis sel. Diamati sekresi protein pada
supernatant kemudian dideteksi dengan RT-PCR dan ELISA
Preparasi dan karakterisasi herbal melanin dari n. Sativa
Melanin diekstraksi dari kulit biji N. sativa melalui solubilisasi alkali dan agregasi

asam. Dimurnikan dengan cara dicuci dengan air destilasi dan vacuum drying.
Ekstrak dianalisis menggunakan ESR (Electron Spin Resonance),IR,UV-VIS, NMR,

XRD, Fluroscence, uji kelarutan, komposisi asam amino dan analisis elemental.
Ekstrak kering dilarutkan dalam larutan NaOH 0,1 M pada konsentrasi 1g/L. pH
ekstrak ditetapkan pada 7,4 menggunakan HCl konsentrat dan disaring
menggunakan filter ukuran 0,4m. Larutan stok melanin untuk penggunaan
eksperimental disiapkan dalam air destilasi pada konsentrasi 0,1-1 g/L.

Kondisi sel kultur


Sel THP-1 monosit diperoleh dari American Type Culture Collection (ATCC,

Rockville,MD,USA)
Sel dipelihara dalam RPMI 1640 diberi nutrisi serum bovine fetal dan 1% penisilinstreptomicin dengan kelembaban 5% pada suhu 370C. 24 jam sebelum dipakai
medium ditempatkan pada RPMI 1640 bebas serum untuk menghindari efek serum
terhadap ekspresi gen.
Isolasi sel darah
Darah dikumpulkan dari sukarelawan sehat (usia 22-45 tahun). Darah diambil

secara aseptis, dikumpulkan dalam tabung steril yang mengandung EDTA.


PBMC dipisahkan melalui Ficoll-paque density gradients.
Monosit murni diperoleh melalui antiCD14-coated microbeads (kolom separasi)
Dengan tes flowcytometer menggunakan ekspresi antigen CD-14 dan CD-45,
menunjukkan 90% sel merupakan monosit.

Induksi dan analisis pada tingkat mRNA sitokin


Monosit dan PBMC dicampur dengan larutan ekstrak herbal melanin pada
konsentrasi 50 dan 100g/mL. ekspresi mRNA TNF-alfa, IL-6 dan VEGF diuji 3
jam berikutnya. Sel THP-1 juga diperlakukan sama, hanya saja ekspresi mRNA
TNF-alfa dilakukan 3 jam berikutnya dan IL-6 serta VEGF dilakukan setelah 24
jam
Sebagai kontrol positif digunakan E.coli Lipopolisaccharide (LPS).
Total RNA sel diekstraksi dari sel monosit, PBMC, dan THP-1 menggunakan
reagen TRIzol.

Amplifikasi cDNA sitokin menggunakan PCR. Produk yang dihasilkan


dipisahkan pada gel agarose 2% menggunakan elektroforesis dan visualisasi
dengan pengecatan Etidium bromida

Induksi dan analisis pada tingkat protein sitokin

Tujuan dari percobaan ini adalah menentukan apakah perubahan pada tingkat
mRNA sitokin dikarenakan perlakuan dengan ekstrak sehingga menyebabkan
perubahan juga pada produksi sitokin

Sel ditambahkan ekstrak HM (10,50,100g/mL) atau LPS (10 mg/mL) selama 24


jam sebelum supernatan diambil. Protein sitokin yang terdapat dalam supernatan
diuji menggunakan ELISA

Media RPMI 1640 digunakan sebagai kontrol negatif

Kontrol tambahan diperoleh dengan menginkubasi 100g HM dalam media


RPMI selama 24 jam pada suhu 370C

Rata-rata absorbansi dari 2x pengulangandihitung mneggunakan kurva standar.


Konsentrasi ditentukan melalui ekstrapolasi kurva standar

.Uji toksisitas selular

Toksisitas HM pada sel THP-1 ditentukan dengan uji proliferasi sel 3-(4,5
dimetiltiazol-2)-2, 5-difeniltetrazolium bromida (MTT).

Sel ditempatkan pada medium dan diinkubasi , kemudian ditambahkan HM


dengan konsentrasi 10,50, 100 g/mL

24 jam sebelum time point, diberi reagen MTT 10 mL

Setelah 2 jam dibiarkan dalam tempat yang gelap, diukur absorbansi pada 570 nm
dengan ELISA (El-Obeid, A.,2006)

4.

