Beruflich Dokumente
Kultur Dokumente
IKTERUS NEONATORUM
KONSULEN
Dr.H. Asep
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat
rahmatdan hidayah-Nya jualah penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan sebaik-baiknya.
Ucapan terima kasih penulis ucapkan kepada seluruh pihak yang telah membantu dalam
penyusunan makalah ini, khususnya kepada Dr.H. Asep Hidayat,Sp.A selaku konsulen yang telah
memberi bimbingan, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan sebaik-baiknya.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas di stase ilmu kesehatan anak dengan judul
Ikterus Neonatorum pada kepaniteraan klinik senior di RS. DR.SOEKARDJO.
Dalam penyusunan makalah ini penulis masih merasa banyak kekurangan, untuk itu
penulis mengharap kritik dan saran yang membangun guna perbaikan ke depan.
Penulis berharap makalah ini dapat memberi banyak manfaat bagi penulis khususnya dan
pembaca sekalian pada umumnya. Semoga makalah ini dapat memberi masukan bagi rekanrekan yang ingin mengetahui masalah Ikterus Neonatorum.
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................................
DAFTAR ISI..............................................................................................................
ii
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................
I.2 Tujuan.........................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN...........................................................................................
II.1 Pengertian..................................................................................................
II.3 Etiologi.......................................................................................................
II.4 Patofisiologi...............................................................................................
II.6 Diagnosis...................................................................................................
10
II.8 Penatalaksanaan.........................................................................................
11
II.9 Prognosis....................................................................................................
16
18
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................
19
BAB I
PENDAHULUAN
1.2. Tujuan
Tujuan penulisan referat ini adalah untuk mempelajari dan mengetahui definisi,
metabolisme bilirubin, etiologi, patofisiologi, manifestasi klinis, diagnosis, diagnosis banding,
penatalaksanaan serta prognosis dari ikterik neonatum.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.
Pengertian-pengertian
Ikterus adalah warna kuning pada kulit, konjungtiva, dan mukosa akibat penumpukan bilirubin,
sedangkan hiperbilirubinemia adalah ikterus dengan konsentrasi bilirubin serum yang menjurus
ke arah terjadinya kernikterus atau ensefalopati bilirubin bila kadar bilirubin tidak dikendalikan.
A. Ikterus Neonatorum
Yaitu disklorisasi pada kulit atau organ lain karena penumpukan bilirubin.
B. Ikterus fisiologis
Adalah ikterus yang timbul pada hari kedua dan ketiga yang tidak mempunyai dasar
patologis, kadarnya tidak melewati kadar yang membahayakan atau mempunyai potensi menjadi
kernikterus dan tidak menyebabkan suatu morbiditas pada bayi.
Dalam keadaan normal, kadar bilirubin indirek dalam serum tali pusat adalah sebesar 1-3
mg/dl dan akan meningkat dengan kecepatan kurang dari 5 mg/dl/24 jam; dengan demikian
ikterus baru terlihat pada hari ke 2-3, biasanya mencapai puncaknya antara hari ke 2-4, dengan
kadar 5-6 mg/dl untuk selanjutnya menurun sampai kadarnya lebih rendah dari 2 mg/dl antara
lain ke 5-7 kehidupan. Ikterus akibat perubahan ini dinamakan ikterus fisiologis dan diduga
sebagai akibat hancurnya sel darah merah janin yang disertai pembatasan sementara pada
konjugasi dan ekskresi bilirubin oleh hati.
Diantara bayi-bayi prematur, kenaikan bilirubin serum cenderung sama atau sedikit lebih
lambat daripada pada bayi aterm, tetapi berlangsung lebih lama, pada umumnya mengakibatkan
kadar yang lebih tinggi, puncaknya dicapai antara hari ke 4-7, pola yang akan diperlihatkan
bergantung pada waktu yang diperlukan oleh bayi preterm mencapai pematangan mekanisme
metabolisme ekskresi bilirubin. Kadar puncak sebesar 8-12 mg/dl tidak dicapai sebelum hari ke
5-7 dan kadang-kadang ikterus ditemukan setelah hari ke-10.
Diagnosis ikterus fisiologik pada bayi aterm atau preterm, dapat ditegakkan dengan
menyingkirkan penyebab ikterus berdasarkan anamnesis dan penemuan klinik dan laboratorium.
