Sie sind auf Seite 1von 4

AKAR-AKAR EMPATI

DITULIS OLEH ARIES MUSNANDAR


SELASA, 11 OKTOBER 2011 08:00
Empati adalah kemampuan untuk mengetahui bagaimana merasakan perasaan orang lain. Empati
berperan penting dalam berbagai bidang kehidupan, mulai dari pengasuhan, pendidikan,
manajemen, hingga tindakan bela rasa dan percintaan. Empati dibangun pada lingkup selfawareness (kesadaran diri). Makin terbuka terhadap emosi kita sendiri, makin terampil kita
dalam memahami perasaan orang lain. Emosi tidak banyak diekspresikan dalam kata-kata, justru
ia lebih banyak diekspresikan dalam isyarat-isyarat nonverbal, seperti intonasi suara, gerakan
bagian tubuh, ekspresi wajah. Maka kemampuan empati terutama melibatkan kemampuan
seseorang untuk membaca perasaan lewat pemahaman terhadap isyarat-isyarat nonverbal orang
lain.
Cikal bakal empati dapat ditemu-kenali ketika bayi dalam kegelisahan mendengar suara tangis
bayi lainnya. Sejak usia sekitar satu tahun, anak mulai menyadari bahwa penderitaan orang lain
bukanlah penderitaannya sendiri, dan mulai pada usia tersebut hingga dua setengah tahun, anak
mengejahwantahkan "peniruan motorik", yaitu tindakan meniru secara motorik penderitaan
psikologis orang lain untuk makin memahami apa yang dirasakan oleh orang lain yang menderita
itu. Sejak usia dua setengah tahun, anak makin menunjukkan perbedaan kepekaan terhadap
kegelisahaan emosional orang lain. Tumbuh-kembang empati terkait dengan cara orang tua
mendisiplinkan anak mereka dan terkait pula dengan kesempatan yang anak dapatkan untuk
menyaksikan reaksi empatik orang lain di hadapan orang-orang yang mengalami penderitaan
psikologis. Pendisiplinan yang dilakukan dengan mengajak anak memperhatikan penderitaan
psikologis yang terjadi sebagai akibat perilakunya yang salah, akan menumbuh-kembangkan
keprihatinan empatik anak itu.
Pengalaman penyetalaan emosional (attunement) berulang yang terjadi di tengah hubungan orang
tua dan anak, akan memberikan perasaan pada anak bahwa dirinya diterima, ditanggapi dengan
tepat, dan secara emosional terkait tepat dengan orang tuanya. Sebaliknya, pengalaman ketidakselarasan emosional berulang akan mendorong anak untuk tidak mengekspresikan bahkan tidak
merasakan emosinya.
Keselarasan emosional tidak diperagakan dengan sekedar menirukan apa yang dilakukan bayi
atau anak. Ia diwujudkan dengan menampilkan kembali perasaan-perasaan mendalam bayi atau
anak itu. Hubungan klien-konselor/terapist dijalin untuk memberikan kembali pengalaman
keselarasan emosional kepada klien. Dalam kajian psikoanalisis, penghadiran kembali
pengalaman keselarasan emosional ini oleh terapist/konselor terhadap kliennya disebut miroring.
Kerusakan bagian kanan lobus frontalis menyebabkan manusia tidak bisa memahami pesan
emosional yang dibawa oleh kata-kata, kendatipun makna kata-kata itu bisa ia mengerti.
Penelitian penting Leslie Brothers menunjukkan peran amygdala dan asosiasi-asosiasinya dengan
cortex visualis sebagai landasan biologi empati atau komunikasi perasaan. Perwujudan empati
memerlukan tubuh yang tenang, yang memungkinkan tanda-tanda perasaan yang halus dari
orang lain diungkap oleh otak.
Martin Hoffman menegaskan bahwa akar-akar moralitas terdapat dalam empati, karena empati

