Sie sind auf Seite 1von 25

Patofisiologi

Reaksi anafilaksis timbul bila sebelumnya telah terbentuk IgE spesifik terhadap alergen tertentu.
Alergen yang masuk kedalam tubuh lewat kulit, mukosa, sistem pernafasan maupun makanan,
terpapar pada sel plasma dan menyebabkan pembentukan IgE spesifik terhadap alergen tertentu.
IgE spesifik ini kemudian terikat pada reseptor permukaan mastosit dan basofil. Pada paparan
berikutnya, alergen akan terikat pada Ige spesifik dan memicu terjadinya reaksi antigen antibodi
yang menyebabkan terlepasnya mediator yakni antara lain histamin dari granula yang terdapat
dalam sel. Ikatan antigen antibodi ini juga memicu sintesis SRS-A ( Slow reacting substance of
Anaphylaxis ) dan degradasi dari asam arachidonik pada membrane sel, yang menghasilkan
leukotrine dan prostaglandin. Reaksi ini segera mencapai puncaknya setelah 15 menit. Efek
histamin, leukotrine (SRS-A) dan prostaglandin pada pembuluh darah maupun otot polos
bronkus
menyebabkan
timbulnya
gejala
pernafasan
dan
syok.
(2)
Efek biologis histamin terutama melalui reseptor H1 dan H2 yang berada pada permukaan
saluran sirkulasi dan respirasi. Stimulasi reseptor H1 menyebabkan peningkatan permeabilitas
pembuluh darah, spasme bronkus dan spasme pembuluh darah koroner sedangkan stimulasi
reseptor H2 menyebabkan dilatasi bronkus dan peningkatan mukus dijalan nafas. Rasio H1 H2
pada
jaringan
menentukan
efek
akhirnya.
(2,3)
Aktivasi mastosit dan basofil menyebabkan juga respon bifasik dari cAMP intraselluler. Terjadi
kenaikan cAMP kemudian penurunan drastis sejalan dengan pelepasan mediator dan granula
kedalam cairan ekstraselluler. Sebaliknya penurunan cGMP justru menghambat pelepasan
mediator. Obat-obatan yang mencegah penurunan cAMP intraselluler ternyata dapat
menghilangkan gejala anafilaksis. Obat-obatan ini antara lain adalah katekolamin (meningktakan
sintesis cAMP) dan methyl xanthine misalnya aminofilin (menghambat degradasi cAMP). Pada
tahap selanjutnya mediator-mediator ini menyebabkan pula rangkaian reaksi maupun sekresi
mediator sekunder dari netrofil,eosinofil dan trombosit,mediator primer dan sekunder
menimbulkan berbagai perubahan patologis pada vaskuler dan hemostasis, sebaliknya obat-obat
yang dapat meningkatkan cGMP (misalnya obat cholinergik) dapat memperburuk keadaan
karena
dapat
merangsang
terlepasnya
mediator.(2,3,4)
Reaksi
Anafilaktoid
Reaksi anafilaktoid adalah reaksi yang menyebabkan timbulnya gejala dan keluhan yang sama
dengan reaksi anafilaksis tetapi tanpa adanya mekanisme ikatan antigen antibodi. Pelepasan
mediator biokimiawi dari mastosit melewati mekanisme nonimunologik ini belum seluruhnya
dapat diterangkan. Zat-zat yang sering menimbulkan reaksi anafilaktoid adalah kontras
radiografi (idionated), opiate, tubocurarine, dextran maupun mannitol. Selain itu aspirin maupun
NSAID lainnya juga sering menimbulkan reaksi anafilaktoid yang diduga sebagai akibat
terhambatnya
enzim
siklooksgenase.

Manifestasi
klinik
Walaupun gambaran atau gejala klinik suatu reaksi anafilakis berbeda-beda gradasinya sesuai
berat ringannya reaksi antigen-antibodi atau tingkat sensitivitas seseorang, namun pada tingkat
yang berat barupa syok anafilaktik gejala yang menonjol adalah gangguan sirkulasi dan
gangguan respirasi. Kedua gangguan tersebut dapat timbul bersamaan atau berurutan yang
kronologisnya sangat bervariasi dari beberapa detik sampai beberapa jam. Pada dasarnya makin
cepat
reaksi
timbul
makin
berat
keadaan
penderita.(4,5,6,7)
Sistem
pernafasan
Gangguan respirasi dapat dimulai berupa bersin, hidung tersumbat atau batuk saja yang
kemudian segera diikuti dengan udema laring dan bronkospasme. Kedua gejala terakhir ini
menyebabkan penderita nampak dispnue sampai hipoksia yang pada gilirannya menimbulkan
gangguan sirkulasi, demikian pula sebaliknya, tiap gangguan sirkulasi pada gilirannya
menimbulkan gangguan respirasi. Umumnya gangguan respirasi berupa udema laring dan
bronkospasme
merupakan
pembunuh
utama
pada
syok
anafilaktik.
Sistem
sirkulasi
Biasanya gangguan sirkulasi merupakan efek sekunder dari gangguan respirasi, tapi bisa juga
berdiri sendiri, artinya terjadi gangguan sirkulasi tanpa didahului oleh gangguan respirasi. Gejala
hipotensi merupakan gejala yang menonjol pada syok anafilaktik. Hipotensi terjadi sebagai
akibat dari dua faktor, pertama akibat terjadinya vasodilatasi pembuluh darah perifer dan kedua
akibat meningkatnya permeabilitas dinding kapiler sehingga selain resistensi pembuluh darah
menurun, juga banyak cairan intravaskuler yang keluar keruang interstitiel (terjadi hipovolume
relatif).Gejala hipotensi ini dapat terjadi dengan drastis sehingga tanpa pertolongan yang cepat
segera
dapat
berkembang
menjadi
gagal
sirkulasi
atau
henti
jantung.
Gangguan
kulit.
Merupakan gejala klinik yang paling sering ditemukan pada reaksi anafilaktik. Walaupun gejala
ini tidak mematikan namun gejala ini amat penting untuk diperhatikan sebab ini mungkin
merupakan gejala prodromal untuk timbulnya gejala yang lebih berat berupa gangguan nafas dan
gangguan sirkulasi. Oleh karena itu setiap gangguan kulit berupa urtikaria, eritema, atau pruritus
harus diwaspadai untuk kemungkinan timbulnya gejala yang lebih berat. Dengan kata lain setiap
keluhan kecil yang timbul sesaat sesudah penyuntikan obat,harus diantisipasi untuk dapat
berkembang
kearah
yang
lebih
berat.
Gangguan
gastrointestinal
Perut kram,mual,muntah sampai diare merupakan manifestasi dari gangguan gastrointestinal
yang juga dapat merupakan gejala prodromal untuk timbulnya gejala gangguan nafas dan
sirkulasi.
Skema
perubahan
patofisiologi
pada
syok
anafilaktik
Skema perubahan patofisiologi pada syok anafilaktik

Pengelolaan
Anafilaksis
Secara
umum
terapi
1. Mencegah efek mediator

dan
anafilaksis

Menghambat sintesis dan pelepasan mediator

Blokade reseptor

syok

Anafilaksis
bertujuan
:

2. Mengembalikan fungsi organ dari perubahan patofisiologik akibat efek mediator.


Titik tangkap terapi berdasarkan perubahan patofisiologi

Penanganan
syok
anafilaktik
I.
Terapi
medikamentosa
(7,8,9)
Prognosis suatu syok anafilaktik amat tergantung dari kecepatan diagnose dan pengelolaannya.
1.Adrenalin merupakan drug of choice dari syok anafilaktik. Hal ini disebabkan 3 faktor yaitu :

Adrenalin merupakan bronkodilator yang kuat , sehingga penderita dengan cepat


terhindar dari hipoksia yang merupakan pembunuh utama.

