Sie sind auf Seite 1von 12

Jurnal Anestesiologi Indonesia

PENELITIAN
Perbandingan Efek Pemberian Ondansetron dan Petidin Intravena untuk
Mencegah Menggigil Pasca Anestesi Umum
Comparison of The Effect of Intravenous Pethidine and Ondansetron for
Prevention of Shivering After General Anesthesia
Arie Z ain ul Fa ton i *, I sngad i*, W iwi J aya*
*Bagian/SMF Anestesi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya / RSU dr Saiful Anwar Malang
Korespondensi / correspondence: ariezainulfatoni@gmail.com

ABSTRACT
Background : Shivering is a common complication after general anesthesia that can
cause uncomfortable condition and several risks. Because of that, post anesthesia
shivering must be prevented or treated immediately. The most commonly drug that
used in dr.Saifu Anwar Hospitasl is pethidine but it has adverse reaction such as
nausea, vomiting and respiratory depression. Ondansetron is a specific 5-HT3
antagonist that can reduce nausea-vomiting and postanesthesia shivering.
Objective : To compare the effect of intravenous pethidine 0.4 mg/kgbw and
ondansetron 0.1 mg/kgbw for prevention of shivering after general anesthesia
Methods : This experimental study was designed as single blind true experimental
design of 32 patients 18-40 years od who underwent 1-3 hours surgery in general
anesthesia. At the end of surgery, we made patient breathed spontaneously. Twenty
minutes before extubation, patients were divided into two groups : Group I received
pethidine 0.4 mg/kgbw and group II received ondansetron 0.1 mg/kgbw. After
adequate spontaneous breathing and laryngeal reflex recovery, extubation was done.
After extubation patients were receiving oxygen 8L/minute. Vital signs, side effects and
shivering were measured every 5 minutes for 30 minutes long. Statistical analysis were
performed by Mann whitney, with p-value < 0.05 was considered significant.
Results : Patient characteristics of the two groups were not significantly different
(p>0.05). Incidence of shivering in group I were developed in 4 patients (25%) which
3 patients were 1st degree and 1 patient was 2nd degree. In group II, 3 patients
(18.75%) had incidence of shivering, which 2 patients were 1st degree and 1 patient
was 2nd degree. The incidence and grades of shivering between two groups were not
significantly different (p>0.05). Tympanic membrane temperature of group I and
group II were not significanlty different s (p>0.05). Nausea occured in group I
(12.5%) on the other side group II had no side effects but the results were not
significantly different (p>0.05).
Conclusion : Pethidine 0.4 mg/kgbw and ondansetron 0.1 mg/kgbw have similar effect
in preventing post anesthesia shivering
Volume VI, Nomor 2, Tahun 2014
Terakreditasi
DIKTI2,dengan
Volume VI, Nomor
Tahunmasa
2014 berlaku 3 Juli 2014 - 2 Juli 2019
Dasar SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 212/P/2014

89

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Key words : post anesthesia shivering, pethidine, ondansetron.


ABSTRAK
Latar belakang : Menggigil merupakan komplikasi yang sering terjadi pasca tindakan
anestesi umum yang berdampak tidak nyaman pada pasien dan menimbulkan berbagai
resiko. Oleh sebab itu, menggigil perlu dicegah atau diatasi. Sampai saat ini obat
yang paling sering digunakan di RSSA adalah petidin. Akan tetapi petidin mempunyai
efek samping mual, muntah dan depresi napas. Ondansetron merupakan antagonis
5-HT3 yang mempunyai efek anti mual, anti muntah dan anti menggigil.
Tujuan : Mengetahui perbedaan efek pemberian ondansetron 0.1 mg/kgbb dengan
petidin 0.4 mg/kgbb intravena untuk mencegah menggigil pasca anestesi umum.
Metode : Penelitian eksperimental dengan rancangan single blind true experimental
design pada 32 pasien dengan usia 18 40 tahun yang menjalani operasi 1 3 jam
dengan anestesi umum. Pada akhir operasi, pasien dibuat bernafas spontan. Dua
puluh menit sebelum ekstubasi, pasien dibagi menjadi dua kelompok : kelompok I
mendapatkan petidin 0.4 mg/kgbb dan kelompok II mendapatkan ondansetron 0.1 mg/
kgbb. Ekstubasi dilakukan setelah pasien bernafas spontan adekuat dan refleks laring
sudah ada. Pasca ekstubasi pasien diberi oksigen 8L/menit. Tanda vital, efek samping
dan kejadian menggigil dicatat tiap lima menit selama 30 menit. Uji statistik dilakukan
dengan menggunakan Mann Whitney, dengan derajat kemaknaan yaitu nilai p< 0.05.
Hasil : Data karakteristik pasien antara kedua kelompok tidak berbeda bermakna
(p>0.05). Kejadian menggigil pada kelompok I terjadi pada 4 pasien (25%), menggigil
derajat 1 pada 3 pasien dan sisanya derajat 2. Pada kelompok II, 3 pasien (18.75%)
mengalami kejadian menggigil, menggigil derajat 1 pada 2 pasien dan sisanya
derajat 2. Kejadian dan derajat menggigil antara kedua kelompok tidak berbeda
bermakna (p>0.05). Suhu membran timpani kelompok I dan kelompok II juga tidak
bermakna (p>0.05). Dua pasien (12.5%) pada kelompok I mengalami mual
sedangkan pada kelompok II tidak didapatkan efek samping (p=0.151) tetapi
secara statistik tidak berbeda bermakna (p>0.05).
Kesimpulan : Petidin 0.4 mg/kgbb dan ondansetron 0.1mg/kgbb mempunyai efek yang
sama dalam mencegah menggigil pasca anestesi umum.
Kata kunci : menggigil pasca anestesi umum, petidin, ondansetron.
PENDAHULUAN
Menggigil
merupakan
komplikasi yang sering terjadi selama
90