Pada umumnya untuk menentukan penyebab ikterus jika :
1. Ikterus timbul dalam 24 jam pertama kehidupan.
2. Bilirubin serum meningkat dengan kecepatan lebih besar dari 5 mg/dl/24 jam.
3. Kadar bilirubin serum lebih besar dari 12 mg/dl pada bayi aterm dan lebih besar dari 14
mg/dl pada bayi preterm.
4. Ikterus persisten sampai melewati minggu pertama kehidupan, atau
5. Bilirubin direk lebih besar dari 1 mg/dl.
C. Ikterus patologis
adalah ikterus yang mempunyai dasar patologis atau kadar bilirubinnya mencapai suatu
nilai yang disebut hiperbilirubinemia.
Ikterus patologis mungkin merupakan petunjuk penting untuk diagnosis awal dari banyak
penyakit neonatus. Ikterus patologis dalam 36 jam pertama kehidupan biasanya disebabkan oleh
kelebihan produksi bilirubin, karena klirens bilirubin yang lambat jarang menyebabkan
peningkatan konsentrasi diatas 10 mg/dl pada umur ini. Jadi, ikterus neonatorum dini biasanya
disebabkan oleh penyakit hemolitik.
2.
Peningkatan kadar bilirubin serum sebanyak 5 mg/dl atau lebih setiap 24 jam
3.
b.
D. Kernicterus
Suatu sindroma neurologik yang timbul sebagai akibat penimbunan bilirubin tak
terkonyugasi dalam sel-sel otak.
Bahaya hiperbilirubinemia adalah kernikterus, yaitu suatu kerusakan otak akibat
perlengketan bilirubin indirek pada otak terutama pada korpus striatum, talamus, nukleus
subtalamus hipokampus, nukleus merah dan nukleus di dasar ventrikel IV. Secara klinis pada
awalnya tidak jelas, dapat berupa mata berputar, letargi, kejang, tak mau menghisap, malas
minum, tonus otot meningkat, leher kaku, dan opistotonus. Bila berlanjut dapat terjadi spasme
otot, opistotonus, kejang, atetosis yang disertai ketegangan otot. Dapat ditemukan ketulian pada
nada tinggi, gangguan bicara dan retardasi mental.
2.2
Metabolisme bilirubin
Untuk mendapat pengertian yang cukup mengenai masalah ikterus pada neonatus, perlu
diketahui tentang metabolisme bilirubin pada janin dan neonatus. Perbedaan utama metabolisme
adalah bahwa pada janin melalui plasenta dalam bentuk bilirubin indirek. Metabolisme bilirubin
mempunyai tingkatan sebagai berikut :
1.
Produksi
Sebagian besar bilirubin terbentuk sebagai akibat degradasi hemoglobin pada sistem
retikuloendotelial (RES). Tingkat penghancuran hemoglobin ini pada neonatus lebih tinggi
dari pada bayi yang lebih tua. Satu gram hemoglobin dapat menghasilkan 35 mg bilirubin
indirek. Bilirubin indirek yaitu bilirubin yang bereaksi tidak langsung dengan zat warna
diazo (reaksi hymans van den bergh), yang bersifat tidak larut dalam air tetapi larut dalam
lemak.
2.
Transportasi
Bilirubin indirek kemudian diikat oleh albumin sel parenkim hepar mempunyai cara yang
selektif dan efektif mengambil bilirubin dari plasma. Bilirubin ditransfer melalui membran
sel ke dalam hepatosit sedangkan albumin tidak. Didalam sel bilirubin akan terikat
terutama pada ligandin (protein g, glutation S-transferase B) dan sebagian kecil pada
glutation S-transferase lain dan protein Z. Proses ini merupakan proses dua arah,
tergantung dari konsentrasi dan afinitas albumin dalam plasma dan ligandin dalam
hepatosit. Sebagian besar bilirubin yang masuk hepatosit di konjugasi dan di ekskresi ke
dalam empedu. Dengan adanya sitosol hepar, ligadin mengikat bilirubin sedangkan
albumin tidak Pemberian fenobarbital mempertinggi konsentrasi ligadin dan memberi
tempat pengikatan yang lebih banyak untuk bilirubin.