Adrenalin merupakan vasokonstriktor pembuluh darah dan inotropik yang kuat sehingga
tekanan darah dengan cepat naik kembali.

Adrenalin merupakan histamin bloker, melalui peningkatan produksi cyclic AMP


sehingga produksi dan pelepasan chemical mediator dapat berkurang atau berhenti.

Dosis
dan
cara
pemberiannya.
0,3 0,5 ml adrenalin dari larutan 1 : 1000 diberikan secara intramuskuler yang dapat diulangi 5
10 menit. Dosis ulangan umumnya diperlukan, mengingat lama kerja adrenalin cukup singkat.
Jika respon pemberian secara intramuskuler kurang efektif, dapat diberi secara intravenous
setelah 0,1 0,2 ml adrenalin dilarutkan dalam spoit 10 ml dengan NaCl fisiologis, diberikan
perlahan-lahan. Pemberian subkutan, sebaiknya dihindari pada syok anafilaktik karena efeknya
lambat bahkan mungkin tidak ada akibat vasokonstriksi pada kulit, sehingga absorbsi obat tidak
terjadi.
2.Aminofilin
Dapat diberikan dengan sangat hati-hati apabila bronkospasme belum hilang dengan pemberian
adrenalin. 250 mg aminofilin diberikan perlahan-lahan selama 10 menit intravena. Dapat
dilanjutkan 250 mg lagi melalui drips infus bila dianggap perlu.
3. Antihistamin dan kortikosteroid.
Merupakan pilihan kedua setelah adrenalin. Kedua obat tersebut kurang manfaatnya pada tingkat
syok anafilaktik, sebab keduanya hanya mampu menetralkan chemical mediators yang lepas dan

tidak menghentikan produksinya. Dapat diberikan setelah gejala klinik mulai membaik guna
mencegah komplikasi selanjutnya berupa serum sickness atau prolonged effect. Antihistamin
yang biasa digunakan adalah difenhidramin HCl 5 20 mg IV dan untuk golongan kortikosteroid
dapat digunakan deksametason 5 10 mg IV atau hidrocortison 100 250 mg IV.
Obat obat yang dibutuhkan :

Adrenalin

Aminofilin

Antihistamin

Kortikosteroid

II.
Terapi
supportif
Terapi atau tindakan supportif sama pentingnya dengan terapi medikamentosa dan sebaiknya
dilakukan
secara
bersamaan.
(10,11,12)
1. Pemberian Oksigen
Jika laring atau bronkospasme menyebabkan hipoksi, pemberian O2 3 5 ltr / menit harus
dilakukan. Pada keadaan yang amat ekstrim tindakan trakeostomi atau krikotiroidektomi perlu
dipertimbangkan.
2. Posisi Trendelenburg
Posisi trendeleburg atau berbaring dengan kedua tungkai diangkat (diganjal dengan kursi ) akan
membantu menaikan venous return sehingga tekanan darah ikut meningkat.
3.Pemasangan infus.
Jika semua usaha-usaha diatas telah dilakukan tapi tekanan darah masih tetap rendah maka
pemasangan infus sebaiknya dilakukan. Cairan plasma expander (Dextran) merupakan pilihan
utama guna dapat mengisi volume intravaskuler secepatnya. Jika cairan tersebut tak tersedia,
Ringer Laktat atau NaCl fisiologis dapat dipakai sebagai cairan pengganti. Pemberian cairan
infus sebaiknya dipertahankan sampai tekanan darah kembali optimal dan stabil.
4. Resusitasi Kardio Pulmoner (RKP)
Seandainya terjadi henti jantung (cardiac arrest) maka prosedur resusitasi kardiopulmoner segera
harus dilakukan sesuai dengan falsafah ABC dan seterusnya. Mengingat kemungkinan terjadinya
henti jantung pada suatu syok anafilaktik selalu ada, maka sewajarnya ditiap ruang praktek
seorang dokter tersedia selain obat-obat emergency, perangkat infus dan cairannya juga
perangkat resusitasi(Resucitation kit ) untuk memudahkan tindakan secepatnya.
Perangkat yang dibutuhkan :

Oksigen

Posisi Trendelenburg (kursi)

Infus set dan cairannya

Resusitation kit

Pencegahan
1. Kewaspadaan
Tiap penyuntikan apapun bentuknya terutama obat-obat yang telah dilaporkan bersifat antigen
(serum, penisillin, anestesi lokal dll ) harus selalu waspada untuk timbulnya reaksi
anfilaktik.Penderita yang tergolong resiko tinggi (ada riwayat asma, rinitis, eksim, atau penyakitpenyakit alergi lainnya) harus lebih diwaspadai lagi. Jangan mencoba menyuntikan obat yang
sama bila sebelumnya pernah ada riwayat alergi betapapun kecilnya. Sebaiknya mengganti
dengan preparat lain yang lebih aman.
2. Test kulit
Test kulitmemang sebaiknya dilakukan secara rutin sebelum pemberian obat bagi penderita yang
dicurigai. Tindakan ini tak dapat diandalakan dan bukannya tanpa resiko tapi minimal kita dapat
terlindung dari sanksi hukum. Pada penderita dengan resiko amat tinggi dapat dicoba dengan
stracth test dengan kewaspadaan dan persiapan yang prima.
3. Pemberian antihistamin dan kortikosteroid .
Sebagai pencegahan sebelum penyuntikan obat, juga merupakan tindakan yang aman, selain itu
hasilnyapun dapat diandalkan.
4. Pengetahuan, keterampilan dan peralatan.
Early diagnosis dan early treatment secara lege-artis serta tersedianya obata-obatan beserta
perangkat resusitasi lainnya merupakan modal utama guna mengelola syok anafilaktik yang
mungkin tidak dapat dihindari dalam praktek dunia kodokteran.
Masalah
hukum
Walaupun test kulit tidak memberi jaminan 100 % namun demi kepentingan, test kulit sebaiknya
dilakukan sebelum menyuntikan obat-obatan yang telah pernah dilaporkan sebagai obat yang
dapat menimbulkan syok anafilaksis.Seandainya test kulit negatif dan pada pemberian dosis
pernah terjadi syok anafilaksis kemudian tak dapat tertolong maka pertanyaannya adalah :
1. Sudahkah kita melakukan tugas kita dengan baik yakni menggunakan standar profesi
yang optimal ? Disini dituntut pengetahuan dan keterampilan dalam bertindak.
2. Tersediakah obat-obatan perfection dan peralatan yang lengkap untuk melakukan RKP
yang sempurna. Disini dituntut tersedianya obat-obatan perfection dan peralatan yang
lengkap untuk bertindak sesuai dengan standar profesi yang muktahir.
Jika semuanya telah kita lakukan dengan sempurna, maka paling tidak beban moril akan jauh
lebih
rendah
dan
terhindar
dari
tuntutan
hukum.
Kesimpulan
1. Syok anafilaksis merupakan reaksi alergi yang tergolong emergency life-threatening.
2. Reaksi anafilaksis atau anafilaktoid dapat memberi gejala yang sama, walaupun
mekanismenya berbeda.
3. Test kulit senantiasa diperlukan, pada penggunaan obat-obat yang sangat dicurigai (untuk
kepentingan aspek hukum).