tindakan anestesi. Kejadian menggigil


ini cukup tinggi, yaitu hampir 65%
Volume VI, Nomor 2, Tahun 2014

Jurnal Anestesiologi Indonesia

pasien mengalaminya setelah tindakan


anestesi umum dan sekitar 57% pasien
mengalaminya selama tindakan anestesi
regional. Hal ini disebabkan oleh
beberapa hal yaitu : hipotermi akibat
redistribusi panas dari pusat tubuh ke
perifer, suhu kamar operasi yang
dingin/rendah, lamanya luka daerah
operasi yang terbuka, pelepasan sitokin
akibat
tindakan
operasi,
dan
penggunaan obat obat anestesi yang
menurunkan ambang batas menggigil
dan menurunkan respon vasokontriksi
terhadap hipotermi.1,2,3
Menggigil merupakan suatu
respon yang tidak nyaman bagi pasien
dan akan menimbulkan risiko yang
tidak baik bagi pasien karena berkaitan
dengan aktivasi simpatis/adrenergik
seperti
meningkatnya
proses
metabolisme tubuh, meningkatnya
kebutuhan konsumsi oksigen sampai 4 6 kali lipat, timbulnya peningkatan
produksi karbondioksida dan akan
memperberat nyeri pasca operasi.
Peningkatan kadar katekolamin dalam
darah juga akan meningkatkan risiko
komplikasi kardiovaskular. Menggigil
juga akan meningkatkan tekanan
intraokuli dan tekanan intrakranial. Hal
ini akan membahayakan pada pasien
pasien dengan kondisi yang tidak
optimal seperti pasien dengan gangguan
jantung dan pasien dengan penyakit
paru obstruksi menahun. Oleh sebab itu
kejadian menggigil pasca anestesi
umum sebaiknya dicegah dan kalau
sudah timbul harus segera ditangani
dengan baik.3,4

Volume VI, Nomor 2, Tahun 2014

Secara umum, tata laksana menggigil ini


dibagi menjadi dua yaitu non
farmakoterapi
dan
farmakoterapi.
Tindakan
pencegahan
non
farmakoterapi yaitu dengan menjaga
suhu tubuh tetap normal selama
tindakan operasi dan setelah tindakan
anestesi dengan pemberian selimut yang
mengandung
udara
hangat
dan
pemberian cairan infus yang hangat.
Penggunaan
teknik
farmakoterapi
merupakan cara yang sering digunakan
untuk mengatasi kejadian menggigil
pasca anestesi umum. Ada beberapa
obat yang dapat digunakan untuk
mengatasi kejadian menggigil pasca
anestesi umum antara lain : petidin,
fentanil, morfin, ketamin, tramadol,
klonidin,
magnesium sulfat
dan
5,6,7
ondansetron.
Petidin merupakan agonis opioid
sintetik yang bekerja pada reseptor
opioid (mu) dan (kappa). Petidin
mempunyai efek untuk mengatasi
menggigil melalui reseptor . Petidin
merupakan obat yang paling efektif dan
sering digunakan untuk mengatasi
menggigil.
Akan
tetapi
petidin
mempunyai beberapa efek samping
yang tidak menguntungkan seperti
mual, muntah, pruritus dan depresi
nafas.1,8
Ondansetron adalah derivat dari
karbazolon yang strukturnya berkaitan
dengan antagonis reseptor serotonin dan
sub tipe 5-Hidroksitriptamin tipe 3 (5HT3 ) spesifik yang tidak mempunyai
efek pada aktifitas reseptor dopamin,
histamine, adrenergik dan kolinergik.8
91

