Sie sind auf Seite 1von 29

3

BAB II
ELEKTROKARDIOGRAM
A.

Pendahuluan
Elektrokardiogram (EKG) adalah rekaman listrik jantung yang diperoleh dengan
bantuan elektroda yang ditempel di permukaan tubuh seseorang. Elektrokardiografi
adalah ilmu yang mempelajari tentang EKG. Elektrokardiograf sendiri sebenarnya
adalah suatu alat yang sederhana, relatif murah, praktis dan dapat dibawa ke manamana, tetapi harus diingat bahwa walaupun alat ini sangat berguna, banyak pula
keterbatasannya. Dalam usaha menginterpretasikan gambaran elektrokardiogram
harus selalu diingat bahwa gambaran EKG normal belum tentu menunjukkan
jantung normal, sebaliknya gambaran EKG abnormal belum tentu menunjukkan
jantung yang tidak normal pula. Betapa banyak kita lihat penderita yang
menunjukkan stenosis bermakna di arteri koroner, ternyata mereka mempunyai EKG
normal. Sebaliknya, kitapun banyak melihat wanita-wanita muda yang EKG-nya
menunjukkan gambaran abnormal seperti gelombang T terbalik di sandapan
prekordial, ternyata mempunyai jantung yang normal, termasuk arteri koronernya.
Bagaimanapun, EKG hanya merupakan alat bantu diagnosis penyakit jantung.
Gambaran klinis penderita tetap merupakan pegangan yang penting dalam
diagnosis, apalagi penatalaksanan penyakit penderita. Suatu kesalahan yang besar
bilamana diagnosis dan penatalaksanaan penderita hanya semata-mata didasarkan
pada rekaman EKG.(Lily Ismudiantiati Rilantono, 1996)
Dalam bab ini akan dibahas mengenai: 1) Anatomi sistem konduksi, 2) Cara
membuat rekaman EKG, 3) EKG normal, 4) Hipertrofi atrium dan ventrikel, 5)
Gangguan konduksi intraventrikuler, 6) Iskemi dan infark miokard, 7) Bradikardi
(Gangguan nodus sinus dan Blok nodus AV), 8) Takikardi (Takikardi Supraventrikuler dan Takikardi Ventrikuler). (Lily Ismudiantiati Rilantono, 1996)

B.

Anatomi sistem konduksi


Pada orang normal, rangsangan listrik jantung berawal dinodus sinoatrial
(SA). Rangsang itu kemudian dihantarkan keseluruh jantung melalui jaringan
konduksi tertentu. Dari nodus SA ke nodus AV (atrioventri-culernode), rangsang
dihantarkan melalui traktus intranodal (anterior, medial dan posterior). Berkas His

mulai dari nodus AV, melewati central fibrous body sehingga mencapai tepi atas
septum interventrikuler. Dari sini berjalan pada sisi kiri pars membranosa. Berkas
cabang kanan (RBB - right bundle branch) biasanya merupakan terusan berkas
His. la berjalan sebagai struktur tunggal di lapisan subendokard di sisi kanan
sehingga mencapai dasar muskulus papilaris anterior. Dari sini ia terbagi menjadi
3, yakni cabang anterior, posterior dan lateral. Yang terakhir ini menuju dinding
lateral ventrikel kanan (RV) dan bagian bawah septum membentuk bangunan
seperti kipas yang akhirnya sebagai anyaman Purkinje. Cabang kiri (LBB = left
bundle branch)umumnya mempunyai variasi yang lebih banyak. Segera setelah
bercabang dari berkas His, ia terbagi 2 atau lebih, yang berjalan di subendokard
dan masing-masing membentuk bangunan seperti kipas. Biasanya terdapat
hubungan satu sama lain. Fasikulus anterior (superior) terdiri dari bangunan
panjang dan tipis berjalan menuju muskulus papilaris anterior. Sedang fasikulus
posterior (inferior) biasanya lebih pendek dan lebih lebar menuju ke septum bagian
posterior. Kadang-kadang ditemukan fasikulus septal. (Lily Ismudiantiati
Rilantono, 1996)
C.

Cara membuat rekaman EKG


Rangsang listrik jantung yang berasal dari nodus SA dan menyebar ke atrium,
nodus AV dan akhirnya ke ventrikel, dapat direkam sebagai bentuk EKG.
Gelombang yang terekam secara alfabetis diberi nama P, Q, R, S, T dan U.

Gambar 1 EKG Normal

Gambar 2 Variasi EKG

Keterangan gambar:
Gelombang P

Depolarisasi Atrium

Kompleks QRS

Depolarisasi Ventrikal

Segmen ST
Gelombang T
Gelombang U

Repolarisasi Ventrikal

Gelombang P, QRS, T dan U direkam pada kertas khusus. Ada 2 macam


sistem yang biasa digunakan oleh mesin-mesin EKG di pasaran yaitu sistem yang
menggunakan pemanas dan sistem yang menggunakan injektor tinta. Pada sistem
dengan pemanas, jarum (stylus) yang dipanasi menempel pada kertas EKG
sehingga menyebabkan bekas (hitam atau biru) membentuk gambaran EKG. Tebal
tipisnya rekaman EKG dapat diatur berdasarkan derajat pemanasan jarum. Makin
panas makin tebal rekaman EKG. Bilamana sistem pemanasan putus atau macet,
maka rekaman EKG tidak dapat dibuat. Sistem ini paling banyak dipakai. Sistem
kedua adalah dengan injektor tinta, dimana rekaman EKG dibuat dari semprotan
tinta.
Kertas EKG yang dijual di pasaran, sudah siap dengan garis-garis halus
yakni garis vertikal dan horizontal. Garis-garis vertikal dan horizontal tersebut
membentuk kotak-kotak kecil bujur sangkar dengan sisi 1 mm. Setiap 5 mm garis
vertikal maupun horizontal terdapat garis yang lebih tebal. Garis yang lebih tebal
ini membentuk kotak bujur sangkar dengan sisi 5 mm. Yang harus diperhatikan
dalam merekam EKG adalah kecepatan kertas dan standarisasi amplitudo.
Kecepatan baku yang biasa digunakan adalah 25 mm/detik sehingga tiap mm
kertas menunjukkan 0,04 detik. Tiap kotak besar (5 mm) menunjukkan 0,20 detik.
Kebanyakan mesin-mesin EKG mempunyai 2 kecepatan yakni 25 mm/detik dan 50
mm/detik.
Standarisasi amplitudo baku yang biasa dipakai adalah 1, artinya tiap 1 cm
defleksi vertikal menunjukkan 1 mV. Bilamana gambaran EKG terlalu besar
sehingga seluruh defleksi gelombang QRS tidak tertangkap, maka standarisasi
dapat diturunkan menjadi 1/2 (dalam hal ini 1 mV sama dengan 0,5 cm atau 5 mm).
Sebaliknya bila rekaman EKG kelihatan terlalu kecil seperti pada low voltage maka
standarisasi dapat dinaikkan menjadi 2 (1 mV samadengan 2 cm).
Apabila terlihat bentuk QRS lebar, jangan terburu-buru menilai bahwa rekaman
EKG menunjukkan adanya gangguan hantaran intraventrikular, tetapi lihat dulu
bagaimana bentuk gelombang P. Bilamana gelombang P juga lebar dan interval PR
juga memanjang maka kekeliruan kecepatan (kecepatan 50 mm/detik) mungkin
menjadi penyebab lebarnya gelombang QRS. (Lily Ismudiantiati Rilantono, 1996)
Dari uraian mengenai kecepatan kertas EKG dan standarisasi amplitudo, maka
ada dua hal yang perlu diperhatikan dalam setiap rekaman EKG. Pertama adalah

lebar (lama) gelombang, yang biasanya dinyatakan dengan detik atau mili detik dan
kedua adalah amplitudo (voltage) yang biasa dinyatakan dengan mm (standarisasi 1)
atau mV. Dalam memberikan uraian mengenai amplitudo atau defleksi, jangan lupa
menyatakan positif atau negatif. Positif bila defleksinya keatas, dan negatif bila
defleksinya ke bawah. (Lily Ismudiantiati Rilantono, 1996)
D.

