Sie sind auf Seite 1von 73

LAPORAN PRAKTIKUM

KIMIA AIR

Oleh :
WAHYU MAEKARATRI
NIM. P27834113012
SEMESTER 3 REGULER

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES SURABAYA
JURUSAN ANALIS KESEHATAN
PROGRAM STUDI D4
2014 - 2015

Materi praktikum

: Penentuan Aciditas

Tujuan

: 1. Melakukan standarisasi dengan titrasi alkalimetri


2. Menetapkan kadar CO2 dalam sampel air sumur

Metode

: Alkalimetri

Prinsip

: Penetralan asam basa


Aciditas dalam air dinetralkan dengan NaOH menggunakan
indikator fenolftalein(PP).

Reaksi

: H2C2O4 + 2NaOH

Tinjauan Pustaka

Na2C2O4 + 2H2O

Asiditas adalah kemampuan air untuk menetralkan larutan basa / kapasitas kuantitatif
air untuk bereaksi dengan basa kuat sehingga menstabilkan pH hingga mencapai 8,3 atau
kemampuan air untuk mengikat OH- untuk mencapai pH 8,3 dari pH asal yang rendah.
Semua air yang memiliki pH < 8,5 mengandung asiditas.
Pada dasarnya, asiditas (keasaman) tidak sama dengan pH. Asiditas melibatkan dua
komponen, yaitu jumlah asam, baik asam kuat maupun asam lemah (misalnya asam
karbonat dan asam asetat), serta konsentrasi ion hidrogen. Menurut APHA (1976) dalam
Effendi (2003), pada dasarnya asiditas menggambarkan kapasitas kuantitatif air untuk
menetralkan basa sampai pH tertentu, yang dikenal dengan base-neutralizing capacity
(BNC); sedangkan Tebbut (1992) dalam Effendi (2003) menyatakan bahwa pH hanya
menggambarkan konsentrasi ion hidrogen.
Pada kebanyakan air alami, air buangan domestik, dan air buangan industri bersifat
buffer karena sistem karbondioksida-bikarbonat. Pada titrasi beberapa asam lemah, dapat
diketahui bahwa titik akhir stokiometri dari asam karbonat tidak dapat dicapai sampai pH
sekitar 8,5. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa semua air yang memiliki pH < 8,5
mempunyai sifat asiditas. Biasanya titik akhir phenophtalein pada pH 8,2 sampai 8,4
digunakan sebagai titik referensi.
Dari titrasi terhadap asam karbonat dan asam kuat, diketahui bahwa asiditas dari air
alami disebabkan oleh CO2 yang merupakan agen efektif dalam air yang memiliki pH > 3,7
atau disebabkan oleh asam mineral kuat yang merupakan agen efektif dalam air dengan pH
< 3,7. Dapat dikatakan bahwa asiditas di dalam air disebabkan oleh CO2 terlarut dalam air,
asam-asam mineral (H2SO4, HCl, HNO3), dan garam dari asam kuat dengan basa lemah.

Asiditas Total (Asiditas Phenophtalein)


Asiditas total merupakan asiditas yang disebabkan adanya CO2 dan asam mineral.
Karbondioksida merupakan komponen normal dalam air alami. Sumber CO2 dalam air
dapat berasal dari adsorbsi atmosfer, proses oksidasi biologi materi organik, aktivitas
fotosintesis, dan perkolasi air dalam tanah. Karbondioksida dapat masuk ke permukaan air
dengan cara adsorbsi dari atmosfer, tetapi hanya dapat terjadi jika konsentrasi CO2 dalam
air < kesetimbangan CO2 di atmosfer. Karbondioksida dapat diproduksi dalam air melalui
oksidasi biologi dari materi organik, terutama pada air tercemar. Pada beberapa kasus, jika
aktivitas fotosintesis dibatasi, konsentrasi CO2 di dalam air dapat melebihi keseimbangan
CO2 di atmosfer dan CO2 akan keluar dari air. Air permukaan secara konstan mengadsorpsi
atau melepas CO2 untuk menjaga keseimbangan dengan atmosfer.
Air tanah dan air dari lapisan hypolimnion di danau dan reservoir biasanya
mengandung CO2 dalam jumlah yang cukup banyak. Konsentrasi ini dihasilkan dari
oksidasi materi organik oleh bakteri dimana materi organik ini mengalami kontak dengan
air dan pada kondisi ini CO2 tidak bebas untuk keluar ke atmosfer. CO2 merupakan produk
akhir dari oksidasi bakteri secara anaerobik dan aerobik. Oleh karena itu konsentrasi CO2
tidak dibatasi oleh jumlah oksigen terlarut.
Asiditas Mineral (Asiditas Metil Orange)
Asiditas mineral merupakan asiditas yang disebabkan oleh asam mineral. Dapat juga
disebut asiditas metil orange karena untuk menentukan titik akhir titrasi digunakan
indikator metil orange untuk mencapai pH 3,7. Asiditas mineral di dalam air dapat berasal
dari industri metalurgi, produksi materi organik sintetik, drainase buangan tambang, dan
hidrolisis garam-garam logam berat.
Asiditas mineral terdapat di limbah industri, terutama industri metalurgi dan produksi
materi organik sintetik. Beberapa air alami juga mengandung asiditas mineral. Kebanyakan
dari limbah industri mengandung asam organik. Kehadirannya di alam dapat ditentukan
dengan titrasi elektrometrik dan gas chromatografi.
Garam logam berat, terutama yang bervalensi 3, terhidrolisa dalam air untuk
melepaskan asiditas mineral sesuai dengan reaksi (2.25).
FeCl3 + 3 H2O Fe (OH)3 + 3 H+ + 3 Cl-

(2.25)

Kehadirannya dapat diketahui dari pembentukan endapan ketika pH larutan meningkat


selama netralisasi. Air yang mengandung asiditas biasanya bersifat korosif sehingga
memerlukan banyak biaya untuk menghilangkan/mengontrol substansi yang menyebabkan

korosi (umumnya CO2). Jumlah keberadaan asiditas merupakan faktor penting dalam
penentuan metode pengolahan, apakah dengan aerasi atau netralisasi sederhana dengan
kapur atau sodium hidroksida. CO2 merupakan pertimbangan penting dalam mengestimasi
persyaratan kimia untuk pelunakan kapur/kapur soda. Dalam penelitian ini, digunakan
titrasi asam basa dengan indikator phenophtalein (p) dan metil orange (m) sesuai reaksi
(2.26) sampai (2.28).
H+ + OH- H2O
CO2 + OH- HCO3 HCO3 + H+ H2O + CO2

(2.26)
(2.27)
(2.28)

Karbondioksida dan asiditas mineral dapat diukur dengan larutan standar menggunakan
reagen alkaline. Asam mineral dapat diukur dengan titrasi pada pH 3,7 sehingga disebut
asiditas metil orange. Titrasi contoh air pada pH mencapai 8,3 dapat mengukur asam
mineral dan asiditas dari asam lemah. Asam mineral dapat dinetralkan ketika pH mencapai
3,7. Hasil yang diperoleh dinyatakan dalam CaCO3. Karena CaCO3 memiliki berat
ekivalen 50, maka N/50 NaOH digunakan sebagai agen penitrasi sehingga 1 ml ekivalen
dengan 1 mg asiditas.
Bahan

: a. larutan H2C2O4 0,1000 N


b. larutan NaOH 0,1 N
c. Indikator PP 1%
d.Aquades

Alat

: a. Labu Erlenmeyer 250 ml


b. Buret 50 mL
c. Pipet tetes
d. Statif
e. Beaker glass
f. Pipet volume 10mL, 50mL

Sampel

: Air sumur

Prosedur

:
1. Titrasi Standarisasi
a. Melakukan perencanaan penimbangan dengan menghitung massa H2C2O4.2
H2O yang dibutuhkan
Pembuatan larutan primer : 250 mL H2C2O4.2 H2O 0,1000 N

m = N x V x BE
= 0.1000 N x 0.25 L x
= 1,5759 gram
b. Melakukan penimbangan dan didapat hasil penimbangan seberat 1,5869 gram
c. Menghitung konsentrasi H2C2O4.2H2O terstandarisasi sesuai hasil
penimbangan

d.
e.

f.
g.
h.
i.
j.

= 0.1007 N
Melarutkan dengan teliti H2C2O4.2H2O kedalam beaker glass
Memindahkan kedalam labu ukur dengan volume yang sesuai dan
menambahkan aquades menggunakan pipet tetes hingga tanda tera lalu kocok
hingga homogen
Mencuci dan mengisi buret dengan larutan NaOH 0.1 N
Memipet 10.0 mL larutan H2C2O4.2H2O kedalam Erlenmeyer
Menambahkan indikator PP 1 % sebanyak 1- 2 tetes
Melakukan titrasi hingga terjadi perubahan warna dari jernih menjadi merah
muda
Mencatat volume titrasi dan menghitung konsentrasi NaOH.

2. Penetapan Kadar
a. Mengisi buret dengan larutan NaOH terstandarisasi
b. Memipet 50,00 mL sampel kedalam labu erlenmeyer, dan menambahkan 1-2
tetes indikator PP 1%.
c. Melakukan titrasi dengan NaOH sampai terjadi perubahan warna dari jernih
menjadi merah muda.
d. Menghitung aciditas sebagai kadar CO2.

Hasil percobaan

:
Data titrasi standarisasi

Volume H2C2O4. 2H2O


(mL)

Normalitas
H2C2O4.2H2O (N)

Volume
NaOH (mL)

Normalitas NaOH
(N)

10,00
10,00

0,1007
0,1007

V1 = 10,40
V2 = 10,38

0,0968
0,0970
N rata-rata = 0,0969

Data titrasi penetapan kadar


Volume sampel (mL)

Normalitas NaOH (N)

50,00
50,00

0,0969
0,0969

Perhitungan

Volume NaOH
(mL)
V1 = 0,2
V2 = 0,3

Kadar CO2 (mg/L)


17,06
25,59
Kadar CO2 rata-rata =
21,325

:
a. Titrasi standarisasi
Diketahui : V H2C2O4.2 H2O =
N H2C2O4.2 H2O =
Vi NaOH
=
Vii NaOH
=

10,00 mL
0,1007 N
10,40 mL
10,38 mL

Maka Normalitas NaOH terstandarisasi :


i. V H2C2O4.2 H2O x N H2C2O4.2 H2O
10,00 mL x
0,1007 N
N NaOH terstandarisasi

V NaOH x N NaOH
=
10,40 mL x N NaOH
=
0,0968 N

ii V H2C2O4.2 H2O x N H2C2O4.2 H2O


10,00 mL x
0,1007 N
N NaOH terstandarisasi

V NaOH x N NaOH
=
10,38 mL x N NaOH
=
0,0970 N

Maka Normalitas rata-rata NaOH terstandarisasi

= 0,0969 N
i. Titrasi penetapan kadar
Diketahui : V sampel untuk titrasi
N NaOH
Vi NaOH
Vii NaOH
i. Maka penetapan kadar CO2 :

= 17,06 mg/L

ii

Maka penetapan kadar CO2 :

= 25,59 mg/L
Maka penetapan kadar CO2 rata-rata :

= 21,325 mg/L

= 50,00 mL
= 0,0969 N
= 0,2 mL
= 0,3 mL

Pembahasan

Pada dasarnya, asiditas (keasaman) tidak sama dengan pH. Asiditas melibatkan dua
komponen, yaitu jumlah asam, baik asam kuat maupun asam lemah (misalnya asam
karbonat dan asam asetat), serta konsentrasi ion hidrogen. Pada dasarnya asiditas
menggambarkan kapasitas kuantitatif air untuk menetralkan basa sampai pH tertentu dan
pH hanya menggambarkan konsentrasi ion hidrogen saja
Dari titrasi terhadap asam karbonat dan asam kuat, diketahui bahwa asiditas dari air
alami disebabkan oleh CO2 yang merupakan agen efektif dalam air yang memiliki pH > 3,7
atau disebabkan oleh asam mineral kuat yang merupakan agen efektif dalam air dengan pH
< 3,7. Dapat dikatakan bahwa asiditas di dalam air disebabkan oleh CO2 terlarut dalam air,
asam-asam mineral (H2SO4, HCl, HNO3), dan garam dari asam kuat dengan basa lemah.
Konsentrasi CO2 ini dihasilkan dari oksidasi materi organik oleh bakteri dimana materi
organik ini mengalami kontak dengan air dan pada kondisi ini CO2 tidak bebas untuk
keluar ke atmosfer. CO2 merupakan produk akhir dari oksidasi bakteri secara anaerobik
dan aerobik. Oleh karena itu konsentrasi CO2 tidak dibatasi oleh jumlah oksigen terlarut.
Pada percobaan kali ini 50,0 ml larutan sampel ditetesi dengan 1-2 tetes indicator PP
1% kemudian dititrasi dengan larutan standar NaOH 0,0969 N sampai terjadi perubahan
warna dari jernih menjadi merah muda. Dari percobaan duplo yang telah dilakukan,
didapatkan kadar CO2 dalam percobaan 1 sebesar 17,06 mg/L dan pada percobaan 2
sebesar 25,59 mg/L, setelah di rata-rata didapatkan kadar CO2 sebesar 21,325 mg/L.
Karbondioksida (CO2), merupakan gas yang dibutuhkan oleh tumbuh-tumbuhan air
renik maupun tinhkat tinggi untuk melakukan proses fotosintesis. Meskipun peranan
karbondioksida sangat besar bagi kehidupan organisme air, namun kandungannya yang
berlebihan sangat menganggu, bahkan menjadi racu secara langsung bagi biota budidaya,
terutama dikolam dan ditambak (Kordi dan Andi,2009).
Meskipun presentase karbondioksida di atmosfer relatif kecil, akan tetapi keberadaan
karbondioksida di perairan relatif banyak, karena karbondioksida memiliki kelarutan yang
relatif banyak.
Karbondioksida (CO2) mempunyai peranan yang sangat besar bagi kehidupan
organisme air. Senyawa tersebut dapat membantu dalam proses dekomposisi atau
perombakan bahan organik oleh bakteri. Namun jika dalam keadaan yang berlebihan
dapat mengganggu bahkan menjadi racun bagi beberapa jenis ikan (Barus, 2002)

Kandungan CO2 diperairan digunakan untuk melarutkan kapur, yaitu untuk mengubah
senyawa menjadi kalsium bikarbonat Ca(HCO3-). Agar supaya bikarbonat menjadi mantap
sejumlah karbondioksida (CO2) tertentu harus tetap berada dalam larutan Yang dapat
memperbaiki dan mempertahankan kalsium (Hendra, 1988).
Kadar karbondioksida (CO2) yang baik bagi organisme peraiaran yaitu kurang lebih 15
ppm. Jika lebih dari itu sangat membahayakan karena menghambat pengikatan oksigen
(O2). Lebih lanjut dikatakan kadar karbondioksida yang berlebih dapat diatasi dengan
melakukan penggantian air secara rutin, mengurangi pertumbuhan ganggang yang terlalu
lebat dan peningkatan peranan kincir air (Mujiman, 1989).
Karbondioksida dari udara selalu bertukar dengan karbondioksida yang ada di air.
Pada air yang tenang pertukaran ini sedikit, proses yang terjadi adalah difusi. Sehingga
kadar yang di perlukan pertukarannya berubah lebih cepat dan air dipermukaan berpusar
menuju kebagian dasar perairan (Sastrawijaya, 2000).
Tinggi dan rendahnya suatu karbondioksida dalam perairan tidak lepas dari pengaruh
parameter lain seperti oksigen, alkalinitas, kesadahan, suhu, cahaya dan sebagainya. Di
mana semakin tinggi karbondioksida, maka oksigen yang di perlukan bertambah.
Konsentrasi karbondioksida sangat erat hubungannya dengan konsentrasi oksigen terlarut
dalam perairan, karena kandungan karbondioksida mempunyai konsentrasi yang hampir
sama dengan konsentrasi oksigen terlarut (Soeyasa, 2001).
Nilai alkalinitas akan menurun jika ketersediaan CO2 yang dibutuhkan untuk
fotosintesis tidak memadai. Hal ini karena adanya proses difusi CO2 diudara kedalam air.
Diperairan yang sadah, kandungan karbondioksida tidak terdapat dalam bentuk gas. Hal ini
terjadi adanya pembentukan kalsium dan magnesium karbonat yang memiliki sifat
kelarutan rendah sehingga mengalami presipitasi.
Kelarutan karbondioksida (CO2) menurun diperairan, seiring dengan menurunnya
proses respirasi yang dilakukan oleh organisme yang ada dalam perairan. Pada siang hari
proses respirasi menurun disuatu perairan karena yang melakukan proses respirasi hanya
organisme berupa ikan sedangkan fitoplankton tidak melakukan respirasi melainkan hanya
melakukan fotosintesis (Zonnoveld, 1991).
Kurangnya karbondioksida (CO2) terlarut dalam perairan utamanya pada siang hari
dapat mengakibatkan terganggunya proses fotosintesis yang dilakukan oleh organisme
akuatik dan memperlambat pertumbuhan organisme tersebut dalam perairan.