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Ondansetron sudah sering


digunakan untuk anti emetik, selain
efek tersebut ondansetron
juga
mempunyai efek anti menggigil
melalui mekanisme penghambatan
pada
reseptor
5-HT3
yang
mengakibatkan
penghambatan
termoregulasi pada tingkat hipotalamus
yang merupakan pusat pengaturan
suhu tubuh. Oleh karena itu,
ondansetron juga dapat digunakan
untuk mencegah menggigil pasca
anestesi umum sekaligus sebagai anti
emetik.9,10
Sampai saat ini, petidin
merupakan obat yang paling banyak
digunakan sebagi obat anti menggigil
di RSU dr.Saiful Anwar Malang. Akan
tetapi petidin mempunyai beberapa
efek
samping
yang
tidak
menguntungkan seperti mual, muntah,
pruritus dan depresi nafas.4,7,8 Berbeda
dengan petidin, ondansteron yang juga
sudah terbukti mempunyai efek anti
menggigil mempunyai efek anti mual
dan muntah serta tidak memiliki efek
samping sebesar petidin.4 Oleh sebab
itu, peneliti tertarik melakukan
penelitian
perbandingan
efek
ondansetron 0.1 mg/kgbb dan petidin
0.4
mg/kgbb
intravena
untuk
mencegah menggigil pasca anestesi
umum.
Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui perbedaan efek pemberian
ondansetron 0.1 mg/kgbb dan petidin
0.4
mg/kgbb
intravena
untuk
mencegah kejadian menggigil pasca
anestesi umum.
92

METODE
Penelitian
ini
merupakan
penelitian
eksperimental
dengan
rancangan penelitian single blind true
experimental design.
Kelompok
penelitian
dibagi
menjadi
dua
kelompok, yaitu : kelompok I
mendapatkan petidin 0.4 mg/kgBB
menjelang akhir anestesi dan kelompok
II mendapatkan ondansetron 0.1 mg/
kgBB menjelang akhir anestesi.
Tempat
penelitian
adalah
Rumah Sakit Umum dr. Saiful Anwar
(RSSA) Malang. Kriterian inklusi
adalah pasien berusia 18 40 tahun,
status fisik berdasarkan American
Society of Anesthesiologist (ASA) I-II,
lama anestesi 1-3 jam,
tidak
mempunyai
kelainan
psikiatris,
kelainan neuromuskular dan kelainan
jantung. Sedangkan kriteria eksklusi
adalah pasien yang memerlukan obat
vasokonstriktor
selama
tindakan
anestesi, pasien yang mengalami
komplikasi selama tindakan anestesi
seperti infark miokard akut, syok, henti
jantung dan pasien yang memerlukan
perawatan di ruang intensif pasca
pembedahan.
Pemilihan sampel dilakukan
dengan purposive sampling dengan
jumlah sampel yang diperlukan adalah
32 sampel, yang dibagi menjadi dua
kelompok, dimana masing masing
kelompok berjumlah 16 sampel.
Setelah mendapat persetujuan
komisi etik RSSA Malang, pasien yang