terkait dengan pertimbangan moral ketika manusia menghadapi dilema calon korban, yaitu
mereka yang sedang dalam kesakitan, bahaya, atau kekurangan. Sejak usia dua tahun, ketika
anak sudah bisa menyadari bahwa dirinya bukanlah orang lain, ia makin bisa berempati. Pada
akhir masa kanak-kanak, empati meluas dan bisa terarah ke penderitaan kelompok. Pada masa
remaja kemampuan empati bertumbuh kembang menjadi keyakinan untuk meringankan
penderitaan dan mengurangi ketidak-adilan. Ini semua melandasi tindakan altruistik manusia
yang memiliki empati.
Ketiadaan empati atau "terbunuhnya" empati memunculkan kehidupan para psikopat, pemerkosa,
penganiaya anak, dan para penjahat berat lainnya. Kekerasan rumah tangga yang sering
terjadi juga disebabkan rendahnya empati pelaku yang melakukan kekerasan tersebut terhadap
korban. Ketidakmampuan orang-orang itu untuk merasakan penderitaan korban-korban mereka
menyebabkan mereka membohongi diri sendiri dengan dalih-dalih yang makin mendorong
perilaku kriminal mereka. Mereka justru memandang orang lain lewat lensa fantasi jahat mereka
sendiri, bukan melihat dengan empati untuk merasakan apa yang sesungguhnya dirasakan oleh
korban mereka.
Mengingat pentingnya kemampuan empati dalam hubungan antar manusia, maka upaya melatih
dan mengembangkan empati sedini mungkin pada individu perlu untuk dilakukan. Oleh karena
itu, rumah tangga merupakan institusi utama dan pertama yang penting bagi pengembangan
empati. Dalam konteks ini peran orangtua yang memiliki tanggapan empatik di lingkungan
keluarganya sendiri sangat dibutuhkan.
PEMBAHASAN
Goleman mengetengahkan semacam biopsikososiogenesis empati (tinjauan tentang kemunculan
dan tumbuh-kembang empati pada perspektif biologis, psikologis, sosial).
Bahasan akar-akar empati oleh Goleman tidak dilakukan pada perspektif konseling atau
psikoterapi, tetapi lebih mengetengahkan empati sebagai nilai kemanusiaan. Dalam kajian
konseling dan psikoterapi betapa ditegaskan pentingnya peran empati. Keefektifan proses
konseling tak dapat di pungkiri antara lain ditentukan oleh kemampuan empati konselor atau
psikoterapis.
Kemampuan empati tidak hanya sebatas merasakan bagaimana perasaan orang lain, tetapi juga
memerlukan kemampuan mengartikulasikan perasaan tersebut, sehingga orang lain merasa
dipahami (Blatner, 2002). Tidak semua individu mampu melakukan komunikasi yang diwarnai
empati, walau hal ini dapat dipelajari. Melatih anak untuk sedini mungkin mengembangkan
kemampuan empati, akan
mencegah pandangan stereotype / prasangka terhadap orang atau kelompok lain. Demikian pula
halnya dalam dunia pendidikan, peran para guru sebagai model juga membantu siswa belajar
perilaku empati. Salah satu cara dari berbagai teknik yang ada untuk mengembangkan
kemampuan empati adalah dengan teknik bermain peran. Role play atau bermain peran dinilai
sebagai teknik yang efektif dan akan membantu anak membentuk pemahaman yang lebih dalam
dan fleksibel (Harris, 1990), misal bagaimana rasanya berada pada posisi sebagai orangtua, guru,
teman yang dikucilkan. Termasuk dalam konteks ini adalah latihan berdebat pro-kontra di
Amerika. Peserta debat saling bergantian mengambil satu peran yang pro dan kemudian berperan
dalam posisi kontra atas satu topik tertentu. Dalam berkomunikasi dengan siswa, hendaknya guru

