Sie sind auf Seite 1von 26

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Menentukan jenis kelamin berdasarkan tanda-tanda kelamin
sekunder atas bayi yang dilahirkan normal tidaklah sulit sehingga orang
awampun dapat melakukannya dengan tepat. Namun untuk bayi
tertentu, penentuan jenis kelamin tidaklah mudah dan sederhana.
Masalahnya adalah karena ada beberapa bentuk ambigu (rancu) yang
menggambarkan

adanya

kombinasi

karakteristik

laki-laki

dan

perempuan dengan berbagai tingkat variasinya. Maka jika seandainya


bentuk laki-laki yang sempurna ditempatkan pada satu kutub dan
bentuk perempuan sempurna pada kutub lain dan kemudian ditarik
garis kontinum yang menghubungkan kedua kutub tadi, akan ada
bentuk-bentuk antara yang sering disebut intersex, kelamin ganda,
kerancuan genital (sexual ambiguity) atau lebih tepatnya Disorders of
Sexual Development.
Pembahasan medis dalam hal ini mengungkapkan bahwa orang dengan jelamin
ganda adalah penderita interseksual yaitu suatu kelainan di mana penderita memiliki ciriciri genetik, anatomik dan atau fisiologik meragukan antara pria dan wanita. Gejala klinik
interseksual sangat bervariasi, mulai dari tampilan sebagai wanita normal sampai pria
normal, kasus yang terbanyak berupa alat kelamin luar yang meragukan. Kelompok
penderita ini adalah benar-benar sakit secara fisik (genitalnya) yang berpengaruh pada
kondisi psikologisnya.
Dalam agama islam, diskusi mengenai khun a, sebenarnya bukanlah diskusi
yang asing dalamranah hukum Islam. Namun, belakangan ini mulai disadari bahwa
masalah khuna terasa semakin pelik dan kompleks utamanya jika dihadapkan dengan
masalah global seperti HAM dan perkembangan iptek di masyarakat. Dalam hukum Islam
khun a biasa dipahami sebagai orang dengan kelamin ganda atau orang dengan
ketidakjelasan jenis kelamin. Dalam masyarakat awam, definisi ini biasa dereduksi
dengan sebuah terma banci. Orang-orang dengan status banci ini kemudian biasa disebut
waria (singkatan dari wanita-pria). Namun, bagaimana kenyataan seksual yang sebenarnya
1

dari orang- orang ini dilihat dari padangan medis? Bagaimana kemudian implikasi
hukumnya dalam Islam?
Secara hukum, permasalahan ini menimbulkan masalah pelik. Jenis kelamin
merupakan hal yang tidak terpisahkan dari identitas seseorang. Identitas seseorang
merupakan persyaratan mutlak untuk memperoleh perlindungan hukum. Dengan kata lain
dapat dikatakan bahwa seseorang dengan identitas kelamin yang tidak jelas akan
memperolah kenyataan hukum yang tidak jelas pula. Di Indonesia, masalah ini belum tercover dalam undang-undang. Dalam Islam, bisa dikatakan pula bahwa status khun a ini
masih menjadi perdebatan.

1.2 Tujuan Penulisan


Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas tutorial Skenario 4 Blok Gangguan Sistem
Endokrin dan Metabolisme, tentang Disorders of Sex Development (DSD)
1.3 Manfaat Penulisan
Mahasiswa mampu memahami tentang Disorders of Sex Development dan aspekaspek yang meliputi Aspek Agama, Hukum, dan Psikologi yang berpengaruh terhadap
DSD.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1Diferensiasi Seksual Normal
Sel manusia normal terdiri dari 23 pasang kromosom, 22 pasang krornosom
autosomal, dan sepasang kromosom seks yang merupakan penentu perbedaan jenis
kelamin. Pada perempuan ialah XX, dan pada lelaki XY. Sampai pada minggu ke-6 masa
kehamilan, gonad embrio masih belum dapat dibedakan lelaki atau perempuan. Pada masa
ini janin telah mempunyai premordial saluran genital yaitu saluran Muller dan saluran
Wolf, serta mempunyai premordial genitalia eksterna.
Perkembangan genitalia lelaki merupakan suatu proses aktif. Pada minggu ke-7
kehamilan, atas prakarsa Testes Determining Factor yang diproduksi oleh kode gen untuk
seks lelaki, yaitu gen SRY (sex determining region of the y chromosome), gonad
berdiferensiasi menjadi testes. Proses diferensiasi ini melibatkan 3 kelompok sel utama
yaitu sel Sertoli dan sel-sel lainnya yang terbentuk dari tubulus seminiferus, sel Leydig dan
komponen lainnya dari intersisium, dan spermatogonia. Pada minggu ke-8 s/d ke-12 masa
kehamilan, kadar gonadotropin korion plasenta meningkat, dan merangsang sel Leydig
janin untuk mengeluarkan testoteron serta merangsang sel sertoli untuk mengeluarkan
Mullerian inhibiting factor. Testosteron akan merangsang diferensiasi saluran Wolf
menjadi epididimus, vasa deferens, vesikula seminalis, dan saluran ejakulator lelaki.
Sedangkan Mullerian inhibiting factor akan menyebabkan involusi pada prekusor
embriogenik dari tuba fallopii, uterus, serviks, dan sepertiga bagian atas vagina. Pada
minggu ke-9 kehamilan, enzim 5-reduktase dari sel target akan mengubah sebagian
testosteron menjadi 5-dihidrotestosteron, dan dihidrotesteron inilah yang merangsang
terjadinya diferensiasi alat kelamin luar lelaki, merangsang pertumbuhan tuberkel genital,
fusi lekuk uretra, dan pembengkakan labioskrotal untuk membentuk glans penis, penis, dan
skrotum.
Perkembangan genitalia perempuan lebih sederhana bila dibandingkan dengan
perkembangan genitalia lelaki. Pada minggu ke-7 s/d ke-12 masa kehamilan, sejumlah sel
3

germinal mengalami transisi dari oogonia menjadi oosit, sehingga terjadi diferensiasi dari
gonad menjadi ovarium. Saluran Muller berkembang menjadi tuba fallopii, uterus, serviks,
dan sepertiga bagian atas vagina, sedangkan saluran Wolf menjalani proses regresi. Pada
diferensiasi genitalia eksterna perempuan, tuberkel genital tetap kecil dan membentuk
klitoris. Lekuk uretra membentuk labia minora, dan lekuk labioskrtital membentuk labia
mayora.
Bila terjadi gangguan pada proses perkembangan genitalia yang demikian kompleks,
xmaka akan terjadi kelainan pada genitalia sesuai dengan pada tahapan dimana gangguan
terjadi.

