Sie sind auf Seite 1von 14

11

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

I. Definisi
Bells Palsy (BP) adalah kelumpuhan fasialis perifer akibat proses non-supuratif, nonneoplastik, non-degeneratif primer maupun sangat mungkin akibat edema jinak pada bagian
nervus fasialis di foramen stilomastoideus atau sedikit proksimal dari foramen tersebut, yang
mulainya akut dan dapat sembuh sendiri tanpa pengobatan.
Bells palsy adalah disfungsi nervus facialis, saat saraf ini berjalan di dalam canalis facialis;
kelainan ini biasanya unilateral. Lokasi disfungsi menentukan aspek fungsional nervus
facialis yang tidak bekerja. Pembengkakan saraf di dalam canalis facialis menekan serabutserabut saraf; keadaan ini menyebabkan hilangnya fungsi saraf sementara dan menimbulkan
tipe paralisis facialis lower motor neuron.
Istilah Bells Palsy biasanya digunakan untuk kelumpuhan nervus facialis jenis perifer yang
timbul secara akut, yang penyebabnya belum diketahui, tanpa adanya kelainan
neurologik lain. Pada sebagian besar penderita Bells Palsy kelumpuhannya akan sembuh,
namun pada beberapa diantara mereka kelumpuhannya sembuh dengan meninggalkan gejala
sisa.
II. Anatomi
Nervus facialis (saraf kranial VII) merupakan campuran saraf motorik dan sensorik.
Nervus facialis mempunyai tiga nukleus: (1) nukleus motorik utama, (2) nukleus
parasimpatis, dan (3)nukelus sensorik.
Nervus Facialis terdiri dari dua nucleus motoris di batang otak, yang terdiri dari:
(1) Nucleus Motorik Superior yang bertugas menerima impuls dari gyrus presentralis
kortek serebri kedua belah sisi kanan-kiri dan mengirim serabut-serabut saraf ke otot-otot
mimik di dahi dan orbikularis occuli.
(2) Nucleus Motoris Inferior yang bertugas menerima impuls hanya dari gyrus
presentralis dari sisi yang berlawanan dan mengirim serabut-serabut saraf ke otot-otot mimik
bagian bawah dan platisma.

12

Gambar 1. Anatomi Nervus Facialis


Perjalanan Nervus Facialis
Nervus facialis memiliki radiks motorik dan sensorik. Serabut radiks motorik mula-mula
berjalan ke posterior mengelilingi sisi medial nukleus abdusens. Selanjutnya, serabut-serabut
ini mengelilingi nukleus di bawah colliculus facialis di lantai ventricular quartus. Akhirnya,
berjalan ke anterior dan muncul dari batang otak.
Radiks sensorik (nervus intermedius) dibentuk oleh procesus centralis sel-sel unipolar
ganglion

geniculatum.

Radiks

ini juga mengandung

serabut eferen parasimpatis

postganglionik dari nuklei parasimpatis. Kedua radiks nukleus fasialis muncul dari permukaan
anterior otak antara pons dan medula oblongata. Radiks tersebut berjalan ke lateral di dalam
fossa cranii posterior bersama nervus vestibulocochlearis, kemudian masuk ke meatus
acusticus internus di pars petrosa ossis temporalis. Di bawah meatus, nervus memasuki
canalis facialis dan berjalan ke lateral melalui telinga dalam. Ketika mencapai dinding medial
cavum timpani, nervus melebar membentuk ganglion sensorium geniculatum dan membelok
tajam ke arah belakang di atas promontorium. Di dinding posterior cavum timpani, nervus

13

facialis membelok ke bawah pada sisi medial aditus antrum mastoideum, turun di belakang
pyramis, dan keluar dari foramen stylomastoideum.
Dalam perjalanan nervus facialis memberikan cabang :
(1) Dari

ganglion

genikulatum mengirimkan

serabut

saraf

melalui

ganglion

sfenopalatinum sebagai saraf petrosus superfisialis mayor yang akan menuju glandula
lakrimalis.
(2) Cabang lain dari ganglion genikulatum adalah saraf petrosus superficialis minor yang
melalui ganglion otikum membawa serabut sekreto-motorik ke kelenjar parotis.
(3) Dari nervus facialis pars vertikalis, memberikan cabang-cabang :
(a) Saraf stapedius yang

mensarafi m.stapedius.