3.
Konjugasi
Dalam sel hepar bilirubin kemudian dikonjugasi menjadi
bilirubin diglukosonide.
Ekskresi
Sesudah konjugasi bilirubin ini menjadi bilirubin direk yang larut dalam air dan di ekskresi
dengan cepat ke sistem empedu kemudian ke usus. Dalam usus bilirubin direk ini tidak
diabsorpsi; sebagian kecil bilirubin direk dihidrolisis menjadi bilirubin indirek dan
direabsorpsi. Siklus ini disebut siklus enterohepatis. Pada neonatus karena aktivitas enzim
B glukoronidase yang meningkat, bilirubin direk banyak yang tidak dirubah menjadi
urobilin. Jumlah bilirubin yang terhidrolisa menjadi bilirubin indirek meningkat dan
tereabsorpsi sehingga siklus enterohepatis pun meningkat.
5.
akibat hipoksia, asidosis atau bila terdapat kekurangan enzim glukoronil transferase atau
kekurangan glukosa, kadar bilirubin indirek dalam darah dapat meninggi. Bilirubin indirek
yang terikat pada albumin sangat tergantung pada kadar albumin dalam serum. Pada bayi
kurang bulan biasanya kadar albuminnya rendah sehingga dapat dimengerti bila kadar
bilirubin indek yang bebas itu dapat meningkat dan sangat berbahaya karena bilirubin
indirek yang bebas inilah yang dapat melekat pada sel otak. Inilah yang menjadi dasar
pencegahan kernicterus dengan pemberian albumin atau plasma. Bila kadar bilirubin
indirek mencapai 20 mg% pada umumnya kapasitas maksimal pengikatan bilirubin oleh
neonatus yang mempunyai kadar albumin normal telah tercapai.
2.3
Etiologi
Penyebab ikterus pada bayi baru lahir dapat berdiri sendiri ataupun dapat disebabkan oleh
beberapa faktor. Secara garis besar etiologi ikterus neonatorum dapat dibagi :
1.
2.
3.
Gangguan transportasi
Bilirubin dalam darah terikat pada albumin kemudian diangkat ke hepar. Ikatan bilirubin
dengan albumin ini dapat dipengaruhi oleh obat misalnya salisilat, sulfafurazole. Defisiensi
albumin menyebabkan lebih banyak terdapatnya bilirubin indirek yang bebas dalam darah
yang mudah melekat ke sel otak.
4.
hiperbilirubinemia secara berangsur-angsur akan menurun dan kemudian akan menetap selama
3-10 minggu dengan kadar yang lebih rendah. Jika mereka dihentikan menyusu, kadar bilirubin
serum akan menurun dengan cepat, biasanya kadar normal dicapai dalam beberapa hari.
Penghentian menyusu selama 2-4 hari, bilirubin serum akan menurun dengan cepat,
setelah itu mereka dapat menyusu kembali, tanpa disertai timbulnya kembali hiperbilirubinemia
dengan kadar tinggi, seperti sebelumnya. Bayi ini tidak memperlihatkan tanda kesakitan lain dan
kernikterus tidak pernah dilaporkan. Susu yang berasal dari beberapa ibu mengandung 5 bpregnan-3 a, 2ab-diol dan asam lemak rantai panjang, tak-teresterifikasi, yang secara kompetitif
menghambat aktivitas konjugasi glukoronil transferase, pada kira-kira 70% bayi yang
disusuinya. Pada ibu lainnya, susu yang mereka hasilkan mengandung lipase yang mungkin
bertanggung jawab atas terjadinya ikterus. Sindroma ini harus dibedakan dari hubungan yang
sering diakui, tetapi kurang didokumentasikan, antara hiperbilirubinemia tak-terkonjugasi, yang
diperberat yang terdapat dalam minggu pertama kehidupan dan menyusu pada ibu.
2.4.
Patofisiologi
Peningkatan kadar bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa keadaan. Kejadian yang
sering ditemukan adalah apabila terdapat penambahan beban bilirubin pada sel hepar yang terlalu
berlebihan. Hal ini dapat ditemukan bila terdapat peningkatan penghancuran eritrosit,
polisitemia, memendeknya umur eritrosit janin/bayi, meningkatnya bilirubin dari sumber lain,
atau terdapatnya peningkatan sirkulasi enterohepatik.
