Sie sind auf Seite 1von 41

Benigna Prostat hiperplasia (BPH)

BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Pembesaran kelenjar prostat mempunyai angka morbiditas yang bermakna pada
populasi pria lanjut usia. Gejalanya merupakan keluhan yang umum dalam bidang bedah
urologi.
Hiperplasia prostat merupakan salah satu masalah kesehatan utama bagi pria diatas
usia 50 tahun dan berperan dalam penurunan kualitas hidup seseorang. Suatu penelitian
menyebutkan bahwa sepertiga dari pria berusia antara 50 dan 79 tahun mengalami hiperplasia
prostat.
Adanya hiperplasia ini akan menyebabkan terjadinya obstruksi saluran kemih dan
untuk mengatasi obstruksi ini dapat dilakukan dengan berbagai cara mulai dari tindakan yang
paling ringan yaitu secara konservatif (non operatif) sampai tindakan yang paling berat yaitu
operasi.
Saat ini terdapat pilihan tindakan non operatif seiring dengan kemajuan teknologi
dibidang urologi, sehingga merupakan suatu pilihan alternatif untuk penderita muda, kegiatan
seksual aktif, gangguan obstruksi ringan, high risk operasi dan pada penderita yang menolak
operasi.
I.2 Tujuan Penulisan
a. Mengetahui dan memahami tentang macam penatalaksanaan hiperplasia prostat
secara umum.
b. Mengetahui dan memahami macam terapi konservatif non operatif pada penderita
hiperplasia prostat.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Definisi
Benign Prostate Hypertrofia (BPH) sebenarnya adalah suatu keadaan dimana
kelenjar periuretral prostat mengalami hiperplasia yang akan mendesak jaringan prostat yang
asli ke perifer dan menjadi simpai bedah. 1,2
II.2 Anatomi
Prostat merupakan kelenjar berbentuk konus terbalik yang dilapisi oleh kapsul
fibromuskuler,yang terletak disebelah inferior vesika urinaria, mengelilingi bagian proksimal
uretra (uretra pars prostatika) dan berada disebelah anterior rektum. Bentuknya sebesar buah
kenari dengan berat normal pada orang dewasa kurang lebih 20 gram, dengan jarak basis ke
apex kurang lebih 3 cm, lebar yang paling jauh 4 cm dengan tebal 2,5 cm.12

Kelenjar prostat terbagi menjadi 5 lobus :


1. lobus medius
2. lobus lateralis (2 lobus)
3. lobus anterior
4.

lobus posterior 8,12

Selama perkembangannya lobus medius, lobus anterior, lobus posterior akan


menjadi satu dan disebut lobus medius saja. Pada penampang, lobus medius kadang-kadang
tak tampak karena terlalu kecil dan lobus lain tampak homogen berwarna abu-abu, dengan
kista kecil berisi cairan seperti susu, kista ini disebut kelenjar prostat.8
Mc Neal (1976) membagi kelenjar prostat dalam beberapa zona, antara lain adalah:
zona perifer, zona sentral, zona transisional, zona fibromuskuler anterior, dan zona
periuretral. Sebagian besar hiperplasia prostat terdapat pada zona transisional yang letaknya

proximal dari spincter externus di kedua sisi dari verumontanum dan di zona periuretral.
Kedua zona tersebut hanya merupakan 2% dari seluruh volume prostat. Sedangkan
pertumbuhan karsinoma prostat berasal dari zona perifer.7,11
Prostat mempunyai kurang lebih 20 duktus yang bermuara dikanan dari
verumontanum dibagian posterior dari uretra pars prostatika. Disebelah depan didapatkan
ligamentum pubo prostatika, disebelah bawah ligamentum triangulare inferior dan disebelah
belakang didapatkan fascia denonvilliers.
Fascia denonvilliers terdiri dari 2 lembar, lembar depan melekat erat dengan prostat
dan vesika seminalis, sedangkan lembar belakang melekat secara longgar dengan fascia
pelvis dan memisahkan prostat dengan rektum.
Antara fascia endopelvic dan kapsul sebenarnya dari prostat didapatkan jaringan peri
prostat yang berisi pleksus prostatovesikal.8
Pada potongan melintang kelenjar prostat terdiri dari :
1. Kapsul anatomi
2. Jaringan stroma yang terdiri dari jaringan fibrosa dan jaringan muskuler
3. Jaringan kelenjar yang terbagi atas 3 kelompok bagian,
a. Bagian luar disebut kelenjar prostat sebenarnya.
b. Bagian tengah disebut kelenjar submukosa, lapisan ini disebut juga
sebagai adenomatous zone
c.

Disekitar uretra disebut periurethral gland 12

Pada BPH kapsul pada prostat terdiri dari 3 lapis :


1. kapsul anatomis
2. kapsul chirurgicum, ini terjadi akibat terjepitnya kelenjar prostat yang
sebenarnya (outer zone) sehingga terbentuk kapsul

3. kapsul yang terbentuk dari jaringan fibromuskuler antara bagian dalam (inner
zone) dan bagian luar (outer zone) dari kelenjar prostat.12
BPH sering terjadi pada lobus lateralis dan lobus medialis karena mengandung
banyak jaringan kelenjar, tetapi tidak mengalami pembesaran pada bagian posterior daripada
lobus medius (lobus posterior) yang merupakan bagian tersering terjadinya perkembangan
suatu keganasan prostat. Sedangkan lobus anterior kurang mengalami hiperplasi karena
sedikit mengandung jaringan kelenjar.8,12
II.3 Epidemiologi
Hiperplasia prostat merupakan penyakit pada pria tua dan jarang ditemukan sebelum
usia 40 tahun. Prostat normal pada pria mengalami peningkatan ukuran yang lambat dari lahir
sampai pubertas, waktu itu ada peningkatan cepat dalam ukuran, yang kontinyu sampai usia
akhir 30-an. Pertengahan dasawarsa ke-5, prostat bisa mengalami perubahan hiperplasi.4
Prevalensi yang pasti di Indonesia belum diketahui tetapi berdasarkan kepustakaan
luar negeri diperkirakan semenjak umur 50 tahun 20%-30% penderita akan memerlukan
pengobatan untuk prostat hiperplasia. Yang jelas prevalensi sangat tergantung pada golongan
umur. Sebenarnya perubahan-perubahan kearah terjadinya pembesaran prostat sudah dimulai
sejak dini, dimulai pada perubahan-perubahan mikroskopoik yang kemudian bermanifestasi
menjadi kelainan makroskopik (kelenjar membesar) dan kemudian baru manifes dengan
gejala klinik.7
Berdasarkan angka autopsi perubahan mikroskopik pada prostat sudah dapat
ditemukan pada usia 30 40 tahun. Bila perubahan mikroskopik ini terus berkembang akan
terjadi perubahan patologi anatomi. Pada pria usia 50 tahun angka kejadiannya sekitar 50%,
dan pada usia 80 tahun sekitar 80%. Sekitar 50% dari angka tersebut diatas akan
menyebabkan gejala dan tanda klinik.1
II.4 Etiologi
Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti penyebab terjadinya hiperplasia
prostat, tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hiperplasia prostat erat kaitannya
dengan peningkatan kadar dehidrotestosteron (DHT) dan proses aging (menjadi tua).11

Beberapa teori atau hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya hiperplasia
prostat adalah:
1. Teori Hormonal
Teori ini dibuktikan bahwa sebelum pubertas dilakukan kastrasi maka tidak terjadi
BPH, juga terjadinya regresi BPH bila dilakukan kastrasi. Selain androgen
(testosteron/DHT),

estrogen

juga

berperan

untuk

terjadinya

BPH.

Dengan

bertambahnya usia akan terjadi perubahan keseimbangan hormonal, yaitu antara


hormon testosteron dan hormon estrogen, karena produksi testosteron menurun dan
terjadi konversi testosteron menjadi estrogen pada jaringan adiposa di perifer dengan
pertolongan enzim aromatase, dimana sifat estrogen ini akan merangsang terjadinya
hiperplasia pada stroma, sehingga timbul dugaan bahwa testosteron diperlukan untuk
inisiasi terjadinya proliferasi sel tetapi kemudian estrogenlah yang berperan untuk
perkembangan stroma. Kemungkinan lain ialah perubahan konsentrasi relatif
testosteron dan estrogen akan menyebabkan produksi dan potensiasi faktor
pertumbuhan lain yang dapat menyebabkan terjadinya pembesaran prostat.
Dari berbagai percobaan dan penemuan klinis dapat diperoleh kesimpulan, bahwa
dalam keadaan normal hormon gonadotropin hipofise akan menyebabkan produksi
hormon androgen testis yang akan mengontrol pertumbuhan prostat. Dengan makin
bertambahnya usia, akan terjadi penurunan dari fungsi testikuler (spermatogenesis)
yang akan menyebabkan penurunan yang progresif dari sekresi androgen. Hal ini
mengakibatkan hormon gonadotropin akan sangat merangsang produksi hormon
estrogen oleh sel sertoli. Dilihat dari fungsional histologis, prostat terdiri dari dua
bagian yaitu sentral sekitar uretra yang bereaksi terhadap estrogen dan bagian perifer
yang tidak bereaksi terhadap estrogen.
2. Teori Growth Factor (faktor pertumbuhan)
Peranan dari growth factor ini sebagai pemacu pertumbuhan stroma kelenjar prostat.
Terdapat empat peptic growth factor yaitu; basic transforming growth factor,
transforming growth factor 1, transforming growth factor 2, dan epidermal
growth factor.