Sandapan EKG
Aliran listrik jantung seperti yang diterangkan di atas mempunyai besaran dan
arah (vektor). Oleh karena tubuh merupakan konduktor listrik yang cukup baik,
maka rekaman yang dilakukan melalui elektroda yang diletakkan di permukaan
tubuh yang jauh letaknya dari jantung tetap dapat dilakukan. Oleh karena aliran
listrik jantung merupakan vektor, maka rekaman perlu dilakukan dari berbagai
sudut. Oleh karena itulah dibuat rekaman dari berbagai sandapan. Dikenal 12
sandapan EKG. Enam sandapan dinamakan sandapan ekstremitas yakni I, II, III,
aVR, aVL dan aVF. Sandapan-sandapan ini diperoleh dari rekaman dengan
elektroda yang diletakkan di ekstremitas. Keenam sandapan ekstremitas dibagi lagi
menjadi 2 subkelompok yakni sandapan ekstremitas bipolar (I, II, III) dan
sendapan ekstremitas unipolar (aVR, aVL dan aVF).
Enam sandapan lainnya adalah sandapan prekordial. Elektroda diletakkan di
berbagai posisidi dinding dada. (Lily Ismudiantiati Rilantono, 1996)

Gambar 3 Posisi sandapan

E.

Sandapan ekstremitas bipolar


Untuk merekam sandapan ini semua ekstremitas penderita dihubungkan

melalui elektroda logam dengan kabel konektor ke mesin EKG. Kaki kanan hanya
berfungsi sebagai electrical ground. Sebenarnya rangsang listrik jantung diteruskan
oleh tubuh ke ekstremitas. Oleh karena itu elektroda yang diletakkan di pergelangan
tangan kanan sebenarnya merekam potensial listrik jantung di bahu kanan penderita,
demikian pula elektroda yang diletakkan di pergelangan tangan kiri. Meletakkan
elektroda di pergelangan tangan atau kaki semata-mata untuk kepraktisan.
Jelaslah, pada penderita dengan ekstremitas yang puntung, elektroda dapat
diletakkan pada bagian paling distal dari puntung ekstremitas.
Sandapan bipolar disebut demikian oleh karena sandapan ini hanya merekam
perbedaan tegangan dari 2 elektroda. Sandapan I merekam perbedaan tegangan
antara lengan kiri dan lengan kanan. Sandapan II merekam perbedaan tegangan
antara kaki kiri (LL - left leg) dengan lengan kanan (RA - right arm) dan sandapan
III merekam perbedaan tegangan antara kaki kiri (LL) dengan lengan kiri (LA - left
arm), Secara skematis, ketiga sandapan ini dapat digambarkan.sebagai segi>tiga
Einthoven.
RA

Lead 1

LA

Gambar 4. Segitiga Einthoven


Seperti terlihat dalam gambar diatas maka sandapan I merupakan garis
horisontal. Elektroda lengan kiri sebagai kutub positif dan elektroda lengan kanan
sebagai kutub negatif, sehingga I - LA - RA (potensial tangan kiri potensial tangan
kanan). Sandapan II serong ke bawah. Kutub positif di kaki kiri, sedang kutub
negatif di tangan kanan. Oleh karena itu II - LL - RA (potensial kaki kiri tangan
kanan). Sandapan III juga serong kebawah. Kutub positif di kaki kiri sedang kutub
negatif di tangan kiri, oleh karena itu III - LL - LA. Hubungan antara ketiga
sandapan itu sebagai berikut: Sandapan I + III = II
Dengan kata lain, tegangan I ditambah tegangan III sama dengan tegangan II.

(Lily Ismudiantiati Rilantono, 1996)


I = LA - RA
III = LL LA

I + III = LL RA=II
F.

Sandapan unipolar
Sadapan unipolar akan mengukur potensial listrik jantung dari satu tempat ke
tempat lain yang mempunyai potensial nol. Tempat terakhir ini adalah dengan
menghubungkan ketiga ekstremitas lain dengan terminal sentral. Sandapan aVR,
aVL dan aVF adalah sandapan unipolar yang dimaksud. Hubungan antara ketiga
sandapan tersebut adalah sebagai berikut:
aVR + aVL + aVF = 0
Hubungan antara keenam sandapan dapat digambarkan sebagai gambar III.3.4a.
yang merupakan gambar dengan 6 garis yang membentuk sudut yang sama, masingmasing 30 derajat (heksadesial). Berdasarkan bidang frontal ini, maka dengan
melihat rekaman EKG kita dapat membuat perhitungan berapa sumbu masingmasing gelombang (P dan QRS).Untuk menghitung sumbu gelombang QRS ada
beberapa cara yang sederhana. Cara pertama, lihatlah sandapan yang membuat sudut
tegak lurus pada sumbu heksadesial, misalnya sandapan I (0 derajat) dan aVF (90
derajat), atau II (60 derajat) dengan aVL (-30 derajat) atau III dengan aVR.Jumlahaljabarkan gelombang QRS pada masing-masing sandapan. Proyeksikan hasilnya
pada gambar III.3.4b. Contoh : bila jumlah aljabar kompleks QRS di sandapan I
sama dengan 5 mm, dan jumlah aljabar kompleks QRS di sandapan aVF sama
dengan 5 mm, maka sumbu QRS di bidang frontal sama dengan + 45 derajat.
Cara kedua adalah dengan melihat sandapan mana yang mempunyai jumlah
aljabar kompleks QRS sama dengan nol mm. Lalu dilihat kompleks QRS pada
sandapan yang tegak lurus pada sandapan di atas. Bila sandapan yang terakhir
mempunyai jumlah aljabar kompleks QRS lebih dari 0 (positif) maka sumbu
frontal kompleks QRS sama dengan arah elektroda positif sandapan terakhir.
Sebagai contoh, bila jumlah aljabar kompleks QRS di sandapan aVL sama dengan
nol, dan jumlah aljabar kompleks QRS di sandapan II sama dengan 5 mm, maka
sumbu QRS di bidang frontal sama dengan +60 derajat. Sebaliknya bila jumlah
aljabar kompleks QRS di II sama dengan -7 mm, maka sumbu kompleks QRS di

bidang frontal sama dengan -120 derajat. (Lily Ismudiantiati Rilantono, 1996)

Gambar 5 Derajat jantung bidang frontal


G.

Sandapan prekordial
Sandapan prekordial akan mencatat rangsang listrik jantung dengan bantuan
elektroda yang ditempatkan di beberapa tempat di dinding dada. Sandapan ini adalah
unipolar, artinya mengukur perbedaan potensial antara titik tersebut terhadap
potensial nol. Pada sandapan V1, elektroda diletakkan di ruang interkostal empat
garis parasternal kanan. Pada sandapan V2, elektroda diletakkan di ruang interkostal
empat, garis parasternal kiri, sedang pada sandapan V4, elektroda diletakkan di ruang
interkostal lima, garis midklavikuler kiri. Pada sandapan V3, elektroda
diletakkan antara V2 dan V4. Pada sandapan V5 dan V6, elektroda diletakkan
sejajar dengan elektroda V4. Untuk sandapan V5, elektroda diletakkan di garis
aksilaris anterior, sedang untuk sandapan V6 di garis aksilaris media. (Sutopo

H.

Widjaja 1990)
Pemantauan rekaman EKG
Pada keadaan tertentu seperti di unit-unit perawatan intensif, kadang-kadang
tidak perlu kita merekam dengan sandapan seperti disebutkan di atas (12 sandapan).
Pada keadaan seperti ini pemantauan EKG diperlukan untuk analisis denyut
perdenyut hanya dari satu alat pantau. Biasanya ada 3 elektroda. Satu ditempatkan di
V1, satu lagi di bahu kiri dan lainnya di bahu kanan. Rekaman di alat monitor
ini biasanya digunakan untuk pemantauan aritmia jantung, bukannya untuk
memantau depresi segmen ST.

I.

Nomenklatur
a. Gelombang P
Merupakan depolarisasi atrium. Oleh karena arah vektornya ke kiri bawah,
maka bila gelombang P normal (dari nodus SA) gambaran akan terlihat positif di

10

sandapan II, aVF dan negatif di aVR.


b. Interval PR
Diukurdari permulaan gelombang P sampai permulaan kompleks QRS.
Interval PR mungkin berbeda-beda pada sandapan yang berbeda. Interval PR
adalah interval paling pendek, yang merupakan waktu yang diperlukan rangsang
listrik jantung dari nodus SA, menyebar ke atrium sampai di nodus AV. Pada
orang dewasa normal, interval PR antara 0,12 sampai 0,20 detik. Bilamana
terdapat gangguan di nodus AV, maka interval PR akanmemanjang, dan
c.

dinamakan blok nodus AV derajat satu (first degree A V block).


