Sie sind auf Seite 1von 20

Jhon Chen Van

Jadi Bermanfaat dan Lakukan yang Terbaik untuk Setiap Hal yang Kita Kerjakan :D

Selasa, 19 Februari 2013


PERMASALAHAN DAN SOLUSI IMPOR TERHADAP KOMODITAS TEH DI
INDONESIA
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya,
sehingga penulis berhasil menyelesaikan makalah yang berjudul PERMASALAHAN DAN
SOLUSI IMPOR TERHADAP KOMODITAS TEH DI INDONESIA.
Ucapan terimakasih kami sampaikan kepada semua pihak yang telah membimbing
penulis dalam penyusunan tugas ini dengan baik.
Penulis berharap semoga diktat/buku ini dapat dijadikan bahan pembelajaran untuk
masa yang akan datang. Kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu
penulis harapkan demi kesempurnaan makalah ini.

Malang, 21 September 2012

Penulis

Daftar Isi
Kata
Pengantar....................................................................................................................................
.i

Daftar

Isi

..................................................................

............................................................................ii
Daftar

tabel...............................................................
...........................................................................iii

Daftar
gambar......................................................................................................................................
iv
Bab

I.........................................................................
.......................................................................... 1

Pendahuluan...................................................................................................................................
...

Latar
belakang.....................................................................................................................................
1
Bab
II..................................................................................................................................................
11
Isi.....................................................................................................................................................
...

11

Diskripsi

Singkat

............................................................................................................................. 11
Permasalahan
Dihadapi..........................................................................................................

Yang
13

Solusi
Permasalahan........................................................................................................................
19
Daftar
Pustaka....................................................................................................................................
25

Daftar Tabel

Tabel
1

...............................................................................................................................................
18

Daftar Gambar
Gambar 1 .................................................................
..........................................................................1
Gambar
2 ...........................................................................................................................................
2 Gambar
3 ..................................................................................................................................

Gambar
4 ...........................................................................................................................................
4 Gambar
5 ..................................................................................................................................

Gambar
6 ...........................................................................................................................................
5 Gambar
7 ..................................................................................................................................

Gambar
8 ...........................................................................................................................................
7 Gambar
9 ..................................................................................................................................

Gambar
10......................................................................................................................................... 11
Gambar
11 ......................................................................................................................................... 14
Gambar 12 ...........................................................................
.............................................................. 23

Bab I
Pendahuluan
A. Latar Belakang

Teh merupakan minuman terfavorit kedua di dunia setelah air putih. Masyarakat
dunia gemar minum teh karena cita rasa, aroma serta warna air seduhannya. Selain
sebagai penghilang dahaga, teh merupakan bagian dari budaya yang tak terpisahkan di
sejumlah negara. Di tengah proses modernisasi, beberapa dari nilai-nilai budaya
tersebut masih terasa hingga kini, karena itu bagi Negara-negara tertentu seperti
Inggris, Cina maupun Jepang, teh merupakan minuman istimewa yang lebih dari
sekedar minuman.
Gambar 1 : Negara Penghasil Teh

Negara-negara produsen teh dunia didominasi oleh negara-negara di kawasan Asia,


seperti India, Bangladesh, Sri Langka, Cina, Indonesia, Taiwan, Iran, Jepang, Korea
dan beberapa negara lainnya. Bahkan beberapa negara seperti Cina dan India
merupakan produsen teh terbesar di dunia. Cina mampu menghasilkan sebanyak
1.200.000 ton teh pada tahun 2008, sementara India mampu menghasilkan 980.818 ton
pada tahun yang sama. Cina dan India berkontribusi sekitar 31,5 persen dan 25 persen
dari total produksi teh dunia. Selain Cina dan India, negara penghasil teh lainnya adalah
Kenya, Sri Langka, Vietnam, Turki, Indonesia, Jepang, Argentina dan Bangladesh.
Berbeda

dengan

Cina

dan

India,

negara-negara

tersebut

umumnya

hanya

memproduksi teh dalam persentase yang kecil (di bawah 10 persen), akibatnya
beberapa negara seperti Indonesia hanya berperan sebagai market follower.

