Sie sind auf Seite 1von 7

I.

Pendahuluan
Hipertensi merupakan salah satu penyakit yang banyak diderita oleh masyarakat
Indonesia bahkan masyarakat dunia. Secara tradisi, normal tekanan darah adalah
tekanan sistolik 120mmHg dan tekanan diastolik 80mmHg, dan seseorang yang
memiliki tekanan sistolik melebihi 140mmHg dan tekanan diastolik melebihi
90mmHg maka dipertimbangkan memiliki hipertensi yang pengukurannya lebih dari
satu kali kesempatan( Fishman, Hoffman, Klausner, Thaler, 2004).
Berdasarkan penyebabnya, hipertensi di golongkan menjadi dua yaitu primer dan
sekunder. Hipertensi primer yaitu meningkatnya tekanan darah yang di pengaruhi
oleh keturunan, umur, jenis kelamin, pengaruh lingkungan seperti merokok, minum
minuman yang mengandung alkohol serta hiperaktif dari sistem renin-angiostensinaldosteron. Hipertensi sekunder yaitu peningkatan tekanan darah yang disebabkan
oleh penyakit-penyakit khusus misalnya penyakit diginjal tumor
serebral,penggunaan obat-obatan seperti golongan kortikosteroid, obat hormon,
dan beberapa obat anti radang secara terus menerus ( Lewis, Heitkemper,Dirksen,
OBrien, Bucher, 2007).
Ada dua terapi yang digunakan untuk mengatasi hipertensi yaitu terapi nonfarmakologi yang dilakukan dengan cara menerapkan pola hidup sehat seperti
berhenti merokok, berolahraga secara teratur dan atur pola makan yang sehat dan
terapi farmakologi yaitu penanganaan yang dilakukan dengan menggunakan obatobatan. Obat-obatan hipertensi berasal dari beberapa golongan yaitu -blockers,
ACE inhibitor, angiostensin-receptor blockers, dan calcium channel blockers atau
diuretik.
Dari beberapa golongan obat di atas, yang akan di bahas dalam makalah ini adalah
ACE (Angiostensin- Converting Enzym) inhibitor karena ACE inhibitor
direkomendasikan sebagai obat pilihan pertama didasarkan pada sejumlah studi
yang menunjukkan keefektifannya dalam menurunkan hipertensi. Nama generik
obat yang termasuk dalam golongan ACE inhibitor adalah captropril, enalapril, dan
lisinopril dan ramipril. Yang akan di bahas lebih rinci pada makalah ini adalah
mengenai obat captropril.
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah membahas mengenai proses
Pharmacodynamic dan pharmacokinetic obat captopril serta menjelaskan beberapa
aspek penting dari obat seperti indikasi dan kontraindikasi,efek samping, dosis yang
harus diberikan, aturan pakai, resiko khusus, implikasi klinis, serta pendidikan
kesehatankepada pasien yang mengkonsumsi obat ini.
II. Pembahasan
Setiap obat yang dikonsumsi oleh seseorang pasti akan mengalami dua proses yaitu
pharmacodynamic dan pharmacokinetic. Pharmacodynamic adalah mekanisme
kerja obat yang memberikan efek terapeutik atau efek yang lain pada tubuh
(Galbraith, Bullock, Manias, Hunt, Richards, 2004). Pharmacokinetic adalah proses
yang berhubungan dengan absorbsi, distribusi,metabolism, dan eksresi obat untuk
menentukan hubungan antara dosis obat dan konsentrasi obat( Daniels, 2004).

