Sie sind auf Seite 1von 17

LAPORAN PENDAHULUAN

CRUSH INJURY PADA LOWER EXTREMITY

Oleh:
PRIYAN PRATMANTO
G4D014047

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN


FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN
JURUSAN KEPERAWATAN
PURWOKERTO

2015
CRUSH INJURY PADA LOWER EXTREMITY
A Latar Belakang
Crush injury berasal dari bahasa Inggris Crush hancur dan Injuri luka ,
yang definisikan sebagai Luka yang hancur pada extremitas atau anggota badan lain
yang mengakibatkan terjadinya kerusakan yang serius, meliputi; kulit dan jaringan lunak
dibawa kulit, kerusakan pembuluh darah, persarafan, tendon, fascia , bone joint ( lokasi
penghubung anatara tulang ), kerusakan tulang serta komponen didalam tulang.
Menurut U.S Centers for Disease Control and Prevention (CDC) ( 2009) , lokasi
yang sering terjadi crush injury meliputi ; extremitas inferior 74%, extremitas superior
10%, serta organ lain 10%.
Penyebab

crush

injury

biasanya

tertimpa

object

berat/lebar,

motor

(kecelakaan lalu lintas) , kecelakaan industrial, atau sarana (angkut) jalan kereta api
yang menggulung di atas kaki, dan crush injury dari peralatan industri.
B Definisi
Crush

Injury didefinsikan sebagai luka yang hancur

pada extremitas atau

anggota badan lain yang mengakibatkan terjadinya kerusakan yang serius, meliputi;
kulit dan jaringan lunak dibawa kulit, kerusakan pembuluh darah, persarafan, tendon,
fascia , bone joint ( lokasi penghubung anatara tulang ),

kerusakan

tulang serta

komponen didalam tulang. Crush injury lebih sering mengenai anggota gerak dibanding
anggota tubuh yang lain.
C Patofisiologi
Pada crush injury kerusakan lapisan kulit dan subkutan dapat mempermudah
masuknya kuman melalui lokasi luka yang terbuka sehingga sangat penting pada ada
anamnesis dapat diketahui mengenai mekanisme trauma dan lokasi kejadian, agar dapat
mengetahui risiko terjadinya infeksi.
Kerusakan pembuluhh darah dapat disebabkan oleh kekuatan crush injury yang
mengakibatkan hilangnya suplai darah ke otot. Biasanya otot dapat bertahan selama 4
jam tanpa aliran darah ( warm ischemia time) masuk dalam sel otot, kemudian sel-sel
otot akan mati. Selanjutnya terjadi kebocoran membrane plasma sel otot serta kerusakan
pembuluh darah yang akan mengakibatkan cairan intravaskuler akan terakumulasi ke
jaringan yang cedera. Hal ini dapat dapat menyebabkan hipovelemia yang signifikan

sehingga mengakibatkan terjadi syok hipovolemik, serta kehilangan ion calcium (Ca+)
sehingga berpotensi menyebabkan terjadinya hipokalsemia.
Kerusakan saraf tibialis, dapat mengakibatkan hilangnya reflek neurologis yang
signfikan pada sebelah distal regio cruris, sebab cabang n.Tibialis dapat menginervasi
regio pedis.
Jika tulang patah maka periosteum dan pembuluhh darah pada kortek,

