Sie sind auf Seite 1von 22

BAB I

PENDAHULUAN
Indonesia memaski era baru penyelenggaraan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).
Pelaksanaan Jaminan Sosial (Jamsos) sebagai suatu system perlindungan social untuk
menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar dengan layak akan sangat
menentukan kualitas hidup warga negara. Jamsos akan menyediakan layanan kesehatan dan
jaminan pendapatan kepada warga di saat mengalami risiko hidup; sakit, melahirkan, dipecat
dari pekerjaan, menganggur, hari tua, kecelakaan dalam bekerja serta risiko lainnya.1
Dengan melihat hal tersebut di atas maka kesehatan suatu negara merupakan pokok
dalam kehidupan dan kesejahteraan dalam negara tersebut. Oleh sebab itu, Presiden terpilih
periode tahun 2014 2019, Bapak Joko Widodo, meluncurkan sejumlah program jaminan
kesehatan nasional dalam suatu Program Indonesia Sehat.2,3 Perhatian Presiden yang besar dalam
bidang kesehatan ini terkait dengan tercetusnya Millenium Development Goals (MDGs) yag
dicetuskan oleh PBB pada tahun 2008 di Indonesia melalui El-Mostafa Benlamlih selaku Kepala
Perwakilan PBB-Indonesia.4
Presiden Joko Widodo meluncurkan program perdananya, yaitu Kartu Indonesia Sehat
(KIS), Kartu Indonesia Pintar (KIP) dan Kartu Keluarga Sejahtera (KKS) di Kantor Pos Jakarta
Pusat yang berada di Pasar Baru, Jakarta, tepat tanggal 3 November 2014 lalu. Ketiga kartu yang
tergabung dalam program Government to person (G2P) adalah bantuan keluarga kurang mampu
seperti Program Keluarga Harapan (PKH) dan Bantuan Langsung Sementara Masyarakat atau
BLSM, yang dulunya diberikan tunai lewat kantor pos, kini akan diberikan diberikan secara non
tunai melalui Layanan Keuangan Digital melalui kartu.5
Kartu Indonesia Sehat (KIS) dapat digunakan untuk mendapatkan layanan kesehatan
gratis di fasilitas kesehatan tingkat pertama dan tingkat lanjutan, sesuai dengan jenis penyakit
yang diderita penerima KIS. Pada tahap pertama, yakni akhir 2014, KIS akan dibagikan ke 19
provinsi. Sedangkan provinsi lainnya akan diberikan pada tahun 2015 dan diharapkan seluruh
penduduk presejahtera sudah menerima kartu ini.5

Menurut Direktur Jenderal Bina Upaya Kesehatan Kementerian Kesehatan Akmal Taher,
biaya premi Kartu Indonesia Sehat sama dengan Jaminan Kesehatan Nasional. Keduanya
memakai anggaran negara tahun 2014. Adapun pembagian kelas pada KIS dan JKN yaitu Rp
59.500 untuk kelas 1, Rp 42.500 untuk kelas 2, dan Rp 25.500 untuk kelas 3. Masyarakat bebas
memilih sesuai dengan kesanggupan membayar per bulan.6

BAB II
KARTU INDONESIA SEHAT
A. Definisi
Kartu Indonesia Sehat sebenarnya merupakan pengembangan dari Kartu Jakarta
Sehat. Joko Widodo, yang saat itu masih menjabat Gubernur DKI Jakarta, meluncurkan
Kartu Jakarta Sehat pada Sabtu, 10 November 2012, di Kelurahan Pademangan Timur,
Jakarta Timur.5 Dimana Kartu Indonesia Sehat ini hanya merupakan kartunya, dan tidak
menggantikan JKN (Jaminan Kesehatan Nasional), hal ini diungkapkan dengan jelas oleh
Menteri Kesehatan, Nila Moeloek. Kartu Indonesia Sehat dapat digunakan untuk
mendapatkan layanan kesehatan gratis di fasilitas kesehatan tingkat pertama dan tingkat
lanjutan, sesuai dengan kondisi penyakit yang diderita penerima KIS.6
KIS akan diberikan kepada anggota Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sehingga
tidak menggeser Sistem JKN. Dalam pelaksanaannya, pemerintah telah menunjuk BPJS
Kesehatan sebagai penyelenggaranya. Adapun keluarga miskin yang menjadi penerima
bantuan iuran JKN, yaitu sebanyak 86,4 jiwa, akan tetap ditanggung dengan Kartu
Indonesia Sehat. Namun, anak dari keluarga miskin bisa langsung menggunakan Kartu
Indonesia Sehat tanpa harus mendaftar lagi. Jumlah penerima KIS bertambah karena juga
menanggung penyandang masalah kesejahteraan sosial yang selama ini tak masuk data
penerima bantuan iuran seperti para gelandangan yang ada di bawah jembatan.5
Singkat uraian, KIS merupakan kartu yang memuat identitas peserta Jaminan
Kesehatan, unik dan bernomor tunggal yang diperuntukkan kepada semua penduduk
Indonesia sebagai alat untuk mendapatkan program Jaminan Kesehatan dan
pelayanannya. KIS dikeluarkan oleh pemerintah melalui BPJS Kesehatan sebagai
lembaga nirlaba yang menyelenggarakan program Jaminan Kesehatan semesta bagi
semua warga.1
B. Landasan Hukum1
Secara konstitusional, Jamsos merupakan hal yang diamanatkan dalam UUD 1945. Oleh
sebab itu, merupakan hal yang harus dilaksanakan oleh negara. Beberapa dasar hokum
pelaksanaan Jamsos dan termasuk dalam jaminan kesehatan di Indonesia antara lain :

No
1

Sumber
UUD 1945

Nomor/Pasal/Ayat
a. Pasal 28-H Ayat 1 : Setiap orang berhak hidup
3

(Amandemen)

sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan


mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat
serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
b. Pasal 28-H Ayat 3 : Setiap orang berhak atas jaminan
social yang memungkinkan pengembangan dirinya
secara utuh sebagai manusia yang bermartabat.
c. Pasal 34 Ayat 2 : Negara mengembangkan system
jaminan social bagi seluruh rakyat dan memberdayakan
masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan
martabat kemanusiaan.
d. Pasal 34 Ayat 3 : Negara bertanggung jawab atas
penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan da fasilitas