2.2 Disorders of Sexual Development (DSD)


2.2.1Definisi
Suatu keadaan tidak terdapatnya kesesuaian karakteristik yang menentukan jenis
kelamin seseorang, atau bisa juga disebutkan sebagai seseorang yang mempunyai jenis
kelamin ganda (= ambiguous genitalia). Genitalia meragukan adalah kelainan yang
5

menyebabkan jenis kelamin tidak sesuai dengan klasifikasi tradisional laki-laki atau
perempuan. Dicurigai ambigius genitalia apabila alat kelamin kecil disebut penis terlalu
kecil sedangkan klitoris terlalu besar, atau bilamana skrotum melipat pada garis tengah
sehingga tampak seperti labia mayora yang tidak normal dan gonad tidak teraba. Namun
harus diketahui bahwa semua ambigius genitalia pada bayi baru lahir mengakibatkan
tampilan genital yang meragukan, misalnya hipospadia, genitalnya jelas mengalami
malformasi walaupun jenis kelamin tidak diragukan lagi adalah laki-laki.
2.2.2Klasifikasi,

Patofisiologi,

dan

Manifestasi

Klinis

Disorders

of

Sexual

Development (DSD)

1) Gangguan pada gonad dan atau kromosom.


Yang termasuk dalamn klasifikasi ini antara lain hermafrodit sejati, disgenesis gonad
campuran, disgenesis gonad yang berhubungan dengan kromosom Y, dan testes rudimenter
atau sindrom anorkia.
Hermafrodit sejati.
Pada hermafrodit sejati, jaringan ovarium dan testes dapat ditemukan sebagai pasangan
yang terpisah atau kombinasi keduanya di dalam gonad yang sama dan disebut sebagai
ovotestis
Disgenesis gonad campuran.
6

Pada disgenesis gonad campuran ini biasanya ditemukan testes unilateral dan fungsional
abnormal.
Disgeriesis gonad dengan translokasi kromosom Y.
Pada kelainan ini ditemukan disgenesis gonad, namun dari hasil pemeriksaan analisis
kromosom menunjukkan adanya translokasi kromosom Y.
Testes rudimenter atau sindrom anorkia.
Ditemukan pada lelaki 46 XY dengan diferensiasi seksual normal sejak minggu ke-8 s/d
13, tetapi kemudian testes menjadi sangat kecil atau anorkia komplit. Struktur saluran
interna adalah lelaki. Terjadi kegagalan pada proses virilisasi.
2) Maskulinisasi dengan genetik perempuan (46 XX DSD)
Terdapat pada seseorang dengan kromosom 46 XX, ovarium tidak ambiguous dan tidak
ditemukan komponen testis di gonad, sehingga struktur saluran Muller tidak mengalami
regressi. Terjadinya maskulinisasi akibat terdapatnya androgen dalarn jumlah berlebihan
dari sumber endogen atau eksogen, yang merangsang janin perempuan terutama sebelum
minggu ke-12 masa kehamilan, sehingga genitalia eksterna mengalami virilisasi.
Sebab-sebab paling umum dari kelainan ini adalah Congenital adrenal hyperplasia (CAH)
yang menyebabkan kekurangan/ ketidakhadiran ensim 21-hidroksilase, 11-hidroksilase
dan 3-hidroksilase dehidrogenase.
Congenital adrenal hyperplasia (CAH) merupakan penyebab terbesar kasus interseksual
dan kelainan ini diturunkan lewat ayah dan ibu yang sebagai pembawa separo sifat
menurun dan penderitanya bisa laki-laki dan perempuan yang mendapatkan kedua paroan
gen abnormal tersebut dari kedua orang tuanya.
Penyakit ini digolongkan menjadi tipe yang klasik dan non klasik. Tipe yang klasik ini bisa
menunjukkan gejala kehilangan garam tubuh (natrium) sampai terjadi syok, sehingga
sering meninggal pada bulan pertama setelah lahir, sebelum diagnosis bisa ditegakkan.
Sedang yang tidak menununjukan gejala kekurangan garam bisa bertahan hidup yaitu pada
wanita disertai gejala maskulinisasi dan pada laki-laki dengan gejala pubertas dini tanpa
disertai gejala keraguan alat kelamin sehingga laki-laki sering tidak datang berobat. Pada
pengalaman di klinik kenyataanya hampir tidak pernah tertangkap penderita laki-laki.
Penderita perempuan menunjukkan gejala pembesaran kelentit (klitoris) yang mirip penis
sejak lahir atau pada yang lebih ringan akan muncul setelah lahir. Anak-anak penderita
7

CAH akan tumbuh cepat tapi kemudian pertumbuhan akan berhenti lebih awal, sehingga
pada keadaan dewasa mereka akan lebih pendek dari ukuran tinggi badan normal. Pada
tipe yang non klasik gejala muncul setelah 5-6 tahun dengan maskulinisasi yang lebih
ringan, pembesaran klitoris akan muncul belakangan.
Maskulinisasi pada penderita CAH dengan genetik wanita hanya mungkin terjadi
akibat adanya hormon androgen ekstragonad (dari luar gonad) yang dapat berasal dari
endogen mau pun eksogen, karena pada penderita ini tidak ditemukan testis yang
merupakan penghasil utama hormon androgen. Manifestasi klinik dari hormon androgen
yang berlebihan ini terbatas pada alat genital bagian luar dan derajat berat-ringannya
kelainan tergantung pada tahap pertumbuhan seksual saat terjadinya paparan hormon
androgen tersebut. Pada penderita kelainan ini tidak akan ditemukan organ laki-laki bagian
dalam. Pada keadaan ringan sering munculnya pembesaran kelentit (menjadi seperti penis)
pada wanita setelah lahir, sehingga masyarakat menganggap alat kelaminnya berubah dari
wanita menjadi laki-laki. Penyakit ini bisa diobati, untuk menghindari gejala yang lebih
berat pengobatan harus dilakukan sedini mungkin dan seumur hidup. Penapisan pada bayi
baru lahir seharusnya dilakukan di Indonesia karena prevalensi penyakit ini cukup tinggi.
Paparan hormon androgen eksogen bisa disebabkan bahan hormonal yang bersifat
androgenik yang dikonsumsi ibu saat mengandung janin wanita, misalnya preparat
hormonal yang mengandung progestogen, testosteron atau danazol. Berat ringannya
kelainan alat genital janin tergantung dari usia kehamilan, potensi, dosis serta lama
pemakaian obat. Paparan hormon androgen dan progesteron saat usia kehamilan 6-10
minggu dapat berakibat perlekatan pada bagian belakang vagina, skrotalisasi labia dan
pembesaran klitoris. Kelainan organ genitalia yang disebabkan oleh paparan hormon
androgen eksogen mempunyai ciri khas yaitu proses maskulinisasi tidak berjalan progresif
dan tidak didapatkan kelainan biokimiawi. Yang termasuk dalam klasifikasi ini antara lain
Hiperplasia Adrenal Kongenital, Androgen berlebihan bersumber dari Ibu atau obat-obatan
yang diperoleh Ibu semasa kehamilan, dan Defisiensi Aromatase.