sum-

sum dan jaringan lunak sekitarnya mengalami gangguan / kerusakan. Perdarahan terjadi
dari ujung tulang yang rusak dan dari jaringan lunak (otot) yang ada disekitarnya.
Hematoma terbentuk pada kannal medullary antara ujung fraktur tulang dan bagian
bawah periosteum. Jaringan nekrotik ini menstimulasi respon inflamasi yang kuat yang
dicirikan oleh vasodilasi, eksudasi plasma dan lekosit , dan infiltrasi oleh sel darah putih
lainnya. Kerusakan pada periosteum dan sum-sum tulang dapat mengakibatkan
keluarnya sumsum tulang terutama pada tulang panjang, sumsum kuning yang keluar
akibat fraktur masuk ke dalam pembuluh darah dan mengikuti aliran darah sehingga
mengakibatkan terjadi emboli lemak ( Fat emboly ). Apabila emboli lemak ini sampai
pada pembuluh darah kecil, sempit, dimana diameter emboli lebih besar dari pada
diameter pembuluh darah maka akan terjadi hambatan aliran-aliran darah yang
mengakibatkan perubahan perfusi jaringan. Emboli lemak dapat berakibat fatal apabila
mengenai organ-organ vital seperti otak, jantung, dan paru-paru.
Kerusakan pada otot dan jaringan lunak juga dapat menimbulkan nyeri yang
hebat karena adanya spasme otot. Sedangkan kerusakan pada tulang itu sendiri
mengakibatkan terjadinya perubahan ketidakseimbangan dimana tulang dapat menekan
persyarafan pada daerah yang terkena fraktur sehingga dapat menimbulkan penurunan
fungsi syaraf, yang ditandai dengan kesemutan, rasa baal dan kelemahan. Selain itu
apabila perubahan susunan tulang dalam keadaan stabil atau benturan akan lebih mudah
terjadi proses penyembuhan fraktur dapat dikembalikan sesuai dengan anatominya.
Biasanya jika penanganan awal tidak dilakukan dengan baik, akan berkembang
timbul tanda-tanda dari crush syndrome yang mana akibat kerusakan sel-sel otot sebagai
akibat dari crush injury. Crush syndrome ditandai dengan adanya gangguan sistemik.
D Gejala dan Tanda
Gejala dan tanda jelas berbeda tergantung dari keparahan crush injury. Pada
trauma yang ringan dapat ditandai dengan adanya luka robek, nyeri terlokasir dan ringan.
Namun pada trauma crush injury yang berat dapat terlihat kerusakan hebat dibawa kulit

lokasi lesi, dan sering dijumpai kerusakan hebat terhadap kulit, jaringan lunak , fascia,
saraf, pembuluhh darah, tulang serta tendon dan organ lainnya. Beberapa tanda yang
mungkin dan sering timbul yaitu; klinis pada kulit mungkin hampir sama dengan trauma
bukan crush injury, bengkak daerah trauma, paralisis ( jika mengenai vertebra), parestesi,
nyeri, pulsasi ujung distal dari lokasi trauma mungkin ada atau tidak ada, mioglobinuri
yang mana warna urine menjadi merah gelap atau coklat.
E Etiologi
Penyebab utama dari crush injury adalah banyak faktor antara lain ; tertindih
oleh objek berat, kecelakaan lalu lintas, kecelakaan kerja pada Industri, kecelakaan kerja
lain yang menyebabkan luka hancur yang serius.
F Penatalaksanaan.
Pada crush injury , perlu adanya penanganan yang sergera , karena lebih dari 6-8
jam setelah kejadian, jika tidak dapat ditangani dengan baik akan menyebabkan kondisi
pasien semakin memburuk dan terjadi banyak komplikasi lain yang dapat memperberat
kondisi pasien dan penanganan selanjutnya menjadi semakain sulit.
Penanganan pada crush injury dapat dimulai dari tempat kejadian yaitu dengan
prinsip primary surface ( ABC) terutama mempertahankan atau mengurangi perdarahan
dengan cara bebat tekan sementara dilarikan ke rumah sakit.
Penanganan di rumah sakit harus di awali dengan prinsip ATLS. Pemberian
oksigen (O2) guna mencegah terjadinya hipoksia jaringan serta terutama organ-organ
vital. Kemudian dilanjutkan dengan terapi cairan, terapi cairan awal harus diarahkan
untuk mengoreksi takikardia atau hipotension dengan memperluas volume cairan tubuh
dengan cepat dengan menggunakan cairan NaCl ( isotonic) atau ringer laktat diguyur
dan kemudian dilanjutkan perlahan

1-1.5 L/jam ( Barbera& Macintyre, 1996;

Gonzalez, 2005; Gunal et Al., 2004; Malinoski et Al., 2004; Stewart, 2005).
Untuk mencegah gagal ginjal dengan hidrasi yang sesuai, anjuran terapi akhir
akhir ini berupa pemberian cairan Intravena dan manitol untuk mempertahankan diuresis
minimal 300- 400 mL/jam, dalam hal ini penting dipasang folley cateter guna
menghitung balance cairan masuk dan cairan keluar (Malinoski et Al., 2004). Volume
agresif ini dapat mencegah kematian yang cepat dan dikenal sebagai penolong kematian,
dimana dapat memperbaiki perfusi jaringan yang iskemik sebagai akibat crush injury.