Undang-Undang

pelayanan umum yang layak.


a. Pasal 41 ayat (1) UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia : Setiap warga negara berhak atas
jaminan social yang dibutuhkan untuk hidup layak serta
untuk perkembangan pribadinya secara utuh.
b. UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan
Sosial Nasional (SJSN)
c. UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
d. UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang

Badan

Peraturan

Penyelenggaraan Jaminan Sosial (BPJS)


Peraturan Pemerintah Nomor 101 tahun 2012 tentang Penerima

Pemerintah
Peraturan

Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan


a. Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 tentang

Presiden

Peraturan BPJS

Jaminan Kesehatan
b. Peraturan Presiden Nomor 109 Tahun 2013 tentang
Penahapan Kepersertaan Program Jaminan Sosial
Peraturan Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan Nomor 1

Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan


Terhitung sejak 1 Januari 2014, Jamsos untuk program jaminan kesehatan ala
SJSN telah dijalankan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Ini
mengacu pada Pasal 60 UU 24/2011 tentang BPJS bahwa BPJS Kesehatan mulai
beroperasi menyelenggarakan program jaminan kesehatan pada tanggal 1 Januari
2014. Jaminan Kesehatan ala SJSN ini diselenggarakan secara nasional yakni
4

merupakan program perlindungan kesehatan agar peserta memperoleh manfaat


pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan
yang diberikan kepada setiap orang yang telah membayar iuran atau kepada orang yang
iurannya dibayarkan oleh pemerintah. Iuran inilah yang menjadikan Jaminan Kesehatan
diselenggarakan berdasarkan prinsip asuransi sosial dan ekuitas.
Bagaimana dengan hakhak dasar kesehatan warga fakir, miskin dan tidak
mampu yang harusnya diberikan oleh pemerintah? Dalam kerangka ini, hak warga fakir,
miskin dan tidak mampu diberikan oleh pemerintah melalui pemberian dana bantuan
iuran. Sehingga warga fakir, miskin dan tidak mampu tidak terbebani dengan iuran
bulanan Jaminan Kesehatan. Secara internasional, dari berbagai praktik yang ada, Jamsos
dapat diwujudkan tidak hanya melalui asuransi sosial namun juga dapat melalui tabungan
sosial dan bantuan sosial. Banyak negara yang mengkombinasikannya secara bersamaan
dan praktik yang ada di Indonesia saat ini merupakan bentuk dari kombinasi antara
asuransi sosial, tabungan sosial dan bantuan sosial. Jika dirunut sampai ke konstitusi
Indonesia, praktik ini mempunyai landasan yang sangat kuat dan tentu saja tidak
bertentangan dengan konstitusi.
Secara regulative, KIS berkaitan dan sejalan dengan amanat :
a. Pasal 15 Ayat (1) UU Nomor 40/2004 tentang SJSN bahwa Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial wajib memberikan nomor identitas tunggal
kepada setiap peserta dan anggota keluarganya;
b. Pasal 13 Huruf (a) UU Nomor 24/2011 tentang BPJS bahwa dalam
melaksanakan tugasnya, BPJS berkewajiban untuk memberikan nomor
identitas tunggal kepada peserta;
c. Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 101/2011 tentang Penerima Bantuan
Iuran Jaminan Kesehatan bahwa BPJS kesehatan wajib memberikan nomor
identitas tunggal kepada peserta Jaminan Kesehatan yang telah didaftarkan
oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
Kesehatan.
Menilik beberapa hal tersebut di atas, dapatlah kita simpulkan bahwa KIS
merupakan: (i) program untuk percepatan kepesertaan semesta Jaminan
Kesehatan yang sejalan dengan SJSN. Dengan KIS, Jaminan Kesehatan universal
coverage dapat diwujudkan dalam tempo cepat dan tidak harus menunggu sampai
5

2019; (ii) KIS merupakan pelaksanaan dari amanat beberapa regulasi terkait
dengan kewajiban penyelenggara Jaminan Kesehatan dalam memberikan identitas
tunggal kepada peserta dan anggota keluarganya; (iii) pemenuhan hak-hak
penduduk untuk mendapatkan Jaminan Kesehatan yang merupakan hak dasar; (iv)
KIS merupakan program penyempurnaan pelaksanaan SJSN bidang Jaminan
Kesehatan agar sejalan dengan SJSN sehingga tidak akan ada lagi tumpangtindih
kewenangan bidang regulasi, pengawasan dan penyelenggaraan. Harapannya,
antara Kementerian Kesehatan, Kementerian Sosial, DJSN, Pemerintah Daerah
dan BPJS Kesehatan berjalan sesuai role-nya. Secara programatik, dengan KIS,
seluruh program Jaminan Kesehatan dapat diintegrasikan ke dalam SJSN BPJS
Kesehatan.
C. Perbedaan Kartu Jakarta Sehat, Kartu Indonesia Sehat, dan BPJS6
Presiden Joko Widodo meluncurkan kartu penunjang program kesehatan berupa
Kartu Indonesia Sehat (KIS), Senin, 3 November 2014. Puluhan ribu kartu penjamin
kesehatan itu dibagikan kepada warga tak mampu di 19 kota. Sebelumnya, sejumlah
program jaminan kesehatan juga telah diluncurkan pemerintah, seperti Jaminan
Kesehatan Nasional (JKN) dan Kartu Jakarta Sehat (KJS). JKN merupakan program
jaminan kesehatan yang diterapkan secara nasional dan ditangani oleh Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).
Jangkauan JKN terbatas pada keluarga miskin, bukan untuk perseorangan.
Sedangkan jangkauan KIS lebih luas, yaitu mencapai masyarakat miskin dan penyandang
masalah kesejahteraan sosial (PMKS). Calon penerima KIS akan didata oleh
Kementerian Sosial, lalu didaftarkan ke BPJS untuk menerima kartu sakti itu. Jika
masyarakat umum ingin mendaftar secara swadaya, ia bisa datang ke kantor BPJS
terdekat.
Menurut Direktur Jenderal Bina Upaya Kesehatan Kementerian Kesehatan Akmal
Taher, biaya premi Kartu Indonesia Sehat sama dengan Jaminan Kesehatan Nasional.
Keduanya memakai anggaran negara tahun 2014. Adapun pembagian kelas pada KIS dan
JKN yaitu Rp 59.500 untuk kelas 1, Rp 42.500 untuk kelas 2, dan Rp 25.500 untuk kelas
3. Masyarakat bebas memilih sesuai dengan kesanggupan membayar per bulan.
Sedangkan Kartu Jakarta Sehat terbatas untuk warga yang memiliki kartu tanda
penduduk DKI Jakarta. Warga yang ingin mendapatkan kartu ini tinggal menunjukkan
6