Kelumpuhan

saraf

ini

menyebabkan hiperakusis.
(b) Saraf korda timpani yang menuju lidah bagian depan dan berfungsi sensorik untuk
perasaan lidah (rasa asam, asin dan manis). Selain itu saraf korda timpani juga
mempunyai serabut yang bersifat sekreto-motorik yang menuju ke kelenjar
liur submaksilaris dansublingualis.
Distribusi Nervus Facialis
Nukleus motorik mempersarafi otot-otot ekspresi wajah, musculus auricularis, stapedius,
venter posterior musculus digastricus, dan musculus sylohyoideus. Nukleus salivatorius
superior mempersarafi glandula submandibularis dan sublingualis serta glandula nasales dan
palatinae. Nukleus lakrimalis mempersarafi glandula lakrimalis. Nukleus sensorik menerima
serabut-serabut pengecap dari dua pertiga anterior lidah, dasar mulut, dan palatum.
Lesi Nervus Facialis
Bagian nukleus facialis yang mengendalikan otot-otot wajah bagian atas menerima serabut
kortikonuklearis dari kedua hemispherium cerebri sehingga lesi yang mengenai upper motor
neuron hanya menyebabkan paralisis otot-otot wajah bagian bawah. Akan tetapi, pasien
dengan lesi pada nukleus motorius n.facialis atau nervus facialisnya saja-yaitu lesi lower
motor neuron-semua otot wajah pada sisi lesi akan lumpuh. Kelopak mata bawah dan sudut
mulut akan turun. Hal ini dikarenakan bagian nukleus yang mempersarafi otot-otot wajah

14

baigan bawah hanya menerima serabut kortikonuklear dari hemispherium cerebri sisi yang
berlawanan.
III.

Epidemiologi
Bells palsy menempati urutan ketiga penyebab terbanyak dari paralisis fasial akut. Di

dunia, insiden tertinggi ditemukan di Seckori, Jepang tahun 1986 dan insiden terendah
ditemukan di Swedia tahun 1997. Di Amerika Serikat, insiden Bells palsy setiap tahun
sekitar 23 kasus per 100.000 orang, 63% mengenai wajah sisi kanan. Insiden Bells palsy
rata-rata 15-30 kasus per 100.000 populasi. Penderita diabetes mempunyai resiko 29% lebih
tinggi, dibanding non-diabetes. Bells palsy mengenai laki-laki dan wanita dengan
perbandingan yang sama. Akan tetapi, wanita muda yang berumur 10-19 tahun lebih rentan
terkena daripada laki-laki pada kelompok umur yang sama. Penyakit ini dapat mengenai
semua umur, namun lebih sering terjadi pada umur 15-50 tahun. Pada kehamilan trisemester
ketiga dan 2 minggu pasca persalinan kemungkinan timbulnya Bells palsy lebih tinggi
daripada wanita tidak hamil, bahkan bisa mencapai 10 kali lipat.
Di Indonesia, insiden Bells palsy secara pasti sulit ditentukan. Data yang
dikumpulkan dari 4 buah Rumah sakit di Indonesia didapatkan frekuensi Bells palsy sebesar
19,55 % dari seluruh kasus neuropati dan terbanyak pada usia 21 30 tahun. Lebih sering
terjadi pada wanita daripada pria. Tidak didapati perbedaan insiden antara iklim panas
maupun dingin, tetapi pada beberapa penderita didapatkan adanya riwayat terpapar udara
dingin atau angin berlebihan.
IV.

Patofisiologi
Para ahli menyebutkan bahwa pada Bells palsy terjadi proses inflamasi akut pada nervus

fasialis di daerah tulang temporal, di sekitar foramen stilomastoideus. Bells palsy hampir selalu
terjadi secara unilateral. Patofisiologinya belum jelas, tetapi salah satu teori menyebutkan
terjadinya proses inflamasi pada nervus fasialis yang menyebabkan peningkatan diameter nervus
fasialis sehingga terjadi kompresi dari saraf tersebut pada saat melalui tulang temporal.
Perjalanan nervus fasialis keluar dari tulang temporal melalui kanalis fasialis yang mempunyai
bentuk seperti corong yang menyempit pada pintu keluar sebagai foramen mental. Dengan
bentukan kanalis yang unik tersebut, adanya inflamasi, demyelinisasi atau iskemik dapat