Kompleks QRS
Tidak semua kompleks QRS mempunyai gelombang Q. Demikian pula tidak
semua kompleks QRS mempunyai gelombang R atau S. Bilamana awal
kompleks QRS merupakan defleksi negatif, maka gelombang itu dinamakan
gelombang Q. Bilamana kompleks QRS mempunyai defleksi positif, maka
defleksi positif pertama (didahului atau tanpa didahului defleksi negatif) disebut
gelombang R. Bilamana kompleks QRS mempunyai lebih dari satu defleksi
negatif maka defleksi negatif kedua dinamakan gelombang S. Defleksi positif
kedua dinamakan gelombang R'. Bilamana kompleks QRS hanya mempunyai 1
defleksi negatif tanpa defleksi positif, maka kompleks QRS yang demikian ini
dinamakan kompleks QS.Sebaliknya bila hanya mempunyai defleksi positif
saja, dinamakan kompleks R. Huruf kecil dan huruf kapital menyatakan besarkecilnya defleksi.Oleh karena itu berbagai variasi dapat timbul, seperti QS,
qRS, QRS, qR, QR, Qr, R, RS, rS, rSR' dan sebagainya. (Lily Ismudiantiati
Rilantono, 1996)

QS

11

d. Interval QRS
Interval yang diukur dari permulaan QRS sampai akhir QRS. Normal
kurang 0,10 detik. Bilamana penyebaran rangsang di ventrikel lambat maka
terjadi
e.

pemanjangan

interval

QRS

seperti

pada

gangguan

hantaran

intraventrikular (RBBB atau LBBB). (Sutopo Widjaja 1990)


Segmen ST
Adalah bagian rekaman EKG, mulai dari akhir kompleks QRS sampai
awal gelombang T. Bagian ini merupakan awal repolarisasi ventrikel. Pada orang
normal, segmen ST isoelektrik (rata dari garis dasar), walaupun dapat bervariasi
antara elevasi sampai depresi, tetapi kurang dari 1 mm. Pada IMA, mula-mula

f.

terjadi elevasi segmen ST. (Sutopo Widjaja 1990)


Gelombang T
Juga merupakan bagian repolarisasi ventrikel. Gelombang T yang normal
berbentuk asimetrik. Puncak gelombang T lebih dekat dengan akhir gelombang
T dibanding dengan awalnya.Bila gelombang T positif, maka bagian yang
menaik (descending limb) berbentuk landai, sedang yang menurun lebih
curam.Sebaliknya bila gelombang T negatif, maka bagian yang menurun
berbentuk landai sedang yang menaik lebih curam. Pada keadaan tertentu
seperti pada infark miokard atau hiperkalemia, gelombang T berbentuk simetrik.

g.

Interval QT
Interval ini diukur dari permulaan kompleks QRS sampai akhir gelombang
T. Interval QT terutama menunjukkan bahwa ventrikel yang baru saja
terstimulasi telah kembali ke keadaan semula (istirahat).Nilai normal interval
QT sangat dipengaruhi oleh laju jantung. Bila laju jantung meningkat, interval
QT akan memendek, sebaliknya bila laju jantung menurun, interval QT akan
memanjang. Oleh karena itu beberapa ahli melakukan koreksi terhadap laju
jantung. QT yang terkoreksi - QT x VRR
Secara umum bila laju jantung sama dengan atau kurang dari 80 kali per
menit, maka bila interval QT lebih dari separuh interval RR, dikatakan interval
QT memanjang. Beberapa keadaan dapat menyebabkan pemanjangan interval

12

QT seperti pemakaian jenis obat tertentu (sulfas kinidin, prokainamid),


gangguan keseimbangan elektrolit seperti hipokalemia dan hipokalsemia.
Iskemia miokard dan infark miokard dapat pula menyebabkan pemanjangan
interval QT, demikian pula perdarahan subarakhnoid.
Pemendekan interval QT dapat dilihat pada hiperkalsemia, atau pada
pemberian digitalis dosis terapeutik. (Sutopo Widjaja 1990)
h. Gelombang U
Gelombang U terlihat setelah gelombang T. Bentuk puncaknya
membulat.Arti gelombang U sampai saat ini tidak jelas, tetapi gelombang U
yang menonjol dapat terlihat pada hipokalemia. Pada keadaan tertentu,
misalnya pada pemakaian obat-obat tertentu seperti sulfas kinidin atau fenotiazin
dan kadang-kadang pada cerebro vascular accident dapat diperlihatkan adanya
gelombang U yang menonjol. Biasanya gelombang U searah dengan gelombang
T. Kadang-kadang terlihat pada rekaman EKG gelombang U negatif, tetapi
gelombang T positif. Keadaan ini dapat terlihat pada hipertrofi ventrikel kiri
atau iskemia miokard. (Sutopo Widjaja 1990)
J.

EKG normal
Banyak variasi mengenai EKG normal. Faktor-faktor yang mempengaruhi
adalah habitus tubuh, sumbu listrik jantung, ukuran dada dan keadaan lain seperti
obesitas dan penyakit paru. Kriteria yang dipakai di bawah ini hanyalah sebagai
pegangan, namun diagnosis akhir apakah jantung normal atau abnormal harus dibuat
berdasarkan gambaran klinis secara keseluruhan. Sekali lagi, akan merupakan
kesalahan yang sangat besar bila diagnosis semata-mata hanya didasarkan atas
gambaran rekaman EKG.
a. Kriteria
Gelombang P. Positif (ke atas) di sandapan I, II, aVF dan V3-V6.Di
sandapan aVR gelombang P selalu negatif (terbalik). Sedang di sandapan II,
aVL, V1 dan V2 gelombang P sangat bervariasi. Kejadian ini disebabkan oleh
karena pada jantung normal, pusat pacu jantung berada di nodus SA (terletak di
atrium kanan, dekat muara vena kava superior). Impuls listrik jantung akan
menyebar ke atrium. Vektor gelombang P normal akan mengarah ke kiri bawah
depan dengan akibat bentuk gelombang P seperti di atas. Gelombang P dengan
sifat-sifat di atas, dengan laju antara 60 - 100 kali per menit dinamakan irama
sinus, oleh karena irama ini berasal dari nodus sinus. Pada keadaan normal

13

(tanpa gangguan konduksi di nodus AV) maka setiap gelombang P akan diikuti
gelombang QRS. Interval PR berkisar antara 0,11 sampai 0,20 detik. Irama
sinus sendiri dapat terjadi dengan atau tanpa gangguan konduksi di nodus AV.
Gelombang Q. Gelombang Q kecil (kurang dari 0,045 detik, kurang dari
1/4 gelombang R) normal terlihat di I, V5 atau V6. Terjadinya gelombang Q ini
akibat aktifasi septal. Vektor awal kompleks QRS ke arah kanan atas dan
muka.Oleh karena itu gelombang Q kecil atau bahkan kadang-kadang tak terlihat
di sandapan II, aVF dan V3. Di sandapan III dan aVL terlihat kecil atau bahkan
kadang-kadang tak terlihat, dan kadang kadang terlihat cukup bermakna. Di
aVR, gelombang Q justru terlihat nyata, tetapi tidak punya arti apa-apa.
Gelombang R. Tergantung dari sumbu QRS. Biasanya sangat dominan di I
dan II, V5 dan V6.Di sandapan aVR, V1 dan V2 biasanya hanya kecil atau tidak
ada sama sekali.
Gelombang S. Tidak terlihat atau kurang dibanding gelombang R di
sandapan I atau II. Tetapi di sandapan III, aVF dan aVL biasanya lebih
menonjol atau justru tidak terlihat. Di sandapan aVR, V1 atau V2, gelombang S
terlihat lebih menonjol. Di V4 - V6 kurang dibanding dengan gelombang R.
Gelombang T. Positif di sandapan I, II, V3 - V6.Terbalik di aVR.
Disandapan III, aVF, aVL, V1 dan V2, gelombang T bervariasi.
Interval QT. Interval ini akan memendek bila laju jantung bertambah
cepat, sebaliknya akan memanjang bila laju jantung lambat (interval QT 0,41
detik pada laju jantung 50/menit, dan berubah menjadi 0,31 detik pada laju
jantung 100/menit).
Segmen ST. Biasanya isoelektris. Bervariasi sampai +1 mm di sandapan
ekstremitas dan sampai 2 mm (0,2 mV) di sandapan prekordial. (Lily
Ismudiantiati Rilantono, 1996)

14

BAB III
GAGAL JANTUNG
A.

