Sie sind auf Seite 1von 32

REFERAT ILMU KESEHATAN ANAK

IKTERUS NEONATORUM

Dicky Angga, S. Ked


10310104

KONSULEN
Dr.H. Asep

SMF ILMU KESEHATAN ANAK


RS. DR. SOEKARDJO
TASIKMALAYA 2015

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat
rahmatdan hidayah-Nya jualah penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan sebaik-baiknya.
Ucapan terima kasih penulis ucapkan kepada seluruh pihak yang telah membantu dalam
penyusunan makalah ini, khususnya kepada Dr.H. Asep Hidayat,Sp.A selaku konsulen yang telah
memberi bimbingan, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan sebaik-baiknya.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas di stase ilmu kesehatan anak dengan judul
Ikterus Neonatorum pada kepaniteraan klinik senior di RS. DR.SOEKARDJO.
Dalam penyusunan makalah ini penulis masih merasa banyak kekurangan, untuk itu
penulis mengharap kritik dan saran yang membangun guna perbaikan ke depan.
Penulis berharap makalah ini dapat memberi banyak manfaat bagi penulis khususnya dan
pembaca sekalian pada umumnya. Semoga makalah ini dapat memberi masukan bagi rekanrekan yang ingin mengetahui masalah Ikterus Neonatorum.

Tasikmalaya, April 2015

Penulis

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................

DAFTAR ISI..............................................................................................................

ii

BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................

I.1 Latar belakang.............................................................................................

I.2 Tujuan.........................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN...........................................................................................

II.1 Pengertian..................................................................................................

II.2 Metabolisme Bilirubin...............................................................................

II.3 Etiologi.......................................................................................................

II.4 Patofisiologi...............................................................................................

II.5 Manifestasi Klinis......................................................................................

II.6 Diagnosis...................................................................................................

II.7 Diagnosis Banding.....................................................................................

10

II.8 Penatalaksanaan.........................................................................................

11

II.9 Prognosis....................................................................................................

16

BAB III KESIMPULAN............................................................................................

18

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................

19

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Angka kejadian Ikterus pada bayi sangat bervariasi di RSCM persentase ikterus
neonatorum pada bayi cukup bulan sebesar 32,1% dan pada bayi kurang bulan sebesar 42,9%,
sedangkan di Amerika Serikat sekitar 60% bayi menderita ikterus baru lahir menderita ikterus,
lebih dari 50%. Bayi-bayi yang mengalami ikterus itu mencapai kadar bilirubin yang melebihi 10
mg.
Ikterus terjadi apabila terdapat bililirubin dalam darah. Pada sebagian besar neonatus,
ikterus akan ditemukan dalam minggu pertama dalam kehidupannya. Dikemukakan bahwa
kejadian ikterus terdapat pada 60% bayi cukup bulan dan pada bayi 80% bayi kurang bulan. Di
Jakarta dilaporkan 32,19 % menderita ikterus. Ikterus ini pada sebagian lagi bersifat patologik
yang dapat menimbulkan gangguan yang menetap atau menyebabkan kematian. Karena setiap
bayi dengan ikterus harus ditemukan dalam 24 jam pertama kehidupan bayi atau bila kadar
bilirubuin meningkat lebih dari 5 mg/dl dalam 24 jam.
Proses hemolisis darah, infeksi berat ikterus yang berlangsung lebih dari 1 mg/dl juga
merupakan keadaan kemungkinan adanya ikterus patologi. Dalam keadaan tersebut
penatalaksanaan ikterus dilakukan sebaik-baiknya agar akibat buruk ikterus dapat dihindarkan.

1.2. Tujuan
Tujuan penulisan referat ini adalah untuk mempelajari dan mengetahui definisi,
metabolisme bilirubin, etiologi, patofisiologi, manifestasi klinis, diagnosis, diagnosis banding,
penatalaksanaan serta prognosis dari ikterik neonatum.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1.

Pengertian-pengertian

Ikterus adalah warna kuning pada kulit, konjungtiva, dan mukosa akibat penumpukan bilirubin,
sedangkan hiperbilirubinemia adalah ikterus dengan konsentrasi bilirubin serum yang menjurus
ke arah terjadinya kernikterus atau ensefalopati bilirubin bila kadar bilirubin tidak dikendalikan.

A. Ikterus Neonatorum
Yaitu disklorisasi pada kulit atau organ lain karena penumpukan bilirubin.
B. Ikterus fisiologis
Adalah ikterus yang timbul pada hari kedua dan ketiga yang tidak mempunyai dasar
patologis, kadarnya tidak melewati kadar yang membahayakan atau mempunyai potensi menjadi
kernikterus dan tidak menyebabkan suatu morbiditas pada bayi.
Dalam keadaan normal, kadar bilirubin indirek dalam serum tali pusat adalah sebesar 1-3
mg/dl dan akan meningkat dengan kecepatan kurang dari 5 mg/dl/24 jam; dengan demikian
ikterus baru terlihat pada hari ke 2-3, biasanya mencapai puncaknya antara hari ke 2-4, dengan
kadar 5-6 mg/dl untuk selanjutnya menurun sampai kadarnya lebih rendah dari 2 mg/dl antara
lain ke 5-7 kehidupan. Ikterus akibat perubahan ini dinamakan ikterus fisiologis dan diduga
sebagai akibat hancurnya sel darah merah janin yang disertai pembatasan sementara pada
konjugasi dan ekskresi bilirubin oleh hati.
Diantara bayi-bayi prematur, kenaikan bilirubin serum cenderung sama atau sedikit lebih
lambat daripada pada bayi aterm, tetapi berlangsung lebih lama, pada umumnya mengakibatkan
kadar yang lebih tinggi, puncaknya dicapai antara hari ke 4-7, pola yang akan diperlihatkan
bergantung pada waktu yang diperlukan oleh bayi preterm mencapai pematangan mekanisme
metabolisme ekskresi bilirubin. Kadar puncak sebesar 8-12 mg/dl tidak dicapai sebelum hari ke
5-7 dan kadang-kadang ikterus ditemukan setelah hari ke-10.