Gambar 2 : Tanaman Teh

Untuk sampai pada titik pijak saat ini, bangsa Indonesia telah meniti sebuah
sejarah panjang. Tak pelak lagi perkebunan dengan seluruh dimensinya yang
mencakup komunitas, perdagangan, industri dan areal perkebunan itu sendiri telah
menorehkan sejarah dengan warna tersendiri dalam sejarah Indonesia. Semenjak
rempah-rempah menjadi barang mewah kerajaan-kerajaan di dunia beberapa abad
sebelum Masehi, serta ditunjang oleh keahlian orang Indonesia mengarungi lautan dan

mampu berlayar lintas negara, gugusan kepulauan Nusantara dari Barat hingga ke
Timur menjadi layaknya harta karun perkebunan yang sangat kaya.

Gambar 3 : Monopoli Perdagangan Belanda

Kemewahan rempah-rempah menjadi incaran Belanda untuk memonopoli


perdagangan di Jawa, Makasar dan Maluku. Tak dapat dipungkiri bahwa rempahrempah yang bernilai ekonomi tinggi pada saat itu, telah menarik perhatian dan menjadi
motivasi utama bangsa-bangsa Eropa datang ke Nusantara. Salah satu bangsa Eropa
yang berhasil menapakkan kakinya di nusantara adalah bangsa Belanda. Kemenangan
Belanda ditandai oleh metode penundukan baru berupa monopoli perdagangan.
Pada akhir abad ke 18 Belanda mengalihkan fokus perdagangan kepada
tanaman pertanian lain yang bukan tergolong barang mewah, seperti kopi, tembakau,
tebu, diikuti seabad kemudian kina, teh, karet, kelapa sawit. Kiranya kekalahan
persaingan perdagangan antara Belanda dan Inggris menjadi pemicunya. Tanamantanaman perkebunan terakhir itu baru menguntungkan manakala dikerjakan oleh buruh
berupa rendah bahkan tak berupah dan lahan berharga murah. Dengan pengelolaan
seperti ini, keuntungannya yang diperoleh begitu besar, bahkan mampu mengangkat
Negeri Belanda lepas landas.
Gambar 4 dan 5 : Pekerja Pada Zaman Penjajahan

Inilah alasan utama yang membuat Belanda mengubah strategi pengelolaan dan
penguasaan tanaman komersial dari yang semula hanya melakukan perdagangan
dengan rakyat yang bertindak sebagai produsen, menjadi pengelolaan yang berbasis
korporasi. Pemerintah Hindia Belanda dan pengusaha-pengusaha Belanda secara
ambisius membangun secara besar-besaran korporasi yang memproduksi dan
memperdagangkan

tanaman

komersial.

Penguasaan

Belanda

atas

komoditas

perkebunan, khususnya yang dikelola oleh korporasi, berakhir ketika terjadi pengambil
alihan seluruh korporasi Belanda oleh pemerintah Indonesia.

Gambar 6 : Pertemuan atau Dialog dengan Belanda

Proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 menjadi jembatan emas


untuk mengurai kabut penjajahan, yang secara ekonomis lebih berupa penguasaan
perkebunan. Untuk memastikan manfaat bagi bangsa Indonesia, nasionalisasi atau
pengambil alihan kepemilikan perkebunan besar dari negara asing kepada pemerintah
Indonesia dilakukan berkali-kali. Pertama, sebagai konsekuensi dari kemenangan
Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar tahun 1949. Kedua, sebagai perwujudan
deklarasi ekonomi untuk kemandirian bangsa pada tanggal 10 Desember 1957. Ketiga,
dalam rangka konfrontasi dengan Malaysia pada tahun 1964.
Gambar 7 : Konferensi Meja Bundar

Perkebunan-perkebunan besar milik Belanda dinasionalisasi menjadi milik


pemerintah Republik Indonesia. Dalam proses nasionalisasi perkebunan, terlihat nyata
jiwa patriorisme dan nasionalisme yang kuat yang menginginkan kedaulatan ekonomi
harus berada di tangan bangsa sendiri. Inilah sebuah tonggak sejarah yang
menunjukkan kemampuan bangsa ini untuk mengelola perusahaan perkebunan tanpa
tergantung pada keahlian bangsa Belanda.
Gambar 8 : Perkebunan Teh