Pendahuluan
Gagal jantung merupakan tahap akhir dari seluruh penyakit jantung dan
merupakan penyebab peningkatan morbiditas dan mortalitas pasien jantung.
Diperkirakan hampir lima persen dari pasien yang dirawat di rumah sakit, 4,7%
wanita dan 5,1% laki-laki. Insiden gagal jantung dalam setahun diperkirakan 2,3
3,7 perseribu penderita pertahun. Kejadian gagal jantung akan semakin meningkat
di masa depan karena semakin bertambahnya usia harapan hidup dan
berkembangnya terapi penanganan infark miokard mengakibatkan perbaikan
harapan hidup penderita dengan penurunan fungsi jantung.
Gagal jantung susah dikenali secara klinis, karena beragamnya keadaan klinis
serta tidak spesifik serta hanya sedikit tanda tanda klinis pada tahap awal
penyakit. Perkembangan terkini memungkinkan untuk mengenali gagal jantung
secara dini serta perkembangan pengobatan yang memeperbaiki gejala klinis,
kualitas hidup, penurunan angka perawatan, memperlambat progresifitas penyakit
dan meningkatkan kelangsungan hidup. (Aru W. Sudoyo, 2006)

15

B.

Definisi serta klasifikasi


Gagal jantung didefinisikan sebagai kondisi dimana jantung tidak lagi dapat
memompakan cukup darah ke jaringan tubuh. Keadaan ini dapat timbul dengan
atau tanpa penyakit jantung. Gangguan fungsi jantung dapat berupa gangguan
fungsi diastolik atau sistolik, gangguan irama jantung, atau ketidaksesuaian
preload dan afterload. Keadaan ini dapat menyebabkan kematian pada pasien.
Gagal jantung dapat dibagi menjadi gagal jantung kiri dan gagal jantung
kanan. Gagal jantung juga dapat dibagi menjadi gagal jantung akut, gagal jantung
kronis dekompensasi, serta gagal jantung kronis.
Beberapa sistem klasifikasi telah dibuat untuk mempermudah dalam
pengenalan dan penanganan gagal jantung. Sistem klasifikasi tersebut antara lain
pembagian berdasarkan Killip yang digunakan pada Infark Miokard Akut,
klasifikasi berdasarkan tampilan klinis yaitu klasifikasi Forrester, Stevenson dan
NYHA.
Klasifikasi berdasarkan Killip digunakan padapenderita infark miokard akut,
dengan pembagian:

Derajat I
Derajat II

Derajat III

Derajat IV

: Tanpa gagal jantung


: Gagal jantung dengan ronki basah halus dibasal paru, S3
galop dan peningkatan tekanan vena pulmonalis
: Gagal jantung berat dengan edema paruseluruh lapangan
paru.
: Syok kardiogenik dengan hipotensi (tekanan darah sistolik
90 mmHg) danvasokonstriksi perifer (oliguria, sianosis
dan diaforesis)

Klasifikasi Stevenson menggunakan tampilan klinis dengan melihat tanda


kongesti dan kecukupan perfusi. Kongesti didasarkan adanya ortopnea, distensi
vena juguler, ronki basah, refluks hepato jugular, edema perifer, suara jantung
pulmonal yang berdeviasi ke kiri, atau square wave blood pressurepada manuver
valsava. Status perfusi ditetapkan berdasarkan adanya tekanan nadi yang sempit,
pulsus alternans, hipotensi simtomatik, ekstremitas dingin dan penurunan
kesadaran. Pasien yang mengalami kongesti disebut basah (wet) yang tidak
disebut kering (dry). Pasien dengan gangguan perfusi disebut dingin (cold) dan
yang tidak disebut panas (warm). Berdasarkan hal tersebut penderta dibagi
menjadi empat kelas, yaitu:

Kelas I (A)

: kering dan hangat (dry warm)

16

C.

Kelas II (B)
Kelas III (L)
Kelas IV (C)

: basah dan hangat (wet warm)


: kering dan dingin (dry cold)
: basah dan dingin (wet cold). (Aru W. Sudoyo, 2006)

Etiologi
Gagal jantung dapat disebabkan oleh banyak hal. Secara epidemiologi cukup
penting untung mengetahui penyebab dari gagal jantung, di negara berkembang
penyakit arteri koroner dan hipertensi merupakan penyebab terbanyak sedangkan
di negara berkembang yang menjadi penyebab terbanyak adalah penyakit jantung
katup dan penyakit jantung akibat malnutrisi. Pada beberapa keadaan sangat sulit
untuk menentukan penyebab dari gagal jantung. Terutama pada keadaan yang
terjadi bersamaan pada penderita.
Penyakit jantung koroner pada Framingham Study dikatakan sebagai
penyebab gagal jantung pada 46% laki-laki dan 27% pada wanita. Faktor risiko
koroner seperti diabetes dan merokok juga merupakan faktor yang dapat
berpengaruh pada perkembangan dari gagal jantung. Selain itu berat badan serta
tingginya rasio kolesterol total dengan kolesterol HDL juga dikatakan sebagai
faktor risiko independen perkembangan gagal jantung.
Hipertensi telah dibuktikan dapat meningkatkan risiko terjadinya gagal
jantung pada beberapa penelitian. Hipertensi dapat menyebabkan gagal jantung
melalui beberapa mekanisme, termasuk hipertrofi ventrikel kiri. Hipertensi
ventrikel kiri dikaitkan dengan disfungsi ventrikel kiri sistolik dan diastolik dan
meningkatkan risiko terjadinya infark miokard, serta memudahkan untuk
terjadinya aritmia baik itu aritmia atrial maupun aritmia ventrikel. Ekokardiografi
yang

menunjukkan

hipertrofi

ventrikel

kiri

berhubungan

kuat

dengan

perkembangan gagal jantung.


Kardiomiopati didefinisikan sebagai penyakit pada otot jantung yang bukan
disebabkan oleh penyakit koroner, hipertensi, maupun penyakit jantung
kongenital, katup ataupun penyakit pada perikardial. Kardiomiopati dibedakan
menjadi empat kategori fungsional: dilatasi (kongestif), hipertrofik, restriktif dan
obliterasi. Kardiomiopati dilatasi merupakan penyakit otot jantung dimana terjadi
dilatasi abnormal pada ventrikel kiri dengan atau tanpa dilatasi ventrikel kanan.
Penyebabnya antara lain miokarditis virus, penyakit pada jaringan ikat seperti
SLE, sindrom Churg-Strauss dan poliarteritis nodosa. Kardiomiopati hipertrofik
dapat merupakan penyakit keturunan (autosomal dominan) meski secara sporadik

17

masih memungkinkan. Ditandai dengan adanya kelainan pada serabut miokard


dengan gambaran khas hipertrofi septum yang asimetris yang berhubungan
dengan

obstruksi

outflow

aorta

(kardiomiopati

hipertrofik

obstruktif).

Kardiomiopati restriktif ditandai dengan kekakuan serta compliance ventrikel


yang buruk, tidak membesar dan dihubungkan dengan kelainan fungsi diastolik
(relaksasi) yang menghambat pengisian ventrikel.
Penyakit katup sering disebabkan oleh penyakit jantung rematik, walaupun
saat ini sudah mulai berkurang kejadiannya di negara maju. Penyebab utama
terjadinya gagal jantung adalah regurgitasi mitral dan stenosis aorta. Regusitasi
mitral (dan regurgitasi aorta) menyebabkan kelebihan beban volume (peningkatan
preload) sedangkan stenosis aorta menimbulkan beban tekanan (peningkatan
afterload).
Aritmia sering ditemukan pada pasien dengan gagal jantung dan dihubungkan
dengan kelainan struktural termasuk hipertofi ventrikel kiri pada penderita
hipertensi. Atrial fibrilasi dan gagal jantung seringkali timbul bersamaan.
Alkohol dapat berefek secara langsung pada jantung, menimbulkan gagal
jantung akut maupun gagal jantung akibat aritmia (tersering atrial fibrilasi).
Konsumsi alkohol yang berlebihan dapat menyebabkan kardiomiopati dilatasi
(penyakit otot jantung alkoholik). Alkohol menyebabkan gagal jantung 2 3%
dari kasus. Alkohol juga dapat menyebabkan gangguan nutrisi dan defisiensi
tiamin. Obat obatan juga dapat menyebabkan gagal jantung. Obat kemoterapi
seperti doxorubicin dan obat antivirus seperti zidofudin juga dapat menyebabkan
gagal jantung akibat efek toksik langsung terhadap otot jantung. (Aru W. Sudoyo,
2006)
D.

