Beruflich Dokumente
Kultur Dokumente
Soepriyatno2
Fungsi Pengawasan adalah salah satu fungsi yang berdasarkan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dimiliki oleh Dewan
Perwakilan Rakyat berikut dengan dua fungsi lainnya, yaitu Fungsi Legislasi
dan Fungsi Budgeting/Anggaran.
Konstitusi
Indonesiamengamanatkan
kepada
Negara
untuk
dari
amanat
kontitusi
tersebut
dan
juga
dalam
rangka
sosial,
DPR
sangat
mendukung
upaya
Pemerintah
untuk
Disampaikan pada acara Seminar Nasional XII Persatuan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) pada tanggal 6
November 2013 di Plenary Hall JakartaConvention Center.
2
Wakil Ketua Komisi IX DPR RI merangkap Ketua Panitia Kerja BPJS DPRRI dari Fraksi Partai Gerindra.
JAMKESMAS).
PANJA
BPJS
bekerja
simultan
dengan
rutin
PENGANGGARAN
Terkait modal awal BPJS, di dalam UU BPJS disebutkan bahwa modal
awal bagi masing-masing BPJS adalah paling banyak sebesar Rp2 Triliun yang
bersumber dari APBN. Penetapan angka Rp2 Triliun di dalam UU BPJS
tersebut berasal dari Pemerintah dan sudah melalui perhitungan yang matang.
Namun, Pemerintah hanya menyediakan modal awal BPJS bagi masingmasing sebesar Rp500 Miliar melalui APBN-P 2013.
Hal ini patut menjadi perhatian kita bersama, karena meskipun Wakil
Menteri Keuangan Mahendra Siregar, menjelaskan bahwa alokasi anggaran
Rp500 Miliar tersebut telah melalui perhitungan yang matang terhadap
kebutuhan riil PT. ASKES untuk bertransformasi menjadi BPJS Kesehatan
dan PT. JAMSOSTEK untuk bertransformasi menjadi BPJS Ketenagakerjaan,
namun tentu kita tidak ingin di dalam prakteknya akan terjadi berbagai
masalah hanya karena minimnya modal awal untuk BPJS yang disediakan
oleh Pemerintah.
Lebih lanjut, Komisi IX DPR RI berulang kali mempertanyakan
keseriusan Pemerintah dalam mengalokasi anggaran bagi sektor kesehatan di
dalam APBN, terlebih apabila kita merujuk kepada Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2009 di mana anggaran kesehatan dialokasikan paling sedikit 5% dari
APBN dan 10% dari APBD di luar gaji, ketentuan ini belum pernah
dilaksanakan oleh Pemerintah. Data menunjukkan bahwa pada APBN 2010
alokasi anggaran kesehatan sebesar 2.39% dari APBN, pada tahun 2011
sebesar 2.51% dari APBN, pada tahun 2012 sebesar 2.34% dari APBN, dan
pada tahun 2013 sebesar 2.05% dari APBN. Bahkan dalam APBN Tahun
Anggaran 2014, alokasi anggaran kesehatan turun sekitar Rp 2 Triliun.
UU SJSN dan UU BPJS mengamanatkan bahwa iuran bagi fakir miskin
dan orang tidak mampu dibayarkan oleh Negara melalui APBN. Pemerintah
memakai data peserta JAMKESMAS yang pada tahun 2013 berjumlah sekitar
untuk
mempertimbangkan
menaikkan
lagi
sesuai
dengan
Kesehatan
Daerah
(JAMKESDA)
yang
diselenggarakan
oleh
Pemerintah Daerah. Peserta JAMKESDA saat ini terdiri dari orang tidak
mampu maupun fakir miskin juga yang tersebar di kantong_kantong
kemiskinan di daerah. Bagaimana dengan fakir miskin dan orang tidak
mampu yang selama ini sudah menikmati program JAMKESDA? Tentu sangat
tidak adil bagi mereka kalau mereka
BPJS Kesehatan. Hal ini harus segera dicarikan jalan keluarnya oleh
Pemerintah.
Pemerintah memang mencadangkan anggaran sebesar Rp400 miliar
untuk fakir miskin dan orang tidak mampu yang tidak termasuk dalam skema
PBI, namun yang menjadi persoalan, apakah dana tersebut mencukupi dan
bagaimana pertanggungjawaban penggunaan anggarannya? Bukankah lebih
baik apabila Pemerintah melakukan pendataan ulang dengan memasukkan
fakir miskin dan orang tidak mampu yang belum termasuk dalam skema PBI
tersebut ke dalam data PBI, seperti gelandangan, pengemis dan anak-anak
yang terlantar? Sehingga proses pendataan dapat lebih akurat dan dapat
dipertanggungjawabkan.