Volume VI, Nomor 2, Tahun 2014

Jurnal Anestesiologi Indonesia

memenuhi kriteria inklusi diberikan


penjelasan dan informed consent. Pasien
yang setuju mengisi informed consent
dipuasakan 6 jam sebelum operasi dan
selama puasa kebutuhan cairan dipenuhi
dengan cairan RL (ringer laktat). Saat di
kamar operasi, dilakukan pengukuran
tekanan darah (TD), frekuensi nadi (FN),
suhu membran timpani dan saturasi
oksigen (SaO2) sebelum dilakukan induksi
anestesi. Induksi anestesi dilakukan
dengan proprofol 1 - 2 mg/kgbb dan
analgetik fentanil 2 mcg/kgBB. Setelah
refleks bulu mata hilang, diberikan
atrakurium 0.5 mg/kgbb, kemudian
dilakukan
intubasi
endotrakea.
Pemeliharaan anestesi dengan isofluran
dengan kombinasi N2 0 : O2 = 2:1.
Analgetik selama operasi diberikan
fentanil intermiten 1 2 mcg/kgbb setiap
jam. Pada akhir operasi, pasien dibuat
bernafas spontan. Analgetik pasca operasi
menggunakan ketorolak 30 mg. Dua puluh
menit sebelum anestesi dihentikan
dilakukan randomisasi dengan dibagi
menjadi kelompok I dan II.
Setelah operasi selesai, ventilasi
adekuat, pasien bangun dan refleks laring
telah kembali, baru dilakukan ekstubasi.
Dicatat TD, FN, suhu membran timpani,
SaO2 dan derajat menggigil tiap 10 menit
sampai 30 pasca ekstubasi. Di ruang pulih
sadar,
pasien diberikan selimut dan
oksigen masker 8 L/menit.
Menggigil adalah suatu fasikulasi
atau tremor yang terdeteksi pada otot
rangka di wajah, kepala, rahang, badan
atau ekstremitas yang berlangsung lebih
dari 15 detik.11 Derajat menggigil dinilai
Volume VI, Nomor 2, Tahun 2014

dengan skala menggigil Crossley


dan Mahajan, yaitu : 0 : tidak ada
menggigil, 1 : tidak tampak aktifitas
muskuler/tremor,
tetapi
hanya
tampak piloereksi atau vasokontriksi
perifer atau keduanya, 2 : aktifitas
muskuler pada hanya satu kelompok
otot, 3 : aktifitas muskuler sedang
pada lebih dari satu kelompok otot,
tetapi tidak terlihat menggigil
seluruh tubuh, 4 : aktifitas otot-otot
seluruh tubuh sangat kuat dan terus
menerus.12
Pasien yang masih menggigil
diterapi dengan cairan infus RL
hangat
untuk
mengembalikan
kondisi normotermia dan diberikan
petidin 20 mg serta tramadol 2 mg/
kgbb. Apabila terjadi efek samping
obat, maka dicatat dan diberikan
penatalaksanaan yang sesuai.
Data diolah dengan komputer
menggunakan
program
SPSS
(Statistical Package for Social
Sciences) Windows dan dinyatakan
dalam bentuk tabel dan grafik. Uji
statistik
dilakukan
dengan
menggunakan uji Mann Whitney,
dengan derajat kemaknaan yaitu
nilai p < 0,05.
HASIL
Telah dilakukan penelitian
perbandingan
efek
pemberian
ondansetron dan petidin intravena
untuk mencegah menggigil pasca
anestesi umum pada 32 pasien yang
menjalani tindakan anestesi umum

93

Jurnal Anestesiologi Indonesia

dengan kriteria inklusi dan eksklusi


tertentu serta bersedia untuk mengikuti
penelitian ini.
Dari tabel 1 menunjukkan tidak
terdapat perbedaan yang bermakna
(p>0.05) untuk variabel usia, jenis
kelamin, BB, TB, BMI, durasi anestesi,
suhu membran timpani sebelum
induksi, suhu kamar operasi, jenis
operasi jumlah perdarahan dan jumlah
cairan sampel antara kelompok petidin
dan kelompok ondansentron.
Pada gambar 1 didapatkan tidak
terdapat perbedaan yang bermakna
pada temperatur membran timpani saat
akhir anestesi umum, menit ke 10, ke
20 dan menit ke 30 pasca ekstubasi
antara dua kelompok tersebut.
Perbandingan kejadian dan
derajat menggigil antara kelompok
petidin dan ondansetron menunjukkan
perbedaan yang tidak bermakna
(p>0.05)(tabel 2). Pada gambar 2 dapat
kita lihat dari 16 pasien, terdapat 4
(25%)
pasien
dari
kelompok
ondansteron
mengalami
kejadian
menggigil pasca anestesi umum. Tiga
pasien mengalami menggigil derajat 1,
dan satu pasien mengalami menggigil
derajat dua. Pada kelompok petidin,
terdapat 3 (18.75%) pasien mengalami
menggigil pasca anestesi umum. Dua
pasien mengalami menggigil derajat 1,
dan satu pasien mengalami menggigil
derajat dua.
Pada penelitian ini didapatkan
efek samping obat yang ditimbulkan

94

dari pemberian petidin berupa mual.