Uji toksisitas
Tenekoon melaporkan bahwa penggunaan oral N. sativa pada tikus jantan (Sprague
Dawley) slm 14 hari, menyebabkan peningkatan kadar enzim hepatic dan perubahan
histopathological.

Penggunaan

campuran

minyak

N.

sativa

seeds

berpotensi

menimbulkan toksisitas pada mencit dan tikus dengan determinasi nilai LD50, perubahan
biokimia, hematologi dan histopathologi.

Toksisitas kronik dapat terjadi pada

penggunaan oral dose 2 ml/kg body selama 12 minggu pada tikus, yang ditandai dengan
terjadinya perubahan kadar enzim hepatic, peningkatan kadar serum cholesterol,
triglyceride dan glucose, sedangkan jumlah leukocytes dan platelets menurun drastis
dibandingkan nilai control, serta terjadi peningkatan kadar hematocrit dan hemoglobin.
Fischer melaporkan bahwa penggunaan N sativa pada 344 tikus selama 14 minggu tidak
menginduksi perubahan patologi liver, ginjal, limpa atau organ lain

2.Aloe vera L

Gambar 4. Lidah buaya (Aloe vera L)

1. Kandungan kimia
Kandunga kimia dari Aloe terdiri dari mono- dan

poli sakarida (glucomannan dan

polisakarida yang terdiri dari arabinosa, galaktosa dan xylosa); tannins, sterols, organic
acids, enzymes (terdiri dari cyclooxygenase), saponins, vitamins dan minerals, serta
terdapat juga lemak (kolesterol, asam gamolenat dan asam arachidonat). Kandungan
kimia terpenting adalah hydroxyanthrone derivatives, yang utama aloe-emodin-anthrone
tipe 10-C-glucoside, barbaloin (aloin) (1540%) (8, 13), hydroxyaloin (about 3%),
Barbaloin (_aloin) campuran dari aloin A (10S) [1] dan B
(10R), aloinoside A dan B.

2. Rumus Struktur Utama

Gambar 5. Struktur Kimia Utama Lidah buaya (Aloe vera L)


Diambil dari WHO monographs on selected medicinal plants)
3.

Khasiat dan kegunaan


Kandungan polisakarida dari A. vera menunjukkan aktivitas immunostimulant, yang
berperan sebagi aktivasi adjuvant terhadap produksi antibody spesifik dan meningkatkan

pelepasan interleukin-1 (IL-1), interleukin-6 (IL-6), tumor necrosis factor-a (TNF-a), dan
interferon-c (INF-c).

Pelepasan/release sitokin menstimulasi peningkatan mencapai

300% dalam replikasi fibroblast pada kultur jaringan dan meningkatkan fogositosis
macrophage. Proliferasi fibroblasts diketahui memberikan respon terhadap luka bakar,
ulcers, dan gangguan saluran cerna. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa perubahan
sedikit dala struktur, berat molekul atau konformasi dari polisakarida mempunyai efek
yang dramatic dalam hal potensiasi. Sebagai contoh perbedaan aktivitas antiviral pada
xylo-mannans dari Nothogenia fastigiata.

4.
Uji imunomodulator
Preparasi ekstrak
Daun Aloe vera dicuci dengan air sampai bersih kemudian dipotong-potong melintang.
Bagian epidermis yang tebal dibuang sedangkan bagian gel padat diambil dan
dihomogenkan. Campuran gel yang homogeny diliofiliasi dan diekstraksi dengan etanol
(95%). Filtrat dikumpulkan dan dikeringkan pada rotary evaporator. Residu disimpan
dalam tempat kering yang steril pada suhu 40C sebelum dipakai. Ekstrak disuspensikan
kembali dalam air destilasi pada saat akan digunakan.
Hewan
Mencit Swiss albino dengan berat badan 252 gram. Mencit dipelihara pada lingkungan
dengan temperatur 2520 dengan siklus 12 jam gelap/terang, diberi makan dengan
makanan pellet standar, dan air ad libitum.
Pengujian efek ekstrak terhadap sel darah putih (penghitungan)
Mencit dibagi menjadi 3 kelompok secara random, masing-masing kelompok 6 mencit.
Mencit pada kelompok A (kelompok control) diberikan larutan garam (5 ml/kg,i.p).
Mencit kelompok B dan C diberikan ekstrak AVG i.p dengan dosis 150 mg/kg dan 300
mg/kg selama 5 hari. Darah diambil pada vena ekor sebelum pemberian pertama dan
setiap hari ketiga setelah dosis kelima sampai 1 bulan. Total sel darah putih ditentukan
dengan menggunakan hemositometer.