3) Maskulinisasi tak lengkap pada genetik lelaki (46 XY DSD)


Terdapat pada seseorang dengan kromosom 46 XY dan mempunyai testes.
Maskulinisasi tak lengkap disebabkan oleh adanya gangguan sintesis atau sekresi
testosteron janin, atau gangguan konversi testosteron menjadi dihidrotestosteron,

kekurangan atau kerusakan aktivitas reseptor androgen atau kerusakan produksi dan aksi
lokal dari Mullerian inhibiting factor.
Ada beberapa jenis cacat hormon laki-laki yang menimbulkan gejala hermaprodit
semu laki-laki antara lain: yang paling sering adalah Sindrom Resistensi Androgen atau
Androgen Insensitivity Syndrome (AIS) atau Testicular Feminization Syndrome .Penyakit
ini merupakan penampilan hermaprodit semu laki-laki yang paling sering dijumpai di
klinik. AIS merupakan kelompok kelainan yang sangat heterogen yang disebabkan tidak
atau kurang tanggapnya reseptor androgen atau sel target terhadap rangsangan hormon
testosteron. AIS diturunkan melalui jalur perempuan (ibu), perempuan adalah pembawa
sifat yang menurunkan, penderita hanya pada laki-laki. Kejadian AIS dalam satu keluarga
adalah hal yang sering dijumpai tetapi ternyata 1/3 kasus AIS tidak mempunyai riwayat
keluarga yang positif. AIS dapat terjadi dalam bentuk complete Androgen Insensitivity
Syndrome

(CAIS)

atau

incomplete/partial

Androgen

Insensitivity

Syndrome

(PAIS).Penderita PAIS adalah laki-laki dengan kelainan alat kelamin luar yang sangat
bervariasi, kadang-kadang bahkan terdapat pada beberapa pria normal yang tidak subur.
Penderita PAIS mempunyai penis yang kecil yang tampak seperti pembesaran cltoris,
disertai dengan hipospadia berat (jalan kencing bocor ditengah tidak melewati penis) yang
membelah skrotum sehingga tampak seperti lubang vagina. Skrotum kadang tidak
menggantung dengan testis umumnya berukuran normal dan terletak pada abdomen,
selakangan atau sudah turun kedalam skrotum. Pada usia dewasa sering tumbuh payudara
dan keluarnya jakun, walaupun tidak disertai perubahan suara
Pada CAIS, penderita dengan penampilan seperti perempuan normal, dengan alat
kelamin luar seperti wanita, mempunyai vagina yang lebih pendek dari normal,dan
payudara akan tumbuh mulai masa prepubetas dengan hasil pemeriksaan kromosom
menunjukkan 46,XY (sesuai kromosom pada laki-laki) dan kadar hormon testosteron
normal atau sedikit meningkat. Pada pemeriksaan fisik dan USG akan teraba atau tampak 2
testis yang umumnya tidak berkembang dan terletak dalam rongga perut atau selakangan,
tanpa struktur alat genital dalam wanita. Individu dengan CAIS sering menunjukkan gejala
seperti hernia inguinalis (hernia pada selakangan), oleh karena itu pada anak perempuan
prapubertas yang mengalami hernia inguinalis (benjolan pada selakangan) dan gejala tidak
menstruasi sejak lahir, perlu pemeriksaan kromosom.
4) Gangguan pada embriogenesis yang tidak melibatkan gonad ataupun hormon

Kelainan genitalia eksterna dapat terjadi sebagai bagian dari suatu defek dari
embriogenesis. Contoh dari kelainan ini ialah epispadia glandular, transposisi penoskrotal,
penis

yang

dihubungkan

dengan

ahus

imperforata,

dan

klitoromegali

pada

neurofibromatosis.

2.2.3 Diagnosis
Untuk menentukan penyebab terjadinya interseksualitas atau ambiguous genitalia
tidak mudah, diperlukan kerja sama interdisipliner/intradisipliner, tersedianya sarana
diagnostik, dan sarana perawatan. Pada pemeriksaan medis perlu perhatian khusus
terhadap hal-hal tertentu.
1) Anamnesis
Pada anamnesis perlu diperhatikan mengenai :
a) Riwayat kehamilan adakah pemakaian obat-obatan seperti hormonal atau alkohol,
terutama pada trimester I kehamilan.
b) Riwayat keluarga adakah anggota keluarga dengan kelainan jenis kelamin.
c) Riwayat kematian neonatal dini.
d) Riwayat infertilitas dan polikistik ovarii pada saudara sekandung orangtua penderita.
e) Perhatikan penampilan ibu akne, hirsutisme, suara kelaki-lakian.

10

2) Pemeriksaan Fisik
a) Khusus terhadap genitalia eksterna/status lokalis : tentukan apakah testes teraba keduanya,
atau ha nya satu, atau tidak teraba. Bila teraba di mana lokasinya, apakah di kantong
skrotum, di inguinal atau di labia mayora. Tentukan apakah klitoromegali atau mikropenis,
hipospadia atau muara uretra luar. Bagaimana bentuk vulva, dan adakah hiperpigmentasi
b) Tentukan apakah ada anomalia kongenital yang lain.
c) Tentukan adakah tanda-tanda renjatan.
d) Bagi anak-anak periksalah status pubertas, tentukan apakah ada gagal tumbuh atau tidak.