Proses pharmacodynamic dari obat captopril adalah menghambat ACE


( angiostensin converting enzyme) yang dibutuhkan untuk mengubah angiostensin I
yang belum aktif menjadi angiostensin II yang bersifat aktif. Karena pembentukan
angiostensin II terhambat maka terjadi vasodilatasi, dan penurunan sekresi
aldosteron sehingga ginjal mensekresi natrium dan cairan serta mensekresi kalium.
Keadaan ini akan menyebabkan penurunan tekanan darah dan mengurangi beban
jantung, baik afterload maupun pre-load. Captopril juga dapat mengurangi
resistensi arteri perifer dan meningkatkan cardiac output tetapi tidak memberikan
efek pada perubahan nadi. Karena resistensi arteri perifer menurun dan cardiac
output meningkat maka terjadinya penurunan tekanan darah. Obat ini juga
meningkatkan aliran darah di ginjal tetapi tidak memberikan efek pada filtrasi di
glomerulus dan terjadi peningkatan serum potassium level yang hasilnya adalah
terjadi penurunan sekresi aldosteron. ACE inhibitor juga terlibat dalam degradasi
bradikinin yaitu menyebabkan peningkatan bradikinin yang merupakan suatu
vasodilator kuat dan menstimulus pelepasan prostaglandin dan nitric oxide.
Peningkatan bradikinin dapat meningkatkan efek penurunan tekanan darah dari
ACE inhibitor, tetapi juga memberikan efek samping berupa batuk kering.
Penurunan tekanan darah biasanya 60-90 menit setelah obat ini di berikan secara
oral. Penurunan tekanan darah akan berlangsung secara bertahap sehingga untuk
mencapai efek terapeutik yang maksimal, maka dibutuhkan beberapa minggu
pengobatan (Mims Annual, 2008)
Proses pharmacokinetic obat captropril adalah obat ini diberikan secara oral yaitu
melalui mulut, masuk ke lambung dan di dalam lambung obat tersebut dihancurkan
kedalam bentuk partikel-partikel kecil untuk di absorbsi di usus halus. Rata-rata
minimal obat yang di absorbsi adalah kira-kira 75% dan berkurang menjadi 30-40%
dengan adanya makanan serta 25-30% captopril akan berikatan dengan protein.
Captopril sebagai dosis tunggal mempunyai durasi selama 6-12 jam dengan onset 1
jam dan waktu paruh captopril dipengaruhi oleh fungi ginjal dan jantung yaitu
kurang dari 3 jam, bioavailability obat ini kira-kira 65% serta peak blood
concentrations adalah 45 sampai 60 menit setelah di berikan secara oral. Proses
distribusi captopril adalah melewati plasenta dan dalam jumlah yang kecil masuk
kedalam air susu, distribusi obat ini tidak melewati blood brain barrier. Metabolisme
captopril terjadi di hati sekitar 50% dan diekskresikan melalui urin (95%) dalam
waktu 24 jam. Proses yang terakhir adalah proses eksresi yang terjadi di ginjal
dimana lebih dari 95% dosis yang di absorbsi dikeluarkan dalam urin
(Aschenbrenner and Venable, 2008).
Adapun beberapa aspek- aspek penting yang harus di perhatikan dari obat ini yaitu
indikasi dan kontraindikasi, efek samping, dosis yang harus diberikan, aturan pakai,
resiko khusus, implikasi klinis, serta pendidikan kesehatan kepada pasien yang
mengkonsumsi obat ini.
Indikasi pemberian obat ini adalah untuk hipertensi berat hingga sedang, kombinasi
dengan tiazida memberikan efek aditif, sedangkan kombinasi dengan beta bloker
memberikan efek yang kurang aditif. Untuk gagal jantung yang tidak cukup

responsif atau tidak dapat dikontrol dengan diuretik dan digitalis maka pemberian
kaptopril diberikan bersama diuretik dan digitalis. Kontraindikasi kaptopril adalah
tidak diberikan pada pasien yang menderita hipersensitif terhadap obat ini atau
penghambat ACE (Angiostensin converting enzyme ) lainnya.