Patofisiologi
Gagal jantung disebabkan oleh kondisi yang mengurangi efisiensi
miokardium, atau otot jantung, melalui kerusakan atau overloading. Dengan
demikian, dapat disebabkan oleh sebagai array beragam kondisi sebagai infark
miokard (di mana otot jantung kekurangan oksigen dan mati), hipertensi (yang
meningkatkan kekuatan kontraksi yang dibutuhkan untuk memompa darah) dan
amyloidosis (di mana protein disimpan dalam otot jantung, menyebabkan ia
menjadi kaku). Selama waktu ini peningkatan beban kerja akan menghasilkan
perubahan pada jantung sendiri:

18

kontraktilitas Dikurangi, atau memaksa kontraksi, karena overloading dari


ventrikel. Dalam kesehatan, meningkatkan pengisian hasil di kontraktilitas
ventrikel meningkat (oleh hukum Frank-Starling dari jantung) dan dengan
demikian peningkatan output jantung. Pada gagal jantung mekanisme ini
gagal, karena ventrikel dimuat dengan darah ke titik di mana kontraksi otot
jantung menjadi kurang efisien. Hal ini disebabkan kemampuan dikurangi
menjadi silang-link aktin dan filamen myosin dalam otot jantung over-

menggeliat.
Sebuah volume berkurang stroke, sebagai hasil dari kegagalan sistol, diastol
atau keduanya. Peningkatan volume akhir sistolik biasanya disebabkan oleh
kontraktilitas berkurang. Penurunan hasil volume akhir diastolik dari
gangguan ventrikel mengisi - seperti yang terjadi ketika kepatuhan ventrikel

turun (yakni ketika kaku dinding).


Mengurangi kapasitas cadangan. Sebagai jantung bekerja lebih keras untuk
memenuhi kebutuhan metabolik normal, jumlah output jantung dapat
meningkatkan pada saat permintaan oksigen meningkat (latihan misalnya)
berkurang. Hal ini memberikan kontribusi kepada intoleransi latihan sering
terlihat pada gagal jantung. Ini berarti dengan hilangnya cadangan jantung
seseorang. Cadangan jantung mengacu pada kemampuan jantung untuk
bekerja lebih keras selama latihan atau aktivitas berat. Karena jantung harus
bekerja lebih keras untuk memenuhi kebutuhan metabolik normal, tidak

mampu memenuhi kebutuhan metabolik tubuh selama latihan.


Peningkatan detak jantung, distimulasi oleh aktivitas simpatis meningkat
untuk mempertahankan cardiac output. Awalnya, ini membantu mengimbangi
gagal jantung dengan menjaga tekanan darah dan perfusi, tetapi tempat
ketegangan lebih lanjut pada miokardium, meningkatkan kebutuhan perfusi
koroner, yang dapat mengakibatkan memburuknya penyakit jantung iskemik.

Aktivitas simpatis juga dapat menyebabkan aritmia yang fatal.


Hipertropi (peningkatan ukuran fisik) dari miokardium, disebabkan oleh otot
jantung tersembuhkan dibedakan serat meningkatkan ukuran dalam upaya
untuk meningkatkan kontraktilitas. Hal ini dapat berkontribusi pada kekakuan
meningkat dan penurunan kemampuan untuk bersantai selama diastole.

19

Pembesaran ventrikel, berkontribusi terhadap pembesaran dan bentuk bulat


dari gagal jantung. Peningkatan volume ventrikel juga menyebabkan
penurunan stroke volume karena inefisiensi mekanik dan kontraktil.
Efek umum adalah salah satu dari output jantung berkurang dan

meningkatkan ketegangan pada jantung. Hal ini meningkatkan risiko serangan


jantung (khusus karena disritmia ventrikel), dan mengurangi suplai darah ke
seluruh tubuh. Pada penyakit kronis keluaran jantung berkurang menyebabkan
sejumlah perubahan di seluruh tubuh, beberapa di antaranya kompensasi
fisiologis, beberapa di antaranya merupakan bagian dari proses penyakit:
tekanan darah arteri turun. Ini destimulates baroreseptor dalam sinus karotis
dan arkus aorta yang link ke nukleus traktus solitarius. Ini pusat di otak
meningkatkan aktivitas simpatik, melepaskan katekolamin ke dalam aliran
darah. Mengikat hasil alpha-1 reseptor di vasokonstriksi arteri sistemik. Ini
membantu memulihkan tekanan darah tetapi juga meningkatkan tahanan
perifer total, peningkatan beban kerja jantung. Mengikat reseptor beta-1 di
miokardium akan meningkatkan denyut jantung dan membuat kontraksi lebih
kuat, dalam upaya untuk meningkatkan output jantung. Ini juga, Namun,

meningkatkan jumlah pekerjaan jantung harus melakukan.


Peningkatan stimulasi simpatik juga menyebabkan

hipotalamus

mensekresikan vasopresin (juga dikenal sebagai hormon antidiuretik atau


ADH), yang menyebabkan retensi cairan di ginjal. Hal ini meningkatkan

volume darah dan tekanan darah.


Berkurangnya perfusi (aliran darah) ke ginjal merangsang pelepasan renin enzim yang mengkatalisis produksi dari angiotensin vasopresor kuat.
Angiotensin dan metabolitnya menyebabkan vasocontriction lebih lanjut, dan
merangsang sekresi yang meningkat dari steroid aldosteron dari kelenjar
adrenal. Ini mempromosikan garam dan retensi cairan di ginjal, juga

meningkatkan volume darah.


Tingkat kronis tinggi beredar hormon neuroendokrin seperti katekolamin,
renin, angiotensin, dan aldosteron miokardium mempengaruhi langsung,
menyebabkan remodelling struktural jantung dalam jangka panjang. Banyak
dari efek remodeling tampaknya dimediasi oleh pertumbuhan transformasi
beta faktor (TGF-beta), yang merupakan target hilir umum dari kaskade

20

transduksi sinyal yang diprakarsai oleh katekolamin dan angiotensin II, dan
juga oleh faktor pertumbuhan epidermal (EGF), yang target dari jalur sinyal

diaktifkan oleh aldosteron


Mengurangi perfusi otot rangka menyebabkan atrofi dari serat otot. Hal ini
dapat mengakibatkan kelemahan, peningkatan fatigueability dan penurunan
kekuatan puncak - semua berkontribusi untuk latihan intoleransi.
Perlawanan perifer meningkat dan darah regangan volume yang lebih besar

tempat lebih lanjut tentang jantung dan mempercepat proses kerusakan


miokardium. Vasokonstriksi dan retensi cairan menghasilkan tekanan hidrostatik
meningkat pada kapiler. Ini pergeseran keseimbangan kekuatan yang mendukung
pembentukan cairan interstisial sebagai kekuatan peningkatan tekanan keluar
cairan tambahan darah, ke dalam jaringan. Hal ini menyebabkan edema (cairan
build-up) dalam jaringan. Pada gagal jantung sisi kanan ini biasanya dimulai pada
pergelangan kaki di mana tekanan vena yang tinggi karena efek gravitasi juga
dapat terjadi di perut (walaupun jika pasien tidur-dikendarai, akumulasi cairan
bisa mulai di wilayah sakral.) rongga, dimana cairan build-up yang disebut
ascites. Dalam hati sisi kiri edema kegagalan bisa terjadi di paru-paru - ini disebut
edema paru kardiogenik. Hal ini akan mengurangi kapasitas cadangan untuk
ventilasi, menyebabkan kaku dari paru-paru dan mengurangi efisiensi pertukaran
gas dengan meningkatkan jarak antara udara dan darah. Konsekuensi dari hal ini
adalah sesak napas, orthopnoea dan paroxysmal nocturnal dyspnea.
Gejala gagal jantung sebagian besar ditentukan oleh sisi mana jantung gagal.
Sisi kiri memompa darah ke sirkulasi sistemik, sedangkan sisi kanan memompa
darah ke sirkulasi paru-paru. Sementara gagal jantung kiri-sisi akan mengurangi
output jantung ke sirkulasi sistemik, gejala awal sering terwujud karena efek pada
sirkulasi paru. Pada disfungsi sistolik, fraksi ejeksi yang menurun, meninggalkan
volume tinggi abnormal darah di ventrikel kiri. Pada disfungsi diastolik, tekanan
akhir diastolik ventrikel akan tinggi. Kenaikan volume atau tekanan punggung
sampai ke atrium kiri dan kemudian ke vena paru-paru. Peningkatan volume atau
tekanan dalam vena paru merusak drainase normal alveoli dan nikmat aliran
cairan dari kapiler ke parenkim paru-paru, menyebabkan edema paru. Hal ini
mengganggu pertukaran gas. Jadi, gagal jantung sisi kiri sering muncul dengan
gejala pernapasan: sesak napas, ortopnea dan paroxysmal nocturnal dyspnea.

