Sie sind auf Seite 1von 4

-1

Logika & Prima Principia

Logika Menentang Agama ?


Man tamanthaqa faqad fazandaqa , demikian ungkapan terkenal dari tokoh
besar di dunia Islam, Ibn Taimiyyah. Arti harfiahnya kira-kira adalah, Barang
siapa menggunakan logika maka ia telah kafir. Apakah sikap seperti ini dapat
dibenarkan? Ataukah memang mutlak salah? Apa implikasi jika sikap seperti ini
dibenarkan? Dan apa pula konsekuensinya jika ia mutlak salah? Ataukah sikap
seperti ini relatif, bisa benar sekaligus bisa salah secara bersamaan atau
secara fuzzy ? Dan apa-kah konsekuensinya jika kebenaran sikap seperti ini
fuzzy atau relatif?
Logika adalah kaidah-kaidah berfikir. Subyeknya akal-akal rasional. Obyeknya
adalah proposisi bahasa. Proposisi bahasa mencerminkan realitas, apakah itu
realitas di alam nyata ataupun realitas di alam fikiran. Kaidah-kaidah berfikir
dalam logika bersifat niscaya atau mesti. Penolakan terhadap kaidah berfikir ini
mustahil (tidak mungkin). Bahkan mustahil pula dalam semua khayalan yang
mi\ungkin (all possible intelligebles). Contohnya, sesuatu apapun pasti sama
dengan dirinya sendiri, dan tidak sama dengan yang bukan dirinya. Prinsip
berfikir ini telah tertanam secara niscaya sejak manusia lahir. Tertanam secara
spontan. Dan selalu hadir kapan saja fikiran digunakan. Dan harus selalu
diterima kapan saja realitas apapun dipahami. Bahkan, lebih jauh, prinsip ini
sesungguhnya adalah satu dari watak niscaya seluruh yang maujud (the very
property of being). Tidak mengakui prinsip ini, yang biasa disebut dengan
prinsip non-kontradiksi, akan menghancurkan seluruh kebenaran dalam
alam bahasa maupun dalam semua alam lain. Tidak menerimanya berarti
meruntuhkan seluruh bagunan agama, filsafat, sains dan teknologi, dan seluruh
pengetahuan manusia.

-2

Logika & Prima Principia

Sebagai contoh perkataan Ibn Taimiyyah di atas, jika misal pernyataan itu
benar, maka menggunakan kaidah logika adalah salah. Karena menggunakan
kaidah logika salah, maka prinsip non-kontradiksi salah. Kalau prinsip nonkontradiksi salah . Artinya seluruh kebenaran tiada bermakna, tidak bisa
dibenarkan ataupun disalahkan, atau bisa dibenarkan dan disalahkan
sekaligus. Kalalu seluruh keberadaan tidak bermakna, maka pernyataan itu
sendiri Man tamanthaqa faqad fazandaqa juga nafi. Tak bermakna. Tak
perlu dipikirkan.
Menerima kebenaran pernyataan beliau tersebut sama saja dengan
mengkafirkan beliau. Karena jika peenyataan tersebut benar, maka untuk
membenarkannya telah digunakan kaidah logika. Dan karena beliau telah
menggunakan kaidah logika, menurut pernyataan-nya sendiri beliau kafir. Jadi
sebaiknya pernyataan pengkafiran orang yang menggunakan logika ini benarbenar ditolak. Pernyataan ini salah. Salah. Dan mustahil benar. Karena kalau
benar, semua orang yang berfikir benar kafir. Dan ini mustahil.
Wa qul jaa al-haqqa wazahaaqal-baathil, innal-baathila kaana zahuuqa.
Dalam pandangan saya, Islam jelas menentang adanya relativisme Kebenaran.
Dalam Islam yang benar pasti benar dan tidak mungkin salah. Sedang yang
salah pasti salah dan tak mungkin benar. Dalam dunia dikenali adanya
golongan relativis kebenaran yang disebut sufastaiyyah. Golongan relativis
kebenaran ini merupakan pewaris mazhab pemikiran sophisme, yang bermula
pada abad ke-5 dan ke-4 SM di Yunani melalui pemikiran Protagoras, Hippias,
Prodicus, Giorgias dan lain-lain. Beberapa pemikiran yang mendasari
gelombang filsafat pasca-modernis juga merupakan cerminan dari pandangan
golongan ini. Dalam majalah Ummat No.3/Thn.I/7 Agustus 1995, hal 76,
DR.Wan Mohd Nor Wan Daud menjelaskan bahwa Akidah Islam jelas
menentang keras sikap golongan sufastaiyyah ini. Bagi golongan
sufastaiyyah, benar itu bisa salah dan salah itu bisa benar. Bagi golongan