15

menyebabkan gangguan dari konduksi. Impuls motorik yang dihantarkan oleh nervus fasialis
bisa mendapat gangguan di lintasan supranuklear, nuklear dan infranuklear. Lesi supranuklear
bisa terletak di daerah wajah korteks motorik primer atau di jaras kortikobulbar ataupun di
lintasan asosiasi yang berhubungan dengan daerah somatotropik wajah di korteks motorik
primer.
Paparan udara dingin seperti angin kencang, AC, atau mengemudi dengan kaca jendela
yang terbuka diduga sebagai salah satu penyebab terjadinya Bells palsy. Karena itu nervus
fasialis bisa sembab, ia terjepit di dalam foramen stilomastoideus dan menimbulkan kelumpuhan
fasialis LMN. Pada lesi LMN biasa terletak di pons, di sudut serebelo-pontin, di os petrosum
atau kavum timpani, di foramen stilomastoideus dan pada cabang-cabang tepi nervus fasialis.
Lesi di pons yang terletak di daerah sekitar inti nervus abdusens dan fasikulus longitudinalis
medialis. Karena itu paralisis fasialis LMN tersebut akan disertai kelumpuhan muskulus rektus
lateralis atau gerakan melirik ke arah lesi. Selain itu, paralisis nervus fasialis LMN akan timbul
bersamaan dengan tuli perseptif ipsilateral dan ageusia (tidak bisa mengecap dengan 2/3 bagian
depan lidah). Berdasarkan beberapa penelitian bahwa penyebab utama Bells palsy adalah
reaktivasi virus herpes (HSV tipe 1 dan virus herpes zoster) yang menyerang saraf kranialis.
Terutama virus herpes zoster karena virus ini menyebar ke saraf melalui sel satelit. Pada radang
herpes zoster di ganglion genikulatum, nervus fasialis bisa ikut terlibat sehingga menimbulkan
kelumpuhan fasialis LMN.

16

Kelumpuhan pada Bells palsy akan terjadi bagian atas dan bawah dari otot wajah
seluruhnya lumpuh. Dahi tidak dapat dikerutkan, fisura palpebra tidak dapat ditutup dan pada
usaha untuk memejam mata terlihatlah bola mata yang berbalik ke atas. Sudut mulut tidak bisa
diangkat. Bibir tidak bisa dicucurkan dan platisma tidak bisa digerakkan. Karena lagoftalmos,
maka air mata tidak bisa disalurkan secara wajar sehingga tertimbun. Gejala-gejala pengiring
seperti ageusia dan hiperakusis tidak ada karena bagian nervus fasialis yang terjepit di foramen
stilomastoideum sudah tidak mengandung lagi serabut korda timpani dan serabut yang
mensyarafi muskulus stapedius.

V. Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala klinis pada Bells Palsy menurut (Chusid,1983) adalah:

17

a)

Lesi diluar foramen stilomastoideus: Muncul tanda dan gejala sebagai berikut : mulut
tertarik ke sisi mulut yang sehat, makanan terkumpul di antara gigi dan gusi, sensasi
dalam pada wajah menghilang, tidak ada lipatan dahi dan apabila mata pada sisi lesi
tidak tertutup atau tidak dilindungi maka air mata akan keluar terus-menerus.

b)

Lesi di canalis facialis dan mengenai nervus korda timpani: Tanda dan gejala sama
seperti penjelasan pada poin diatas, ditambah dengan hilangnya ketajaman pengecapan
lidah bagian anterior dan salivasi di sisi lesi berkurang. Hilangnya daya pengecapan
pada lidah menunjukkan terlibatnnya nervus intermedius, sekaligus menunjukkan lesi di
daerah antara pons dan titik di mana korda timpani bergabung dengan nervus
facialis di canalis facialis.

c)

Lesi yang tinggi dalam canalis facialis dan mengenaimuskulus stapedius: Tanda dan
gejala

seperti

penjelasan

pada

kedua

poin

diatas,

ditambah

dengan

adanya hiperakusis(pendengaran yang sangat tajam).


d)

Lesi yang mengenai ganglion genikuli: Tanda dan gejala seperti penjelasan pada ketiga
poin diatas, disertai dengan nyeri dibelakang dan didalam liang telinga dan dibelakang
telinga.

e)

Lesi di meatus akustikus internus: Tanda dan Gejala sama seperti

kerusakan

pada ganglion genikuli, hanya saja disertai dengan timbulnya tuli sebagai akibat
terlibatnya nervus vestibulocochlearis.
f)

Lesi di tempat keluarnya nervus facialis dari pons: Tanda dan gejala sama seperti di atas
disertai tanda dan gejala terlibatnya nervus trigeminus, nervus abducens, nervus
vestibulococlearis, nervus accessorius dan nervus hypoglossus.