Diagnosis ikterus fisiologik pada bayi aterm atau preterm, dapat ditegakkan dengan
menyingkirkan penyebab ikterus berdasarkan anamnesis dan penemuan klinik dan laboratorium.
Pada umumnya untuk menentukan penyebab ikterus jika :
1. Ikterus timbul dalam 24 jam pertama kehidupan.
2. Bilirubin serum meningkat dengan kecepatan lebih besar dari 5 mg/dl/24 jam.
3. Kadar bilirubin serum lebih besar dari 12 mg/dl pada bayi aterm dan lebih besar dari 14
mg/dl pada bayi preterm.
4. Ikterus persisten sampai melewati minggu pertama kehidupan, atau
5. Bilirubin direk lebih besar dari 1 mg/dl.

C. Ikterus patologis
adalah ikterus yang mempunyai dasar patologis atau kadar bilirubinnya mencapai suatu
nilai yang disebut hiperbilirubinemia.
Ikterus patologis mungkin merupakan petunjuk penting untuk diagnosis awal dari banyak
penyakit neonatus. Ikterus patologis dalam 36 jam pertama kehidupan biasanya disebabkan oleh
kelebihan produksi bilirubin, karena klirens bilirubin yang lambat jarang menyebabkan
peningkatan konsentrasi diatas 10 mg/dl pada umur ini. Jadi, ikterus neonatorum dini biasanya
disebabkan oleh penyakit hemolitik.

Ada beberapa keadaan ikterus yang cenderung menjadi patologik:


1.

Ikterus yang terjadi pada 24 jam pertama setelah lahir

2.

Peningkatan kadar bilirubin serum sebanyak 5 mg/dl atau lebih setiap 24 jam

3.

Ikterus yang disertai:


a.

Berat lahir < 2.000 g

b.

Masa gestasi < 36 minggu

D. Kernicterus
Suatu sindroma neurologik yang timbul sebagai akibat penimbunan bilirubin tak
terkonyugasi dalam sel-sel otak.
Bahaya hiperbilirubinemia adalah kernikterus, yaitu suatu kerusakan otak akibat
perlengketan bilirubin indirek pada otak terutama pada korpus striatum, talamus, nukleus
subtalamus hipokampus, nukleus merah dan nukleus di dasar ventrikel IV. Secara klinis pada
awalnya tidak jelas, dapat berupa mata berputar, letargi, kejang, tak mau menghisap, malas
minum, tonus otot meningkat, leher kaku, dan opistotonus. Bila berlanjut dapat terjadi spasme
otot, opistotonus, kejang, atetosis yang disertai ketegangan otot. Dapat ditemukan ketulian pada
nada tinggi, gangguan bicara dan retardasi mental.

2.2

Metabolisme bilirubin
Untuk mendapat pengertian yang cukup mengenai masalah ikterus pada neonatus, perlu

diketahui tentang metabolisme bilirubin pada janin dan neonatus. Perbedaan utama metabolisme
adalah bahwa pada janin melalui plasenta dalam bentuk bilirubin indirek. Metabolisme bilirubin
mempunyai tingkatan sebagai berikut :
1.

Produksi
Sebagian besar bilirubin terbentuk sebagai akibat degradasi hemoglobin pada sistem
retikuloendotelial (RES). Tingkat penghancuran hemoglobin ini pada neonatus lebih tinggi
dari pada bayi yang lebih tua. Satu gram hemoglobin dapat menghasilkan 35 mg bilirubin
indirek. Bilirubin indirek yaitu bilirubin yang bereaksi tidak langsung dengan zat warna

diazo (reaksi hymans van den bergh), yang bersifat tidak larut dalam air tetapi larut dalam
lemak.
2.

Transportasi
Bilirubin indirek kemudian diikat oleh albumin sel parenkim hepar mempunyai cara yang
selektif dan efektif mengambil bilirubin dari plasma. Bilirubin ditransfer melalui membran
sel ke dalam hepatosit sedangkan albumin tidak. Didalam sel bilirubin akan terikat
terutama pada ligandin (protein g, glutation S-transferase B) dan sebagian kecil pada
glutation S-transferase lain dan protein Z. Proses ini merupakan proses dua arah,
tergantung dari konsentrasi dan afinitas albumin dalam plasma dan ligandin dalam
hepatosit. Sebagian besar bilirubin yang masuk hepatosit di konjugasi dan di ekskresi ke
dalam empedu. Dengan adanya sitosol hepar, ligadin mengikat bilirubin sedangkan
albumin tidak Pemberian fenobarbital mempertinggi konsentrasi ligadin dan memberi
tempat pengikatan yang lebih banyak untuk bilirubin.

3.

Konjugasi
Dalam sel hepar bilirubin kemudian dikonjugasi menjadi

bilirubin diglukosonide.

Walaupun ada sebagian kecil dalam bentuk monoglukoronide. Glukoronil transferase


merubah bentuk monoglukoronide menjadi diglukoronide. Pertama-tama yaitu uridin di
fosfat glukoronide transferase (UDPG : T) yang mengkatalisasi pembentukan bilirubin
monoglukoronide. Sintesis dan ekskresi diglokoronode terjadi di membran kanilikulus.
Isomer bilirubin yang dapat membentuk ikatan hidrogen seperti bilirubin natural IX dapat
diekskresikan langsung kedalam empedu tanpa konjugasi. Misalnya isomer yang terjadi
sesudah terapi sinar (isomer foto).
4.

Ekskresi

Sesudah konjugasi bilirubin ini menjadi bilirubin direk yang larut dalam air dan di ekskresi
dengan cepat ke sistem empedu kemudian ke usus. Dalam usus bilirubin direk ini tidak
diabsorpsi; sebagian kecil bilirubin direk dihidrolisis menjadi bilirubin indirek dan
direabsorpsi. Siklus ini disebut siklus enterohepatis. Pada neonatus karena aktivitas enzim
B glukoronidase yang meningkat, bilirubin direk banyak yang tidak dirubah menjadi
urobilin. Jumlah bilirubin yang terhidrolisa menjadi bilirubin indirek meningkat dan
tereabsorpsi sehingga siklus enterohepatis pun meningkat.
5.