Seiring dengan kemampuan pemerintah Indonesia melakukan nasionalisasi


perkebunan besar milik Belanda, perkebunan rakyat yang dikelola para pekebun atau
petani kecil terus melakukan ekspansi, relatif tanpa bantuan pemerintah. Bahkan dapat
dikatakan tak terjadi kerjasama antara perkebunan besar dan perkebunan rakyat.
Masing-masing berjalan sendiri sesuai dengan kepentingan dan kemampuan masingmasing. Nasionalisasi perkebunan segera diikuti oleh konsolidasi manajemen
perkebunan negara dan pengembangan perkebunan rakyat yang diatur pada satu
kesatuan struktur dalam pemerintahan.
Lahirnya

pemerintahan orde baru

disertai dengan

dilansirnya

program

pembangunan yang dikenal dengan sebutan Repelita (Rencana Pembangunan Lima

Tahun), membuat perkebunan kembali dilirik sebagai salah satu sektor paling
berpotensi untuk menghasilkan devisa negara. Langkah pertama dimulai dengan
tambahan modal dan peningkatan kemampuan Perkebunan Besar Negara (PN).
Setelah itu, dimulailah langkah yang juga merupakan tonggak baru pengelolaan
perusahaan perkebunan di Indonesia yaitu menggabungkan kekuatan Perkebunan Besar Negara dengan Perkebunan Rakyat.

Gambar 9 : Pembangunan Industri Perkebunan Skala Besar

Penerapan pola pikir baru ini dilakukan pada pola Perkebunan Inti Rakyat (PIR)
sejak awal 1980-an. Sejak saat itu pola PIR sangat mewarnai pembangunan
perkebunan di Indonesia. Langkah selanjutnya di akhir dekade 1980-an ialah
menggunakan kesuksesan ini sebagai pemantik modal swasta untuk mendirikan
Perkebunan Besar Swasta (PBS) baik dengan pembangunan yang memanfaatkan Hak
Guna Usaha (HGU) maupun melalui pola yang berdampingan dengan rakyat di
wilayah-wilayah transmigrasi yang terpencil dan di pesisir.
Ketangguhan perkebunan teruji manakala krisis moneter melanda Indonesia.
Kekuatan gelombang krisis bisa dibayangkan, karena mampu menghancurkan
perekonomian Indonesia. Namun justru di atas krisis itulah perkebunan memberikan
manfaat terbesar bagi pelakunya. Tidak saja diperoleh manfaat dadakan dari ekspor
(windfall profit) sebagai akibat pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika.
Perkebunan menjadi salah satu penopang penting bangsa Indonesia dalam
menghadang krisis moneter.

Dan kini terbukalah cakrawala baru perkebunan

Indonesia. Akumulasi sejarah telah menunjukkan kekuatan modal, manajemen,


penelitian dan penemuan benih unggul, pendidikan khusus, hingga pemasaran, untuk

menegakkan perkebunan lebih kokoh. Kini pengokoh tersebut dilengkapi dengan


demokratisasi di dalam dan sekitar perkebunan.
Demokratisasi ini melahirkan serangkaian konsekuensi pengaturan sekaligus
manfaat tersendiri. Demokratisasi membutuhkan jaringan hubungan yang simetris dan
setara di antara semua pihak yang terkait dengan perkebunan: Perkebunan Besar
Negara (PBN), Perkebunan Besar Swasta (PBS), Perkebunan Rakyat (PR),
pemerintah, konsumen di dalam dan luar negeri, lembaga pendukung penelitian dan
pengembangan, lembaga pendanaan, input produksi, pemasaran. Tidak mengherankan
pengembangan perkebunan masa kini ditegaskan di atas pengembangan jaringan
hubungan antar pihak.
Peran penting perkebunan akan semakin meningkat di masa depan. Krisis enerji
dunia telah menempatkan posisi perkebunan pada tingkat yang sangat penting.
Perkebunan tak lagi hanya terkait masalah pangan, tetapi kini perkebunan berada di
persimpangan kepentingan antara food, feed dan fuel. Seluruh dinamika sejarah
perkebunan menarik perhatian terutama dalam meletakkan dan meningkatkan peran di
masa mendatang. Sejak awal kemerdekaan sudah terpampang kuat hasrat untuk
menyejahterakan rakyat sebagai pekebun, pekerja perkebunan, maupun yang
memperoleh manfaat tidak langsung dari usaha perkebunan. Diatas itu semua
perkebunan masih tetap dan akan terus menjadi sumber kemakmuran bangsa ini.