Pengujian efek ekstrak terhadap produksi antibodi


Tiga kelompok mencit, masing-masing kelompok terdiri dari 6 mencit,diimunisasi
dengan dengan 2,5 x 108 sel darah merah domba secara i.p. Hewan dari kelompok B1

dan C1 diberi ekstrak 150 mg/kg,i.p dan 300 mg/kg, i.p setiap hari selama 5 hari. Darah
diambil dari vena kaudal sebelum dosis pertama dan setiap hari ke tiga setelah dosis
kelima hingga 1 bulan. Titer antibody ditentukan dengan metode hemaglutinasi. Hewan
pada kelompoka diberikan larutan garam (5ml/kg,i.p)
Pengujian efek ekstrak terhadap sel pembentuk plak
Tiga kelompok mencit masing-masing terdiri dari Sembilan mencit diimunisasi dengan
2,5 x 108 SRBC i.p. Mencit pada kelompok B2 dan C2 diberikan ekstrak 150 mg/kg,i.p
dan 300 mg/kg,i.p setiap hari selama 5 hari. Kelenjar limpa diambil, kemudian diproses,
kemudian jumlah sel pembentuk plak ditentukan menggunakan metode Jerne dan Nordin.
Hewan pada kelompok control menerima larutan garam (5 ml/kg,i.p).
Pengujian terhadap aktivitas fagositik makrofag peritoneal
Makrofag peritoneal dengan sodium kaseinat diberikan pada tiga kelompok mencit yang
telah diberi ekstrak AVG (150 mg/kg,i.p atau 300 mg/kg,i.p)setiap hari selama 5 hari
berturut-turut, sementara hewan pada kelompok kontrol diberikan larutan garam.
Makrofag kemudian dikultur pada hari kelima dan aktivitas fagosit diuji menggunakan
metode Mehara dan Vaidya menggunakan opsonized SRBC.

5.

Uji toksisitas

Gejala-gejala over dosis berupa diare dan kehilangan cairan dan elektrolit terutama terjadi
pada anak-anak dan orang lanjut usia. A. vera dikontraindikasikan bagi pasien cramps,
colic, haemorrhoids, nephritis, atau yang mengalami gangguan abdominal seperti nyeri,
mual atau muntah, wanita hamil dan menyusui karena bersifat gastrointestinal stimulant
anthraquinone suatu komponen yang aktif sebagai laxative.

3. Rhizoma curcumae Longae

Gambar 4. Kunyit (Rhizoma Curcumae Longae)

1. Kandungan kimia
Kunyit mengandung senyawa yang berkhasiat obat, yang disebut kurkuminoid yang
terdiri dari kurkumin, desmetoksikumin dan bisdesmetoksikurkumin dan zat- zat manfaat
lainnya Kandungan Zat : Kurkumin : R1 = R2 = OCH3 10 % Demetoksikurkumin : R1 =
OCH3, R2 = H 1 - 5 % Bisdemetoksikurkumin: R1 = R2 = H sisanya Minyak asiri /
Volatil oil (Keton sesquiterpen, turmeron, tumeon 60%, Zingiberen 25%, felandren,
sabinen, borneol dan sineil ) Lemak 1 -3 %, Karbohidrat 3 %, Protein 30%, Pati 8%,
Vitamin C 45-55%, dan garam-garam Mineral (Zat besi, fosfor, dan kalsium).

2. Rumus Struktur Utama

3. Khasiat dan kegunaan


Curcumin menghambat mediated IL-12 (interleukin 12) Th 1 yang tergantung pada
neuronal demyelination dalam model murine model terhadap berbagai sklerosis oleh
targeting Janus kinase 2, tyrosine kinase 2, STAT3 and STAT4. Curcumin secara spesifik
melepaskan cytostatic dan efek cytotoxic terhadap tumor. Curcumin meningkatkan efek
terhadap fungsi utama dari sel T, sel natural killer (NK), macrophages dan pada
splenocytes total in-vivo. Varalakshmi dkk. melaporkan bahwa terjadi peningkatan efek
immunomodulatory dalam hewan coba ascites-bearing. Studi ini memperkuat bahwa
curcumin cukup aman dan dapat digunakan sebagai immunomodulator untuk system
immune.

