Sie sind auf Seite 1von 26

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Status Gizi pada Balita


Menurut Arsad (2006) status gizi balita adalah keadaan kesehatan anak balita
yang ditentukan oleh derajat kebutuhan fisik energi dan zat-zat gizi lain yang
diperoleh dari pangan dan makanan yang dampak fisiknya diukur secara
antropometri.
Status gizi adalah keadaan kesehatan yang diakibatkan oleh adanya interaksi
antara makanan, tubuh dan lingkungan hidup manusia. Status gizi diukur dengan cara
yaitu (Depkes, 1992).
1. Antropometri, yaitu mengukur berat badan, tinggi badan, lingkar lengan atas,
lemak dibawah kulit.
2. Klinik, yaitu pemeriksaan fisik yang dilakukan oleh ahli medis, biasanya yang
melakukannya adalah seorang dokter.
3. Laboratorium, yaitu pemeriksaan darah, urine dan tinja.
4. Dietetik, yaitu pemeriksaan jenis, jumlah, komposisi makanan yang dikonsumsi
oleh individu.
Berdasarkan Departemen Kesehatan (2011) penentuan status gizi anak balita
dilakukan secara klinis dan antropometri (BB/TB-PB), sehingga dapat diketahui
tingkat status gizi balita tersebut.

Universitas
Sumatera Utara

Tabel 2.1.Penentuan Status Gizi Secara Klinis dan Antropometri (BB/TB


Standar WHO-2005)
Status Gizi
Gizi Buruk

Gizi Kurang

Klinis
Tampak sangat kurus dan atau
ada odema pada kedua
punggung kaki sampai seluruh
tubuh
Tampak Kurus

Antropometri
(BB/TB)
< - 3 SD

- 3 SD < - 2 SD

Gizi Baik

- 2 SD + 2 SD

Gizi Lebih

> + 2 SD

2.1.1. Masalah Gizi pada Balita


Berg ( 1989) berbicara mengenai gizi berarti membicarakan tentang makanan
dalam hubungannya dengan kesehatan dan proses dimana organisme menggunakan
makanan untuk pemeliharaan kehidupan, pertumbuhan, bekerjanya anggota dan
jaringan tubuh secara normal dan produksi tenaga.
Membahas mengenai masalah gizi, dapat digolongkan kepada tiga bagian
sebagai berikut :
1. Gizi kurang, yaitu keadaan tidak sehat (patologik) yang timbul karena tidak cukup
makan dan dengan demikian konsumsi energi kurang selama jangka waktu
tertentu, ditandai dengan berat badan yang menurun.
2. Gizi lebih, yaitu keadaan tidak sehat (patologik) yang disebabkan kebanyakan
makan serta mengkonsumsi energi lebih banyak daripada yang diperlukan tubuh
untuk jangka waktu yang panjang, kegemukan merupakan tanda pertama yang
biasa dilihat.
Universitas
Sumatera Utara

3. Gizi buruk, yaitu keadaan tidak sehat (patologik) yang disebabkan oleh makanan
yang sangat kurang dalam satu atau lebih zat esensial dalam waktu lama, biasanya
diikuti dengan tanda-tanda klinis khusus seperti marasmus, kwashiorkor dan
marasmus kwashiorkor.
2.1.2. Penilaian Status Gizi pada Balita
Menurut standar WHO (1983) bila prevalensi kurus (wasting) < -2SD diatas
10 % menunjukan suatu daerah tersebut mempunyai masalah gizi yang sangat serius
dan berhubungan langsung dengan angka kesakitan. Indeks Antropometri yang sering
dipakai adalah :BB/U (berat badan menurut umur) menggambarkan ada atau tidak
adanya kurang gizi (malnutrisi), tidak bisa menjelaskan apakah akut atau kronis.
TB/U (tinggi badan menurut umur) menggambarkan ada atau tidak adanya malnutrisi
kronik. BB/TB (berat badan menurut tinggi badan) menggambarkan ada atau tidak
adanya malnutrisi akut (Depkes, 2004).
Khumaidi (1994) berpendapat bahwa berat badan dan tinggi badan adalah
salah satu parameter penting untuk menentukan status kesehatan manusia, khususnya
yang berhubungan dengan status gizi. Penggunaan indeks BB/U, TB/U dan BB/TB
merupakan indikator status gizi untuk melihat adanya gangguan fungsi pertumbuhan
dan komposisi tubuh .
Menurut Arsad (2006) ada beberapa cara melakukan penilaian status gizi pada
kelompok masyarakat, salah satunya adalah dengan pengukuran tubuh manusia yang
dikenal dengan antropometri, dalam pemakaiannya untuk penilaian status gizi