Dari 16 pasien yang mendapat petidin
0.4 mg/kgbb, didapatkan 2 (12.5%)
pasien mengalami efek samping mual
(gambar 3). Sedangkan pada kelompok
ondansetron tidak didapatkan kejadian
mual. Akan tetapi secara statistik (tabel
2) menunjukkan tidak ada perbedaan
yang bermakna (p>0.05) pada kejadian
mual
diantara
kedua
kelompok
perlakuan tersebut.
PEMBAHASAN
Menggigil
merupakan
komplikasi yang sering terjadi selama
tindakan anestesi. Kejadian menggigil
ini sekitar 40 60% pada pasien pasien
yang dilakukan tindakan anestesi umum
dan 56,7% pada pasien pasien yang
dilakukan tindakan anestesi regional.
Menggigil merupakan suatu respon yang
tidak nyaman bagi pasien dan akan
menimbulkan risiko yang tidak baik
bagi pasien karena berkaitan dengan
aktivasi simpatis/adrenergik seperti
meningkatnya
proses
metabolisme
tubuh,
meningkatnya
kebutuhan
konsumsi oksigen sampai 4 - 6 kali
lipat, timbulnya peningkatan produksi
karbondioksida dan akan memperberat
nyeri pasca operasi.1,2,12
Obat anti menggigil yang sudah
terbukti efektif dan paling sering
digunakan
ialah petidin.
Petidin
merupakan opioid yang bekerja pada
reseptor dan . Petidin dapat
menurunkan ambang menggigil dua kali
lipat lebih besar dibandingkan ambang
vasokontriksi sehingga dapat mencegah
Volume VI, Nomor 2, Tahun 2014

Jurnal Anestesiologi Indonesia

timbulnya menggigil. Kemampuan


petidin dalam mencegah menggigil ini
dikarenakan efek petidin pada reseptor
yang akan menurunkan ambang
rangsang menggigil dan vasokontriksi.
Akan tetapi petidin mempunyai
beberapa efek samping yang tidak
menguntungkan seperti mual dan
muntah.8,13 Ondansetron merupakan
antagonis spesifik reseptor 5-HT3 yang
sering digunakan sebagai anti emetik.
Selain anti emetik, ondansetron juga
mempunyai efek anti menggigil dengan
menghambat
termoregulasi
di
14
hipotalamus.
Penelitian ini dilakukan untuk
mengetahui
perbedaan
efek
ondansetron dan
petidin dalam
mencegah kejadian menggigil pasca
anestesi umum. Dari total 32 sampel
yang didapat, terdapat 25% sampel dari
kelompok petidin mengalami kejadian
menggigil. Dengan18.75% pasien (3
sampel) mengalami menggigil derajat 1
dan 6.25%
(1 sampel) mengalami
menggigil derajat 2 serta sisanya tidak
mengalami kejadian menggigil. Hal ini
sesuai
dengan
penelitian
yang
dilakukan Entezari et al (2012) bahwa
petidin 0.4 mg/kgbb dapat menurunkan
kejadian
menggigil pasca anestesi
umum sampai sekitar 20% dari total
pasien yang menjalani
tindakan
15
anestesi umum. Mekanisme petidin
dalam mencegah menggigil disebabkan
oleh
kemampuannya
dalam
mempengaruhi beberapa reseptor yaitu
sebagai agonis reseptor , stimulasi
reseptor adrenoreseptor subtipe 2 B,

Volume VI, Nomor 2, Tahun 2014

menghambat reuptake monoamin dan


sebagai antagonis reseptor NMDA (Nmethyl-D-aspartate).12,13,16,17
Di dalam hipotalamus terdapat
keseimbangan
monoamin
yang
mengatur ambang normal suhu tubuh.
Serotonin
(5-HT) merupakan
monoamin
yang
menyebabkan
vasokontriksi dan menggigil sehinggan
meningkatkan suhu tubuh, sedangkan
epineprin-norepineprin
mempunyai
efek yang sebaliknya yang akan
menurunkan
ambang
normal
pengaturan
suhu
tubuh
pada
hipotalamus.
Petidin
merupakan
penghambat reuptake dari norepineprin
sehingga
akan
mengganggu
keseimbangan
monoamin
dalam
hipotalamus.
Peningkatan
kadar
norepineprin pada hipotalamus akan
menurunkan
ambang
rangsang
14,17
menggigil.
Kemampuan petidin sebagai
antagonis reseptor NMDA dan agonis
adrenoreseptor subtipe 2 B akan
memodulasi termoregulasi serta akan
menghambat masuknya ion Ca2+ dari
ekstraselluler ke dalam sel syaraf.
Peningkatan retensi ion Ca2+ pada
permukaan neuron akan menstabilkan
membran sel dan akan menurunkan
ambang rangsang neuron (heat gain
units) yang akan mengatur peningkatan
panas tubuh pada hipotalamus posterior
sehingga
mencegah
timbulnya
17,18
menggigil.
Pada kelompok ondansetron,
sebanyak 18.75% pasien masih
95

