Sie sind auf Seite 1von 11

ASAL-USUL (APA YANG KITA SEBUT) NEGARA:

Logika kedaulatan dan metode psikogenealogi1


Hizkia Yosie Polimpung2

Dewasa ini banyak dari kita yang mungkin kecewa dengan pemerintahan negara.
Tentang bagaimana ia mengatur ini dan itu, memfasilitasi kita ini dan itu, melindungi kita dari
ini dan itu, dst. Banyak pula dari kita, entah dengan dorongan nasionalisme atau apa, berusaha
mengkritik, mengusulkan, bahkan tidak sedikit yang memaki pemerintah oleh karenanya.
Jutaan opini koran ditulis, ribuan seminar diselenggarakan, ratusan buku ditulis dan dibedah,
namun negara nampaknya tenang-tenang saja dan tetap tidak berubah menjadi seperti yang
kita harapkan. Berikutnya tentu pertanyaan naf yang segera terlontar adalah: mengapa
begitu, bukankah seharusnya negara memperjuangkan kepentingan kita, para rakyat?
Demikianlah keyakinan kita mengenai tujuan negara, bukan?
LOGIKA KEDAULATAN
Keyakinan inilah yang coba ditinjau ulang kesahihannya secara historis dalam buku AsalUsul Kedaulatan (AUK). Penulis memberanikan diri untuk mengajukan suatu pandangan yang
bersifat antitetis (anti-thetical) terhadap anggapan umum tentang negara yang demikian
yaitu negara berdaulat (sovereign state) yang bertujuan dan bertugas memberikan keamanan
dan kesejahteraan rakyatnya. Dalam benak, penulis memantapkan diri untuk bertanya:
bagaimana jika ternyata negara berdaulat memang tidak pernah berniat menyediakan
keamanan dan kesejahteraan rakyatnya? Bagaimana jika penyediaan keamanan dan
kesejahteraan rakyat hanyalah dalih pembenar untuk tujuan-tujuan lainnya? Jika benar
demikian, maka sudah pasti jargon-jargon dan janji-janji pemerintah untuk menyediakan
keamanan dan kesejahteraan tidak lebih dari sekedar dalih pembenaran semata. Tujuannya?
Apalagi jika bukan mempertahankan kesetiaan rakyatnya untuk tinggal di teritorinya,
mengingat salah satu unsur konstitutif negara adalah rakyat?3
Juga penulis ingin menyudahi dan melampaui perdebatan melelahkan tentang
mundurnya vs. kembalinya negara. Permasalahan utama saat ini, menurut penulis, bukanlah
persoalan apakah negara sudah usang atau semakin intrusif, bukan pula permasalahan pronegara atau anti-negara; sama sekali bukan ini permasalahan yang perlu dikuatirkan! Hal paling
mendesak justru terjadi pada tarik-menarik paradoksal di antaranya: di satu sisi negara semakin
usang di hadapan globalisasi seluruh aspek kehidupan, tapi di sisi lain ia semakin menguat dan
intrusif mengatur seluruh lini kehidupan manusia yaitu saat negara semakin terlepas dan

Pemantik diskusi bedah buku Asal Usul Kedaulatan: Telusur Psikogenealogis atas Hasrat Mikrofasis
Bernegara (Penerbit Kepik, 2014), Lingkar Studi Mahasiswa HI & Himpunan Mahasiswa HI UNPAS, Bandung,
19 November 2014.
2
Penulis adalah peneliti di PURUSHA Research Cooperative dan Editor Jurnal IndoProgress; sedang
menyelesaikan disertasi Doktoral di Dept. Filsafat, Universitas Indonesia, tentang ontologi dan metafisika
psikoanalisis Lacanian.
3
Lihat Konvensi Montevideo, 27 Desember 1933.

teralienasi dari rakyat yang konon menjadi konstituen eksistensinya. Negara hanya peduli
kedaulatannya, dan siapapun yang duduk di tampuk pemerintahan seidealis apapun ia
dulunya akan tunduk pada logika kedaulatan negara: afirmasi dan reafirmasi abadi akan
kedaulatannya dengan cara apapun. Sehingga saat negara bermasalah, sama sekali bukan
dikarenakan orang-orang yang duduk di pemerintahannya adalah jahat. Justru sebaliknya,
negara itu jahat karena ia memang bermasalah. Rakyat akhirnya hanya menjadi jargon
pelengkap retorika untuk melegitimasi seluruh perjuangan negara demi mempertahankan
kedaulatannya. Situasi di-ambang inilah yang menjadi konteks utama studi penulis: penulis
menerima kenyataan paradoksal tentang negara ini, dan mengupayakan suatu pemahaman
baru akannya suatu pemahaman yang memungkinkan suatu transformasi.
Penting untuk diklarifikasi di sini mengenai apa yang ditawarkan dan yang tidak
ditawarkan melalui buku AUK ini. Yang hendak ditawarkan adalah suatu pemahaman baru akan
negara dan kedaulatan, yaitu suatu pemahaman yang obyektif dalam melihat negara dan
kedaulatan. Sebaliknya, yang tidak akan ditawarkan adalah suatu pemahaman subyektif yang
selalu menisbatkan negara dengan aspirasi rakyat, moralitas dan etika pemimpin, corak
kultural dan relijius, dst.; dengan keyakinan-keyakinan naif normatif bahwa negara harusnya
seperti ini dan/atau seperti itu. Klaim utama penulis adalah bahwa negara dan kedaulatan
memiliki logikanya sendiri yang acuh tak acuh terhadap apapun aspirasi subyektif kita
atasnya. Untuk itu, penting kiranya untuk mengesampingkan sejenak kontaminasi subyektif
kita akan negara demi mendapat sebuah gambaran obyektif akannya. Secara praktis, penulis
merasa hal ini akan sangat berguna bagi siapapun (pemerintah, partai, buruh, mahasiswa, dst.)
yang hendak menggunakan negara berdaulat. Sama seperti kita harus mempelajari fitur-fitur
obyektif ponsel kita untuk mengoptimalkan penggunaannya, demikianlah kita harus
memahami negara berdaulat.
Dengan obyektif, penulis tidak memaksudkan bahwa pemahaman ini adalah bebas nilai.
(Sama sekali tidak! Pemahaman obyektif ini bukan semata-mata demi pengabdian menggelikan
terhadap ilmu pengetahuan). Stephen Jay Gould mengatakannya dengan sangat baik,
Objectivity cannot be equated with mental blankness; rather, objectivity resides in
recognizing your preferences and then subjecting them to especially harsh scrutiny and
also in a willingness to revise or abandon your theories when the tests fail (as they usually
do).4