kartu keluarga dan kartu tanda penduduk DKI Jakarta ke puskesmas terdekat. Dengan
KJS, masyarakat Jakarta bisa mendapatkan layanan kesehatan gratis di seluruh
puskesmas di DKI Jakarta dan perawatan kelas III di 88 rumah sakit yang bermitra
dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Namun sistem pelayanan ini bertingkat.
D. Model Pembiayaan3
Berbagai model pembiayaan kesehatan diterapkan berbagai negara. Negaranegara Eropa Barat, seperti Jerman, Belanda, Prancis, Belgia, dan lain lain umumnya
menggunakan sistem asuransi kesehatan sosial yang dulu dipelopori Jerman, sejak
diresmikan program jaminan sosial kesehatan oleh Kanselir Otto Von Bismarck tahun
1883. Model ini sering disebut model Bismarck.
Inggris dan banyak diikuti negara bekas jajahannya menganut model berbasis
pajak atau tax based health financing system. Model pembiayaan kesehatan berbasis
pajak sering dikenal sebagai model Beveridge, setelah William Beveridge merancang
Pelayanan Kesehatan Inggris (National Health Service). Amerika mulanya menganut
model asuransi komersial, kemudian direformasi dengan Obama Health Care. Di negara
berkembang, umumnya dengan membayar uang dari kantong saku atau model out of
pocket.
Apa dan bagaimana program KIS masih banyak yang bingung, terkadang
antarpemangku kepentingan berbeda penjelasannya. Penulis mengusulkan bagaimana
strategi makro penerapan di lapangan dengan pertimbangan teori, peraturan perundangan
yang ada, kapasitas fiskal, manajemen dan aspek teknis.
Kebijakan KIS, meski bisa dimaknai banyak hal, tentu bertujuan agar setiap
warga bangsa, terutama masyarakat bawah yang membutuhkan yang belum menjadi
anggota BPJS, dapat memiliki akses pelayanan kesehatan yang berkualitas dan
berkeadilan. Ada dua pilihan, pertama semua rumah sakit kelas tiga gratis dibiayai
pemerintah.
Hak hilang jika pindah kelas yang lebih ke arah model Beveridge atau berbasis
pajak. Ini lebih praktis karena hanya dengan KTP sudah selesai, tetapi akses bagus dari
kendali biaya dan mutu akan menjadi masalah. Dalam model ini tidak perlu membedakan
orang miskin, rentan miskin, dan hampir miskin yang di lapangan sering sulit dan
menimbulkan masalah.
Pilihan kedua, model asuransi sosial atau model Bismarck yang mengandung nilai
gotong royong. Dalam pilihan kedua ini semua orang wajib ikut dan membayar iuran,

sedangkan yang kesulitan membayar iuran, baik miskin atau tidak mampu dibayari
pemerintah. Mereka yang dibayari pemerintah sekarang ini disebut penerima bantuan
iuran (PBI) yang berjumlah 86,4 juta orang.
Model pilihan kedua ini seperti yang berlaku dan diatur di dalam UU No 40/2004
tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan UU No 24/2011 tentang BPJS.
Program KIS yang sekarang ini seperti model pilihan ke dua ini, ditambah
kepesertaannya yang dulu sudah dijamin program Jamkesmas, yaitu anak telantar,
gelandangan, panti jompo, dan penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) lainnya
yang total jumlahnya sekitar 1,7 juta orang. Karena masalah pengganggaran, dimulai
beberapa ribu orang terlebih dahulu.
Peserta ini meski dulu sudah dijamin Jamkesmas, setahun ini tidak dijamin BPJS
pada program JKN. Jika mereka sakit, diserahkan kepada pemerintah daerah masingmasing. Sayangnya, tidak semua pemerintah daerah memiliki komitmen dan
mengalokasikan untuk mereka.
Ke depan tentu tergantung kebijakan yang dipilih pemerintah. Jika model pertama
yang dipilih karena lebih mudah dan praktis, selain secara politis sangat menarik, tentu
harus ada perubahan undang-undang, terutama UU SJSN dan BPJS, serta peraturan
perundangan di bawahnya. Jika yang dipilih adalah model kedua, ada hal-hal yang perlu
diperbaiki.
Hal yang Perlu Diperbaiki
Jika pilihan kedua yang dipilih, hal-hal yang menyangkut fungsi, peran, dan hubungan
antarlembaga yang terkait KIS perlu ditingkatkan. Sisi manajemen BPJS juga perlu
perbaikan secara mendasar. Optimalisasi fungsi Dewan Pengawas dan Dewan.
Jaminan Sosial Nasional (DJSN) perlu dilakukan.
Koordinasi manajemen BPJS dengan kementerian, khususnya kesehatan dan keuangan,
perlu ditingkatkan. Kerja sama dengan pemangku kepentingan, terutama rumah sakit
swasta dan klinik swasta perlu diintensifkan. Peningkatan kemudahan dan fleksibilitas
proses administrasi kepesertaan dan pendataan perlu segera diperkuat.