menampakkan kepedulian terhadap siswa sebagai individu. Hal ini akan membantu
mengembangkan sikap positif terhadap belajar, dan pendekatan positif terhadap guru serta siswa
lain (Gallagher, Bagin & Moore, 2005).
Pendidikan dan pelatihan konselor yang benar dan berhasil tidak sekedar membekali para
pesertanya dengan kepiawaian akademik yang mungkin membantu meningkatkan empati
kognitif mereka, melainkan juga mengoreksi dan memperbaiki defisiensi empati peserta, serta
merawat dalam kerangka menumbuh-kembangkan kemampuan empati emosional para
pesertanya (Trusty, Ng & Wattis, 2005).
Pada perspektif kesadaran multikultural yang semakin diperlukan di tengah pendidikan,
pelatihan, penelitian dan praktik konseling masa kini, pendidikan-pelatihan konselor perlu
mengejawantahkan berbagai upaya di antaranya:
Pencurahan pengalaman penyetalaan emosional (attunement) hari demi hari.
Praktik pendisiplinan yang berpretensi mengajak individu memahami penderitaan psikologis
orang lain serta;
Penampakan berulang teladan tanggapan empatik yang tepat terhadap orang lain yang
memerlukan
Ketiga upaya pokok diatas itu perlu ditumbuh-kembangkan dalam iklim relasi pada setiap
pendidkan-pelatihan para calon konselor agar iklim relasi ini dapat berperan korektif terhadap
kemungkinan defisiensi empati pada para calon konselor serta berperan menumbuhkembangkan
kemampuan empati setiap calon konselor.
Empati sangat dibutuhkan dalam relasi terapeutik. Bahkan dalam terapi client centered, iklim
terapi yang diwarnai empati menjadi syarat utama yang akan memberi efek mendukung bagi
tumbuhnya konsep diri positif pada klien atau konseli, sehingga konseli dapat mengatasi
persoalannya sendiri. Lebih lanjut dapat diungkapkan bahwa mengingat pentingnya kemampuan
empati dalam hubungan antar manusia, maka upaya melatih dan mengembangkan empati di
keluarga-keluarga, sekolah-sekolah dan lembaga-lembaga pendidikan lainnya perlu dilakukan
sedini mungkin.
Suatu penelitian yang dilakukan Britton dan Fuendeling (2005) menemukan bahwa rendahnya
kepedulian orangtua terhadap anak berkorelasi dengan perilaku antisosial anak. Semakin tinggi
kepedulian orangtua, semakin baik kemampuan adaptasi dan empati anak. Namun, para orangtua
yang overprotektif justru akan melemahkan kedua kemampuan (adaptasi dan empati) tersebut.
Hal yang juga penting diungkap dalam konteks peningkatan mutu empati seseorang adalah
berlatih menampakkan ekspresi-ekspresi atau isyarat-isyarat non-verbal yang membuat orang
lain merasa dimengerti dan diterima, karena kemampuan empati terutama melibatkan
kemampuan seseorang untuk membaca perasaan lewat pemahaman terhadap isyarat-isyarat
nonverbal orang lain. Pemahaman seperti ini membuat hubungan antar individu terjalin dengan
baik. Dalam kepustakaan konseling ditegaskan tentang keefektifan konseling (counseling
effectiveness) lebih ditentukan dari kecakapan konselor. Oleh karena itu, peran empati cukup
esensial yang diakui dalam teori-teori konseling, sehingga empati yang diwujud-nyatakan dalam
praktik konseling selama ini merupakan suatu keniscayaan untuk ditumbuh-kembangkan secara
sistemis di dunia pendidikan dan kehidupan masyarakat kita.
---oo0oo---

DAFTAR RUJUKAN
Blatner, A (2002), Using Role Playing in Teaching Empathy,
http//www.blatner.com/adam/pdntbk
Britton, P.C,. Fuendling, J.M. (2005). The Relations Among Varieties of Adult Attachment and
The Components of Empathy. The JournaL OF Social Psychology, October 2005, vol 145
Gallagher, D.R., Bagin, F., Moore, E.H.(2005). The School and Community Relations, Boston:
Pearson Education, Inc.
Goleman, D. (1995). Emotional Intelligence: Why it can matter more than IQ. New York:
Bantam Books
Harris, P. (1996). Violence and The School. Hawker Brownlow, Ed.
Trusty, J., Ng, K.M., Watts, R.E. (2005). Model of effects of adult attachment on emotional
empathy of counseling students. Journal of Counseling and Development, 83 (1), 66-77

Das könnte Ihnen auch gefallen