Salah satu masalah dalam perairan adalah apabila terjadi peningkatan kadar
karbondioksida terlarut. Hal ini sangat mempengaruhi aktivitas organisme yang ada di
dalam utamanya persaingan dalam proses respirasi. Solusi yang dapat dilakukan apabila
hal tersebut terjadi yaitu dengan cara pengaturan sirkulasi air dengan teratur dan dapat pula
digunakan aerator apabila kondisi perairan kecil (Barus, 2002). Dikatakan Hendra (1988),
penanggulanganya dapat dilakukan dengan menaikkan pH serta dengan menambahkan
senyawa kimia yang bersifat basa, pada umumnya digunakan kapur.
Kesimpulan

:
Berdasarkan hasil percobaan diatas dapat disimpulkan bahwa :
1. Untuk melakukan titrasi penetapan kadar CO2 dengan sampel air sumur
digunakan larutan standar sekunder NaOH sebesar 0,0969 N.
2. Dalam proses penetapan kadar CO2 dengan sampel air sumur diperoleh kadar
CO2 dalam sampel tersebut sebesar 21,325 mg/L

Daftar pustaka

http://aswarpunyainfo.blogspot.com/2012/11/laporan-praktikum-karbondioksida-co2.html
http://jujubandung.wordpress.com/2012/06/08/parameter-fisika-kimia-biologi-penentu-kualitasair-2/
http://mengukurkualitasair007.blogspot.com/

Materi praktikum

: Penentuan Alkalinitas

Tujuan

: 1. Melakukan standarisasi dengan titrasi acidimetri.


2. Menetapkan kadar CaCO3 dalam sampel air sumur

Metode

: Acidimetri

Prinsip

: Reaksi penetralan asam basa


Suatu sampel air ditentukan pHnya dengan indikator kertas lakmus, indikator
universal, dan pH meter. Selanjutnya sampel tersebut dititrasi dengan larutan
standart HCl dengan indikator metil merah atau metil orange

Reaksi

: Na2B4O7 + 2 HCl
H2B4O7 + 5 H2O

Tinjauan Pustaka

H2B4O7 + 2 NaCl
4 H2BO3

Alkalinitas adalah kapasitas air untuk menetralkan tambahan asam tanpa


menurunkan pH larutan atau dikenal dengan sebutan acid-neutralizing capacity
(ANC) atau kuantitas anion di dalam air yang dapat menetralkan kation hidrogen.
Alkalinitas merupakan hasil reaksi terpisah dalam larutan dan merupakan analisa
makro yang menggabungkan beberapa reaksi. Alkalinitas merupakan kemampuan
air untuk mengikat ion positif hingga mencapai pH 4,5.
Alkalinitas dalam air disebabkan oleh ion-ion karbonat (CO32-), bikarbonat
(HCO3-), hidroksida (OH-), borat (BO32-), fosfat (PO43-), silikat (SiO44-),
ammonia, asam organik, garam yang terbentuk dari asam organik yang resisten
terhadap oksidasi biologis. Dalam air alami, alkalinitas sebagian besar disebabkan
adanya bikarbonat, karbonat, dan hidroksida. Pada keadaan tertentu, keberadaan
ganggang dan lumut dalam air menyebabkan turunnya kadar CO2 dan HCO3sehingga kadar CO32- dan OH- naik dan pH larutan menjadi naik.
Pada awalnya, alkalinitas adalah gambaran pelapukan batuan yang terdapat
pada sistem drainase. Alkalinitas dihasilkan dari karbondioksida dan air yang
dapat melarutkan sedimen batuan karbonat menjadi bikarbonat. Jika Me
merupakan logam alkali tanah (misalnya kalsium dan magnesium), maka reaksi
yang menggambarkan pelarutan batuan karbonat ditunjukkan dalam reaksi (2.29).
MeCO3 + CO2 + H2O Me2+ + 2HCO32-

(2.29)

Kalsium karbonat merupakan senyawa yang memberi kontribusi terbesar


terhadap nilai alkalinitas dan kesadahan di perairan tawar. Senyawa ini terdapat di
dalam tanah dalam jumlah yang berlimpah sehingga kadarnya di perairan tawar
cukup tinggi. Kelarutan kalsium karbonat menurun dengan meningkatnya suhu
dan meningkat dengan keberadaan karbondioksida. Kalsium karbonat bereaksi
dengan karbondioksida membentuk kalsium bikarbonat [Ca(HCO3)2] yang
memiliki daya larut lebih tinggi dibandingkan dengan kalsium karbonat (CaCO3)
(Cole, 1983 dalam Effendi 2003).
Tingginya kadar bikarbonat di perairan disebabkan oleh ionisasi asam
karbonat, terutama pada perairan yang banyak mengandung karbondioksida
(kadar CO2 mengalami saturasi/jenuh). Reaksi pembentukan bikarbonat dari
karbonat adalah reaksi setimbang dan mengharuskan keberadaan karbondioksida
untuk mempertahankan bikarbonat dalam bentuk larutan. Jika kadar
karbondioksida bertambah atau berkurang, maka akan terjadi perubahan kadar ion
bikarbonat.
Bikarbonat mengandung asam (CO2) dan basa (CO32-) pada konsentrasi yang
sama, seperti yang ditunjukkan dalam persamaan reaksi (2.30).
2 HCO3 - CO2 + CO32- + H2O

(2.30)

Selain karena bereaksi dengan ion H+, karbonat dianggap basa karena dapat
mengalami hidrolisis menghasilkan OH- seperti persamaan reaksi (2.31).
CO32- + H2O HCO3- + OH-

(2.31)

Sifat kebasaan CO32- lebih kuat daripada sifat keasaman CO2 sehingga pada
kondisi kesetimbangan, ion OH- dalam larutan bikarbonat selalu melebihi ion H+.
Akumulasi hidroksida menyebabkan perairan yang banyak ditumbuhi algae
memiliki nilai pH yang tinggi, sekitar 9 10. Nilai alkalinitas sangat dipengaruhi
oleh pH. Dengan kata lain, alkalinitas berperan sebagai sistem penyangga (buffer)
agar perubahan pH tidak terlalu besar. Alkalinitas juga merupakan parameter
pengontrol untuk anaerobic digester dan instalasi lumpur aktif.
Alkalinitas ditetapkan melalui titrasi asam basa. Asam kuat seperti asam sulfat
dan asam klorida dapat menetralkan zat-zat alkaliniti yang bersifat basa sampai
titk akhir titrasi (titik ekivalensi) kira-kira pada pH 8,3 dan 4,5. Titik akhir ini
dapat ditentukan oleh jenis indikator yang dipilih dan perubahan nilai pH pada

pHmeter waktu titrasi asam basa. Reaksi yang terjadi ditunjukkan dalam
persamaan reaksi (2.32) sampai (2.34).
OH- + H+ H2O
CO32- + H+ HCO3 HCO3 - + H+ H2O + CO2

(pH = 8,3)
(pH = 8,3)
(pH = 4,5)

(2.32)
(2.33)
(2.34)

Jumlah asam yang diperlukan untuk mencapai titik akhir pada pH 8,3 (sebagian
dari alkalinitas total) dikenal sebagai nilai P (phenolphtalein) dan yang diperlukan
sampai pH 4,3 dikenal sebagai nilai T (total alkalinity) atau M (metil orange).
Air ledeng memerlukan ion alkalinitas dalam konsentrasi tertentu. Jika kadar
alkalinitas terlalu tinggi dibandingkan kadar Ca2+ dan Mg2+, air menjadi agresif
dan menyebabkan karat pada pipa. Alkalinitas yang rendah dan tidak seimbang
dengan kesadahan dapat menyebabkan timbulnya kerak CaCO3 pada dinding pipa
yang memperkecil diameter/penampang basah pipa.
Satuan alkalinitas dinyatakan dengan mg/liter kalsium karbonat (CaCO 3) atau
mili-ekuivalen/liter. Selain bergantung pada pH, alkalinitas juga dipengaruhi oleh
komposisi mineral, suhu, dan kekuatan ion. Nilai alkalinitas perairan alami hampir
tidak pernah melebihi 500 mg/liter CaCO3. Perairan dengan nilai alkalinitas yang
terlalu tinggi tidak terlalu disukai oleh oragnisme akuatik karena biasanya diikuti
dengan nilai kesadahan yang tinggi atau kadar garam natrium yang tinggi.
Nilai alkalinitas berkaitan erat dengan korosivitas logam dan dapat menimbulkan
permasalahan pada kesehatan manusia, terutama yang berhubungan dengan iritasi
pada sistem pencernaan (gastro intestinal). Nilai alkalinitas yang baik berkisar
antara 30 500 mg/liter CaCO3. Perairan dengan nilai alkalinitas > 40 mg/liter
CaCO3 disebut perairan sadah (hard water), sedangkan perairan dengan nilai
akalinitas < 40 mg/liter disebut perairan lunak (soft water). Untuk kepentingan
pengolahan air, sebaiknya nilai alkalinitas tidak terlalu bervariasi
Alkalinitas berperan dalam hal-hal sebagai berikut :
Sistem penyangga (buffer)
Bikarbonat yang terdapat pada perairan dengan nilai alkalinitas total tinggi
berperan sebagai penyangga (buffer capacity) perairan terhadap perubahan pH
yang drastis. Jika basa kuat ditambahkan ke dalam perairan, maka basa tersebut
akan bereaksi dengan asam karbonat membentuk garam bikarbonat dan akhirnya
menjadi karbonat. Jika asam ditambahkan ke dalam perairan, maka asam tersebut

akan digunakan untuk mengonversi karbonat menjadi bikarbonat dan bikarbonat


menjadi asam karbonat. Fenomena ini menjadikan perairan dengan nilai
alkalinitas total tinggi tidak mengalami perubahan pH secara drastis (Cole, 1988
dalam Effendi 2003). Pada sistem penyangga, CO2 berperan sebagai asam dan ion
HCO3- berperan sebagai garam.
Koagulasi kimia
Bahan kimia yang digunakan dalam proses koagulasi air atau air limbah bereaksi
dengan air membentuk presipitasi hidroksida yang tidak larut. Ion hidrogen yang
dilepaskan bereaksi dengan ion-ion penyusun alkalinitas, sehingga alkalinitas
berperan sebagai penyangga untuk mengetahui kisaran pH optimum bagi
penggunaan koagulan. Dalam hal ini, nilai alkalinitas sebaiknya berada pada
kisaran optimum untuk mengikat ion hidrogen yang dilepaskan pada proses
koagulasi.
Pelunakan air (water softening)
Alkalinitas adalah parameter kualitas air yang harus dipertimbangkan dalam
menentukan jumlah soda abu dan kapur yang diperlukan dalam proses pelunakan
(softening) dengan metode presipitasi yang bertujuan untuk menurunkan
kesadahan.
Perubahan pH yang terjadi pada perairan yang memiliki nilai alkalinitas rendah
cukup besar, sedangkan perubahan pH yang terjadi pada perairan yang memiliki
nilai alkalinitas sedang relatif rendah. Hal ini menunjukkan bahwa alkalinitas
yang lebih tinggi memiliki sistem penyangga yang lebih baik.
Alkalinitas biasanya dinyatakan sebagai :
Alkalinitas phenophtalein
Alkalinitas phenophtalein dapat diketahui dengan titrasi asam sampai mencapai
pH dimana HCO3- merupakan spesies karbonat dominan (pH = 8,3).
Alkalinitas total
Alkalinitas total dapat diketahui dengan titrasi asam untuk mencapai titik akhir
metil orange (pH = 4,5) dimana spesies karbonat dan bikarbonat telah dikonversi
menjadi CO2.

Alkalinitas pada air memberikan sedikit masalah kesehatan. Alkalinitas yang


tinggi menyebabkan rasa air yang tidak enak (pahit). Pengukuran asiditasalkalinitas harus dilakukan sesegera mungkin dan biasanya dilakukan di tempat
pengambilan contoh. Batas waktu yang dianjurkan adalah 14 hari.
Bahan

: a. Larutan Na2B4O7.10 H2O 0,1000 N


b. Larutan HCl 0,1 N
c. Indikator MM 1% atau MO 0,2 %

Alat

: a. Labu Erlenmeyer 250 ml


b. Buret 50 mL
c. Pipet tetes
d. Statif
e. Beaker glass
f. Pipet volume 10mL, 50mL
h. Kertas lakmus
g. Indikator universal

sampel
Prosedur

: air sumur
:
1. Titrasi Standarisasi
a. Melakukan perencanaan penimbangan dengan menghitung massa Na2B4O7.10
H2O yang dibutuhkan:
Pembuatan larutan primer : 250 mL Na2B4O7.10 H2O 0,1000 N
m = N x V x BE
= 0.1000 N x 0.25 L x
= 4,7671 gram
b. Melakukan penimbangan dan didapat hasil penimbangan seberat 4,7665 gram
c. Menghitung
penimbangan

konsentrasi

Na2B4O7.10H2O

terstandarisasi

sesuai

hasil

= 0.1000 N
d. Melarutkan dengan teliti Na2B4O7.10 H2O kedalam beaker glass
e. Memindahkan kedalam labu ukur dengan volume yang sesuai dan
menambahkan aquades menggunakan pipet tetes hingga tanda tera lalu kocok
hingga homogen
f. Mencuci dan mengisi buret dengan larutan HCl 0.1 N
g. Memipet 10.0 mL larutan Na2B4O7.10 H2O kedalam Erlenmeyer
h. Menambahkan indikator MO 0.2 % sebanyak 5 tetes
i. Melakukan titrasi hingga terjadi perubahan warna dari kuning menjadi orange
j. Mencatat volume titrasi dan menghitung konsentrasi HCl.
2. Penetapan Kadar
a. Mengisi buret dengan larutan HCl terstandarisasi
b. Memipet 50,00 mL sampel kedalam labu erlenmeyer, lalu menambahkan 1-2
tetes indikator MO 0,2%.
c. Melakukan titrasi dengan HCl sampai terjadi perubahan warna dari kuning
menjadi merah orange.
d. Mencatat volume titran dan menghitung kadar CaCO3 sebagai alkalinitas.
Hasil percobaan

:
Data titrasi standarisasi

Volume
Na2B4O7.10 H2O
(mL)
10,00
10,00

Normalitas
Na2B4O7.10 H2O
(N)
0,1000
0,1000

Volume HCl
(mL)

Normalitas HCl
(N)

V1 = 13,00
V2 = 13,10

0,0769
0,0763
N HCl rata-rata =
0,0766

Data titrasi penetapan kadar


Volume sampel
(mL)
50,00
50,00

Normalitas HCl
(N)
0,0766

Volume HCl
(mL)
V1 = 3,80

Kadar CaCO3 (mg/L)

0,0766

V2 = 3,80

582,68
Kadar CaCO3 rata-rata =
582,68

582,68

Perhitungan

:
a. Titrasi standarisasi
Diketahui

: V Na2B4O7.10 H2O = 10,00 mL


N Na2B4O7.10 H2O = 0,1000 N

i. V HCl

= 13,00 mL

ii. V HCl

= 13,10 mL

Maka normalitas HCl terstandarisasi :


V Na2B4O7.10 H2O x N Na2B4O7.10 H2O = V HCl
10,00 mL

x 0,1000 N

= 13,00 mL x N HCl

N HCl terstandarisasi

= 0,0769 N

V Na2B4O7.10 H2O x N Na2B4O7.10 H2O = V HCl


10,00 mL

x 0,1000 N

= 0,0763 N

Maka Normalitas rata-rata HCl terstandarisasi :

= 0,0766 N
Titrasi penetapan kadar
Diketahui : V sampel untuk titrasi

= 50,00 mL

N HCl

= 0,0766 mL

Vi HCl

= 3,80 mL

i. Maka penetapan kadar CaCO3 :

x N HCl

= 13,10 mL x N HCl

N HCl terstandarisasi

b.

x N HCl

= 582,68 mg/L
Pembahasan

Pada percobaan kali ini 50,0 ml larutan sampel ditetesi dengan 5 tetes indicator MO
2% kemudian dititrasi dengan larutan standar HCl 0,0766 N sampai terjadi perubahan
warna dari kuning menjadi merah orange. Dari percobaan duplo yang telah dilakukan,
didapatkan kadar CaCO3 dalam percobaan 1 sebesar 582,68 mg/L dan pada percobaan 2
juga sebesar 582,68 mg/L, setelah di rata-rata didapatkan kadar CaCO3 sebesar 582,68
mg/L.
Peranan Alkalinitas Dalam Perairan
Alkalinitas yang terdapat dalam perairan secara langsung tidak mempengaruhi adanya
organisme akuatik, karena alkalinitas dalam perairan berperan sebagai penetral keasaman
pH dalam perairan. kemudian pH inilah yang mempengaruhi organisme akuatik.
Alkalinitas merupakan faktor kapasitas untuk menetralkan asam. Oleh karenanya kadangkadang penambahan alkalinitas lebih banyak dibutuhkan untuk mencegah supaya air itu
tidak menjadi asam (Lesmana, 2005).
Proses penetralan keasaman pH terjadi karena adanya ion karbonat dan ion bikarbonat
yang saling bereaksi. Dalam kondisi basa, ion bikarbonat akan membentuk ion karbonat
dan melepaskan ion hidrogen yang bersifat asam sehingga keadaan pH menjadi netral.
Sebaliknya bila keadaan terlalu asam, ion karbonat akan mengalami hidrolisa menjadi ion
bikarbonat dan melepaskan hidrogen oksida yang bersifat basa, sehingga keadaan kembali
netral (Arsyad, 1989).
Kadar Alkalinitas
Ikan tumbuh pada kisaran alkalinitas yang tinggi, tetapi nilai 120 400 mg/l adalah
optimal. Kadar alkalinitas yang sangat rendah, air kehilangan kemampuan menyangga
perubahan keasaman dan pH yang berfluktuasi sangat cepat sehingga dapat menggangu
kehidupan ikan budidaya. Ikan sangat sensitif pada kondisi kadar alkalinitas yang rendah
(Mintardji, 1984).
Perairan dengan total alkalinitas yang tinggi telah berkaitan dengan endapan batu
kapur tanah. Nilai kadar alkalinitas yang tinggi biasanya terdapat pada perairan dalam,
dimana penguapan konsentrasi ion perairan lebih banyak terjadi dengan alkalinitas rendah
ditemukan pada tanah berpasir dan tanah yang mengandung banyak bahan organik.
Sebagian perairan yang tercemar bahan organik akan memiliki kadar alkalinitas yang
rendah basa umumnya rasa seperti sabun, Suatu zat yang dapat mengubah lakmus merah
menjadi biru, serta senyawa yang mengandung gugusan hirdroksil(OH)
(http//ideiyanhariini.blogspot.com/2009/05/alkalinitas.html).
Hubungan Alkalinitas Dengan Parameter Lain