Natrium bikarbonat berguna pada pasien dengan Crush Syndrome. Ini akan
mengembalikan asidosis yang sudah ada sebelumnya yang sering timbul dan juga
sebagai salah satu langkah pertama dalam mengobati hiperkalemia. Hal ini juga akan
meningkatkan pH urin, sehingga menurunkan jumlah mioglobin yang mengendap di
ginjal. Masukkan natrium bikarbonat intravena sampai pH urine mencapai 6,5 untuk
mencegah mioglobin dan endapan sama urat di ginjal. Disarankan bahwa 50-100 mEq
bikarbonat, tergantung pada tingkat keparahan.
Selain

natrium bikarbonat,

perawatan

lain

memperbaiki hiperkalemia, tergantung pada cedera

mungkin

diperlukan

untuk

yang mengancam, biasanya

diberikan:
1.
2.
3.
4.
5.

Insulin dan glukosa.


Kalsium - intravena untuk disritmia.
Beta-2 agonists - albuterol, metaproterenol sulfat (Alupent), dll
Kalium-pengikat resin seperti natrium sulfonat polystyrene (Kayexalate).
Dialisis, terutama pada pasien gagal ginjal akut

Pemberian Manitol intravena memiliki tindakan yang menguntungkan beberapa


korban crush syndrome guna melindungi ginjal dari efek rhabdomyolisis, peningkatan
volume cairan ekstraselular, dan meningkatkan kontraktilitas jantung. Selain itu,
intravena manitol selama 40 menit berhasil mengobati sindrom kompartemen, dengan
menghilangkan gejala dan mengurangi bengkak ( edema).
Manitol dapat diberikan dalam dosis 1 gram / kg atau ditambahkan ke cairan
intravena pada pasien sebagai infuse lanjutan. Dosis maksimum adalah 200 gm/d, dosis
yang lebih tinggi dari ini dapat merusak fungsi ginjal. Mannitol boleh diberikan hanya
setelah aliran urin baik yang dikoreksi dengan cairan IV lain sebelumnya.
Luka harus dibersihkan, debridemen, dan ditutup dengan dressing sterile dengan
kain kasa. Lokasi cedera diangkat lebih tinggi dari posisi jantung akan membantu untuk
membatasi edema dan mempertahankan perfusi. Antibiotik intravena sering digunakan
guna mencegah infeksi, obat-obatan untuk mengontrol rasa sakit ( analgetik) dapat
diberikan yang sesuai. Torniket yang kontroversial perlu jika perdarahan aktif , namun
biasanya jarang digunakan.
Amputasi di lapangan atau tempat kejadian digunakan hanya sebagai upaya
terakhir. Ini mungkin sesuai strategi penyelamatan untuk pasien yang hidupnya berada
dalam bahaya langsung dan yang tidak dapat melepaskan diri dengan cara lain. Ini
merupakan bidang yang sulit dengan prosedur yang sangat meningkatkan risiko infeksi

dan perdarahan pada pasien. Amputasi dirumah sakit harus dilakukan oleh dokter ahli
yang berkompeten berdasarkan keahlian.
Pada amputasi bawah lutut dapat dilakukan jika ada kerusakan yang sulit untuk
dipertahan lagi dan kerusakan fungsi komponen yang terdapat pada daerah bawah lutut
( under of knee) yang melibatkan kerusakan kulit , soft tissue, otot, vaskularisasi,
persarafan, tendon, fascia serta tulang. Sehingga amputasi pada daerah bawah lutut
dapat dilakukan dengan cara mempertahankan otot dan komponen lainnya serta kondilus
tulang paha, namun pada kasus crush injury ( Regio cruris)

yang kerusakannya

mencapai tulang patella, dapat dilakukan tindakan amputasi daerah diatas lutut
(Amputation above the knee).Pastikan tindakan ini membantu pasien untuk berlatih
seketika setelah amputasi, supaya dapat memperkuat: otot adductor sisa, mencegah
prosthesis gerakkan keluar ketika ia berjalan, dan otot extensors, sebab kedua fungsi otot
ini akan melebarkan pinggul pasien dan prosthesis, yang mana untuk membentuk
lututnya dan juga harus belajar untuk menyeimbangkan pinggulnya sebagai ganti otot
yang diamputasi. Tujuan operasi amputasi bawah lutut adalah untuk menghasilkan
sebuah alat gerak yang padat, berbentuk silindris, bebas dari jaringan parut yang sensitif
dengan tulang yang cukup baik ditutupi oleh otot dan jaringan subkutan yang sesuai
dengan panjangnya. Ujung puntung sebaiknya dilapisi oleh jaringan kulit, subkutan, fasia
dan otot yang sehat dan tidak melekat.
Dalam hal ini sangat penting pengetahuan yang lebih mengenai anatomi dan
fisiologi pada lokasi amputasi. Oleh karena itu tindakan ini harus dilakukan oleh ahli
orthopedic.