VI. Cara Menegakkan Diagnosis


Anamnesis:
-

Biasanya timbul secara mendadak, penderita menyadari adanya kelumpuhan pada


salah satu sisi wajahnya pada waktu bangun pagi, bercermin atau saat sikat
gigi/berkumur atau diberitahukan oleh orang lain/keluarga bahwa salah satu sudutnya

lebih rendah.
Tidak bisa menutup mata dengan sempurna

Otalgia (nyeri pada telinga)

18

Hiperakusis (sensitifitas berlebihan terhadap suara)

Gangguan atau kehilangan pengecapan.

Riwayat pekerjaan dan adakah aktivitas yang dilakukan pada malam hari di ruangan
terbuka atau di luar ruangan.

Riwayat penyakit yang pernah dialami oleh penderita seperti infeksi saluran
pernafasan, otitis, herpes, dan lain-lain.

Pemeriksaan:
-

Pemeriksaan neurologis ditemukan parese N.VII tipe perifer.

Gerakan volunteer yang diperiksa, dianjurkan minimal:


1. Mengerutkan dahi
2. Memejamkan mata
3. Mengembangkan cuping hidung
4. Tersenyum
5. Bersiul
6. Mengencangkan kedua bibir

Bells palsy hampir selalu unilateral. Gambaran klinis dapat berupa hilangnya semua
gerakan volunter pada kelumpuhan total. Pada sisi wajah yang terkena, ekspresi akan
menghilang sehingga lipatan nasolabialis akan menghilang. Bila penderita disuruh untuk
memejamkan matanya maka kelopak mata pada sisi yang lumpuh akan tetap terbuka
(disebut lagoftalmus) dan bola mata berputar ke atas (phenomena Bell). Karena kedipan
mata berkurang maka akan terjadi iritasi oleh debu dan angin, sehingga menimbulkan
epifora. Dalam mengembungkan pipi terlihat bahwa pada sisi yang lumpuh tidak
mengembung. Disamping itu makanan cenderung terkumpil diantara pipi dan gusi yang

19

lumpuh. Selain kelumpuhan seluruh otot wajah sesisi, tidak didapati gangguan lain yang
mengiringnya, bila paresisnya benar-benar bersifat Bells palsy.
VII.Indikator
SKALA UGO FISCH untuk mengevaluasi kemajuan motorik penderita Bells palsy.
Dinilai kondisi simetris atau asimetris antara sisi sehat dan sisi sakit pada 5 posisi:
POSISI

NILAI

Istirahat
Mengerutkan Dahi
Menutup Mata
Tersenyum
Bersiul
TOTAL

20
10
30
30
10

PERSENTASE (%)

SKOR

0, 30, 70, 100

Ada 3 pola penilaian yaitu:


Subjective Global Evaluation, dimana penderita sendiri yang diminta menilai dirinya
(mengamati wajah dengan cermin).
Objective Global Evaluation, atau Physicians Global Evaluation
Physicians Detailed Evaluation
Penilaian presentase:
-

0% : asimetris komplit, tidak ada gerakan volunter

30% : simetri, poor/jelek, kesembuhan yang ada lebih dekat ke asimetris komplit
daripada simetris normal.

70% : simetris, fair/cukup, kesmbuhan parsial yang cenderung kea rah normal.

100% : simetris, normal komplit.