21

Dalam cardiomyopathy parah, efek dari curah jantung menurun dan perfusi
miskin menjadi lebih jelas, dan pasien akan terwujud dengan kaki dingin dan
berkeringat, sianosis, klaudikasio, kelemahan umum, pusing, dan sinkop.
The hipoksia yang dihasilkan disebabkan oleh edema paru menyebabkan
vasokonstriksi pada sirkulasi paru-paru, yang menyebabkan hipertensi paru.
Karena ventrikel kanan menghasilkan tekanan yang jauh lebih rendah
dibandingkan dengan ventrikel kiri (sekitar 20 mmHg versus sekitar 120 mmHg,
masing-masing, dalam individu yang sehat) tetapi tetap menghasilkan output
jantung persis sama dengan ventrikel kiri, ini berarti bahwa sedikit peningkatan
resistensi vaskuler paru menyebabkan kenaikan besar dalam jumlah pekerjaan
ventrikel kanan harus melakukan. Namun, mekanisme utama dengan yang gagal
jantung kiri menyebabkan gagal jantung sisi kanan-sisi sebenarnya tidak dipahami
dengan baik. Beberapa teori memanggil mekanisme yang dimediasi oleh aktivasi
neurohormonal. efek mekanis juga dapat berkontribusi. Sebagai distends ventrikel
kiri, septum busur intraventricular ke dalam ventrikel kanan, penurunan kapasitas
ventrikel kanan.
Disfungsi sistolik
Gagal jantung yang disebabkan oleh disfungsi sistolik lebih mudah diakui.
Hal ini dapat simplistically digambarkan sebagai kegagalan fungsi pompa jantung.
Hal ini ditandai dengan fraksi ejeksi penurunan (kurang dari 45%). Kekuatan
kontraksi ventrikel yang dilemahkan dan tidak memadai untuk menciptakan
stroke volume yang memadai, sehingga curah jantung tidak memadai. Secara
umum, hal ini disebabkan oleh disfungsi atau kerusakan miosit jantung atau
komponen molekul mereka. Dalam penyakit bawaan seperti distrofi Duchenne
otot, struktur molekul miosit individu terpengaruh. Miosit dan komponennya
dapat rusak oleh peradangan (seperti dalam miokarditis) atau infiltrasi (seperti
dalam amyloidosis). Racun dan agen farmakologi (seperti etanol, kokain, dan
amfetamin) menyebabkan kerusakan intraseluler dan stres oksidatif. Mekanisme
yang paling umum dari kerusakan iskemia dan infark menyebabkan pembentukan
parut. Setelah infark miokard, miosit mati digantikan oleh jaringan parut,
deleteriously mempengaruhi fungsi miokardium. Pada echocardiogram, ini adalah
nyata oleh gerakan dinding abnormal atau tidak ada.

22

Karena ventrikel adalah tidak cukup dikosongkan, tekanan akhir diastolik


ventrikel dan peningkatan volume. Hal ini ditransmisikan ke atrium. Di sisi kiri
jantung, tekanan meningkat ditransmisikan ke pembuluh darah paru, dan tekanan
hidrostatik resultan nikmat extravassation cairan ke dalam parenkim paru-paru,
menyebabkan edema paru. Di sisi kanan jantung, meningkatnya tekanan
diteruskan ke sirkulasi vena sistemik dan tempat tidur kapiler sistemik,
mendukung extravassation cairan ke dalam jaringan organ target dan ekstremitas,
mengakibatkan edema perifer tergantung.
Disfungsi diastolik
Gagal jantung yang disebabkan oleh disfungsi diastolic umumnya
digambarkan sebagai kegagalan ventrikel untuk bersantai memadai dan biasanya
menunjukkan dinding ventrikel kaku. Hal ini menyebabkan tidak memadai
pengisian ventrikel, dan dengan demikian hasil dalam stroke volume tidak
memadai. Kegagalan relaksasi ventrikel juga menghasilkan tekanan akhir
diastolik meningkat, dan hasil akhirnya adalah identik dengan kasus disfungsi
sistolik (edema paru pada gagal jantung kiri, edema perifer pada gagal jantung
kanan.)
Disfungsi diastolik dapat disebabkan oleh proses serupa dengan yang
menyebabkan disfungsi sistolik, terutama yang mempengaruhi menyebabkan
remodeling jantung. Disfungsi diastolik tidak mungkin terwujud kecuali dalam
ekstrem fisiologis jika fungsi sistolik dipertahankan. Pasien mungkin benar-benar
gejala pada saat istirahat. Namun, mereka indah peka terhadap kenaikan denyut
jantung, dan serangan tiba-tiba takikardi (yang dapat disebabkan hanya dengan
respon

fisiologis

untuk

usaha,

demam,

atau

dehidrasi,

atau

dengan

tachyarrhythmias patologis seperti fibrilasi atrium dengan respon ventrikel yang


cepat) dapat mengakibatkan flash edema paru. Tingkat kontrol yang memadai
(biasanya dengan agen farmakologi yang memperlambat konduksi AV seperti
kalsium channel blocker atau beta-blocker) Oleh karena itu, kunci untuk
mencegah dekompensasi.
Waktu fungsi diastolik ventrikel dapat ditentukan melalui ekokardiografi
oleh berbagai parameter pengukuran seperti E A / rasio (awal-ke-atrium kiri rasio

23

pengisian ventrikel), E (awal ventrikel kiri mengisi) perlambatan waktu, dan


waktu relaksasi isovolumic. (Lily Ismudiantiati Rilantono, 1996)
E. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis gagal jantung bervariasi, tergantung dari umur pasien,
beratnya gagal jantung, etiologi penyakit jantung, ruang-ruang jantung yang
terlibat, apakah kedua ventrikel mengalami kegagalan serta derajat gangguan
penampilan jantung.
Pada bayi, gejala Gagal jantung biasanya berpusat pada keluhan orang
tuanya bahwa bayinya tidak kuat minum, lekas lelah, bernapas cepat, banyak
berkeringat dan berat badannya sulit naik. Pasien defek septum ventrikel atau
duktus arteriosus persisten yang besar seringkali tidak menunjukkan gejala pada
hari-hari pertama, karena pirau yang terjadi masih minimal akibat tekanan
ventrikel kanan dan arteri pulmonalis yang masih tinggi setelah beberapa minggu
(2-12 minggu), biasanya pada bulan kedua atau ketiga, gejala gagal jantung baru
nyata.
Anak yang lebih besar dapat mengeluh lekas lelah dan tampak kurang
aktif, toleransi berkurang, batuk, mengi, sesak napas dari yang ringan (setelah
aktivitas fisis tertentu), sampai sangat berat (sesak napas pada waktu istirahat).
Pasien dengan kelainan jantung yang dalam kompensasi karea pemberian obat
gagal jantung, dapat menunjukkan gejala akut gagal jantung bila dihadapkan
kepada stress, misalnya penyakit infeksi akut.
Pada gagal jantung kiri atau gagal jantung ventrikel kiri yang terjadi
karena adanya gangguan pemompaan darah oleh ventrikel kiri, biasanya
ditemukan keluhan berupa perasaan badan lemah, berdebar-debar, sesak, batuk,
anoreksia, keringat dingin.
Tanda obyektif yang tampak berupa takikardi, dispnea, ronki basah paru di
bagian basal, bunyi jantung III, pulsus alternan. Pada gagal jantung kanan yang
dapat terjadi karena gangguan atau hambatan daya pompa ventrikel kanan
sehingga isi sekuncup ventrikel kanan menurun, tanpa didahului oleh adanya
Gagal jantung kiri, biasanya gejala yang ditemukan berupa edema tumit dan
tungkai bawah, hepatomegali, lunak dan nyeri tekan; bendungan pada vena perifer
(vena jugularis), gangguan gastrointestinal dan asites. Keluhan yang timbul berat

24

badan bertambah akibat penambahan cairan badan, kaki bengkak, perut


membuncit, perasaan tidak enak di epigastrium.
Pada penderita gagal jantung kongestif, hampir selalu ditemukan :

Gejala paru berupa : dyspnea, orthopnea dan paroxysmal nocturnal


dyspnea.

Gejala sistemik berupa lemah, cepat lelah, oliguri, nokturi, mual, muntah,
asites, hepatomegali, dan edema perifer.

Gejala susunan saraf pusat berupa insomnia, sakit kepala, mimpi buruk
sampai delirium.
Pada kasus akut, gejala yang khas ialah gejala edema paru yang meliputi :

dyspnea, orthopnea, tachypnea, batuk-batuk dengan sputum berbusa, kadangkadang hemoptisis, ditambah gejala low output seperti : takikardi, hipotensi dan
oliguri beserta gejala-gejala penyakit penyebab atau pencetus lainnya seperti
keluhan angina pectoris pada infark miokard akut. Apabila telah terjadi gangguan
fungsi ventrikel yang berat, maka dapat ditemukn pulsus alternan. Pada keadaan
yang sangat berat dapat terjadi syok kardiogenik. (Lily Ismudiantiati Rilantono,
1996)
F.