Metabolisme bilirubin pada janin dan neonatus


Pada likuor amnion yang normal dapat ditemukan bilirubin pada kehamilan 12 minggu,
kemudian menghilang pada kehamilan 36-37 minggu. Pada inkompatibilitas darah Rh,
kadar bilirubin dalam cairan amnion dapat dipakai untuk menduga beratnya hemolisis.
Peningkatan bilirubin amnion juga terdapat pada obstruksi usus fetus. Bagaimana bilirubin
sampai ke likuor amnion belum diketahui dengan jelas, tetapi kemungkinan besar melalui
mukosa saluran nafas dan saluran cerna. Produksi bilirubin pada fetus dan neonatus diduga
sama besarnya tetapi kesanggupan hepar mengambil bilirubin dari sirkulasi sangat terbatas.
Demikian pula kesanggupannya untuk mengkonjugasi. Dengan demikian hampir semua
bilirubin pada janin dalam bentuk bilirubin indirek dan mudah melalui plasenta ke sirkulasi
ibu dan diekskresi oleh hepar ibunya. Dalam keadaan fisiologis tanpa gejala pada hampir
semua neonatus dapat terjadi akumulasi bilirubin indirek sampai 2 mg%. Hal ini
menunjukkan bahwa ketidakmampuan fetus mengolah bilirubin berlanjut pada masa
neonatus. Pada masa janin hal ini diselesaikan oleh hepar ibunya, tetapi pada masa
neonatus hal ini berakibat penumpukan bilirubin dan disertai gejala ikterus. Pada bayi baru
lahir karena fungsi hepar belum matang atau bila terdapat gangguan dalam fungsi hepar

akibat hipoksia, asidosis atau bila terdapat kekurangan enzim glukoronil transferase atau
kekurangan glukosa, kadar bilirubin indirek dalam darah dapat meninggi. Bilirubin indirek
yang terikat pada albumin sangat tergantung pada kadar albumin dalam serum. Pada bayi
kurang bulan biasanya kadar albuminnya rendah sehingga dapat dimengerti bila kadar
bilirubin indek yang bebas itu dapat meningkat dan sangat berbahaya karena bilirubin
indirek yang bebas inilah yang dapat melekat pada sel otak. Inilah yang menjadi dasar
pencegahan kernicterus dengan pemberian albumin atau plasma. Bila kadar bilirubin
indirek mencapai 20 mg% pada umumnya kapasitas maksimal pengikatan bilirubin oleh
neonatus yang mempunyai kadar albumin normal telah tercapai.

2.3

Etiologi
Penyebab ikterus pada bayi baru lahir dapat berdiri sendiri ataupun dapat disebabkan oleh

beberapa faktor. Secara garis besar etiologi ikterus neonatorum dapat dibagi :
1.

Produksi yang berlebihan


Hal ini melebihi kemampuan bayi untuk mengeluarkannya, misalnya pada hemolisis yang
meningkat pada inkompatibilitas darah Rh, AB0, golongan darah lain, defisiensi enzim G6-PD, piruvat kinase, perdarahan tertutup dan sepsis.

2.

Gangguan dalam proses uptake dan konjugasi hepar


Gangguan ini dapat disebabkan oleh bilirubin, gangguan fungsi hepar, akibat asidosis,
hipoksia dan infeksi atau tidak terdapatnya enzim glukoronil transferase (sindrom crigglerNajjar). Penyebab lain yaitu defisiensi protein. Protein Y dalam hepar yang berperan
penting dalam uptake bilirubin ke sel hepar.

3.

Gangguan transportasi

Bilirubin dalam darah terikat pada albumin kemudian diangkat ke hepar. Ikatan bilirubin
dengan albumin ini dapat dipengaruhi oleh obat misalnya salisilat, sulfafurazole. Defisiensi
albumin menyebabkan lebih banyak terdapatnya bilirubin indirek yang bebas dalam darah
yang mudah melekat ke sel otak.
4.

Gangguan dalam ekskresi


Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam hepar atau diluar hepar. Kelainan diluar
hepar biasanya disebabkan oleh kelainan bawaan. Obstruksi dalam hepar biasanya akibat
infeksi atau kerusakan hepar oleh penyebab lain. (2,4,5,7,8,9)

Ikterus yang berhubungan dengan pemberian air susu ibu.


Diperkirakan 1 dari setiap 200 bayi aterm, yang menyusu, memperlihatkan peningkatan
bilirubin tak terkonjugasi yang cukup berarti antara hari ke 4-7 kehidupan, mencapai konsentrasi
maksimal sebesar

10-27 mg/dl, selama minggu ke 3. Jika mereka terus disusui,

hiperbilirubinemia secara berangsur-angsur akan menurun dan kemudian akan menetap selama
3-10 minggu dengan kadar yang lebih rendah. Jika mereka dihentikan menyusu, kadar bilirubin
serum akan menurun dengan cepat, biasanya kadar normal dicapai dalam beberapa hari.
Penghentian menyusu selama 2-4 hari, bilirubin serum akan menurun dengan cepat,
setelah itu mereka dapat menyusu kembali, tanpa disertai timbulnya kembali hiperbilirubinemia
dengan kadar tinggi, seperti sebelumnya. Bayi ini tidak memperlihatkan tanda kesakitan lain dan
kernikterus tidak pernah dilaporkan. Susu yang berasal dari beberapa ibu mengandung 5 bpregnan-3 a, 2ab-diol dan asam lemak rantai panjang, tak-teresterifikasi, yang secara kompetitif
menghambat aktivitas konjugasi glukoronil transferase, pada kira-kira 70% bayi yang
disusuinya. Pada ibu lainnya, susu yang mereka hasilkan mengandung lipase yang mungkin

bertanggung jawab atas terjadinya ikterus. Sindroma ini harus dibedakan dari hubungan yang
sering diakui, tetapi kurang didokumentasikan, antara hiperbilirubinemia tak-terkonjugasi, yang
diperberat yang terdapat dalam minggu pertama kehidupan dan menyusu pada ibu.

2.4.