3) Pemeriksaan penunjang
a) Laboratorium
Analisis kromosom.
Pemeriksaan hormonal disesuaikan dengan keperluannya seperti testosteron, uji HCG, 17
OH progesteron.
Pemeriksaan elektrolit seperti Natriurn dan Kalium.
b) Pencitraan
USG pelvis : untuk memeriksa keadaan genital interna.
Genitografi untuk menentukan apakah saluran genital interna perempuan ada atau tidak.
Jika ada, lengkap atau tidak. Jadi pencitraan ini ditujukan terutama untuk menentukan ada/
tidaknya organ yang berasal dari dari saluran Muller.
2.2.4Penatalaksanaan
Penatalaksanaan genitalia ambigua meliputi penentuan jenis kelamin (sex assessment),
pola asuh

seksual (sex rearing), pengobatan hormonal, koreksi secara pembedahan, dan

psikologis. Oleh karena itu pelibatan multi-disiplin ilmu harus sudah dilakukan sejak tahap
awal diagnosis yang meliputi bidang : Ilmu Kesehatan Anak, Bedah Urologi, Bedah plastik,
Kandungan dan Kebidanan, Psikiatri, Genetika klinik, Rehabilitasi medik, Patologi klinik,
Patologi anatomi, dan Bagian hukum Rumah Sakit/Kedokteran forensik.
Faktor-faktor yang harus dipertimbangkan :
1) Potensi fertilitas
2) Kapasistas fungsi seksual
11

3) Fungsi endokrin.
4) Perubahan keganasan
5) Testosteron imprinting dan waktu saat pembedahan
6) Faktor psikoseksual: gender identity (identitas gender), gender role (peran gender) dan
gender orientation (orientasi gender)
7) Aspek kultural
8) Informed consent dari keluarga.

Terapi
1) Endokrin
Bila pasien menjadi laki-laki, maka tujuan pengobatan endokrin adalah mendorong
perkembangan maskulisasi dan menekan berkembangnya tanda-tanda seks feminisasi
(membesarkan ukuran penis, menyempurnakan distribusi dan masa tubuh) dengan
pemberian testosteron. Bila pasien menjadi perempuan maka tujuan pengobatan adalah
mendorong secara simultan perkembangan karakteristik seksual ke arah feminim dan
menekan perkembangan maskulin (perkembangan dan menstruasi) yang dapat timbul
beberapa individu setelah pengobatan estrogen). Pada CAH di tentukan glukortikoid dan
hormon untuk retensi garam.
2) Bedah
Tujuan pembedahan rekontruksi pada genetalia perempuan agar mempunyai genetalia
eksterna feminim, sedapat mungkin seperti normal dan mengoreksi agar fungsi seksual
normal. Pada laki-laki tujuan pembedahan rekonstruksi adalah meluruskan penis dan
merubah letak uretra yang tidak berada pada tempat normal ke ujung penis.
3) Psikologis
Sebaiknya semua pasien interseks dan anggota keluarga di pertimbangkan untuk di berikan
konseling. Yang sangat penting adalah yang memberikan konseling harus sangat familier
dengan hal yang berhubungan dengan diagnosis dan pengelolaan interseks.

2.3 ASPEK AGAMA TERHADAP DSD

12

Termasuk dari kekuasan Allah taala adalah Dia telah menciptakan sebagian
mahluknya berbeda dari keumuman jenisnya. Ini adalah sebuah hikmah dan pelajaran bagi
hamba-hambanya , bahwa Allah maha kuasa atas segala sesuatu dan maha mampu berbuat
yang dikehendakinya. Dan diantara sekian tanda kebesaran Allah tersebut adalah adanya
sebagian dari hamba-hambanya yang terlahir dalam keadaan tidak diketahui jenis
kelaminnya karena mereka terlahir dalam keadaan fisik khusus. Dan keadaan ini di dalam
kitab fiqih disebut dengan istilah khuntsa atau dalam istilah modern dikenal dengan istilah
interseks. Dan hendaknya harus dipahami , bahwa berbeda antara Khuntsa dan
Mukhonats , berbeda pula dengan Luthi. Mukhonats adalah pria tulen yang bertingkah laku
seperti wanita, adapun Luthi atau lebih dikenal sebagai homoseks adalah seorang pria yang
ketertarikan seksualnya juga kepada sesama lelaki dan tidak tertarik kepada wanita.
Dan telah disebutkan oleh para ulama, tentang keadaan seseorang yang dikatakan sebagai
Khuntsa :
Pertama : Insan tersebut memiliki dua alat kelamin sekaligus penis dan vagina.
Kedua : Insan tersebut satu organ pembuangan, keluar darinya kencing dan kotoran dan
dia tidak memiliki alat kelamin pria maupun wanita.
Ketiga : Insan tersebut memiliki dubur terpisah, dan kencingnya keluar tidak dari penis
maupun vagina, akan tetapi keluar merembes atau menetes seperti keringat yang banyak
Keempat :Insan tersebut tidak punya Dubur, Penis atau Vagina . maka setiap yang
dimakan

akan

keluar

dalam

bentuk

muntahan

atau

diserap

tubuh.

Maka seorang insan dengan salah satu empat keadaan ini disebut sebagai khuntsa, karena
tidak adanya kejelasan tentang kelaminnya , apakah dia seorang pria atau wanita.
Maka bagi insan tersebut atau bagi orang tuanya untuk mencari tahu tentang jenis kelamin
dirinya atau jenis kelamin anaknya dengan metode yang telah disebutkan oleh para ulama ,
yaitu dengan melihat ciri-ciri pembeda antara pria dan wanita. Dan tanda-tanda ini terbagi
dua, tanda-tanda sebelum baligh dan sesudahnya.
Maka apabila seorang bayi lahir dengan dua alat kelamin atau seorang anak tumbuh
padanya alat kelamin kedua yang berlawanan jenis dari yang pertama maka dalam keadaan
13

seperti ini dapat dilihat dari tempat keluarnya kencing (ini metode adalah bagi khuntsa
yang memiliki dua alat kelamin)
Dan ini adalah tanda yang paling jelas, apabila kencing keluar dari vagina saja maka dia
adalah seorang wanita dan apabila hanya keluar dari penis saja maka dia adalah pria.
Apabila kencing dapat keluar dari dua-duanya, maka dilihat mana yang lebih dahulu
berfungsi, kemudian dihukumi