4. Pemberian antihistamin dan steroid pra-exposure dilaporkan sangat bermanfaat.


5. Drug of choise dari syok anafilaktik adalah adrenalin.
6. Keterampilan RKP dan ketersediaan Resusitation kit, emergency drug mutlak pada
tempat-tempat dimana penyuntikan banyak dilakukan.
Referensi.
1. HauptMT ,Fujii TK et al (2000) Anaphylactic Reactions. In :Text Book ofCritical care.
Eds : Ake Grenvvik,Stephen M.Ayres,Peter R,William C.Shoemaker 4th edWB Saunders
companyPhiladelpia-Tokyo.pp246-56
2. Koury SI, Herfel LU . (2000) Anaphylaxis and acute allergic reactions. In :International
edition Emergency Medicine.Eds :Tintinalli,Kellen,Stapczynski 5th ed McGrraw-Hill
New York-Toronto.pp 242-6
3. Martin (2000) In: Fundamentals Anatomy and Physiology,5th ed pp.788-9
4. Rehatta MN.(2000). Syok anafilaktik patofisiologi dan penanganan. In : Update on
Shock.Pertemuan Ilmiah Terpadu.Fakultas Kedoketran Universitas Airlangga Surabaya.
5. Sanders,J.H, Anaphylactic Reaction Handbook of Medical Emergencies, Med.Exam.
Publ.Co,2 nd Ed.154 : 1978.
6. Austen, K.F, : Systemic Anaphylaxix in Man JAMA, 192 : 2 .1965.
7. Van-Arsdel,P,P ,: Allergic Reaction to Penicillin, JAMA 191 : 3, 1965.
8. Petterson,R and Arbor A. Allergic Energencies. The Journal of the American Medical
Association 172 : 4,1960.
9. Shepard, D.A. and Vandam.L,D. Anaphylaxis Assiciated with the use of Dextran
Anesthesiology 25: 2, 1964.
10. Currie, TT. Et al, Severe Anaphylactic Reaction to Thiopentone : Case report,British
Medical Journal June 1966.
11. Kern R,A. Anphylactic Drug Reaction JAMA 6 :1962.
12. Cook, D.R. Acute Hypersensitivity Reaction to Penicillin During general Anesthesia :
Case Report. Anesthesia and Analgesia 50 : 1, 1971.

Klasifikasi
Syok dapat diglongkan menjadi 5 klasifikasi, meliputi :
1. Syok hipovolemik (disebabkan oleh kehilagan cairan / darah)
2. Syok kardiogenik (disebabkan oleh masalah pada jantung)
3. Syok anafilaktik (disebabkan oleh reaksi alergi)
4. Syok Septik (disebabkan oleh infeksi)
5. Syok Neurogenik (disebabkan oleh kerusakan sistem saraf)

Syok Hipovolemik

Syok hipovolemik disebabkan oleh menurunnya volume darah di sirkulasi diikuti dengan
menurunnya Cardiac Output (Curah Jantung). Beberapa contoh penyebab dari syok
hopovolemik, seperti pendarahan baik eksternal maupun internal, luka bakar, diare, muntah,
peritonitis, dll

Syok Kardiogenik

Syok kardiogenik digolongkan menjadi intrakardia atau ekstrakardia berdasarkan penyeba/kausa


berasal, apakahdari dalam jantung atau luar jantung. Syok kardiogenik intrakardiak disebabkan
karena kematian otot jantung (myocardiac infarct) atau pun terdapat sumbatan didalam jantung
yang membuat curah jantung menjadi menurun. Beberapa contoh penyebab syok kardiogenik
diantaranya, aritmia, AMI (Acute Myocard Infarct), VSD (Ventricular Septal Defect), Valvular
lesion, CHF(Chronic Heart Disease) yang berat, Hypertrophic Cardiomyopathy. Syok
kardiogenik ini terjadi ketika ventrikel gagal manejadi pompa disertai dengan menurunnya
tekanan darah sistolik < 90mmHg minimal dalam waktu 30 menit, dan terjadi peningkatan
tekanan kapiler pulmo yang disebabkan oleh kongesti pary, atau edema pulmo.
Syok kardiogenik ekstrakardiak disebabkan oleh adanya obstruksi pada aliran sirkuit
kardiovaskular dengan karakteristik terdapat gangguan pada pengisisan diastolik ataupun adanya
afterload yang berlebihan. Penyebab dari syok kardiogenik ini diantaranya, Pulmonary
embolism, Cardiac temponade, Tension Penumothorax, dll

Syok Anafilaktik

Syok anafilaktik ini terjadi akibat reaksi alergi yang dimediasi oleh IgE pada sel mast dan basofil
yang diakibatkan oleh antigen tertentu yang menyebabkan terjadinya pelepasan mediator mediator sepagai respon imun. Hal ini mengakibatkan terjadinya vasodilatasi perifer, konstriksi
bronkhus, ataupun dilatasi pembuluh darah lokal. Mediator yang terlepas terdiri dari primer dan
sekunder. mediator primer meliputi histamin, serotonin, Eosinofil chemotactic factor dan enzim

proteoitik. Sedangkan mediator sekunder meliputi PAD, bradikinin, prostagandin, dan


leukotriene.
Beberapa penyebab syok anafilaktik diantaranya, insect venom, antibiotik (beta lactams,
vancomycin, sulfonamide), heterologues serum (anti toxin, anti sera), latex, vaksin yang berbasis
telur, tranfusi darah, immunogobulin.

Syok Septik

Terjadinya syok septik diawali dengan adanya infeksi pada darah yang menyebar ke seluruh
tubuh. Penyebab yang sering meliputi peritonitis, pyelonefritis. Dengan adanya infeksi tersebut
tubuh melakukan respon dengan terlepasnya mediator inflamasi seperti il-1, TNF, PGE2, NO,
dan leukotriene yang menyebabkan berbagai kejadian berikut :
1. relaksasi vaskular
2. meningkatnya
intravaskular)

permeabilitas

endotel

(sehingga

menyebabkan

defisit

volume

3. Menurunya kontraktilitas jantung


Karakteristik tanda dan gejala dari syok septik adalah demam tinggi, vasodilatasi,
meningkatanya / Cardiac Output tetap normal akibat vasodilatasi dan laju metabolime yang
meningkat, serta adanya DIC yang menyebabkan pendarahan terutama di saluran cerna.

Syok Neurogenik

Syok neuro genik disebabkan oleh cideranya medula spinalis terutama pada segment
thoracolumbal, sehingga menebabkan hilangnya tonus simpatis. Hal ini menyebabkan hilangnya
tonus vasomotor, bradikardi, hipotensi. Biasanya pasien tampak sadar namun hangat dan kering
akibat hipotensi.

Patofisiologi
Syok merupakan kondisi terganggunya perfusi jaringan. Terdapat beebrapa faktor yan
mempengaruhi perfusi jaringan, yaitu

Cardial : Cardiac Output -> volume darah yang dipompakan oleh jantung baik
ventrikel kiri maupun ventrikel kanan dalam interval 1 menit. Cardiac Output dapat
dihitung dengan rumus Stroke Volume x Heart rate. Sehingga cardiac output dipengaruhi
oleh stroke volume dan denyut jantung (Heart Rate )dalam satu menit. Perfusi jaringan
dipengaruhi oleh cardiac output, sebagai contoh apabila Cardiac output menurun yang
disebabkan oleh aritmia, atau AMI (Acute Myocard Infact) maka volume darah yang
dipompa menuju seluruh tubuh pun akan menurun sehingga jaringan di seluruh tubuh pun
mengalami hipoperfusi.