Bab II
Isi
A. Diskripsi Singkat
Tanaman teh merupakan tumbuhan berdaun hijau yang termasuk dalam
keluarga Camellia yang berasal dari Cina, Tibet dan India bagian Utara. Ada dua

varietas utama tanaman teh. Varietas berdaun kecil, dikenal sebagai Camellia
sinensis, yang tumbuh dengan baik di daerah pegunungan tinggi berhawa dingin di
Cina tengah dan Jepang. Varietas berdaun lebar, dikenal sebagai Camellia assamica,
yang tumbuh paling baik di daerah beriklim tropis yang lembab, di India bagian utara
dan Szechuan dan propinsi Yunnan di Cina. Tanaman teh mempunyai daun berwarna
hijau gelap, mengkilap, berukuran kecil, dan berbunga putih.

Gambar 10 : Perkebunan Teh

Bermacam-macam hasil penyilangan yang berasal dari dua spesies tersebut


diatas telah dikembangkan agar sesuai dengan beberapa kondisi. Menurut pepatah
Cina kuno, Teh yang unggul berasal dari pegunungan tinggi. Dataran tinggi dan kabut
di pegunungan berfungsi sebagai pelindung terhadap sinar matahari yang terlalu terik
dan memberikan temperature serta kelembaban yang sesuai, sehingga dedaunan
dapat tumbuh dengan lambat dan tetap lunak. Seperti halnya dengan minuman anggur,
kualitas dan rasa istimewa teh dipengaruhi baik oleh lingkungan (tanah, suhu, dan
ketinggian tempat) dan pembuat teh (yang menentukan kapan dan bagaimana daun teh
dipetik serta pemprosesannya).
Kebanyakan tanaman teh memiliki fase pertumbuhan dan periode dorman,
biasanya selama musim dingin. Daun teh dipetik pada saat tunas baru (atau pucuk
daun muda) muncul. Pada daerah beriklim lebih panas, tanaman teh memiliki
beberapa tunas dan dapat dipetik sepanjang tahun. Pada kondisi yang lebih dingin di
dataran tinggi, memiliki musim panen tersendiri. Daun dari tunas yang lebih awal
tumbuh, umumnya pada musim semi, mempunyai kualitas yang terbaik.
Jenis teh terdiri dari empat kelompok utama: teh hijau, teh hitam, teh oolong, dan
teh putih. Semua jenis teh tersebut berasal dari tanaman yang sama. Varietas khusus

dari tanaman teh dan cara pemrosesan daun teh setelah pemanenan menentukan jenis
teh yang dibuat.
B. Permasalahan Yang Dihadapi
Sebagai salah satu negara yang dikenal memiliki produksi teh terbaik, ekspor teh
Indonesia cukup kuat. Sayangnya, hal ini membuat kebutuhan dalam negeri tidak
terpenuhi dan berujung pada impor juga. "Dalam lima tahun terakhir ini, di data
perdagangan menunjukkan porsi teh impor naik. Tahun 2006 kira-kira porsi teh impor
terhadap total konsumsi baru 5%. Tahun 2012 ini diperkirakan sudah akan mencapai
25%," tutur Wakil Menteri Perdagangan Bayu Khrisnamurti di Kantor Kementerian
Perdagangan, hari ini.
Pada pertemuan Wamendag dengan seluruh pelaku industri dan pedagang teh
baru-baru ini diketahui, produksi teh Indonesia mencapai 140 ribu-150 ribu ton per
tahun. Dari jumlah itu, sekitar 75 ribu ton teh diekspor. "Alasannya karena teh Indonesia
itu bernilai bagus. Kalau kita ekspor akan mendapat nilai yang cukup baik, nilainya
tinggi. Sebetulnya yang 75 ribu ton itu cukup untuk kebutuhan dalam negeri.
Permintaan teh kualitas premium di dalam negeri juga besar, pertumbuhannya tinggi.
Permintaannya 85 ribu-90 ribu ton per tahun, jadi kita terpaksa impor sampai 20 ribu
ton. Selain itu, Wamen juga mengatakan pertumbuhan permintaan teh celup di dalam
negeri juga signifikan dimana pada beberapa tahun sebelumnya mencapai 10 20
persen, namun pada 2012 jumlahnya meningkat sekitar 50 persen.