3. Teori Peningkatan Lama Hidup Sel-sel Prostat karena Berkuramgnya Sel yang Mati
4. Teori Sel Stem (stem cell hypothesis)
Seperti pada organ lain, prostat dalam hal ini kelenjar periuretral pada seorang
dewasa berada dalam keadaan keseimbangan steady state, antara pertumbuhan sel
dan sel yang mati, keseimbangan ini disebabkan adanya kadar testosteron tertentu
dalam jaringan prostat yang dapat mempengaruhi sel stem sehingga dapat
berproliferasi. Pada keadaan tertentu jumlah sel stem ini dapat bertambah sehingga
terjadi proliferasi lebih cepat. Terjadinya proliferasi abnormal sel stem sehingga
menyebabkan produksi atau proliferasi sel stroma dan sel epitel kelenjar periuretral
prostat menjadi berlebihan.
5. Teori Dihydro Testosteron (DHT)
Testosteron yang dihasilkan oleh sel leydig pada testis (90%) dan sebagian dari
kelenjar adrenal (10%) masuk dalam peredaran darah dan 98% akan terikat oleh
globulin menjadi sex hormon binding globulin (SHBG). Sedang hanya 2% dalam
keadaan testosteron bebas. Testosteron bebas inilah yang bisa masuk ke dalam
target cell yaitu sel prostat melewati membran sel langsung masuk kedalam
sitoplasma, di dalam sel, testosteron direduksi oleh enzim 5 alpha reductase menjadi
5 dyhidro testosteron yang kemudian bertemu dengan reseptor sitoplasma menjadi
hormone receptor complex. Kemudian hormone receptor complex ini
mengalami transformasi reseptor, menjadi nuclear receptor yang masuk kedalam
inti yang kemudian melekat pada chromatin dan menyebabkan transkripsi m-RNA.
RNA ini akan menyebabkan sintese protein menyebabkan terjadinya pertumbuhan
kelenjar prostat.
6. Teori Reawakening
Mc Neal tahun 1978 menulis bahwa lesi pertama bukan pembesaran stroma pada
kelenjar periuretral (zone transisi) melainkan suatu mekanisme glandular budding
kemudian bercabang yang menyebabkan timbulnya alveoli pada zona preprostatik.
Persamaan epiteleal budding dan glandular morphogenesis yang terjadi pada
embrio dengan perkembangan prostat ini, menimbulkan perkiraan adanya

reawakening yaitu jaringan kembali seperti perkembangan pada masa tingkat


embriologik, sehingga jaringan periuretral dapat tumbuh lebih cepat dari jaringan
sekitarnya, sehingga teori ini terkenal dengan nama teori reawakening of embryonic
induction potential of prostatic stroma during adult hood.
Selain teori-teori di atas masih banyak lagi teori yang menerangkan tentang
penyebab terjadinya BPH seperti; teori tumor jinak, teori rasial dan faktor sosial,
teori infeksi dari zat-zat yang belum diketahui, teori yang berhubungan dengan
aktifitas hubungan seks, teori peningkatan kolesterol, dan Zn yang kesemuanya
tersebut masih belum jelas hubungan sebab-akibatnya.3,7,8,12
II.5 Patofisiologi
Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra pars prostatika dan
akan menghambat aliran urine. Keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan intravesikal.
Untuk dapat mengeluarkan urin, buli-buli harus berkontraksi lebih kuat guna melawan
tahanan itu. Kontraksi yang terus-menerus ini menyebabkan perubahan anatomik dari bulibuli berupa hipertrofi otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sakula, dan divertikel
buli-buli. Fase penebalan otot detrusor ini disebut fase kompensasi.
Perubahan struktur pada buli-buli dirasakan oleh pasien sebagai keluhan pada
saluran kemih sebelah bawah atau lower urinary tract symptom (LUTS) yang dahulu dikenal
dengan gejala-gejala prostatismus.
Dengan semakin meningkatnya resistensi uretra, otot detrusor masuk ke dalam fase
dekompensasi dan akhirnya tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi retensi
urin. Tekanan intravesikal yang semakin tinggi akan diteruskan ke seluruh bagian buli-buli
tidak terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara ureter ini dapat
menimbulkan aliran balik urin dari buli-buli ke ureter atau terjadi refluks vesico-ureter.
Keadaan ini jika berlangsung terus akan mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis, bahkan
akhirnya dapat jatuh ke dalam gagal ginjal.2,11
Pada BPH terdapat dua komponen yang berpengaruh untuk terjadinya gejala yaitu
komponen mekanik dan komponen dinamik. Komponen mekanik ini berhubungan dengan
adanya pembesaran kelenjar periuretra yang akan mendesak uretra pars prostatika sehingga

terjadi gangguan aliran urine (obstruksi infra vesikal) sedangkan komponen dinamik meliputi
tonus otot polos prostat dan kapsulnya, yang merupakan alpha adrenergik reseptor. Stimulasi
pada alpha adrenergik reseptor akan menghasilkan kontraksi otot polos prostat ataupun
kenaikan tonus. Komponen dinamik ini tergantung dari stimulasi syaraf simpatis, yang juga
tergantung dari beratnya obstruksi oleh komponen mekanik.8
II.6 Gambaran Klinis
II.6.1 Gejala
Gejala hiperplasia prostat menurut Boyarsky dkk pada tahun 1977 dibagi atas gejala
obstruktif dan gejala iritatif.
Gejala obstruktif disebabkan oleh karena penyempitan uretara pars prostatika karena
didesak oleh prostat yang membesar dan kegagalan otot detrusor untuk berkontraksi cukup
kuat dan atau cukup lama saehingga kontraksi terputus-putus. Gejalanya ialah :
1. Harus menunggu pada permulaan miksi (Hesistency)
2. Pancaran miksi yang lemah (Poor stream)
3. Miksi terputus (Intermittency)
4. Menetes pada akhir miksi (Terminal dribbling)
5. Rasa belum puas sehabis miksi (Sensation of incomplete bladder emptying).2,3
Manifestasi klinis berupa obstruksi pada penderita hipeplasia prostat masih
tergantung tiga faktor yaitu :
1. Volume kelenjar periuretral
2. Elastisitas leher vesika, otot polos prostat dan kapsul prostat
3. Kekuatan kontraksi otot detrusor
Tidak semua prostat yang membesar akan menimbulkan gejala obstruksi, sehingga
meskipun volume kelenjar periuretal sudah membesar dan elastisitas leher vesika, otot polos

prostat dan kapsul prostat menurun, tetapi apabila masih dikompensasi dengan kenaikan daya
kontraksi otot detrusor maka gejala obstruksi belum dirasakan.7
Pemeriksaan derajat beratnya obstruksi prostat dapat diperkirakan dengan cara
mengukur :
a. Residual urine yaitu jumlah sisa urin setelah penderita miksi spontan. Sisa urin ini
dapat dihitung dengan pengukuran langsung yaitu dengan cara melakukan
kateterisasi

setelah

miksi

spontan

atau

ditentukan

dengan

pemeriksaan

ultrasonografi setelah miksi, dapat pula dilakukan dengan membuat foto post
voiding pada waktu membuat IVP. Pada orang normal sisa urin biasanya kosong,
sedang pada retensi urin total sisa urin dapat melebihi kapasitas normal vesika. Sisa
urin lebih dari 100 cc biasanya dianggap sebagai batas indikasi untuk melakukan
intervensi pada penderita prostat hipertrofi.
b. Pancaran urin atau flow rate dapat dihitung secara sederhana yaitu dengan
menghitung jumlah urin dibagi dengan lamanya miksi berlangsung (ml/detik) atau
dengan alat uroflowmetri yang menyajikan gambaran grafik pancaran urin. Untuk
dapat melakukan pemeriksaan uroflow dengan baik diperlukan jumlah urin minimal
di dalam vesika 125 sampai 150 ml. Angka normal untuk flow rata-rata (average
flow rate) 10 sampai 12 ml/detik dan flow maksimal sampai sekitar 20 ml/detik.
Pada obstruksi ringan flow rate dapat menurun sampai average flow antara 6-8
ml/detik, sedang maksimal flow menjadi 15 mm/detik atau kurang. Dengan
pengukuran flow rate tidak dapat dibedakan antara kelemahan detrusor dengan
obstruksi infravesikal.
Obstruksi uretra menyebabkan bendungan saluran kemih sehingga mengganggu faal
ginjal karena hidronefrosis, menyebabkan infeksi dan urolithiasis. Tindakan untuk
menentukan diagnosis penyebab obstruksi maupun menentukan kemungkinan penyulit harus
dilakukan secara teratur.1,3,11
Gejala iritatif disebabkan oleh karena pengosongan vesica urinaris yang tidak
sempurna pada saat miksi atau disebabkan oleh karena hipersensitifitas otot detrusor karena
pembesaran prostat menyebabkan rangsangan pada vesica, sehingga vesica sering
berkontraksi meskipun belum penuh., gejalanya ialah :