Vascular : Perubahan Resistensi Vaskular. Tonus vaskular diregulasi oleh :


o Aktivitas tonus simpatis
o Kotekolamin sistemik -> berperan dalam sistem saraf simpatis
o Myogenic faktor -> berperan dalam menjaga aliran darah agar tetap konstan
ketika terjadi berbagai macam faktor yang mempengaruhi perfusi
o Substansi yang berperan sebagai vasodilator
o Endothelial NO

Humoral : renin, vasopressin, prostaglandin, kinin, atrial natriuretic factor. Faktor faktor yang mempengaruhi dalam mikrosirkulasi yaitu
o Adanya adhesi platelet dan leukosit pada lesi intravaskuler.
o Koagulasi intravaskuler
o Adanya konstriksi pada pembuluh darah prekapiler dan post kapiler
o Hipoksia -> vasodilatasi artriola -> venokonstriksi -> Kehilangan cairan
intravaskuler
o meingkatnya permeabilitas intrakapiler -> edema jaringan

Patogenesis dari syok => biasanya terjadi akibat penurunan Cardiac Output / Cardic Output yang
tidak adekuat. Penurunan cardiac output disebabkan oleh adanya anormalitas pada jantung
sendiri maupun akibat menurunnya venous return. Abnormalitas yang terjadi pada jantung akan
menyebabkan menurunnya kemampuan jantung untuk memompa darah secara adekuat.Beberapa
abnormalitas jantung diantaranya MI, aritmia, dll. Sedangkan beberapa penyebab menurunnya
venous return diantaranya, menurunya volume darah, menurunnya tonus vasomotor, terjadi
obstruksi pada beberapa tempat pada sirkulasi.
Tahapan
Patofisiologi
terdapat 4 stage perkembangan shock yang berlangsung secara progresif dan berkelanjutan, yaitu
1. inisial
2. kompensatori
3. progresif
4. refraktori

Inisial

Selama tahap ini, terjadi keadaan hipoperfusi yang menyebabkan kurangnya/ tidak cukupnya
oksigen untuk memberikan suplai terhadap kebutuhan metabolisme seluler. Keadaan hipoksia ini
menyebabkan, terjadinya fermentasi asam laktat pada sel. Hal ini terjadi karena ketika tidak
adanya oksigen, maka proses masuknya piruvat pada siklus kreb menjadi menurun, sehingga
terjadi penimbunan piruvat. Piruvat tersebut akan diubah menjadi laktat oleh laktat
dehidrogenase sehingga terjadi penimbunan laktat yang menyebabkan keadaan asidosis laktat.

Kompensatori

Pada tahap ini tubuh menjalani mekanisme fisiologis untuk mengembalikan kepada kondisi
normal, meliputi neural, humoral, dan bio kimia. Asidosis yang terjadi dalam tubuh
dikompensasi dengan keadaan hiperventilasi dengan tujuan untuk mengeluarkan CO2 dari dalam
tubuh, karena secara tidak langsung CO2 berperan dalam keseimbangan asam basa dengan cara
mengasamkan ata menurunkan pH dalam darah. Dengan demikian ketika CO2 dikeluarkan
melalui hiperventilasi dapat menaikkan pH darah didalam tubuh sehingga mengkompensasi
asidosis yang terjadi.
Pada syok juga terjadi hipotensi yang kemudian pada ambang batas tertentu dideteksi oleh
barosreseptor yang kemudian tubuh merespon dengan menghasilkan norepinefrin dan epnefrin.
Norepinefrin berperan dalam vasokonstriksi pembuluh darah namun memberikan efek yang
ringan pada peningkatan denyut jantung. Sedangkan epinefrin memberikan efek secara dominan
pada peningkatan denyut jantung dan memberikan efek yang ringan terhadap asokonstriksi
pembuluh darah. Dengan demikian kombinasi efek keduanya dapat berdampak terhadap
peningkatan tekanan darah. Selain dilepaskan norepinefrin dan epinefrin, RAA (renin angiotensi
aldosteron) juga teraktivasi dan terjadi juga pelepasan hormon vasopressor atau ADH (anti
diuretic hormon) yang berperan untuk meningkatkan tekanan darah dan mempertahankan cairan
didalam tubuh dengan cara menurunkan urine output.

Progresif

Ketika shock tidak berhasil ditangani dengan baik, maka syok akan mengalami tahap progresif
dan mekanisme kompensasi mulai mengalai kegagalan. Pada stadium ini, Asidosis metabolik
semakin prah, otot polos pada pembuluh darah mengalami relaksasi sehingga terjadi penimbunan
darah dalam pembuluh darah. Ha ini mengakibatkan peningkatan tekanan hidrostatik
dikombinasikan dengan lepas nya histamin yang mengakibatkan bocornya cairan ke dalam
jaringan sekitar. Hal ini mengakibatkan konsentrasi dan viscositas darah menjadi meningkat dan
dapat terjadi penyumbatan dala aliran darah sehingga berakibat terjadinya kematian banyak
jaringan. Jika organ pencernaan juga mengalami nekrosis, dapat menyebabkan masuknya bakteri
kedalam aliran darah yang kemudian dapat memperparah komplikasi yaitu syok endotoxic.

Refraktori

Pada stadium ini terjadi kegagalan organ untuk berfungsi dan shock menjadi ireversibel.
Kematian otak dan seluler pun berlangsung. Syok menjadi irevesibel karena ATP sudah banyak
didegradasi menjadi adenosin ketika terjadi kekurangan oksigen dalam sel. Adenosin yang
terbentuk mudah keluar dari sel dan menyebabkan vasodilatasi kapiler. Adenosin selanjutnya di
transformasi menjadi asam urat yang kemudian di eksresi ginjal. Pada tahap ini, pemberian
oksigen menjadi sia- sia karena sudah tidak ada adenosin yang dapat difosforilasi menjadi ATP.

DEFINISI
Secara harfiah, anafilaksis berasal dari kata ana yang berarti balik dan phylaxis yang berarti
perlindungan. Dalam hal ini respons imun yang seharusnya melindungi (prophylaxis) justru
merusak jaringan, dengan kata lain kebalikan dari pada melindungi (anti-phylaxis atau
anaphylaxis).
Syok anafilaktik adalah suatu respons hipersensitivitas yang diperantarai oleh Immunoglobulin E
(hipersensitivitas tipe I) yang ditandai dengan curah jantung dan tekanan arteri yang menurun
hebat. Hal ini disebabkan oleh adanya suatu reaksi antigen-antibodi yang timbul segera setelah
suatu antigen yang sensitif masuk dalam sirkulasi. Syok anafilaktik merupakan salah satu
manifestasi klinis dari anafilaksis yang merupakan syok distributif, ditandai oleh adanya
hipotensi yang nyata akibat vasodilatasi mendadak pada pembuluh darah dan disertai kolaps
pada sirkulasi darah yang dapat menyebabkan terjadinya kematian. Syok anafilaktik merupakan
kasus kegawatan, tetapi terlalu sempit untuk menggambarkan anafilaksis secara keseluruhan,