Gambar 11 : Areal dan Produksi Teh Indonesia

Hingga

kini

perkembangan

kinerja

agribisnis

teh

Indonesia

cukup

memprihatinkan yang ditandai terjadinya penurunan areal, kenaikan biaya produksi,


mutu teh rakyat yang masih rendah dan belum memenuhi SNI, mesin dan peralatan
dalam keadaan idle capacity, serta harga teh ditingkat petani yang masih rendah akibat
belum efisiensinya tataniaga teh. Jadi diharapkan keberadaan DTI(Dewan Teh
Indonesia) mampu berperan aktif sebagai wadah untuk memperjuangkan dan mencari
solusi terhadap permasalahan teh nasional sehingga dapat bersaing dengan negara
lain. Selain itu, permasalahan yang dihadapi perkebunan teh nasional mencakup
seluruh subsistem, mulai dari usaha tani/on farm sampai dengan pemasaran.
Rendahnya harga teh di tingkat petani yaitu hanya 15,8% dari harga teh wangi di
tingkat konsumen menindikasikan bahwa ada permasalahan di bagian pemasaran teh
di Indonesia, baik dalam hal kelembagaan, rantai nilai dan rantai tataniaga, serta
pelaksanaan transaksi. Akibatnya,

pembagian keuntungan/ manfaat di sepanjang

supply chain menjadi asih sangat timpang.

Gambar 12 : Bubuk dan Minuman Teh

Bandung Tea Auction (BTA) yang seharusnya dapat memasarkan hasil produksi
dan mengangkat

harga teh

di tingkat petani,

hingga saat ini belum

mampu

menjalankan misinya karena berbagai masalah yang dihadapinya antara lain ketiadaan
bridging finance, keterbatasan SDM, dan dana operasional.

Harga ekspor teh

Indonesia yang tercermin dari harga lelang teh di Jakarta Tea Auction (JTA) hanya
55%-60% dari harga teh di Colombo Tea Auction (CTA) yang antara lain disebabkan
oleh kurangnya persaingan dalam lelang. Peranan lembaga lelang yang ada, baik BTA
dan JTA, yakni volume teh yang dijual melalui lelang hanya sebesar 22%, sedangkan
78% sisanya diperdagangkan dengan transaksi langsung antara produsen dengan
pabrikan atau eksportir. Hal demikian menyebabkan produsen dan harga teh menjadi
lebih tertekan.

Sumber : Dewan Teh Indonesia

Di lain pihak, volume ekspor teh Indonesia sebesar 94 % masih dalam bentuk
curah (bulk). Ini berbeda dengan ekspor teh negara Sri Langka dan India, di mana 3040 % dari total ekspor sudah dalam bentuk produk hilir. Praktek yang demikian tentu
saja menguntungkan bagi kedua negara tersebut, karena dapat memperoleh nilai
tambah yang lebih besar. Bahkan hal ini juga diperparah dengan Kondisi Pangsa Pasar
Teh di dalam negeri belum mampu bersaing dengan jenis minuman lain. Pangsa pasar
minuman dalam kemasan mencapai 42 %, sedangkan pangsa pasar minuman teh
hanya sebesar 28 %. Konsumsi Teh Indonesia 350 gr/kapita/thn, lebih rendah dari
India 600 gram dan Srilangka 1.300 gram.
Teh asal Indonesia dikenal memiliki kandungan antioksidan tinggi guna
menanggulangi radikal bebas. Sayangnya meski memiliki kualitas bagus karena
mengandung antioksidan, harganya tetap rendah sehingga merugikan petani.
Seandainya harga rata-rata dunia US$ 2 maka teh asal Indonesia hanya dihargai US
$1. Selama 2000-2003 petani teh Indonesia diperkirakan mengalami kerugian
mencapai Rp 180 miliar per tahun akibat rendahnya harga jual teh.
Pada tahun 2004 harga teh Indonesia berkisar US$ 1.2 per kilogram mendekati
harga ideal pada tahun 1998. Sampai tahun 2007 harganya relative stabil pada kisaran
harga US$ 1.4 per kilogram. Konsumsi teh di Indonesia sebesar 0,8 kilogram per kapita
per tahun masih jauh di bawah negara-negara lain di dunia, walaupun Indonesia
merupakan negara penghasil teh terbesar nomor enam di dunia.Sektor perkebunan teh
atau bagian hulu menyumbang pendapatan sebesar Rp 1,2 triliun terhadap PDB dan
mempekerjakan sekitar 320.000 pekerja atau setara untuk menghidupi 1,3 juta orang
bila dihitung bersama keluarga mereka. Sementara di bagian hilirnya, yakni industri teh
menyumbang pendapatan bagi negara sebesar Rp 2,5 triliun dan mempekerjakan
sekitar 50.000 orang pekerja
Namun, kondisi bisnis teh di Indonesia tetap saja runyam karena pasar ekspor
teh Indonesia ke beberapa negara tertentu nyaris tertutup sebagai akibat hambatan bea
masuk yang tinggi. Sebaliknya, produk teh negara-negara tersebut bisa leluasa masuk
dan bersaing dengan produk teh lokal Indonesia karena hanya dikenakan bea masuk
yang murah yakni sebesar 5 %.