untuknya. Misalkan ketika lahir, yang berfungsi

mengeluarkan kencing adalah vagina, kemudian beberapa waktu kemudian penisnya juga
bisa mengeluarkan kencing maka dia dihukumi sebagai wanita karena vaginanya yang
lebih dahulu berfungsi dan begitu pula sebaliknya.
Apabila keduanya dapat berfungsi mengeluarkan kencing dan waktu berfungsinya pun
bersamaan , tidak ada yang lebih dahulu dari yang satunya, maka dalam hal ini ulama
berbeda pendapat :
Madzhab Al-Malikiyah dan pendapat yang terakhir Al-Hanabilah , dan salah satu pendapat
dari Asy-Syafiiyah mengatakan bahwa dilihat dari alat kelamin yang mana yang lebih
banyak keluar air kencingnya, mereka mengatakan bahwa menghukumi dengan keadaan
mayoritas sebagai hukum keseluruhan adalah termasuk dari pondasi syariah.
Adapun Madzhab Al-Hanafiyah, dan salah satu pendapat Asy-Syafiiyah dan salah satu
pendapat madzhab Al-Hanabilah bahwa insan tersebut tetap dihukumi sebagai khuntsa
karena tidak ada tanda-tanda yang menguatkan. Dan banyaknya air kencing yang keluar
dari salah satu alat kelamin bukanlah tanda yang jelas bahwa itu adalah organ yang asal.
Maka atas pendapat yang kedua ini yaitu bahwa dia tetap dihukumi sebagi khuntsa, maka
ditunggu sampai ketika baligh. Begitu juga khuntsa yang secara lahiriah tidak memiliki
dua alat kelamin sebagaimana dalam keadaan yang telah disebutkan sebelumnya, maka
akan dilihat ketika mencapai usia baligh . Apabila tumbuh janggut, kumis atau Jakun maka
jelaslah bahwa dia adalah seorang lelaki dan apabila dia haid atau hamil atau terbentuk
payudaranya maka dia adalah seorang wanita.
Sebagian ulama juga menyebutkan bahwa salah satu tanda setelah baligh adalah dengan
melihat mimpi basahnya, yaitu apabila dia bermimpi melakukan hubungan badan dengan
pria maka dia adalah seorang wanita dan sebaliknya.

14

Apabila dalam keadaan usia baligh tidak ada tanda-tanda yang timbul ataupun bahkan
timbul tanda-tanda yang bertentangan , seperti mengalami haid tapi tumbuh juga
janggutnya, maka tetaplah dia dihukumi sebagai khuntsa.
Dan ibnu Utsaimin Rahimahullah membolehkan menggunakan metode kedokteran untuk
mencari tahu apakah dia seorang pria atau wanita, misalkan dengan melihat keadaan
rahimnya.
Dan dari pembahasan diatas bisa diketahui bahwa khuntsa ada dua jenis :
Khuntsa Musykil ( Samar atau tidak jelas ) yaitu yang masih dalam keadaan tidak bisa
dihukumi apakah dia seorang pria atau wanita.
Khuntsa Wadhih (jelas) yaitu khuntsa yang telah diketahui dengan metode yang telah
disebutkan diatas, bahwa dia seorang pria atau wanita.
Adapun Khuntsa Wadhih (jelas) maka telah jelas hukumnya dalam permasalahan ibadah,
muamalah dan tingkah laku dan juga hal-hal lainnya, dia adalah sebagaimana jenis kelamin
yang telah ditetapkan kepadanya. Dan boleh bagi dia untuk melakukan operasi
menghilangkan orang-organ lainnya yang merupakan ciri-ciri dari lawan jenis kelaminnya.
Misalkan telah jelas bahwa dia lelaki, akan tetapi masih memiliki vagina, atau telah jelas
bahwa dia lelaki tapi payudaranya berbentuk seperti wanita maka boleh dia melakukan
operasi untuk menghilangkannya. Adapun yang belum jelas keadaannya, maka tidak boleh
melakukan operasi untuk hal tersebut, karena masih adanya dua kemungkinan
Adapun untuk khuntsa musykil , maka karena belum jelas jenis kelaminnya, maka ada
hukum-hukum khusus yang terkait dengannya di dalam kitab Fiqih.
Diantaranya :
Khuntsa musykil tidak boleh menjadi imam bagi pria dewasa maupun anak-anak karena
bisa jadi dia adalah wanita dan tidak boleh pula dia sholat menjadi mamum di belakang
imam wanita karena bisa jadi dia adalah seorang Pria.
Adapun untuk menjadi imam bagi para wanita maka diperbolehkan karena minimal dia
akan setara apabila dia adalah nantinya seorang wanita.

15

Apabila setelah selesai sholat, seorang mamum baru mengetahui bahwa imamnya adalah
seorang khuntsa musykil , maka wajib bagi dia untuk mengulang sholatnya.
Dalam masalah Khitan , sebagian ulama Asy-syafiiyah berpendapat bahwa Khuntsa
Musykil dikhitan di dua alamat kelaminnya. Karena khitan wajib pada salah satunya, dan
tidak bisa dilaksanakan kewajiban tersebut kecuali mengkhitan keduanya.
Dan sebagian ulama lainnya berpendapat bahwa khuntsa musykil tidak dikhitan.
Dan pendapat yang benar bahwa khuntsa musykil dikhitan, karena telah datang dalil bahwa
setiap

yang

terlahir

disyariatkan

untuk

dikhitan

dan

tidak

ada

dalil

yang

mengecualikannya.
Dalam masalah bergaul dengan manusia, Khuntsa Musykil dihukumi dengan yang lebih
berhati-hati dalam hukum, apabila berada dengan para lelaki dia dihukumi sebagai wanita
dan begitu juga sebaliknya, sehingga para pria tidak menampakkan aurat di depannya,
karena bisa jadi dia adalah seorang wanita. Dan begitu pula, para wanita tidak boleh
menampakkan kepadanya sesuatu yang terlarang secara syariat karena bisa jadi dia lelaki .
Dalam masalah pernikahan, Khuntsa Musykil tidak boleh menikah, baik menikah dengan
pria ataupun menikahi wanita sampai jelas keadaannya, apabila sudah jelas keadaannya
maka boleh bagi dia menikahi lawan jenisnya.
Syaikh Muhammad Ulays Rahimahullah (bermadzhab Maliki ) berkata dalam Manhul
Kholil : Tidak boleh menikah dari kedua sisi
Dinukilkan pula bahwa Ibnul Qosim Rahimahullah dalam At-Taudhih berkata : Tidak
dinikahi atau menikahi
Ibnu Muflih Rahimahullah berkata dalam Al Furu dan beliau bermadzhab Hanbali :
Dan tidak sah nikah Khuntsa Musykil sampai jelas keadaannya
Dalam Hasyiah Asy- Syarwani Rahimahullah dan beliau bermadzhab As-SyafiI, beliau
berpendapat bahwa Aqad terhadap khuntsa musykil tidak sah
Adapun bagi seseorang yang menikah dan ternyata dia mendapati pasangannya adalah
seorang Khuntsa Wadhih yaitu yang telah telah jelas kelaminnya akan tetapi terdapat alat
16