Obyektivitas sebaiknya dipahami lebih kepada suatu kondisi yang mana sesuatu, dalam hal ini
negara berdaulat, dapat berfungsi secara mulus tanpa mensyaratkan intervensi-intervensi
subyektif. Segala hal yang bersifat subyektif yang berpotensi mendistorsi pemahaman
obyektif, seperti aspirasi dan harapan tentang bagaimana negara seharusnya, misalnya, harus
dikesampingkan terlebih dahulu. Penting di sini untuk memisahkan antara aspirasi dan
argumentasi jika suatu pemahaman obyektif hendak didapatkan. Pemahaman obyektif
mengenai negara berdaulat akan membawa kita pada suatu pemahaman mengenai logika
internal bekerjanya negara berdaulat secara mulus sekali lagi, dalam artian tanpa distorsi dan

Stephen Jay Gould, The Lying Stones of Marrakech (New York: Harmony Books, 2000), hal. 104-105.

ii

kontaminasi aspirasi subyektif. Logika internal negara inilah yang saya sebut sebagai 'logika
kedaulatan'.
Secara umum, tesis logika kedaulatan dari Negara Berdaulat modern bisa dirumuskan sebagai
berikut:
1. Dalam kesehariannya, tujuan utama pemerintahan negara hanyalah semata-mata
aktualisasi kedaulatannya, penguatan kedaulatannya, dan pemeliharaan
kedaulatannya.
2. Ide-ide universal (demokrasi, komunisme, liberalisme, humanisme, Islamisme, Tanah
Perjanjian, dst.) dan identitas-identitas sublim (Manusia Seutuhnya, Bangsa Indonesia,
Kawula Alit, We the People, dst.) adalah obyek komodifikasi negara dalam retorika dan
praktiknya. Tujuannya? Kembali ke nomor 1.
3. Produksi liyan sebagai manifestasi abyeksi (lawan dari subyeksi) adalah sesuatu yang
logis karena universalitas (nomor 2) selalu membutuhkan pengecualian (exception).
4. Logika kedaulatan ini sifatnya relatif otonom terhadap: a) logika lain diluarnya
(kapitalisme, agama, alam, dst.); b) manusia yang (seolah-olah) menjalankannya.
a. Manusia ada hanya sebagai kendaraan untuk mengekalkan kedaulatan negara
melalui suksesi tubuh-tubuh mortal di tahta kenegaraan yang imortal.
b. Aspirasi, idealisme, dan apapun yang mencirikan agensi manusia, menjadi
terjerat dan hanyut dalam sirkuit logis kedaulatan negara. (Kembali ke nomor 2)
Lalu, apa sebenarnya yang bermasalah dari logika kedaulatan ini? Sebelumnya, terkait
logika kedaulatan negara, penulis juga merasa perlu memperingatkan, yaitu bahwa harus
disadari sejak awal bahwa dengan negara dan kedaulatan, yang penulis maksudkan di buku
adalah negara dan kedaulatan versi Barat, lebih spesifiknya, versi Perjanjian Damai Westphalia
1648. Ini bukan berarti lantas penulis menjadi Eropa-sentris. Pemilihan versi ini sebagai obyek
kajian didasarkan pada kenyataan bahwa secara de facto, semua negara di dunia saat ini,
terlepas dari apapun idiologi resminya, adalah menganut sistem kedaulatan versi Westphalia
ini. Pula bentuk negara berdaulat yang diakui hukum internasional dan yang dipahami dalam
pemahaman umum (common sense) orang banyak, disadari atau tidak, sebenarnya tidak lain
adalah negara berdaulat versi Westphalia. Penekanan ini penting untuk menyadarkan bahwa
negara berdaulat tidaklah universal! Ada perbedaan logika kedaulatan antara negara di era
Yunani kuno, Romawi, Italia zaman Renaisans, Imperium Romawi Agung, Kristendom, Khilafah,
dst. Menjadi amat tidak berdasar secara historis kemudian saat kita lantas mengatakan bahwa,
misalnya, kedaulatan negara menjadi sinonim dengan kedaulatan Khilafah, atau dengan Daulah
al-Islamiyah hanya karena kata kedaulatan punya akar pada kata daulah.
Jadi, apa itu yang biasa kita sebut negara? Negara berdaulat modern adalah varian dari
sebuah genus pengorganisasian sosial-politik, bahkan lebih spesifik lagi pengorganisasian
sosial-politik berbasis teritori. Hal ini penting untuk ditekankan karena pada masa-masa
pembentukannya di Eropa abad ke 16 dan sebelumnya, negara bukanlah satu-satunya
pengorganisasian sosial-politik. Banyak bentuk pengorganisasian lainnya: Imperium Agung
Romawi, Gereja, Liga Hanseatic, Liga Kota (di Italia), Monarki, dan Negara Berdaulat (Dinasti
Hugh Capet, Perancis). Demikian pula kedaulatan, ia adalah salah satu doktrin