1. Bertambahnya frekuensi miksi (Frequency)


2. Nokturia
3. Miksi sulit ditahan (Urgency)
4. Disuria (Nyeri pada waktu miksi) (P/UI)
Gejala-gejala tersebut diatas sering disebut sindroma prostatismus. Secara klinis
derajat berat gejala prostatismus itu dibagi menjadi :
Grade I : Gejala prostatismus + sisa kencing <>
Grade II : Gejala prostatismus + sisa kencing > 50 ml
Grade III : Retensi urin dengan sudah ada gangguan saluran kemih bagian atas + sisa
urin > 150 ml 7
Derajat berat gejala klinik prostat hiperplasia ini dipakai untuk menentukan derajat
berat keluhan subyektif, yang ternyata tidak selalu sesuai dengan besarnya volume prostat.
Gejala iritatif yang sering dijumpai ialah bertambahnya frekuensi miksi yang biasanya lebih
dirasakan pada malam hari. Sering miksi pada malam hari disebut nocturia, hal ini
disebabkan oleh menurunnya hambatan kortikal selama tidur dan juga menurunnya tonus
spingter dan uretra. Simptom obstruksi biasanya lebih disebabkan oleh karena prostat dengan
volume besar. Apabila vesica menjadi dekompensasi maka akan terjadi retensi urin sehingga
pada akhir miksi masih ditemukan sisa urin didalam vesica, hal ini menyebabkan rasa tidak
bebas pada akhir miksi. Jika keadaan ini berlanjut pada suatu saat akan terjadi kemacetan
total, sehingga penderita tidak mampu lagi miksi. Oleh karena produksi urin akan terus
terjadi maka pada suatu saat vesica tidak mampu lagi menampung urin sehingga tekanan
intravesica akan naik terus dan apabila tekanan vesica menjadi lebih tinggi daripada tekanan
spingter akan terjadi inkontinensia paradoks (over flow incontinence). Retensi kronik dapat
menyebabkan terjadinya refluk vesico uretra dan meyebabkan dilatasi ureter dan sistem
pelviokalises ginjal dan akibat tekanan intravesical yang diteruskam ke ureter dari ginjal
maka ginjal akan rusak dan terjadi gagal ginjal. Proses kerusakan ginjal dapat dipercepat bila
ada infeksi. Disamping kerusakan tractus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik
penderita harus selalu mengedan pada waktu miksi, maka tekanan intra abdomen dapat

menjadi meningkat dan lama kelamaan akan menyebabkan terjadinya hernia, hemoroid. Oleh
karena selalu terdapat sisa urin dalam vesica maka dapat terbentuk batu endapan didalam
vesica dan batu ini dapat menambah keluhan iritasi dan menimbulkan hematuri. Disamping
pembentukan batu, retensi kronik dapat pula menyebabkan terjadinya infeksi sehingga terjadi
systitis dan apabila terjadi refluk dapat terjadi juga pielonefritis.3
Keluhan-keluhan diatas biasanya disusun dalam bentuk skor simtom. Terdapat
beberapa jenis klasifikasi yang dapat digunakan untuk membantu diagnosis dan menentukan
tingkat beratnya penyakit, diantaranya adalah skor internasional gejala-gajala prostat WHO
(International Prostate Symptom Score, IPSS) dan skor Madsen Iversen.
Tabel 1. Skor Madsen Iversen dalam bahasa Indonesia

Pertanyaan

Pancaran

Normal

Berubah-ubah

Mengedan pada Tidak


saat berkemih

Lemah

Menetes

Ya

Harus menunggu Tidak


pada saat akan
kencing

Ya

Buang air kecil Tidak


terputus-putus

Ya

Kencing tidak
lampias

Tidak
tahu

Berubah-ubah

Inkontinensia

Kencing sulit
ditunda

Tidak
lampias

1
kali >1 kali
retensi
retensi

Ya

Tidak ada

Ringan

Sedang

Berat

Kencing malam
hari

0-1

3-4

>4

Kencing siang
hari

>3
jam Setiap 2-3 jam Setiap 1-2 <1>
sekali
sekali
jam sekali

Tabel 2. Skor internasional gejala-gejala prostat WHO (International Prostate


Symptom Score, IPSS)

Pertanyaan

Keluhan
terakhir

pada

bulan

Tidak
sama
sekali

<1>

>5
sampai 15
kali

15 kali

> 15 kali

Hampir selalu

Adakah anda merasa


buli-buli tidak kosong
setelah buang air kecil

Berapa kali anda hendak


buang air kecil lagi
dalam waktu 2 jam
setelah buang air kecil

Berapa kali terjadi air


kencing
berhenti
sewaktu buang air kecil

Berapa kali anda tidak


dapat
menahan
keinginan buang air
kecil

Berapa kali arus air seni


lemah sekali sewaktu
buang kecil

Berapa kali terjadi anda


mengalami kesulitan

memulai buang air kecil


(harus mengejan)

Berapa
kali
anda
bangun untuk buang air
kacil di waktu malam

Andaikata hal yang


anda alami sekarang
akan tetap berlangsung
seumur hidup,
bagaimana perasaan
anda

Sangat
senang

Cukup
senag

Biasa saja

Agak
tidak
senang

Tidak
menyenangka
n

Sangat
tidak
menyenangkan

Jumlah nilai :
0 = baik sekali
1 = baik
2 = kurang baik
3 = kurang
4 = buruk
5 = buruk sekali
II.6.2 Tanda
a. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan colok dubur atau Digital Rectal Eamination (DRE) sangat penting.
Pemeriksaan colok dubur dapat memberikan gambaran tentang keadaan tonus
spingter ani, reflek bulbo cavernosus, mukosa rektum, adanya kelainan lain seperti
benjolan pada di dalam rektum dan tentu saja teraba prostat. Pada perabaan prostat
harus diperhatikan :
a. Konsistensi prostat (pada hiperplasia prostat konsistensinya kenyal)

b. Adakah asimetris
c. Adakah nodul pada prostate
d. Apakah batas atas dapat diraba
e. Sulcus medianus prostate
f. Adakah krepitasi
Colok dubur pada hiperplasia prostat menunjukkan konsistensi prostat kenyal seperti
meraba ujung hidung, lobus kanan dan kiri simetris dan tidak didapatkan nodul. Sedangkan
pada carcinoma prostat, konsistensi prostat keras dan atau teraba nodul dan diantara lobus
prostat tidak simetris. Sedangkan pada batu prostat akan teraba krepitasi.
Pemeriksaan fisik apabila sudah terjadi kelainan pada traktus urinaria bagian atas
kadang-kadang ginjal dapat teraba dan apabila sudah terjadi pnielonefritis akan disertai sakit
pinggang dan nyeri ketok pada pinggang. Vesica urinaria dapat teraba apabila sudah terjadi
retensi total, daerah inguinal harus mulai diperhatikan untuk mengetahui adanya hernia.
Genitalia eksterna harus pula diperiksa untuk melihat adanya kemungkinan sebab yang lain
yang dapat menyebabkan gangguan miksi seperti batu di fossa navikularis atau uretra
anterior, fibrosis daerah uretra, fimosis, condiloma di daerah meatus.
Pada pemeriksaan abdomen ditemukan kandung kencing yang terisi penuh dan
teraba masa kistus di daerah supra simfisis akibat retensio urin dan kadang terdapat nyeri
tekan supra simfisis.
2. Pemeriksaan laboratorium
a. Darah : - Ureum dan Kreatinin
- Elektrolit
- Blood urea nitrogen
- Prostate Specific Antigen (PSA)
- Gula darah

b. Urin : - Kultur urin + sensitifitas test


- Urinalisis dan pemeriksaan mikroskopik
- Sedimen
3. Pemeriksaan pencitraan
a. Foto polos abdomen (BNO)
Dari sini dapat diperoleh keterangan mengenai penyakit ikutan misalnya batu saluran
kemih, hidronefrosis, atau divertikel kandung kemih juga dapat untuk menghetahui
adanya metastasis ke tulang dari carsinoma prostat.
b. Pielografi Intravena (IVP)
- pembesaran prostat dapat dilihat sebagai lesi defek isian kontras (filling
defect/indentasi prostat) pada dasar kandung kemih atau ujung distal ureter
membelok keatas berbentuk seperti mata kail (hooked fish).
- mengetahui adanya kelainan pada ginjal maupun ureter berupa hidroureter ataupun
hidronefrosis serta penyulit yang terjadi pada buli buli yaitu adanya trabekulasi,
divertikel atau sakulasi buli buli.
- foto setelah miksi dapat dilihat adanya residu urin
c. Sistogram retrograd
Apabila penderita sudah dipasang kateter oleh karena retensi urin, maka sistogram
retrograd dapat pula memberi gambaran indentasi.
d. Transrektal Ultrasonografi (TRUS)
- deteksi pembesaran prostat
- mengukur volume residu urin
e. MRI atau CT jarang dilakukan