Akibatnya terjadilah ketidakadilan dalam perdagangan: teh Indonesia kalah


bersaing di negara-negara tertentu karena dikenakan bea masuk yang tinggi sekitar 3040 %, sementara teh asal negara-negara tertentu itu mampu menggerogoti pasar teh
domestik karena hanya dikenakan bea masuk sebesar 5 % saja. Vietnam yang baru
saja masuk ke pasar teh berani memasang tarif bea masuk 50%. Sedangkan, Pakistan
mengenakan tarif bea masuk sebesar 40 %. Departemen Keuangan sebagai penentu
tarif seharusnya segera merevisi tarif bea masuk yang tidak adil itu.
Tabel 1. Bea Masuk
Jenis : HS Code 2101.20
Produk : Extract, essence dan concentrate
Komponen

Negara
Lain ke
Indonesia
5%

Bea
Masuk
PPn
10 %
PPh
2,5 %
Total
17,5 %
Sumber : Aspatindo

Bea Masuk Indonesia ke :


Vietnam
India
China
Srilangka
50 %

30 %

32 %

30 %

20 %
0,0 %
70 %

20 %
0,0 %
56 %

17 %
3%
52 %

15 %
3%
48 %

Akibatnya produk teh hitam Indonesia yang dijual dengan harga US$ 1,4 per kg
akan menjadi mahal sekali harganya ketika masuk ke Vietnam, India, China dan
Srilangka sehingga tidak akan mampu bersaing. Sebaliknya produk teh Vietnam yang
memiliki harga US$ 0,7 bila masuk ke Indonesia hanya dikenakan bea masuk 5%
sehingga harga tetap murah yakni sekitar US$ 0,80.
Dari tabel di atas terlihat telah terjadinya Unfair Trade dengan adanya
pengenaan tarif impor yang sangat berbeda jauh dan tidak adil. Akibatnya, teh asal
Indonesia tidak mampu bersaing di luar negeri sementara pasar dalam negeri rentan
sekali diserbu produk teh asing karena tarif bea masuk yang terlalu rendah.
C. Solusi Permasalahan
Secara umum tingkat pengelolaan perkebunan teh di sentra-sentra produksi oleh
petani sangat bervariasi, belum optimal dan belum sepenuhnya menerapkan inovasi
teknologi sesuai anjuran hasil penelitian merupakan suatu kendala tersendiri. Untuk itu

perlu upaya-upaya dalam negeri yang yang merupakan integrasi dari pemerintah dan
pemerintah daerah, pelaku usaha, akademisi, peneliti, penggemar (hobbyist), dan
masyarakat umum untuk dapat meningkatkan daya saing produk perkebunan
Indonesia. Adapun upaya-upaya yang harus dilakukan untuk melindungi petani
perkebunan, khususnya petani jeruk siam adalah sebagai berikut:
a) Undang-Undang Perkebunan
Salah satu aspek penting yang mempengaruhi kinerja agribisnis perkebunan
adalah

belum

tersedianya

peraturan

perundangan

yang

khusus

mengatur

pembangunan subsektor perkebunan secara komprehensif dan sistematis. Saat ini


berbagai kalangan pelaku agribisnis perkebunan mengeluhkan, bahwa peraturanperundangan yang ada belum berpihak pada pembangunan subsektor perkebunan
khususnya dalam menghadapi kondisi pasar bebas yang serba kompetitif.
Untuk mengoptimalkan potensi perkebunan khususnya teh nasional diperlukan arah
dan kebijakan pengembangan secara holistik dan terpadu,