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Tabel 1 Karakteristik Sampel Kedua Kelompok Perlakuan


Petidin
Mean/
Total
33.6

Karakteristik
Sampel
Usia (tahun) (2)
Jenis kelamin(2)

Laki-laki
7
Perempuan 9
Berat Badan/BB (kg) (1)
53.6
Tinggi Badan/TB (cm) (1)
157.2
2 (2)
BMI (kg/m )
21.5
Durasi Anestesi
(menit) (2)
125
Suhu membran timpani
sebelum induksi (Celcius)(2)
36.7
Suhu Kamar
Operasi (Celcius) (1)
21.0
Jenis Operasi(2)
Ortopedi
3
Onkologi
3
Plastik
2
Digestif
1
Neurosurgeri 2
Mata
3
THT
2
Jumlah Perdarahan (ml) (2)
129.3
Jumlah Cairan (ml) (2)
850.0

Std.
dev.
8.30

Ondansentron
Mean/
Std.
Total
dev.
30.0
6.91

43%
57%
7.76
5.84
1.99

9
7
51.8
156.5
20.9

57%
43%
9.45
11.14
1.91

0.486

47.69

109

44.35

0.322

0.25

36.6

0.19

0.382

0.88

21.0

0.48

0.934
0.924

18.8%
18.8%
12.5%
6.20%
12.5%
18.8%
12.5%
94.9
380.78

3
4
1
1
2
1
4
88.1
734.3

18.8%
25%
6.20%
6.20%
12.5%
6.20%
25%
99.4
368.20

Uji Statistik
(p)
0.137

0.558
0.828
0.363

0.069
0.301

Keterangan:
(1)
Uji t independen
(2)
Uji Mann whitney
Tabel 2. Perbandingan Kejadian dan Derajat Menggigil antara kedua kelompok
Derajat menggigil pasca
anestesi umum (1)

Petidin
Jumlah

Prosentase

Uji Stat (p)

Ondansetron
Jumlah

Prosentase

Menggigil derajat 0 /
tidak menggigil

12

Menggigil derajat 1

18.75%

12.5%

Menggigil derajat 2

6.25%

6.25%

Menggigil derajat 3

0%

0%

Menggigil derajat 4

0%

0%

Kejadian menggigil(2)

25%

18.75%

0.674

12.5%

0.151

Efek samping mual(2)

96

75%

13

81.25%
0.695

Volume VI, Nomor 2, Tahun 2014

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Gambar 1. Suhu membran timpani pada kedua kelompok

Gambar 2. Derajat menggigil pada kedua kelompok

Gambar 3. Efek samping mual pada kedua kelompok

Volume VI, Nomor 2, Tahun 2014

97

Jurnal Anestesiologi Indonesia

mengalami kejadian menggigil pasca


anestesi umum. Dengan12.5% pasien (2
sampel) mengalami menggigil derajat 1
dan 6.25% (1 sampel) mengalami
menggigil derajat 2 serta sisanya tidak
mengalami kejadian menggigil. Hal ini
sesuai
dengan
penelitian
yang
dilakukan Arifin dan Sanjaya (2012)
bahwa ondansetron 0.1 mg/kgbb dapat
menurunkan kejadian menggigil pasca
anestesi umum sampai sekitar 16.7%
dari total pasien yang menjalani
tindakan anestesi umum.4 Hasil dari
penelitian ini sedikit berbeda dengan
yang didapatkan oleh Powell and
Buggy (2000), bahwa 33% dari 27
pasien yang mendapatkan ondasetron 4
mg
masih
mengalami
kejadian
menggigil pasca anestesi umum.9 Hasil
dari penelitian ini juga sedikit berbeda
dengan hasil penelitian yang dilakukan
oleh Kelsaka et al (2006). Kelsaka et
al
(2006)
menyebutkan
bahwa
ondansetron 8 mg dapat menurunkan
kejadian menggigil sampai hanya
sekitar 8% dari total pasien yang
menjalani tindakan anestesi spinal.
Hasil yang berbeda ini kemungkinan
disebabkan oleh perbedaan dosis
ondansetron dan teknik anestesi yang
digunakan dalam penelitian tersebut.4,19
Dari hasil penelitian
ini
didapatkan bahwa tidak ada perbedaan
kejadian dan derajat menggigil yang
bermakna secara statistik (p>0.05)
antara kelompok ondansetron dan
kelompok petidin. Hal ini membuktikan
bahwa ondansetron mempunyai efek
mencegah menggigil pasca anestesi
98