Gangguan ambilan bilirubin plasma juga dapat menimbulkan peningkatan kadar bilirubin
tubuh. Hal ini dapat terjadi apabila kadar protein Y berkurang atau pada keadaan proten Y dan
protein Z terikat oleh anion lain, misalnya pada bayi dengan asidosis atau dengan
anoksia/hipoksia. Keadaan lain yang memperlihatkan peningkatan kadar bilirubin adalah apabila
ditemukan gangguan konjugasi hepar (defisiensi enzim glukoranil transferase) atau bayi yang
menderita gangguan ekskresi, misalnya penderita hepatitis neonatal atau sumbatan saluran
empedu intra/ekstra hepatik.
Pada derajat tertentu, bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusak jaringan tubuh.
Toksisitas ini terutama ditemukan pada bilirubin indirek yang bersifat sukar larut dalam air tapi
mudah larut dalam lemak. Sifat ini memungkinkan terjadinya efek patologik pada sel otak
apabila bilirubin tadi dapat menembus sawar darah otak. Kelainan yang terjadi pada otak ini
disebut kernikterus atau ensefalopati biliaris. Pada umumnya dianggap bahwa kelainan pada
susunan saraf pusat tersebut mungkin akan timbul apabila kadar bilirubin indirek lebih dari 20
mg/dl. Mudah tidaknya bilirubin melalui sawar darah otak ternyata tidak hanya tergantung dari
tingginya kadar bilirubin tetapi tergantung pula pada keadaan neonatus sendiri. Bilirubin indirek
akan mudah melalui sawar daerah otak apabila pada bayi terdapat keadaan imaturitas, berat lahir
rendah, hipoksia, hiperkarbia, hipoglikemia, dan kelainan susunan saraf pusat yang terjadi karena
trauma atau infeksi.
Metabolisme Bilirubin
Sebagian besar (70-80 %) produksi bilirubin berasal dari eritrosit yang rusak. Heme
dikonversi menjadi bilirubin indirek (tak terkonjugasi) kemudian berikatan dengan albumin
dibawa ke hepar. Di dalam hepar, dikonjugasikan oleh asam glukuronat pada reaksi yang
dikatalisasi oleh glukuronil transferase. Bilirubin direk (terkonjugasi) disekresikan ke traktus
bilier untuk diekskresikan melalui traktus gastrointestinal. Pada bayi baru lahir yang ususnya
bebas dari bakteri; pembentukan sterkobilin tidak terjadi. Sebagai gantinya, usus bayi banyak
mengandung beta glukuronidase yang menghidrolisis bilirubin glukoronid menjadi bilirubin
indirek dan akan direabsorpsi kembali melalui sirkulasi enterohepatik ke aliran darah.
2.5
Manifestasi Klinis
Pengamatan ikterus paling baik dilakukan dengan cahaya sinar matahari. Bayi baru lahir
(BBL) tampak kuning apabila kadar bilirubin serumnya kira-kira 6 mg/dl atau 100 mikro mol/L
(1 mg mg/dl = 17,1 mikro mol/L). salah satu cara pemeriksaan derajat kuning pada BBL secara
klinis, sederhana dan mudah adalah dengan penilaian menurut Kramer (1969). Caranya dengan
jari telunjuk ditekankan pada tempat-tempat yang tulangnya menonjol seperti tulang hidung,
dada, lutut dan lain-lain. Tempat yang ditekan akan tampak pucat atau kuning. Penilaian kadar
bilirubin pada masing-masing tempat tersebut disesuaikan dengan tabel yang telah diperkirakan
kadar bilirubinnya, sebagaimana berikut :
2.6.