karena anafilaksis yang berat dapat terjadi tanpa adanya hipotensi, seperti pada anafilaksis
dengan gejala utama obstruksi saluran napas.
EPIDEMIOLOGI
Insiden anafilaksis sangat bervariasi, di Amerika Serikat disebutkan bahwa angka kejadian
anafilaksis berat antara 1-3 kasus/10.000 penduduk, paling banyak akibat penggunaan antibiotik
golongan penisilin dengan kematian terbanyak setelah 60 menit penggunaan obat. Insiden
anafilaksis diperkirakan 1-3/10.000 penduduk dengan mortalitas sebesar 1-3/1 juta
penduduk.Sementara di Indonesia, khususnya di Bali, angka kematian dari kasus anafilaksis
dilaporkan 2 kasus/10.000 total pasien anafilaksis pada tahun 2005 dan mengalami peningkatan
prevalensi pada tahun 2006 sebesar 4 kasus/10.000 total pasien anafilaksis.
Anafilaksis dapat terjadi pada semua ras di dunia. Beberapa sumber menyebutkan bahwa
anafilaksis lebih sering terjadi pada perempuan, terutama perempuan dewasa muda dengan
insiden lebih tinggi sekitar 35% dan mempunyai risiko kira-kira 20 kali lipat lebih tinggi
dibandingkan laki-laki. Berdasarkan umur, anafilaksis lebih sering pada anak-anak dan dewasa
muda, sedangkan pada orang tua dan bayi anafilaksis jarang terjadi.
FAKTOR PREDISPOSISI DAN ETIOLOGI
Beberapa faktor yang diduga dapat meningkatkan risiko anafilaksis adalah sifat alergen, jalur
pemberian obat, riwayat atopi, dan kesinambungan paparan alergen. Golongan alergen yang
sering menimbulkan reaksi anafilaksis adalah makanan, obat-obatan, sengatan serangga, dan
lateks. Udang, kepiting, kerang, ikan kacang-kacangan, biji-bijian, buah beri, putih telur, dan
susu adalah makanan yang biasanya menyebabkan suatu reaksi anafilaksis. Obat-obatan yang
bisa menyebabkan anafikasis seperti antibiotik khususnya penisilin, obat anestesi intravena,
relaksan otot, aspirin, NSAID, opioid, vitamin B1, asam folat, dan lain-lain. Media kontras
intravena, transfusi darah, latihan fisik, dan cuaca dingin juga bisa menyebabkan anafilaksis.
PATOFISIOLOGIS
Coomb dan Gell (1963) mengelompokkan anafilaksis dalam hipersensitivitas tipe I (Immediate
type reaction). Mekanisme anafilaksis melalui 2 fase, yaitu fase sensitisasi dan aktivasi. Fase
sensitisasi merupakan waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan Ig E sampai diikatnya oleh
reseptor spesifik pada permukaan mastosit dan basofil. Sedangkan fase aktivasi merupakan
waktu selama terjadinya pemaparan ulang dengan antigen yang sama sampai timbulnya gejala.
Alergen yang masuk lewat kulit, mukosa, saluran nafas atau saluran makan di tangkap oleh
Makrofag. Makrofag segera mempresentasikan antigen tersebut kepada Limfosit T, dimana ia
akan mensekresikan sitokin (IL4, IL13) yang menginduksi Limfosit B berproliferasi menjadi sel

Plasma (Plasmosit). Sel plasma memproduksi Ig E spesifik untuk antigen tersebut kemudian
terikat pada reseptor permukaan sel Mast (Mastosit) dan basofil.
Mastosit dan basofil melepaskan isinya yang berupa granula yang menimbulkan reaksi pada
paparan ulang. Pada kesempatan lain masuk alergen yang sama ke dalam tubuh. Alergen yang
sama tadi akan diikat oleh Ig E spesifik dan memicu terjadinya reaksi segera yaitu pelepasan
mediator vasoaktif antara lain histamin, serotonin, bradikinin dan beberapa bahan vasoaktif lain
dari granula yang di sebut dengan istilah preformed mediators.
Ikatan antigen-antibodi merangsang degradasi asam arakidonat dari membran sel yang akan
menghasilkan leukotrien (LT) dan prostaglandin (PG) yang terjadi beberapa waktu setelah
degranulasi yang disebut newly formed mediators. Fase Efektor adalah waktu terjadinya respon
yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek mediator yang dilepas mastosit atau basofil dengan
aktivitas farmakologik pada organ organ tertentu. Histamin memberikan efek bronkokonstriksi,
meningkatkan permeabilitas kapiler yang nantinya menyebabkan edema, sekresi mucus, dan
vasodilatasi. Serotonin meningkatkan permeabilitas vaskuler dan Bradikinin menyebabkan
kontraksi otot polos. Platelet activating factor (PAF) berefek bronkospasme dan meningkatkan
permeabilitas vaskuler, agregasi dan aktivasi trombosit. Beberapa faktor kemotaktik menarik
eosinofil dan neutrofil. Prostaglandin leukotrien yang dihasilkan menyebabkan bronkokonstriksi.
Vasodilatasi pembuluh darah yang terjadi mendadak menyebabkan terjadinya fenomena
maldistribusi dari volume dan aliran darah. Hal ini menyebabkan penurunan aliran darah balik
sehingga curah jantung menurun yang diikuti dengan penurunan tekanan darah. Kemudian
terjadi penurunan tekanan perfusi yang berlanjut pada hipoksia ataupun anoksia jaringan yang
berimplikasi pada keaadan syok yang membahayakan penderita.
Gambar 2.1. Patofisiologi Reaksi Anfilaksis

Gambar 2.2. Patofisiologi Syok Anafilaksis

MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis anafilaksis sangat bervariasi. Secara klinik terdapat 3 tipe dari reaksi
anafilaktik, yaitu reaksi cepat yang terjadi beberapa menit sampai 1 jam setelah terpapar dengan
alergen; reaksi moderat terjadi antara 1 sampai 24 jam setelah terpapar dengan alergen; serta
reaksi lambat terjadi lebih dari 24 jam setelah terpapar dengan alergen.
Gejala dapat dimulai dengan gejala prodormal baru menjadi berat, tetapi kadang-kadang
langsung berat. Berdasarkan derajat keluhan, anafilaksis juga dibagi dalam derajat ringan,
sedang, dan berat. Derajat ringan sering dengan keluhan kesemutan perifer, sensasi hangat, rasa
sesak dimulut, dan tenggorok. Dapat juga terjadi kongesti hidung, pembengkakan periorbital,
pruritus, bersin-bersin, dan mata berair. Awitan gejala-gejala dimulai dalam 2 jam pertama
setelah pemajanan. Derajat sedang dapat mencakup semua gejala-gejala ringan ditambah
bronkospasme dan edema jalan nafas atau laring dengan dispnea, batuk dan mengi. Wajah
kemerahan, hangat, ansietas, dan gatal-gatal juga sering terjadi. Awitan gejala-gejala sama
dengan reaksi ringan. Derajat berat mempunyai awitan yang sangat mendadak dengan tandatanda dan gejala-gejala yang sama seperti yang telah disebutkan diatas disertai kemajuan yang
pesat kearah bronkospame, edema laring, dispnea berat, dan sianosis. Bisa diiringi gejala
disfagia, keram pada abdomen, muntah, diare, dan kejang-kejang. Henti jantung dan koma jarang
terjadi. Kematian dapat disebabkan oleh gagal napas, aritmia ventrikel atau renjatan yang
irreversible.
Gejala dapat terjadi segera setelah terpapar dengan antigen dan dapat terjadi pada satu atau lebih
organ target, antara lain kardiovaskuler, respirasi, gastrointestinal, kulit, mata, susunan saaraf