iii

pengorganisasian legitimasi kekuasaan, yaitu semacam sistem operasi


dari
pengorganisasian sosial-politik ini. Eropa abad pertengahan mengenal, selain kedaulatan
(sovereignty), ada suzerainty (berbasis upeti), imperialisme, Kristendom, dan perbanditan.
Jadi, saat kita berbicara negara, maka disadari atau tidak, kita selalu memaksudkan secara
spesifik Negara Berdaulat (ala Capet Perancis) dengan kedaulatan teritorial yang ditahbiskan
melalui perjanjian Westphalia 1648. Spesifisitas negara berdaulat ini penting untuk selalu
disadari. Tanpanya, kita akan secara brutal menyamakan bentuk negara satu dengan lainnya,
yang padahal punya logika kedaulatan-nya sendiri masing-masing.
Berdasarkan peringatan ini dengan demikian penulis tidak bermaksud mengklaim
bahwa argumen dalam buku ini bisa diterapkan untuk semua model negara di tiap epos sejarah.
Sekali lagi, negara berdaulat yang dimaksud studi ini adalah negara berdaulat modern versi
Perjanjian Damai Westphalia 1648 yang dicirikan dengan tiga fitur utama: sentralisasi
pemerintahan di bawah seorang pemimpin; penciptaan batas teritorial terbatas; dan
pengakuan kedaulatan satu dengan lainnya di dalam komunitas negara berdaulat (hubungan
internasional). Kehadiran tiga fitur ini secara bersamaan, tidak akan kita temukan di model
kedaulatan lainnya. Perlu studi ekstensif untuk memetakan logika kedaulatan lain ini, lalu
menelisik kontradiksi internalnya, dan akhirnya mencarikan alternatif atasnya.
Kembali ke permasalahan mendasar dengan negara. Karena tipe spesifik kedaulatan
adalah model Westphalia, maka permasalahan dengan kedaulatan adalah permasalahan
spesifik bawaan dari model Westphalia. Tentu saja sampai hari ini, model Westphalia sudah
berkembang, namun demikian berani saya klaim, seluruh mutasi model kedaulatan Westphalia
yang marak di pelataran opini publik kita hari ini (mis. liberal, neoliberal, sosdem, sosialiskomunis, negara kesejahteraan, persemakmuran, bahkan Khilafah), masihlah secara ontologis
bercorak Westphalian. Persis seperti the botol Sosro: (si)apapun idiologinya, bentuk
pemerintahannya, atau presidennya , kedaulatannya tetap kedaulatan Westphalia.
Problem kedaulatan Westphalia adalah pada legitimasi berbasis-teritorialnya. Teritori,
dan bukan rakyat (!!!), yang menjadi kartu truf kedaulatan Westphalia. Diasumsikan, dengan
menjaga teritorinya, maka rakyat akan sejahtera. Tak pelak jargon-jargon integrasi,
kesatuan, keutuhan, dst., menjadi wajar diutarakan, dan laku! Pemerintahan, selalu adalah
pemerintahan akan segala sesuatu yang terjadi di dalam batas teritorinya, oikosnya. Kebocoran
dalam pemerintahan akan teritori maka dianggapnya sebagai kebocoran kedaulatan.
Ekstrimnya, teritori menjadi harga mati, sekalipun dibandingkan rakyat. Tidak masalah satu,
dua, seratus, seribu rakyat mati, asal teritori negara tetap utuh. Tidak ada yang salah dengan
ini sebenarnya. Hanya saja, ini oksimoron, terutama apabila dilihat dari obyektivitas logika
kedaulatan: bagaimana mungkin suatu entitas yang didirikan oleh manusia, dan mengaku
untuk manusia, justru malah mengesampingkan manusia, bahkan menir-manusiakan manusia
dalam kesehariannya? Inilah kontradiksi internal logika kedaulatan negara. Sekali lagi,
kontradiksi ini obyektif (imanen dalam negara berdaulat itu sendiri) dan bukan hasil prosesproses subyektif.
Bagaimana menyudahi kontradiksi ini? Apapun itu, jelas: memilih dalam pemilihan
umum bukanlah solusi. Mengapa? Karena memilih dalam pemilihan umum, adalah selalu