Tinggi dan rendahnya alkalinitas dalam suatu perairan tidak lepas dari pengaruh
parameter lain seperti pH, suhu, udara, cahaya, dan sebagainya. Di mana semakin tinggi
alkalinitas, maka semua parameter tersebut akan mengikuti. Konsentrasi total alkalinitas
sangat erat hubungannya dengan konsentrasi total kesadahan air, umumnya total alkalinitas
mempunyai konsentrasi yang sama dengan konsentrasi total kesadahan (Anang, 1991).
Besarnya pH berkisar dari 0 (sangat asam) sampai dengan 14 (sangat basa/alkalis).
Nilai pH yang kurang dari 7 menunjukkan lingkugan yang masam sedangkan nilai diatas 7
menunjukkan lingkungan yang basa (alkali). Sedangkan ph 7 disebut netral. Fluktuasi pH
air sangat ditentukan oleh alkalinitas air tersebut. Apabila alkalinitasnya tinggi, maka air
tersebut akan mudah mengembalikan pH nya (Sastrawijaya, 2000).
Dampak alkalinitas dan Penanggulangan Alkalinitas
Air yang baik digunakan dalam suatu budidaya sebaiknya air yang bersifat alkalis,
sebab jika air yang bersifat alkalis dapat memungkinkan terjadinya proses perombakan
bahan-bahan organik menjadi garam mineral yang dapat berlangsung dengan cepat
(Effendi, 2003).
Alkalinitas merupakan faktor kapasitas yang dapat menentukan kemasaman. pH
Sehingga untuk mencegah penanggulangan terjadinya kemasaman tersebut, maka di
netralkan dengan ion-ion bikarbonat yang memegang peranan penting dalam menentukan
alkalinitas perairan (Rompas, 1998).
Kesimpulan

: Berdasarkan hasil percobaan diatas dapat disimpulkan bahwa :


3. Untuk melakukan titrasi penetapan kadar CaCO3 dengan sampel air sumur
digunakan larutan standar sekunder HCl sebesar 0,0766 N.
4. Dalam proses penetapan kadar CaCO3 dengan sampel air sumur diperoleh
kadar CaCO3 dalam sampel tersebut sebesar 582,68 mg/L

Daftar pustaka

http://aswarpunyainfo.blogspot.com/2012/11/laporan-praktikumalkalinitas.html
http://jujubandung.wordpress.com/

Materi praktikum

: Penentuan Klorida

Tujuan

: 1. Melakukan standarisasi dengan titrasi argentometri


2. Menetapkan kadar Cl pada sampel air sumur

Metode
Prinsip

: Argentometri
:
Klorida dalam suasana netral diendapkan dengan AgNO3, membentuk AgCl .
Kelebihan sedikit Ag+ dengan adanya indicator K2CrO4, akan terbentuk endapan merah
bata pada titik titrasi

Reaksi

: AgNO3 + NaCl
2AgNO3 + K2CrO4

Tinjauan Pustaka

AgCl

putih + NaNO3

Ag2CrO4 merah + 2KNO3

Sekitar 3/4 dari klorin (Cl2) yang terdapat di bumi berada dalam bentuk larutan. Unsur
klor dalam air terdapat dalam bentuk ion klorida (Cl-). Ion klorida adalah salah satu anion
anorganik utama yang ditemukan pada perairan alami dalam jumlah yang lebih banyak
daripada anion halogen lainnya. Klorida biasanya terdapat dalam bentuk senyawa natrium
klorida (NaCl), kalium klorida (KCl), dan kalsium klorida (CaCl2). Selain dalam bentuk
larutan, klorida dalam bentuk padatan ditemukan pada batuan mineral sodalite
[Na8(AlSiO4)6]. Pelapukan batuan dan tanah melepaskan klorida ke perairan. Sebagian
besar klorida bersifat mudah larut.
Klorida terdapat di alam dengan konsentrasi yang beragam. Kadar klorida umumnya
meningkat seiring dengan meningkatnya kadar mineral. Kadar klorida yang tinggi, yang
diikuti oleh kadar kalsium dan magnesium yang juga tinggi, dapat meningkatkan sifat
korosivitas air. Hal ini mengakibatkan terjadinya perkaratan peralatan logam. Kadar
klorida > 250 mg/l dapat memberikan rasa asin pada air karena nilai tersebut merupakan
batas klorida untuk suplai air, yaitu sebesar 250 mg/l (Rump dan Krist, 1992 dalam
Effendi, 2003). Perairan yang diperuntukkan bagi keperulan domestik, termasuk air
minum, pertanian, dan industri, sebaiknya memiliki kadar klorida lebih kecil dari 100
mg/liter (Sawyer dan McCarty, 1978). Keberadaan klorida di dalam air menunjukkan
bahwa air tersebut telah mengalami pencemaran atau mendapatkan rembesan dari air laut.
Klorida tidak bersifat toksik bagi makhluk hidup, bahkan berperan dalam pengaturan
tekanan osmotik sel. Klorida tidak memiliki efek fisiologis yang merugikan, tetapi seperti
amonia dan nitrat, kenaikan akan terjadi secara tiba-tiba di atas baku mutu sehingga dapat
menyebabkan polusi. Toleransi klorida untuk manusia bervariasi berdasarkan iklim,

penggunaannya, dan klorida yang hilang melalui respirasi. Klorida dapat menimbulkan
gangguan pada jantung/ginjal.
Di Indonesia, khlor digunakan sebagai desinfektan dalam penyediaan air minum untuk
menghilangkan mikroorganisme yang tidak dibutuhkan. Beberapa alasan yang
menyebabkan klorin sering digunakan sebagai desinfektan adalah sebagai berikut (Tebbut,
1992 dalam Effendi, 2003) :
Dapat dikemas dalam bentuk gas, larutan, dan bubuk (powder).
Harga relatif murah.
Memiliki daya larut yang tinggi serta dapat larut pada kadar yang tinggi.
Residu klorin dalam bentuk larutan tidak berbahaya bagi manusia, jika terdapat dalam
kadar yang tidak berlebihan.
Bersifat sangat toksik bagi mikroorganisme, dengan cara menghambat aktivitas
metabolisme mikroorganisme tersebut.
Proses penambahan klor dikenal dengan klorinasi. Klorin yang digunakan sebagai
desinfektan adalah gas klor yang berupa molekul klor (Cl2) atau kalsium hipoklorit
[Ca(OCl)2]. Penambahan klor secara kurang tepat akan menimbulkan bau dan rasa pada
air. Pada kadar klor kurang dari 1.000 mg/liter, semua klor berada dalam bentuk ion
klorida (Cl-) dan hipoklorit (HOCl), atau terdisosiasi menjadi H+ dan OCl-.
Selain bereaksi dengan air, klorin juga bereaksi dengan senyawa nitrogen membentuk
mono-amines, di-amines, tri-amines, N-kloramines, N-kloramides, dan senyawa nitrogen
berklor lainnya. Monokloramines (NH2Cl) adalah bentuk senyawa klor dan nitrogen yang
utama di perairan. Senyawa ini bersifat stabil dan biasanya ditemukan beberapa hari
setelah penambahan klorin. Klor yang berikatan dengan senyawa kimia lain dikenal
sebagai klorin terikat, sedangkan klorin bebas adalah ion klorida dan ion hipoklorit yang
tidak berikatan dengan senyawa lainnya.
Penentuan jumlah klorin di perairan diperlukan dalam proses pengolahan air baku
untuk keperluan domestik dan pengolahan limbah cair yang menggunakan klorin sebagai
desinfektan, untuk mengetahui kadar klorin yang tersisa di perairan.
Metode Mohr (Argentometric) dapat digunakan untuk pemeriksaan klorida
menggunakan larutan perak nitrat (0,0141 N) untuk mentitrasi sehingga dapat bereaksi
dengan larutan N/71 dimana setiap mm ekivalen dengan 0,5 mg ion klorida. Pada titrasi,
ion klorida dipresipitasi sebagai klorida putih perak berdasarkan persamaan reaksi (2.9).
Ag+ + Cl- AgCl (Ksp = 3 x 10-10)

(2.9)

Titik akhir dengan indikator potassium chromate dapat menunjukkan kehadiran Ag+.
Ketika ion klorida mencapai 0, konsentrasi ion perak akan meningkat dimana kelarutan
produk kromat perak meningkat dan terbentuk warna merah coklat sesuai dengan
persamaan reaksi (2.10).
2 Ag+ + CrO42- Ag2CrO4 (Ksp = 5 x 10-12)

(2.10)

Beberapa hal yang harus diperhatikan untuk mendapatkan hasil pemeriksaan yang
akurat antara lain :
Digunakan contoh air yang seragam, dianjurkan 100 ml, sehingga konsentrasi ion pada
titik akhir titrasi konstan.
pH berada dalam rentang 7 atau 8 karena Ag+ dipresipitasi sebagai AgOH pada pH
tinggi dan CrO42- akan berubah menjadi Cr2O72- pada pH rendah.
Jumlah indikator harus diperhatikan untuk mengukur konsentrasi Cr2O42- atau
Ag2CrO4 yang terbentuk sangat cepat atau sangat lama.

Alat

bahan

sampel
Prosedur
A. Titrasi standarisasi

: a. Buret volume 50 mL
b. Pipet Volume 10mL , 50mL
c. Beaker glass
d. labu erlenmeyer 250mL
e. statif
: a. Larutan NaCl 0,0100 N
b. Larutan AgNO3 0,01 N
c. K2CrO4 5%
d. serbuk MgO
: air sumur
:

a. Melakukan perencanaan penimbangan dengan menghitung massa NaCl yang


dibutuhkan
Pembuatan larutan primer 250 mL NaCl 0,0100 N

m = N x V x BE
= 0.0100 N x 0.25 L x
= 0,14625 gram
b. Melakukan penimbangan dan didapat hasil penimbangan seberat 0,1545
gram
c. Menghitung konsentrasi NaCl terstandarisasi sesuai hasil penimbangan

=
= 0,0106 N
d. Melarutkan dengan teliti NaCl kedalam beaker glass
e. Memindahkan kedalam labu ukur dengan volume yang sesuai dan
tambahkan aquades menggunakan pipet tetes hingga tanda tera lalu kocok
hingga homogen
f. Mengisi buret dengan larutan AgNO3 0.01 N
g. Memipet 10.0 mL larutan NaCl kedalam Erlenmeyer
h. Menambahkan indikator K2CrO4 5 % 2 3 tetes
i. Melakukan titrasi hingga terbentuk endapan merah bata
j. Mencatat volume titrasi dan menghitung konsentrasi AgNO3.

Penentuan kadar
1. Mengecek pH sampel, jika sampel bersifat asam maka menambahkan bubuk MgO sampai
suasananya sedikit basa

2. Mengisi buret dengan larutan AgNO3 terstandarisasi


3.
4.
5.
6.
7.

Memipet 50,0 mL sampel lalu memasukannya ke dalam labu erlenmeyer


Menambahkan indikator K2CrO4 5% 2-3 tetes
Melakukan titrasi dengan AgNO3 sampai terbentuk endapan merah bata muda.
Mengulangi prosedur no 1 4 dengan menggunakan aquadest sebagai blanko.
Mencatat volume titran dan menghitung kadar Cl dalam sampel air sumur.

Hasil percobaan

:
Data titrasi standarisasi

Volume NaCl
(mL)

Normalitas NaCl
(N)

Volume AgNO3
(mL)

Normalitas AgNO3
(N)

10,00
10,00

0,0106
0,0106

Vi = 10,05
Vii = 9,50

0,0105
0,0111
N AgNO3 rata-rata =

0,0108
Data titrasi penetapan kadar menggunakan sampel air sumur

Volume sampel (mL)

Normalitas AgNO3
(N)

Volume AgNO3
(mL)

50,00
50,00

0,0108
0,0108

Vi = 12,20
Vii = 10,70

Data titrasi penetapan kadar menggunakan blanko

Volume sampel
(mL)
50,00
50,00

Perhitungan

Normalitas AgNO3
(N)

Volume AgNO3 (mL)

0,0108
0,0108

V1 = 0,75
V2 = 0,62

a.

Titrasi standarisasi
Diketahui
: V NaCl
: 10,00 mL
N NaCl
: 0,0106 N
Vi AgNO3
: 10,05 mL
Vii AgNO3 : 9,50 mL
Maka normalitas AgNO3 terstandarisasi :
V NaCl x N NaCl
= V AgNO3 x N AgNO3
10,00 mL x 0,0106 N
= 10,05 mL x N AgNO3
N AgNO3 terstandarisasi = 0,0105 N
V NaCl x N NaCl
= V AgNO3 x N AgNO3
10,00 mL x 0,0106 N
= 9,50 mL x N AgNO3
N AgNO3 terstandarisasi = 0,0111 N

Maka Normalitas rata-rata AgNO3terstandarisasi

= 0,0108 N
b. Titrasi penetapan kadar
Volume sampel untuk titrasi
N AgNO3
V AgNO3 untuk titrasi sampel
V AgNO3 untuk titrasi blanko

= 50,00 mL

= 0,0108 N
= 12,20 mL
= 0,75 mL

Maka penetapan kadar Cl :

= 87,7986 mg/L
Titrasi penetapan kadar percobaan ke 2
Volume sampel untuk titrasi

= 50,00 mL

N AgNO3

= 0,0108 N

V AgNO3 untuk titrasi sampel = 10,70 mL


V AgNO3 untuk titrasi blanko = 0,62 mL

Maka penetapan kadar Cl :

= 77,2934 mg/L
Maka kadar Cl rata-rata sebesar 82,546 mg/L
Pembahasan

Klorida banyak ditemukan di alam, hal ini di karenakan sifatnya yang mudah larut.
Kandungan klorida di alam berkisar < 1 mg/l sampai dengan beberapa ribu mg/l di dalam
air laut. Air buangan industri kebanyakan menaikkan kandungan klorida demikian juga
manusia dan hewan membuang material klorida dan nitrogen yang tinggi.
Kadar Cl- dalam air dibatasi oleh standar untuk berbagai pemanfaatan yaitu air minum,
irigasi dan konstruksi. Konsentrasi 250 mg/l unsure ini dalam air merupakan batas
maksimal konsentrasi yang dapat mengakibatkan timbulnya rasa asin. Konsentrasi klorida
dalam air dapat meningkat dengan tiba-tiba dengan adanya kontak dengan air bekas.
Klorida mencapai air alam dengan banyak cara. Kotoran manusia khususnya urine,
mengandung klorida dalam jumlah yang kira-kira sama dengan klorida yang dikonsumsi
lewat makanan dan air. Jumlah ini rata-rata kira-kira 6 gr klorida perorangan perhari dan
menambah jumlah Cl dalam air bekas kira-kira 15 mg/l di atas konsentrasi di dalam air

yang membawanya, disamping itu banyak air buangan dari industri yang mengandung
klorida dalam jumlah yang cukup besar.
Klorida dalam konsentrasi yang layak adalah tidak berbahaya bagi manusia. Klorida
dalam jumlah kecil dibutuhkan untuk desinfectan. Unsur ini apabila berikatan dengan ion
Na+dapat menyebabkan rasa asin, dan dapat merusak pipa-pipa air.
Berdasarkan pada SNI 01-3553-1996, Kadar klorida pada air minum harus memenuhi
persyaratan kualitas air minum yaitu sebesar 250 mg/l.
Pada percobaan kali ini dilakukan beberapa tahapan yaitu untuk menentukan volume
AgNO3 pada larutan blanko yang nantinya digunakan sebagai faktor pengurang untuk
menentukan kadar Cl- dalam sampel dan untuk penentuan kadar Cl- dalam sampel. Sampel
diambil 50,00 ml kemudian dimasukkan ke dalam Erlenmeyer. Kemudian langsung
ditambahkan K2Cr2O7 2-3 tetes. Setelah itu larutan sampel dititrasi dengan larutan AgNO3
0,0108 N. Titrasi dilakukan sampai warna larutan menjadi keruh dan terdapat endapan
merah bata.
Pada percobaan titrasi penetapan kadar Cl yang telah dilakukan, pada percobaan 1
kadar Cl sebesar 87,7986 mg/L, pada percobaan 2 dengan sampel yang sama sebesar
77,2934 mg/L, setelah di rata-rata didapatkan kadar Cl hasil sebesar 82,546 mg/L.
Dari hasil yang didapatkan kadar Cl dalam air sumur masih jauh dibawah 250 mg/L,
sehingga dapat dikatakan sampel tersebut masih layak untuk dikonsumsi sebagai air
minum sesuai dengan SNI 01-3553-1996, asalkan dengan diberlakukan pengolahan yang
baik dan benar, sehingga tidak akan mengganggu kesehatan bagi yang mengonsumsi.
Kesimpulan
5.
6.

: Berdasarkan hasil percobaan diatas dapat disimpulkan bahwa :

Untuk melakukan titrasi penetapan kadar Cl dengan sampel air sumur digunakan
larutan standar sekunder AgNO3 sebesar 0,0108 N.
Dalam proses penetapan kadar AgNO3 dengan sampel air sumur diperoleh kadar CO2
dalam sampel tersebut sebesar 82,2776 mg/L.