Diagnosis
Secara klinis pada penderita gagal jantung dapat ditemukan gejala dan tanda
seperti sesak nafas saat aktivitas, edema paru, peningkatan JVP, hepatomegali,
edema tungkai. 8-10 Pemeriksaan penunjang yang dapat dikerjakan untuk
mendiagnosis adanya gagal jantung antara lain foto thorax, EKG 12 lead,
ekokardiografi, pemeriksaan darah, pemeriksaan radionuklide, angiografi dan tes
fungsi paru.
Pada pemeriksaan foto dada dapat ditemukan adanya pembesaran siluet
jantung (cardio thoraxic ratio > 50%), gambaran kongesti vena pulmonalis
terutama di zona atas pada tahap awal, bila tekanan vena pulmonal lebih dari 20
mmHg dapat timbul gambaran cairan pada fisurahorizontal dan garis Kerley B
pada sudut kostofrenikus. Bila tekanan lebih dari 25 mmHg didapatkan gambaran
batwing pada lapangan paru yang menunjukkan adanya udema paru bermakna.

25

Dapat pula tampak gambaran efusi pleura bilateral, tetapi bila unilateral, yang
lebih banyak terkena adalah bagian kanan.
Pada elektrokardiografi 12 lead didapatkan gambaran abnormal pada hampir
seluruh penderita dengan gagal jantung, meskipun gambaran normal dapat
dijumpai pada 10% kasus. Gambaran yang sering didapatkan antara lain
gelombang Q, abnormalitas ST T, hipertrofi ventrikel kiri, bundle branch block
dan fibrilasi atrium. Bila gambaran EKG dan foto dada keduanya menunjukkan
gambaran yang normal, kemungkinan gagal jantung sebagai penyebab dispneu
pada pasien sangat kecil kemungkinannya.
Ekokardiografi merupakan pemeriksaan noninvasif yang sangat berguna pada
gagal jantung. Ekokardiografi dapat menunjukkan gambaran obyektif mengenai
struktur dan fungsi jantung. Penderita yang perlu dilakukan ekokardiografi adalah:
semua pasien dengan tanda gagal jantung, susah bernafas yang berhubungan
dengan murmur, sesak yang berhubungan dengan fibrilasi atrium, serta penderita
dengan risiko disfungsi ventrikel kiri (infark miokard anterior, hipertensi tak
terkontrol, atau aritmia). Ekokardiografi dapat mengidentifikasi gangguan fungsi
sistolik, fungsi diastolik, mengetahui adanya gangguan katup, serta mengetahui
risiko emboli.
Pemeriksaan darah perlu dikerjakan untuk menyingkirkan anemia sebagai
penyebab susah bernafas, dan untuk mengetahui adanya penyakit dasar serta
komplikasi. Pada gagal jantung yang berat akibat berkurangnya kemampuan
mengeluarkan air sehingga dapat timbul hiponatremia dilusional, karena itu
adanya hiponatremia menunjukkan adanya gagal jantung yang berat. Pemeriksaan
serum kreatinin perlu dikerjakan selain untuk mengetahui adanya gangguan ginjal,
juga mengetahui adanya stenosis arteri renalis apabila terjadi peningkatan serum
kreatinin setelah pemberian angiotensin converting enzyme inhibitor dan diuretik
dosis tinggi. Pada gagal jantung berat dapat terjadi proteinuria. Hipokalemia dapat
terjadi pada pemberian

diuretik

tanpa suplementasi

kalium dan obat

potassiumsparring. Hiperkalemia timbul pada gagal jantung berat dengan


penurunan fungsi ginjal, penggunaan ACE-inhibitor serta obat potassium
sparring. Pada gagal jantung kongestif tes fungsi hati (bilirubin, AST dan LDH)
gambarannya abnormal karena kongesti hati. Pemeriksaan profil lipid, albumin
serum fungsi tiroid dianjurkan sesuai kebutuhan. Pemeriksaaan penanda BNP

26

sebagai penanda biologis gagal jantung dengan kadar BNP plasma 100 pg/ml dan
plasma NT-pro BNP adalah 300 pg/ml.
Pemeriksaan radionuklide atau multigated ventrikulografi dapat mengetahui
ejection fraction, laju pengisian sistolik, laju pengosongan diastolik, dan
abnormalitas dari pergerakan dinding. Angiografi dikerjakan pada nyeri dada
berulang akibat gagal jantung. Angiografi ventrikel kiri dapat mengetahui
gangguan fungsi yang global maupun segmental serta mengetahui tekanan
diastolik, sedangkan kateterisasi jantung kanan untuk mengetahui tekanan sebelah
kanan (atrium kanan, ventrikel kanan dan arteri pulmonalis) serta pulmonary
artery capillary wedge pressure.(Aru W. Sudoyo, 2006)
G.

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan penderita dengan gagaljantung meliputi penalaksanaan
secara non farmakologis dan secara farmakologis, keduanya dibutuhkan karena
akan saling melengkapi untuk penatlaksaan paripurna penderita gagal jantung.
Penatalaksanaan gagal jantung baik itu akut dan kronik ditujukan untuk
memperbaiki gejala danprogosis, meskipun penatalaksanaan secara individual
tergantung dari etiologi serta beratnya kondisi. Sehingga semakin cepat kita
mengetahui penyebab gagal jantung akan semakin baik prognosisnya.
Penatalaksanaan non farmakologis yang dapat dikerjakan antara lain adalah
dengan menjelaskan kepada pasien mengenai penyakitnya, pengobatan serta
pertolongan yang dapat dilakukan sendiri. Perubahan gaya hidup seperti
pengaturan nutrisi dan penurunan berat badan pada penderita dengan kegemukan.
Pembatasan asupan garam, konsumsi alkohol, serta pembatasan asupan
cairanperlu dianjurkan pada penderita terutama pada kasus gagal jantung
kongestif berat. Penderita juga dianjurkan untuk berolahraga karena mempunyai
efek yang positif terhadap otot skeletal, fungsi otonom, endotel serta
neurohormonal dan juga terhadap sensitifitas terhadap insulin meskipun efek
terhadap kelengsungan hidup belum dapat dibuktikan. Gagal jantung kronis
mempermudah dan dapat dicetuskan oleh infeksi paru, sehingga vaksinasi
terhadap influenza dan pneumococal perlu dipertimbangkan. Profilaksis antibiotik
pada operasi dan prosedur gigi diperlukan terutama pada penderita dengan
penyakit katup primer maupun pengguna katup prostesis.

27

Penatalaksanaan gagal jantung kronismeliputi penatalaksaan nonfarmakologis


dan

farmakologis.

Gagal

jantung

kronis

bisa

terkompensasi

ataupun

dekompensasi. Gagal jantung terkompensasi biasanya stabil, dengan tanda retensi


air dan edema paru tidak dijumpai. Dekompensasi berarti terdapat gangguan yang
mungkin timbul adalah episode udema paru akut maupun malaise, penurunan
toleransi latihan dan sesak nafas saat aktifitas. Penatalaksaan ditujukan untuk
menghilangkan gejala dan memperbaiki kualitas hidup. Tujuan lainnya adalah
untuk memperbaiki prognosis serta penurunan angka rawat.
Obat obat yang biasa digunakan untuk gagal jantung kronis antara lain:
diuretik (loop dan thiazide), angiotensin converting enzyme inhibitors, blocker
(carvedilol,

bisoprolol,

metoprolol),

digoxin,

spironolakton,

vasodilator

(hydralazine /nitrat), antikoagulan, antiaritmia, serta obat positif inotropik.