iv

memilih dalam konteks negara berdaulat Westphalia. Tapi, tentu saja, untuk memenuhi
ketakutan khas liberal kita, atau mesianisme romantisis kita: memilih bisa menjadi katarsis
sementara. Namun setelah katarsis itu lewat, dengan harapan tagihannya tidak terlalu
membengkak, yang harus kita pikirkan, lalu lakukan adalah memulai proyek-proyek
eksperimental baru untuk mengkonstruksikan suatu model kedaulatan baru. Salah satu kisikisinya kita sudah bisa petik dari problem kedaulatan Westphalia: yaitu bahwa legitimasinya
tidak boleh berbasis teritori.
IMPLIKASI METODOLOGIS: PSIKOGENEALOGI DAN PERJUANGAN FASIS
Implikasi terpenting yang mengikuti pandangan ini adalah pada cara kita memahami
pelembagaan yang-sosial: masyarakat, negara, bangsa, dst. Saya telah mencoba merumuskan
metode baru memahami sejarah pembentukan pelembagaan yang-sosial ini, dalam hal ini
negara berdaulat, dengan mengedepankan primasi hasrat. Metode ini disebut
psikogenealogi. Sebagaimana tersirat dari namanya, psikogenealogi merupakan gabungan
antara psikoanalisis dan genealogi, lebih spesifiknya, psikoanalisis Lacanian dan genealogi
Foucauldian.5 Psikoanalisis Lacan memandang bahwa subyek tercirikan oleh kegegaran (split)
ontologis: konsepsi mengenai (si)apa dirinya, selalu berada dalam tarik-menarik hasratnya
(death drive; yang-riil), masyarakat (yang-simbolik) dan citra-citra ideal (yang-imajiner).
Kegegaran ini merupakan konsekuensi dari terposisikannya subyek di antara dua daya yang
bertentangan: imperatif sosial (norma, nilai, kultur, idiologi), dan hasrat tak sadarnya yang antisosial. Subyek terkutuk selamanya untuk selalu harus bingung memilih mengikuti injungsi
dan perintah eksternal di mana ia hidup, atau lebih mengikuti dorongan bawah sadarnya. Krisis
identitas (atau bahasa ababil-nya krisis jati diri), dalam pandangan ini, menjadi suatu hal yang
wajar dalam hidup manusia. Sementara kedewasaan berarti saat ia mampu mengatasi, atau
setidaknya tampak mampu mengatasi, ketegangan ini. Semakin piawai subyek menipu,
memanipulasi, merekayasa, menyangkali, dan mengakali hasar tak sadarnya yang asosial di
hadapan yang sosial, maka semakin ia menjadi dewasa.
Akibat dari kegegaran ontologis ini adalah munculnya suatu, yang sekaligus menjadi
fitur kedua subyek Lacanian, kegelisahan ontologis. Adalah frustrasi akibat kegagalan
mengatasi (atau membiasakan diri dengan) kegegaran ontologislah yang memunculkan
kegelisahan ontologis ini. Subyek harus mampu menambal kegegarannya jika ingin diterima di

Foucault memang sangat benci pada psikoanalisis. Namun demikian bukan berarti sintesis di antara
foucauldianisme dan psikoanalisis adalah tidak mungkin dilakukan. Jika Foucault menolak melakukannya,
bukan berarti orang lain, penulis misalnya, dilarang melakukannya. Penulis justru melihat potensi besar
dalam penggabungan keduanya. Judith Butler juga melakukan sintesis keduanya, walaupun dengan cara
yang berbeda dari yang penulis lakukan. Butler lebih menekankan bagaimana kekuasaan a la Foucault
memproduksi psikis yang patuh, sementara penulis lebih menekankan kontestasi kekuasaan Foucault yang
menurut penulis merupakan kontestasi subyek gegar Lacanian untuk memperoleh perasaan ke-diri-annya
yang utuh. Lihat Judith Butler, The Psychic Life of Power: Theories in Subjection (Stanford: Stanford Uni
Press, 1997), hal. 197-8. Untuk posisi Foucault terhadap psikoanalisis, lihat Michel Foucault, The Confession
of the Flesh, dalam M. Foucault, Power/Knowledge: Selected Interviews & Other Writings, 1972-1977, peny. C.
Gordon (NY: Pantheon Books, 1980), hal. 192-228.

kehidupan sosial. Namun semenjak kegegaran ini ontologis, maka ia tidak akan pernah benarbenar berhasil menambalnya. Subyek pun akhirnya terkutuk untuk terus-menerus mencoba
menambal kegegaran ini. Upaya untuk menambal kegegaran inilah yang disebut dengan
hasrat. Hasrat, dengan demikian, tidak seharusnya dipahami sebagai sebentuk dorongan untuk
mengakuisisi suatu obyek tertentu sebagaimana pemahaman pada umumnya. Hasrat selalu
berujung pada suatu kegagalan (untuk menambal kegegaran); yang divisikan hasrat adalah
suatu hal yang mustahilkedirian yang tidak gegar. Namun demikian, ia toh tetap dilakukan,
persis seperti Sisifus yang terus-menerus mendorong batu berat menuju puncak bukit.
Salah satu hasrat yang paling fundamental dalam psikoanalisis Lacanian adalah hasrat
narsistik, yaitu hasrat yang terarah pada diri. Visi dari hasrat ini, ekstrimnya, adalah
keselamatan dan kesinambungan eksistensial. Untuk ini, subyek melakukan segala daya upaya.
Pertanyaan yang mungkin terlontar, apa yang memungkinkan subyek untuk bersikeras
melakukan ini semua? Lacan akan menjawab: fantasi. Fantasi adalah sesuatu yang menjadi
panduan bagi subyek untuk berhasrat(si)apa yang harus dihasrati dan bagaimana harus
berhasrat. Fantasi menjadi sumber acuan tentang mode-mode hasrat. Seperti yang
ditandaskan iek,
The problem for us is not are our desire satisfied or not?. The problem is how do we know what
we desire? There is nothing spontaneous, nothing natural about human desires. Our desires are
artificial. We have to be taught to desire.6