Daftar pustaka

http://uphisufiana.blogspot.com/2011/12/laporan-praktikum-laboratorium.html

Materi Praktikum

: Penentuan Kesadahan

Tujuan Praktikum

:1.Melakukan standarisasi dengan titrasi kompleksometri


2.Menentukan kadar kesadahan total, Ca2+, dan Mg2+
dalam sampel

Metode

: Kompleksometri

Prinsip

:
kesadahan total, Ca2+, dan Mg2+ ditentukan dengan cara
titrasi langsung dengan larutan standart Na2Edta
menggunakan indicator EBT pada pH 10

Reaksi

: Ca2+/ Mg2+ - EBT + Edta


Ca2+ + murexide

Tinjauan pustaka

Ca2+/ Mg2+ - Edta + EBT

Ca2+ - murexide

Ca2+ - murexide + Edta

Ca2+ - Edta + murexide

Mg2+ - murexide + Edta

tidak beraksi

Kesadahan (hardness) disebabkan adanya kandungan ion-ion logam bervalensi banyak


(terutama ion-ion bervalensi dua, seperti Ca, Mg, Fe, Mn, Sr). Kation-kation logam ini
dapat bereaksi dengan sabun membentuk endapan maupun dengan anion-anion yang
terdapat di dalam air membentuk endapan/karat pada peralatan logam. Kation-kation utama
penyebab kesadahan di dalam air antara lain Ca2+, Mg2+, Sr2+, Fe2+, dan Mn2+. Anion-anion
utama penyebab kesadahan di dalam air antara lain HCO3 -, SO42-, Cl-, NO3 -, dan SiO32-.
Air sadah merupakan air yang dibutuhkan oleh sabun untuk membusakan dalam jumlah
tertentu dan juga dapat menimbulkan kerak pada pipa air panas, pemanas, ketel uap, dan
alat-alat lain yang menyebabkan temperatur air naik.
Kesadahan air berkaitan erat dengan kemampuan air membentuk busa. Semakin besar
kesadahan air, semakin sulit bagi sabun untuk membentuk busa karena terjadi presipitasi.
Busa tidak akan terbentuk sebelum semua kation pembentuk kesadahan mengendap. Pada
kondisi ini, air mengalami pelunakan atau penurunan kesadahan yang disebabkan oleh
sabun. Endapan yang terbentuk dapat menyebabkan pewarnaan pada bahan yang dicuci.
Pada perairan sadah (hard), kandungan kalsium, magnesium, karbonat, dan sulfat biasanya
tinggi (Brown, 1987 dalam Effendi, 2003). Jika dipanaskan, perairan sadah akan
membentuk deposit (kerak). Pada Tabel 2.5 diperlihatkan klasifikasi perairan berdasarkan
nilai kesadahan.

Tabel 2.5 Klasifikasi Perairan Berdasarkan Nilai Kesadahan


Kesadahan (mg/l CaCO3) Klasifikasi Perairan
Lunak (soft)
< 50
50 150

Menengah (moderately hard)

150 300

Sadah (hard)

> 300

Sangat sadah (very hard)

Sumber : Peavy et al, 1985 dalam Effendi, 2003


Nilai kesadahan air diperlukan dalam penilaian kelayakan perairan untuk
kepentingan industri dan domestik. Tebbut (1992) dalam Effendi (2003)
mengemukakan bahwa nilai kesadahan tidak memiliki pengaruh langsung terhadap
kesehatan manusia. Nilai kesadahan juga digunakan sebagai dasar bagi pemilihan metode
yang diterapkan dalam proses pelunakan air.
Dampak dari air sadah sebagai berikut :
Sabun sulit berbusa
Sabun terbuat dari garam natrium dan potasium dari asam lemah. Jika terdapat ion kalsium
dan magnesium, akan terbentuk Ca palmitat atau Mg palmitat dalam bentuk endapan
sehingga sabun tidak berbusa.
Pembentukan kerak pada boiler
Dalam air terdapat bikarbonat (HCO3-). Dalam temperatur normal bentuk tersebut stabil,
namun dalam temperatur tinggi akan menghasilkan kerak. Apabila terdapat Mg2+, maka
CO2 akan terlepas dan pH air akan naik. Kerak yang timbul dapat mempersempit volume
boiler dan meningkatkan tekanan pada boiler sehingga memungkinkan boiler meledak.
Kerak pada pipa penyaluran air
Pada pipa distribusi air, kerak dapat mengakibatkan pemampatan dan mempengaruhi aliran
air karena kerak yang muncul akan menaikkan faktor kekasaran (c) dan mengakibatkan
debit turun.

Air permukaan memiliki nilai kesadahan yang lebih kecil daripada air tanah. Perairan
dengan nilai kesadahan kurang dari 120 mg/l CaCO3 dan lebih dari 500 mg/l CaCO3
kurang baik bagi peruntukkan domestik, pertanian, dan industri. Namun, air sadah lebih
disukai oleh organisme daripada air lunak.
Kesadahan pada awalnya ditentukan dengan titrasi menggunakan sabun standar yang
dapat bereaksi dengan ion penyusun kesadahan. Dalam perkembangannya, kesadahan
ditentukan dengan titrasi menggunakan EDTA (Ethylene Diamine Tetra Acetic Acid) atau
senyawa lain yang dapat bereaksi dengan kalsium dan magnesium. Kation-kation yang
biasa mengakibatkan kesadahan pada air diperlihatkan pada Tabel 2.6.
Tabel 2.6. Kation-kation Penyusun Kesadahan dan Anion-anion Pasangan/Asosiasinya
Kation
Ca2+
Mg2+
Sr2+
Fe2+
Mn2+

Anion
HCO3 SO42ClNO3SiO32-

Sumber : Sawyer dan McCarty, 1978


Kesadahan diklasifikasikan berdasarkan dua cara, yaitu berdasarkan ion logam (metal)
dan berdasarkan anion yang berasosiasi dengan ion logam. Berdasarkan ion logam (metal),
kesadahan dibedakan menjadi kesadahan kalsium dan kesadahan magnesium. Berdasarkan
anion yang berasosiasi dengan ion logam, kesadahan dibedakan menjadi kesadahan
karbonat dan kesadahan non-karbonat.
Kesadahan Kalsium dan Magnesium
Kalsium dan magnesium merupakan penyebab utama kesadahan air karena
kandungannya dalam air lebih besar dibandingkan ion logam bervalensi dua lainnya.
Kesadahan kalsium dan magnesium digunakan untuk menentukan jumlah kapur dan soda
abu yang dibutuhkan dalam proses pelunakan air (lime-soda ash softening). Jika kesadahan
kalsium sudah ditentukan, maka kesadahan magnesium
dapat dicari dengan pengurangan kesadahan kalsium dengan kesadahan total sesuai
persamaan (2.3).
Kesadahan Total Kesadahan Kalsium = Kesadahan Magnesium (2.3)

Pada penentuan nilai kesadahan, keberadaan besi dan mangan dianggap sebagai
pengganggu karena dapat bereaksi dengan pereaksi yang digunakan. Untuk mendapatkan
kadar ion kalsium dan ion magnesium dari nilai kesadahan, digunakan persamaan (2.4) dan
(2.5) (Cole, 1988 dalam Effendi, 2003).
Kadar Ca2+ (mg/liter) = 0,4 x kesadahan kalsium

(2.4)

Kadar Mg2+ (mg/liter) = 0,243 x kesadahan magnesium

(2.5)

Kesadahan Karbonat dan Non-Karbonat


Pada kesadahan karbonat, kalsium dan magnesium berasosiasi dengan ion CO32- dan
HCO3-. Pada kesadahan non-karbonat, kalsium dan magnesium berasosiasi dengan ion
SO42-, Cl-, dan NO3-. Kesadahan karbonat disebut kesadahan sementara karena sangat
sensitif terhadap panas dan mengendap dengan mudah pada suhu tinggi. Kesadahan nonkarbonat disebut kesadahan permanen karena kalsium dan magnesium yang berikatan
dengan sulfat dan klorida tidak mengendap dan nilai kesadahan tidak berubah meskipun
pada suhu tinggi.
Kesadahan karbonat dan kesadahan non-karbonat dapat diketahui menggunakan persamaan
(2.6 2.8) (Boyd, 1988 dalam Effendi, 2003).
Apabila
Alkalinitas
Total
<
Kesadahan
Maka Kesadahan Karbonat = Alkalinitas Total

Total (2.6)

Apabila
Alkalinitas
Total

Kesadahan
Maka Kesadahan Karbonat = Kesadahan Total

Total (2.7)

Kesadahan Non-karbonat = Kesadahan Total Kesadahan (2.8)


Karbonat

Metode Titrasi EDTA merupakan salah satu metode yang digunakan untuk mengukur
kesadahan di dalam air menggunakan EDTA (Ethylene Diamine Tetraacetic Acid) atau
garam natriumnya sebagai titran. EDTA membentuk ion kompleks yang sangat stabil
dengan Ca2+ dan Mg2+, juga ion-ion logam bervalensi dua lainnya.
Indikator Eriochrome Black T (EBT) merupakan indikator yang sangat baik untuk
menunjukkan bahwa ion penyebab kesadahan sudah terkompleksasi. Indikator EBT yang
berwarna biru ditambahkan pada air sadah (pH 10), membentuk ion kompleks dengan Ca2+
dan Mg2+ yang berwarna merah anggur. Pada saat titrasi dengan EDTA, ion-ion kesadahan

bebas dikompleksasi. EDTA mengganggu ion kompleks (M.EBT) karena mampu


membentuk ion kompleks yang lebih stabil dengan ion-ion kesadahan. Hal ini
membebaskan indikator EBT, dimana warna wine red berubah menjadi biru, menunjukkan
titik akhir titrasi.
Alat

: 1. Erlenmeyer 250 mL
2. Beaker Glass
3. Buret 50 mL
4. Pipet volume
5. Pipet tetes

Bahan

: 1. Larutan CaCO3 0.005 M


2. Larutan Na2EDTA 0.005 M
3. larutan NaOH 3 M
4. Larutan buffer pH 10
5. Indikator EBT dan Murexid

Prosedur

:
A. Penentuan faktor Edta
1. Menimbang CaCO3 sebanyak 100 mg dan didapat hasil penimbangan
seberat 100,8 mg kemudian melarutkannya dengan aquades hingga 250
mL.
2. Mencuci dan mengisi buret dengan larutan Na2Edta.
3. Memipet 10,00 mL larutan CaCO3 ke dalam erlenmayer
4. Menambah buffer pH 10 sebanyak 1- 2 mL
5. Menambahkan indikator EBT secukupnya
6. Melakukan titrasi hingga terjadi perubahan warna dari merah anggur
menjadi biru keunguan konstan.
7. Mencatat volume titrasi dan menghitung faktor Edta.
B. Titrasi Penetapan Kesadahan Total
1. Mengisi buret dengan larutan Na2EDTA
2. Memipet 50.00 mL sampel kedalam Erlenmeyer
3. Menambah 1- 2 mL buffer pH 10

4. Menambahkan indikator EBT


5. Melakukan titrasi hingga terjadi perubahan warna dari ungu menjadi biru
prusi
C. Titrasi Penetapan Kesadahan Ca2+
1. Mengisi buret dengan Na2EDTA terstandarisasi
2. Memipet 50.00 mL sampel kedalam Erlenmeyer
3. Menambahkan larutan NaOH 3 N hingga pH mencapai 12 13 kemudian
menambahkan indikator murexide
4. Melakukan titrasi hingga terjadi perubahan warna dari ungu menjadi biru
prusi

A. Hasil Praktikum
Penentuan faktor edta
Berat CaCO3 (g)
0,1008
0,1008

Volume Na2Edta (mL) Faktor Na2Edta (mg/mL)


8,4 mL
0,4762
8,7 mL
0,4598
Factor Na2Edta = 0,468

Titrasi Penetapan Kadar


Volume Sampel ( mL )
50,00
50,00

Perhitungan

Factor Edta
0,4678
0,4678

T1 ( mL )
29,2
29,5

Keterangan :
Factor Edta adalah jumlah CaCO3 dengan 1 mL titrasi edta
T1 = volume titrasi Edta pada penetapan kesadahan total
T2 = volume titrasi edta pada penetapan kesadahan Ca2+
:
i. Faktor Edta
Diketahui = 250 mL = 100 mg
10 mL = 4 mg
a. Percobaan 1
CaCO3 10 mL = dibutuhkan 8,4 mL Edta saat titrasi
Maka factor Edta = 1 mL edta

T2 (mL)
9,2
9,2

= 0,4762 mg/mL
b. Percobaan 2
CaCO3 10 mL = dibutuhkan 8,7 mL Edta saat titrasi
Maka factor Edta = 1 mL edta

= 0,4598 mg/mL
ii.

Maka factor edta rata-rata


Perhitungan kesadahan total

= 0,468 mg/mL

Diketahui =

faktor edta = 0,468 mg/mL


Volume sampel untuk titrasi =50,00 mL
Percobaan 1 = T1 = 29,2 mL

x 0.1oD

Kesadahan Total =

= 15,31D
Percobaan 1 = T1 = 29,5 mL

x 0.1oD

Kesadahan Total =

= 15,47 D
Maka kesadahan total rata-rata sebesar 15,39 D
iii. Perhitungan kesadahan Ca2+
Diketahui = factor edta = 0,468
a. Percobaan 1 = T2 = 9,2 mL
Kesadahan Ca2+ =
=
= 34,48 D

x 1 mg/L

iv. Perhitungan Kesadahan Mg2+


Percobaan 1 = T1 = 29,2 mL
T2 = 9,2 mL
Maka Kesadahan Mg2+

= 45,47 D

Percobaan 2 = T1 = 29,5 mL
T2 = 9,2 mL
Maka Kesadahan Mg2+

= 46,15 D
Maka kesadahan Mg2+ rata-rata sebesar : 45,81 D
Pembahasan

Kesadahan total yaitu ion Ca2+ dan Mg2+ dapat ditentukan melalui titrasi dengan
EDTA sebagai titran dan menggunakan indikator yang peka terhadap semua kation
tersebut. Kejadian total tersebut dapat dianalisis secara terpisah misalnya dengan metode
AAS (Automic Absorption Spectrophotometry) (Abert dan Santika, 1984).
Asam Ethylenediaminetetraacetic dan garam sodium ini (singkatan EDTA) bentuk
satu kompleks kelat yang dapat larut ketika ditambahkan ke suatu larutan yang
mengandung kation logam tertentu. Jika sejumlah kecil Eriochrome Hitam T atau

Calmagite ditambahkan ke suatu larutan mengandung kalsium dan ion-ion magnesium


pada satu pH dari 10,0 0,1, larutan menjadi berwarna merah muda. Jika EDTA
ditambahkan sebagai satu titran, kalsium dan magnesium akan menjadi suatu kompleks,
dan ketika semua magnesium dan kalsium telah manjadi kompleks, larutan akan berubah
dari berwarna merah muda menjadi berwarna biru yang menandakan titik akhir dari titrasi.
Ion magnesium harus muncul untuk menghasilkan suatu titik akhir dari titrasi. Untuk
mememastikankan ini, kompleks garam magnesium netral dari EDTA ditambahkan ke
larutan buffer.
Penentuan Ca dan Mg dalam air sudah dilakukan dengan titrasi EDTA. pH untuk
titrasi adalah 10 dengan indikator Eriochrom Black T (EBT). Pada pH lebih tinggi, 12,
Mg(OH)2 akan mengendap, sehingga EDTA dapat dikonsumsi hanya oleh Ca2+ dengan
indikator murexide. Adanya gangguan Cu bebas dari pipa-pipa saluran air dapat di
masking dengan H2S. EBT yang dihaluskan bersama NaCl padat kadangkala juga
digunakan sebagai indikator untuk penentuan Ca ataupun hidroksinaftol. Seharusnya Ca
tidak ikut terkopresitasi dengan Mg, oleh karena itu EDTA direkomendasikan.
Pada percobaan pertama, dilakukan standarisasi terlebih dahulu pada Na2EDTA
dengan menggunakan larutan baku primer CaCO3. Larutan baku primer ditambahkan 1-2
mL buffer pH 10, kemudian ditambahkan indikator EBT secukupnya. Setelah itu dilakukan
titrasi dengan Na2EDTA hingga terjadi perubahan warna dari biru gelap menjadi biru
pepsi.
Pada percobaan kedua dilakukan titrasi penetapan kesadahan. Sampel sebanyak 50,0
mL dimasukkan kedalam Erlenmeyer, ditambahkan 1-2 mL buffer pH 10, kemudian
ditambahkan indicator EBT secukupnya. Setelah itu dilakukan titrasi dengan Na2EDTA
hingga terjadi perubahan warna dari biru gelap menjadi biru pepsi.
Percobaan yang ketiga adalah untuk penetapan kesadahan Ca2+. Sampel sebanyak 50,0
mL dimasukkan kedalam labu Erlenmeyer, ditambahkan larutan NaOH 3 N sampai pH
larutan menjadi 12-13, menambahkan indikator murexide. Kemudian dilakukan titrasi
dengan larutan baku Na2EDTA sampai terjadi perubahan warna.
Dari berbagai percobaan yang telah dilakukan, didapatkan kesadahan total sebesar
15,39 D, kesadahan Ca2+ sebesar 34,48 D, dan kesadahan Mg2+ sebesar 45,81 D.
Menurut WHO air dikatakan sadah jika kadar kesadahannya sekitar 120-180 mg/L ,
sedangkan menurut Merck air dikatakan sadah jika mengandung 320-534 mg/L menurut
EPA air yag dikatakan sadah jika mengandung CaCO3 sekitar 150-300 mg/L, dan menurut
PERMENKES RI, 2010 batas maksimum kesadahan air minum yang dianjurkan yaitu 500
mg/l CaCO3.
Pada percobaan kali ini, dapat disimpulkan bahwa sampel air yang diuji tidak layak
untuk dijadikan air minum. Sehingga apabila melewati batas maksimum maka harus
diturunkan (pelunakan) (Bakti Husada, 1995 dalam Resthy, 2011).