Diagnosis
darah lain). Infeksi intra uterin seperti rubela, penyakit sitomegali, toksoplasmosis, atau sepsis
bakterial dapat pula memperlihatkan ikterus pada hari pertama. Pada hari kedua dan ketiga
ikterus yang terjadi biasanya merupakan ikterus fisiologik, tetapi harus pula dipikirkan penyebab
lain seperti inkompatibilitas golongan darah, infeksi kuman, polisitemia, hemolisis karena
perdarahan tertutup, kelainan morfologi eritrosit (misalnya sferositosis), sindrom gawat nafas,
toksositosis obat, defisiensi G-6-PD, dan lain-lain. Ikterus yang timbul pada hari ke 4 dan ke 5
mungkin merupakan kuning karena ASI atau terjadi pada bayi yang menderita Gilbert, bayi dari
ibu penderita diabetes melitus, dan lain-lain. Selanjutnya ikterus setelah minggu pertama
biasanya terjadi pada atresia duktus koledokus, hepatitis neonatal, stenosis pilorus,
hipotiroidisme, galaktosemia, infeksi post natal, dan lain-lain.
2.7.
Diagnosis Banding
Ikterus yang terjadi pada saat lahir atau dalam waktu 24 jam pertama kehidupan mungkin
sebagai akibat eritroblastosis foetalis, sepsis, penyakit inklusi sitomegalik, rubela atau
toksoplasmosis kongenital. Ikterus pada bayi yang mendapatkan tranfusi selama dalam uterus,
mungkin ditandai oleh proporsi bilirubin bereaksi-langsung yang luar biasa tingginya. Ikterus
yang baru timbul pada hari ke 2 atau hari ke 3, biasanya bersifat fisiologik, tetapi dapat pula
merupakan manifestasi ikterus yang lebih parah yang dinamakan hiperbilirubinemia neonatus.
Ikterus nonhemolitik familial (sindroma Criggler-Najjar) pada permulaannya juga terlihat pada
hari ke-2 atau hari ke-3. Ikterus yang timbul setelah hari ke 3, dan dalam minggu pertama, harus
dipikirkan kemungkinan septikemia sebagai penyebabnya; keadaan ini dapat disebabkan oleh
infeksi-infeksi lain terutama sifilis, toksoplasmosis dan penyakit inklusi sitomegalik. Ikterus
yang timbul sekunder akibat ekimosis atau hematoma ekstensif dapat terjadi selama hari pertama
kelahiran atau sesudahnya, terutama pada bayi prematur. Polisitemia dapat menimbulkan ikterus
dini.
Ikterus yang permulaannya ditemukan setelah minggu pertama kehidupan, memberi
petunjuk adanya, septikemia, atresia kongenital saluran empedu, hepatitis serum homolog,
rubela, hepatitis herpetika, pelebaran idiopatik duktus koledoskus, galaktosemia, anemia
hemolitik kongenital (sferositosis) atau mungkin krisis anemia hemolitik lain, seperti defisiensi
enzim piruvat kinase dan enzim glikolitik lain, talasemia, penyakit sel sabit, anemia non-sperosit
herediter), atau anemia hemolitik yang disebabkan oleh obat-obatan (seperti pada defisiensi
kongenital enzim-enzim glukosa-6-fosfat dehidrogenase, glutation sintetase, glutation reduktase
atau glutation peroksidase) atau akibat terpapar oleh bahan-bahan lain.
Ikterus persisten selama bulan pertama kehidupan, memberi petunjuk adanya apa yang
dinamakan inspissated bile syndrome (yang terjadi menyertai penyakit hemolitik pada bayi
neonatus), hepatitis, penyakit inklusi sitomegalik, sifilis, toksoplasmosis, ikterus nonhemolitik
familial, atresia kongenital saluran empedu, pelebaran idiopatik duktus koledoskus atau
galaktosemia. Ikterus ini dapat dihubungkan dengan nutrisi perenteral total. Kadang-kadang
ikterus fisiologik dapat berlangsung berkepanjangan sampai beberapa minggu, seperti pada bayi
yang menderita penyakit hipotiroidisme atau stenosis pilorus.
Tanpa mempersoalkan usia kehamilan atau saat timbulnya ikterus, hiperbilirubinemia
yang cukup berarti memerlukan penilaian diagnostik yang lengkap, yang mencakup penentuan
fraksi bilirubin langsung (direk) dan tidak langsung (indirek) hemoglobin, hitung leukosit,
golongan darah, tes Coombs dan pemeriksaan sediaan apus darah tepi. Bilirubinemia indirek,
retikulositosis dan sediaan apus yang memperlihatkan bukti adanya penghancuran eritrosit,
memberi petunjuk adanya hemolisis; bila tidak terdapat ketidakcocokan golongan darah, maka
2.8.