Digunakan untuk melihat pembesaran prostat dan dengan bermacam macam


potongan.
4. Pemeriksaan lain
a. Uroflowmetri
Untuk mengukur laju pancaran urin miksi. Laju pancaran urin ditentukan oleh :
- daya kontraksi otot detrusor
- tekanan intravesica
- resistensi uretra
Angka normal laju pancaran urin ialah 12 ml/detik dengan puncak laju pancaran
mendekati 20 ml/detik. Pada obstruksi ringan, laju pancaran melemah menjadi 6 8
ml/detik dengan puncaknya sekitar 11 15 ml/detik. Semakin berat derajat obstruksi
semakin lemah pancaran urin yang dihasilkan.
a. Pemeriksaan Tekanan Pancaran (Pressure Flow Studies)
Pancaran urin melemah yang diperoleh atas dasar pemeriksaan uroflowmetri tidak
dapat membedakan apakah penyebabnya adalah obstruksi atau daya kontraksi otot
detrusor yang melemah. Untuk membedakan kedua hal tersebut dilakukan
pemeriksaan tekanan pancaran dengan menggunakan Abrams-Griffiths Nomogram.
Dengan cara ini maka sekaligus tekanan intravesica dan laju pancaran urin dapat
diukur.
a. Pemeriksaan Volume Residu Urin
Volume residu urin setelah miksi spontan dapat ditentukan dengan cara sangat
sederhana dengan memasang kateter uretra dan mengukur berapa volume urin yang
masih tinggal. Pemeriksaan sisa urin dapat juga diperiksa (meskipun kurang akurat)
dengan membuat foto post voiding atau USG.1,2,3,7,8
II.7 Diagnosis
Diagnosis hiperplasia prostat dapat ditegakkan melalui :

1. Anamnesis : gejala obstruktif dan gejala iritatif


2. Pemeriksaan fisik : terutama colok dubur ; hiperplasia prostat teraba sebagai prostat
yang membesar, konsistensi kenyal, permukaan rata, asimetri dan menonjol ke
dalam rektum. Semakin berat derajat hiperplasia prostat batas atas semakin sulit
untuk diraba.
3. Pemeriksaan laboratorium : berperan dalam menentukan ada tidaknya komplikasi.
4. Pemeriksaan pencitraan :
Pada pielografi intravena terlihat adanya lesi defek isian kontras pada dasar kandung
kemih atau ujung distal ureter membelok ke atas berbentuk seperti mata kail.
Dengan trans rectal ultra sonography (TRUS), dapat terlihat prostat yang membesar.
5. Uroflowmetri : tampak laju pancaran urin berkurang.
6.

Mengukur volume residu urin : Pada hiperplasi prostat terdapat volume residu urin
yang meningkat sesuai dengan beratnya obstruksi (lebih dari 150 ml dianggap
sebagai batas indikasi untuk melakukan intervensi).2

II.8 Diagnosis Banding


1. Kelemahan detrusor kandung kemih
a. kelainan medula spinalis
b. neuropatia diabetes mellitus
c. pasca bedah radikal di pelvis
d. farmakologik
2. Kandung kemih neuropati, disebabkan oleh :
a. kelainan neurologik
b. neuropati perifer

c. diabetes mellitus
d. alkoholisme
e. farmakologik (obat penenang, penghambat alfa dan parasimpatolitik)
3. Obstruksi fungsional :
a. dis-sinergi detrusor-sfingter terganggunya koordinasi antara kontraksi detrusor
dengan relaksasi sfingter
b. ketidakstabilan detrusor
4. Kekakuan leher kandung kemih :
a. fibrosis
5. Resistensi uretra yang meningkat disebabkan oleh :
a. hiperplasia prostat jinak atau ganas
b. kelainan yang menyumbatkan uretra
c. uretralitiasis
d. uretritis akut atau kronik
e. striktur uretra
6.

Prostatitis akut atau kronis 1,2

II.9 Kriteria Pembesaran Prostat


Untuk menentukan kriteria prostat yang membesar dapat dilakukan dengan beberapa
cara, diantaranya adalah :
1. Rektal grading
Berdasarkan penonjolan prostat ke dalam rektum :

- derajat 1 : penonjolan 0-1 cm ke dalam rektum


- derajat 2 : penonjolan 1-2 cm ke dalam rektum
- derajat 3 : penonjolan 2-3 cm ke dalam rektum
- derajat 4 : penonjolan > 3 cm ke dalam rektum
2. Berdasarkan jumlah residual urine
- derajat 1 : <>
- derajat 2 : 50-100 ml
- derajat 3 : >100 ml
- derajat 4 : retensi urin total
3. Intra vesikal grading
- derajat 1 : prostat menonjol pada bladder inlet
- derajat 2 : prostat menonjol diantara bladder inlet dengan muara ureter
- derajat 3 : prostat menonjol sampai muara ureter
- derajat 4 : prostat menonjol melewati muara ureter
4. Berdasarkan pembesaran kedua lobus lateralis yang terlihat pada uretroskopi :
- derajat 1 : kissing 1 cm
- derajat 2 : kissing 2 cm
- derajat 3 : kissing 3 cm
- derajat 4 : kissing >3 cm 8
II.10 Komplikasi

Dilihat dari sudut pandang perjalanan penyakitnya, hiperplasia prostat dapat


menimbulkan komplikasi sebagai berikut :
1. Inkontinensia Paradoks
2. Batu Kandung Kemih
3. Hematuria
4. Sistitis
5. Pielonefritis
6. Retensi Urin Akut Atau Kronik
7. Refluks Vesiko-Ureter
8. Hidroureter
9. Hidronefrosis
10. Gagal Ginjal 2
II.11 Penatalaksanaan
Hiperplasi prostat yang telah memberikan keluhan klinik biasanya akan
menyebabkan penderita datang kepada dokter. Derajat berat gejala klinik dibagi menjadi
empat gradasi berdasarkan penemuan pada colok dubur dan sisa volume urin. Derajat satu,
apabila ditemukan keluhan prostatismus, pada colok dubur ditemukan penonjolan prostat,
batas atas mudah diraba dan sisa urin kurang dari 50 ml. Derajat dua, apabila ditemukan
tanda dan gejala sama seperti pada derajat satu, prostat lebih menonjol, batas atas masih dapat
teraba dan sisa urin lebih dari 50 ml tetapi kurang dari 100 ml. Derajat tiga, seperti derajat
dua, hanya batas atas prostat tidak teraba lagi dan sisa urin lebih dari 100 ml, sedangkan
derajat empat, apabila sudah terjadi retensi urin total. Organisasi kesehatan dunia (WHO)
menganjurkan klasifikasi untuk menentukan berat gangguan miksi yang disebut WHO PSS
(WHO prostate symptom score). Skor ini berdasarkan jawaban penderita atas delapan
pertanyaan mengenai miksi. Terapi non bedah dianjurkan bila WHO PSS tetap dibawah 15.

Untuk itu dianjurkan melakukan kontrol dengan menentukan WHO PSS. Terapi bedah
dianjurkan bila WHO PSS 25 ke atas atau bila timbul obstruksi.1,2
Di dalam praktek pembagian derajat beratnya hiperplasia prostat derajat I-IV
digunakan untuk menentukan cara penanganan. Pada penderita dengan derajat satu biasanya
belum memerlukan tindakan operatif, melainkan dapat diberikan pengobatan secara
konservatif. Pada penderita dengan derajat dua sebenarnya sudah ada indikasi untuk
melakukan intervensi operatif, dan yang sampai sekarang masih dianggap sebagai cara
terpilih ialah trans uretral resection (TUR). Kadang-kadang derajat dua penderita masih
belum mau dilakukan operasi, dalam keadaan seperti ini masih bisa dicoba dengan
pengobatan konservatif. Pada derajat tiga, TUR masih dapat dikerjakan oleh ahli urologi yang
cukup berpengalaman melakukan TUR oleh karena biasanya pada derajat tiga ini besar
prostat sudah lebih dari 60 gram. Apabila diperkirakan prostat sudah cukup besar sehingga
reseksi tidak akan selesai dalam satu jam maka sebaiknya dilakukan operasi terbuka. Pada
hiperplasia prostat derajat empat tindakan pertama yang harus segera dikerjakan ialah
membebaskan penderita dari retensi urin total, dengan jalan memasang kateter atau
memasang sistostomi setelah itu baru dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk melengkapi
diagnostik, kemudian terapi definitif dapat dengan TUR P atau operasi terbuka.1,2
Terapi sedini mungkin sangat dianjurkan untuk mengurangi gejala, meningkatkan
kualitas hidup dan menghindari komplikasi akibat obstruksi yang berkepanjangan. Tindakan
bedah masih merupakan terapi utama untuk hiperplasia prostat (lebih dari 90% kasus).
Meskipun demikian pada dekade terakhir dikembangkan pula beberapa terapi non-bedah
yang mempunyai keunggulan kurang invasif dibandingkan dengan terapi bedah. Mengingat
gejala klinik hiperplasia prostat disebabkan oleh 3 faktor yaitu pembesaran kelenjar
periuretral, menurunnya elastisitas leher vesika, dan berkurangnya kekuatan detrusor, maka
pengobatan gejala klinik ditujukan untuk :
1. Menghilangkan atau mengurangi volume prostat
2. Mengurangi tonus leher vesika, otot polos prostat dan kapsul prostat
3. Melebarkan uretra pars prostatika, menambah kekuatan detrusor 2,7
Terdapat beberapa pilihan tindakan terapi didalam penatalaksanaan hiperplasia
prostat benigna yang dapat dibagi kedalam 4 macam golongan tindakan, yaitu :