Adapun indikasi yang sangat penting diketahui yaitu :


1

Live saving (menyelamatkan jiwa), contoh trauma disertai keadaan yang


mengancam jiwa (perdarahan dan infeksi). Sangat mengancam nyawa bila

dibiarkan, misalnya pada crush injury, sepsis yang berat, dan adanya tumor ganas.
2 Limb saving (memanfaatkan kembali kegagalan fungsi ekstremitas secara
maksimal), seperti pada kelainan kongenital dan keganasan. Anggota gerak tidak
berfungsi sama sekali, sensibilitas anggota gerak hilang sama sekali, adanya
nyeri yang hebat, malformasi hebat atau ostemielitis yang disertai dengan
kerusakan tulang hebat. Serta kematian jaringan baik akibat diabetes melitus
(DM), penyakit vaskuler, setelah suatu trauma, dapat di indikasikan amputasi.
G Komplikasi
1. Hypotensi
2. Crush Syndrome
3. Renal failure
4. Compartmen Syndrome
5. Cardiac Arrest
KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
1. Identitas
Nama, jenis kelamin, usia, alamat, agama, bahasa yang digunakan, status
perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah, nomor register, tanggal
masuk rumah sakit, dan diagnosis medis.
2. Keluhan Utama
Alasan yang menyebabkan lansia masuk ke rumah sakit. Biasanya karena adanya
gangguan pada sistem muskoloskletal.
3. Genogram
Mengkaji silsilah keluarga yang berkaitan dengan penyakit osteomyelitis.
4. Riwayat Kesehatan Sekarang
Sejak kapan timbul keluhan, apakan ada riwayat trauma. Hal-hal yang menimbulkan
gejala. Timbulnya gejala mendadak atau perlahan. Timbulnya untuk pertama kalinya
atau berulang. Perlu ditanyakan pula tentang ada-tidaknya gangguan pada sistem
lainnya. Kaji lansia untuk mengungkapkan alasan lansia memeriksakan diri atau
mengunjungi

fasilitas

kesehatan,

keluhan

utama

pasien

dan

gangguan

muskuloskeletal meliputi :
a) Nyeri : identifikasi lokasi nyeri. Nyeri biasanya berkaitan dengan pembuluh
darah, sendi, fasia atau periosteum. Tentukan kualitas nyeri apakah sakit yang
menusuk atau berdenyut. Nyeri berdenyut biasanya berkaitan dengan tulang dan
sakit berkaitan dengan otot, sedangkan nyeri yang menusuk berkaitan dengan
fraktur atau infeksi tulang. Identifikasi apakah nyeri timbul setelah diberi
aktivitas atau gerakan. Nyeri saat bergerak merupakan satu tanda masalah
persendian. Degenerasi panggul menimbulkan nyeri selama badan bertumpu
pada sendi tersebut. Degenerasi pada lutut menimbulkan nyeri selama dan setelah
berjalan. Nyeri pada osteoartritis makin meningkat pada suhu dingin. Tanyakan
kapan nyeri makin meningkat, apakah pagi atau malam hari. Inflamasi pada
bursa atau tendon makin meningkat pada malam hari. Tanyakan apakah nyeri
hilang saat istirahat. Apakah nyerinya dapat diatasi dengan obat tertentu.
b) Kekuatan sendi : tanyakan sendi mana yang mengalami kekakuan, lamanya
kekakuan tersebut, dan apakah selalu terjadi kekakuan. Beberapa kondisi seperti
spondilitis ankilosis terjadi remisi kekakuan beberapa kali sehari. Pada penyakit
degenarasi sendi sering terjadi kekakuan yang meningkat pada pagi hari setelah
bangun tidur (inaktivitas). Bagaimana dengan perubahan suhu dan aktivitas.