Hal ini dapat didukung dengan pemanfaatan e-KTP atau sidik jari yang ada di
kementerian dalam negeri dan perlu segera dilakukan. Matching and bridging sistem
manajemen infomasi mulai dari kepesertaan, puskesmas, rumah sakit, dan BPJS segera
dibangun. Untuk efisiensi unit antifraud dan peningkatan kompetensi SDM dalam telaah
utilisasi (utilization review) perlu segera dilakukan, disertai peningkatan sosialisasi, serta
edukasi bagi pemberi layanan kesehatan di lapangan.
Peningkatan akses ini harus dibarengi penguatan infrastruktur pelayanan
kesehatan. Hal ini termasuk peningkatan fasilitas kesehatan, terutama di layanan primer
dan rumah sakit kabupaten/kota, perencanaan jumlah dan kualitas SDM kesehatan, serta
distribusinya yang merata. Terobosan dalam menghasilkan, menyediakan dan
menempatkan tenaga kesehatan, khususnya dokter spesialis, perlu dilakukan. Pendidikan
berbasis rumah sakit perlu dipikirkan.
Karena itu, kerja sama antara Kementerian Kesehatan dan Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan, serta Kementerian Dalam Negeri merupakan hal yang
krusial. Kerja sama ini tidak saja dalam memecahkan persoalan mendasar dalam
penyediaan dan distribusi tenaga kesehatan, tetapi bagaimana revolusi mental, perubahan
pola pikir, kesadaran, dan perubahan pola perilaku hidup bersih dan sehat masyarakat
sejak dini dimulai di bangku sekolah.
Untuk menjaga mutu layanan dan jaminan kesehatan, selain penerapan
manajemen mutu secara komprehensif, pembayaran kapitasi dan INA-CBGs sebaiknya
disesuaikan dengan harga keekonomian. Dikembangkan health technology assesment
(HTA) yang akan menilai obat, alat, dan teknologi kesehatan yang menilai cost
effectiveness-nya, mengingat sumber daya yang terbatas dan banyak obat dan teknologi
yang tidak perlu selalu mahal.
E. Kendala dalam Pelaksanaan Program
Lebih dari setengah tahun Jaminan Kesehatan ala SJSN berjalan, masih banyak kendala
dan permasalahan. Ada beberapa hal krusial yang harus menjadi perhatian pemerintahan
baru Joko Widodo Jusuf Kalla, antara lain:
a. Kelembagaan dan Regulasi
Pasal 60 UU BPJS menegaskan bahwa sejak beroperasinya BPJS Kesehatan
maka: (i) Kementerian Kesehatan tidak lagi menyelenggarakan program jaminan
kesehatan masyarakat; (ii) Kementerian Pertahanan, Tentara Nasional Indonesia, dan
Kepolisian Republik Indonesia tidak lagi menyelenggarakan program pelayanan

kesehatan bagi pesertanya, kecuali untuk pelayanan kesehatan tertentu berkaitan


dengan kegiatan operasionalnya, yang ditetapkan dengan Peraturan Presiden; (iii) PT
Jamsostek (Persero) tidak lagi menyelenggarakan program jaminan pemeliharaan
kesehatan. Namun, dalam kenyataanya, Kementerian Kesehatan masih setengah
setengah dalam menjalankan amanat SJSN dan BPJS. Bahkan masih sangat kentara
adanya defisit kesukarelaan untuk melepaskan kegiatan penyelenggaraan jaminan
kesehatan masyarakat dari tangan Kementerian Kesehatan ke pangkuan BPJS
Kesehatan. Kondisi ini tentu menjadi kendala dalam pelaksanaan Jaminan Kesehatan
ala SJSN.
Keengganan Kementerian Kesehatan ini dapat dilihat dari penggunaan kata
Nasional dalam Jaminan Kesehatan. Merujuk Surapaty (2014), Jaminan Kesehatan
Nasional (JKN) yang dirumuskan oleh Kementerian Kesehatan tidak sejalan dengan
Peraturan Pemerintah No 101/2012 tentang Penerima Bantuan Iuran Jaminan
Kesehatan, UU BPJS dan UU SJSN. Surya Chandra Surapaty yang merupakan Ketua
Panitia Khusus RUU SJSN 2004 dan Wakil Ketua Panitia Khusus RUU BPJS 2011
menegaskan bahwa dalam UU dan PP tersebut di atas, tidak ada satupun yang
menyebutkan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Yang ada adalah Jaminan
Kesehatan tanpa embelembel Nasional.
Sementara oleh Kementerian Kesehatan, JKN diposisikan sebagai penerjemahan
atau manifestasi dari universal health care (program jaminan kesehatan untuk semua)
yang diamanatkan SJSN dan BPJS. Kementerian Kesehatan bahkan memperkuat
argumentasinya dengan menerbitkan beberapa regulasi yang dikeluarkan oleh
Menteri Kesehatan antara lain: (i) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 71 Tahun
2013 tentang Pelayanan Kesehatan pada Jaminan Kesehatan Nasional, (ii) Keputusan
Menteri Kesehatan No 326/Menkes/SK/IX/2013 tentang Penyiapan Kegiatan
Penyelenggaraan

Jaminan

Kesehatan

Nasional,

(iii)

Surat

Edaran

No

HK/Menkes/32/I/2014 tentang Pelaksanaan Pelayanan Kesehatan bagi Peserta BPJS


Kesehatan Pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama dan Fasilitas Kesehatan Tingkat
Lanjutan Dalam Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan.
Fakta di atas menunjukkan bahwa Kementerian Kesehatan masih menginginkan
sebagai penyelenggara pelayanan kesehatan. Padahal, Pasal 57 UU BPJS
mengamatkan bahwa kewenangan Kementerian Kesehatan dalam melaksanakan
10

kegiatan operasional penyelenggaraan program jaminan kesehatan masyarakat hanya


sampai

dengan

beroperasinya

BPJS

Kesehatan.