kelamin yang lain, misalkan seorang pria yang menikahi seorang wanita (dalam
prasangkanya), akan tetapi ternyata dia telah menikahi khuntsa Wadhih yang telah jelas
bahwa dia wanita akan tetapi selain memiliki vagina juga memiliki penis maka nikahnya
batal, karena seseorang tentunya ketika menikah dia menyangka bahwa wanita tersebut
adalah wanita tulen, atau pria tulen sehingga apabila dia mendapatinya berbeda, maka
pernikahannya batal karena ini termasuk aib yang membatalkan pernikahan. Berbeda
halnya ketika ketika memang sejak sebelum pernikahan, dia telah mengetahui bahwa calon
pasangannya adalah seorang Khuntsa Wadhih.
Dan bagi Khuntsa Musykil , karena terlarang untuk menikah sampai jelas keadaannya
maka apabila dia sudah memiliki syahwat disunnahkan baginya untuk berpuasa, dan boleh
bagi dia untuk menggunakan obat-obatan yang akan membantu dia menurunkan hawa
nafsunya, dan ini lebih ringan daripada dikatakan kepadanya untuk mengeluarkan
spermanya dengan cara yang tidak boleh secara syari.
Apabila seseorang mempunyai alat kelamin ganda, yaitu mempunyai penis dan
juga vagina, maka untuk memperjelas dan memfungsikan secara optimal dan definitif salah
satu alat kelaminnya, ia boleh melakukan operasi untuk mematikan dan menghilangkan
salah satu alat kelaminnya. Misalnya, jika seseorang memiliki penis dan vagina, sedangkan
pada bagian dalam tubuh dan kelaminnya memiliki rahim dan ovarium yang menjadi ciri
khas dan spesifikasi utama jenis kelamin wanita, maka ia boleh mengoperasi penisnya
untuk memfungsikan vaginanya dan dengan demikian mempertegas identitasnya sebagai
wanita. Hal ini dianjurkan syariat karena keberadaan penis (dzakar) yang berbeda dengan
keadaan bagian dalamnya bisa mengganggu dan merugikan dirinya sendiri baik dari segi
hukum agama karena hak dan kewajibannya sulit ditentukan apakah dikategorikan
perempuan atau laki-laki maupun dari segi kehidupan sosialnya.
Untuk menghilangkan mudharat (bahaya) dan mafsadat (kerusakan) tersebut, menurut
Makhluf dan Syalthut, syariat Islam membolehkan dan bahkan menganjurkan untuk
membuang penis yang berlawanan dengan dalam alat kelaminnya. Oleh sebab itu, operasi
kelamin yang dilakukan dalam hal ini harus sejalan dengan bagian dalam alat kelaminnya.
Apabila seseorang memiliki penis dan vagina, sedangkan pada bagian dalamnya ada rahim
dan ovarium, maka ia tidak boleh menutup lubang vaginanya untuk memfungsikan
penisnya. Demikian pula sebaliknya, apabila seseorang memiliki penis dan vagina,
sedangkan pada bagian dalam kelaminnya sesuai dengan fungsi penis, maka ia boleh
17

mengoperasi dan menutup lubang vaginanya sehingga penisnya berfungsi sempurna dan
identitasnya sebagai laki-laki menjadi jelas. Ia dilarang membuang penisnya agar memiliki
vagina sebagai wanita, sedangkan di bagian dalam kelaminnya tidak terdapat rahim dan
ovarium. Hal ini dilarang karena operasi kelamin yang berbeda dengan kondisi bagian
dalam kelaminnya berarti melakukan pelanggaran syariat dengan mengubah ciptaan Allah
SWT; dan ini bertentangan dengan firman Allah bahwa tidak ada perubahan pada fitrah
Allah (QS.Ar-Rum:30).

Peranan dokter dan para medis dalam operasi penggantian kelamin ini dalam status
hukumnya sesuai dengan kondisi alat kelamin yang dioperasinya. Jika haram maka ia ikut
berdosa karena termasuk bertolong-menolong dalam dosa dan bila yang dioperasi
kelaminnya adalah sesuai syariat Islam dan bahkan dianjurkan maka ia mendapat pahala
dan terpuji karena termasuk anjuran bekerja sama dalam ketakwaan dan kebajikan.(QS.AlMaidah:2)

2.4 ASPEK HUKUM TERHADAP DSD

18

Pada hakekatnya hukum dan etika beranjak dari landasan yang


sama, yaitu moral, sehingga apa yang umumnya dirasakan baik dan
buruk atau benar dan salah oleh etika juga dirasakan demikian oleh
hukum.

Hal

ini

sejalan

dengan

apa

yang

dikatakan

Dworkin,

bahwa Moral principle is the foundation of Law (Laws Empire, 1986).


Hanya saja bidang hukum tidak mencakup hal-hal sepele yang kurang
relevan untuk dicampuri. Pelanggaran terhadap norma etik yang
sifatnya kecil dan ringan dianggap belum mengganggu ketertiban
umum sehingga belum perlu diatur dan diberi sanksi oleh hukum.
Masyarakat

dinilai

masih

mampu

mengendalikannya

tanpa

menimbulkan gejolak. Tetapi untuk hal-hal yang besar, apalagi yang


dapat mengancam hak asasi manusia, intervensi hukum memang
diperlukan.
Meski di satu sisi profesi medis perlu tetap dipertahankan sebagai
profesi yang harus mengatur dirinya sendiri (otonom) dan harus pula
bebas memutuskan tindakannya yang diyakini benar, tetapi di sisi lain
dipertanyakan mengapa harus profesi itu sendiri yang mengatur
segalanya, sebab membiarkan profesi ini menentukan nasib dan masa
depan pasien, akan dapat menimbulkan ancaman terhadap hak azasi
manusia. Sejalan dengan pandangan ini maka hukum, walaupun tidak
selamanya benar, keberadaannya paling tidak akan dapat dijadikan
sarana

untuk

mengontrol

profesi

medis.