4.

Uji imunomodulator

Uji in vivo efek immunomodulator curcumin dilakukan pada hewan coba tikus betina
berat 100-150 g dengan usia 5-6 minggu. Pemberian curcumin dilakukan dengan injeksi
(40 mg/kg/hari, i.p) selama 30 hari setiap interval 24 jam. Kelompok hewan coba terdiri
dari: curcumin, curcumin+cyclosporine (CsA), CsA dan kelompok kontrol PBS. Pada
hewan coba tikus, curcumin diberikan (40 mg/kg/tikus/24 jam selama 30 hari),
cyclosporin A (10 mg/kg, i.p) diinjeksi 48 jam sebelum dikorbankan. (Varalakshmi Ch,et
al. 2008)

Uji apoptosis sel tumor dengan flow cytomety


Induksi apoptosis pada sel tumor dan sel normal ditentukan dengan flow cytometry
dengan pewarna propidium iodide, menunjukan bahwa induksi apoptosis pada CHO
(Chines Hamster Ovary), rat skin fibroblat (RSF), human corneal epithel sel (HCE), rat
lympohocyte dan hepatocyte yang beri curcumin gagal untuk diinduksi apoptosis,
sedangkan induksi apoptosis pada beberapa cell line mengalami perubahan seperti
MDAMB (breash carcinoma), OVCAR-8 (ovarian carcinoma), HepG2 (hepatocellular
carcinoma) dan HL-60 (leukemia cell line). Induksi apoptosis curcumin pada semua sel
tumor memberikan efek pada kultur utama atau tidak merubah sel pada kondisi yang
sama. (Varalakshmi Ch,et al. 2008)

Uji lymphoproliferasi
Lymphoproliferasi disiapkan dari limpa kelompok kontrol, curcumin+cyclosporine A
(CsA) dan curcumin atau CsA yang diinjeksi pada hewan coba dengan Ficoll-Hypaque
gradient. 2x105 sel/sumur diinkubasi dengan ConA atau PHA (0,5 2,5 g/mL) selama
48 jam diikuti dengan penambahan 3H tymidinie (1Ci/sumur) dan diinkubasi hingga
24 jam. Sel kemudian di panen dan disatukan dengan radioaktif diukur dalam suatu
Packard liquid scintillation counter. Dari hasil uji lymphoproliferasi memperlihatkan
tidak ada perbedaan yang signifikan 3H tymidinie antara kelompok perlakuan curcumin
dan kontrol yang diamati secara in vitro.

Untuk mengecek kemampuan efek in vivo curcumin terhadap kemampuan proliferasi sel
T, curcumin diinjeksi pada hewan coba (i.p) selama 30 hari dan splenocyte dari kelompok
kontrol dan perlakuan injeksi-curcumin dipanen. Mitogen seperti PHA dan ConA
diketahui secara spesifik dapat menginduksi proliferasi sel T. Lymphocyte dari kelompok
kontrol dan hewan coba yang diinjeksi-curcumin di panen pada hari ke-30, dan dilakukan
dengan perbedaan konsentrasi PHA (0, 1, dan 1.2 g/mL). Hasil menunjukan
peningkatan kemampuan lympoproliferasi sel T yang diamati pada hewan perlakuan
injeksi curcumin. Selanjutnya untuk menkonfirmasi efek proliferasi curcumin secara in
vivo, jumlah splenocyte di stimulasi dengan mitogen lain ConA (0 dan 2.0 g/mL) dari
hewan coba yang menerima curcumin hingga hari ke-20 dan 30. Seperti pada pengamatan
dengan PHA, terjadi juga peningkatan efek lympoproliferasi yang meningkat dengan
ConA. Konfirmasi dilakukan juga menggunakan immunosupresan cyclosporine A (CsA).
Injeksi CsA memberikan hasil penurunan induksi proliferasi ConA sel T pada kelompok
injeksi curcumin, juga memberikan efek yang tidak berarti pada kelompok kontrol.
Peningkatan Ag-spesifik proliferasi sel T diamati juga pada hewan coba tikus yang diberi
injeksi curcumin yang diinjeksi dengan sel tumor AK-5 sebagai sumber tumor Ag.
(Varalakshmi Ch,et al. 2008)

Penentuan Reactive Oxygen Species (ROS)