Dosis yang harus diberikan adalah 1 jam sebelum makan, dosisnya sangat
tergantung dari kebutuhan penderita atau individu. Untuk orang dewasa,dosis
awalnya adalah 12,5 mg tiga kali sehari. Bila setelah 2 minggu, penurunan tekanan
darah masih belum memuaskan maka dosis dapat ditingkatkan menjadi 25 mg tiga
kali sehari. Maksimum dosis kaptopril untuk hipertensi tidak boleh lebih dari 450
mg. Kaptopril diberikan 3 kali sehari dan pada saat perut kosong yaitu setengah jam
sebelum makan atau 2 jam setelah makan. Hal ini dikarenakan absorbsi captopril
akan berkurang 30%-40% apabila di berikan bersamaan dengan makanan (Mims
Annual, 2008).
Efek Samping yang mungkin timbul adalah captopril menimbulkan proteinuria pada
pasien yang memiliki kerusakan diginjal, neutropenia pada pasien yang mengalami
ganguan fungsi ginjal, hipotensi sementara apabila dosis yang diberikan
berlebihan , berkurangnya persepsi pengecapan, sakit kepala, batuk kering, serta
hiperkalemia. Perawat harus memberikan perhatian khusus pada pasien yang
sedang hamil karena obat ini belum terbukti aman untuk dikonsumsi oleh pasien
yang sedang hamil, karena dapat mengakibatkan bayi lahir prematur serta
hipotensi. Untuk pasien yang sedang menyusui, obat ini tidak diperbolehkan karena
distribusi captopril masuk ke dalam air susu (Aschenbrenner and Venable, 2008).
Implikasi perawat pada saat obat ini diberikan adalah melakukan pengkajian dan
memonitor tekan darah serta nadi pasien, memonitor berat badan dan mengkaji
kelebihan cairan serta memonitor tingkat kreatinin dan elektrolit dalam tubuh.
Pada saat obat ini di berikan, perawat harus memberikan pendidikan kesehatan
kepada pasien dengan tujuan untuk mengidentifikasi dan mengurangi efek samping
serta untuk menanggulanginya secara terapeutik. Beberapa hal yang harus di
beritahukan kepada pasien yaitu tidak di perbolehkan mengkonsumsi obat ini
bersamaan dengan mengkonsumsi alkohol, tidak di perbolehkan makan makanan
atau obat-obatan yang mengandung tinggi potassium, tidak mengkonsumsi
supplement yang mengandung kalsium, aluminium, magnesium dan zat besi
setelah dua jam pemberian obat ini (Drugbank, 2009)

ACE inhibitor
Obat ini menyebabkan batuk kering yang persisten pada 5%-35% pasien yang menggunakannya.
ACE inhibitor [seperti kaptopril, enalapril maleat, danlisinopril] bekerja menurunkan tekanan
darah dengan memblok pembentukan angiotensin II dari angiotensin I. Angiotensin II