Pandangan

inilah

yang

kemudian melahirkan aliran legalisme, yaitu aliran yang berpendapat


bahwa hukum tanpa landasan moral tidak akan pernah adil sementara
moral tanpa hukum tidak akan pernah nyata. Oleh karenanya aliran ini
menghendaki agar prilaku etik diikuti oleh peraturan hukum sehingga
konsekuensinya, hak dan kewajiban perlu ditentukan.
Agaknya

tak

semua

ahli

dapat

menerima

pandangan

ini

mengingat legalisasi moral dan moralisasi hukum akan membaurkan


fungsi hukum dan fungsi moral. Meski secara umum hukum dan etika
punya tujuan sama, yaitu ketertiban dan kedamaian dalam masyarakat,
tetapi secara khusus berbeda dilihat dari sifat dan tujuan khususnya,
tolok ukur, akibat, sanksi dan ruang lingkupnya. Intinya adalah bahwa
19

moral dan etika menghendaki agar orang menggunakan hati nuraninya


untuk melakukan yang baik dan yang benar serta menghindari
perbuatan buruk dan salah, sedangkan hukum mengatur etika secara
garis besar yang berlaku umum dalam kehidupan masyarakat dan
bertujuan

menciptakan

kedamaian

serta

ketertiban.

Atas

dasar

perbedaan inilah maka Lord Chief Justice Coleridge menyatakan: It


would not be correct to say that every moral obligation involves a legal
duty, but every legal duty is founded on a moral obligation. Masalahnya
adalah, bagaimana menentukan suatu batasan dimana kebijakan
medis perlu diamati dan dikontrol oleh hukum?
Atas dasar konvensi tersebut maka lembaga legislatif bersamasama pemerintah menertbitkan Undang-Undang No. 23 Tahun 2003
tentang Perlindungan Anak.
Tujuan dari undang-undang itu ialah untuk menjamin terpenuhinya hakhak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi
secara

optimal

mendapat

sesuai

perlindungan

harkat dan
dari

martabat

kekerasan

dan

kemanusiaan,

serta

diskriminasi

demi

terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia dan


sejahtera.
Asas yang digunakan dalam Undang-Undang Perlindungan Anak adalah
sebagai berikut:
a.

Non diskriminasi.

b.

Kepentingan yang terbaik bagi anak.

c.

Hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan.

d.

Penghargaan terhadap pendapat anak.


Undang-undang

tersebut

juga

mengatur

hak

anak

untuk

mendapatkan nama sebagai identitas diri dan memperoleh pelayanan


kesehatan serta jaminan sosial sesuai kebutuhan fisik, mental, spiritual
dan sosial.
20

Menyangkut anak dengan sexual ambiguity memang tidak diatur


secara

eksplisit,

namun

Undang-Undang

Perlindungan

Anak

mengindikasikan agar semua pihak (termasuk para dokter dan orang


tuanya),
kesehatan

menghormati
yang

hak

dapat

anak

untuk

mendapatkan

dipertanggungjawabkan

pelayanan

secara

moral.

Sedangkan mengenai hak mendapatkan nama sebagai identitas diri


(yang tentunya meliputi pula jenis kelamin) perlu ada penjelasan lebih
lanjut

mengingat

perkembangan

jenis

kelamin

anak

seringkali

memerlukan waktu lebih lama (yaitu 3 sampai 7 tahun) sehingga


penentuan jenis kelamin anak mungkin saja belum dapat dilakukan
segera setelah dilahirkan.
2.4 ASPEK PSIKOLOGI TERHADAP DSD
2.4.1 Aspek Lingkungan Sosial
Aspek lingkungan sosial merupakan salah satu pemucu terbentuknya perilaku
sosial. Pada dasarnya manusia tidak terlepas pada kehidupan sosial. Seorang individu
dalam keseharianya pasti berinteraksi dengan individu lain. Disini sosialisasi membentuk
pribdi seseorang. Adapun Sosialisasi adalah proses belajar warga masyarakat suatu
kelompok kebudayaan tentang nilai-nilai social yang berlaku dalam masyarakat itu.
Sosialisasi adalah proses yang berjalan sepanjang hidup social manusia itu sendiri. Selain
itu Hollander (1982) Socialization is the term used for the process by which individuals
learn and perform behaviour, expected of them by society. In order to survive and work
together, people have to agree on certain common values, and conduct themselves
accordingly.
Sehinga dapat dimaknai bahwa Sosialisasi digunakan untuk menunjukkan proses di
mana individu belajar dan melaksanakan perilaku, dalam lingkup masyarakat. Untuk dapat
bertahan dan bekerja sama, orang-orang telah bersedia untuk berperilaku sesuai dengan
nilai-nilai umum tertentu, dan sebagai pengatur diri mereka dalam berperilaku.
Terkait dengan permasalahan tersebut, maka alahkah bijak bila kita sandarkan
dengan teori belajar sosial. Adapun teori belajar social mengemukakan bahwa melalui
belajar pengamatan (observational learning), individu dapat memiliki pola perilaku baru.
21

Dalam kasus-kasus psikologi, istilah belajar pengamatan memiliki padanan makna dengan
istilah-istilah seperti imitasi atau permodelan (modeling). Istilah-istilah itu mengacu pada
kecenderungan individu untuk memunculkan perilaku, sikap dan respon emosional
berdasar pada peniruan terhadap model yang disimbolkan.
Sehinga dapat dipahami bahwa perilaku transeksual, dapat disebabkan karena
adanya pengamatan seseorang terhadap lingkungannya. Lingkunganny dijadikan sumber
insfirasi buata membentuk pribadinya. Misalnya, apabila seseorang berada dalam
lingkungan yang kesehariannya dipenuhi masyarakat yang berperilaku transeksual, maka
secara langsung maupun tidak langsung, ia juga dapat menanamkan perilaku tersebut pada
dirinya.
2.4.2 Aspek Perkembangan Kognitif
Selain dari sisi lingkungan, perlu ditalaah kembali dari sisi perkembangan kognitif
seseorang berkencenderungan berprilaku transeksual. Teori perkembangan social Ahli
psikologi Jean

Piaget

(1896-1980) mengemukakan tahap-tahap

kognitif

dalam

perkembangan pemikiran anak. Tahap-tahap perkembangan kognitif ini akan selalu dilalui
oleh semua manusia yang normal, yang berkembang menuju kematangan kemampuan
berpikir. Perkembangan bermula dari tahap yang paling kongkret dan sederhana menuju
tahap yang paling abstrak dan kompleks. Jean Piaget membagi perkembangan kecerdasan
anak menjadi 4 tahap. Keempat tahap itu adalah tahap motor sesorik (awal kelahiran-18
bulan); tahap berpikir pra-operasional (18 bulan-7 tahun); tahap operasi kongkrit (7 tahun11 tahun); tahap operasi formal (11 tahun-keatas).
Sedangkan Kohlberg menyatakan bahwa tahap perkeembangan moral seorang anak
bersifat

paralel

dengan

keempat

tahap

perkembangan

kognitifnya.