Fantasi, dengan demikian, bukanlah sesuatu yang ahistoris, melainkan ia memiliki dimensi
sosial yang spesifik di tiap zaman dan waktu. Begitu pula dengan fantasi ke-diri-an yang utuh
dan sempurna tanpa gegar, perwujudannya memiliki dimensi sosial dan spasio-temporal yang
berbeda-beda seiring zaman. Di sinilah pentingnya mengkombinasikan psikoanalisis Lacanian
dengan genealogi Foucault. Di satu sisi psikoanalisis menawarkan cara membaca prilaku
pemenuhan hasrat, atau yang disebut simptom, di sisi lain genealogi membantu menunjukkan
proses dan faktor-faktor yang mempengaruhi evolusi bentuk material simptom tersebut.
Dengan genealogi, Foucault tidak bermaksud analisis tentang asal-usul. Lebih dari itu,
genealogi merupakan analisis tentang peristiwa apa saja yang terjadi pada asal-usul tersebut,
atau dalam kalimat Foucault, genealogi akan mengembangkan rincian dan peristiwa yang
menyertai setiap permulaan.7 Genealogi merupakan sejarah masa kini (history of the present),
ia mencari tahu bagaimana situasi yang dianggap normal, baik, wajar dan lazim di masa kini bisa
dimungkinkan. Bagi Foucault, sejarah adalah proses normalisasi; yang normal telah dan akan
selalu menjalani suatu proses untuk dijadikan normal; tidak ada sesuatu yang normal dengan
sendirinya. Dengan demikian, genealogi Foucauldian berusaha melacak suksesi suatu diskursus
yang saat ini dianggap normal dalam kaitannya dengan konstelasi kekuasaan di masanya.

6
Slavoj iek, The Perverts Guide to Cinema: Lacanian Psychoanalysis and Film (London: Mount Pleasant
Studios, 2006). [Film Dokumenter]
7
Michel Foucault, Nietzsche, Genealogy dan Sejarah, dalam M.T. Gibbons, peny., Tafsir Politik, terj. Ali
Noer Zaman (Yogyakarta: Qalam, 2002), hal. 325.

vi

Sejarah merupakan pertarungan wacana merebut tahta kebenaran yang hegemonik; sejarah
penguburan wacana-wacana yang kalah; sejarah stigmatisasi rendah wacana-wacana minor.
Psikogenealogi, dengan demikian, melihat pertarungan wacana untuk menjadi rezimik
dan hegemonik sebagai pertarungan subyek-subyek hasrat untuk menjadikan mode hasratnya
sebagai suatu hasrat yang normal, yang wajar, yang sah, yang valid, dan yang universal.
Sejarah, dengan demikian, merupakan pertikaian subyek-subyek tersebut dalam upayanya
untuk saling mengabyeksikan 8 , menyingkirkan, mendeteritorialisasi satu sama lainnya.
Sejarah adalah clash among fascists9: siapa yang kalah, ia tersingkir dan dilenyapkan zaman;
siapa yang menang, ia menjaga keutuhan dan kesinambungan eksistensi dirinya.
Perjuangan fasistik adalah perjuangan paranoid untuk selalu mengantisipasi
kehancuran identitas ke-diri-an dengan tak kenal lelah membangun diri yang (lebih) kokoh dan
(lebih) sempurna. Semenjak ia bersifat paranoid, bayang-bayang ketiadaan eksistensial akan
selalu membayangi subyek fasis tersebut, dan pada gilirannya akan senantiasa mendorongnya
untuk melakukan mekanisme antisipasi defensif. Mekanisme pertahanan fasis sebaiknya
dipahami sebagai sesuatu yang agresif dan membabi-buta ketimbang sesuatu yang pasif dan
bersifat menunggu. Sisi paranoid dari fasis membuatnya tidak tahu dengan pasti sumber
kegelisahan eksistensialnya: apa, siapa, kapan dan dari mana ancaman teror akan identitas kediri-annya berasal adalah hal yang tidak jelas baginya; yang jelas: diri saya sedang dalam
bahaya! Teror akhirnya masuk dan mengkontaminsai sistem kesadaran. Kekerasan teror itu
sendiri pada akhirnya direproduksi terus-menerus secara membabi-buta, korban berjatuhan,
diri semakin terluka: inilah kerinduan fasistik.10 Subyek fasis tak lain adalah gila perang dan
gila kekuasaan.
Dengan mendekati perjuangan fasis secara psikogenealogis, maka dengan jelas dapat
dilihat bahwa inti perjuangan fasis adalah ide, yaitu ide tentang ke-diri-an yang utuh. Fasisme
8