umum yang sama efektifnya dengan


petidin.15,20 Pada penelitian Abdollahi
et al (2012) pada 90 pasien yang
menjalani tindakan operasi coronary
artery bypass graft (CABG) dengan
anestesi umum didapatkan hasil yang
berbeda, yaitu ondansetron 8 mg
mempunyai efek mencegah menggigil
yang lebih baik dibandingkan dengan
petidin 0.4 mg/kgbb.21 Hasil penelitian
yang
berbeda ini
kemungkinan
disebabkan oleh dosis ondansetron dan
jenis operasi yang berbeda dengan
penelitian ini.
Mekanisme ondansetron sebagai
anti menggigil diduga berkaitan dengan
efek antagonisnya pada reseptor 5-HT3
yang
merupakan
salah
satu
neurotransmitter yang penting dalam
termoregulasi karena berkaitan erat
dengan jaras produksi panas tubuh dan
jaras pengeluaran panas tubuh ke
lingkungan. Penelitian pada hewan
menunjukkan, pemberian agonis 5-HT
di dalam hipotalamus menyebabkan
vasokontriksi perifer dan menggigil
sehingga meningkatkan suhu inti tubuh.
Sebaliknya, antagonis reseptor 5-HT3
diduga
akan
mempunyai
efek
mencegah timbulnya menggigil Efek
antagonis
reseptor
5-HT3
pada
hipotalamus inilah yang menyebabkan
ondansetron dapat menghambat sistem
termoregulasi sehingga tidak terjadi
menggigil.9,14,17,21
Pada penelitian ini, 12.5% dari
total 16 pasien yang mendapatkan
petidin 0.4 mg/kgbb mengalami efek
Volume VI, Nomor 2, Tahun 2014

Jurnal Anestesiologi Indonesia

samping mual. Ayatollahi et al (2011)


menyebutkan bahwa 5 (16.7%) dari 30
pasien yang mendapat petidin 0.4 mg/
kgbb untuk mencegah terjadinya
menggigil pasca anestesi umum
mengalami efek samping mual.1 Pada
penelitian lain, Entezari et al (2012)
mendapati 10% pasien yang mendapat
petidin 0.4 mg/kgbb juga mengalami
efek samping mual.1,15 Efek samping
mual ini disebabkan oleh stimulasi
petidin pada chemoreceptor trigger
zone (CTZ). CTZ merupakan area di
otak yang berperan penting terhadap
terjadinya mual dan muntah.2
SIMPULAN
Ondansetron
0.1
mg/kgbb
mempunyai efek untuk mencegah
menggigil pasca anestesi umum yang
sama efektifnya dengan petidin 0.4 mg/
kgbb .

DAFTAR PUSTAKA
1. Ayatollahi, V., Hajiesmaeili, M.R.,
Behdad, S., Gholipur, M., Abbasi, H.R.
Comparison Of Prophylactic Use Of
Meperidine And Two Low Doses Of
Ketamine For Prevention Of PostAnesthetic Shivering: A Randomized
Double-Blind Placebo Controlled Trial. J
Res Med Sci 2011; 16(10): 1340-1346
2. Butterworth, J.F., Mackey, J.D., Wasnick,
D.C. Morgan & Mikhails Clinical
Anesthesiology Fifth Edition. Chapter 52
Thermoregulation,
Hypothermia,
&
Malignant Hyperthermia. USA; 2013. p.
1184 1191
3. Sidiq, S., Qazi, S.M., Dar, A.M. A Placebo-