1. Observasi (Watchful waiting)


2. Medikamentosa
a. Penghambat adrenergik
b. Fitoterapi
c. Hormonal
1. Operatif
a. Prostatektomi terbuka
- Retropubic infravesika (Terence millin)
- Suprapubic transvesica/TVP (Freyer)
- Transperineal
b. Endourologi
- Trans urethral resection (TUR)
- Trans urethral incision of prostate (TUIP)
- Pembedahan dengan laser (Laser Prostatectomy)
Trans urethral ultrasound guided laser induced prostatectomy (TULIP)
Trans urethral evaporation of prostate (TUEP)
Teknik koagulasi
1. Invasif minimal
- Trans urethral microwave thermotherapy (TUMT)
- Trans urethral ballon dilatation (TUBD)
- Trans urethral needle ablation (TUNA)

- Stent urethra dengan prostacath 11


Tujuan terapi pada pasien hiperplasia prostat adalah menghilangkan obstruksi pada
leher buli-buli. Hal ini dapat dicapai dengan cara medikamentosa, pembedahan, atau tindakan
endourologi yang kurang invasif. Mengenai penatalaksanaan konservatif non operatif akan
dibahas pada bab tersendiri, pada bab ini hanya akan dibahas tentang penatalaksanaan secara
operatif saja yang terbagi dalam prostatektomi terbuka dan prostatektomi endourologi.
1. Prostatektomi terbuka
a. Retropubic infravesica (Terence Millin)
Keuntungan :
- Tidak ada indikasi absolut, baik untuk adenoma yang besar pada subservikal
- Mortaliti rate rendah
- Langsung melihat fossa prostat
- Dapat untuk memperbaiki segala jenis obstruksi leher buli
- Perdarahan lebih mudah dirawat
- Tanpa membuka vesika sehingga pemasangan kateter tidak perlu selama bila
membuka vesika
Kerugian :
- Dapat memotong pleksus santorini
- Mudah berdarah
- Dapat terjadi osteitis pubis
- Tidak bisa untuk BPH dengan penyulit intravesikal
- Tidak dapat dipakai kalau diperlukan tindakan lain yang harus dikerjakan dari
dalam vesika

Komplikasi :
- Perdarahan
- Infeksi
- Osteitis pubis
- Trombosis
b. Suprapubic Transvesica/TVP (Freeyer)
Keuntungan :
- Baik untuk kelenjar besar
- Banyak dikerjakan untuk semua jenis pembesaran prostat
- Operasi banyak dipergunakan pada hiperplasia prostat dengan penyulit :
1. Batu buli
2. Batu ureter distal
3. Divertikel
4. Uretrokel
5. Adanya sistsostomi
6. Retropubik sulit karena kelainan os pubis
- Kerusakan spingter eksterna minimal
Kerugian :
- Memerlukan pemakain kateter lebih lama sampai luka pada dinding vesica
sembuh
- Sulit pada orang gemuk

- Sulit untuk kontrol perdarahan


- Merusak mukosa kulit
- Mortality rate 1 -5 %
Komplikasi :
- Striktura post operasi (uretra anterior 2 5 %, bladder neck stenosis 4%)
- Inkontinensia (<1%)
- Perdarahan
- Epididimo orchitis
- Recurent (10 20%)
- Carcinoma
- Ejakulasi retrograde
- Impotensi
- Fimosis
- Deep venous trombosis
c. Transperineal
Keuntungan :
- Dapat langssung pada fossa prostat
- Pembuluh darah tampak lebih jelas
- Mudah untuk pinggul sempit
- Langsung biopsi untuk karsinoma

Kerugian :
- Impotensi
- Inkontinensia
- Bisa terkena rektum
- Perdarahan hebat
- Merusak diagframa urogenital
2 Prostatektomi Endourologi
a. Trans urethral resection (TUR)
Yaitu reseksi endoskopik malalui uretra. Jaringan yang direseksi hampir
seluruhnya terdiri dari jaringan kelenjar sentralis. Jaringan perifer ditinggalkan
bersama kapsulnya. Metode ini cukup aman, efektif dan berhasil guna, bisa terjadi
ejakulasi retrograd dan pada sebagaian kecil dapat mengalami impotensi. Hasil
terbaik diperoleh pasien yang sungguh membutuhkan tindakan bedah. Untuk
keperluan tersebut, evaluasi urodinamik sangat berguna untuk membedakan
pasien dengan obstruksi dari pasien non-obstruksi. Evaluasi ini berperan selektif
dalam penentuan perlu tidaknya dilakukan TUR. Suatu penelitian menyebutkan
bahwa hasil obyektif TUR meningkat dari 72% menjadi 88% dengan
mengikutsertakan evaluasi urodinamik pada penilaian pra-bedah dari 152 pasien.
Mortalitas TUR sekitar 1% dan morbiditas sekitar 8%.
Saat ini tindakan TUR P merupakan tindakan operasi paling banyak dikerjakan di
seluruh

dunia.

Reseksi

kelenjar

prostat

dilakukan

trans-uretra

dengan

mempergunakan cairan irigan (pembilas) agar supaya daerah yang akan direseksi
tetap terang dan tidak tertutup oleh darah. Cairan yang dipergunakan adalah
berupa larutan non ionik, yang dimaksudkan agar tidak terjadi hantaran listrik
pada saat operasi. Cairan yang sering dipakai dan harganya cukup murah adalah
H2O steril (aquades).

Salah satu kerugian dari aquades adalah sifatnya yang hipotonik sehingga cairan
ini dapat masuk ke sirkulasi sistemik melalui pembuluh darah vena yang terbuka
pada saat reseksi. Kelebihan air dapat menyebabkan terjadinya hiponatremia
relatif atau gejala intoksikasi air atau dikenal dengan sindroma TUR P. Sindroma
ini ditandai dengan pasien yang mulai gelisah, kesadaran somnolen, tekanan darah
meningkat, dan terdapat bradikardi.
Jika tidak segera diatasi, pasien akan mengalami edema otak yang akhirnya jatuh
dalam keadaan koma dan meninggal. Angka mortalitas sindroma TUR P ini adalah
sebesar 0,99%. Karena itu untuk mengurangi timbulnya sindroma TUR P dipakai
cairan non ionik yang lain tetapi harganya lebih mahal daripada aquades, antara
lain adalah cairan glisin , membatasi jangka waktu operasi tidak melebihi 1 jam,
dan memasang sistostomi suprapubik untuk mengurangi tekanan air pada buli-buli
selama reseksi prostat.
Keuntungan :
- Luka incisi tidak ada
- Lama perawatan lebih pendek
- Morbiditas dan mortalitas rendah
- Prostat fibrous mudah diangkat
- Perdarahan mudah dilihat dan dikontrol
Kerugian :
- Tehnik sulit
- Resiko merusak uretra
- Intoksikasi cairan
- Trauma spingter eksterna dan trigonum
- Tidak dianjurkan untuk BPH yang besar

- Alat mahal
- Ketrampilan khusus
b. Trans Urethral Incision of Prostate (TUIP)
Metode ini di indikasikan untuk pasien dengan gejala obstruktif, tetapi ukuran
prostatnya mendekati normal. Pada hiperplasia prostat yang tidak begitu besar dan
pada pasien yang umurnya masih muda umumnya dilakukan metode tersebut atau
incisi leher buli-buli atau bladder neck incision (BNI) pada jam 5 dan 7. Terapi ini
juga dilakukan secara endoskopik yaitu dengan menyayat memakai alat seperti
yangg dipakai pada TUR P tetapi memakai alat pemotong yang menyerupai alat
penggaruk, sayatan dimulai dari dekat muara ureter sampai dekat ke
verumontanum dan harus cukup dalam sampai tampak kapsul prostat. Kelebihan
dari metode ini adalah lebih cepat daripada TUR dan menurunnya kejadian
ejakulasi retrograde dibandingkan dengan cara TUR.
c. Pembedahan dengan laser (Laser prostatectomy)
Oleh karena cara operatif (operasi terbuka atau TUR P) untuk mengangkat prostat
yang membesar merupakan operasi yang berdarah, sedang pengobatan dengan
TUMT dan TURF belum dapat memberikan hasil yang sebaik dengan operasi
maka dicoba cara operasi yang dapat dilakukan hampir tanpa perdarahan.
Penggunaan laser untuk operasi prostat pertamakali diusulkan oleh Sander (1984).
Untuk mengobati ca prostat yang masih lokal dengan memakai Nd YAG
(Neodymium, Yttrium Aluminium Garnet) Solid state Nd YAG ini pertamakali
diperkenalkan tahun 1964 tapi baru tahun 1975 baru dicoba dibidang urologi
untuk mengablasi tumor buli superficial (Hoffstetter). Pc Phee menulis mengenai
penggunaan YAG laser untuk photo irradiasi segmental pada mukosa buli.
YAG laser ini mempunyai panjang gelombang yang cocok untuk pengobatan
prostat oleh karena mempunyai daya penetrasi yang cukup dalam. Mula-mula
laser untuk prostat ini hanya dipakai untuk pengobatan tambahan setelah TUR P
pada ca prostat, yang biasanya diberikan 3 minggu setelah TUR P (Shanberg
1985, Mc Nicholas 1990).