Misalnya dalam menutup mata nilai fair (70%), maka didapat 70%x30 point = 21 point.
Kemudian ke-5 penilaian dijumlahkan. Pada keadaan normal nilai yang didapat adalah 100.
Makin besar nilai yang didapat maka prognosis neurologis maupun fungsional akan lebih baik.
VIII. Pemeriksaan Penunjang

Uji kepekaan saraf (nerve excitability test)

20

Pemeriksaan ini membandingkan kontraksi otot-otot wajah kiri & kanan setelah diberi
rangsang listrik. Perbedaan rangsang lebih 3,5 mA menunjukkan keadaan patologik dan
jika lebih 20 mA menunjukkan kerusakan it fasialis ireversibel.

Uji konduksi saraf (nerve conduction test)


Pemeriksaan untuk menentukan derajat denervasi dengan cara mengukur kecepatan
hantaran listrik pada n. fasialis kiri dan kanan.

Elektromiografi
Pemeriksaan yang menggambarkan masih berfungsi atau tidaknya otot-otot wajah.

Uji fungsi pengecap 2/3 bagian depan lidah


pemeriksaan fungsi pengecap dengan cara sederhana yaitu rasa manis (gula), rasa asin
dan rasa pahit (pil kina).
Elektrogustometri membandingkan reaksi antara sisi yang sehat dan yang sakit dengan
stimulasi listrik pada 2/3 bagian depan lidah terhadap rasa kecap pahit atau metalik.
Gangguan rasa kecap pada BP menunjukkan letak lesi n. fasialis setinggi khorda timpani
atau proksimalnya.

Uji Schirmer
Pemeriksaan ini menggunakan kertas filter khusus yang diletakkan di belakang kelopak
mata bagian bawah kiri dan kanan. Penilaian berdasarkan atas rembesan air mata pada
kertas filter;berkurang atau mengeringnya air mate menunjukkan lesi n. fasialis setinggi
ggl. genikulatum

CT SCAN/MRI
IX. Diagnosis Banding
Otitis media
Ramsay Hunt Syndrome
Lyme Disease
Polineuropati
tumor metastase
multiple sklerosis
X. Terapi
a) Terapi medikamentosa : Golongan kortikosteroid sampai sekarang masih kontroversi juga
dalam diberikan neurotropik. Kortikosteroid, misalnya Prednison harus diberikan dalam

21

waktu tidak lebih dari 2 hari setelah timbulnya gejala dan dilanjutkan sampai 1-2 minggu.
Dosis 1mg/kg bb /hari atau 60mg p.o diturunkan sec tapp off.
b) Terapi operatif : Tindakan bedah dekompresi masih kontroversi.
c) Rehabilitasi Medik

REHABILITASI MEDIK PADA PENDERITA BELLS PALSY


Rehabilitasi medik menurut WHO adalah semua tindakan yang ditunjukan guna
mengurangi dampak cacat handicap serta meningkatkan kemampuan penyandang cacat
mengenai intergritas sosial.
Tujuan rehabilitasi medik adalah:
1. Meniadakan keadaan cacat bila mungkin
2. Mengurangi keadaan cacat sebanyak mungkin
3. Melatih orang dengan sisa keadaan cacat badan untuk dapat hidup dan bekerja dengan
apa yang tertinggal.
Untuk mencapai keberhasilan dalam tujuan rehabilitasi yang efektif dan efisien maka
diperlukan tim rehabilitasi medik yang terdiri dari dokter, fisioterapi, okupasi terapis, ortotis
prostetis, ahli wicara, psikolog, petugas sosial medik dan perawat rehabilitasi medik. Sesuai
dengan konsep rehabilitasi medik yaitu usaha gabungan terpadu dari segi medik, sosial dan
kekaryaan, maka tujuan rehabilitasi medik pada Bells palsy adalah untuk mengurangi/mencegah
paresis menjadi bertambah dan membantu mengatasi problem sosial serta psikologinya agar
penderita tetap dapat melaksanakan aktivitas kegiatan sehari-hari. Program-program yang
diberikan adalah program fisioterapi, okupasi, social medik, psikolog dan ortotik prostetik,
sedang program perawatan pesawat rehabilitasi dan terapi wicara tidak banyak berperan.
Program Fisioterapi
1. Pemanasan
a) Pemanasan superficial dengan infra red.
b) Pemanasan dalam berupa Shortwave Diathermy atau Microwave Diathermy
2. Stimulasi listrik
Tujuan