Penatalaksanaan
I.
disusun sebagai berikut : 1) Inkompatibilitas darah Rh, ABO atau golongan lain, 2) Infeksi
intrauterin (oleh virus, toksoplasma, lues dan kadang-kadang bakteri), 3) Kadang-kadang oleh
defisiensi G-6-PD.
Pemeriksaan yang perlu diperhatikan yaitu : 1) Kadar bilirubin serum berkala, 2) Darah
tepi lengkap, 3) Golongan darah ibu dan bayi, 4) Uji coombs, 5) Pemeriksaan penyaring
defisiensi enzim G-6-PD, biakan darah atau biopsi hepar bila perlu.
B.
Biasanya ikterus fisiologis, masih ada kemungkinan inkompatibilitas darah ABO atau Rh
atau golongan lain. Hal ini dapat diduga kalau peningkatan kadar bilirubin cepat, misalnya
melebihi 5 mg%/24 jam.
1)
2)
Polisitemia
3)
4)
Hipoksia.
5)
6)
Dehidrasi asidosis.
7)
Pemeriksaan yang perlu dilakukan, bila keadaan bayi baik dan peningkatan ikterus tidak
cepat, dapat dilakukan pemeriksaan daerah tepi, pemeriksaan kadar bilirubin berkala,
pemeriksaan penyaring enzim G-6-PD dan pemeriksaan lainnya bila perlu.
1. Ikterus yang timbul sesudah 72 jam pertama sampai akhir minggu pertama
-
Dehidrasi asidosis.
Pengaruh obat.
Sindrom Criggler-Najjar.
Sindrom Gilbert.
C.
karena obstruksi.
2)
Hipotiroidisme.
3)
4)
Infeksi.
5)
Neonatal hepatitis.
6)
2)
3)
4)
5)
2.
yang merupakan kompetitor albumin yang juga dapat mengikat bilirubin (mis.
Sulfonamida atau obat-obatan lainnya). Penambahan albumin juga dapat mempermudah
proses ekstraksi bilirubin jaringan ke dalam plasma. Hal ini mengakibatkan kadar bilirubin plasma meningkat, tetapi tidak berbahaya karena bilirubin tersebut ada dalam ikatan
dengan albumin. Albumin diberikan dalam dosis yang tidak melebihi 1 g/kgBB, sebelum
maupun sesudah tindakan transfusi tukar.
3.
4.
Memberikan terapi sinar sehingga bilirubin diubah menjadi isomer foto yang tidak toksik
dan mudah dikeluarkan dari tubuh karena mudah larut dalam air.
5.
Hidrops
2.
3.
Tujuannya adalah :
1.
Mengkoreksi anemia
2.
Menghentikan hemolisis
3.
Pada situasi penyakit hemolitik, pertimbangan dilakukan transfusi tukar dini adalah:
1.
Kadar bilirubin tali pusat melebihi 4,5 mg/dl, kadar Hb tali pusat < 11 g/dl
2.
3.
Kadar hemoglobin antara 10-13 g/dl dan kenaikan kadar bilirubin melebihi 0,5 mg/dl/jam
walaupun telah dilakukan terapi sinar
4.
Kadar bilirubin 20 mg/dl; atau terlihat akan mencapai 20 mg/dl dengan kecepatan
kenaikan seperti yang sedang berlangsung
5.
Tetap terjadi anemia yang bertambah berat walaupun telah dilakukan tindakan
Bila anamnesis dan tampilan klinis menunjukan kemungkinan sepsis lakukan pemeriksaan
kultur darah, urin, dan liquor untuk protein, glukosa, hitung jenis dan kultur
- Tindakan
Bila bilirubin total 25 mg atau 20 mg pada bayi sakit atau bayi <38 minggu, lakukan
pemeriksaan golongan darah dan cross match pada pasien yang akan direncakan transfusi ganti.
Pada bayi dengan penyakit autoimun hemolitik dan kadar bilirubin total meningkat walau
telah dilakukan foto terapi intensif atau dalam 2-3 mg/dL kadar transfusi ganti, berikan
imunoglobulin intravena 0,5-1 g/kg selama 2 jam dan boleh diulang bila perlu 12 jam kemudian.