Patofisiologi
Peningkatan kadar bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa keadaan. Kejadian yang

sering ditemukan adalah apabila terdapat penambahan beban bilirubin pada sel hepar yang terlalu
berlebihan. Hal ini dapat ditemukan bila terdapat peningkatan penghancuran eritrosit,
polisitemia, memendeknya umur eritrosit janin/bayi, meningkatnya bilirubin dari sumber lain,
atau terdapatnya peningkatan sirkulasi enterohepatik.
Gangguan ambilan bilirubin plasma juga dapat menimbulkan peningkatan kadar bilirubin
tubuh. Hal ini dapat terjadi apabila kadar protein Y berkurang atau pada keadaan proten Y dan
protein Z terikat oleh anion lain, misalnya pada bayi dengan asidosis atau dengan
anoksia/hipoksia. Keadaan lain yang memperlihatkan peningkatan kadar bilirubin adalah apabila
ditemukan gangguan konjugasi hepar (defisiensi enzim glukoranil transferase) atau bayi yang
menderita gangguan ekskresi, misalnya penderita hepatitis neonatal atau sumbatan saluran
empedu intra/ekstra hepatik.
Pada derajat tertentu, bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusak jaringan tubuh.
Toksisitas ini terutama ditemukan pada bilirubin indirek yang bersifat sukar larut dalam air tapi
mudah larut dalam lemak. Sifat ini memungkinkan terjadinya efek patologik pada sel otak
apabila bilirubin tadi dapat menembus sawar darah otak. Kelainan yang terjadi pada otak ini
disebut kernikterus atau ensefalopati biliaris. Pada umumnya dianggap bahwa kelainan pada
susunan saraf pusat tersebut mungkin akan timbul apabila kadar bilirubin indirek lebih dari 20

mg/dl. Mudah tidaknya bilirubin melalui sawar darah otak ternyata tidak hanya tergantung dari
tingginya kadar bilirubin tetapi tergantung pula pada keadaan neonatus sendiri. Bilirubin indirek
akan mudah melalui sawar daerah otak apabila pada bayi terdapat keadaan imaturitas, berat lahir
rendah, hipoksia, hiperkarbia, hipoglikemia, dan kelainan susunan saraf pusat yang terjadi karena
trauma atau infeksi.

Metabolisme Bilirubin
Sebagian besar (70-80 %) produksi bilirubin berasal dari eritrosit yang rusak. Heme
dikonversi menjadi bilirubin indirek (tak terkonjugasi) kemudian berikatan dengan albumin
dibawa ke hepar. Di dalam hepar, dikonjugasikan oleh asam glukuronat pada reaksi yang
dikatalisasi oleh glukuronil transferase. Bilirubin direk (terkonjugasi) disekresikan ke traktus
bilier untuk diekskresikan melalui traktus gastrointestinal. Pada bayi baru lahir yang ususnya
bebas dari bakteri; pembentukan sterkobilin tidak terjadi. Sebagai gantinya, usus bayi banyak
mengandung beta glukuronidase yang menghidrolisis bilirubin glukoronid menjadi bilirubin
indirek dan akan direabsorpsi kembali melalui sirkulasi enterohepatik ke aliran darah.

2.5

Manifestasi Klinis
Pengamatan ikterus paling baik dilakukan dengan cahaya sinar matahari. Bayi baru lahir

(BBL) tampak kuning apabila kadar bilirubin serumnya kira-kira 6 mg/dl atau 100 mikro mol/L
(1 mg mg/dl = 17,1 mikro mol/L). salah satu cara pemeriksaan derajat kuning pada BBL secara
klinis, sederhana dan mudah adalah dengan penilaian menurut Kramer (1969). Caranya dengan
jari telunjuk ditekankan pada tempat-tempat yang tulangnya menonjol seperti tulang hidung,

dada, lutut dan lain-lain. Tempat yang ditekan akan tampak pucat atau kuning. Penilaian kadar
bilirubin pada masing-masing tempat tersebut disesuaikan dengan tabel yang telah diperkirakan
kadar bilirubinnya, sebagaimana berikut :

Tabel 1. Derajat ikterus pada neonatus menurut Kramer


Zona
1.
2.
3.
4.
5.

Bagian tubuh yang kuning


Kepala dan leher
Pusat-leher
Pusat-paha
Lengan + tungkai
Tangan + kaki

Rata-rata serum bilirubin indirek (m mol/l)


100
150
200
250
> 250

Bahaya hiperbilirubinemia adalah kernikterus, yaitu suatu kerusakan otak akibat


perlengketan bilirubin indirek pada otak terutama pada korpus striatum, talamus, nukleus
subtalamus hipokampus, nukleus merah dan nukleus di dasar ventrikel IV. Secara klinis pada
awalnya tidak jelas, dapat berupa mata berputar, letargi, kejang, tak mau menghisap, malas
minum, tonus otot meningkat, leher kaku, dan opistotonus. Bila berlanjut dapat terjadi spasme
otot, opistotonus, kejang, atetosis yang disertai ketegangan otot. Dapat ditemukan ketulian pada
nada tinggi, gangguan bicara, dan retardasi mental.

2.6.

Diagnosis

Anamnesis ikterus pada riwayat obstetri sebelumnya sangat membantu dalam


menegakkan diagnosis hiperbilirubinemia pada bayi. Termasuk dalam hal ini anamnesis
mengenai riwayat inkompatabilitas darah, riwayat transfusi tukar atau terapi sinar pada bayi
sebelumnya. Disamping itu faktor risiko kehamilan dan persalinan juga berperan dalam
diagnosis dini ikterus/hiperbilirubinemia pada bayi. Faktor risiko tersebut antara lain adalah
kehamilan dengan komplikasi, persalinan dengan tindakan/komplikasi, obat yang diberikan pada
ibu selama hamil/persalinan, kehamilan dengan diabetes melitus, gawat janin, malnutrisi
intrauterin, infeksi intranatal, dan lain-lain.
Secara klinis ikterus pada neonatus dapat dilihat segera setelah lahir atau beberapa hari
kemudian. Ikterus yang tampak pun sangat tergantung kepada penyebab ikterus itu sendiri. Pada
bayi dengan peninggian bilirubin indirek, kulit tampak berwarna kuning terang sampai jingga,
sedangkan pada penderita dengan gangguan obstruksi empedu warna kuning kulit terlihat agak
kehijauan. Perbedaan ini dapat terlihat pada penderita ikterus berat, tetapi hal ini kadang-kadang
sulit dipastikan secara klinis karena sangat dipengaruhi warna kulit. Penilaian akan lebih sulit
lagi apabila penderita sedang mendapatkan terapi sinar. Selain kuning, penderita sering hanya
memperlihatkan gejala minimal misalnya tampak lemah dan nafsu minum berkurang. Keadaan
lain yang mungkin menyertai ikterus adalah anemia, petekie, pembesaran lien dan hepar,
perdarahan tertutup, gangguan nafas, gangguan sirkulasi, atau gangguan syaraf. Keadaan tadi
biasanya ditemukan pada ikterus berat atau hiperbilirubinemia berat.
Waktu timbulnya ikterus mempunyai arti yang penting pula dalam diagnosis dan
penatalaksanaan penderita karena saat timbulnya ikterus mempunyai kaitan yang erat dengan
kemungkinan penyebab ikterus tersebut. Ikterus yang timbul hari pertama sesudah lahir,
kemungkinan besar disebabkan oleh inkompatibilitas golongan darah (ABO, Rh atau golongan