pemberian

stimulasi

listrik

yaitu

menstimulasi

otot

untuk

mencegah/memperlambat terjadi atrofi sambil menunggu proses regenerasi dan

22

memperkuat otot yang masih lemah. Misalnya dengan faradisasi yang tujuannya adalah
untuk menstimulasi otot, redukasi dari aksi otot, melatih fungsi otot baru, meningkatkan
sirkulasi serta mencegah/meregangkan perlengketan. Diberikan 2 minggu setelah onset.
3. Latihan otot-otot wajah dan massage wajah
Latihan gerak volunter diberikan setelah fase akut, latihan berupa mengangkat alis
tahan 5 detik, mengerutkan dahi, menutup mata dan mengangkat sudut mulut, tersenyum,
bersiul/meniup (dilakukan didepan kaca dengan konsentrasi penuh).
Massage adalah manipulasi sitemik dan ilmiah dari jaringan tubuh dengan
maksud untuk perbaikan/pemulihan. Pada fase akut, Bells palsy diberi gentle massage
secara perlahan dan berirama. Gentle massage memberikan efek mengurangi edema,
memberikan relaksasi otot dan mempertahankan tonus otot. Setelah lewat fase akut diberi
Deep Kneading Massage sebelum latihan gerakan volunteer otot wajah. Deep Kneading
Massage memberikan efek mekanik terhadap pembuluh darah vena dan limfe,
melancarkan pembuangan sisa metabolik, asam laktat, mengurangi edema, meningkatkan
nutrisi serabut-serabut otot dan meningkatkan gerakan intramuskuler sehingga
melepaskan perlengketan. Massage daerah wajah dibagi 4 area yaitu dagu, mulut, hidung
dan dahi. Semua gerakan diarahkan keatas, lamanya 5-10 menit.

23

Program Terapi Okupasi


Pada dasarnya terapi disini memberikan latihan gerakan pada otot wajah. Latihan
diberikan dalam bentuk aktivitas sehari-hari atau dalam bentuk permainan. Perlu diingat bahwa
latihan secara bertahap dan melihat kondisi penderita, jangan sampai melelahkan penderita.
Latihan dapat berupa latihan berkumur, latihan minum dengan menggunakan sedotan, latihan
meniup lilin, latihan menutup mata dan mengerutkan dahi di depan cermin.

Program Sosial Medik


Penderita Bells palsy sering merasa malu dan menarik diri dari pergaulan sosial. Problem
sosial biasanya berhubungan dengan tempat kerja dan biaya. Petugas sosial medik dapat
membantu mengatasi dengan menghubungi tempat kerja, mungkin untuk sementara waktu
bekerja pada bagian yang tidak banyak berhubungan dengan umum. Untuk masalah biaya,
dibantu dengan mencarikan fasilitas kesehatan di tempat kerja atau melalui keluarga. Selain itu
memberikan penyuluhan bahwa kerja sama penderita dengan petugas yang merawat sangat
penting untuk kesembuhan penderita.
Program Psikologik
Untuk kasus-kasus tertentu dimana ada gangguan psikis amat menonjol, rasa cemas
sering menyertai penderita terutama pada penderita muda wanita atau penderita yang mempunyai
profesi yang mengharuskan ia sering tampil di depan umum, maka bantuan seorang psikolog
sangat diperlukan
Program Ortotik Prostetik

24

Dapat dilakukan pemasangan Y plester dengan tujuan agar sudut mulut yang sakit tidak
jatuh. Dianjurkan agar plester diganti tiap 8 jam. Perlu diperhatikan reaksi intoleransi kulit yang
sering terjadi. Pemasangan Y plester dilakukan jika dalam waktu 3 bulan belum ada perubahan
Zygomaticus selama parase dan mencegah terjadinya kontaktur.
HOME PROGRAM
1. Kompres hangat daerah sisi wajah yang sakit selama 20 menit
2. Massage wajah yang sakit ke arah atas dengan menggunakan tangan dari sisi wajah yang
sehat
3. Latihan tiup lilin, berkumur, makan dengan mengunyah disisi yang sakit, minum dengan
sedotan, mengunyah permen karet
4. Perawatan mata:
a) Beri obat tetes mata (golongan artifial tears) 3x sehari
b) Memakai kacamata gelap sewaktu berpergian siang hari
c) Biasakan menutup kelopak mata secara pasif sebelum tidur

Das könnte Ihnen auch gefallen