Suhu dingin dan kurang aktivitas biasanya meningkatkan kekakuan sendi. Suhu
panas biasanya menurunkan spasme otot.
c) Bengkak : tanyakan berapa lama terjadi pembengkakan, apakah juga disertai
dengan nyeri, karena bengkak dan nyeri sering menyertai cedera pada otot.
Penyakit degenerasi sendi sering kali tidak timbul bengkak pada awal serangan,
tetapi muncul setelah beberapa minggu terjadi nyeri. Dengan istirahat dan
meninggikan bagian tubuh, ada yang dipasang gips. Identifikasi apakah ada
panas atau kemerahan karena tanda tersebut menunjukkan adanya inflamasi,
infeksi atau cedera.
d)

Deformitas dan imobilitas : tanyakan kapan terjadinya, apakah tiba-tiba atau


bertahap, apakah menimbulkan keterbatasan gerak. Apakah semakin memburuk
dengan aktivits, apakah dengan posisi tetentu makin memburuk. Apakah lansia
menggunakan alat bantu (kruk, tongkat, dll)

e) Perubahan sensori : tanyakan apakah ada penurunan rasa pada bagian tubuh
tertentu. Apakah menurunnya rasa atau sensasi tersebut berkaitan dengan nyeri.
Penekanan pada syaraf dan pembuluh darah akibat bengkak, tumor atau fraktur
dapat menyebabkan menurunnya sensasi.
5. Riwayat Kesehatan Keluarga
Riwayat penyakit keluarga perlu diketahui untuk menentukan hubungan genetik yang
perlu diidentifikasi misalnya (penyakit diabetes melitus yang merupakan predisposisi
penyakit sendi degeneratif, TBC, artritis, riketsia, osteomielitis, dll)
6. Riwayat Lingkungan Hidup
Pengkajian terhadap lingkungan hidup lansia. Seperti lingkungan keluarga, tetangga,
dan lain-lain.
7. Riwayat Rekreasi
Pengkajian terhadap seberapa seringnya lansia melakukan rekreasi.
8. Sumber/Sistem Pendukung
Pengkajian terhadap siapa saja sistem pendukung pada lansia, seperti pasangan,
anak, teman, saudara, atau tetangga.
9. Deskripsi Hari Khusus
Pengkajian terhadap hari khusus yg di miliki oleh lansia.
10. Riwayat Kesehatan dahulu

Data ini meliputi kondisi kesehatan individu. Data tentang adanya efek langsung atau
tidak langsung terhadap muskuloskeletal, misalnya riwayat trauma atau kerusakan
tulang rawan, riwayat artritis dan osteomielitis.
11. Pemeriksaan Fisik (Tinjauan Sistem)
Pemeriksaan Fisik secara umum (keadaan umum, integument, kepala, mata, telinga,
hidung dan sinus, mulut dan tenggorokan, leher, payudara, pernafasan,
kardiovaskuler, gastrointestinal, perkemihan, muskuloskletal, sistem saraf pusat,
sistem endokrin, reproduksi) tidak mengalami gangguan sehingga tidak menjadi
pengkajian secara khusus. Namun biasanya pada sistem muskuloskeletal perlu dikaji
lebih mendalam.
Adapun hal-hal yang perlu dikaji pada skelet tubuh, yaitu :
1) Adanya deformitas dan ketidaksejajaran yang dapat disebabkan oleh penyakit
sendi
2) Pertumbuhan tulang abnormal. Hal ini dapat disebabkan oleh adanya tumor
tulang.
3) Pemendekan ekstrimitas, amputasi dan bagian tubuh yang tidak sejajar secara
anatomis
4) Angulasi abnormal pada tulang panjang, gerakan pada titik bukan sendi, teraba
krepitus pada titik gerakan abnormal, menunjukkan adanya patah tulang.

Pengkajian Tulang Belakang


Deformitas tulang belakang yang sering terjadi perlu diperhatikan yaitu :
1) Skoliosis (deviasi kurvantura lateral tulang belakang)
o Bahu tidak sama tinggi
o Garis pinggang yang tidak simetris
o Skapula yang menonjol
Skoliosis tidak diketahui penyebabnya (idiopatik), kelainan kongenital,
atau akibat kerusakan otot para-spinal, seperti poliomielitis.
2) Kifosis (kenaikan kurvantura tulang belakang bagian dada). Sering
terjadi pada lansia dengan osteoporosis atau penyakti neuromuskular.