darah lain). Infeksi intra uterin seperti rubela, penyakit sitomegali, toksoplasmosis, atau sepsis
bakterial dapat pula memperlihatkan ikterus pada hari pertama. Pada hari kedua dan ketiga
ikterus yang terjadi biasanya merupakan ikterus fisiologik, tetapi harus pula dipikirkan penyebab
lain seperti inkompatibilitas golongan darah, infeksi kuman, polisitemia, hemolisis karena
perdarahan tertutup, kelainan morfologi eritrosit (misalnya sferositosis), sindrom gawat nafas,
toksositosis obat, defisiensi G-6-PD, dan lain-lain. Ikterus yang timbul pada hari ke 4 dan ke 5
mungkin merupakan kuning karena ASI atau terjadi pada bayi yang menderita Gilbert, bayi dari
ibu penderita diabetes melitus, dan lain-lain. Selanjutnya ikterus setelah minggu pertama
biasanya terjadi pada atresia duktus koledokus, hepatitis neonatal, stenosis pilorus,
hipotiroidisme, galaktosemia, infeksi post natal, dan lain-lain.

2.7.

Diagnosis Banding
Ikterus yang terjadi pada saat lahir atau dalam waktu 24 jam pertama kehidupan mungkin

sebagai akibat eritroblastosis foetalis, sepsis, penyakit inklusi sitomegalik, rubela atau
toksoplasmosis kongenital. Ikterus pada bayi yang mendapatkan tranfusi selama dalam uterus,
mungkin ditandai oleh proporsi bilirubin bereaksi-langsung yang luar biasa tingginya. Ikterus
yang baru timbul pada hari ke 2 atau hari ke 3, biasanya bersifat fisiologik, tetapi dapat pula
merupakan manifestasi ikterus yang lebih parah yang dinamakan hiperbilirubinemia neonatus.
Ikterus nonhemolitik familial (sindroma Criggler-Najjar) pada permulaannya juga terlihat pada
hari ke-2 atau hari ke-3. Ikterus yang timbul setelah hari ke 3, dan dalam minggu pertama, harus
dipikirkan kemungkinan septikemia sebagai penyebabnya; keadaan ini dapat disebabkan oleh
infeksi-infeksi lain terutama sifilis, toksoplasmosis dan penyakit inklusi sitomegalik. Ikterus
yang timbul sekunder akibat ekimosis atau hematoma ekstensif dapat terjadi selama hari pertama

kelahiran atau sesudahnya, terutama pada bayi prematur. Polisitemia dapat menimbulkan ikterus
dini.
Ikterus yang permulaannya ditemukan setelah minggu pertama kehidupan, memberi
petunjuk adanya, septikemia, atresia kongenital saluran empedu, hepatitis serum homolog,
rubela, hepatitis herpetika, pelebaran idiopatik duktus koledoskus, galaktosemia, anemia
hemolitik kongenital (sferositosis) atau mungkin krisis anemia hemolitik lain, seperti defisiensi
enzim piruvat kinase dan enzim glikolitik lain, talasemia, penyakit sel sabit, anemia non-sperosit
herediter), atau anemia hemolitik yang disebabkan oleh obat-obatan (seperti pada defisiensi
kongenital enzim-enzim glukosa-6-fosfat dehidrogenase, glutation sintetase, glutation reduktase
atau glutation peroksidase) atau akibat terpapar oleh bahan-bahan lain.
Ikterus persisten selama bulan pertama kehidupan, memberi petunjuk adanya apa yang
dinamakan inspissated bile syndrome (yang terjadi menyertai penyakit hemolitik pada bayi
neonatus), hepatitis, penyakit inklusi sitomegalik, sifilis, toksoplasmosis, ikterus nonhemolitik
familial, atresia kongenital saluran empedu, pelebaran idiopatik duktus koledoskus atau
galaktosemia. Ikterus ini dapat dihubungkan dengan nutrisi perenteral total. Kadang-kadang
ikterus fisiologik dapat berlangsung berkepanjangan sampai beberapa minggu, seperti pada bayi
yang menderita penyakit hipotiroidisme atau stenosis pilorus.
Tanpa mempersoalkan usia kehamilan atau saat timbulnya ikterus, hiperbilirubinemia
yang cukup berarti memerlukan penilaian diagnostik yang lengkap, yang mencakup penentuan
fraksi bilirubin langsung (direk) dan tidak langsung (indirek) hemoglobin, hitung leukosit,
golongan darah, tes Coombs dan pemeriksaan sediaan apus darah tepi. Bilirubinemia indirek,
retikulositosis dan sediaan apus yang memperlihatkan bukti adanya penghancuran eritrosit,
memberi petunjuk adanya hemolisis; bila tidak terdapat ketidakcocokan golongan darah, maka

harus dipertimbangkan kemungkinan adanya hemolisis akibat nonimunologik. Jika terdapat


hiperbilirubinemia direk, adanya hepatitis, kelainan metabolisme bawaan, fibrosis kistik dan
sepsis, harus dipikirkan sebagai suatu kemungkinan diagnosis. Jika hitung retikulosit, tes
Coombs dan bilirubin direk normal, maka mungkin terdapat hiperbilirubinemia indirek fisiologik
atau patologik.