Bagi Julia Kristeva, subyeksi dan abyeksi merupakan dua hal yang tak terpisahkan, ibarat dua sisi pada
satu koin. Subyeksi selalu mensyaratkan abyeksi; dan sebaliknya abyeksi merupakan konsekuensi tak
terelakkan dari subyeksi. Subyeksi, atau proses penggambaran kriteria demarkasi subyek ini, semenjak ia
yang mengkualifikasi dan mendiskualifikasi tubuh, mensyaratkan suatu mekanisme inklusi/eksklusi: menginklusi elemen-elemen yang sah sebagai subyek, dan mengeksklusi elemen-elemen yang tidak sah
sebagai non-subyek. Ekslusi inilah yang disebut Kristeva sebagai abyeksiproses penyingkiran, penolakan,
pembuangan atau deteritorialisasi secara permanen akan something which I do not recognize as a thing.
Seperti petikan epigraf di atas, abyek adalah yang mewakili segala gagasan yang bukan aku, sehingga
aku pun jijik akannya, tidak sudi bersentuhan dengannya, menolak membayangkan tentangnya. Abyek
adalah segala sesuatu yang mengganggu pertama-tama identitas subyek, dan berikutnya seluruh tatanan
sistem subyeksi Simbolik. Lihat Julia Kristeva, The Powers of Horror: An Essay on Abjection, terj. L. S. Roudiez
(NY: Columbia Uni Press, 1982), hal. 1 dan 3.
9
Fasis yang dimaksud disini tidak selalu harus merujuk pada bentuk-bentuk yang terkonsolidasi secara
kurang lebih rapi seperti Nazisme Hitler dan Fasisme Musolini. Fasisme di sini mengikuti sebagaimana yang
dipahami Flix Guattari, yaitu sebagai suatu bentuk sekaligus konsekuensi dari hasrat akan keutuhan
identitas, yang notabene telah selalu dimiliki setiap orang sekalipun dalam aspek yang mikro. Mikrofasisme,
bagi Guattari, adalah fitur fundamental dari hasrat manusis. Lihat Flix Guattari Everybody Wants To Be A
Fascist, terj. S. Fletcher, Semiotext(e) II(3) (1977).
10
Slogan Fasis, sebagaimana iek: enough of enjoyment, enough of debauchery: a victim is necessary.
Andrew Herscher, Everything Provokes Fascism: an interview with Slavoj iek, Assemblage, 33 (Agustus,
1997), hal 63.

vii

adalah perjuangan ide-al. Berbicara tentang yang-ideal, maka tidak akan bisa dilepaskan dari
fase cermin Lacanian (ranah imajiner). Yang-ideal adalah selalu imaji yang disediakan oleh
cermin bagi diri; yang-ideal adalah selalu berupa citraan. Yang-ideal ini akan memberi tahu diri
seperti apa (dan yang bukan seperti) yang seharusnya diupayakan oleh diri, atau dengan kata
lain, yang-ideal memberi tahu yang mana subyek dan yang mana abyek, yang mana ada dan
yang mana tiada. Citraan cermin yang-ideal akan menunjukkan tindakan apa yang
seharusnya dilakukan diri, seperti apa diri harus tampak, pakaian apa yang harus diri pakai, katakata apa yang harus diucapkan diri, pose apa yang harus sering diperagakan diri, bahasa apa
yang harus dipergunakan diri, dst. Citra ke-diri-an idealpenanda utama (master signifier) bagi
Lacaninilah yang mati-matian dikejar oleh sang diri fasis. Semakin cermin ini menunjukkan
citraan yang jauh berbeda dari kondisi diri saat ini, semakin getir kegelisahan diri akan ke-diriannya, dan semakin gigih ia mengupayakan terwujudnya citra tersebut bagi dirinya.
Diri, dengan demikian, menjadi alat yang menghamba dan melayani kepentingan
perjuangan sang fasis demi ide ke-diri-an yang utuh ini. Inilah pentingnya melingustisasi diri;
melepaskan kata diri dari rujukan biologisnya yang berupa tubuh manusia; diri adalah efek
bahasa, efek kekuasaan, efek Simbolik dominan. Kegagalan atribut-atribut simbolik memberi
diri bagi sang fasis inilah yang senantiasa menjadi tanah subur bagi berkembangnya
kegelisahan eksistensial paranoid. Tidak hanya itu, sang fasis pun akan kembali dan kembali
meminta pertanggungan-jawab dari yang-Simbolik untuk memberi diri yang lain dalam
bentuk apapunmulai payudara silikon, alat kelamin baru, busana bermerk, tubuh kekar six
pack, sampai komunitas, agama, negara, dan organisasi internasionalyang dapat
menenangkan kegelisahan eksistensialnya. Fasis akan terus berupaya mengamankan, bahkan
memperluas gestalt diri-nya sampai tak terhingga, sepanjang hal itu memberikan perasaan kediri-an yang utuh bagi sang fasis. Diri, akhirnya, tak lain adalah mesin perang fasis untuk
memperjuangkan gagasan ke-diri-an yang utuh, dan nama lain bagi gagasan ke-diri-an yang
utuh ini tak lain adalah kedaulatan.11
Dalam AUK penulis akan menunjukkan bagaimana baik tubuh manusia maupun negara
berdaulat modern hanya semata-mata merupakan kontainer sementara bagi ide ke-diri-an yang
utuh dan berdaulat. Studi ini juga akan menunjukkan kontinuitas di antara keduanya, dan
bahkan memprediksikan kontinuitas ide ke-diri-an pasca negara gagal mengemban tugasnya
dalam memelihara ide ke-diri-an yang utuh dan berdaulat tersebut.
Jadi, secara analitis, gambar besarnya adalah sebagai berikut: semenjak subyek
dicirikan secara ontologis dengan kegegarannya, maka ia akan senantiasa mengkonstruksi
fantasi untuk mengkompensasi kekurangannya tersebut, dan rela menundukkan diri di bawah
fantasi tersebut. Dalam fantasi ini, subyek memroyeksikan, mendepositkan, menransfer hasrat