Pada bayi yang mengalami penurunan berat badan lebih 12% atau secara klinis atau terbukti
secara biokimia menunjukan tanda dehidrasi, dianjurkan pemberian susu formula atau ASI
tambahan.
- Pada bayi mendapat foto terapi intensif
- Pemberian minum dilakukan setiap 2-3 jam
- Bila bilirubin total 25 mg/dL, pemeriksaan ulangan dilakukan dalam 2-3 jam
- Bila bilirubin total 20-25 mg/dL, pemeriksaan ulangan dilakukan dalam 3-4 jam, bila <20
mg/dL dilang dalam 4-6 jam. Jika bilirubin total terus turun, periksa ulang dalam 8-12 jam
- Bila kadar bilirubin total tidak turun atau mendekati kadar transfusi tukar atau perbandingan
bilirubin total dengan albumin (TSB/albumin) meningkat mendekati angkat untuk transfusi tukar
maka dilakukan transfusi ganti.
- Bila kadar bilirubin total < 13-14 mg/dL, foto terapi dihentikan.
- Tergantung kepada penyebab hiperbilirubinemia, pemeriksaan bilirubin ulangan boleh
dilakukan setelah 24 jam setelah bayi pulang untuk melihat kemungkinan terjadinya rebound.
Dapat diambil kesimpulan bahwa ikterus baru dapat dikatakan fisiologis sesudah observasi
dan pemeriksaan selanjutnya tidak menunjukkan dasar patologis dan tidak mempunyai potensi
berkembang menjadi kernicterus. Ikterus yang kemungkinan besar menjadi patologis yaitu :
1)
2)
Ikterus dengan kadar bilirubin melebihi 12,5 mg% pada neonatus cukup bulan dan
10 mg% pada neonatus kurang bulan.
3)
4)
5)
Ikterus yang mempunyai hubungan dengan proses hemolitik, infeksi atau keadaan
patologis lain yang telah diketahui.
6)
2.
Pencegahan
Ikterus dapat dicegah dan dihentikan peningkatannya dengan :
a.
b.
Menghindari obat yang dapat meningkatkan ikterus pada bayi pada masa kehamilan
dan kelahiran, misalnya sulfafurazole, novobiosin, oksitosin dll.
c.
d.
e.
f.
g.
Pencegahan infeksi.
3.
Mengatasi hiperbilirubinemia
a.
b.
c.
d.
tranfusi tukar.
Tranfusi tukar, pada umumnya tranfusi tukar dilakukan dengan indikasi sebagai
berikut :
1)
2)
3)
4)
Bayi dengan kadar hemoglobin talipusat < 14 mg% dan uji Coombs direk
positif.
Sesudah tranfusi tukar harus diberi fototerapi. Bila terdapat keadaan seperti
asfiksia perinatal, distres pernafasan, asidosis metabolik, hipotermia, kadar protein serum
kurang atau sama dengan 5 g%, berat badan lahir kurang dari 1.500 gr dan tanda-tanda
gangguan susunan saraf pusat, penderita harus diobati seperti pada kadar bilirubin yang
lebih tinggi berikutnya.
4.
Pengobatan umum
Bila mungkin pengobatan terhadap etiologi atau faktor penyebab dan perawatan yang
baik. Hal lain yang perlu diperhatikan yaitu pemberian makanan yang dini dengan cairan dan
kalori cukup dan iluminasi kamar bersalin dan bangsal bayi yang baik.
5.
Tindak lanjut
Bahaya hiperbilirubinemia yaitu kernicterus. Oleh karena itu terhadap bayi yang
2.9.
Prognosis
Hiperbilirubinemia baru akan berpengaruh buruk apabila bilirubin indirek telah melalui
sawar darah otak. Pada keadaan ini penderita mungkin menderita kernikterus atau ensefalopati
biliaris. Gejala ensefalopati biliaris ini dapat segera terlihat pada masa neonatus atau baru tampak
setelah beberapa lama kemudian. Pada masa neonatus gejala mungkin sangat ringan dan hanya
memperlihatkan gangguan minum, latergi dan hipotonia. Selanjutnya bayi mungkin kejang,
spastik dan ditemukan epistotonus. Pada stadium lanjut mungkin didapatkan adanya atetosis
disertai gangguan pendengaran dan retardasi mental di hari kemudian. Dengan memperhatikan
hal di atas, maka sebaiknya pada semua penderita hiperbilirubinemia dilakukan pemeriksaan
berkala, baik dalam hal pertumbuhan fisis dan motorik, ataupun perkembangan mental serta
ketajaman pendengarannya.