2.8.

Penatalaksanaan

I.

Pendekatan menentukan kemungkinan penyebab

Menetapkan penyebab ikterus tidak selamanya mudah dan membutuhkan pemeriksaan


yang banyak dan mahal, sehingga dibutuhkan suatu pendekatan khusus untuk dapat
memperkirakan penyebabnya. Pendekatan yang dapat memenuhi kebutuhan itu menggunakan
saat timbulnya ikterus seperti yang dikemukakan oleh Harper dan Yoon 1974, yaitu :
A.

Ikterus yang timbul pada 24 jam pertama,


Penyebab ikterus yang terjadi pada 24 jam pertama menurut besarnya kemungkinan dapat

disusun sebagai berikut : 1) Inkompatibilitas darah Rh, ABO atau golongan lain, 2) Infeksi
intrauterin (oleh virus, toksoplasma, lues dan kadang-kadang bakteri), 3) Kadang-kadang oleh
defisiensi G-6-PD.
Pemeriksaan yang perlu diperhatikan yaitu : 1) Kadar bilirubin serum berkala, 2) Darah
tepi lengkap, 3) Golongan darah ibu dan bayi, 4) Uji coombs, 5) Pemeriksaan penyaring
defisiensi enzim G-6-PD, biakan darah atau biopsi hepar bila perlu.

B.

Ikterus yang timbul 24- 72 jam sesudah lahir,

Biasanya ikterus fisiologis, masih ada kemungkinan inkompatibilitas darah ABO atau Rh
atau golongan lain. Hal ini dapat diduga kalau peningkatan kadar bilirubin cepat, misalnya
melebihi 5 mg%/24 jam.
1)

enzim G-6-PD juga mungkin

2)

Polisitemia

3)

Hemolisis perdarahan tertutup (perdarahan subaponeurosis, perdarahan hepar


subkapsuler dan lain-lain).

4)

Hipoksia.

5)

Sferositosis, eliptositosis dan lain-lain.

6)

Dehidrasi asidosis.

7)

Defisiensi enzim eritrosit lainnya.

Pemeriksaan yang perlu dilakukan, bila keadaan bayi baik dan peningkatan ikterus tidak
cepat, dapat dilakukan pemeriksaan daerah tepi, pemeriksaan kadar bilirubin berkala,
pemeriksaan penyaring enzim G-6-PD dan pemeriksaan lainnya bila perlu.
1. Ikterus yang timbul sesudah 72 jam pertama sampai akhir minggu pertama
-

Biasanya karena infeksi (sepsis).

Dehidrasi asidosis.

Difisiensi enzim G-6-PD.

Pengaruh obat.

Sindrom Criggler-Najjar.

Sindrom Gilbert.

C.

Ikterus yang timbul pada akhir minggu pertama dan selanjutnya,


1)

karena obstruksi.

2)

Hipotiroidisme.

3)

breast milk jaundice

4)

Infeksi.

5)

Neonatal hepatitis.

6)

Galaktosemia, dan lain-lain.

Pemeriksaan yang perlu dilakukan :


1)

Pemeriksaan bilirubin (direk dan indirek) berkala.

2)

Pemeriksaan darah tepi

3)

Pemeriksaan penyaring G-6-PD.

4)

Biakan darah, biopsi hepar bila ada indikasi.

5)

Pemeriksaan lainnya yang berkaitan dengan kemungkinan penyebab

Pada dasarnya, pengendalian kadar bilirubin serum adalah sebagai berikut:


1.

Stimulasi proses konjugasi bilirubin dengan mempergunakan fenobarbital. Obat ini


bekerjanya lambat, sehingga hanya bermanfaat apabila kadar bilirubinnya rendah dan
ikterus yang terjadi bukan disebabkan oleh proses hemolitik. Obat ini sudah jarang
dipakai lagi.

2.

Menambahkan bahan yang kurang dalam proses metabolisme bilirubin (misalnya


menambahkan glukosa pada keadaan hipoglikemia), atau menambahkan bahan untuk
memperbaiki transportasi bilirubin (misalnya albumin). Penambahan albumin boleh
dilakukan walaupun tidak terdapat hipoalbuminemia. Tetapi perlu diingat adanya zat-zat

yang merupakan kompetitor albumin yang juga dapat mengikat bilirubin (mis.
Sulfonamida atau obat-obatan lainnya). Penambahan albumin juga dapat mempermudah
proses ekstraksi bilirubin jaringan ke dalam plasma. Hal ini mengakibatkan kadar bilirubin plasma meningkat, tetapi tidak berbahaya karena bilirubin tersebut ada dalam ikatan
dengan albumin. Albumin diberikan dalam dosis yang tidak melebihi 1 g/kgBB, sebelum
maupun sesudah tindakan transfusi tukar.
3.

Mengurangi peredaran enterohepatik dengan pemberian makanan oral dini.

4.

Memberikan terapi sinar sehingga bilirubin diubah menjadi isomer foto yang tidak toksik
dan mudah dikeluarkan dari tubuh karena mudah larut dalam air.

5.

Mengeluarkan bilirubin secara mekanik melalui transfusi tukar.

Indikasi transfusi tukar dini:


1.

Hidrops

2.

Adanya riwayat penyakit yang berat, dan

3.

Adanya riwayat sensitisasi.

Tujuannya adalah :
1.

Mengkoreksi anemia

2.

Menghentikan hemolisis

3.

Mencegah peningkatan bilirubin.

Pada situasi penyakit hemolitik, pertimbangan dilakukan transfusi tukar dini adalah:
1.

Kadar bilirubin tali pusat melebihi 4,5 mg/dl, kadar Hb tali pusat < 11 g/dl

2.

Kecepatan kenaikan kadar bilimbin melebihi 1 mg/dl/jam walaupun telah dilakukan


terapi sinar

3.

Kadar hemoglobin antara 10-13 g/dl dan kenaikan kadar bilirubin melebihi 0,5 mg/dl/jam
walaupun telah dilakukan terapi sinar

4.