Macrophag plate (Ms) 2x106 sel/sumur dalam 150 L phenol-red bebas IMDM dan
anion superoksida ditetapkan dalam 80M sitokrom C dengan/tanpa SOD (300 U/mL).
Reduksi superoxide-induced pada ferrisitokrom ditetapkan dengan spektrofotometri pada
550 nm.
Hasil penentuan jumlah ROS secara ektraselluler tidak memberikan efek pada kelompok
hewan coba yang diinjeksi dengan curcumin dibandingkan dengan kelompok kontrol.
Efek null pada curcumin ini telah dikonfirmasi dalam isolat macrophage dari dua lokasi
anatomi yang berbeda yaitu ruang peritoneal dan limpa. Pada hari ke-10 dan 20 terjadi
peningkatan jumlah ROS secara intraselluler pada macrophage peritoneal, dimana pada
hari ke-30 tingkatnya sama dengan kelompok kontrol. Pada macrophage limpa tidak
memperlihatkan perbedaan yang signifikan antara kelompok kontrol dan kelompok
injeksi-cucumin. ROS intraselluler yang tinggi dalam magrophage peritoneal pada hari
ke-20 dan 30, memperlihatkan pencerminkan efek lokal curcumin dalam ruang
peritoneal sejak efek yang sama tidak diamati pada splenic macrophage.
Pengamatan tingkat ROS secara intraselluler dilakukan juga pada hewan coba tikus
dalam magrophage peritonel dan limpa yang mendapatkan curcumin, curcumin+CsA
atau CsA. Dengan adanya CsA, meningkatkan jumlah ROS yang dapat ditemukan dalam
magrophage peritoneal dan limpa pada hari ke-20 tetapi tidak ditemukan pada hari ke-30.
Bagaimanapun peningkatan oksidatif juga diamati dengan CsA pada hari ke-20, karena
data menujukan efek yang sinergis pada curcumin yang dihubungkan dengan CsA pada
hari ke-20.
Evalusi modulasi pada ROS generation dalam Magrophage melalui curcumin dan tumor,
kami mentransplantasi sel tumor AK-5 (i.p) pada kelompok kontrol dan injeksi curcumin
(30 hari diberikan curcumin). Pada hari ke-5 setelah tumor ditransplantasi, tidak ada efek
tumor AK-5 yang diamati ada jumlah ROS dalam limpa magrophage yang dibandingkan
dengan kelompok kontrol. Jadi tingkat ROS pada transplantasi AK-5 pada injeksicurcumin, tidak memberi efek perubahan. (Varalakshmi Ch,et al. 2008)

Penentuan efek Nitric Oxide (NO)


Macrophag (Ms) yang dikultur selama 16 jam, 100 L sel bebas supernatan merupakan
aspirat dan mengandung NO yang diukur menggunakan reagen Griess. Absorbansinya
pada 540 nm yang diukur menggunakan ELISA reader. Dari hasil penentuan efek NO,
tidak ada perbedaan signifikan yang terlihat antara kemampuan sekresi NO antara

kelompok kontrol dengan injeksi-curcumin pada kedua macrophage pertitoneal dan


limpa. (Varalakshmi Ch,et al. 2008)

Uji sitotoksik
Pengaruh curcumin terhadap kemampuan sitotoksik sel NK (Natural Killer Cell), isolat
sel NK dari hewan coba kelompok kontrol dan injeksi-curcumin pada hari yang berbeda
(10, 20, dan 30) dan memperlihatkan kemampuan terhadap sel tumor YAC-1 dalam 4 jam
dengan 51Cr release assay. Sel NK limpa dari kelompok kontrol dan injeksi-curcumin
membuktikan tingkat yang sama pada sitotoksik terhadap target YAC-1 pada 100:1.
Injeksi CsA menghilangkan fungsi sitotoksik pada isolat sel NK dari kelompok kontrol
dan injeksi-curcumin. (Varalakshmi Ch,et al. 2008)