-3

Logika & Prima Principia

shopisme Yunsni, semua yang jelas-jelas ada ini dianggap tidak memiliki
keberadaan. Jadi ada dan tiada sama saja. Bagi golongan positivis pascaRenaisance, semua yang tidak bisa diukur tidak bisa ditentukan benar
salahnya. Bagi pengikut Marx dan Hegel, kontradiksibukan saja mungkin
terjadi, tapi menjadi arah gerakan alam yang sering disebut sebagai dialektika
Hegel.

Bagi

golongan

relativis

pasca-modern,

yang

mendasarkan

pemiokirannya pada language games ala Wittgenstein ataupun Russel seyiap


propisisi adalah bahasa, dan setiap bahasa nilai kebenarannya relatif, karena
itu setiap keberanan itu relatif.
Adapun sufastaiyyah, misalnya sama. Menghancurkan kaidah dasar logoka.
Yaitu prinsip non-kontradiksi. Hanya Protagoras meniadakannya dalam
tingkatan ada-tidaknya segala sesuatu, para positivis meniadakannya pada
tingkatan hal yang tidak bisa diindra, Marx dan Hegel meniadaknnya sebagai
watak umum segala yang maujud, dan Wittgenstein maupun Russel
menghilangkan otoritas fikiran untuk menerapkan kaidahnaya kepada alam di
luar fikiran. Hasilnya sama. Runtuhnya seluruh bangunan pengetahuan
manusia. Runtuhnya suatu bangunan keyakinan manusia. Bahkan keyakinan
tentang adanya dirinya sendiri ! Nauudzubihi min dzaalik.
Penerapan kaidah-kaidah berfikir yang benar telah menghantarkan para filosof
besar pada keyakinan yang pasti akan keberadaan Tuhan. Socraets dengan
The Most Beauty -nya. Plato dengan archetype -nya. Aristoteles dengan
prime-mover-nya.. Ibn Arabi dengan al-jamu bainal-addaad (coincindentia
in oppositorium) nya. Suhrawardi dengan Nur-i-qahir nya. Mulla Shadra dan
Mulla Hadi Sabzavary dengan Al-Wujud Al-Muthlaq-nya. Jelas-jelas
penerapan logika bagi mereka tidak menentang agama. Malah sebaliknya, mereal-kan agama sampai ke seluruh pori-pori rohaninya yang mingkin. Atau
dengan kata lain, mencapai hakikat. Dalam dialog terakhir Socrates,
digambarkan betapa figur filsuf ini mati tersenyum setelah menyebut nama

-4

Logika & Prima Principia

Tuhan sebelum akhir hayatnya. Tentang Aristoteles, sebuah riwayat


menyatakan bahwa ia adalah seorang nabi yang didustakan ummatnya.
Tentang Ibn Arabi, tidak ada yang menyangsingkan sebagai salah seorang
sufi terbesar sepanjang sejarah dengan tak terhitung pengalaman ruhani yang
tertulis di kurang lebih 700 kitabnya. Sedang Mulla Shadra , tujuh kali haji ke
Mekkah dengan berjalan dari Qum (Iran) hanya untuk memenuhi panggilan
kekasih-Nya. Alih-alih logika menentang agama, malah logika adalah
kendaraan super-executive untuk mencapai hakikat. Dan sekali lagi alih-alih
logika menentang agama , tanpa logika agama tak-kan dapat terpahami. Jadi
apakah logika menentang agama?

Das könnte Ihnen auch gefallen