3) Lordosis (membebek, kurvantura tulang bagian pinggang yang


berlebihan. Lordosis bisa ditemukan pada wanita hamil
Pada saat inspeksi tulang belakang sebaiknya baju pasien dilepas untuk
melihat seluruh punggung, bokong dan tungkai. Pemeriksan kurvantura tulang
belakang dan kesimetrisan batang tubuh dilakukan dari pandangan anterior,
posterior dan lateral. Dengan berdiri di belakang pasien, perhatikan setiap
perbedaan tinggi bahu dan krista iliaka. Lipatan bokong normalnya simetris.
Kesimetrisan bahu, pinggul dan kelurusan tulang belakang diperiksa dalam
posisi pasien berdiri tegak dan membungkuk ke depan.

Pengkajian Sistem Persendian


Pengkajian sistem perssendian dengan pemeriksaan luas gerak sendi baik aktif
maupun pasif, deformitas, stabilitas dan adanya benjolan. Pemeriksaan sendi
menggunakan alat goniometer, yaitu busur derajat yang dirancang khusus
untuk evakuasi gerak sendi.
1) Jika sendi diekstensikan maksimal namun masih ada sisa fleksi, luas
gerakan ini diangap terbatas. Keterbatasan ini dapat disebabkan oleh
deformitas skeletal, patologik sendi, kontraktur otot dan tendon sekitar.
2) Jika gerakan sendi mengalami gangguan atau nyeri, harus diperiksa
adanya kelebihan cairan dalam kapsulnya (efusi), pembengkakan dan
inflamasi. Tempat yang paling sering terjadi efusi adalah pada lutut.
Palpasi sendi sambil sendi digerakkan secara pasif akan memberi informasi
mengenai integritas sendi. Suara gemeletukdapat menunjukkan adanya
ligamen yang tergelncir di antara tonjolan tulang. Adanya krepitus karena
permukaan sendi yang tidak rata ditemukan pada pasien artritis. Jaringan
sekitar sendi terdapat benjolan yang khas ditemukan pada pasien :

1) Artritits reumatoid, benjolan lunak di dalam dan sepanjang tendon.


2) Gout, benjolan keras di dalam dan di sebelah sendi
3) Osteoatritis, benjolan keras dan tidak nyeri merupakan pertumbuhan
tulang baru akibat destruksi permukaan kartilago pada tulang dalam
kapsul sendi, biasanya ditemukan pada lansia.
Kadang-kadang ukuran sendi menonjol akibat artrofi otot di proksimal dan
distal sendi sering terlihat pada artritis reumatoid sendi lutut.

Pengkajian Sistem Otot


Pengkajian sistem otot meliputi kemampuan mengubah posisi, kekuatan dan
koordinasi otot, serta ukuran masing-masing otot. Kelemahan sekelompok otot
menunjukkan berbagai kondisi seperti polineuropati, gangguan elektrolit,
miastenia grafis, poliomielitis dan distrofi otot.
Palpasi otot dilakukan ketika ekstrimitas rileks dan digerakkan secara pasif,
perawat akan merasakan tonus otot. Kekuatan otot dapat diukur dengan
meminta pasien menggerakkan ekstrimitas dengan atau tanpa tahanan.
Misalnya, otot bisep yang diuji dengan meminta klien meluruskan lengan
sepenuhnya, kemudian fleksikan lengan melawan tahanan yang diberikan oleh
perawat.
Tonus otot (kontraksi ritmik otot) dapat dibangkitkan pada pergelangan kaki
dengan dorso-fleksi kaki mendadak dan kuat, atau tangan dengan ekstensi
pergelangan tangan.
Lingkar ekstrimitas harus diukur untuk memantau pertambaan ukuran akibat
edema atau perdarahan, penurunan ukuran akibat atrofi dan dibandingkan
ekstrimitas yang sehat. Pengukuran otot dilakukan di lingkaran terbesar

ekstrimitas, pada lokasi yang sama, pada posisi yang sama dan otot dalam
keadaan istirahat.
0 (zero)
1 (trace)
2 (poor)
3 (fair)
4 (good)
5 (normal)