Kohlberg

mengemukakan bahwa terdapat 3 tingkat moral. Pada setiap tingkat terdapat 2 tahap
perkembangan. Yaitu, tingkat satu (moralitas pra-konvensional); tingkat kedua (moralitas
konvensional); dan tingkat ketiga (moralitas pasca-konvensional).
Dengan bersandar pada teori perkembangan kognitif di atas. Maka kasus
transeksual dengan pendekatan teori perkembangan kognitif juga berpengaruh dalam
pembentukan perilaku tersebut. Misalnya, apabila pada waktu kecil seorang anak tidak
mendapatkan pendidikan moral yang baik, maka anak akan kurang dapat memahami nilai22

nilai moral yang berlaku. Anak menjadi kurang pandai dalam memilah memahami baik
buruknya suatu perbuatan atau kejadian,sehiangga anak akan mengaggap bahwa perilaku
transeksual adalah perbuatan yang lazim.
2.4.3 Aspek kepribadian
Teori Psikoanalisis Sigmund Freud, memandang proses sosialisasi berdasar pada
tahap-tahap psikoseksual dan dinamika kepribadian. Sigmund Freud meyakini bahwa
sosialisasi individu akan melewati periode-periode psikoseksual, yaitu mulai masa anak
sampai masa dewasa. Secara khusus, Sigmund Freud memiliki pandangan bahwa
pengalaman pada masa anak awal memiliki arti yang sangat penting bagi perkembangan
kedewasaan individu di masa mendatang. Freud membagi menjadi 5 tahap perkembangan
yaitu ; masa oral, anal, falik, laten dan genital.
Berkembangnya perilaku transeksual dan transgender dapat disebabkan karena
kurangnya peran orangtua dalam memberikan pengertian kepada anak, ketika anak dalam
tahap falik, yaitu usia 3 tahun sampai 5 tahun. Pada tahap ini, sumber kenikmatan seorang
anak adalah pada organ-organ seksualnya. Menurut Freud, seorang anak yang tidak dapat
melewati tahap ini secara baik akan mengalami gangguan dalam pembentukan identitas
gendernya. Jadi, apabila pada tahap ini si anak tidak dapat memahami identitas gendernya
dengan baik, si anak dapat merasa bingung dengan fungsi gendernya. Selain itu, kurangnya
pengertian orang tua pada periode perkembangan akhir, yaitu tahap genital ( usia 11 tahun
ke atas ), juga dapat berpengaruh terhadap tumbuhnya perilaku transeksual. Pada tahap ini,
sumber kenikmatan individu adalah pada hal-hal yang berhubungan dengan relasi sosial
dengan lawan jenis. Apabila individu tidak mendapat pengertian tentang siapa lawan
jenisnya dengan baik, maka anak akan menjadi bingung, apakah seharusnya perempuan
memiliki reaksi kenikmatan terhadap laki-laki, demikian juga sebaliknya.

23

BAB III
PENUTUP

Semua pihak harus dapat memahami bahwa perkembangan jenis


kelamin seseorang memerlukan waktu lama sehingga kadangkala untuk
memastikannya

dengan pasti harus menunggu 3 hingga 7 tahun,

sementara untuk menentukan jenis kelamin itu sendiri sekurangkurangnya ada 5 aspek yang perlu dipertimbangkan; yakni kromosom,
alat kelamin primer (kelenjar gonad), alat kelamin sekunder, aktifitas
hormonal dan psikologik.

Kaitannya

dengan

operasi

korektif (corrective surgery) kalangan medis perlu berhati-hati dan tidak


terlalu

tergesa-gesa

dalam

mengambil

keputusan

yang

akan

menentukan masa depan bayi, sebab dalam banyak kasus, kebijakan


medis yang bersifat irreversible dan terlalu tergesa-gesa (immediate
corrective surgery), ternyata di belakang hari banyak ditolak oleh pasien
yang bersangkutan ketika mereka mulai beranjak dewasa. Para dokter
harus mampu memahami secara konprehensif seluruh aspek yang
berkaitan dengan sexual ambiguity sehingga kebijakan medisnya dapat
dipertanggungjawabkan; baik dari segi moral, etik dan hukum.

24

DAFTAR PUSTAKA
Isselbacher,Kurt J.2006. Harrison Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam Vol.5.Ed13.
Jakarta; EGC
Buku Ajar Endokrinologi Anak IDAI Ed.1.2010.
Bukhori, M.1994. Islam dan Adab Seksual, cet. ke-1, Jakarta; Bumi Aksara
Akbar, Ali, Seksualitas Ditinjau dari Hukum Islam, Jakarta: Ghalia Indonesia
Ali, Mohammad Daud, 2001.Hukum Islam; Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam
di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada
Dahlan, S.2000. Hukum Kesehatan, Rambu-Rambu Bagi Profesi Dokter,
edisi 2, Badan Penerbit Universitas Diponegoro
Stephen F. Kemp. The Role of Genes and Hormones in Sexual
Differentiation.Ethics and Intersex. 2006.
Mary B. Mahowald. Reproductive Genetics and Gender Justice. The
American Journal of Bioethics.
http://www.tafsir.web.id/2013/01/tafsir-nisa-ayat-113-121.html
http://www.dakwatuna.com/2009/08/12/3427/fenomena-transgenderdan-hukum-operasi-kelamin/#axzz3H1YGLaFN
http://assamarindy.wordpress.com/2012/08/07/hukum-syari-tentangkhuntsa-berkelamin-ganda/
http://mustaghfirin.blogspot.com/2010/12/surat-al-maidah-ayat-2.html

25

26

Das könnte Ihnen auch gefallen