Kemudian Shenberg mengajukan pemakaian Nd YAG ini untuk melaser prostat


pada penderita yang tidak dapat mentoleransi perdarahan apabila dilakukan TUR.
Roth dan Aretz (1991) menjadi pelopor penggunaan laser Transuretral Ultrasound
Guided Laser Induced Prostatectomy (TULIP), yang dibimbing dengan
pemakaian USG untuk dapat menembak prostat yang disempurnakan dengan
menggunakan alat pembelok (deflektor) sinar laser dengan sudut 90 derajat
sehingga sinar laser dapat diarahkan ke arah kelenjar prostat yang membesar.
Nd YAG mempunyai panjang gelombang 1064 nm sehingga gelombang ini tidak
banyak diserap oleh air seperti laser CO2 dan mempunyai sifat divergensi tetapi
masih mempunyai daya penetrasi yang cukup dalam. Apabila laser Nd YAG ini
mengenai jaringan prostat energinya akan berubah menjadi energi termal yang
dapat menguapkan jaringan dengan Nd YAG tanpa kontak dengan jaringan
mempunyai efek laser maksimal pada kedalaman 3mm dibawa mukosa dan efek
termal dapat mencapai 100C sehingga pada kekuatan 40 60 watts akan
menyebabkan koagulasi pada kedalaman 3mm sehingga akan terjadi letusan kecil
yang disebut pop corn effect. Nd YAG ini aman untuk pengobatan prostat oleh
karena pembuluh darah yang agak besar dan pembuluh darah pada kapsul prostat
akan menjadi penahan panas (heat sink) sehingga tidak akan terjadi penjalaran
panas keluar dari prostat.
Tahun 1989 Johnson menemukan alat pembelok Nd YAG sehingga sinar laser
tersebut dapat dibelokkan 90 dengan menggunakan pembelok dari emas yang
ditempelkan diujung serat laser, sehingga sinar laser dapat diarahkan ke jaringan
prostat dari dalam uretra. Dengan alat pembelok ini 92% dari energi laser masih
dapat mencapai jaringan preostat. Costello (1992) mempelopori penggunaan laser
ini utnuk ablasi pembesaran prostat jinak menggunakan laser yang dibelokkan 90
melalui sistoskopi.
Waktu yang diperlukan untuk melaser prostat biasanya sekitar 2-4 menit untuk
masing-masing lobus prostat (lobus lateralis kanan, kiri dan medius). Pada waktu
ablasi akan ditemukan pop corn effect sehingga tampak melalui sistoskop terjadi
ablasi pada permukaan prostat, sehingga uretra pars prostatika akan segera akan
menjadi lebih lebar, yang kemudian masih akan diikuti efek ablasi ikutan yang

kan menyebabkan laser nekrosis lebih dalam setelah 4-24 minggu sehingga
hasil akhir nanti akan terjadi rongga didalam prostat menyerupai rongga yang
terjadi sehabis TUR.
Keuntungan bedah laser ialah :
a.
1. Tidak menyebabkan perdarahan sehingga tidak mungkin terjadi retensi akibat
bekuan darah dan tidak memerlukan transfusi
2. Teknik lebih sederhana
3. Waktu operasi lebih cepat
4. Lama tinggal di rumah sakit lebih singkat
5. Tidak memerlukan terapi antikoagulan
6. Resiko impotensi tidak ada
7. Resiko ejakulasi retrograd minimal
Kerugian :
Penggunaan laser ini masih memerlukan anestesi (regional) 1,2,3,7,8,11
BAB III
TERAPI KONSERVATIF NON OPERATIF
Sampai dengan tahun 1980-an kasus-kasus BPH selalu diatasi dengan operasi.
Didorong oleh faktor biaya dan morbiditas post operatif yang tidak nyaman maka terus dicari
pendekatan yang lebih aman, nyaman dan bahkan lebih ekonomis. Di dalam penatalaksanaan
terapi hiperplasia prostat ini terdapat istilah terapi konservatif yang merupakan terapi non
operatif. Untuk penderita yang oleh karena keadaan umumnya tidak memungkinkan
dilakukan operasi dapat diusahakan pengobatan konservatif.3,9
Terapi konservatif ini masih terbagi lagi ke dalam berbagai kelompok, yaitu :
1. Observasi (Watchful waiting)

Tidak semua pasien hiperplasia prostat perlu menjalani tindakan medik. Kadangkadang mereka yang mengeluh pada saluran kemih bagian bawah (LUTS) ringan
dapat sembuh sendiri dengan observasi ketat tanpa mendapatkan terapi apapun. Tetapi
diantara mereka akhirnya ada yang membutuhkan terapi medikamentosa atau
tindakan medik yang lain karena keluhannya semakin parah.11
1. Medikamentosa
a. Penghambat adrenergik
Seperti kita ketahui persyarafan trigonum leher vesika, otot polos prostat dan
kapsul prostat terutama oleh serabut-serabut saraf simpatis, terutama mengandung
reseptor alpha, jadi dengan pemberian obat golongan alpha adrenergik bloker,
terutama alpha 1 adrenergik bloker maka tonus leher vesika, otot polos prostat dan
kapsul prostat akan berkurang, sehingga sehingga menghasilkan peningkatan laju
pancaran urin dan memperbaiki gejala miksi. Bila serangan prostatismus
memuncak menjurus kepada retensio urin ini adalah pertanda bahwa tonus otot
polos prostat meningkat atau berkontraksi sehingga pemberian obat ini adalah
sangat rasional. Episode serangan biasanya cepat teratasi.
Contoh obatnya adalah Phenoxy benzanmine (Dibenyline) dosis 210 mg/hari.
Sekarang telah tersedia obat yang lebih selektif untuk alpha 1 adrenergik bloker
yaitu Prazosine, dosisnya adalah 1-5 mg/hari, obat lain selain itu adalah Terazosin
dosis 1 mg/hari, Tamzulosin dan Doxazosin. Pengobatan dengan penghambat
alpha ini pertama kali dilakukan oleh Caine dan kawan-kawan yang dilaporkan
pada tahun 1976. Dengan pengobatan secara ini ditemukan perbaikan sekitar 3070% pada symptom skore dan kira-kira 50% pada flow rate. Tetapi kelompok obat
ini tidak dapat digunakan berkepanjangan karena efek samping obat ini berupa
hipotensi ortostatik, palpitasi, astenia vertigo dan lain-lain yang sangat
mengganggu kualitas hidup kecuali bagi penderita hipertensi.
Penelitian terakhir di Amerika Serikat menyebutkan bahwa Doxazosin terbukti
efektif dalam pengobatan hiperplasia prostat jangka panjang pada pasien
hipertensi dan normotensi. Prazosine diketahui lebih selektif sebagai alpha 1
adrenergik bloker, sedang phenoxy benzanmine meskipun lebih kuat tetapi tidak

selektif untuk reseptor alpha 1 dan alpha 2, dan sekarang ditakutkan phenoxy
benzanmine

bersifat

karsinogenik.

Jadi

kelompok

obat

penghambat

adrenoreseptor alpha ini hanya dapat digunakan untuk jangka pendek dan akan
lebih fungsional pada terapi tahap awal, obat ini mempunyai efek positif segera
terhadap keluhan, tetapi tidak mempengaruhi proses hiperplasia prostat
sedikitpun. Bila respon dari pengobatan ini baik maka ini merupakan indikator
untuk masuk kedalam tahap perawatan Watch and wait.2,3,5,6,7,8,9
b. Fitoterapi
Kelompok kemoterapi pada umumnya telah mempunyai informasi farmakokinetik
dan farmakodinamik terstandar secara konvensional dan universal. Kelompok
obat ini juga disebut dengan obat modern. Tidak semua penyakit dapat diobati
secara tuntas dengan kemoterapi ini. Banyak penyakit kronis, degeneratif,
gangguan metabolisme, dan penuaan yang belum ada obatnya seperti: kanker,
hepatitis, HIV, demensia, dll. Banyak pula yang belum bisa dituntaskan
pengobatannya. Termasuk ini adalah: BPH, DM, hipertensi, rematik, dll. Sehingga
diperlukan terapi komplementer atau alternatif. Kelompok terapi ini disebut
Fitoterapi. Disebut demikian karena berasal dari tumbuhan. Bahan aktifnya belum
diketahui dengan pasti, masih memerlukan penelitian yang panjang.
Namun secara empirik, manfaat sudah lama tercatat dan semakin diakui. Diantara
sekian banyak fitoterapi yang sudah masuk pasaran, diantaranya yang terkenal
adalah Serenoa repens atau Saw Palmetto dan Pumpkin seeds yang digunakan
untuk pengobatan BPH. Keduanya, terutama Serenoa repens semakin diterima
pemakaiannya dalam upaya pengendalian prosatisme BPH dalam kontek
watchfull waiting strategy. Di Jerman 90% kasus BPH di terapi dengan Serenoa
repens tunggal atau kombinasi, dan di negara-negara Eropa dan Amerika
pemakaiannya terus meningkat dengan cepat.
a. Saw Palmetto Berry (SPB) yang disebut juga Serenoa repens adalah suatu obat
tradisional Indian. Catatan empiriknya tentang manfaat tumbuhan ini untuk
gangguan urologis sudah ada sejak tahun 1900. Isu back to nature memberikan
iklim yang kondusif bagi pemakaian obat ini.