Gradasi Ukuran Kekuatan Otot


Tidak ada kontraksi saat palpasi, paralisis
Terasa adanya kontraksi otot, tetapi tidak ada gerakan
Dengan bantuan atau menyangga sendi dapat melakukan
gerakan sendi (range of motion, ROM) secara penuh
Dapat melakukan gerakan sendi (ROM) secara penuh
dengan melawan gravitasi, tetapi tidak dapat melawan
tahanan
Dapat melakukan ROM secara penuh dan dapat melawan
tahanan tingkat sedang
Dapat melakukan gerakan sendi (ROM) secara penuh dan
dapat melawan gravitasi dan tahanan

12. Pengkajian Psikososial dan Spiritual


a. Psikososial
Kemampuan sosialisasi lansia pada saat sekarang, sikap lansia dengan orang
lain dan harapan lansia dalam melakukan sosialisasi.
b. Identidikasi Masalah Emosional
Pertanyaan tahap 1 dan 2.
Masalah emosional (+) atau Negatif (-)
c. Spiritual
Kaji agama, kegiatan keagamaan, konsep/keyakinan tentang kematian.
13. Pengkajian Fungsional Lansia
a. Indeks kata
b. Modifikasi dari Barthel Indeks
14. Pengkajian Status Mental Gerontik
a. Identifikasi tingkat intelektual dengan Short Portable Mental Status Questioner
(SPSMQ)
b. Identifikasi aspek kognitif dan fungsi mental dengan menggunakan MMSE
(Mini Mental Status Exam)
15. Skala Psikologis
Menentukan skala depresi pada lansia.
B. Diagnosa Keperawatan

1. Nyeri berhubungan dengan inflamasi dan pembengkakan.


2.

Gangguan mobilitas fisik berhubungan keterbatasan rentang gerak

3.

Risiko Infeksi berhubungan dengan prosedur pemasangan alat invasif.

C. Intervensi Keperawatan
No
1

Diagnosa
Keperawatan
Nyeri b/d
inflamasi dan
pembengkakan

Tujuan & Kriteria


Hasil
Tujuan :
Setelah dilakukan
perawatan klien
melaporkan nyeri
berkurang atau hilang
Kriteria Hasil :
- Skala nyeri 0-4
- Grimace (-)
- Gerakan melokalisir
nyeri (-)

Intervensi
1. Pantau tingkat
dan intensitas
nyeri

2. Lakukan
imobilisasi
dengan bidai

3. Tinggikan
ekstrimitas yang
nyeri

4. Ajarkan teknik
relaksasi (nafas
dalam)

5. Kolaborasi
pemberian
analgesik sesuai
program terapi
2

Gangguan
mobilitas fisik b/d
keterbatasan
rentang gerak

Tujuan :
Setelah dilakukan
perawatan, klien
dapat melakukan
mobilisasi dengan
atau tanpa bantuan
perawat

Rasional
1. Tingkat dan intensitas
nyeri merupakan data
dasar yang dibutuhkan
perawat sebagai pedoman
pengambilan intervensi,
sehingga setiap perubahan
harus terus dipantau.
2. Imobilisasi dapat
membantu meringankan
tugas tulang dalam
mempertahankan postur
tubuh sehingga tidak
terjadi kekakuan daerah
sekitar yang
menyebabkan nyeri.
3. Peninggian ekstrimitas
dapat membantu
meningkatkan aliran balik
vena yang menyebaban
pembengkakan berkurang
sehingga penekanan
daerah cedera menurun.
4. Teknik relaksasi (nafas
dalam ) dapat membantu
menurunkan tingkat
ketegangan sehingga
diharapkan tekanan otototot sekitar daerah cedera
menurun
5. Analgesik berfungsi untuk
melakukan hambatan
pada sensor nyeri
sehingga sensasi nyeri
pada klien berkurang.

1. Lakukan
1. Imobilisasi dapat
imobilisasi
mengurangi pergerakan
dengan bidai
daerah cedera sehingga
pada daerah
tidak terjadi kerusakan
yang mengalami
yang berlanjut, hal ini
kerusakan.
juga dapat membantu
menopang berat tubuh.

Kriteria hasil :
- Klien dapat
melakukan ROM
aktif
- Klien dapat
berpindah dengan
bantuan alat

2. Ajarkan
penggunaan alat
bantu berpindah

3. Jelaskan pada
pasien tetntang
pentingnya
pembatasan
aktivitas

4. Latihan ROM
aktif dan
perpindahan
maksimal 2 kali
dalam sehari
5. Anjurkan
partisipasi
partisipasi aktif
sesuai
kemampuan
dalam kegiatan
sehari-hari
3

Risiko Infeksi
berhubungan
dengan prosedur
pemasangan alat
invasif.