Sebenarnya,

JKN

masih

diselenggarakan oleh Kementerian Kesehatan dan memposisikan BPJS Kesehatan


hanya sebagai mitra. Hal ini terlihat dari keukeuhnya Kementerian Kesehatan untuk
menggunakan sistem tarif INACBGs (Indonesian Case Based Groups) yang sangat
rendah sehingga ada beberapa fasilitas kesehatan, layanan kesehatan dan obat yang
tidak dicover. Ini artinya, JKN tidak jauh berbeda dengan Jaminan Kesehatan
Masyarakat (Jamkesmas) sebab masih dikelola oleh Kementerian Kesehatan dan
Dinas Kesehatan di daerahdaerah. Ini tidaklah sejalan dengan amanat UU SJSN dan
UU BPJS yang telah memposisikan Kementerian Kesehatan sebagai regulator dan
bukan lagi sebagai penyelenggaran pelayanan jaminan kesehatan (Maftuchan, 2014).
Regulasi pendukung pelaksanaan BPJS Kesehatan juga belum lengkap dan
memadai,

bahkan

ada

regulasi

yang

terlalu

terburuburu

dalam

proses

penyusunannya sehingga belum diimplementasikan secara utuh sudah mengalami


perubahan. Misalnya Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2012 tentang Jaminan
Kesehatan yang kemudian diubah menjadi Peraturan Presiden Nomor 111 Tahun 2013
tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2012 tentang Jaminan
Kesehatan.
b. Kepersertaan dan Bantuan Iuran
Dalam SJSN, kepesertaannya adalah setiap orang termasuk orang asing yang telah
bekerja di Indonesia selama enam bulan dan telah membayar iuran. Artinya
kepesertaan Jaminan Kesehatan adalah semua penduduk, baik yang kaya maupun
yang miskin. Namun, dengan alasan kesiapan pemerintah dan badan penyelenggara
serta jumlah penduduk Indonesia yang besar, maka untuk mencapai universal
coverage, dilakukanlah pentahapan. Merujuk Pasal 6 Perpres Nomor 12 Tahun 2013
tentang Jaminan Kesehatan, maka pentahapannya:
Mulai tanggal 1 Januari 2014, paling sedikit meliputi: PBI Jaminan Kesehatan,
TNI/Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Kementerian Pertahanan dan anggota
keluarganya, Polri/Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Polri dan anggota
keluarganya, peserta asuransi kesehatan Perusahaan Persero (Persero) Asuransi
Kesehatan Indonesia (ASKES) dan anggota keluarganya, peserta Jaminan

11

Pemeliharaan Kesehatan (JPK) Perusahaan Persero (Persero) Jaminan Sosial

Tenaga Kerja (JAMSOSTEK) dan anggota keluarganya.


Tahap kedua meliputi seluruh penduduk yang belum masuk sebagai Peserta BPJS
Kesehatan paling lambat pada tanggal 1 Januari 2019.
Pada tahun 2014, Kementerian Kesehatan mengalokasikan anggaran untuk

pembayaran premi BPJS kesehatan bagi orang miskin dan tidak mampu penerima
bantuan iuran (PBI) untuk 86,4 juta. Jumlah ini sebagian merupakan pengalihan dari
peserta Jamkesmas. Sementara itu, dengan jumlah penduduk 237,64 juta jiwa (BPS:
2010) dan diproyeksikan menjadi 245,47 juta jiwa pada 2013 (BKKBN: 2013), maka
target peserta Jaminan Kesehatan pada 2014 masih terlalu jauh dari mendekati. Saat
ini, jumlah peserta Jaminan Kesehatan yang dikelola di luar BPJS Kesehatan sebesar
50,07 juta jiwa dan yang belum menjadi peserta Jaminan Kesehatan sebanyak 73,8
juta jiwa (Kemenkes, 2013) ditargetkan akan menjadi peserta Jaminan Kesehatan
BPJS Kesehatan pada tahun 2019. Sehingga, pada tahun 2019, seluruh penduduk
dapat menjadi peserta Jaminan Kesehatan.
Padahal, jika merujuk data Badan Pusat Statistik (2011) yang digunakan oleh
TNP2K (Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan) untuk PPLS
(Pendataan Program Perlindungan Sosial), maka jumlah warga miskin dan tindak
mampu lainnya yang harus menjadi peserta PBI adalah 96,7 juta jiwa. Artinya ada
selisih 10,3 juta jiwa warga miskin PBI jika dibandingkan antara Kementerian
Kesehatan dengan TNP2K. Di lain sisi, pemerintah pada 2014 dengan optimis
mentargetkan peserta Jaminan Kesehatan (baik yang PBI maupun yang nonPBI)
sebanyak 121,6 juta jiwa. Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2012 tentang
Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan dengan tegas dalam Pasal 15 dinyatakan
bahwa pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, maka penetapan jumlah
PBI tahun 2014 dilakukan menggunakan hasil Pendataan Program Perlindungan
Sosial tahun 2011.
Terkait dengan iuran Jaminan Kesehatan, jumlah iuran PBI yang dibayarkan
Kementerian Kesehatan dan peserta yang didaftarkan oleh Pemerintah Daerah
perpeserta Rp 19.225, per/bulan. Jumlah PBI ini berbeda dengan iuran Peserta
12

Bukan Penerima Upah dan Bukan Pekerja Kelas 3 yakni Rp 25.500. Perbedaan ini
tentu menimbulkan pertanyaan lanjutan apakah juga akan membedakan kualitas
layanan? Merujuk pada Peraturan Presiden Nomor 111 Tahun 2013 tentang
Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2012 tentang Jaminan
Kesehatan, maka iuran Jaminan Kesehatan sebagai berikut:
Peserta
PBI

Bentuk Iuran
Besaran
Nilai nominal (per Rp 19. 225,-

jiwa)
PNS/TNI/POLRI/ 5 % (per keluarga)
PENSIUN

2% dari pekerja

Pasal 16A, 23
Ranap Kelas

1,

3% dari pemberi kelas 2


kerja
(per s/d 30 Juni 2015 :

Pekerja Penerima

4,5%

Upah selain PNS,

keluarga) dan 5 % 0,5 % dari pekerja

Dll

Keterangan
Ranap kelas 3

(per keluarga)