Enzyme linked immunofiltration assay


Sitokin dalam sera pada kelompok hewan coba kelompok kontrol, curcumin,
curcumin+Cyclosporine (CsA) atau CsA ditetapkan dengan mAbs spesifik menggunakan
enzyme linked immunofiltration assay (ELIFA).
Hasil efek immunomodulator curcumin ditentukan dalam istilah tingkat sitokin dalam
sampel serum kelompok kontrol dan injeksi-curcumin pada hari yang berbeda. Penentuan
dilakukan terhadap IL-2, IL12 dan IFN- dalam sampel serum. Semua, variasi kurang
mempengaruhi tingkat IL-2 dan IFN antara kelompok kontrol dan injeksi-curcumin.
Tingkat yang lebih tinggi ditunjukan pada IL-12 pada kelompok injeksi-curcumin pada
hari ke-10 dan 20 yang dibandingkan dengan kontrol pada hari ke-30. Kelompok kontrol
dan injeksi-curcumin yang diberikan CsA, tidak menujukan hasil perubahan yang
signifikan. Bagaimanapun, injeksi CsA pada kedua kelompok menyebabkan penurunan
yang sama dalam tingkat sirkulasi IL-2 pada dosis curcumin yang digunakan tidak
menginterferensi dengan produk normal IL-2. Profil konsentrasi IL-12 dan IFN- dalam
kelompok kontrol yang diinjeksi CsA sama pada CsA dan injeksi-curcumin yang
ditunjukan secara in-vivo tidak memberikan efek pada tingkat sitokin. (Varalakshmi
Ch,et al. 2008)

5.

Uji toksisitas

Tidak terlihat toksik pada pemberian secara per oral pada dosis tunggal ekstrak etanol
turmerik 0,5; 1 atau 3 g/Kg BB mencit, atau serbuk turmerik 2,5 g/kg atau ekstrak etanol
300 mg/kg untuk tikus, kelinci dan monyet. Dosis tunggal curcumin 1-5 g/kg BB
mengurangi efek toksik pada tikus.

Tidak ada kematian yang dapat diamati setelah pemberian curcumin pada mencit untuk
dosis tunggal atau intraperitonial pada 2,0 g/kg BB.

Nilai LD50 akut intraperitonial pada mencit untuk fraksi petroleum eter, alkohol dan air
dari turmerik dan pada curcumin ditetapkan pada 0,525; 3,980; 0,430; dan 1,5 g/kg BB
secara berturut-turut. (Anonim. 2003)

DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 1994. Inventaris Tanaman Obat Indonesia III. Departemen Kesehatan RI. Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Hal 163-164
Anonim. 2001. Inventaris Tanaman Obat Indonesia (I) Jilid 2. Departemen Kesehatan RI.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Hal 103-104
Anonim.2007.Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Departemen Farmakologi dan Terapi ,
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal 757-766.
Anonim. 1999. WHO monographs on selected medicinal plants. Volume 1.World Health
Organization Geneva.
Anonim. 2003. ESCOP Monographs. The Scientific Foundation for Herbal Medicinal
Products. Second edition completely revised and expanded. European Scientific
Coorperative of Phytoteraphy. Tieme. Halaman: 107-117

Anonim.2009. www.bh-froe.com/ZC/images/nigella%20sativa.jpg
Chow Jimmy Tai-Nin,et al. 2005.Chemical characterization of the immunomodulating
polysaccharide of Aloe vera L. Carbohydrate Research 340 (2005) 11311142

El-Obeid, A., Al-harbi. S., Al-Jomah, N., Hassib, A. 2006. Herbal Melanin Modulates
tumor Necrosis Factor Alpha (TNF-), Interleukin 6 (IL-6) and Vascular
Endothelial Growth Factor (VEGF) Production. Phytomedicine 13:324-333
Gilanni Anwar-ul Hassan,Qaiser jabeen dan Muhammad Asad Ullah Khan. 2004. A
Review of Medicinal aand Pharmacological activities of Nigella s. Pakistan Journal
of Biological Science 7 (4): 441-451.2004
Jimmy Tai-Nin Chow et.al. 2004. Chemical characterization of the immunomodulating
polysaccharide of Aloe vera L, 30 September 2004
Mohamed Labib Salem.2005.Review: Immunomodulatory and therapeutic properties of
the Nigella sativa L. seed. International Immunopharmacology 5 (2005) 17491770
Swamy S.M.K dan B.K.H. Tan. 2000.Immunomodulatory and therapeutic properties of
the Nigella sativa L. seed. Journal of Ethnopharmacology 70 (2000) 17
Widianto B Matildha. 1987. Immnomodulator. Jurusan Farmasi Institute Teknologi
Bandung. Majalah Cermin Dunia Kedokteran. Halaman 44-46
Varalakshmi Ch,et al. 2008. Immunomodulatory effects of curcumin: In-vivo.
International Immunopharmacology (2008) 8, 68

Das könnte Ihnen auch gefallen