Kesimpulan

: Berdasarkan hasil percobaan diatas dapat disimpulkan bahwa :

7. Kadar kesadahan total dalam sampel air sumur tersebut sebesar : 15,39 D
8. Kadar kesadahan Ca2+ dalam sampel air sumur tersebut sebesar : 34,48 D
9. Kadar kesadahan Mg2+ dalam sampel air sumur tersebut sebesar : 45,81D

Materi Praktikum

: Penentuan Oksigen Terlarut ( DO )

Tujuan Praktikum

: 1. Melakukan standarisasi dengan titrasi iodometri


2. Menentukan kadar oksigen terlarut dalam sampel

Metode

: Iodometri

Prinsip

:
Penetapan kadar oksigen terlarut (DO) metode winkler
didasarkan pada penambahan larutan Mn valensi 2 dalam
suasana alkali dalam botol bertutup basah. Adanya
oksigen terlarut pengoksidasi dengan cepat sejumlah sama
Mn(OH)2 yang terdispresi menjadi hidrooksida dengan
valensi lebih tinggi. Adanya ion iodida dan pengasaman,
Mn(OH)2 yang teroksidasi berubah lagi menjadi
bervalensi 2 dengan melepaskan iodine yang bebas
kemudian dititrasi dengan natrium thiosulfat dengan
indicator amilum.

Reaksi

: Mn2+ + 2 OH
Mn(OH)2 + O2

Tinjauan pustaka

Mn(OH)2
MnO2 + 2OH-

MnO2 + 2 I-

Mn(OH)2 + I2 + 2OH-

I2 + 2 S2O32-

S2O42- + 2 I-

Oksigen memegang peranan penting sebagai indikator kualitas perairan, karena


oksigen terlarut berperan dalam proses oksidasi dan reduksi bahan organik dan anorganik.
Selain itu, oksigen juga menentukan biologik yang dilakukan oleh organisme aerobik dan
anaerobik. Dalam kondisi aerobik, peranan oksigen adalah untuk mengoksidasi bahan
organik dan anorganik dengan hasil akhirnya adalah nutrien yang ada pada akhirnya dapat
memberikan kesuburan perairan. Dalam kondisi anaerobik oksigen yang dihasilkan akan
mereduksi senyawa-senyawa kimia menjadi lebih sederhana dalam bentuk nutrien dan gas
(Salmin, 2000).
Dissolved Oxygen (DO) adalah jumlah oksigen terlarut dalam air yang berasal dari
fotosintesis dan absorbsi atmosfer atau udara. DO di suatu perairan sangat berperan dalam
proses penyerapan makanan oleh mahkluk hidup dalam air. Untuk mengetahui kualitas air
dalam suatu perairan, dapat dilakukan dengan mengamati beberapa parameter kimia seperti
DO. Semakin banyak jumlah DO (dissolved oxygen), maka kualitas air semakin baik. Jika
kadar oksigen terlarut yang terlalu rendah akan menimbulkan bau yang tidak sedap akibat

degradasi anaerobik yang mungkin saja terjadi. Satuan DO dinyatakan dalam persentase
saturasi (Salmin, 2000).
DO dibutuhkan oleh semua jasad hidup untuk pernafasan, proses metabolisme atau
pertukaran zat yang kemudian menghasilkan energi untuk pertumbuhan dan pembiakan. Di
samping itu, oksigen juga dibutuhkan untuk oksidasi bahan-bahan organik dan anorganik
dalam proses aerobik. Sumber utama oksigen dalam suatu perairan berasal dari suatu
proses difusi dari udara bebas dan hasil fotosintesis organisme yang hidup dalam perairan
tersebut (Salmin, 2000).
Kandungan Dissolved Oxygen (DO) minimum adalah 2 ppm dalam keadaan nornal
dan tidak tercemar oleh senyawa beracun (toksik) (Swingle, 1968) atau berdasarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan
Pengendalian Pencemaran Air menegaskan bahwa kadar DO minimum yang harus ada
pada air adalah >2 mg O2/lt. Idealnya, kandungan oksigen terlarut tidak boleh kurang dari
1,7 ppm selama waktu 8 jam dengan sedikitnya pada tingkat kejenuhan sebesar 70% (Huet,
1970).
Metode titrasi dengan cara Winkler secara umum banyak digunakan untuk
menentukan kadar oksigen terlarut. Prinsipnya dengan menggunakan titrasi iodometri.
Sampel yang akan dianalisis terlebih dahulu ditambahkan larutan MnCl2 dan NaOH atau
KI, sehingga akan terjadi endapan MnO2. Dengan menambahkan H2SO4 atan HCl maka
endapan yang terjadi akan larut kembali dan juga akan membebaskan molekul iodium (I2)
yang ekivalen dengan oksigen terlarut. Iodium yang dibebaskan ini selanjutnya dititrasi
dengan larutan standar natrium tiosulfat (Na2S2O3) dan menggunakan indikator larutan
amilum (kanji) (Anonim, 2011)
Dengan menggunakan metode titrasi Winkler dapat ditentukan kadar Dissolved
Oxygen (DO) dari suatu perairan. Dari kandungan DO yang diperoleh, dapat diketahui
apakah kandungan DO yang dibutuhkan oleh organisme air tercukupi atau tidak.
Keberadaan oksigen di perairan sangat penting untuk diketahui sebab oksigen sangat
penting bagi kehidupan. Banyaknya O2 terlarut dalam peerairan biasa disebut DO. Dilihat
dari jumlahnya, oksigen terlarut adalah satu jenis gas terlarut dalam air pada urutan kedua
setelah nitrogen. Namun jika dilihat kepentingannya bagi kehidupan, oksigen menempati
urutan paling atas. Sumber utama oksigen dalam perairan adalah hasil difusi dari udara,
terbawa melalui presipitasi (air hujan) dan hasil fotointesis fitoplankton. Sebaliknya,
kandungan DO dalam air dapat berkurang karena dimanfaatkan oleh aktivitas respirasi dan
perombakan bahan organik (Sumeru, 2008).
Kekurangan oksigen dapat dialami karena terhalangnya difusi akibat stratifikasi
salinitas yang terjadi. Rendahnya kandungan DO dalam air berpengaruh buruk terhadap
kehidupan ikan dan kehidupan akuatik lainnya, dan jika tidak ada sama sekali DO
mengakibatkan munculnya kondisi anaerobik dengan bau busuk dan permasalahan estetika
(Sumeru, 2008).

Air mengalir pada umumnya kandungan oksigennya cukup karena gerakannya


menjamin berlangsungnya difusi antara udara dan air. Bila pencemaran organik pada badan
air, DO tersebut digunakan oleh bakteri untuk mengoksidasi bahan pencemar organik
tersebut. Komposisi populasi hewan dalam air sangat erat hubungannya dengan kandungan
oksigen. Kelarutan oksigen atmosfer dalam air segar atau tawar berkisar dari 14,6 mg/liter
pada suhu 0o C hingga 7,1 mg/liter pada suhu 35o C pada tekanan satu atmosfer (Canter,
1977).

Alat

: 1. Botol winkler
2. Beaker Glass
3. Buret 50 mL
4. Pipet volume
5. Pipet tetes

Bahan

: 1. H2SO4 4 N
2. KI 10 %
3. H2SO4 pekat
4. MnSO4 20 %
5. KIO3 0.1 N
6. Indikator amilum 0,2%
7. Na2S2O3 0.1 N
8. ReagenO2

Prosedur Praktikum

1. Titrasi Standarisasi
a. Melakukan perencanaan penimbangan dengan menghitung massa KIO3 yang
dibutuhkan
Pembuatan larutan primer : 250 mL KIO3 0,1000 N
m = N x V x BE
= 0.1000 N x 0.25 L x
= 0,8917 gram
b. Melakukan penimbangan dan didapat hasil penimbangan seberat 0,8962 gram
c. Menghitung konsentrasi KIO3 terstandarisasi sesuai hasil penimbangan

=
= 0.1005 N
d. Melarutkan dengan teliti KIO3 kedalam beaker glass
e. Memindahkan kedalam labu ukur dengan volume yang sesuai dan tambahkan
aquades menggunakan pipet tetes hingga tanda tera lalu kocok hingga
homogen
f. Memipet 10.0 mL larutan KIO3 kedalam labu iod
g. Menambahkan 10 mL H2SO4 4N
h. Menambahkan 10 mL KI 10 %
i. Meletakan didalam ruang gelap selama 15 menit
j. Mengisi buret dengan larutan Na2S2O3 0.1 N
k. Melakukan titrasi hingga terjadi perubahan warna sampai kuning muda
l. Menambahkan indikator amilum 2 3 tetes ketika warna sudah kuning muda
m. Mentitrasi kembali hingga warna jernih
n. Mencatat volume titran dan menghitung konsentarsi Na2S2O3
2. Titrasi Penetapan Kadar
a. Sampel diisi kedalam botol oksigen hingga penuh dan menghindari
terdapatnya gelembung udara
b. Menambahkan 2 mL larutan MnSO4 20 % dan 2 mL reagen O2 kedasar botol

c. Menutup botol hati hati dan jangan ada gelembung


d. Mengocok secara hati hati hingga terjadi endapan
e. Mendiamkan hingga endapan terpisah sempurna dengan filtrat
f. Setelah endapan terpisah dengan filtrat, dan membuang filtratnya
g. Menambahkan Endapan yang tersisa dengan H2SO4 pekat
h. Menyimpan kedalam ruang gelap selama 15 menit
i. Mengisi buret dengan larutan Na2S2O3
j. Melakukan titrasi hingga terjadi perubahan warna menjadi kuning muda
k. Menambahkan indikator amilum 0.2 % sebanyak 2 3 tetes
l. Melakukan titrasi kembali hingga warna menjadi jernih
m. Mencatat volume titran
Hasil Percobaan

:
Titrasi Standarisasi
Volume KIO3
Normalitas KIO3
( mL )
(N)
10.0
0.1005
10.0
0.1005

Volume Na2S2O3
( mL )
9,7
10,6

Normalitas Na2S2O3
(N)
0,1036
0,0948
N rata-rata = 0,0992

Titrasi Penetapan Kadar


Volume Sampel
Normalitas
( mL )
Na2S2O3
(N)
250.0
0,0992
250.0
0,0992

Perhitungan

Volume
Na2S2O3
( mL )
1,9
1,8

Kadar DO
(mg/L)
6,0314
5,7139
Kadar DO rata-rata =
5,87265

:
a. Titrasi standarisasi
Diketahui

: V KIO3 = 10,00 mL
N KIO3 = 0,1005 N
Percobaan 1 = V Na2S2O3 = 9,7 mL
Maka N Na2S2O3 terstandarisasi :
V KIO3
x
N KIO3
= V Na2S2O3 x N Na2S2O3

10,00 mL x
0,1005 N
N Na2S2O3 terstandarisasi

=
=

9,7 mL x N Na2S2O3
0,1036 N

Percobaan 2 = V Na2S2O3 = 10,6 mL


Maka N Na2S2O3 terstandarisasi :
V KIO3
x
N KIO3
= V Na2S2O3 x N Na2S2O3
10,00 mL x
0,1005 N
= 10,6 mL x N Na2S2O3
N Na2S2O3 terstandarisasi
=
0,0948 N
Maka N rata-rata Na2S2O3 terstandarisasi : 0,0992 N
b. Titrasi penetapan kadar
Diketahui

: v sampel untuk titrasi : 250,00 mL


N Na2S2O3
: 0,0992 N
Maka penetapan kadar DO
Percobaan 1 = V Na2S2O3 = 1,9 mL
Kadar DO =

=
= 6,0314 mg/L
Percobaan 2 = V Na2S2O3 = 1,8 mL
Kadar DO =

=
= 5,7139 mg/L
Maka kadar DO rata-rata : 5,87265 mg/L
Pembahasan

DO sering juga disebut dengan kebutuhan oksigen (Oxygen demand), merupakan salah
satu parameter penting dalam analisis kualitas air. Nilai DO yang biasa diukur dalam
bentuk konsentrasi menunjukkan jumlah oksigen (O2) yang tersedia dalam suatu badan air.
Semakin besar nilai DO pada air, mengindikasikan air tersebut memiliki kualitas yang
bagus. Sebaliknya jika nilai DO rendah, dapat diketahui bahwa air tersebut telah tercemar.
Pengukuran DO juga bertujuan melihat sejauh mana badan air mampu menampung biota

air seperti ikan dan mikroorganisme. Selain itu kemampuan air untuk membersihkan
pencemaran juga ditentukan oleh banyaknya oksigen dalam air. Oleh sebab pengukuran
parameter ini sangat dianjurkan di samping parameter lain.
Di dalam air, oksigen memainkan peranan dalam menguraikan komponen-komponen
kimia menjadi komponen yang lebih sederhana. Oksigen memiliki kemampuan untuk
beroksidasi dengan zat pencemar seperti komponen organik sehingga zat pencemar
tersebut tidak membahayakan. Oksigen juga diperlukan oleh mikroorganisme, baik yang
bersifat aerob serta anaerob, dalam proses metabolisme. Dengan adanya oksigen dalam air,
mikroorganisme semakin giat menguraikan kandungan zat pencemar dalam air. Reaksi
yang terjadi dalam penguraian tersebut adalah :
Jika reaksi penguraian komponen kimia dalam air terus berlaku, maka kadar oksigen
pun akan menurun. Pada klimaksnya, oksigen yang tersedia tidak cukup menguraikan
komponen kimia tersebut. Keadaan yang demikian merupakan pencemaran berat pada air.
pada percobaan 1 kadar Oksigen terlarutnya sebesar 6,0314 mg/L, pada percobaan 2
kadar oksigen terlarutnya sebesar 5,7139 mg/L dan didapatkan kadar oksigen terlarut ratarata sebesar 5,87265 mg/L
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan
Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air menegaskan bahwa kadar DO minimum
yang harus ada pada air adalah >2 mg O2/L. Jadi, dapat dikatakan bahwa sampel yang
digunakan tergolong baik, karena memenuhi baku standar yang telah ditetapkan.

Kesimpulan

: Berdasarkan hasil percobaan diatas dapat disimpulkan bahwa :


1. Untuk melakukan titrasi penetapan kadar oksigen terlarut (DO) dengan
sampel air sumur digunakan larutan standar sekunder Na2S2O3 sebesar
0,0992 N.
2. Dalam proses penetapan kadar oksigen terlarut (DO) dengan sampel air
sumur diperoleh kadar oksigen terlarut dalam sampel tersebut sebesar
5,87265 mg/L

Daftar pustaka

http://uphisufiana.blogspot.com/2011/12/laporan-praktikum-laboratorium.html

Materi praktikum

: Pemeriksaan BOD

Tujuan praktikum

:1.Melakukan titrasi dengan titrasi iodometri


2.Menetapkan kadar D0 0 hari dan D0 5 hari

Metode

: iodometri

Prinsip

:
Pengukuran BOD terdiri dari pengenceran sampel, inkubasi selama 5 hari pada suhu
20C dan pengukuran oksigen terlarut sebelum dan sesudah inkubasi. Penurunan
oksigen terlarut selama inkubasi menunjukkan banyaknya oksigen yang dibutuhkan
oleh sampel air. Oksigen terlarut dianalisa dengan menggunakan metode Winkler.
Dimana BOD adalah kadar DO 0 hari kadar DO 5 hari. Untuk penentuan DO 5 hari
sampel yang diambil langsung di masukkan botol oksigen, di simpan selama 5 hari di
tempat gelap atau dibungkus dengan kertas karbon, kemudian dianalisa sama seperti
penetuan DO.