Pada penderita yang memerlukan perawatan, restriksi cairan (1,5 2 l/hari)
dan pembatasan asupan garam dianjurkan pada pasien. Tirah baring jangka
pendek dapat membantu perbaikan gejala karena mengurangi metabolisme serta
meningkatkan perfusi ginjal. Pemberian heparin subkutan perlu diberikan pada
penderita dengan imobilitas. Pemberian antikoagulan diberikan pada pemderita
dengan fibrilasi atrium, gangguan fungsi sistolik berat dengan dilatasi ventrikel.
Penderita gagal jantung akut datang dengan gambaran klinis dispneu,
takikardia serta cemas, pada kasus yang lebih berat penderita tampak pucat dan
hipotensi. Adanya trias hipotensi (tekanan darah sistolik < 90 mmHg), oliguria
serta cardiac output yang rendah menunjukkan bahwa penderita dalam kondisi
syok kardiogenik. Gagal jantung akut yang berat serta syok kardiogenik biasanya
timbul pada infark miokard luas, aritmia yang menetap (fibrilasi atrium maupun
ventrikel) atau adanya problem mekanis seperti ruptur otot papilari akut maupun
defek septum ventrikel pasca infark.
Gagal jantung akut yang berat merupakankondisi emergensi dimana
memerlukan penatalaksanaan yang tepat termasuk mengetahui penyebab,
perbaikan hemodinamik, menghilangkan kongesti paru, dan perbaikan oksigenasi
jaringan. Menempatkan penderita dengan posisi duduk dengan pemberian oksigen
konsentrasi tinggi dengan masker sebagai tindakan pertama yang dapat dilakukan.
Monitoring gejala serta produksi kencing yang akurat dengan kateterisasi urin
serta oksigenasi jaringan dilakukan di ruangan khusus. Base excess menunjukkan

28

perfusi jaringan, semakin rendah menunjukkan adanya asidosis laktat akibat


metabolisme anerob dan merupakan prognosa yang buruk. Koreksi hipoperfusi
memperbaiki asidosis, pemberian bikarbonat hanya diberikan pada kasus yang
refrakter.
Pemberian loop diuretik intravena sepertifurosemid akan menyebabkan
venodilatasi yang akan memperbaiki gejala walaupun belum ada diuresis. Loop
diuretik juga meningkatkan produksi prostaglandin vasdilator renal. Efek ini
dihambat oleh prostaglandin inhibitor seperti obat antiflamasi nonsteroid,
sehingga harus dihindari bila memungkinkan.
Opioid

parenteral

seperti

morfin

atau

diamorfin

penting

dalam

penatalaksanaan gagal jantung akut berat karena dapat menurunkan kecemasan,


nyeri dan stress, serta menurunkan kebutuhan oksigen. Opiat juga menurunkan
preload dan tekanan pengisian ventrikel serta udem paru. Dosis pemberian 2 3
mg intravena dan dapat diulang sesuai kebutuhan.
Pemberian nitrat (sublingual, buccal danintravenus) mengurangi preload serta
tekanan pengisian ventrikel dan berguna untuk pasien dengan angina serta gagal
jantung. Pada dosis rendah bertindak sebagai vasodilator vena dan pada dosis
yang lebih tinggi menyebabkan vasodilatasi arteri termasuk arteri koroner.
Sehingga dosis pemberian harus adekuat sehingga terjadi keseimbangan antara
dilatasi vena dan arteri tanpa mengganggu perfusi jaringan. Kekurangannya
adalah teleransi terutama pada pemberian intravena dosis tinggi, sehingga
pemberiannya hanya 16 24 jam.
Sodium nitropusside dapat digunakan sebagai vasodilator yang diberikan
pada gagal jantung refrakter, diberikan pada pasien gagal jantung yang disertai
krisis hipertensi. Pemberian nitropusside dihindari pada gagal ginjal berat dan
gangguan fungsi hati. Dosis 0,3 0,5 g/kg/menit.
Nesiritide adalah peptide natriuretik yang merupakan vasodilator. Nesiritide
adalah BNP rekombinan yang identik dengan yang dihasilkan ventrikel.
Pemberiannya akan memperbaiki hemodinamik dan neurohormonal, dapat
menurunkan aktivitas susunan saraf simpatis dan menurunkan kadar epinefrin,
aldosteron dan endotelin di plasma. Pemberian intravena menurunkan tekanan
pengisian ventrikel tanpa meningkatkan laju jantung, meningkatkan stroke
volume karena berkurangnya afterload. Dosis pemberiannya adalah bolus 2 g/kg

29

dalam 1 menit dilanjutkan dengan infus 0,01 g/kg/menit.


Pemberian inotropik dan inodilator ditujukanpada gagal jantung akut yang
disertai hipotensi dan hipoperfusi perifer. Obat inotropik dan / atau vasodilator
digunakan pada penderita gagal jantung akut dengan tekanan darah 85 100
mmHg. Jika tekanan sistolik < 85 mmHg maka inotropik dan/atau vasopressor
merupakan pilihan. Peningkatan tekanan darah yang berlebihan akan dapat
meningkatkan afterload. Tekanan darah dianggap cukup memenuhi perfusi
jaringan bila tekanan arteri rata - rata > 65 mmHg.
Pemberian dopamine 2 g/kg/mnt menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah
splanknik danginjal. Pada dosis 2 5 g/kg/mnt akan merangsang reseptor
adrenergik beta sehingga terjadi peningkatan laju dan curah jantung. Pada
pemberian 5 15 g/kg/mnt akan merangsang reseptor adrenergik alfa dan beta
yang akan meningkatkan laju jantung serta vasokonstriksi. Pemberian dopamin
akan merangsang reseptor adrenergik 1 dan 2, menyebabkan berkurangnya
tahanan vaskular sistemik (vasodilatasi) dan meningkatnya kontrkatilitas. Dosis
umumnya 2 3 g/kg/mnt, untuk meningkatkan curah jantung diperlukan dosis
2,5 15 g/kg/mnt. Pada pasien yang telah mendapat terapi penyekat beta, dosis
yang dibutuhkan lebih tinggi yaitu 15 20 g/kg/mnt.
Phospodiesterase inhibitor menghambat penguraian cyclic-AMP menjadi
AMP sehingga terjadi efek vasodilatasi perifer dan inotropik jantung. Yang sering
digunakan dalam klinik adalah milrinone dan enoximone. Biasanya digunakan
untuk terapi penderia gagal jantung akut dengan hipotensi yang telah mendapat
terapi penyekat beta yang memerlukan inotropik positif. Dosis milrinone
intravena 25 g/kg bolus 10 20 menit kemudian infus 0,375 075 g/kg/mnt.
Dosis enoximone 0,25 0,75 g/kg bolus kemudian 1,25 7,5 g/kg/mnt.
Pemberian vasopressor ditujukan padapenderita gagal jantung akut yang
disertai syok kardiogenik dengan tekanan darah < 70 mmHg.Penderita dengan
syok kardiogenik biasanya dengantekanan darah < 90 mmHg atau terjadi
penurunan tekanan darah sistolik 30 mmHg selama 30 menit.Obat yang biasa
digunakan adalah epinefrin dan norepinefrin. Epinefrin diberikan infus kontinyu
dengan dosis 0,05 0,5 g/kg/mnt. Norepinefrin diberikan dengan dosis 0,2 1
g/kg/mnt.
Penanganan yang lain adalah terapi penyakitpenyerta yang menyebabkan

30

terjadinya gagal jantung akut de novo atau dekompensasi. Yang tersering adalah
penyakit jantung koroner dan sindrom koroner akut. Bila penderita datang dengan
hipertensi emergensi pengobatan bertujuan untuk menurunkan preload dan
afterload. Tekanan darah diturunkan dengan menggunakan obat seperti lood
diuretik intravena, nitrat atau nitroprusside intravena maupun natagonis kalsium
intravena (nicardipine). Loop diuretik diberkan pada penderita dengan tanda
kelebihan cairan. Terapi nitrat untuk menurunkan preload dan afterload,
meningkatkan aliran darah koroner. Nicardipine diberikan pada penderita dengan
disfungsi diastolik dengan afterload tinggi. Penderita dengan gagal ginjal, diterapi
sesuai penyakit dasar. Aritmia jantung harus diterapi.
Penanganan invasif yang dapat dikerjakan adalah Pompa balon intra aorta,
pemasangan pacu jantung, implantable cardioverter defibrillator, ventricular
assist device. Pompa balon intra aorta ditujukan pada penderita gagal jantung
berat atau syok kardiogenik yang tidak memberikan respon terhadap pengobatan,
disertai regurgitasi mitral atau ruptur septum interventrikel. Pemasangan pacu
jantung bertujuan untuk mempertahankan laju jantung dan mempertahankan
sinkronisasi atrium dan ventrikel, diindikasikan pada penderita dengan
bradikardia yang simtomatik dan blok atrioventrikular derajat tinggi. Implantable
cardioverterdevice bertujuan untuk mengatasi fibrilasi ventrikel dan takikardia
ventrikel. Vascular Assist Device merupakan pompa mekanis yang mengantikan
sebgaian fungsi ventrikel, indikasi pada penderita dengan syok kardiogenik yang
tidak respon terhadap terapi terutama inotropik. (Aru W. Sudoyo, 2006)

31

Das könnte Ihnen auch gefallen