pusat dan sistem saluran kencing, dan sistem yang lain. Keluhan yang sering dijumpai pada fase
permulaan ialah rasa takut, perih dalam mulut, gatal pada mata dan kulit, panas dan kesemutan
pada tungkai, sesak, serak, mual, pusing, lemas dan sakit perut.
Pada mata terdapat hiperemi konjungtiva, edema, sekret mata yang berlebihan. Pada rhinitis
alergi dapat dijumpai allergic shiners, yaitu daerah di bawah palpebra inferior yang menjadi
gelap dan bengkak. Pemeriksaan hidung bagian luar di bidang alergi ada beberapa tanda,
misalnya: allergic salute, yaitu pasien dengan menggunakan telapak tangan menggosok ujung
hidungnya ke arah atas untuk menghilangkan rasa gatal dan melonggarkan sumbatan; allergic
crease, garis melintang akibat lipatan kulit ujung hidung; kemudian allergic facies, terdiri dari
pernapasan mulut, allergic shiners, dan kelainan gigi geligi. Bagian dalam hidung diperiksa
untuk menilai warna mukosa, jumlah, dan bentuk sekret, edema, polip hidung, dan deviasi
septum. Pada kulit terdapat eritema, edema, gatal, urtikaria, kulit terasa hangat atau dingin,
lembab/basah, dan diaphoresis.
Pada sistem respirasi terjadi hiperventilasi, aliran darah paru menurun, penurunan saturasi
oksigen, peningkatan tekanan pulmonal, gagal nafas, dan penurunan volume tidal. Saluran nafas
atas bisa mengalami gangguan jika lidah atau orofaring terlibat sehingga terjadi stridor. Suara
bisa serak bahkan tidak ada suara sama sekali jika edema terus memburuk. Obstruksi saluran
napas yang komplit adalah penyebab kematian paling sering pada anafilaksis. Bunyi napas
mengi terjadi apabila saluran napas bawah terganggu karena bronkospasme atau edema mukosa.
Selain itu juga terjadi batuk-batuk, hidung tersumbat, serta bersin-bersin.
Keadaan bingung dan gelisah diikuti pula oleh penurunan kesadaran sampai terjadi koma
merupakan gangguan pada susunan saraf pusat. Pada sistem kardiovaskular terjadi hipotensi,
takikardia, pucat, keringat dingin, tanda-tanda iskemia otot jantung (angina), kebocoran endotel
yang menyebabkan terjadinya edema, disertai pula dengan aritmia. Sementara pada ginjal, terjadi
hipoperfusi ginjal yang mengakibatkan penurunan pengeluaran urine (oligouri atau anuri) akibat
penurunan GFR, yang pada akhirnya mengakibatkan terjadinya gagal ginjal akut. Selain itu
terjadi peningkatan BUN dan kreatinin disertai dengan perubahan kandungan elektrolit pada
urine.
Hipoperfusi pada sistem hepatobilier mengakibatkan terjadinya nekrosis sel sentral, peningkatan
kadar enzim hati, dan koagulopati. Gejala yang timbul pada sistem gastrointestinal merupakan
akibat dari edema intestinal akut dan spasme otot polos, berupa nyeri abdomen, mual-muntah
atau diare. Kadang kadang dijumpai perdarahan rektal yang terjadi akibat iskemia atau infark
usus.
Depresi sumsum tulang yang menyebabkan terjadinya koagulopati, gangguan fungsi trombosit,
dan DIC dapat terjadi pada sistem hematologi. Sementara gangguan pada sistem neuroendokrin
dan metabolik, terjadi supresi kelenjar adrenal, resistensi insulin, disfungsi tiroid, dan perubahan

status mental. Pada keadaan syok terjadi perubahan metabolisme dari aerob menjadi anaerob
sehingga terjadi peningkatan asam laktat dan piruvat. Secara histologis terjadi keretakan antar
sel, sel membengkak, disfungsi mitokondria, serta kebocoran sel.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium diperlukan karena sangat membantu menentukan diagnosis,
memantau keadaan awal, dan beberapa pemeriksaan digunakan untuk memonitor hasil
pengbatan serta mendeteksi komplikasi lanjut. Hitung eosinofil darah tepi dapat normal atau
meningkat, demikian halnya dengan IgE total sering kali menunjukkan nilai normal.
Pemeriksaan ini berguna untuk prediksi kemungkinan alergi pada bayi atau anak kecil dari suatu
keluarga dengan derajat alergi yang tinggi. Pemeriksaan lain yang lebih bermakna yaitu IgE
spesifik dengan RAST (radio-immunosorbent test) atau ELISA (Enzym Linked Immunosorbent
Assay test), namun memerlukan biaya yang mahal.
Pemeriksaan secara invivo dengan uji kulit untuk mencari alergen penyebab yaitu dengan uji
cukit (prick test), uji gores (scratch test), dan uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau
berseri (skin end-point titration/SET). Uji cukit paling sesuai karena mudah dilakukan dan dapat
ditoleransi oleh sebagian penderita termasuk anak, meskipun uji intradermal (SET) akan lebih
ideal. Pemeriksaan lain sperti analisa gas darah, elektrolit, dan gula darah, tes fungsi hati, tes
fungsi ginjal, feses lengkap, elektrokardiografi, rontgen thorak, dan lain-lain.
DIAGNOSIS
Pada pasien dengan reaksi anafilaksis biasanya dijumpai keluhan 2 organ atau lebih setelah
terpapar dengan alergen tertentu. Untuk membantu menegakkan diagnosis maka American
Academy of Allergy, Asthma and Immunology telah membuat suatu kriteria.
Kriteria pertama adalah onset akut dari suatu penyakit (beberapa menit hingga beberapa jam)
dengan terlibatnya kulit, jaringan mukosa atau kedua-duanya (misalnya bintik-bintik kemerahan
pada seluruh tubuh, pruritus, kemerahan, pembengkakan bibir, lidah, uvula), dan salah satu dari
respiratory compromise (misalnya sesak nafas, bronkospasme, stridor, wheezing, penurunan
PEF, hipoksemia) dan penurunan tekanan darah atau gejala yang berkaitan dengan disfungsi
organ sasaran (misalnya hipotonia, sinkop, inkontinensia).
Kriteria kedua, dua atau lebih gejala berikut yang terjadi secara mendadak setelah terpapar
alergen yang spesifik pada pasien tersebut (beberapa menit hingga beberapa jam), yaitu
keterlibatan jaringan mukosa kulit (misalnya bintik-bintik kemerahan pada seluruh tubuh,
pruritus, kemerahan, pembengkakan bibir-lidah-uvula); Respiratory compromise (misalnya sesak
nafas, bronkospasme, stridor, wheezing, penurunan PEF, hipoksemia); penurunan tekanan darah

atau gejala yang berkaitan (misalnya hipotonia, sinkop, inkontinensia); dan gejala
gastrointestinal yang persisten (misalnya nyeri abdominal, kram, muntah).
Kriteria ketiga yaitu terjadi penurunan tekanan darah setelah terpapar pada alergen yang
diketahui beberapa menit hingga beberapa jam (syok anafilaktik). Pada bayi dan anak-anak,
tekanan darah sistolik yang rendah (spesifik umur) atau penurunan darah sistolik lebih dari 30%.
Sementara pada orang dewasa, tekanan darah sistolik kurang dari 90 mmHg atau penurunan
darah sistolik lebih dari 30% dari tekanan darah awal.
DIAGNOSA BANDING
Beberapa keadaan dapat menyerupai reaksi anafilaktik. Gambaran klinis yang tidak spesifik dari
anafilaksis mengakibatkan reaksi tersebut sulit dibedakan dengan penyakit lainnya yang
memiliki gejala yang sama. Hal ini terjadi karena anafilaksis mempengaruhi seluruh sistem organ
pada tubuh manusia sebagai akibat pelepasan berbagai macam mediator dari sel mast dan basofil,
dimana masing-masing mediator tersebut memiliki afinitas yang berbeda pada setiap reseptor
pada sistem organ. Beberapa kondisi yang menyerupai reaksi anafilaksis dan syok anafilaktik
adalah reaksi vasovagal, infark miokard akut, reaksi hipoglikemik, reaksi histeris, Carsinoid
syndrome, Chinese restaurant syndrome, asma bronkiale, dan rhinitis alergika.
Reaksi vasovagal, sering dijumpai setelah pasien mandapat suntikan. Pasien tampak pingsan,
pucat dan berkeringat. Tetapi dibandingkan dengan reaksi anafilaktik, pada reaksi vasovagal
nadinya lambat dan tidak terjadi sianosis. Meskipun tekanan darahnya turun tetapi masih mudah
diukur dan biasanya tidak terlalu rendah seperti anafilaktik.Sementara infark miokard akut,
gejala yang menonjol adalah nyeri dada, dengan atau tanpa penjalaran. Gejala tersebut sering
diikuti rasa sesak tetapi tidak tampak tanda-tanda obstruksi saluran napas. Sedangkan pada
anafilaktik tidak ada nyeri dada.
Reaksi hipoglikemik, disebabkan oleh pemakaian obat antidiabetes atau sebab lain. Pasien
tampak lemah, pucat, berkeringat, sampai tidak sadar. Tekanan darah kadang-kadang menurun
tetapi tidak dijumpai tanda-tanda obstruksi saluran napas. Sedangkan pada reaksi anafilaktik
ditemui obstruksi saluran napas. Sedangkan pada reaksi histeris, tidak dijumpai adanya tandatanda gagal napas, hipotensi, atau sianosis. Pasien kadang-kadang pingsan meskipun hanya
sementara. Sedangkan tanda-tanda diatas dijumpai pada reaksi anafilaksis.
Carsinoid syndrome, dijumpai gejala-gejala seperti muka kemerahan, nyeri kepala, diare,
serangan sesak napas seperti asma. Chinese restaurant syndrome, dapat dijumpai beberapa
keadaan seperti mual, pusing, dan muntah pada beberapa menit setelah mengkonsumsi MSG
lebih dari 1gr, bila penggunaan lebih dari 5 gr bisa menyebabkan asma. Namun tekanan darah,
kecepatan denyut nadi, dan pernapasan tidak berbeda nyata dengan mereka yang diberi makanan
tanpa MSG.