Tinjauan pustaka

BOD adalah banyaknya oksigen yang dibutuhkan oleh bakteri selama penguraian
senyawa organik pada kondisi aerobik. Dalam hal ini dapat diinterpretasikan bahwa
senyawa organik merupakan makanan bagi bakteri. Parameter BOD digunakan untuk
menentukan tingkat pencemar oleh senyawa organik yang dapat diuraikan oleh bakteri.
Percobaan BOD adalah peruji hayati (bioassay).
Kebutuhan oksigen biologi (BOD) didefinisikan sebagai banyaknya oksigen yang
diperlukan oleh organisme pada saat pemecahan bahan organik, pada kondisi aerobik.
Pemecahan bahan organik diartikan bahwabahan organik ini digunakan oleh organisme
sebagai bahan makanan dan energinya diperoleh dari proses oksidasi (PESCOD,1973).
Parameter BOD, secara umum banyak dipakai untuk menentukan tingkat pencemaran air
buangan. Penentuan BOD sangat penting untuk menelusuri aliran pencemaran dari tingkat
hulu ke muara. Sesungguhnya penentuan BOD merupakan suatu prosedur bioassay yang
menyangkut pengukuran banyaknya oksigen yang digunakan oleh organisme selama
organisme tersebut menguraikan bahan organik yang ada dalam suatu perairan, pada
kondisi yang harnpir sama dengan kondisi yang ada di alam. Selama pemeriksaan BOD,
contoh yang diperiksa harus bebas dari udara luar untuk rnencegah kontaminasi dari
oksigen yang ada di udara bebas. Konsentrasi air buangan/sampel tersebut juga harus
berada pada suatu tingkat pencemaran tertentu, hal ini untuk menjaga supaya oksigen
terlarut selalu ada selama pemeriksaan. Hal ini penting diperhatikan mengingat kelarutan

oksigen dalam air terbatas dan hanya berkisar 9 ppm pads suhu 20C (SAWYER & MC
CARTY, 1978).
Penguraian bahan organik secara biologis di alam, melibatkan bermacam-macam
organisme dan menyangkut reaksi oksidasi dengan hasil akhir karbon dioksida (CO2) dan
air (H2O). Pemeriksaan BOD tersebut dianggap sebagai suatu prosedur oksidasi dimana
organisme hidup bertindak sebagai medium untuk menguraikan bahan organik menjadi
CO2 dan H2O. Reaksi oksidasi selama pemeriksaan BOD merupakan hasil dari aktifitas
biologis dengan kecepatan reaksi yang berlangsung sangat dipengaruhi oleh jumlah
populasi dan suhu. Karenanya selama pemeriksaan BOD, suhu harus diusahakan konstan
pada 20C yang merupakan suhu yang umum di alam. Secara teoritis, waktu yang
diperlukan untuk proses oksidasi yang sempurna sehingga bahan organik terurai menjadi
CO2 dan H2O adalah tidak terbatas. Dalam prakteknya dilaboratoriurn, biasanya
berlangsung selama 5 hari dengan anggapan bahwa selama waktu itu persentase reaksi
cukup besar dari total BOD. Nilai BOD 5 hari merupakan bagian dari total BOD dan nilai
BOD 5 hari merupakan 70 80% dari nilai BOD total (SAWYER & MC CARTY, 1978).
Metoda penentuan yang dilakukan adalah dengan metoda titrasi dengan cara WINKLER.
Metoda titrasi dengan cara WINKLER secara umum banyak digunakan untuk menentukan
kadar oksigen terlarut. Prinsipnya dengan menggunakan titrasi iodometri. Sampel yang
akan dianalisis terlebih dahulu ditambahkan larutan MnCl2 den Na0H KI, sehingga akan
terjadi endapan MnO2. Dengan menambahkan H2SO4 atan HCl maka endapan yang terjadi
akan larut kembali dan juga akan membebaskan molekul iodium (I2) yang ekivalen dengan
oksigen terlarut. Iodium yang dibebaskan ini selanjutnya dititrasi dengan larutan standar
natrium tiosulfat (Na2S203) dan menggunakan indikator larutan amilum (kanji).
Ditegaskan lagi oleh Boyd (1990), bahwa bahan organik yang terdekomposisi dalam
BOD adalah bahan organik yang siap terdekomposisi (readily decomposable organic
matter). Mays (1996) mengartikan BOD sebagai suatu ukuran jumlah oksigen yang
digunakan oleh populasi mikroba yang terkandung dalam perairan sebagai respon terhadap
masuknya bahan organik yang dapat diurai. Dari pengertianpengertian ini dapat dikatakan
bahwa walaupun nilai BOD menyatakan jumlah oksigen, tetapi untuk mudahnya dapat
juga diartikan sebagai gambaran jumlah bahan organik mudah urai (biodegradable
organics) yang ada di perairan. Faktor yang mempengaruhi hasil BOD adalah :
Bibit biological yang dipakai
pH jika tidak dekat dengan aslinya (netral)
Temperatur jika selain 20 0C (68 0F)
Keracunan sampel
Waktu inkubasi

Selama pemeriksaan BOD, contoh yang diperiksa harus bebas dari udara luar
mencegah kontaminasi dari oksigen yang ada di udara bebas. Konsentrasi air buangan/
sampel tersebut yang harus berada pada suatu tingkat pencemaran tertentu. Hal ini untuk
menjaga supaya oksigen terlarut selalu ada selama pemeriksaan. Hal ini penting
diperhatikan mengingat kelarutan oksigen salam air terbatas dan hanya berkisar 9 ppm
pada suhu 200C (Salmin. 2005). Faktor-faktor yang mempengaruhi BOD adalah jumlah
senyawa organik yang diuraikan, tersedianya mirkoorganisme aerob dan tersedianya
sejumlah oksigen yang dibutuhkan dalam proses penguraian tersebut (barus,
1990 dalamSembiring, 2008). Oksidasi biokimia adalah proses yang lambat. Dalam waktu
20 hari, oksidasi bahan organik karbon mencapai 95 99 %, dan dalam waktu 5 hari
sekitar 60 70 % bahan organik telah terdekomposisi (Metcalf & Eddy, 1991). Lima hari
inkubasi adalah kesepakatan umum dalam penentuan BOD. Jika sampel air BOD pada
20 0C diukur berdasarkan fungsi waktu, maka akan diperoleh kurva seperti gambar
7.8.10.untuk 10 sd 15 hari, kurva mendekati eksponensial, tapi sekitar 15 hari, kurva
meningkat tajam yang menurunkankan kestabilan laju BOD. Karena panjangnya waktu dan
kurvanya tidak datar, maka para engineer lingkungan mengambil secara universal untuk
test standar pada 5 hari untuk prosedur BOD.
Bahan

:
1. Buffer phosphat pH 7.2
2. MgSO4
3. CaCl2
4. FeCl3
5. Na2SO3 0,25N
6. KIO3 0,025 N
7. H2SO4 4 N
8. KI 10 %
9. H2SO4 pekat

Alat

10.

MnSO4 20%

11.

Indicator amilum 0.2 %

12.

Reagen 02

: 1. Botol oksigen
2.Labu iod
3. Buret 50 mL

4. gelas ukur
5. Pipet ukur
Prosedur Praktikum
1. Persiapan Air Pengencer
Setiap 2,5 liter aquadest dalam botol penuh ditambahkan :
2,5 mL buffer phosphat pH 7.2
2,5 mL CaCl2
2,5 mL MgSO4
2,5 mL FeCl3
Mencampur bahan diatas lalu dialiri udara dari pompa udara selama 30 menit
2. Titrasi Standarisasi
a. Melakukan perencanaan penimbangan dengan menghitung massa KIO3 yang
dibutuhkan
Pembuatan larutan primer : 100 mL KIO3 0,025 N
m = N x V x BE
= 0.025 N x 0.1 L x
= 0,0892 gram
b. Melakukan penimbangan dan didapat hasil penimbangan seberat 0.0897 gram
c. Menghitung konsentrasi KIO3 terstandarisasi sesuai hasil penimbangan

=
= 0.0251 N
d. Melarutkan dengan teliti KIO3 kedalam beaker glass
e. Memindahkan kedalam labu ukur dengan volume yang sesuai dan tambahkan
aquades menggunakan pipet tetes hingga tanda tera lalu kocok hingga
homogen
f. Memipet 10.0 mL larutan KIO3 kedalam labu iod
g. Menambahkan 10 mL H2SO4 4N
h. Menambahkan 10 mL KI 10 %

i. Menaruh didalam ruang gelap selama 15 menit


j. Mengisi buret dengan larutan Na2S2O3 0.1 N
k. Melakukan titrasi hingga terjadi perubahan warna sampai kuning muda
l. Menambahkan indikator amilum 2 3 tetes ketika warna sudah kuning muda
m. Mentitrasi kembali hingga warna jernih
n. Mencatat volume titran dan menghitung konsentrasi Na2S2O3
3. Pengenceran Sampel
Sesuai dengan hasil DO segera didapatkan kadar DO sebesar 5 maka
pengencerannya dilakukan sebanyak 10 kali
4. Tekhnik Sampel
DO 0 hari
a. Memipet 25.00 mL sampel kedalam botol oksigen 250 mL
b. Menambahkan air pengencer hingga penuh
c. Menambahkan 2 mL MnSO4 20 % dan 2 mL reagen O2 kedasar botol
d. Menutup botol hati hati dan jangan ada gelembung
e. Mengocok secara hati hati hingga terjadi endapan
f. Mendiamkan hingga endapan terpisah sempurna dengan filtrat
g. Setelah endapan terpisah dengan filtrate, Membuang filtrat
h. Menambahkan Endapan yang tersisa dengan H2SO4 pekat
i. Menyimpan kedalam ruang gelap selama 15 menit
j. Mengisi buret dengan larutan Na2S2O3
k. Melakukan titrasi hingga terjadi perubahan warna menjadi kuning muda
l. Menambahkan indikator amilum 0.2 % sebanyak 2 3 tetes
m. Melakukan titrasi kembali hingga warna menjadi jernih
DO 5 hari
a. Memipet 25.00 mL sampel kedalam botol oksigen 250 mL
b. Menambahkan air pengencer hingga penuh
c. Menyimpan selama 5 hari didalam ruang gelap
d. Setelah lima hari, menambahkan 2 mL MnSO4 20 % dan 2 mL reagen O2
kedasar botol

e. Menutup botol hati hati dan jangan ada gelembung


f. Mengocok secara hati hati hingga terjadi endapan
g. Mendiamkan hingga endapan terpisah sempurna dengan filtrat
h. Setelah endapan terpisah dengan filtrate, buang filtrat
i. Endapan yang tersisa ditambah dengan H2SO4 pekat
j. Menyimpan kedalam ruang gelap selama 15 menit
k. Mengisi buret dengan larutan Na2S2O3
l. Melakukan titrasi hingga terjadi perubahan warna menjadi kuning muda
m. Menambahkan indikator amilum 0.2 % sebanyak 2 3 tetes
Melakukan titrasi kembali hingga warna menjadi jernih
Hasil Praktikum
Titrasi Standarisasi DO 0 hari
Volume KIO3
( mL )
10,00
10,00

Normalitas KIO3
(N)
0,0251
0,0251

Volume Na2S2O3
( mL )
13,20
10,50

Normalitas
Na2S2O3 (N)
0,0190
0,0239
N Na2S2O3 rata-rata =
0,0214

Titrasi Penetapan Kadar DO 0 hari


Volume Sampel
( mL )
250,00
250,00

Normalitas Na2S2O3
(N)
0,0214
0,0214

Volume Na2S2O3
( mL )
10,47
8,50

Kadar DO 0 hari
(mg/L)
7,1698
5,8208
Kadar DO rata-rata =
6,4953

Titrasi standarisasi DO 5 hari


Volume KIO3
( mL )
10,00

Normalitas KIO3
(N)
0,0250

Volume Na2S2O3
( mL )
14,30

Normalitas
Na2S2O3 (N)
0,0175

10,00

0,0250

14,30

0,0175
N Na2S2O3 rata-rata =
0,0175

Titrasi penetapan kadar DO 5 hari


Volume Sampel
( mL )

Normalitas Na2S2O3
(N)

Volume Na2S2O3
( mL )

Kadar DO 5 hari
(mg/L)

250,00
250,00

0,0175
0,0175

1,39
1,90

0,7784
1,064
Kadar DO ratarata : 0,9212

Perhitungan

:
I

DO 0 hari
a. Titrasi standarisasi
Diketahui

: V KIO3 = 10,00 mL
N KIO3 = 0,0251 N
Percobaan 1 = V Na2S2O3 = 13,20 mL
Maka N Na2S2O3 terstandarisasi :
V KIO3
x
N KIO3
= V Na2S2O3 x N Na2S2O3
10,00 mL x
0,0251 N
= 13,20 mL x N Na2S2O3
N Na2S2O3 terstandarisasi
=
0,0190 N
Percobaan 2 = V Na2S2O3 = 10,50 mL
Maka N Na2S2O3 terstandarisasi :
V KIO3
x
N KIO3
= V Na2S2O3 x N Na2S2O3
10,00 mL x
0,0251 N
= 10,50 mL x N Na2S2O3
N Na2S2O3 terstandarisasi
=
0,0239 N
Maka N rata-rata Na2S2O3 terstandarisasi : 0,0214 N
b. Titrasi penetapan kadar
Diketahui

: v sampel untuk titrasi : 250,00 mL


N Na2S2O3
: 0,0214 N
Maka penetapan kadar DO 0 hari
Percobaan 1 = V Na2S2O3 = 10,47 mL
Kadar DO =

=
= 7,1698 mg/L
Percobaan 2 = V Na2S2O3 = 8,50 mL
Kadar DO =

=
= 5,8208 mg/L
Maka kadar DO 0 hari rata-rata : 6,4953 mg/L

Perhitungan DO 5 hari
Perhitungan larutan baku primer (100 ml KIO3 0,025 N) untuk DO 5 hari
m = N x V x BE
= 0,025 N x 0,1 L x 214 gram/mol
6 ek
= 0,0892 gram
Dalam penimbangan didapatkan massa = 0,0892 gram
Jadi, normalitas Na2S2O3 terstandarisasi adalah
N=

m
V x BE
= 0,0892 gram
0,1 L x 214 gram/mol
6 ek
= 0,0250 N
Diketahui
: V KIO3 = 10,00 mL
N KIO3 = 0,0250 N
Percobaan 1 = V Na2S2O3 = 14,30 mL
Maka N Na2S2O3 terstandarisasi :
V KIO3
x
N KIO3
= V Na2S2O3 x N Na2S2O3
10,00 mL x
0,0250 N
= 14,30 mL x N Na2S2O3

N Na2S2O3 terstandarisasi

0,0175 N

Perhitungan titrasi penetapan kadar DO 5 hari


Percobaan 1
Volume sampel (air sumur) adalah 250,0 ml
Didapat volume larutan baku sekunder Na2S2O3 sebanyak 1,39 ml
Kadar DO 5 = 1000 x (V Na2S2O3 x N Na2S2O3) x BE O2 x 1 mg/l
V sampel
= 1000 x 1,39 ml x 0,0175 N x 32 gram/mol x1 mg/l
250,0 ml

4 ek

= 0,7784 mg/L
Percobaan 2
Volume sampel (air sumur) adalah 250,0 ml
Didapat volume larutan baku sekunder Na2S2O3 sebanyak 1,90 ml
Kadar DO = 1000 x (V Na2S2O3 x N Na2S2O3) x BE O2 x 1 mg/l
V sampel
= 1000 x 1,90 ml x 0,0175 N x 32 gram/mol x1 mg/l
250,0 ml
4 ek
= 1,064 mg/L
Jadi, rata-rata kadar DO 0 dalam sampel adalah

Kadar DO 0 = kadar DO 5 percobaan 1 + kadar DO 5 percobaan 2


2
= 0,7784 mg/L + 1,064 mg/L
2
= 0,9212 mg/L
Perhitungan kadar BOD
BOD = DO 0 DO 5
= 6,4953 mg/L 0,9212 mg/L
= 5,5741 mg/L
Pembahasan

Semakin banyak bahan organik yang ada dalam sampel air limbah maka semakin
banyak juga oksigen yang diperlukan oleh mikroba. Untuk mengetahui oksigen yang
diperlukan oleh mikroba maka ditentukan DO awal dan DO setelah diinkubasi selama 5
hari, dimana selisih yang dihasilkan adalah oksigen yang diperlukan oleh mikroba.

Setelah erlenmeyer bebas reduktor, kemudian dilakukan penetapan angka KMnO4.


Penetapan angka KMnO4 ini digunakan untuk menentukan jumlah pengencer dan jumlah
sampel yang akan ditambahkan. Dimana angka KMnO4 ini untuk mengetahui zat organik
yang terkandung dalam sampel air sumur, dimana dengan mengetahui jumlah zat organik
dalam sampel maka kebutuhan oksigen yang diperlukan dapat ditentukan sehingga
didapatkan pengenceran yang mendekati. Sampel yang telah diasamkan dengan H2SO4
ditambahkan KMnO4 berlebih, sehingga bahan organik akan mengalami reaksi redoks
dengan KMnO4.
Untuk DO hari 0, larutan sampel yang telah dicampur dengan pengencer serta blanko
ditambahkan MnSO4 dan pereaksi oksigen(KI+NaOH) dimana MnSO4 dalam keadaan basa
ini akan membentuk endapan MnO2, kemudian ditambahkan H2SO4 sehingga endapan
larut dan akan melepas I2 yang ekivalen dengan oksigen terlarut. I2 yang terbentuk ditirasi
dengan Na2S2O3 dengan metode iodometri. Dari data percobaan yang didapat, DO pada
hari nol adalah sebesar 6,4953 mg/L. Pada sampel dikarenakan didalamnya mengandung
bahan organik sehingga memungkinkan mikroba melakukan aktivitasnya yaitu
mengoksidasi bahan organik dalam sampel.
Sedangkan untuk DO pada hari kelima didapat nilai DO sampel sebesar 0,9212 mg/L
dimana nilai DO pada sampel ini lebih kecil dibanding dengan nilai DO pada hari ke 0 hal
ini dikarenakan oksigen terlarut berkurang karena digunakan oleh mikroba untuk
mengoksidasi bahan organik. Apabila dihitung, maka selisih DO hari ke-0 dengan DO
pada hari ke 5 adalah sebesar 5,5741 mg/L Telah optimalnya kinerja mikroba untuk
mengoksidasi zat organik, kondisi proses yang telah optimal seperti temperatur yang
digunakan dimana temperatur yang digunakan adalah sebesar 20oC, adanya mikroba
didalamnya dengan waktu inkubasi yang digunakan adalah selama 5 hari dengan
ketersediaan oksigen yang cukup (Salmin, 2005). Selain itu tepatnya kondisi pH dimana
pH harus netral, serta tidak terdapatnya senyawa toksik maka mikroba tidak akan
teracuni/optimal dalam mengoksidasi bahan organik (Sembiring, 2008). Dari hasil analisa
BOD ini dihasilkan nilai BOD sebesar 5,5741 mg/L, artinya 5.5741 mg oksigen akan
dihabiskan oleh mikroorganisme dalam satu liter contoh air selama waktu lima hari pada
suhu 20oC. Sedangkan menurut literatur BOD pada air bersih tidak boleh lebih dari 10 ppm
(Jobsheet modul BOD, program studi D3-analis kimia). Sehingga dapat dikatakan bahwa
sampel air limbah ini tidak tercemar.
Kesimpulan

: berdasarkan percobaan diatas dapat disimpulkan bahwa :


1.
2.
3.