bertanggung jawab dalam reabsorpsi cairan di ginjal. Intinya, angiotensin II mengurangi cairan
tubuh yang dibuang melalui ginjal sebagai urin. Jika angiotensin II tidak terbentuk, maka cairan
tubuh banyak yang keluar sebagai urin. Seperti kita tau, cairan tubuh yang keluar dari urin adalah
hasil saringan darah di ginjal. Banyak elektrolit terlarut di dalamnya termasuk ion-ion natrium
yang merupakan salah satu substansi yang bertanggung jawab terhadap terjadinya hipertensi.
Selain itu, jika volume darah berkurang, maka beban jantung untuk memompa darah ke seluruh
tubuh berkurang, tekanan darah kembali normal. Di lain sisi angiotensin II dapat menghancurkan
bradikinin (salah satu substansi yang diproduksi tubuh secara alami). Bradikinin inilah yang
menstimulasi batuk kering. Jadi, kalau angiotensin II dihambat pembentukannya, maka kadar
bradikinin dalam tubuh meningkat dan terakumulasi di saluran pernafasan sehingga
menyebabkan batuk kering.
Efek samping yang disebabkan oleh ACE inhibitor tidak tergantung dosis.
Antagonis beta bloker
Ada dua tipe obat jenis ini, yaitu antagonis reseptor beta-1 selektif [contohnya metoprolol,
atenolol] dan antagonis non selektif reseptor beta-1/ beta-2 [contohnya carvedilol, propanolol,
sotalol, timolol]. Reseptor beta-1 adanya di jantung, sedangkan reseptor beta-2 di saluran
pernafasan. Sasaran yang diharapkan untuk obat-obatan antihipertensi kelas ini sebenarnya
adalah reseptor beta-1 yang ada di jantung. Obat-obatan yang antagonis terhadap reseptor beta-2
dapat menyebabkan kontraksi bronkus. Namun, ternyata obat-obat antagonis beta-1 selektif yang
beredar di pasaran kebanyakan memiliki afinitas tinggi juga terhadap reseptor beta-2. Artinya,
baik obat-obatan antagonis beta-1 selektif maupun tidak selektif keduanya menyebabkan
kontraksi bronkus. Kontraksi bronkus salah satunya ditandai dengan menyempitnya saluran
pernafasan kita, sehingga berpotensi menimbulkan refleks batuk.
Biasanya dokter yang meresepkan obat ini sudah memperkirakan dosis terendah yang efektif
diberikan, sehingga efek samping kontraksi bronkus diminimalkan.

Calcium Channel Blocker (CCB)


CCB [contohnya amlodipin] memblok pemasukan kalsium ke otot jantung dan pembuluh.
Kalsium dibutuhkan untuk kontraksi otot. Jika pemasukan kalsium ke otot jantung dan pembuluh
dihambat, maka jantung dan pembuluh akan sedikit rileks, tekanan darah turun. CCB diketahui
paling sedikit menimbulkan batuk, resikonya hanya 1% 6%. Tetapi belum ada penelitian yang
relevan.

Sebenarnya, batuk yang disebabkan oleh obat-obatan antihipertensi seperti ini tidak perlu
dicemaskan selama batuk tidak mengganggu aktivitas. Biasanya juga dokter tidak akan
memberikan obat untuk mengatasi batuknya karena itu tidak perlu. Justru dengan adanya batuk
setelah minum obat antihipertensi kita tau bahwa obat yang digunakan sedang bekerja. Namun
bukan berarti jika batuk tidak ada setelah minum obat antihipertensi lantas disimpulkan kalau
obat tidak bekerja. Ingat bahwa efek samping tidak selalu muncul pada semua orang. Tiap orang
memiliki sensitivitas yang berbeda-beda. Hanya jika batuknya sangat mengganggu sebaiknya
temui kembali dokter yang memberikan resep. Biasanya dokter lalu akan mengganti dengan obat
jenis lain.

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15129230. J Hum Hypertens. 2004 Oct;18(10):6939.


Losartan, an angiotensin II (AT1) receptor antagonist, preserves cerebral blood flow
in hypertensive patients with a history of stroke.Moriwaki H, Uno H, Nagakane Y,
Hayashida K, Miyashita K, Naritomi H.

I.

Pedoman pada Stroke Iskemik Akut

1. Penatalaksanaan Peningkatan Tekanan Darah

Pada penderita dengan tekanan darah diastolik > 140 mmHg (atau > 110
mmHg bila akan dilakukan terapi trombolisis) diperlakukan sebagai
penderita hipertensi emergensi berupa drip kontinyu nikardipin, diltiazem,
nimodipin dan lain-lain.

Jika tekanan darah sistolik > 220 mmHg dan/atau tekanan darah diastolik
> 120 mmHg, berikan labetolol iv selama 1-2 menit. Dosis labetool dapat
diulang atau digandakan setiap 10 20 menit sampai penurunan tekanan
darah yang memuaskan dapat dicapai atau sampai dosis kumulatif 300 mg
yang diberikan melalui teknik bolus mini. Setelah dosis awal, labetolol
dapat diberikan setiap 6 8jam bila diperlukan.