dengan melibatkan

pemerintah dan pemerintah daerah, pelaku usaha, akademisi, peneliti, penggemar


(hobbyist), dan masyarakat umum
b) Revitalisasi Industri Bibit Teh
Usaha perbenihan dilakukan melalui upaya pemuliaan untuk menghasilkan
varietas, perbanyakan materi tumbuhan, dan/atau introduksi dari luar negeri. Usaha
perbenihan hanya dapat dilakukan oleh pelaku usaha yang memiliki sertifikat profesi
dan/atau sertifikat kompetensi, atau badan usaha yang terakreditasi dalam bidang
perbenihan. Ketentuan sertifikat profesi, sertifikat kompetensi, dan/atau akreditasi
badan usaha dikecualikan bagi pelaku usaha perseorangan atau kelompok yang
melakukan usaha perbenihan untuk dipergunakan sendiri dan/atau terbatas dalam 1
(satu) kelompok.
c) Pengembangan Infrastruktur
Pembangunan fisik selama ini selalu diorientasikan di kota, sehingga perlu
dikembangkan pembangunan infrastruktur desa yang tidak kalah dengan kota.
Infrastruktur

ini

antara

lain:

jalan

raya,

telepon,

listrik,

pendidikan

(dengan

memperhatikan pula suprastruktur pendidikan sehingga bisa menghasilkan SDM


berkualitas), internet, jaringan irigasi, dan fasilitas pemasaran seperti pelabuhan. Yang

perlu diingat, pembangunan yang dilakukan adalah pembangunan berkelanjutan,


karena pembangunan ini bersifat jangka panjang. Infrastruktur ini sangat penting dalam
peningkatan pemasaran hasil-hasil perkebunan khususnya teh, dan industri lokal dalam
tingkat regional, nasional, bahkan internasional. Selain itu perlu dikembangkan pula
integrasi transportasi dengan daerah lain sehingga dapat memperlancar penyaluran
hasil-hasil produksi.
d) Kelembagaan Usaha
Kelembagaan usaha di tingkat petani (Poktan, Gapoktan, Koperasi Tani dll)
maupun kelembagaan usaha di tingkat pengusaha/swasta (pedagang pengumpul,
pedagang besar, pengecer, distributor, eksporter/importer, industri rumahan dll)
kondisinya sangat lemah. Kerjasama horisontal maupun vertikal antar kelembagaan
usaha petani, antar kelembagaan pengusaha/swasta dan antara kelembagaan usaha
petani dengan pengusaha/swasta belum berjalan dengan baik. Hal tersebut
mengakibatkan manajemen rantai pasokan komoditas perkebunan khususnya teh tidak
berjalan dengan semestinya. Diharapkan nantinya dapat terjadi hubungan yang sinergi
dan berkesinambungan sehingga semua pelaku-pelaku ekonomi yang terlibat dapat
mendapatkan keuntungan yang optimal dan diterima masyarakat luas.
e) Mempermudah Akses Lembaga Permodalan
Penyebab rendahnya daya saing produk perkebunan juga disebabkan modal
rendah yang dimiliki pelaku usaha perkebunan, khususnya usaha perkebunan skala
kecil yang mayoritas jumlahnya. Untuk memperoleh tambahan modal, seringkali usaha
perkebunan yang padat modal masih sulit mendapat suntikan dana dari lembaga
keuangan dalam negeri, mengingat sektor ini cenderung tidak bankable.
f) Peningkatan Sumber Daya Manusia
Saat ini belum ada PPL yang secara khusus menangani permasalahan agribisnis
teh, sehingga fungsi penyuluhan untuk kegiatan usahatani teh dirasakan masih belum
optimal dengan alasan struktur organisasi (keberadaan instansi pembina PPL di luar
Deptan). Untuk membantu pengembangan sumber daya manusia perkebunan, maka
pemerintah daerah mempunyai kewajiban untuk menyediakan minimal satu orang
tenaga penyuluh pegawai negeri sipil di bidang perkebunan di setiap desa yang
termasuk di dalam kawasan perkebunan.