Asma bronkiale, gejala-gejalanya dapat berupa sesak napas, batuk berdahak, dan suara napas
mengi (wheezing). Dan biasanya timbul karena faktor pencetus seperti debu, aktivitas fisik, dan
makanan, dan lebih sering terjadi pada pagi hari. Rhinitis alergika, penyakit ini menyebabkan
gejala seperti pilek, bersin, buntu hidung, gatal hidung yang hilang-timbul, mata berair yang
disebabkan karena faktor pencetus seperti debu, terutama di udara dingin.
PENATALAKSANAAN
Tindakan
Kalau terjadi komplikasi syok anafilaktik setelah kemasukan alergen baik peroral maupun
parenteral, maka tindakan pertama yang paling penting dilakukan adalah mengidentifikasi dan
menghentikan kontak dengan alergen yang diduga menyebabkan reaksi anafilaksis. Segera
baringkan penderita pada alas yang keras. Kaki diangkat lebih tinggi dari kepala untuk
meningkatkan aliran darah balik vena, dalam usaha memperbaiki curah jantung dan menaikkan
tekanan darah.
Tindakan selanjutnya adalah penilaian airway, breathing, dan circulation dari tahapan resusitasi
jantung paru untuk memberikan kebutuhan bantuan hidup dasar. Airway, penilaian jalan napas.
Jalan napas harus dijaga tetap bebas agar tidak ada sumbatan sama sekali. Untuk penderita yang
tidak sadar, posisi kepala dan leher diatur agar lidah tidak jatuh ke belakang menutupi jalan
napas, yaitu dengan melakukan triple airway manuver yaitu ekstensi kepala, tarik mandibula ke
depan, dan buka mulut. Penderita dengan sumbatan jalan napas total, harus segera ditolong
dengan lebih aktif, melalui intubasi endotrakea, krikotirotomi, atau trakeotomi. Breathing
support, segera memberikan bantuan napas buatan bila tidak ada tanda-tanda bernapas spontan,
baik melalui mulut ke mulut atau mulut ke hidung. Pada syok anafilaktik yang disertai udem
laring, dapat mengakibatkan terjadinya obstruksi jalan napas total atau parsial. Penderita yang
mengalami sumbatan jalan napas parsial, selain ditolong dengan obat-obatan, juga harus
diberikan bantuan napas dan oksigen 5-10 liter /menit. Circulation support, yaitu bila tidak
teraba nadi pada arteri besar (a. karotis atau a. femoralis), segera lakukan kompresi jantung luar.
Obat-obatan
Sampai sekarang adrenalin masih merupakan obat pilihan pertama untuk mengobati syok
anafilaksis. Obat ini berpengaruh untuk meningkatkan tekanan darah, menyempitkan pembuluh
darah, melebarkan bronkus, dan meningkatkan aktivitas otot jantung. Adrenalin bekerja sebagai
penghambat pelepasan histamin dan mediator lain yang poten. Mekanisme kerja adrenalin adalah
meningkatkan cAMP dalam sel mast dan basofil sehingga menghambat terjadinya degranulasi
serta pelepasan histamine dan mediator lainnya. Selain itu adrenalin mempunyai kemampuan
memperbaiki kontraktilitas otot jantung, tonus pembuluh darah perifer dan otot polos bronkus.
Adrenalin selalu akan dapat menimbulkan vasokonstriksi pembuluh darah arteri dan memicu

denyut dan kontraksi jantung sehingga menimbulkan tekanan darah naik seketika dan berakhir
dalam waktu pendek.
Pemberian adrenalin secara intramuskuler pada lengan atas, paha, ataupun sekitar lesi pada
sengatan serangga merupakan pilihan pertama pada penatalaksanaan syok anafilaktik. Adrenalin
memiliki onset yang cepat setelah pemberian intramuskuler. Pada pasien dalam keadaan syok,
absorbsi intramuskuler lebih cepat dan lebih baik dari pada pemberian subkutan. Berikan 0,5 ml
larutan 1 :1000 (0,3-0,5 mg) untuk orang dewasa dan 0,01 ml/kg BB untuk anak. Dosis diatas
dapat diulang beberapa kali tiap 5-15 menit, sampai tekanan darah dan nadi menunjukkan
perbaikan.
Tabel 2.1. Dosis Adrenalin Intramuskular untuk Anak-anak

Adrenalin sebaiknya tidak diberikan secara intravena kecuali pada keadaan tertentu saja
misalnya pada saat syok (mengancam nyawa) ataupun selama anestesia. Pada saat pasien tampak
sangat kesakitan serta kemampuan sirkulasi dan absorbsi injeksi intramuskuler yang benar-benar
diragukan, adrenalin mungkin diberikan dalam injeksi intravena lambat dengan dosis 500 mcg (5
ml dari pengenceran injeksi adrenalin 1:10000) diberikan dengan kecepatan 100 mcg/menit dan
dihentikan jika respon dapat dipertahankan. Pada anak-anak dapat diberi dosis 10 mcg/kg BB
(0,1 ml/kg BB dari pengenceran injeksi adrenalin 1:10000) dengan injeksi intravena lambat
selama beberapa menit. Beberapa penulis menganjurkan pemberian infus kontinyu adrenalin 2-4
ug/menit. Individu yang mempunyai resiko tinggi untuk mengalami syok anafilaksis perlu
membawa adrenalin setiap waktu dan selanjutnya perlu diajarkan cara penyuntikkan yang benar.
Pada kemasan perlu diberi label, pada kasus kolaps yang cepat orang lain dapat memberikan
adrenalin tersebut. (Pamela, adrenalin, draholik)
Pengobatan tambahan dapat diberikan pada penderita anafilaksis, obat-obat yang sering
dimanfaatkan adalah antihistamin, kortikosteroid, dan bronkodilator. Pemberian antihistamin
berguna untuk menghambat proses vasodilatasi dan peningkatan peningkatan permeabilitas
vaskular yang diakibatkan oleh pelepasan mediator dengan cara menghambat pada tempat
reseptor-mediator tetapi bukan bukan merupakan obat pengganti adrenalin. Tergantung beratnya