Kadar DO 0 hari sebesar 6,4953 mg/L


Kadar DO 5 hari sebesar 0,9212 mg/L
Kadar BOD sebesar 5,5741 mg/L

Daftar pustaka

1.

http://fairulfh.blogspot.com/2013/12/laporan-pengukuran-oksigen-terlarut-do.html

Materi praktikum

: Penentuan Zat Organik

Tujuan

: 1. Melakukan standarisasi dengan titrasi permanganometri


2. Menetapkan kadar zat organik dalam sampel air sumur

Metode

: permanganometri

Prinsip

: zat organik dalam sampel air dioksida dengan larutan standar


KMnO4 berlebihan. Kelebihan KMnO4 direduksi dengan larutan
standart asam oksalat. Kelebihan asam oksalat dititrasi kembali
dengan larutan standar KMnO4

Reaksi

: 2MnO4 + 5H2C2O4 + 6H+ Mn2+ + 10CO2 + 8H2O

Tinjauan Pustaka

Zat organik (KMnO4) merupakan indikator umum bagi pencemaran. Tingginya zat
organik yang dapat dioksidasi menunjukkan adanya pencemaran. Zat organik mudah
diuraikan oleh mikroorganisme. Oleh sebab itu, bila zat organik banyak terdapat di badan
air, dapat menyebabkan jumlah oksigen di dalam air berkurang. Bila keadaan ini terus
berlanjut, maka jumlah oksigen akan semakin menipis sehingga kondisi menjadi anaerob
dan dapat menimbulkan bau.
Setiap senyawa organik mengandung ikatan karbon yang dikombinasikan antara satu
elemen dengan elemen lainnya. Bahan organik berasal dari tiga sumber utama sebagai
berikut (Sawyer dan McCarty, 1978) :
Alam, misalnya fiber, minyak nabati dan hewani, lemak hewani, alkaloid, selulosa,
kanji, gula, dan sebagainya.
Sintesis, yang meliputi semua bahan organik yang diproses oleh manusia.
Fermentasi, misalnya alkohol, aseton, gliserol, antibiotika, dan asam; yang semuanyan
diperoleh melalui aktivitas mikroorganisme.
Karakteristik bahan organik yang membedakannya dari bahan anorganik adalah
sebagai berikut (Sawyer dan McCarty, 1978) :
Senyawa organik biasanya mudah terbakar.
Senyawa organik mempunyai titik leleh dan titik didih yang lebih rendah.
Senyawa organik kurang larut dalam air.
Beberapa senyawa organik memiliki formula yang serupa (isomer).

Reaksi dengan senyawa lain berlangsung lambat karena bukan terjadi dalam bentuk ion,
melainkan dalam bentuk molekul.
Berat molekul senyawa organik bisa menjadi sangat tinggi, seringkali lebih dari 1000.
Kebanyakan senyawa organik berfungsi sebagai sumber makanan bakteri.
Organik pada sistem air alami berasal dari sumber-sumber alami maupun aktivitas
manusia. Organik yang terlarut dalam air biasa ditemukan dalam dua kategori, yaitu :
Organik Biodegradable
Materi biodegradable mengandung organik yang dapat digunakan sebagai makanan
bagi mikroorganisme yang hidup di alam dalam waktu yang singkat. Dalam bentuk
terlarut, materi ini mengandung zat tepung, lemak, protein, alkohol, asam, aldehid, dan
ester. Materi ini dapat menyebabkan masalah warna, rasa, bau, serta merupakan efek kedua
yang dihasilkan dari aktivitas mikroorganisme pada substansi-substansi tersebut.
Penggunaan organik terlarut oleh mikroba dapat terjadi melalui proses oksidasi dan
reduksi. Kondisi aerob merupakan hasil akhir dekomposisi organik oleh mikroba yang
bersifat stabil dan merupakan senyawa yang masih dapat diterima. Proses anaerob
menghasilkan produk yang tidak stabil dan tidak dapat diterima.
Organik Non Biodegradable
Beberapa materi organik resisten dari degradasi biologis. Asam tannin, lignin,
selulosa, dan fenol biasa ditemukan pada sistem air alami. Molekul dengan ikatan yang
kuat dan struktur cincin merupakan esensi non biodegradable. Sebagai contoh senyawa
detergen alkylbenzenesulfonate (ABS), dimana dengan adanya cincin benzene, senyawa
tersebut tidak dapat terbiodegradasi. Sebagai surfaktan, ABS menyebabkan busa pada
IPAL dan meningkatkan kekeruhan.
Beberapa organik yang non biodegradable bersifat toksik bagi organisme. Hal ini
ditemukan pada pestisida organik, beberapa industri kimia, dan campuran hidrokarbon
yang berkombinasi dengan klorin. Sebagian besar pestisida bersifat toksik kumulatif dan
menyebabkan beberapa masalah pada rantai makanan yang lebih tinggi.
Pengukuran organik non biodegradable dapat dilakukan menggunakan tes COD
(Chemical Oxygen Demand). Organik non biodegradable dapat ditentukan dari analisa
TOC (Total Organic Compound). BOD dan TOC dapat mengukur fraksi biodegradable
dari organik, dimana BOD harus disubstraksi dari COD dan TOC untuk menghitung
organik non biodegradable.
Secara umum, komponen penyusun materi organik terdiri dari 6 unsur, yaitu :

Unsur mikro : Nitrogen (N), Phosfor (P), Sulfur (S)


Unsur makro : Karbon (C), Hidrogen (H), Oksigen (O)
Penetapan materi organik dapat dilakukan dengan metode Titrasi Permanganometri,
yang dapat dituliskan dalam persamaan reaksi (2.20).
Zat anorganik + KMnO4 tidak berubah warna lagiZat organik +
KMnO4 CO2 + H2O

(2.20)

Pada penetapan zat organik dengan metode Titrasi Permanganometri, digunakan


KMnO4 untuk membedakan antara zat organik dan zat anorganik. KMnO4 dapat
mengoksidasi zat-zat anorganik jauh lebih cepat daripada zat organik, selain itu proses
reduksi zat organik oleh KMnO4 memerlukan temperatur yang lebih tinggi. Penetapan zat
organik hanya dapat dilakukan setelah seluruh reduktor (KMnO4) telah habis bereaksi
dengan zat anorganik. Zat organik dioksidasi oleh KMnO4 berlebih dalam suasana asam
dan panas. Kelebihan KMnO4 akan direduksi oleh asam oksalat berlebih dan kelebihan
asam oksalat akan dititrasi kembali oleh KMnO4. Hal ini dapat juga dilakukan
menggunakan Hexane-Extractable pada air tesuspensi. Prinsipnya adalah adsorbsi dan
flokulasi dengan hidroksida aluminium dari materi organik tersuspensi. Kandungan materi
organik dalam air dapat dijadikan indikator pencemar bila konsentrasinya cukup tinggi,
karena zat organik dapat diuraikan secara alami oleh bakteri sehingga kadar DO menurun.
Alat dan Bahan

:
a. Erlenmeyer 250 ml
b. Beaker glass
c. Buret coklat 50 ml
d. Pipet volume 10 ml dan 50 ml
e. Pipet tetes
f. Corong
g. Labu ukur
h. Larutan standar KMnO4 0,01 N
i. Larutan standar H2C2O4 0,01 N
j. H2SO4 4 N bebas zat organik
k. Aquades

Sampel

: Air sumur

Prosedur

:
3. Titrasi Standarisasi
k. Melakukan perencanaan penimbangan dengan menghitung massa H2C2O4.2
H2O yang dibutuhkan
Pembuatan larutan primer : 250 mL H2C2O4.2 H2O 0,0100 N
m = N x V x BE
= 0.0100 N x 0.25 L x
= 0,1576 gram
l. Melakukan penimbangan dan didapat hasil penimbangan seberat 0,15784
gram
m. Menghitung konsentrasi H2C2O4.2H2O terstandarisasi sesuai hasil
penimbangan

n.
o.

p.
q.
r.

= 0.0100 N
Melarutkan dengan teliti H2C2O4.2H2O kedalam beaker glass
Memindahkan kedalam labu ukur dengan volume yang sesuai dan
menambahkan aquades menggunakan pipet tetes hingga tanda tera lalu kocok
hingga homogen
Mencuci dan mengisi buret dengan larutan KMnO4 0.01 N
Memipet 10.0 mL larutan H2C2O4.2H2O kedalam Erlenmeyer
Menambahkan 5 ml larutan H2SO4 4 N bebas zat organik.

s. Memanaskan pada suhu 70C.


t. Melakukan titrasi dengan larutan standar KMnO4 sampai terbentuk warna
merah muda konstan.
u. Mencatat volume KMnO4 yang dibutuhkan untuk titrasi.
4. Penetapan Kadar
a. Menyiapkan alat dan bahan yang dibutuhkan.
b. Mengisi buret dengan larutan baku sekunder KMnO4 0,01 N.
c. Memipet 50,0 ml sampel ke dalam Erlenmeyer.
d. Menambahkan 5 ml H2SO4 4 N bebas zat organik.

e. Menambahkan KMnO4 0,01 N tetes demi tetes sampai terbentuk warna merah
muda. Didihkan selama 10 menit, apabila warna merah muda hilang
tambahkan lagi KMnO4 hingga warna merah muda stabil (dengan
menggunakan pipet ukur).
f. Menambahkan 15,0 ml KMnO4 0,01 N, lalu memanaskan selama 10 menit.
g. Menambahkan H2C2O4 0,01 N 15,0 ml sampai warna merah muda KMnO4
hilang, lalu didihkan.
h. Melakukan titrasi dengan larutan standar KMnO4 dalam keadaan panas sampai
terbentuk warna merah muda konstan.
i. Melakukan perhitungan.
Hasil percobaan

:
Data titrasi standarisasi

Volume H2C2O4. 2H2O


(mL)

Normalitas
H2C2O4.2H2O (N)

Volume
KMnO4 (mL)

Normalitas KMnO4
(N)

10,00
10,00

0,0100
0,0100

V1 = 12,20
V2 = 12,30

0,0082
0,0081
N rata-rata = 0,00815

Data titrasi penetapan kadar


Volume sampel (mL)

Normalitas KMnO4
(N)

50,00
50,00

0,00815
0,00815

Perhitungan

Volume
KMnO4
(mL)
V1 = 10.60
V2 = 14,10

:
b. Titrasi standarisasi
Diketahui : V H2C2O4.2 H2O = 10,00 mL
N H2C2O4.2 H2O = 0,0100 N
i. V KMnO4
= 12,20 mL
ii. V KMnO4
= 12,30 mL

Kadar zat organic


(mg/L)
54,4405
72,4683
Kadar zat organic ratarata = 63,4544

Maka Normalitas KMnO4 terstandarisasi :


i. V H2C2O4.2 H2O x N H2C2O4.2 H2O
10,00 mL
x
0,0100 N
N KMnO4 terstandarisasi

V KMnO4 x N KMnO4
= 12,20 mL x N KMnO4
=
0,0082 N

ii V H2C2O4.2 H2O x N H2C2O4.2 H2O


10,00 mL x
0,0100 N
N KMnO4 terstandarisasi

V KMnO4 x N KMnO4
=
12,30 mL x N KMnO4
=
0,0081 N

Maka Normalitas KMnO4 rata-rata terstandarisasi

= 0,00815 N
j. Titrasi penetapan kadar
Diketahui : V sampel untuk titrasi
N KMnO4

= 50,00 mL
= 0,00815 N

Maka penetapan kadar zat organik :


Percobaan 1 : V KMnO4 = 10,60 mL
=1000 x ((15+V KMnO4) x N KMnO4) (...mlxN H2C2O4) x 0,316mg/l
V sampel

0,01

0,01

= 1000 x ((15+10,60 ml) x 0,00815 N) (12,25 ml x 0,0100 N) x 0,316 mg/l


50,0 ml

0,01

0,01

= 54,4405 mg/L
ii

Maka penetapan kadar zat organic :


percobaan 2 : V KMnO4 = 14,10 mL
=1000 x ((15+V KMnO4) x N KMnO4) (... mlxN H2C2O4) x 0,316mg/l
V sampel

0,01

0,01

= 1000 x ((15+14,10 ml) x 0,00815 N) (12,25 ml x 0,0100 N) x 0,316 mg/l


50,0 ml
= 72,468 mg/L

0,01

0,01

Pembahasan

Zat organik sering juga disebut angka permanganate, merupakan pengukuran angka
permanganate atau pengukuran zat organic dalam air, dimana zat organic di dalam air
dioksidasi oleh oksidator kuat KMnO4 pada temperatur mendidih. Kelemahan metode ini
adalah untuk jenis senyawa organic yang mudah menguap, tidak akan terukur karena akan
menguap pada pemanasan di dalam labu Erlenmeyer yang terbuka. Prinsip pengukuran, zat
organic dalam air dioksidasi oleh KMnO4 berlebih dalam suasana asam dan panas.
Kelebihan KMnO4 direduksi oleh asam oksalat berlebih. Kelebihan asam oksalat dititrasi
kembali oleh larutan KMnO4.
Pada percobaan kali ini diperoleh kadar zat organic dalam sampel sebanyak 63,4544
mg/L. hal ini menunjukan sampel tersebut mempunyai nilai kandungan bahan organik
yang kurang dari 65 mg/L sehingga sampel tersebut tidak subur. Dan subur tidaknya suatu
perairan sangat tergantung pada, proses pembusukan organisme yang telah mati,
penambahan oleh metabolisme ekstraseluler oleh alga, terutama fitoplankton, ekskresi
zooplankton dan hewan-hewan lainnya.
Kesimpulan
:
Berdasarkan hasil percobaan diatas dapat disimpulkan bahwa :
1. Untuk melakukan titrasi penetapan kadar zat organik dengan sampel air
sumur digunakan larutan standar sekunder KMnO4 sebesar 0,00815N.
2. Dalam proses penetapan kadar zat organik dengan sampel air sumur
diperoleh kadar zat organic dalam sampel tersebut sebesar 63,4544 mg/L

Materi praktikum

: Penetapan kadar Fe

Tujuan

: menentukan kadar besi dalam sampel

Metode

: Rodanida tabung Nessler

Prinsip

:
sampel air dioksidasi kemudian ditambah KCNS sehingga
warna merah coklat, warna yang timbul dibandingkan
dengan warna standar.

Tinjauan pustaka

Besi atau Ferrum (Fe) merupakan metal berwarna putih keperakan, liat, dan dapat
dibentuk. Pada umumnya, besi di dalam air dapat bersifat :
Terlarut sebagai Fe2+ (fero) atau Fe3+ (feri)
Tersuspensi sebagai butir koloidal (diameter < 1 m) atau lebih besar, seperti
Fe2O3, FeO, FeOOH, Fe(OH)3, dan sebagainya
Tergabung dengan zat organis atau zat padat inorganis (seperti tanah liat)
Besi di alam dapat ditemui dalam bentuk pyrite (FeS2), hematite (Fe2O3), magnetite
(Fe3O4), limonite [FeO(OH)], goethite (HFeO2), dan ochre [Fe(OH)3] (Cole, 1988 dan
Moore, 1991). Senyawa besi pada umumnya sukar larut dan cukup banyak terdapat di
dalam tanah. Kadang-kadang besi juga terdapat sebagai senyawa siderite (FeCO3) yang
bersifat mudah larut dalam air (Cole, 1988 dalam Effendi, 2003).

Pada perairan alami dengan pH sekitar 7 dan kadar oksigen terlarut yang cukup, ion
ferro yang bersifat mudah larut, dioksidasi menjadi ion ferri. Pada oksidasi ini terjadi
pelepasan elektron. Sebaliknya, pada reduksi ferri menjadi ferro, terjadi penangkapan
elektron. Proses oksidasi dan reduksi besi tidak melibatkan oksigen dan hidrogen
(Eckenfelder, 1989; Mackereth et al., 1989 dalam Effendi, 2003). Reaksi oksidasi ion ferro
menjadi ion ferri ditunjukkan dalam persamaan (2.2).
Fe2+ Fe3+ + e-

(2.2)

Proses oksidasi dan reduksi besi melibatkan bakteri sebagai mediator. Bakteri
kemosintesis Thiobacillus dan Ferrobacillus memiliki sistem enzim yang dapat
mentransfer elektron dari ion ferro ke oksigen, menghasilkan ion ferri, air, dan energi
bebas untuk sintesis bahan organik dari karbondioksida. Bakteri kemosintesis bekerja
optimum pada pH rendah (sekitar 5). Metabolisme bakteri Desulfovibrio menghasilkan
H2SO4 yang dapat melarutkan besi (Cole, 1988 dalam Effendi, 2003).
Pada pH sekitar 7,5 7,7 ion ferri mengalami oksidasi dan berikatan dengan
hidroksida membentuk Fe(OH)3 yang bersifat tidak larut dan mengendap (presipitasi) di
dasar perairan, membentuk warna kemerahan pada substrat dasar. Oleh karena itu, besi
hanya ditemukan pada perairan yang berada dalam kondisi anaerob (anoksik) dan suasana
asam (Cole, 1988 dalam Effendi, 2003).
Pada perairan alami, besi berikatan dengan anion membentuk senyawa FeCl2,
Fe(HCO3), dan FeSO4. Pada perairan yang diperuntukkan bagi keperluan domestik,
pengendapan ion ferri dapat mengakibatkan warna kemerahan pada porselin, bak mandi,
pipa air, dan pakaian. Kelarutan besi meningkat dengan menurunnya pH.
Pada air permukaan jarang ditemui kadar Fe yang lebih besar dari 1 mg/l, tetapi dalam
air tanah, kadar Fe dapat jauh lebih tinggi. Pada air yang tidak mengandung oksigen,
seperti air tanah, besi berada sebagai Fe2+ yang cukup padat terlarut, sedangkan pada air
sungai yang mengalir dan terjadi aerasi, Fe2+ teroksidasi menjadi Fe3+ yang sulit larut pada
pH 6 sampai 8 (kelarutan hanya di bawah beberapa g/l), bahkan dapat menjadi
ferihidroksida Fe(OH)3 atau salah satu jenis oksida yang merupakan zat padat dan bisa
mengendap. Dalam air sungai, besi berada sebagai Fe2+, Fe3+ terlarut, dan Fe3+ dalam
bentuk senyawa organis berupa koloidal. Besi merupakan sumber makanan utama bagi
bakteri besi (crentothrix, leptothrix, dan gallionella) yang dapat menimbulkan bau,
bentuknya kotor, dan memiliki rasa yang aneh.
Besi termasuk unsur yang penting bagi makhluk hidup. Pada tumbuhan, besi berperan
sebagai penyusun sitokrom dan klorofil. Kadar besi yang berlebihan dapat menimbulkan
warna merah, menimbulkan karat pada peralatan logam, serta dapat memudarkan bahan

celupan (dyes) dan tekstil. Pada tumbuhan, besi berperan dalam sistem enzim dan transfer
elektron pada proses fotosintesis. Besi banyak digunakan dalam kegiatan pertambangan,
industri kimia, bahan celupan, tekstil, penyulingan, minyak, dan sebagainya (Eckenfelder,
1989 dalam Effendi, 2003). Pada air minum, Fe dapat menimbulkan rasa, warna (kuning),
pengendapan pada dinding pipa, pertumbuhan bakteri besi, dan kekeruhan.
Besi dibutuhkan oleh tubuh dalam pembentukan haemoglobin. Banyaknya Fe di dalam
tubuh dikendalikan pada fase absorbsi. Tubuh manusia tidak dapat mengekskresikan Fe.
Oleh karena itu, manusia yang sering mendapat transfusi darah, warna kulitnya menjadi
hitam karena akumulasi Fe. Sekalipun Fe diperlukan oleh tubuh, dalam dosis besar dapat
merusak dinding usus dan dapat menyebabkan kematian. Debu Fe juga dapat diakumulasi
di dalam alveoli dan menyebabkan berkurangnya fungsi paru-paru.
Metode fenantroline dapat digunakan untuk mengukur kandungan besi di dalam air,
kecuali terdapat fosfat atau logam berat yang mengganggu. Metode ini dilakukan
berdasarkan kemampuan 1,10-phenantroline untuk membentuk ion kompleks setelah
berikatan dengan Fe2+. Warna yang dihasilkan sesuai dengan hukum Beer dan dapat diukur
secara visual menggunakan spektrofotometer.
Alat