Bukti-bukti empirik lapangan dan empirik uji klinik semakin banyak mencatat
efektifitas dan keamanannya. Dalam Current Medical Diagnosis and
Treatment (2001) dinyatakan bahwa Saw Palmetto Berry (SPB) ini didalam 18
RCT (Randomized Clinical Trial) dengan 2939 subyek adalah superior
terhadap placebo dan efektifitasnya sama dengan finasteride. Efek samping
obat berupa disfungsi ereksi = 1,1% sedangkan finasteride = 4,9%. Dalam Life
Extension Update dimuat, dari sebanyak 32 publikasi studi terdapat catatan
bahwa extract dari SPB ini secara signifikan menunjukan perbaikan klinis
dalam hal :
a) Frekuensi nokturia berkurang
b) Aliran kencing bertambah lancar
c) Volume residu dikandung kencing berkurang
d) Gejala kurang enak dalam mekanisme urinoir berkurang
Mekanisme kerja obat ini belum dapat dipastikan tetapi diduga kuat ia :
a) Menghambat aktifitas enzim 5 alpha reduktase dan memblokir reseptor
androgen
b) Bersifat anti inflamasi dan anti udem dengan cara menghambat aktifitas
enzim cycloxygenase dan 5 lipoxygenase.
b. Pumpkin seeds (Cucurbitae peponis semen)
Testimoni empirik tradisional bahan ini telah digunakan di Jerman dan Austria
sejak abad 16 untuk gangguan urinoir dan belakangan ini ekstraknya dipakai
untuk mengatasi gejala yang berhubungan dengan BPH didalam konteks
farmakoterapi maupun uji klinis kombinasi dengan ekstraks serenoa repens.
Penelitian di Jerman melakukan studi terhadap preparat yang mengandung
komponen utama beta-sitosterol dengan sedikit campuran campesterot dan
stigmasterol untuk mengobati hiperplasia prostat. Hasilnya, terjadi perbaikan

seperti halnya terapi menggunakan penghambat reseptor alpha dan 5-alpha


reduktase, tetapi dengan efek samping yang lebih minimal. Walaupun
mekanisme kerja dari preparat campuran fitosterol ini belum dapat dibuktikan,
penelitian terus dikembangkan untuk keperluan di masa depan.9,10
c. Hormonal
Pada tingkat supra hypofisis dengan obat-obat LH-RH (super) agonist yaitu
obat yang menjadi kompetitor LH-RH mempunyai afinitas yang lebih besar
dengan reseptor bagi LH-RH, sehingga obat ini akan menghabiskan reseptor
dengan membentuk LH-RH super agonist reseptor kompleks. Sehingga mulamula oleh karena banyaknya LH-RH super agonist yang menangkap reseptor,
pada permulaan justru akan terjadi kenaikan produksi LH oleh hypofisis.
Tetapi setelah reseptor habismaka LH-RH tidak dapat lagi mencari reseptor ,
maka LH akan menurun. Contoh obat adalah Buserelin, dengan dosis minggu
I 3dd 500 g s.c. (7 hari) dan minggu II intra nasal spray 200 g, 3 kali sehari.
Pemberian obat-obat anti androgen yang dapat mulai pada tingkat hipofisis
misalnya dengan pemberian Gn-RH analogue sehingga menekan produksi LH,
yang menyebabkan produksi testosteron oleh sel leydig berkurang. Cara ini
tentu saja menyebabkan penurunan libido oleh karena penurunan kadar
testosteron darah.
Pada tingkat infra hipofisis pemberian estrogen dapat memberikan umpan
balik dengan menekan produksi FSH dan LH, sehingga produksi testosteron
juga menurun. Contoh preparatnya ialah Diaethyl Stilbestrol (DES) dosis satu
kali 1-5 mg sehari.
Pada tingkat testikular, orchiectomi untuk pengobatan pembesaran prostat
jinak hanya dikenal pada sejarah, sekarang cara pengobatan ini untuk
hiperplasia prostat telah ditinggalkan. Untuk karsinoma prostat tentu saja
orchiectomi masih dikerjakan oleh karena pertimbangan kemungkinan
penyebaran ca prostat dan juga biasanya penderita telah tua.

Pada tingkat yang lebih rendah dapat pula diberikan obat anti androgen yang
mekanisme kerjanya mencegah hidrolise testosteron menjadi DHT dengan
cara menghambat 5 alpha reduktase, suatu enzim yang diperlukan untuk
mengubah testosteron menjadi dehidrotestosteron (DHT), suatu hormon
androgen yang mempengaruhi pertumbuhan kelenjar prostat, sehingga jumlah
DHT berkurang tetapi jumlah testosteron tidak berkurang, sehingga libido juga
tidak menurun. Penurunan kadar zat aktif dehidrotestosteron ini menyebabkan
mengecilnya ukuran prostat. Contoh obat tersebut ialah Finesteride, Proscar
dengan dosis 5 mg/hari dalam jangka waktu lebih dari 3 bulan, Finasteride
mengurangi volume prostat sampai 30%. Penelitian lain di Kanada
menyatakan bahwa Finasteride mengurangi volume prostat pada 613 pria
dengan angka rata-rata 21%, mengurangi gejala dan memperbaiki laju
pancaran urin sampai 12%. Obat ini mempunyai toleransi baik dan tidak
mempunyai efek samping yang bermakna.
Obat anti androgen lain yang juga bekerja pada tingkat prostat ialah obat yang
mempunyai mekanisme kerja sebagai inhibitor kompetitif terhadap reseptor
DHT sehingga DHT tidak dapat membentuk kompleks DHT-Reseptor. Contoh
obatnya ialah : Cyproterone acetate 100 mg 2 kali/hari, Flutamide,
medrogestone 15 mg2 kali/hari dan Anandron. Obat ini juga tidak menurunkan
kadar testosteron pada darah, sehingga libido tidak menurun. Golongan
gestagen dan ketokonazole, obat-obat ini mempunyai khasiat : mengurangi
enzim dehidrogenase dan isomerase yang berguna untuk metabolisme steroid,
menekan LH dan FSH, menjadi saingan testosteron untuk 5 alpha reduktase
sehingga DHT tidak terbentuk. Contoh obatnya adalah Megestrol acetat 160
mg empat kali sehari dan MPA 300-500 mg/hari. Kesulitan pengobatan
konservatif ini adalah menentukan berapa lama obat harus diberikan dan efek
samping dari obat.2,3,7,8
3. Invasif Minimal
a. Trans Urethral Microwave Thermotherapy (TUMT)
Cara memanaskan prostat sampai 44,5C 47C ini mulai diperkenalkan dalam
tiga tahun terakhir ini. Dikatakan dengan memanaskan kelenjar periuretral yang

membesar ini dengan gelombang mikro (microwave) yaitu dengan gelombang


ultarasonik atau gelombang radio kapasitif akan terjadi vakuolisasi dan nekrosis
jaringan prostat, selain itu juga akan menurunkan tonus otot polos dan kapsul
prostat sehingga tekanan uretra menurun sehingga obstruksi berkurang. Prinsip
cara ini ialah memasang kateter semacam Foley dimana proximal dari balon
dipasang antene pemanas yang baru dipanaskan dengan gelombang mikro
melalui kabel kecil yang berada didalam kateter. Pemanasan dilakukan antara 13 jam. Dengan cara pengobatan ini dengan mempergunakan alat THERMEX II
diperoleh hasil perbaikan kira-kira 70-80% pada symptom obyektif dan kira-kira
50-60% perbaikan pada flow rate maksimal. Mekanisme yang pasti mengenai
efek pemanasan prostat ini belum semuanya jelas, salah satu teori yang masih
harus dibuktikan ialah bahwa dengan pemanasan akan terjadi perusakan pada
reseptor alpha yang berada pada leher vesika dan prostat.
Di Jakarta telah tersedia dua macam alat yaitu Prostatron yang menggunakan
gelombang mikro dan dipanaskan selama satu jam. Cara ini disebut dengan
Trans Urethral Microwave Treatment (TUMT). Sedangkan alat yang lain
menggunakan radio capacitive frequency yang dapat memanaskan prostat
sampai 44,5C 47C selama 3 jam (TURF). Pengobatan di RS. Pondok Indah
pada 112 kasus yang diobati dengan cara ini didapatkan hasil : perbaikan
symptom score pada 79 penderita (75%) dan perbaikan pada sisa kencing
pada 62 penderita (60%) tetapi perbaikan pada maximal flow rate hanya
ditemukan pada 55 penderita (50%).
Cara pengobatan hypertermia ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut
mengenai cara kerja dasar klinikal, efektifitasnya serta side efek yang mungkin
timbul.
Cara kerja TUMT ialah antene yang berada pada kateter dapat memancarkan
microwave kedalam jaringan prostat. Oleh karena temperatur pada antene akan
tinggi maka perlu dilengkapi dengan surface costing agar tidak merusak mucosa
ureter. Dengan proses pendindingan ini memang mucosa tidak rusak tetapi
penetrasi juga berkurang.