Kadar bilirubin 20 mg/dl; atau terlihat akan mencapai 20 mg/dl dengan kecepatan
kenaikan seperti yang sedang berlangsung

5.

Tetap terjadi anemia yang bertambah berat walaupun telah dilakukan tindakan

mengatasi kenaikan bilirubin dengan cara lain (mis. terapi sinar)

Penatalaksaan fototerapi pada bayi dengan hiperbilirubinemia


- Lakukan pemeriksaan laboraturium
Bilirubin total dan direk
Golongan darah (ABO Rh)
Tes antibodi direk (Coombs)
Serum albumin
Pemeriksaan darah tepi lengkap dengan hitung jenis dan morfologi
Jumlah retikulosit
ETCO (bila tersedia)
G6PD (bila terdapat kecurigaan berdasarkan etnis dan geografis atau respon terhadap terapi
kurang)
Urinalisis

Bila anamnesis dan tampilan klinis menunjukan kemungkinan sepsis lakukan pemeriksaan
kultur darah, urin, dan liquor untuk protein, glukosa, hitung jenis dan kultur
- Tindakan
Bila bilirubin total 25 mg atau 20 mg pada bayi sakit atau bayi <38 minggu, lakukan
pemeriksaan golongan darah dan cross match pada pasien yang akan direncakan transfusi ganti.
Pada bayi dengan penyakit autoimun hemolitik dan kadar bilirubin total meningkat walau
telah dilakukan foto terapi intensif atau dalam 2-3 mg/dL kadar transfusi ganti, berikan
imunoglobulin intravena 0,5-1 g/kg selama 2 jam dan boleh diulang bila perlu 12 jam kemudian.
Pada bayi yang mengalami penurunan berat badan lebih 12% atau secara klinis atau terbukti
secara biokimia menunjukan tanda dehidrasi, dianjurkan pemberian susu formula atau ASI
tambahan.
- Pada bayi mendapat foto terapi intensif
- Pemberian minum dilakukan setiap 2-3 jam
- Bila bilirubin total 25 mg/dL, pemeriksaan ulangan dilakukan dalam 2-3 jam
- Bila bilirubin total 20-25 mg/dL, pemeriksaan ulangan dilakukan dalam 3-4 jam, bila <20
mg/dL dilang dalam 4-6 jam. Jika bilirubin total terus turun, periksa ulang dalam 8-12 jam
- Bila kadar bilirubin total tidak turun atau mendekati kadar transfusi tukar atau perbandingan
bilirubin total dengan albumin (TSB/albumin) meningkat mendekati angkat untuk transfusi tukar
maka dilakukan transfusi ganti.
- Bila kadar bilirubin total < 13-14 mg/dL, foto terapi dihentikan.
- Tergantung kepada penyebab hiperbilirubinemia, pemeriksaan bilirubin ulangan boleh
dilakukan setelah 24 jam setelah bayi pulang untuk melihat kemungkinan terjadinya rebound.

Dapat diambil kesimpulan bahwa ikterus baru dapat dikatakan fisiologis sesudah observasi
dan pemeriksaan selanjutnya tidak menunjukkan dasar patologis dan tidak mempunyai potensi
berkembang menjadi kernicterus. Ikterus yang kemungkinan besar menjadi patologis yaitu :
1)

Ikterus yang terjadi pada 24 jam pertama.

2)

Ikterus dengan kadar bilirubin melebihi 12,5 mg% pada neonatus cukup bulan dan
10 mg% pada neonatus kurang bulan.

3)

Ikterus dengan peningkatan bilirubin-lebih dari 5 mg%/hari.

4)

Ikterus yang menetap sesudah 2 minggu pertama.

5)

Ikterus yang mempunyai hubungan dengan proses hemolitik, infeksi atau keadaan
patologis lain yang telah diketahui.

6)

2.

Kadar bilirubin direk melebihi 1 mg%.

Pencegahan
Ikterus dapat dicegah dan dihentikan peningkatannya dengan :
a.

Pengawasan antenatal yang baik.

b.

Menghindari obat yang dapat meningkatkan ikterus pada bayi pada masa kehamilan
dan kelahiran, misalnya sulfafurazole, novobiosin, oksitosin dll.

c.

Pencegahan dan mengobati hipoksia pada janin dan neonatus.

d.

Penggunaan fenobarbital pada ibu 1-2 hari sebelum partus.

e.

Iluminasi yang baik pada bangsal bayi baru lahir.

f.

Pemberian makanan yang dini.

g.

Pencegahan infeksi.

3.

Mengatasi hiperbilirubinemia
a.

Mempercepat proses konjugasi, misalnya dengan pemberian fenobarbital. Obat ini


bekerja sebagai enzyme inducer sehingga konjugasi dapat dipercepat. Pengobatan
dengan cara ini tidak begitu efektif dan membutuhkan waktu 48 jam baru terjadi
penurunan bilirubin yang berarti. Mungkin lebih bermanfaat bila diberikan pada ibu

b.

kira-kira 2 hari sebelum melahirkan.


Memberikan substrat yang kurang untuk transportasi atau konjugasi. Contohnya
yaitu pemberian albumin untuk mengikat bilirubin yang bebas. Albumin dapat
diganti dengan plasma dengan dosis 15-20 ml/kgBB. Albumin biasanya diberikan
sebelum tranfusi tukar dikerjakan oleh karena albumin akan mempercepat keluarnya
bilirubin dari ekstravaskuler ke vaskuler sehingga bilirubin yang diikatnya lebih
mudah dikeluarkan dengan tranfusi tukar. Pemberian glukosa perlu untuk konjugasi

c.

hepar sebagai sumber energi.


Melakukan dekomposisi bilirubin dengan fototerapi. Walaupun fototerapi dapat
menurunkan kadar bilirubin dengan cepat, cara ini tidak dapat menggantikan tranfusi
tukar pada proses hemolisis berat. Fototerapi dapat digunakan untuk pra dan pasca-

d.

tranfusi tukar.
Tranfusi tukar, pada umumnya tranfusi tukar dilakukan dengan indikasi sebagai
berikut :
1)

Pada semua keadaan dengan kadar bilirubin indirek 20 mg%.

2)

Kenaikan kadar bilirubin indirek yang cepat, yaitu 0,3-1 mg%/jam.