: 1. Labu Erlenmeyer
2. labu ukur 100 mL, 500 mL, 1000 mL
3. pipet volume
4. tabung Nessler

Bahan

: 1. larutan induk Fe(NH4)2SO4


2. larutan KCNS 20%
3. larutan KMnO4 0,01 N
4. H2SO4 4 N
5. HNO3 pekat

Prosedur

:
A. Pembuatan larutan induk Fe(NH4)2SO4
1. Menimbang Fe(NH4)2SO4 sebanyak 0,8635 gram dan menambahkan
H2SO4 4 N sebanyak 10 mL
2. Menambahkan aquades hingga 1000 mL
0,1 mg Fe ( 100 ppm)
B. Mengencerkan Larutan induk Fe(NH4)2SO4 menjadi 10 ppm

1. Memasukkan 50 mL larutan induk Fe(NH4)2SO4 ke dalam labu ukur 500


mL dan menambahkan aquades hingga tanda tera
C. Mengencerkan Larutan 10 ppm menjadi 0,2 ppm; 0,4 ppm; 0.6 ppm; 0,8 ppm;
1,0 ppm; 1,2 ppm; 1,4 ppm untuk dijadikan deret standart
1. 0,2 ppm = memipet 2 mL larutan Fe(NH4)2SO4 10 ppm dan addkan
dengan aquades hingga 100 mL
2. 0,4 ppm = memipet 4 mL larutan Fe(NH4)2SO4 10 ppm dan addkan
dengan aquades hingga 100 mL
3. 0,6 ppm = memipet 6 mL larutan Fe(NH4)2SO4 10 ppm dan addkan
dengan aquades hingga 100 mL
4. 0,8 ppm = memipet 8 mL larutan Fe(NH4)2SO4 10 ppm dan addkan
dengan aquades hingga 100 mL
5. 1,0 ppm = memipet 10 mL larutan Fe(NH4)2SO4 10 ppm dan addkan
dengan aquades hingga 100 mL
6. 1,2 ppm = memipet 12 mL larutan Fe(NH4)2SO4 10 ppm dan addkan
dengan aquades hingga 100 mL
7. 1,4 ppm = memipet 14 mL larutan Fe(NH4)2SO4 10 ppm dan addkan
dengan aquades hingga 100 mL
Caranya =
1. Memipet 50,00 mL larutan Fe(NH4)2SO4 0,2 ppm dan memasukannya
kedalam Erlenmeyer
2. Menambahkan 1 mL HNO3 pekat dan Mendidihkanya supaya semua zat
besinya berubah menjadi ferri ( 25 mL)
3. Menambahkan beberapa tetes KMnO4 samapi berwarna dan
mendinginkannya
4. Memindahkan ke dalam tabung nessler dan mengencerkan sampai tanda
100 mL
5. Menambahkan 0,5 mL KCNS 20% dan menghomogenkannya.
D. Penetapan kadar
1. Memipet sampel sebanyak 50,00 mL
2. Menambahkan 1 mL HNO3 pekat dan Mendidihkanya supaya semua zat
besinya berubah menjadi ferri ( 25 mL)
3. Menambahkan beberapa tetes KMnO4 samapi berwarna dan
mendinginkannya
4. Memindahkan ke dalam tabung nessler dan mengencerkan sampai tanda
100 mL
5. Menambahkan 0,5 mL KCNS 20% dan menghomogenkannya.
6. Membandingkan dengan larutan deret standar

Hail pengamatan

:
Sampel

Konsentrasi standar yang sesuai

0,2 ppm

0,4 ppm

0,6 ppm

0,8 ppm

1,0 ppm

1,2 ppm

(-) = Tidak terdapat sampel air yang memiliki konsentrasi standart yang sesuai
pada tabel data di atas.
Pembahasan

Pada percobaan kali ini masing-masing deret standar dipipet sebanyak 50 ml


dipindahkan kedalam labu Erlenmeyer, diasamkan dengan 1 ml HNO3 pekat, dididihkan
dan ditambahkan beberapa tetes KMnO4 sampai berwarna, lalu didinginkan. Masinngmasing dipindah dalam tabung nessler, diencerkan sampai tanda 100 ml, kemudian
ditambahkan 0,5 ml larutan KCNS 20%, dihomogenkan hingga rata. Cara mengamatinya
secara visual dengan membandingkan tingkat kekeruhan sampel dengan tingkat kekeruhan
larutan deret standar.
Kesimpulan

Dari percobaan yang telah dilakukan, didapatkan kadar Fe dalam sampel kurang dari
0,2 ppm.

Materi praktikum

: Pemeriksaan Sulfat

Tujuan

: 1. Menentukan kadar sulfat dalam sampel

Prinsip

:
Ion sulfat dalam air dengan penambahan Kristal BaCl2 dan buffer salt acid akan
membentuk koloid tersuspensi (kekeruhan). Semakin tinggi konsentrasi sulfat semakin
keruh cairan. Kekeruhan yang terjadi diukur dengan membandingkannya dengan kurva
standar.

Tinjauan pustaka

Ion sulfat (SO4) adalah anion utama yang terdapat di dalam air. Jumlah ion sulfat yang
berlebih dalam air minum menyebabkan terjadinya efek cuci perut pada manusia. Sulfat
mempunyai peranan penting dalam penyaluran air maupun dalam penggunaan oleh umum.
Sulfat banyak ditemukan dalam bentuk SO42- dalam air alam. Kehadirannya dibatasi
sebesar 250 mg/l untuk air yang dikonsumsi oleh manusia. Sulfat terdapat di air alami
sebagai hasil pelumeran gypsum dan mineral lainnya. Sulfat dapat juga berasal dari
oksidasi terakhir sulfida, sulfit, dan thiosulfat yang berasal dari bekas tambang batubara.
Kehadiran sulfat dapat menimbulkan masalah bau dan korosi pada pipa air buangan akibat
reduksi SO42- menjadi S- dalam kondisi anaerob dan bersama ion H+ membentuk H2S.
Dalam pipa, proses perubahan secara biologis terjadi selama transportasi air buangan.
Perubahan ini memerlukan O2. Apabila kandungan O2 tidak cukup dari aerasi natural udara
dalam pipa, terjadi reduksi sulfat dan terbentuk ion sulfida. S- akan berubah menjadi H2S
pada pH tertentu dan sebagian lepas ke udara di atas air buangan. Bila pipa berventilasi
baik dan dindingnya kering, hal ini tidak akan menimbulkan masalah. Bila terjadi hal
sebaliknya, keseimbangan berkumpul pada dinding bagian atas pipa. H2S larut dalam air

sesuai dengan tekanan parsial udara dalam pipa dan bakteri akan mengoksidasi H2S
menjadi H2SO4, yang dapat merusak beton (dikenal dengan crown korosi).
Metode turbidimeter merupakan salah satu metode analisa yang digunakan untuk
mengukur sulfat dengan prinsip barium sulfat terbentuk setelah contoh air ditambahkan
barium khlorida yang berguna untuk presipitasi dalam bentuk koloid dengan bantuan
larutan buffer asam yang mengandung MgCl, potassium nitrat, sodium asetat, dan asam
asetat sesuai reaksi (2.19).
SO42- + BaCl2 BaSO4 (koloid) + 2 Cl-

(2.19)

Metode ini dapat dilakukan dengan cepat dan lebih sering digunakan daripada metode
lainnya. Konsentrasi sulfat > 10 mg/l dapat dianalisa dengan mengambil sulfat dalam
jumlah kecil dan melarutkannya dalam 50 ml contoh air.
Alat

: 1. Tabung nessler
2. labu Erlenmeyer
3. labu ukur 1000 mL, 100 mL
4. pipet ukur
5. pipet volume

Bahan

: 1. BaCl2
2. larutan induk sulfat
147,9 mg NaSO4 anhidrolis dalam aquades dan diencerkan
sampai 1 liter ( 100 ppm)
3. reagen kondisioning

Prosedur

:
a. Mengencerkan larutan induk 100 ppm menjadi 5 ppm, 10 ppm, 15 ppm, 20
ppm, 25 ppm, dan 30 ppm.
5 ppm = 5 mL add 100 mL aquades dalam labu ukur
10 ppm = 10 mL add 100 mL aquades dalam labu ukur
15 ppm = 15 mL add 100 mL aquades dalam labu ukur
20 ppm = 20 mL add 100 mL aquades dalam labu ukur
25 ppm = 25 mL add 100 mL aquades dalam labu ukur
30 ppm = 30 mL add 100 mL aquades dalam labu ukur
b. Perlakuan deret standar

1. Memipet 50 mL dari masing-masing deret standard dan memasukan ke


dalam tabung nessler
2. Menambahkan 5 mL reagen kondisioning dan menghomogenkannya
3. Menambahkan 1 sendok penuh Kristal BaCl2 dan menghomogenkannya
4. Menambahkan aquades hingga tanda 100 mL tepat
c. Perlakuan sampel
1. Memipet 50,00 mL sampel dan memasukan ke dalam tabung nessler
2. Menambahkan 5 mL reagen kondisioning dan menghomogenkannya
3. Menambahkan 1 sendok penuh Kristal BaCl2 dan menghomogenkannya
4. Menambahkan aquades hingga tanda 100 mL tepat
5. Membanddingkan dengan deret standar.

Hasil percobaan

:
Sampel

Konsentrasi standar yang sesuai

0,2 ppm

0,4 ppm

0,6 ppm

0,8 ppm

1,0 ppm

1,2 ppm

(-) = Tidak terdapat sampel air yang memiliki konsentrasi standart yang sesuai
pada tabel data diatas.
Pembahasan

Kekeruhan dapat disebabkan oleh bahan-bahan tersuspensi yang bervarisasi dari


ukuran koloidal sampai dispersi kasar, tergantung dari derajad turbulensinya. semakin
tinggi konsentrasi larutan maka semakin pekat warna kekeruhan putih pada larutan.
Kesimpulan :
berdasarkan hasil percobaan didapatkan kadar sulfat dalam sampel antara 5-10 ppm.

Materi Praktikum

:Penentuan kadar sulfat menggunakan metode spektrofotometri

Tujuan Praktikum

:Menentukan kadar sulfat dalam sampel menggunakan metode


spektrofotometer

Metode

Prinsip

:ion sulfat akan diendapkan dalam suasana asam dengan


menggunakan barium klorida membentuk Kristal barium sulfat.
Absorben dari suspense barium sulfat diukur dengan
spektrofotometer pada panjang gelombang 420 nm

Tinjauan pustaka

Sulfat (SO42-)merupakan anion yang banyak terdapat dalam air di alam. Kandungan sulfat
dalam air minum < 250 mg/l. Selain itu, sulfat yang ada pada limbah industry dapat
menyebabkan kerak pada ketel uap dan heat exchange.
Seringkali kehadiran SO42- menimbulkan bau dan korosi pada pipa. Bila O2 dan NO3
dalam air tidak ada, SO42- akan bertindak sebagai sumber oksigen/penerima electron pada
oksidasi biokimia bakteri anaerob. Ion sulfat adalah salah satu anion yang banyak terjadi pada air
alam. Ia merupakan sesuatu yang penting dalam penyediaan air untuk umum karena pengaruh
pencucian perut yang cukup besar. Sulfat penting dalam penyediaan air untuk umum maupun
untuk industri, karena kecenderungan air untuk mengandungnya dalam jumlah yang cukup besar
untuk membentuk kerak air yang keras pada ketel dan alat pengubah panas.
Sulfat merupakan suatu bahan yang perlu dipertimbangkan, sebab secara langsung
merupakan penanggung jawab dalam dua problem yang serius yang sering dihubungkan
dengan penanganan dan pengolahan air bekas. Masalah ini berupa masalah bau dan masalah
korosi pada perpipaan yang diakibatkan dari reduksi sulfat menjadi hidrogen sulfida dalam

kondisi anaerobik. Efek laksatif pada sulfat ditimbulkan pada konsentrasi 600-1000 mg/l, apabila
Mg+ dan Na+ merupakan kation yang bergabung dengan SO4, yang akan menimbulkan rasa
mual dan ingin muntah.

Alat

: 1. Tabung nessler

Bahan

: 1. Larutan buffer A
2. Larutan buffer B
3. BaCl2
4. larutan sulfat 100 ppm ( 0,1479 g Na2SO4 anhidrat dilarutkan
dengan aquades hingga 1000 mL )
a. Prosedur

1. Menyiapkan alat dan bahan yang dibutuhkan.


2. Melakukan pengenceran larutan baku dari 100 ppm menjadi: 2 ppm, 5
ppm, 10 ppm, 20 ppm, 25 ppm.
3. Memipet sebanyak 100 ml menggunakan pipet volume pada masingmasing hasil pengenceran dan memindahkan pada labu Erlenmeyer 250
ml.
4. Memberi etiket pada tiap labu Erlenmeyer.
5. Menambahkan 20 ml larutan buffer pada tiap labu Erlenmeyer sambil
diaduk.
6. Menambahkan 1 sendok spatula BaCl2.2H2O (sebelumnya harus diukur
dulu massa dari sendok tersebut, karena harus kuantitatif) pada masingmasing labu Erlenmeyer. Mulai menghitung waktu pengadukan selam 60
detik pada kecepatan tetap.
7. Menyiapkan kurva standar 0-25 ppm.
8. Melakukan koreksi untuk contoh berwarna dan keruh dengan menyiapkan
blanko tanpa penambahan BaCl2.
9. Mengukur absorbansi dari masing-masing pengenceran larutan baku sulfat
100 ppm menggunakan spektrofotometer.
10. Mengukur absorbansi sampel yang telah ditambahkan Kristal BaCl2.2H2O
menggunakan spektrofotometer.
11. Mencatat setiap absorbansi yang ditampilkan oleh penampil data pada
spektofotometer.

Hasil percobaan

sampel
5 ppm
10 ppm
15 ppm
20 ppm
25 ppm
30 ppm

absorbansi
0,77
0,144
0,16
0,500
0,329
0,371

sampel
Sampel A
Sampel
BBBBBNN
BBB

Absorbansi
0.6

absorbansi
0,595
0,691

y = 0.0675x + 0.0275
R = 0.6083

0.5
0.4
Absorbansi
0.3

Linear (Absorbansi)

0.2

Linear (Absorbansi)

0.1
0
0

Pembahasan

Analisis secara turbidimetri merupakan analisis berdasarkan pengukuran turbiditas (S)


atau kekeruhan dari suatu suspensi. Kekeruhan dapat disebabkan oleh bahan-bahan
tersuspensi yang bervarisasi dari ukuran koloidal sampai dispersi kasar, tergantung dari
derajad turbulensinya. Pengukuran intensitas cahaya yang ditransmisi sebagai fungsi dari
konsentrasi fase terdispersi adalah dasar dari analisis turbidimetri.
Dalam membuat kurva kalibrasi dianjurkan dalam penerapan turbidimetri karena
hubungan antara sifat-sifat optis suspensi dan konsentrasi fase terdispersinya paling jauh
adalah semi empiris. Agar kekeruhan (turbidity) itu dapat diulang penyiapannya haruslah
seseksama mungkin, endapan harus sangat halus. Intensitas cahaya bergantung pada
banyaknya dan ukuran partikel dalam suspensi sehingga aplikasi analitik dapat
dimungkinkan. Prinsip spektroskopi absorbsi dapat digunakan pada turbidimeter, dan
nefelometer. Untuk turbidimeter, absorpsi akibat partikel yang tersuspensi diukur
sedangkan pada nefelometer, hamburan cahaya oleh suspensilah yang diukur.

kesimpulan

: berdasarkan grafik diatas menunjukan bahwa grafik hasil absorbansi

tidak linier dan seharusnya harus linear dan dapat disimpulkan bahwa kadar sulfat dalam air dari
30 ppm

Das könnte Ihnen auch gefallen