Gambar 12 : Pengambilan Pucuk Daun pada Tanaman Teh

Pembinaan pada usaha pengolahan produk perkebunan diperlukan agar usahausaha pengolahan memenuhi standar mutu sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Pemberlakuan standar mutu dalam usaha pengolahan ini tidak
hanya terhadap produk dari hasil pengolahan saja, tetapi juga pada proses dalam
pengolahan produk perkebunan. Untuk melindungi usaha pengolahan lokal mikro dan
kecil maka pemerintah dan pemerintah daerah berkewajiban melakukan pembinaan
terhadap mereka agar mereka juga pada akhirnya dapat memenuhi standar yang
ditetapkan dalam usaha pengolahan ini.
g) Mekanisme Perlindungan
Indonesia dapat mengajukan 14 item produk sektor pertanian yang dapat
dikeluarkan dari perjanjian perdagangan bebas apabila dinilai ada sektor-sektor
tersebut mengalami kerugian atau apabila dirasa harga yang berlaku terlalu murah. Jika
dinilai pasar bebas ini akan merugikan banyak pihak, terutama petani karena sebagian
besar masyarakat Indonesia bermata pencaharian dibidang pertanian, maka teh dapat
diajukan dalam mekanisme perlindungan pada ACFTA, seperti halnya beras dan gula
pada perjanjian WTO.

Daftar Pustaka
Arifin, S. dan K. Bambang. 1994. "Potensi menyehatkan teh wangi Indonesia ". Seminar Teh dan
Kesehatan . Persogi, Semarang , Jawa Tengah.
Anonymous. 1998a. Teh dan kesehatan. Festival Teh Indonesia , Surabaya .
Bambang, K. 1985. "Adsorpsi bau bunga pada pengolahan teh wangi, pengaruh tingkat penggosongan
dan tingkat gulung". Tesis Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada .

T. Suhartika. 1995. "Potensi teh Indonesia ditinjau dari aspek kesehatan". Laporan Hasil Penelitian dan
Pengembangan Teknik Produksi dan Pascapanen Teh dan Kina , 1994/1995 .
T. Suhartika, Supria dan S. Tanjung. 1996. "Katekin pucuk teh segar dan perubahannya selama
pengolahan". Laporan Hasil Penelitian Teknologi Teh dan Kina 1995/1996 .
T. Suhartika, F.A. Syam Sumantri dan D. Mulyadi. 1997. "Pengolahan sari teh berkatekin tinggi".
Laporan Hasil Penelitian Teknologi Teh dan Kina 1996/1997.
Tadjudin Abas, A. Afandi, Suryatmo, S. Sumantri, A. Purnama. 1999. Rancang Bangun Proses Teh Hijau
Berkadar katekin Tinggi. Kelti Pengolahan Hasil dan Enjinering. Pusat Penelitian Teh dan Kina
Achmad Purnama. 2000. "Rancang Bangun Proses Teh Hijau Berkadar katekin Tinggi". Laporan Akhir
Proyek Pengkajian Teknologi Alat Pertanian Partisipatif Badan Litbang Pertanian. Departemen
Pertanian.
Oguni, I. 1996. Green Tea and Human Health. Japan Tea Exporter's Association Shizuoka Japan .
Yamanishi, T. 1995. "Flavour of tea". Food Review International Special Issue on Tea. Vol. II No. 3.
477-525.

Diposkan oleh Jhon Chen Van di 08.31


Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest
Reaksi:
Tidak ada komentar:
Poskan Komentar
Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda
Langganan: Poskan Komentar (Atom)

Arsip Blog

2013 (7)
o Februari (7)

Fermentasi Doenjang (Teknologi Pengolahan dan Pena...

Permasalahan, Potensi, dan Arah Pengembangan Agrib...

Rangkuman Materi Pengantar Ekonomi Pertanian

Soal Kisi-Kisi Ekologi Pertanian

Laporan Praktikum Pedesaan Usaha Tani Bumi Aji

PERMASALAHAN DAN SOLUSI IMPOR TERHADAP KOMODITAS


T...

Proposal Perkenalan Kampus ke SMA

Mengenai Saya

Jhon Chen Van


Lihat profil lengkapku
Template Awesome Inc.. Gambar template oleh 4x6. Diberdayakan oleh Blogger.

Das könnte Ihnen auch gefallen