Pasal 16B, 23
Ranap Kelas

1,

kelas 2

4% dari pemberi Pasal 16C , 23


kerja
Mulai 1 Juli 2015 :
1% dari pekerja
4% dari pemeberi

Pekerja bukan

Nilai nominal (per

Penerima Upah

jiwa)

kerja
1. Rp 25.500,2. Rp 42.500,3. Rp 59.500,-

Ranap kelas 3
Ranap kelas 2

dan Bukan

Ranap kelas 1

Pekerja

Pasal 16F, 23

Pada RAPBN 2015, pemerintah belum melakukan penambahan peserta Jaminan


Kesehatan PBI yakni masih sama dengan tahun 2014, sejumlah 86,4 juta jiwa. Tentu
ini langkah yang tidak tepat, pasalnya PBI harusnya dinamis dan harus mengcover
semua penduduk yang fakir, miskin dan tidak mampu secara ekonomi sehingga
mereka dapat menikmati Jaminan Kesehatan yang baik.
c. Fasilitas Kesehatan, Tenaga Kesehatan, dan Kesadaran Kesehatan
Fasilitas kesehatan (Faskes) dan tenaga kesehatan (Nakes) merupakan
permasalahan yang sangat mendasar bagi penyelenggaraan Jaminan Kesehatan
13

universal coverage. Kesiapan Faskes dan Nakes, baik dari sisi jumlah maupun dari
sisi kualitas masih sangat jauh dari memadai. Jumlah rumah sakit di Indonesia hanya
1.686, baik RS swasta maupun RS pemerintah sedangkan jumlah Puskesmas hanya
mencapai 9.581 (Pusdatin, Kemenkes, 2011). Dengan angka ini maka rasio
Puskesmas/100.000 penduduk berjumlah 4 Puskesmas. Sederhananya, dalam 100.000
penduduk hanya ada 4 Puskesmas yang artinya tiap 25.000 penduduk dilayani 1
Puskesmas. Jumlah ini tentu masih jauh dari ideal. Di sisi Nakes kondisinya juga
tidak jauh berbeda, selain jumlah Nakes yang masih minim, sebaran Nakes juga
belum merata. Rasio dokter sebesar 40/100 ribu penduduk, artinya tiap 40 dokter
melayani 100.000 penduduk, sungguh beban yang sangat berat.
Di samping Faskes dan Nakes yang masih memprihatinkan, permasalahan lain
adalah kesadaran kesehatan (Darkes) masyarakat Indonesia masih sangat rendah. Ini
dapat dilihat dari keberhasilan program Perilaku Hidup Bersih Sehat (PHBS).
Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), rumah tangga yang belum
menggunakan fasilitas buang air besar masih sangat tinggi yakni sebesar 24,8 % dan
rumah tangga yang tidak memiliki saluran pembuangan air limbah sebesar 32,5 %.
Sementara, rumah tangga yang mempunyai akses air bersih baru 57,7 % dan yang
mempunyai akses sanitasi yang baik 63,3 % (Riskesdas, 2007). Selain karena
ketidakmampuan pemerintah membangun sanitasi dan menyediakan air bersih, hal ini
juga menyangkut kesadaran masyarakat dalam menjalani hidup sehat.
d. Alokasi Anggaran Kesehatan
Untuk melihat tingkat perhatian dan keseriusan pemerintah di bidang kesehatan,
kita dapat melihatnya dari sisi alokasi anggaran kesehatan yang dibelanjakan dalam
tiap tahun anggaran. Di Indonesia, kebijakan fiskal untuk sektor kesehatan
menggunakan pendekatan mandatory spending, artinya dalam tiap tahun fiskal
alokasi anggaran kesehatan sudah dipatok dengan persentase tertentu. Mengacu pada
amanat Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, maka alokasi
anggaran kesehatan di tingkat nasional sebesar 5% dari total Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara/APBN di luar gaji pegawai bidang kesehatan. Sedangkan alokasi
anggaran kesehatan di tingkat daerah (provinsi dan kebupaten/kota) sebesar 10% dari
total Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah/APBD di luar gaji pegawai bidang
kesehatan.
14

UU Kesehatan yang diputuskan pada tahun 2009 ini, ternyata untuk mandatory
spending tersebut belum pernah dipenuhi oleh pemerintah pusat. Pemerintah selalu
berkilah bahwa fiscal space yang ada sangat sempit sehingga tidak dapat memenuhi
amanat tersebut. Ironisnya, alokasi anggaran belanja rutin selalu naik dan subsidi
bahan bakar minyak selalu dipenuhi. Jika dilihat trend anggaran kesehatan enam
tahun terakhir ini, memang selalu mengalami kenaikan, meskipun sifatnya
incremental. Namun, alokasi anggaran kesehatan dari total APBN rerata hanya 3,2%,
ini sudah termasuk belanja pegawai; gaji, biaya perjalanan dinas, tunjangan,
honorarium dan lainlain.

Komponen Anggaran
Kesehatan

2.

2013
APBN APBNP

2014
APB

23,2

28,2

38,5

42,3

52,0

54,1

N
66,5

untuk

21,7
18,0
0,3
0,6
2,7
1,5
-

26,2
22,4
0,4
0,8
2,6
1,9
-

36,3
26,9
0,8
2,4
6,3
2,3
0,0

39,7
28,7
1,1
2,2
7,7
2,6
0,0

49,0
34,6
1,2
2,6
10,7
3,1
0,0

51,0
36,6
1,2
2,6
10,7
3,1
0,0

61,6
46,5
1,1
2,9
11,1
4,9
0,0

PNS

1,5

1,9

2,3

2,6

3,0

3,0

4,8

pegawai)
Melalui
transfer

4,6

3,4

3,8

3,8

3,9

3,9

4,0

daerah
DAK kesehatan
Perkiraan

4,0
0,6

2,8
0,6

2,9
0,8

3,0
0,8

3,1
0,8

3,1
0,8

3,1
0,9

27,8
3,0

31,6
3,0

42,3
3,3

46,1
3,1

55,9
3,3

58,0
3,4

70,5
3,8

I. Melalui Belanja Pemerintah


Pusat
1.

2009 2010 2011 2012


Real Real Real Real

Melalui K/L
24 Kemenkes
60 Badan POM
68 BKKBN
K/L lainnya
Melalui non- K/L

Subsidi

air bersih
Askes
(belanja

II.

Anggaran
Kesehatan dari
III.