Cara TURF (trans Uretral Radio Capacitive Frequency) memancarkan


gelombang radio frequency yang panjang gelombangnya lebih besar daripada
tebalnya prostat juga arah dari gelombang radio frequency dapat diarahkan oleh
elektrode yang ditempel diluar (pada pangkal paha) sehingga efek panasnya
dapat menetrasi sampai lapisan yang dalam. Keuntungan lain oleh karena kateter
yang ada alat pemanasnya mempunyai lumen sehingga pemanasan bisa lebih
lama, dan selama pemanasan urine tetap dapat mengalir keluar.2,7,8
b. Trans Urethral Ballon Dilatation (TUBD)
Dilatasi uretra pars prostatika dengan balon ini mula-mula dikerjakan dengan jalan
melakukan commisurotomi prostat pada jam 12.00 dengan jalan melalui operasi
terbuka (transvesikal). Pertama kali dikerjakan oleh Hollingworth 1910 dan Franck
1930. Kemudian Deisting 1956 melakukan dengan dilator transuretral. Tetapi
sebenarnya pelopor penggunaan balon adalah H.Joachus Burhenne yang mula-mula
mencoba pada anjing dan cadaver, akhirnya dicoba di klinik.
Castaneda bersama-sama Reddy dan Hulbert kemudian menyempurnakan tehnik
Burhenne tersebut. Konsep dilatasi dengan balon ini ialah mengusahakan agar uretra
pars prostatika menjadi lebar melalui mekanisme:
1. Prostat di tekan menjadi dehidrasi sehingga lumen uretra melebar
2. Kapsul prostat diregangkan
3. Tonus otot polos prostat dihilangkan dengan penekanan tersebut
4. Reseptor alpha adrenergic pada leher vesika dan uretra pars prostatika dirusak
Prosedur ini meskipun bisa dilakukan dengan anestesi topikal, sebaiknya dilakukan
dengan narkose. Balon mempunyai diameter 30 mm kemudian dengan alat
dikembangkan sampai 4 atm yang sama dengan 58,8 psi atau 3040 mmHg dan
kaliber uretra menjadi 30 mm atau 90 F. Kemudian setelah balon dikempeskan
kembali kateter dilepaskan dengan menggunakan guide wire dan kateter dilepas
memutar kebalikan dari arah jarum jam sementara dapat dipasang cystostomi

dengan trocard. TUBD ini biasanya memberikan perbaikan yang bersifat


sementara.2,7,8
c. Trans Urethral Needle Ablation (TUNA)
Yaitu dengan menggunakan gelombang radio frekuensi tinggi untuk menghasilkan
ablasi termal pada prostat. Cara ini mempunyai prospek yang baik guna mencapai
tujuan untuk menghasilkan prosedur dengan perdarahan minimal, tidak invasif dan
mekanisme ejakulasi dapat dipertahankan.2,7,8
d. Stent Urethra
Pada hakekatnya cara ini sama dengan memasang kateter uretra, hanya saja kateter
tersebut dipasang pada uretra pars prostatika. Bentuk stent ada yang spiral dibuat
dari logam bercampur emas yang dipasang diujung kateter (Prostacath). Stents ini
digunakan sebagai protesis indwelling permanen yang ditempatkan dengan bantuan
endoskopi atau bimbingan pencitraan. Untuk memasangnya, panjang uretra pars
prostatika diukur dengan USG dan kemudian dipilih alat yang panjangnya sesuai,
lalu alat tersebut dimasukkan dengan kateter pendorong dan bila letak sudah benar
di uretra pars prostatika maka spiral tersebut dapat dilepas dari kateter pendorong.
Pemasangan stent ini merupakan cara mengatasi obstruksi infravesikal yang juga
kurang invasif, yang merupakan alternatif sementara apabila kondisi penderita
belum memungkinkan untuk mendapatkan terapi yang lebih invasif. Akhir-akhir ini
dikembangkan juga stent yang dapat dipertahankan lebih lama, misalnya Porges
Urospiral (Parker dkk.) atau Wallstent (Nording, A.L. Paulsen).
Bentuk lain ialah adanya mesh dari logam yang juga dipasang di uretra pars
prostatika dengan kateter pendorong dan kemudian didilatasi dengan balon sampai
mesh logam tersebut melekat pada dinding uretra.2,7,8,11
BAB IV
KESIMPULAN
1. Benign Prostate Hypertrofia sebenarnya merupakan suatu hiperplasia kelenjar periuretral.

2. Hiperplasia prostat mempunyai angka kejadian yang bermakna pada populasi pria lanjut
usia.
3. Etiologi dari hiperplasia prostat hingga saat ini masih belum diketahui secara pasti,
beberapa teori menyebutkan hal ini berkaitan dengan meningkatnya kadar DHT dan
karena proses aging (menjadi tua).
4. Hiperplasia prostat menyebabkan gejala obstruksi dan iritasi saluran kemih.
5. Tanda-tanda obyektif hiperplasia prostat adalah pembesaran prostat, pengurangan laju
pancaran urin, dan volume residu urin yang besar.
6. Derajat beratnya obstruksi pada hiperplasia prostat tidak bergantung pada ukuran besar
prostat melainkan ditentukan oleh volume residu urin dan laju pancaran urin waktu miksi.
7. Guna menentukan derajat pembesaran prostat dapat dilakukan dengan beberapa cara ,
seperti rektal grading, berdasarkan jumlah residual urin, intra vesikal grading dan
berdasarkan pembesaran kedua lobus lateralis yang terlihat pada uretroskopi.
8. Derajat berat gejala klinik hiperplasia prostat dibagi menjadi empat gradasi berdasarkan
penemuan pada pemeriksaan colok dubur dan sisa volume urin yang digunakan untuk
menentukan cara penanganan atau penatalaksanaannya.
9. Klasifikasi lain untuk menentukan berat gangguan miksi yaitu dengan menggunakan skor
WHO PSS, dimana skor dibawah 15 dianjurkan untuk terapi non bedah atau terapi
konservatif, sedangkan skor 25 lebih atau bila timbul obstruksi dianjurkan terapi bedah.
10. Penatalaksanaan terapi pada hiperplasia prostat dapat dibagi menjadi empat macam,
yaitu :
a. Observasi (Watchful waiting)
b. Medikamentosa
c. Operatif
d. Invasif minimal

11. Tindakan bedah baik itu prostatektomi terbuka maupun prostatektomi endourologi masih
merupakan terapi utama untuk hiperplasia prostat (>90%) meskipun akhir-akhir ini
dikembangkan beberapa terapi non-bedah yang kurang invasif.
12. Trans Urethral Resection (TUR) masih merupakan prosrdur bedah yang lebih disukai
untuk penanganan hiperplasia prostat.
13. Yang termasuk di dalam terapi konservatif non operatif yaitu :
a. Observasi (Watchful waiting)
b. Medikamentosa
- Penghambat adrenergik alpha
- Fitoterapi
- Hormonal
a. Invasif minimal
- Trans Urethral Microwave Thermotherapy (TUMT)
- Trans Urethral Ballon Dilatation (TUBD)
- Trans Urethral Needle Ablation (TUNA)
- Stent Urethra
14. Selain pada kelompok hiperplasia prostat derajat 1 dan mungkin juga pada derajat 2,
tindakan terapi konservatif non bedah ini dapat dilakukan jika keadaan umum penderita
tidak memungkinkan untuk dilakukan tindakan operasi.
15. Tujuan terapi pada pasien hiperplasia prostat adalah menghilangkan obstruksi pada leher
buli-buli.
DAFTAR PUSTAKA
Sjamsuhidajat R, de Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi revisi, Jakarta : EGC, 1997.

Tenggara T. Gambaran Klinis dan Penatalaksanaan Hipertrofi Prostat, Majalah Kedokteran


Indonesia volume: 48, Jakarta : IDI, 1998.
Reksoprodjo S. Prostat Hipertrofi, Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah cetakan pertama, Jakarta :
Binarupa Aksara, 1995.
Sabiston, David C. Hipertrofi Prostat Benigna, Buku Ajar Bedah bagian 2, Jakarta : EGC,
1994.
Katzung, Bertram G. Farmakologi Dasar dan Klinik edisi VI, Jakarta : EGC, 1997.
Rahardja K, Tan Hoan Tjay. Obat Obat Penting; Khasiat, Penggunaan, dan Efek Efek
Sampingnya edisi V, Jakarta : Gramedia, 2002.
Rahardjo D. Pembesaran Prostat Jinak; Beberapa Perkembangan Cara Pengobatan, Jakarta :
Kuliah Staf Subbagian Urologi Bagian Bedah FK UI R.S. Dr. Cipto Mangunkusumo,
1993.
Priyanto J.E. Benigna Prostat Hiperplasi, Semarang : Sub Bagian Bedah Urologi FK UNDIP.
Nasution I. Pendekatan Farmakologis Pada Benign Prostatic Hyperplasia (BPH), Semarang :
Bagian Farmakologi dan Terapeutik FK UNDIP.
Soebadi D.M. Fitoterapi Dalam Pengobatan BPH, Surabaya : SMF/Lab. Urologi RSUD Dr.
Soetomo-FK Universitas Airlangga, 2002.
Purnomo B.P. Buku Kuliah Dasar Dasar Urologi, Jakarta : CV.Sagung Seto, 2000.
Anonim. Kumpilan Kuliah Ilmu Bedah Khusus, Jakarta : Aksara Medisina, 1997.
Hugh. A.F. Dudley. Hamilton Baileys Emergency Surgery 11th edition, Gadjah Mada
University Press, 1992.
Mansjuoer Akan, Suprohaita, Wardhani W.I, Setiowulan W., Kapita Selekta Kedokteran, 3 rd
edition,Jakarta : Media Aesculapius FK-UI, 2000

Das könnte Ihnen auch gefallen