PERATURAN PELAKSANA
UU BPJS mengamanatkan kepada Pemerintah untuk membuat 8
Peraturan Pemerintah, 7 Peraturan Presiden, dan 1 Keputusan Presiden.
Sampai saat ini, baru 1 PP dan 1 Perpres, masing-masing Peraturan
Pemerintah nomor 101 Tahun 2012 tentang Penerima Bantuan Iuran Jaminan
Kesehatan dan Peraturan Presiden nomor 12 tahun 2013 tentang Jaminan
Kesehatan yang sudah diselesaikan oleh Pemerintah.
UU BPJS hanya memberikan waktu satu tahun untuk penyelesaian
peraturan pelaksana terkait BPJS Kesehatan dan waktu dua tahun untuk
penyelesaian peraturan pelaksana terkait BPJS Ketenagakerjaan. Dengan
jangka waktu setahun tersebut, seharusnya Pemerintah sudah menyelesaikan
seluruh peraturan pelaksana terkait BPJS Kesehatan pada tanggal 25
November 2012, namun hingga saat ini masih banyak yang belum selesai,
antara lain PP tentang Besaran dan tata cara pembayaran iuran selain
program Jaminan Kesehatan, Perpres tentang Besaran Iuran Jaminan
Kesehatan, Perpres tentang Besaran Iuran untuk PBI, dll.
Menteri Kesehatan, di dalam Rapat Kerja dengan PANJA BPJS Komisi IX
DPRRI menjanjikan bahwa seluruh peraturan pelaksana tersebut akan segera
selesai paling lambat akhir bulan November 2013. Terkait hal tersebut, Komisi
IX DPRRI benar-benar mendesak Pemerintah untuk segera menyelesaikan
pembahasan dan menerbitkan peraturan pelaksana. Hal tersebut penting agar
supaya segera diperoleh kejelasan mengenai bagaimana operasional BPJS
Kesehatan nantinya dan akan menjadi pegangan bagi PT. ASKES, PT.
JAMSOSTEK, dan seluruh pemangku kepentingan kesehatan termasuk
PERSI dalam menyiapkan langkah antisipasi.
PENAHAPAN KEPESERTAAN
Pada saat launching logo resmi BPJS Kesehatan di Sukabumi pada
tanggal 21 Oktober 2013 yang lalu, Presiden SBY menargetkan bahwa pada
tahap pertama beroperasinya BPJS Kesehatan tanggal 1 Januari 2014, sekitar
121,6 juta jiwa penduduk Indonesia akan menjadi peserta BPJS Kesehatan
dan mendapatkan jaminan kesehatan, angka 121,6 juta jiwa tersebut terdiri
dari 86.4 juta jiwa eks penerima Jamkesmas, 16 juta jiwa peserta ASKES, 7
juta jiwa peserta JPK JAMSOSTEK, dan 1.2 juta jiwa anggota TNI/POLRI
beserta keluarganya. Lebih lanjut, Presiden SBY meminta kepada PresidenRI
selanjutnya untuk meneruskan program BPJS Kesehatan tersebut sehingga
pada tanggal 1 Januari 2019, seluruh rakyat Indonesia sudah menjadi peserta
BPJS Kesehatan dan mempunyai jaminan kesehatan.
Terkait penahapan kepesertaan tersebut, ada beberapa catatan yang
ditekankan oleh DPR-RI, di antaranya adalah masalah masyarakat yang saat
ini telah menjadi peserta JAMKESDA serta masalah prosedur bagi masyarakat
umum yang ingin menjadi peserta BPJS Kesehatan.
Sampai saat ini Komisi IX DPR RI belum mendapatkan penjelasan, baik
dari Kementerian Kesehatan maupun dari PT. ASKES, tentang bagaimana
prosedur tentang bagi masyarakat umum yang secara mandiri maupun
berkelompok kepada Pemberi Kerjanya -
sosialisasi.
Kementerian
Kesehatan
tidak
bisa
hanya
tersebut sampai di rumah sakit, terutama ketika terjadi kasus luar biasa di
suatu daerah tertentu.