Dana Otsus
Total
% APBN

15

Di luar alokasi belanja kesehatan tersebut di atas, tiap tahun fiskal, pemerintah
membiayai Program Pengelolaan Transaksi Khusus untuk pembayaran iuran jaminan
kesehatan, jaminan sosial ketenagakerjaan dan pembayaran manfaat pensiun bagi
PNS Pusat, pensiunan PNS serta veteran TNI/Polri. Untuk RAPBN 2015
direncanakan sebesar Rp 101.271,0 miliar (99,1 %) dari total anggaran pada program
pengelolaan transaksi khusus untuk pembayaran manfaat pensiun serta iuran jaminan
kesehatan dan jaminan sosial ketenagakerjaan bagi PNS Pusat, pensiunan PNS serta
veteran TNI/Polri. Anggaran yang cukup besar jika dibandingkan dengan belanja
fungsi kesehatan.
Pada RAPBN 2015, rencana alokasi anggaran belanja Pemerintah Pusat pada
fungsi kesehatan sebesar Rp 20.678,1 miliar (1,5% terhadap total Belanja Pemerintah
Pusat/BPP). Sedangkan alokasi untuk Kementerian Kesehatan pada RAPBN 2015
sebesar Rp 47.429,8 miliar (Nota Keuangan RAPBN 2015). Dari total anggaran
fungsi kesehatan dan Kementerian Kesehatan, dana PBI yang saat ini masih dipegang
oleh Kementerian Kesehatan hanya sebesar lebih kurang Rp 19,09 triliun (mencover
86,4 juta jiwa dengan premi Rp 19.225). Bandingkan antara alokasi PBI ini dengan
pembayaran pemerintah untuk iuran jaminan kesehatan dan pensiun bagi PNS dan
pensiunan PNS.
Pengelolaan Transaksi Khusus dalam APBN ini tidak terlepas dari pendekatan
program dana pensiun bagi PNS dan TNI/Polri yang menggunakan pendekatan pay as
you go, artinya pendanaan pensiun dibiayai langsung oleh pemerintah melalui APBN
pada saat PNS/TNIPolri memasuki masa pensiun. Iuran pensiun peserta (PNS/TNIPolri) sangat kecil, hanya seperti syarat saja, yakni 4,3/4 % dari penghasilan tanpa
tunjangan pangan untuk iuran dana pensiun. Sehingga, pemerintah melalui PP Nomor
20 / 2003 masih mengalokasikan pembayaran sumbangan iuran pensiun dan tabungan
hari tua bagi PNSTNIPolri dan besarannya hanya ditetapkan melalui Peraturan
Pemerintah.
Tidak mengherankan jika pada tiap tahunnya, PT Taspen (pengelola program
pension PNS dan veteran TNI/Polri) selalu mengalami defisit antara iuran pensiun
yang diterima dengan dana pensiun yang dikeluarkan (dibagikan) ke peserta / ahli
warisnya. Ambil contoh, pada tahun 2012, Taspen hanya menerima iuran dana
pensiun sebesar Rp 10 triliun namun disaat yang sama harus membayarkan manfaat
16

pensiun ke peserta atau ahli warisnya sebesar Rp 60 triliun. Sungguh suatu system
pengelolaan dana pensiun yang tidak berkesinambungan. Usulan ke depan,
pengelolaan dana pensiun bagi PNSTNIPolri harus diubah menjadi fully funded,
artinya PNSTNIPolri sebagai pekerja dan pemerintah sebagai pemberi kerja samasama mengeluarkan iuran yang mencukupi sehingga tidak membebani APBN tiap
tahun. Pada akhirnya, perubahan dari pay as you go ke fully funded akan meringankan
beban APBN sebagai fiscal space menjadi lebih longgar.

17

BAB III
Kesimpulan dan Saran
A. Kesimpulan
Kartu Indonesia Sehat merupakan salah satu media dalam rangka menjalankan program
perdana Presiden terpilih periode 2014 sampai dengan 2019, Bapak Joko Widodo, yang
dicetuskan terkait dengan Millenium Development Goals (MDGs). Program ini sesuai untuk
dijalankan karena Indonesia kini telah memasuki era penyelenggaraan Sistem Jaminan Sosial
Nasional (SJSN). Dimana system ini ditujukan demia berlangsungnya kehidupan masyarakat
(warga negara) dalam kondisi yang sejahtera.
Kartu Indonesia Sehat yang diterbitkan tepat tanggal 3 November 2014 yang lalu oleh
Presiden terpilih, Joko Widodo, merupakan kelanjutan dari Kartu Jakarta Sehat yang telah
terlebih dahulu diterbitkan. KIS ini sendiri hanya berupa kartu namun tidak menyingkirkan
jaminan kesehatan nasional (JKN) itu sendiri.
Singkat uraian, KIS merupakan kartu yang memuat identitas peserta Jaminan Kesehatan,
unik dan bernomor tunggal yang diperuntukkan kepada semua penduduk Indonesia sebagai alat
untuk mendapatkan program Jaminan Kesehatan dan pelayanannya. KIS dikeluarkan oleh
pemerintah melalui BPJS Kesehatan sebagai lembaga nirlaba yang menyelenggarakan program
Jaminan Kesehatan semesta bagi semua warga.
Secara regulative, KIS berkaitan dan sejalan dengan amanat :
a. Pasal 15 Ayat (1) UU Nomor 40/2004 tentang SJSN bahwa Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial wajib memberikan nomor identitas
tunggal kepada setiap peserta dan anggota keluarganya;

