Beruflich Dokumente
Kultur Dokumente
Kebijakan Low Cost Green Car (LCGC) atau mobil murah kembali menjadi perhatian setelah
disinyalir mengkonsumsi premium bersubsidi. Terkait hal tersebut, pada akhir Maret Menteri
Keuangan
menyurati
Menteri
Perindustrian
yang
mempertanyakan
implementasi
dan
(mesin diesel atau semidiesel) dengan kapasitas sampai dengan 1.500 cc dan mengkonsumsi BBM
paling sedikit 20 kilometer per liter atau bahan bakar lain yang setara. Selain itu, kendaraannya
bukan berupa sedan maupun station wagon.
Apabila memenuhi persyaratan tersebut, dasar pengenaan pajaknya dihitung nol persen dari harga
jual. Selain itu, LCGC mendapatkan insentif fiskal berupa penurunan pajak penjualan 10 persen
sampai 15 persen atau sekitar 6 juta rupiah per unit.
LCGC didesign menggunakan mesin dengan spesifikasi ramah lingkungan dan berbahan bakar
kadar oktan tinggi. Sehingga, sesuai dengan ketentuannya, LCGC diharuskan menggunakan
bensin paling rendah jenis RON 92 (Pertamax) atau CN51 untuk diesel, bukannya bensin
bersubsidi dengan kadar oktan 88.
Kebijakan LCGC sendiri memiliki tujuan untuk kemandirian produksi mobil dalam negeri
sehingga terdapat lokalisasi komponen hingga 100 persen. Dalam implementasinya, kebijakan
LCGC diklaim telah mendatangkan investasi untuk pendirian empat pabrik baru mobil dan lebih
dari 100 pabrik baru komponen otomotif dengan total penyerapan tenaga kerja sebanyak 80.000
orang.
Keunggulan LCGC
Terlepas dari pro kontranya, program mobil murah penting untuk perkembangan sektor otomotif
nasional, terutama menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015. Malaysia sendiri
memiliki program mobil hijau (green car) bermesin kecil yang terbuka bagi prinsipal asing.
Sedangkan Thailand memiliki program eco car yang telah dirilis lima tahun lalu. Apabila
Indonesia tidak siap menghadapi persaingan bebas ASEAN, ceruk pasar domestik mobil murah
akan diisi produk impor ketika MEA berlaku. Hal ini karena pangsa pasar di Indonesia akan tetap
ada dan akan dipenuhi oleh produk luar negeri apabila Indonesia tidak memproduksi produk ini.
Selain persaingan bebas wilayah ASEAN, tidak dipungkiri bahwa konsumsi LCGC lebih irit
dibanding mobil non LCGC. Berdasarkan uji Balai Termodinamika, konsumsi bahan bakar LCGC
mencapai 20 km/liter, jauh lebih irit dibanding konsumsi BBM kendaraan non LCGC yaitu
sebesar 12 km/jam, atau lebih irit 60 persen per unit mobil. Penghematan BBM akan menghemat
konsumsi energi yang saat ini semakin meningkat setiap tahunnya.
Produksi Meningkat
Sejak ditetapkan kebijakannya, sebanyak lima prinsipal mobil Jepang telah masuk dalam program
mobil murah yakni Toyota, Daihatsu, Honda, Nissan, dan Suzuki. Toyota dan Daihatsu memiliki
Astra Toyota Agya dan Astra Daihatsu Ayla (berkolaborasi dengan Astra), Honda dengan Brio
Satya, Nissan memproduksi Datsun GO+ dan GO, dan Suzuki melansir Suzuki Karimun Wagon
R.
Penjualan LCGC pun menunjukkan tren peningkatan. Tahun 2013, total produksi LGCC
mencapai 52.956 unit dan pada tahun 2014 diperkirakan akan menembus 150.000 unit serta telah
diekspor ke Pakistan dan Philipina dengan total volume 1.000 unit per bulan.
Pentingnya Pengawasan
Melihat kebutuhan dan serta potensi pasar yang akan selalu ada, kebijakan LCGC tetap harus
didukung. Namun demikian, pelarangan penggunaan BBM bersubsidi juga harus ditegakkan. Hal
ini penting karena tren konsumsi BBM bersubsidi semakin memberatkan anggaran negara.
Untuk memastikan mobil LCGC tidak memakai BBM bersubsidi, perlu aturan yang tegas disertai
hukuman/punishment di lapangan. Saat ini aturan yang ada adalah buku manual LCGC, surat
Menteri Perindustrian Nomor 165/M-IND/3/2014 dan Peraturan Dirjen Industri Unggulan
berbasis Teknologi Tinggi Nomor 25/IUBTT)PER/7/2013 Tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan
Pengembangan Produksi LCGC tanggal 15 Juli 2013.
Untuk mengawal pelaksanaan di lapangan, perlu ditunjuk pihak-pihak yang melakukan
pengawasan ketat bagi pengguna LCGC agar tidak mengkonsumsi BBM bersubsidi. Pengawasan
harus disertai dengan sanksi yang tegas baik kepada Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum
(SPBU) maupun pemilik mobil LCGC. Pemberian sanksi bagi pemilik SPBU dapat berupa
peringatan sampai pembekuan kegiatan SPBU. Masyarakat juga dapat dilibatkan untuk
mengawasi hal tersebut dengan mekanisme pelaporan mobil LCGC yang mengkonsumsi BBM
bersubsidi kepada instansi berwenang. Untuk pengawasan kepada pemilik mobil LCGC, sejak
dilakukan pembelian sudah dilengkapi dengan Radio-Frequency Identification (RFID) dan tanki
bensin serta nozzle yang didesain tidak bisa mengkonsumsi BBM bersubsidi.
Terakhir, diperlukan payung hukum untuk memberikan kepastian bahwa pelaksanaan pengawasan
konsumsi BBM LCGC sesuai dengan ketentuan yang ada. Kementerian terkait perlu duduk
bersama untuk mengatasi makin tingginya konsumsi BBM bersubsidi yang antara lain dikonsumsi
oleh kendaraan LCGC agar ke depannya beban subsidi BBM di APBN tidak membengkak.
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi dimana
penulis bekerja