Jika tekanan darah sistolik < 220 mmHg dan/atau tekanan darah diastolik
< 120 mmHg, terapi darurat harus ditunda kecuali adanya bukti
perdarahan intraserebral, gagal ventrikel jantung kiri, infark miokard akut,
gagal ginjal akut, edema paru, diseksi aorta, ensefalopati hipertensi dan

sebagainya. Jika peninggian tekanan darah tersebut menetap pada dua kali
pengukuran selang waktu 60 menit, maka diberikan 200 300 mg
labetolol 2-3 kali sehari sesuai kebutuhan. Pengobatan alternatif yang
memuaskan selain labetolol adalah nifedipine oral 10 mg setiap 6 jam atau
6,25 25 mg kaptopril setiap 8 jam. Jika monoterapi oral tidak berhasil,
atau jika obat tidak dapat diberikan per oral, maka diberikan labetolol iv
seperti cara di atas atau obat pilihan lainnya (urgensi).

Batas penurunan tekanan darah sebanyak-banyaknya sampai 20-25 % dari


tekanan darah arterial rerata pada jam pertama, dan tindakan selanjutnya
ditentukan kasus per kasus.

2. Penatalaksanaan Penurunan Tekanan Darah

II.

Pastikan tekanan darah penderita rendah, yaitu sistolik < 120 mmHg (pada
pengukuran tekanan darah brakhial kiri yang digunakan adalah tekanan
darah yang tinggi)

Penggunaan obat-obat vasoaktif dapat diberikan dalam bantuk infus dan


disesuaikan dengan efek samping yang akan ditimbulkan seperti
takikardia.

Pemberian dopamin drip diawali dengan dosis kecil dan dipertahankan


pada tekanan darah optimal, yaitu berkisar 140 sistolik pada kondisi akut
stroke.

Pedoman pada Stroke Perdarahan Intraserebral

Pedoman Penatalaksanaan :

Hilangkan faktor-faktor yang beresiko meningkatkan tekanan darah,


seperti retensi urine, nyeri, febris, peningkatan tekanan intrakranial,
emosional stress dan sebagainya.

Bila tekanan darah sistolik > 220 mmHg atau tekanan diastolik > 140
mmHg atau tekanan darah arterial rata-rata > 145 mmHg, berikan
nikardipin, diltiazem atau nimodipin (dosis pada tabel).

Bila tekanan sistolik 180 220 mmHg atau tekanan diastolik 105-140
mmHg, atau tekanan darah arterial rata-rata 130 mmHg, berikan:
1. Labetolol 10-20 mg iv selama 1-2 menit. Ulangi atau gandakan
setiao 10 menit sampai maksimum 300 mg atau berikan dosis awal
bolus diikuti oleh labetolol drip 2-8 mg/menit atau;
2. Nicardipin, diltiazem
3. Nimodipin

Pada fase akut, tekanan darah tidak boleh diturunkan > 20-25% dari
tekanan darah arteri rata-rata dalam 1 jam pertama.

Bila tekanan sistolik < 180 mmHg dan tekanan diastolik < 105 mmHg,
tangguhkan pemberian obat anti hipertensi.

Bila terdapat fasilitas pemantauan tekanan intrakranial, tekanan perfusi


otak harus dipertahankan > 70 mmHg.

Pada penderita dengan riwayat hipertensi, penurunan


tekanan darah harus dipertahankan dibawah tekanan arterial
rata-rata 130 mmHg.

Tekanan darah arterial rata-rata lebih dari 110 mmHg harus


dicegah segera pada waktu pasca operasi dekompresi.

Bila tekanan darah arterial sistolik turun < 90 mmHg harus


diberikan obat menaikkan tekanan darah (vasopresor)

Das könnte Ihnen auch gefallen