18

b. Pasal 13 Huruf (a) UU Nomor 24/2011 tentang BPJS bahwa dalam


melaksanakan tugasnya, BPJS berkewajiban untuk memberikan nomor
identitas tunggal kepada peserta;
c. Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 101/2011 tentang Penerima Bantuan
Iuran Jaminan Kesehatan bahwa BPJS kesehatan wajib memberikan
nomor identitas tunggal kepada peserta Jaminan Kesehatan yang telah
didaftarkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang Kesehatan.
Meski begitu system ini juga mengalami beberapa kendala. Kendala yang sampai saat ini
masih menjadi penyulit dalam pelaksanaan program antara lain seperti kendala dalam
kelembagaan dan regulasi; kepersertaan dan bantuan iuran; fasilitas kesehatan, tenaga kesehatan,
dan kesadaran kesehatan; serta alokasi anggaran kesehatan. Hal-hal ini lah yang perlu
mendapatkan perhatian untuk ke depannya.
B. Saran
1. Saran Umum
Perlu melakukan penataan kebijakan fiskal secara fundamental terutama pada area
; peningkatan penerimaan negara, efisiensi belanja pemerintah pusat dan daerah,
dan peningkatan belanja sosial (terutama kesehatan) dengan opsiopsi kebijakan:
o Melakukan realokasi sebagian anggaran subsidi bahan bakar minyak dan
energi untuk membiayai KIS;
o Melakukan penghematan belanja pegawai (honorarium, perjalanan dinas,
dan

lain-

lain)

dan

melakukan

penataan

atau

regrouping

Kementerian/Lembaga sehingga kabinet menjadi lebih ramping dan lincah


dalam melakukan eksekusi program;
o Agar pajak mencerminkan keadilan sosial dan ada sumber penerimaan
baru untuk belanja sosial, maka perlu melakukan penerapan penambahan
lapisan struktur tarif (tax bracket) Pajak Penghasilan/PPh menjadi 3545%
bagi mereka yang berpendapatan di atas Rp 5 Miliar/tahun;
o Melakukan kebijakan earmarking untuk jenis pajak tertentu (cukai rokok,
alkohol dan extractive industries), baik di pusat maupun di daerah, yang
diperuntukkan untuk sektor pelayanan dasar khususnya Jaminan
Kesehatan / Kartu Indonesia Sehat.
19

2. Saran Khusus
a. Melakukan review beberapa regulasi yang terindikasi tidak sejalan dengan
SJSN dan BPJS antara lain:
o Peraturan Presiden No 111 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Peraturan
Presiden Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan;
o Melakukan review terhadap program JKN dengan mereview seluruh
produk regulasi yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan terkait
dengan pelaksanaan JKN. Langkah pertama dapat dilakukan dengan
mereview: (i) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 71 Tahun 2013 tentang
Pelayanan Kesehatan pada Jaminan Kesehatan Nasional, (ii) Keputusan
Menteri Kesehatan No 326/Menkes/SK/IX/2013 tentang Penyiapan
Kegiatan Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan Nasional, (iii) Surat Edaran
No HK/Menkes/32/I/2014 tentang Pelaksanaan Pelayanan Kesehatan bagi
Peserta BPJS Kesehatan Pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama dan
Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjutan Dalam Penyelenggaraan Program
Jaminan Kesehatan.
b. Meningkatkan jumlah peserta Jaminan Kesehatan penerima bantuan iuran
(PBI) dari 86,4 juta jiwa menjadi 96,7 juta jiwa (pada pelaksanaan program
100 hari Jokowi) dan memberikannya KIS dan memberikan Kartu Indonesia
Sehat (KIS) kepada 100 juta jiwa pada tahun 2015;
c. Meningkatkan alokasi anggaran untuk pemberian bantuan iuran dalam APBN
atau APBNP 2015 sebesar Rp 25 30 triliun dan mengubah besaran PBI dari
Rp 19.225/jiwa menjadi Rp 25.500 (sederajat dengan iuran pekerja bukan
penerima upah dan bukan pekerja untuk ruang inap kelas 3);
d. Meningkatkan alokasi anggaran sektor kesehatan menjadi 5 % dari total
APBN di luar gaji pegawai bidang kesehatan dan melakukan penataan
kebijakan fiskal di daerah agar mengalokasikan anggaran kesehatan 10% dari
total APBD di luar gaji pegawai bidang kesehatan;

20

e. Melakukan penatakelolaan data penduduk yang fakir, miskin dan tidak


mampu secara lebih up to date (semesteran) dan berbasis nama alamat (by
name by address) serta melakukan sinkronisasi, rekonsiliasi dan konsolidasi
data kemiskinan yang dimiliki oleh beberapa K/L. Oleh sebab itu, pemerintah
perlu mengelola data kemiskinan secara integratif dan menugaskan beberapa
K/L terkait (BPS, Kemensos dan Kemenkes) untuk melaksanakannya;
f. Melakukan penatakelolaan Dana PBI, dari Kemenkes ke BPJS Kesehatan.

21

DAFTAR PUSTAKA
1. Kartu Indonesia Sehat, Menuju Program 100 Hari Jokowicare. Diakses di :
https://www.academia.edu/8394360/Jokowicare_Kartu_Indonesia_Sehat_dan_BPJS_Kes
ehatan. Diakses pada : 14 Desember 2014.
2. Pelaksanaan Kartu Indonesia Sehat oleh Kementrian Kesehatan Negara Indonesia.
Diakses
di
:
http://diskes.jabarprov.go.id/assets/data/arsip/Pelaksanaan_Kartu_Indonesia_Sehat_
%28KIS%29_Di_Fasilitas_Kesehatan.pdf. Diakses pada : 14 Desember 2014.
3. Sistem
Kartu
Indonesia
Sehat.
Diakses
di
:
http://sinarharapan.co/news/read/141107039/sistem-kartu-indonesia-sehat. Diakses pada :
14 Desember 2014.
4. Millenium Development Goals (MDGs). Diakses di : http://www.undp.or.id/pubs/docs/let
%20speak%20out%20for%20mdgs%20-%20id.pdf. Diakses pada : 14 Desember 2014.
5. Apa itu Kartu Indonesia Sehat dan Kartu Indonesia Pintar. Diakses di :
http://bisnis.liputan6.com/read/2128190/apa-itu-kartu-indonesia-sehat-dan-kartuindonesia-pintar. Diakses pada : 14 Desember 2014.
6. Beda
KJS,
Kartu
Indonesia
Sehat,
dan
JKN.
Diakses
di
:
http://www.tempo.co/read/news/2014/11/05/173619684/Beda-KJS-Kartu-IndonesiaSehat-dan-JKN. Diakses pada : 14 Desember 2014.

22

Das könnte Ihnen auch gefallen