11
Untuk ini, penulis amat berhutang pada ide Richard Dawkins yang melihat manusia semata-mata
sebagai kendaraan (vehicle) bagi gen-gen kulturalyang disebutnya memeuntuk bereplikasi, dan
bereplikasi, dan bereplikasi secara terus-menerus. Dua buku seminalnya, Richard Dawkins, The Extended
Phenotype, Oxford Uni Press, 1982) dan The Selfish Gene, edisi revisi (Oxford: Oxford Uni Press, 1989)

viii

mustahilnya akan ke-diri-an yang utuh. Fantasi tidak akan pernah habis, sama seperti
kekurangan fundamental manusia yang abadi. Ada saatnya fantasi keutuhan itu
dimanifestasikan dengan ikatan-ikatan seksual, tribal, nasional, kosmopolitan. Ikatan inipun
dimanifestasikan dengan simbol-simbol tertentu. Namun bisa diduga, itu tidak akan pernah
cukup menenangkan subyek, ia akan berusaha memperluas ikatannya dengan fantasi yang
lebih luas lagi, dan menciptakan simbol lain lagi. Permasalahannya, saat perluasan ini terjadi,
tentu ada subyek fasis lainnya yang harus tersingkirdiabyeksikan. Tentunya pergesekan akan
terjadi, bahkan tidak menutup kemungkinan peperangan: perang diskursus, perang
linguistik/semiotik, bahkan perang fisik.
Dari gambar besar ini sekiranya jelas bahwa dalam aspek paling mikro masyarakat, yaitu
individu, telah terdapat benih-benih fasisme. Sehingga masyarakat sebaiknya didefinisikan
sebagai antagonisme fasis yang tak terhitung jumlahnya. Sejarah berusaha menetralisir
ekspansi fasisme tersebut dengan terus menerus memperkuat simptom realitas. Poin utama
dalam memahami rupa-rupa pelembagaan yang-sosial adalah ini: bukan kolektivitas yang
menjadi utama, melainkan bagaimana suatu diskursus fasis mampu memanipulasi hasrat fasis
lain, menguncinya pada domain simbolik, dan melakukan ekspansi diskursifnya.
Paradoks bagi perang di antara fasis adalah bahwa perang tersebut selalu didedikasikan
demi gagasan-gagasan universal seperti perdamaian, kemajuan, dan kebenaran, seperti kata
filsuf Greko-Roman Tacitus, they make slaughter and they call it peace. 12 Hal ini demikian
karena gagasan-gagasan inilah yang memberikan semangat, motif, atau cause bagi perjuangan
fasistik. Gagasan ini tak lekang di makan zaman, ia pun tak bisa dikorupsi. Fasis adalah fanatik,
idealis, dan radikal dalam memperjuangkan gagasan-gagasan universal ini, karena hanya dalam
gagasan-gagasan inilah identitas ke-diri-an yang utuh dan berdaulat bagi fasis ditemukan.
Seruan-seruan fasistik, misalnya Indonesia butuh pemuda-pemudi yang patriotik,
Demokrasi membutuhkan subyek-subyek rasional, atau juga seruan Abdul Aziz alias Imam
Samudra,
[A]dalah seorang mujahidin yang menjalankan tugas suci (jihad). Mereka (mujahidin) dalam sebuah
operasi heroik yang gemilang, yang belum pernah ada tandingannya, dengan menggunakan pesawat
terbang musuh berhasil menghajar berhala kebanggaan AS.13

Tapi apakah definisi diri-diri inipemuda-pemudi patriotik, subyek-subyek rasional, dan


mujahidin yang menjalankan tugas suci (jihad)? Tidak akan terdapat definisi manunggal yang
fix bagi ini semua. Kegagalan, bahkan ketidak-mungkinan gagasan universal tersebut memberi
diri utuh yang fix bagi fasis, bukannya membuat sang fasis meninggalkan gagasan tersebut,

12
13

Dikutip dari Michael Hardt dan Antonio Negri, Empire (Harvard: Harvard Uni Press, 2000), hal. 3.
Abdul Aziz, Imam Samudra: Aku Melawan Terorisme. (Solo: Jazera, 2004), hal. 185-6.