Volume VI, Nomor 2, Tahun 2014

Controlled Comparison Of Ketamine With


Pethidine
For The Prevention Of
Postoperative Shivering. South Afr J
Anaesth Analg 2012;18(6):340-343
4. Arifin, J., Sanjaya, Y.A. Perbandingan
Efektifitas
Ondansetron dan Tramadol
Intravena dalam Mencegah Menggigil
Paska Anestesi Umum. Med Hosp 2012;
Vol 1 (1) : 7 -11
5. Singh, SN., Sah, BP., Ghimire, A ., Prasad,
JN ., Baral, DD. Comparisons of tramadol
with pethidine for prevention of post
anaesthetic shivering in elective abdominal
surgery. Health Renaissance; SeptemberDecember 2012; Vol 10 (No.3);220-223
6. Zahedi, H. Comparison of Tramadol and
Pethidine for Postanesthetic Shivering in
Elective Cataract Surgery . Journal of
Research in Medical Sciences 2004; 5: 235
-239
7. Shrestha, A.B. Comparative Study on
Effectiveness of Doxapram and Pethidine
for Postanaesthetic Shivering. J Nepal Med
Assoc 2009;48(174):116-20
8. Stoelting, R.K., Hillier, C.S. Pharmacology
and Physiology in Anesthetic Practice
Fourth Edition. Philadelphia. Lippincott
Williams & Wilkins. Chapter 42
Thermoregulation; 2006. p. 688 695
9. Powell, R.M. and Buggy, D.J. Ondansetron
Given Before Induction of Anesthesia
Reduces
Shivering
After
General
Anesthesia. Anesth Analg 2000;90:14237
10. Kyokonga, O. Tamdee, D. Charuluxanan,
S. Comparison of the efficacy of
nalbuphine, tramadol, ondansetron and
placebo in the treatment of postanesthetic
shivering after spinal anesthesia for
cesarean delivery. Asian Biomedicine Vol.
1 No. 2 August 2007
11. Buggy,
D.J.,
Crossley,
A.W.
Thermoregulation, Mild Perioperative
Hypothermia
And
Post-Anaesthetic
Shivering. British Journal of Anesthesia 84
(5) : 615-28 (2000)
12. Padayachee,
N.S.Y.Post
Anaesthesia
Shivering. [internet]. 2013. [cited 2013
May 03] Available from : http: //
99

Jurnal Anestesiologi Indonesia


anaesthetics.ukzn.ac.za/
Libraries
/
Documents2011/post_
anaesthesia
_shivering_-_N_Padayachee.sflb. ashx.
13. Parsa, T., Dabir, S., Radpay, B. Efficacy of
Pethidine
and
Buprenorphine
for
Prevention and Treatment of Postanesthetic
Shivering. Tansffod. 2007; 6(3): 54 58.
14. Bhattacharya, P.K., Bhattacharya, L., Jain,
R.K., Agarwal, R.C. Post Anaesthesia
Shivering (PAS): a review. Indian J.
Anaesth. 2003; 47 (2) : 88-93
15. Entezari, M.,Isazadefar, K., Mohammadian,
A., Khoshbaten, M. Ondansetron and
Meperidine prevent Post Operative
Shivering after General Anesthesia. Iran
Red Crescent Med J 2012; 14(5):316-317
16. Ezike, H., Ajuzieogu, O., Amucheazi, A.
Ewah, R., Ajuzieogu, J.I. Treatment Of
Postanesthetic Shivering In Children: A
Randomized Control Study Comparing
Tramadol
To
Pethidine.
http://
www.Academicjournals.org / AJPP. Vol. 7
(20), pp. 1208-1212, 29 May, 2013
17. Witte, D., Sessler, DI. Perioperative
Shivering: Physiology and Pharmacology.
Anesthesiology, 2002;96:467-484.

100

18. Wang, C. Critical Regulation of Calcium


Signaling and NMDA-type Glutamate
Receptor In Developmental Neural
Toxicity. J Drug Metab Toxicol. 2013 4:3
19. Kelsaka, E., Baris, S., Karakaya, D.,
Sarihasan, B. Comparison of Ondansetron
and Meperidine for Prevention of Shivering
in Patients Undergoing Spinal Anesthesia.
Regional Anesthesia and Pain Medicine,
2006.Volume 31, Issue 1. p. 40-45
20. Kayalha, H., Roushanfekr, M., Ahmadi, M.
The Comparison of Ondansetron and
Meperidine to Prevent Shivering after
Anesthesia in Patients Undergoing Lower
Limb Orthopedic Surgeries with General
Anesthesia. ZUMS Journal. Volume 22,
Number 92 (6-2014)
21. Abdollahi, M.H., Forouzannia, S.K.
Bagherinasab, M. Barzegar, K. Fekri, A.,
Sarebanhassanabadi, M., Entezari, A. The
Effect of Ondansetron and Meperedin on
Preventing Shivering After Off-pump
Coronary Artery Bypass Graft. Acta
Medica Iranica, 2012; 50(6): 395-398.

Volume VI, Nomor 2, Tahun 2014

Das könnte Ihnen auch gefallen