3)

Anemia yang berat pada neonatus dengan gejala gagal jantung.

4)

Bayi dengan kadar hemoglobin talipusat < 14 mg% dan uji Coombs direk
positif.

Sesudah tranfusi tukar harus diberi fototerapi. Bila terdapat keadaan seperti
asfiksia perinatal, distres pernafasan, asidosis metabolik, hipotermia, kadar protein serum
kurang atau sama dengan 5 g%, berat badan lahir kurang dari 1.500 gr dan tanda-tanda
gangguan susunan saraf pusat, penderita harus diobati seperti pada kadar bilirubin yang
lebih tinggi berikutnya.

4.

Pengobatan umum
Bila mungkin pengobatan terhadap etiologi atau faktor penyebab dan perawatan yang

baik. Hal lain yang perlu diperhatikan yaitu pemberian makanan yang dini dengan cairan dan
kalori cukup dan iluminasi kamar bersalin dan bangsal bayi yang baik.

5.

Tindak lanjut
Bahaya hiperbilirubinemia yaitu kernicterus. Oleh karena itu terhadap bayi yang

menderita hiperbilirubinemia perlu dilakukan tindak lanjut sebagai berikut :


a. Penilaian berkala pertumbuhan dan perkembangan
b. Penilaian berkala pendengaran
c. Fisioterapi dan rehabilitasi bila terdapat gejala sisa

2.9.

Prognosis
Hiperbilirubinemia baru akan berpengaruh buruk apabila bilirubin indirek telah melalui

sawar darah otak. Pada keadaan ini penderita mungkin menderita kernikterus atau ensefalopati
biliaris. Gejala ensefalopati biliaris ini dapat segera terlihat pada masa neonatus atau baru tampak
setelah beberapa lama kemudian. Pada masa neonatus gejala mungkin sangat ringan dan hanya

memperlihatkan gangguan minum, latergi dan hipotonia. Selanjutnya bayi mungkin kejang,
spastik dan ditemukan epistotonus. Pada stadium lanjut mungkin didapatkan adanya atetosis
disertai gangguan pendengaran dan retardasi mental di hari kemudian. Dengan memperhatikan
hal di atas, maka sebaiknya pada semua penderita hiperbilirubinemia dilakukan pemeriksaan
berkala, baik dalam hal pertumbuhan fisis dan motorik, ataupun perkembangan mental serta
ketajaman pendengarannya.

BAB III
KESIMPULAN

Ikterus merupakan disklorisasi pada kulit atau organ lain akibat penumpukan bilirubin.
Bila ikterus terlihat pada hari ke 2-3 dengan kadar bilirubin indirek 5-6 mg/dl dan untuk
selanjutnya menurun hari ke 5-7 kehidupan maka disebut ikterus fisiologis sedangkan ikterus
patologis yaitu bila bilirubin serum meningkat dengan kecepatan lebih besar dari 5 mg/dl / 24
jam pertama kehidupan yang selanjutnya dapat terjadi kernikterus bila tidak didiagnosa dan
ditangani secara dini.
Gejala klinik yang dapat ditimbulkan antara lain letargik, nafsu makan yang menurun dan
hilangnya refleks moro merupakan tanda-tanda awal yang lazim ditemukan tanda-tanda
kernikterus jarang timbul pada hari pertama terjadinya kernikterus.
Pengobatan yang diberikan pada ikterus bertujuan untuk mencegah agar konsentrasi
bilirubin indirek dalam darah tidak mencapai kadar yang menimbulkan neurotoksitas,
pengobatan yang sering diberikan adalah fototerapi dan transfusi tukar. Prognosis ikterus
tergantung diagnosa secara dini dan penatalaksanan yang cepat dan tepat.

DAFTAR PUSTAKA

1. Arfin Behrman Kligman, Nelson; Dalam Ilmu Kesehatan Anak, volume I, edisi 15, Penerbit
Buku Kedokteran EGC, 1999, hal 610-617.
2. Rusepno Hassan, Husein Alatas (ed), Hepatologi Anak dalam Buku Kuliah Ilmu Kesehatan
Anak FKUI, Buku 2, edisi 7, Bab 20, Infomedia, Jakarta, 1997, hal : 519-522.
3. Shopin Steven M Kern Icterus; Newborn Jaundice on line, Verginia Commonhealth
Univercity, http.//www.mcvfoundation.or
4. Prawirohartono EP, Sunarto (ed), Ikterus dalam Pedoman Tata Laksana Medik Anak RSUP.
Dr. Sardjito, Edisi 2, Cetakan 2, Medika FK UGM, Yogyakarta 2000, hal 37-43.

5. Poland R, dan Ostrea E.M.; Hiperbilirubinemia pada Neonatus dalam Klaus M.H, Fanaroff
A.A (ed); Penatalaksanaan Neonatus Resiko Tinggi, Edisi 4, EGC, Jakarta, 1998, hal 367389
6. Sacharin R.M., Penyakit Saluran Pencernaan, Hepar dan Pankreas dalam Ni Luh Gede
Yasmin Asih (ed); Prinsip Keperawatan Pediatrik, Edisi 2, EGC, Jakarta, 1993, hal 475.
7. Asil Aminullah; Ikterus dan Hiperbilirubinemia pada Neonatus dalam
A.H. Markum
(ed), Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak, Jilid I, edisi 6, Balai Penerbit FKUI, Jakarta, 1999,
hal : 313-317.
8. Rusepno Hassan, Husein Alatas (ed), Perinatologi dalam Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak
FKUI, Buku 3, edisi 7, Bab 32, Infomedia, Jakarta, 1997, hal : 1101-1115.
9. Behrman R.E.; Kliegman R.M., Nelson W.E., Vaughan V.C. (ed); Icterus Neonatorum in
Nelson Textbooks of Pediatrics, XIVrd Edition; W.B. Saunders Company, Philadelphia,
Pennsylvania 19106, 1992; pages 641-647.
10. Glaser K.L., Jaundice and Hyperbilirubinemia in the Newborn in Pediatrics, in
www.medstudents-pediatrics.htm, 2001; page 1-3.

Das könnte Ihnen auch gefallen