BAB III
KESIMPULAN
Ikterus merupakan disklorisasi pada kulit atau organ lain akibat penumpukan bilirubin.
Bila ikterus terlihat pada hari ke 2-3 dengan kadar bilirubin indirek 5-6 mg/dl dan untuk
selanjutnya menurun hari ke 5-7 kehidupan maka disebut ikterus fisiologis sedangkan ikterus
patologis yaitu bila bilirubin serum meningkat dengan kecepatan lebih besar dari 5 mg/dl / 24
jam pertama kehidupan yang selanjutnya dapat terjadi kernikterus bila tidak didiagnosa dan
ditangani secara dini.
Gejala klinik yang dapat ditimbulkan antara lain letargik, nafsu makan yang menurun dan
hilangnya refleks moro merupakan tanda-tanda awal yang lazim ditemukan tanda-tanda
kernikterus jarang timbul pada hari pertama terjadinya kernikterus.
Pengobatan yang diberikan pada ikterus bertujuan untuk mencegah agar konsentrasi
bilirubin indirek dalam darah tidak mencapai kadar yang menimbulkan neurotoksitas,
pengobatan yang sering diberikan adalah fototerapi dan transfusi tukar. Prognosis ikterus
tergantung diagnosa secara dini dan penatalaksanan yang cepat dan tepat.
DAFTAR PUSTAKA
1. Arfin Behrman Kligman, Nelson; Dalam Ilmu Kesehatan Anak, volume I, edisi 15, Penerbit
Buku Kedokteran EGC, 1999, hal 610-617.
2. Rusepno Hassan, Husein Alatas (ed), Hepatologi Anak dalam Buku Kuliah Ilmu Kesehatan
Anak FKUI, Buku 2, edisi 7, Bab 20, Infomedia, Jakarta, 1997, hal : 519-522.
3. Shopin Steven M Kern Icterus; Newborn Jaundice on line, Verginia Commonhealth
Univercity, http.//www.mcvfoundation.or
4. Prawirohartono EP, Sunarto (ed), Ikterus dalam Pedoman Tata Laksana Medik Anak RSUP.
Dr. Sardjito, Edisi 2, Cetakan 2, Medika FK UGM, Yogyakarta 2000, hal 37-43.
5. Poland R, dan Ostrea E.M.; Hiperbilirubinemia pada Neonatus dalam Klaus M.H, Fanaroff
A.A (ed); Penatalaksanaan Neonatus Resiko Tinggi, Edisi 4, EGC, Jakarta, 1998, hal 367389
6. Sacharin R.M., Penyakit Saluran Pencernaan, Hepar dan Pankreas dalam Ni Luh Gede
Yasmin Asih (ed); Prinsip Keperawatan Pediatrik, Edisi 2, EGC, Jakarta, 1993, hal 475.
7. Asil Aminullah; Ikterus dan Hiperbilirubinemia pada Neonatus dalam
A.H. Markum
(ed), Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak, Jilid I, edisi 6, Balai Penerbit FKUI, Jakarta, 1999,
hal : 313-317.
8. Rusepno Hassan, Husein Alatas (ed), Perinatologi dalam Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak
FKUI, Buku 3, edisi 7, Bab 32, Infomedia, Jakarta, 1997, hal : 1101-1115.
9. Behrman R.E.; Kliegman R.M., Nelson W.E., Vaughan V.C. (ed); Icterus Neonatorum in
Nelson Textbooks of Pediatrics, XIVrd Edition; W.B. Saunders Company, Philadelphia,
Pennsylvania 19106, 1992; pages 641-647.
10. Glaser K.L., Jaundice and Hyperbilirubinemia in the Newborn in Pediatrics, in
www.medstudents-pediatrics.htm, 2001; page 1-3.