Setelah dilakukan
perawatan, tidak
terjadi perluasan
infeksi pada klien
Kriteria hasil :
- Tidak ada tandatanda infeksi
- WBC Normal

1. Pertahankan
tirah baring
dalam posisi
yang di
programkan
2. Tinggikan
ekstremitas
yang sakit,
instruksikan
klien / bantu
dalam latihan
rentang gerak
pada
ekstremitas

2. Klien mungkin baru


mengenal dan tidak dapat
menggunakan alat bantu
mobilitas seperti kruk atau
walker sehingga peran
perawat adalah
memberikan pendidikan
tentang cara
penggunaannya.
3. Klien mungkin tidak
mengerti mengenai tujuan
pembatasan gerak,
sehingga perawat harus
memberikan penyuluhan
tentang pentingnya
pembatasan aktivitas pada
pasien cedera.
Pemahaman klien
memungkinkan
peningkatan daya
kooperatif.
4. Latihan ROM dapat
mencegah penurunan
masa otot, kontraktur dan
peningkatan vaskularisasi.
Sehingga tidak timbul
komplikasi yang tidak
diharapkan
5. Partisipasi aktif dapat
membantu pemulihan
kesehatan dan melatih
kekuatan otot, sehingga
diharapkan klien dapat
mempertahankan
kekuatannya.
1. Agar gangguan mobilitas
fisik dapat berkurang

2. Dapat meringankan
masalah gangguan
mobilitas fisik yang
dialami klien

3.

4.

5.

6.
7.

yang sakit dan


tak sakit
Beri
penyanggah
pada
ekstremitas
yang sakit pada
saat bergerak
Jelaskan
pandangan dan
keterbatasan
dalam aktivitas
Berikan
dorongan pada
klien untuk
melakukan
AKS dalam
lingkup
keterbatasan
dan beri
bantuan sesuai
kebutuhan
Ubah posisi
secara periodik
Kolaborasi
dengan
Fisioterapi /
aoakulasi terapi

3. Dapat meringankan
masalah gangguan
mobilitas yang dialami
klien
4. Agar klien tidak banyak
melakukan gerakan yang
dapat membahayakan
5. Mengurangi terjadinya
penyimpangan
penyimpangan yang dapat
terjadi

6. Mengurangi gangguan
mobilitas fisik
7. Kolaborasi interprofesional
membantu proses
perawatan klien lebih
efektif

DAFTAR PUSTAKA

Clifton Rd. (2009). Crush Injury and Crush Syndrome. USA: Centers for Disease
Control
and
Prevention;
http://www.bt.cdc.gov/masscasualties/blastinjuryfacts.asp
Darren J. Malinoski, MD, Matthew S. Slater, MDc, Richard J. Mullins, MD Crush
injury and rhabdomyolysisDepartment of Surgery, Oregon Health & Science
University D.J. Malinoski et al / Crit Care Clin 20 (2004) 171192.
http://www.thedenverclinic.com/services/mangled/extremity-trauma-home/35news/50-crush-injury-to-lower-legs.html
Doenges, Marilyn E, dkk,. 2001. Penerapan Proses Keperawatan dan Diagnosa
Keperawatan. Jakarta : EGC
Edward J. Newton, MD. Acute Complications of Extremity Trauma Department of
Emergency Medicine, Keck School of Medicine, LACUSC Medical Center,

Building GNH 1011, 1200 North State Street, Los Angeles, CA 90033, USA.
http://www.thedenverclinic.com/services/mangled/extremity-trauma-home/35news/50-crush-injury-to-lower-legs.html
James

R.
Dickson
M.
D.,
FACEP,
http://www.bt.cdc.gov/masscasualties/blastinjuryfacts.asp

Crush

Injury

Mychael.B.
Straut.
(2003).
Lower
Leg
Amputation
http://search.mywebsearch.com/mywebsearch/redirect.jhtml?searchfor Leg+
Amputation+Surgery.
Vitriana. (2002). Bagian Ilmu Kedokteran Fisik Dan Rehabilitasi Fk-Unpad /
Rsup.Dr.Hasan Sadikin Fk-Ui / R supn Dr.Ciptomangunkusumo.

Das könnte Ihnen auch gefallen