ix

malah membuatnya semakin gigih dan garang mempertahankannya. Sekali lagi, karena
sifatnya yang metafisik, gagasan tersebut tidak akan bisa korup dan lekang.14
Adalah menarik, dan penting, untuk tidak melihat gagasan-gagasan universal tersebut
secara substansial, melainkan secara fungsional. Apapun makna gagasan (yang notabene juga
medan kontestasi pemaknaan), secantik apapun surga yang dijanjikannya, dan seberat apapun
syarat-syarat untuk menjadi pembelanya, gagasan-gagasan tersebut memiliki fungsi untuk
menjadi pembenar bagi tindakan-tindakan para subyek fasis. Dengan menggeser cara pandang
srukturalisyaitu struktur menentukan prilaku subyekke arah yang lebih humanistik,
maka dapat dilihat bahwa tidak selamanya struktur menguasai subyek, melainkan juga terjadi
gerak sebaliknya, yaitu saat subyek memaknainya (sering kali secara buta) dan mempolitisir
pemaknaan struktur demi membenarkan tindakan-tindakannya. Terjadi over-determinasi antar
struktur-subyek. Sehingga dari pandangan ini, gagasan-gagasan universal tadi tak ubahnya
sebuah komoditas bagi eksistensi sang subyek; universalitas merupakan suatu komoditas
kedaulatan.
Bila pada ekonomi, komoditas berarti apa saja yang bisa dijual demi mendatangkan
profit, maka dengan sedikit modifikasi, komoditas kedaulatan merupakan apa saja yang bisa
dijual, dijadikan retorika, dan dijadikan landasan bagi lestarinya (status quo) kedaulatan.
Semenjak kedaulatan adalah suatu hal yang mustahil bagi subyek fasis, maka subyek fasis aka
berupaya mengkompensasinya dengan terus-menerus mengkomodifikasi gagasan-gagasan
universal tersebut. Sebagai contoh, saat pemerintah berkata pemerintah akan berusaha keras
memperjuangkan kesejahteraan rakyat, maka bukan kesejahteraan rakyat yang menjadi
hasrat pemerintah, melainkan eksistensi pemerintah sebagai pejuang dan penyedia
kesejahteraan rakyat yang dihasratinya. Contoh lain, sebagai mahasiswa, saya tidak bisa
tinggal diam melihat penindasan dimana-manabukan perlawanan terhadap penindasan
yang menjadi hasrat saya, melainkan kerinduan narsistik akan sosok mahasiswa yang heroiklah
yang menjadi obyek hasrat saya. Akhirnya, seluruh kegiatan yang dilakukan oleh subyek fasis,
pada dasarnya dimotivasi untuk memperkuat dan memperkokoh eksistensinya sendiri sebagai
sang berdaulat.
Wacana kebenaran universal, sebagaimana dipahami secara psikogenealogis, bukan
hanya berkaitan dengan argumentasi, justifikasi, pendasaran filosofis-idiologis, dan rationale
bagi suatu norma atau nilai. Ia juga bukan semata-mata berkaitan dengan suatu kepentingan
yang terselubung. Lebih jauh dari itu, Ia merupakan bungkus dari serat-serat ketaksadaran
subyek pengujarnya. Ia adalah kotak pandora yang menyegel rupa-rupa hasrat terlarang. Ia
merupakan pengkodean (coding) sejarah kelam represi hasrat. Ia adalah simptom yang
mengunci rapat-rapat kegegaran dan antagonisme yang mengiringi sejarah realitas dan
subyek, dan para subyek bersekongkol untuk menganggapnya sebagai sesuatu yang normal

14

Penulis amat sangat menyesalkan bagi analisis-analisis ekonomistik yang mereduksi prilaku fasis
sebagai semata-mata akibat keterpurukan dan keterbelakangan ekonomi dan pendidikan. Sekali lagi penulis
tekankan: fasisme adalah utamanya persoalan hasrat, dan ekonomi hanyalah bersifat sekunder.

dan wajar, dan bekerja-sama untuk menyingkirkan wacana-wacana dan subyek fasis lainnya
yang dianggap mengganggu stabilitas wacananya. Persekongkolan ini direproduksi terusmenerus sampai ia menjadi suatu ketaksadaran kolektif. Sampai di sini, sebagai sebuah wacana
kebenaran universal, rezim adalah skandal diskursif. Demikianlah rezim negara berdaulat, ia
pun tak kalah scandalous-nya.15
PENUTUP
Terakhir, buku ini tidak akan terbit tanpa bantuan Geger Riyanto dari penerbit Kepik
Ungu dan tangan dingin Muhammad Damm dalam menyunting buku ini. Kepada keduanya
penulis sampaikan banyak terima kasih.

Ibukota, di mana kedaulatan begitu berisik,


18 November 2014,
HYP
KUTIPAN
Aziz, Abdul, Imam Samudra: Aku Melawan Terorisme. (Solo: Jazera, 2004).
Butler, Judith, The Psychic Life of Power: Theories in Subjection (Stanford: Stanford Uni Press, 1997)
Dawkins, Richard, The Extended Phenotype, Oxford Uni Press, 1982) dan The Selfish Gene, edisi revisi
(Oxford: Oxford Uni Press, 1989)
Foucault, Michel, Nietzsche, Genealogy dan Sejarah, dalam M.T. Gibbons, peny., Tafsir Politik, terj. Ali
Noer Zaman (Yogyakarta: Qalam, 2002).
Foucault, Michel, The Confession of the Flesh, dalam M. Foucault, Power/Knowledge: Selected Interviews
& Other Writings, 1972-1977, peny. C. Gordon (NY: Pantheon Books, 1980).
Gould, Stephen Jay, The Lying Stones of Marrakech (New York: Harmony Books, 2000).
Guattari, Flix, Everybody Wants To Be A Fascist, terj. S. Fletcher, Semiotext(e) II(3) (1977).
Hardt, Michael, dan Antonio Negri, Empire (Harvard: Harvard Uni Press, 2000).
Herscher, Andrew, Everything Provokes Fascism: an interview with Slavoj iek, Assemblage, 33 (Agustus,
1997).
Kristeva, Julia, The Powers of Horror: An Essay on Abjection, terj. L. S. Roudiez (NY: Columbia Uni Press,
1982).
Polimpung, Hizkia Yosie, Asal Usul Kedaulatan: Telusur Psikogenealogis atas Hasrat Mikrofasis Bernegara
(Depok: Penerbit Kepik, 2014)
iek, Slavoj, The Perverts Guide to Cinema: Lacanian Psychoanalysis and Film (London: Mount Pleasant
Studios, 2006). [Film Dokumenter]

15

Lih. AUK, h. 150-164.

xi

Das könnte Ihnen auch gefallen