penyakit, antihistamin dapat diberikan oral atau parenteral. Pada keadaan anafilaksis berat
antihistamin dapat diberikan intravena. Untuk AH2 seperti simetidin (300 mg) atau ranitidin (150
mg) harus diencerkan dengan 20 ml NaCl 0,9% dan diberikan dalam waktu 5 menit. Bila
penderita mendapatkan terapi teofilin pemakaian simetidin harus dihindari sebagai gantinya
dipakai ranitidin. Anti histamin yang juga dapat diberikan adalah dipenhidramin intravena 50 mg
secara pelan-pelan (5-10 menit), diulang tiap 6 jam selama 48 jam.
Kortikosteroid digunakan untuk menurunkan respon keradangan, kortikosteroid tidak banyak
membantu pada tata laksana akut anafilaksis dan hanya digunakan pada reaksi sedang hingga
berat untuk memperpendek episode anafilaksis atau mencegah anafilaksis berulang.
Glukokortikoid intravena baru diharapkan menjadi efektif setelah 4-6 jam pemberian.
Metilprednisolon 125 mg intravena dpt diberikan tiap 4-6 jam sampai kondisi pasien stabil (yang
biasanya tercapai setelah 12 jam), atau hidrokortison intravena 7-10 mg/Kg BB, dilanjutkan
dengan 5 mg/kgBB setiap 6 jam, atau deksametason 2-6 mg/kg BB.
Apabila terjadi bronkospasme yang menetap diberikan aminofilin intravena 4-7 mg/Kg BB
selama 10-20 menit, dapat diikuti dengan infus 0,6 mg/Kg BB/jam, atau aminofilin 5-6 mg/Kg
BB yang diencerkan dalam 20 cc dextrosa 5% atau NaCl 0,9% dan diberikan perlahan-lahan
sekitar 15 menit. Pilihan yang lain adalah bronkodilator aerosol (terbutalin, salbutamol). Larutan
salbutamol atau agonis 2 yang lain sebanyak 0,25 cc-0,5 cc dalam 2-4 ml NaCl 0,99% diberikan
melalui nebulisasi.
Apabila tekanan darah tidak naik dengan pemberian cairan, dapat diberikan vasopresor melalui
cairan infus intravena. Larutan 1 ml epineprin 1:1000 dalam 250 ml dextrosa (konsentrasi 4
mg/ml) diberikan dengan infus 1-4 mg/menit atau 15-60 mikrodrip/menit (dengan infus
mikrodrip), bila diperlukan dosis dapat dinaikan sampai dosis maksimum 10 mg/ml, atau aramin
2-5 mg bolus IV pelan-pelan, atau levarterenol bitartrat 4-8 mg/liter dengan dekstrosa 5% dengan
kecepatan 2ml/menit, atau Dopamin 0,3-1,2 mg/Kg BB/jam secara infus dengan dextrosa 5%.
Terapi Cairan
Bila tekanan darah tetap rendah, diperlukan pemasangan jalur intravena untuk koreksi
hipovolemia akibat kehilangan cairan ke ruang ekstravaskular sebagai tujuan utama dalam
mengatasi syok anafilaktik. Pemberian cairan akan meningkatkan tekanan darah dan curah
jantung serta mengatasi asidosis laktat. Pemilihan jenis cairan antara larutan kristaloid dan koloid
tetap merupakan mengingat terjadinya peningkatan permeabilitas atau kebocoran kapiler. Pada
dasarnya, bila memberikan larutan kristaloid, maka diperlukan jumlah 3-4 kali dari perkiraan
kekurangan volume plasma. Biasanya, pada syok anafilaktik berat diperkirakan terdapat
kehilangan cairan 20-40% dari volume plasma. Sedangkan bila diberikan larutan koloid, dapat
diberikan dengan jumlah yang sama dengan perkiraan kehilangan volume plasma.

Perlu diperhatikan bahwa larutan koloid plasma protein atau dextran juga bisa melepaskan
histamin. Cairan intravena seperti larutan isotonik kristaloid merupakan pilihan pertama dalam
melakukan resusitasi cairan untuk mengembalikan volume intravaskuler, volume interstitial, dan
intra sel. Cairan plasma atau pengganti plasma berguna untuk meningkatkan tekanan onkotik
intravaskuler.
Observasi
Dalam keadaan gawat, sangat tidak bijaksana bila penderita syok anafilaktik dikirim ke rumah
sakit, karena dapat meninggal dalam perjalanan. Kalau terpaksa dilakukan, maka penanganan
penderita di tempat kejadian harus seoptimal mungkin sesuai dengan fasilitas yang tersedia dan
transportasi penderita harus dikawal oleh dokter. Posisi waktu dibawa harus tetap dalam posisi
telentang dengan kaki lebih tinggi dari jantung. Kalau syok sudah teratasi, penderita jangan
cepat-cepat dipulangkan, tetapi harus diobservasi dulu selama selama 24 jam, 6 jam berturutturut tiap 2 jam sampai keadaan fungsi membaik. Hal-hal yang perlu diobservasi adalah keluhan,
klinis (keadaan umum, kesadaran, vital sign, dan produksi urine), analisa gas darah,
elektrokardiografi, dan komplikasi karena edema laring, gagal nafas, syok dan cardiac arrest.
Kerusakan otak permanen karena syok dan gangguan cardiovaskuler. Urtikaria dan angoioedema
menetap sampai beberapa bulan, infark miokard, aborsi, dan gagal ginjal juga pernah dilaporkan.
Penderita yang telah mendapat adrenalin lebih dari 2-3 kali suntikan, harus dirawat di rumah
sakit.2,9,12
Gambar 2.3. Algoritma Penatalaksanaan Reaksi Anafilaksis

Pencegahan
Pencegahan merupakan langkah terpenting dalam penetalaksanaan syok anafilaktik terutama
yang disebabkan oleh obat-obatan. Melakukan anamnesis riwayat alergi penderita dengan cermat
akan sangat membantu menentukan etiologi dan faktor risiko anafilaksis. Individu yang
mempunyai riwayat penyakit asma dan orang yang mempunyai riwayat alergi terhadap banyak
obat, mempunyai resiko lebih tinggi terhadap kemungkinan terjadinya syok anafilaktik.
Melakukan skin test bila perlu juga penting, namun perlu diperhatian bahwa tes kulit negatif
pada umumnya penderita dapat mentoleransi pemberian obat-obat tersebut, tetapi tidak berarti
pasti penderita tidak akan mengalami reaksi anafilaksis. Orang dengan tes kulit negatif dan

mempunyai riwayat alergi positif mempunyai kemungkinan reaksi sebesar 1-3% dibandingkan
dengan kemungkinan terjadinya reaksi 60%, bila tes kulit positif.
Dalam pemberian obat juga harus berhati-hati, encerkan obat bila pemberian dengan jalur
subkutan, intradermal, intramuskular, ataupun intravena dan observasi selama pemberian.
Pemberian obat harus benar-benar atas indikasi yang kuat dan tepat. Hindari obat-obat yang
sering menyebabkan syok anafilaktik. Catat obat penderita pada status yang menyebabkan alergi.
Jelaskan kepada penderita supaya menghindari makanan atau obat yang menyebabkan alergi. Hal
yang paling utama adalah harus selalu tersedia obat penawar untuk mengantisipasi reaksi
anfilaksis serta adanya alat-alat bantu resusitasi kegawatan. Desensitisasi alergen spesifik adalah
pencegahan untuk kebutuhan jangka panjang.
Prognosis
Penanganan yang cepat, tepat, dan sesuai dengan kaedah kegawatdaruratan, reaksi anafilaksis
jarang menyebabkan kematian. Namun reaksi anafilaksis tersebut dapat kambuh kembali akibat
paparan antigen spesifik yang sama. Maka dari itu perlu dilakukan observasi setelah terjadinya
serangan anafilaksis untuk mengantisipasi kerusakan sistem organ yang lebih luas lagi.
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi prognosis dari reaksi anafilaksis yang akan
menentukan tingkat keparahan dari reaksi tersebut, yaitu umur, tipe alergen, atopi, penyakit
kardiovaskular, penyakit paru obstruktif kronis, asma, keseimbangan asam basa dan elektrolit,
obat-obatan yang dikonsumsi seperti -blocker dan ACE Inhibitor, serta interval waktu dari
mulai terpajan oleh alergen sampai penanganan reaksi anafilaksis dengan injeksi adrenalin.

Das könnte Ihnen auch gefallen