Universitas
Sumatera Utara

antropometri disajikan dalam bentuk indeks yang dikaitkan dengan variabel lain,
variabel tersebut adalah sebagai berikut : umur, berat badan dan tinggi badan.
Menurut Abunain (1990) berat badan merupakan salah satu ukuran yang
memberikan gambaran massa jaringan, termasuk cairan tubuh. Berat badan sangat
peka terhadap perubahan yang mendadak baik karena penyakit infeksi maupun
konsumsi makanan yang menurun. Berat badan ini dinyatakan dalam bentuk indeks
BB/U (berat badan menurut umur) atau melakukan penilaian dengam melihat
perubahan berat badan pada saat pengukuran dilakukan, yang dalam penggunaannya
memberikan gambaran keadaan kini. Berat badan paling banyak digunakan karena
hanya memerlukan satu pengukuran, hanya saja tergantung pada ketetapan umur,
tetapi kurang dapat menggambarkan kecenderungan perubahan situasi gizi dari waktu
ke waktu .
Menurut Supariasa (2002) indeks BB/U digunakan sebagai salah satu
indikator status gizi dan karena sifatnya berat badan yang labil maka indeks BB/U
lebih menggambarkan status gizi saat ini. Sebagai indikator status gizi BB/U
mempunyai kelebihan dan kelemahan, adapun kelebihannya adalah: Dapat lebih
mudah dan lebih cepat di mengerti oleh masyarakat umum, sensitif untuk melihat
perubahan status gizi jangka pendek, dan dapat mendeteksi kegemukan.
Tinggi badan memberikan gambaran fungsi pertumbuhan yang dilihat dari
keadaan kurus kering dan kecil pendek. Tinggi badan

sangat baik untuk melihat

keadaan gizi masa lalu terutama yang berkaitan dengan

keadaan berat badan lahir

rendah dan kurang gizi pada masa balita. Tinggi badan dinyatakan dalam bentuk
Universitas
Sumatera Utara

indeks TB/U (tinggi badan menurut umur), atau juga indeks BB/TB (berat badan
menurut tinggi badan) jarang dilakukan karena perubahan tinggi badan yang lambat
dan biasanya hanya dilakukan setahun sekali. Keadaan indeks ini pada umumnya
memberikan gambaran keadaan lingkungan yang tidak baik, kemiskinan dan akibat
tidak sehat yang menahun (Depkes, 2004).
2.1.3. Gizi Buruk pada Balita
Pengertian Gizi buruk (severe malnutrition) menurut Ikatan Dokter Anak
Indonesia (2008) adalah suatu istilah tehnis yang umumnya dipakai oleh kalangan
gizi, kesehatan dan kedokteran, gizi buruk adalah bentuk terparah dari proses
terjadinya kekurangan gizi menahun.
Menurut Depatemen Kesehatan (2008) gizi buruk adalah keadaan kekurangan
gizi menahun yang disebabkan oleh rendahnya konsumsi energi dan protein dari
makanan sehari-hari. Kekurangan gizi tingkat berat pada anak balita berdasarkan
pada indeks berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) <-3 SD dan atau ditemukan
tanda-tanda klinis seperti marasmus, kwashiorkor dan marasmus-kwashiorkor,
klasifikasi gizi buruk berdasarkan gambaran klinisnya antara lain, sebagai berikut :
Marasmus adalah keadaan gizi buruk yang ditandai dengan badan tampak sangat
kurus, iga gambang, perut cekung, wajah seperti orang tua dan kulit keriput.
Gambaran klinis marasmus berasal dari masukan kalori/asupan kalori yang tidak
cukup dikarenakan diet yang tidak cukup, karena kebiasaan makan yang tidak tepat
seperti pola asuh yang tidak baik, atau karena kelainan metabolik/malformasi

Universitas
Sumatera Utara

congenital. Malnutrisi berat pada bayi sering ada di daerah dengan makanan tidak
cukup atau dengan hygiene yang jelek (Behrman, 2000).
2.1.4. Penyebab Gizi Buruk pada Balita
Secara garis besar penyebab anak kekurangan gizi disebabkan karena asupan
makanan yang kurang atau anak sering sakit/terkena infeksi, atau disebabkan oleh
banyak faktor lainnya seperti, tidak tersedianya makanan yang adekuat, dan anak
tidak cukup mendapat makanan bergizi seimbang, serta pola asuh yang salah (IDAI,
2008).
Menurut Departemen Kesehatan (2005) gizi buruk di pengaruhi oleh banyak
faktor yang saling terkait, secara langsung gizi buruk dipengaruhi oleh tiga faktor
penyebab yaitu, anak tidak cukup mendapatkan makanan bergizi seimbang, anak
tidak mendapatkan asuhan gizi yang memadai, dan anak menderita penyakit infeksi.
1. Anak tidak cukup mendapat makanan yang bergizi seimbang
Bayi dan anak balita tidak mendapatkan makanan yang bergizi seperti ASI (Air
Susu Ibu) ekslusif, dan setelah 6 bulan anak tidak mendapat makanan pendamping
ASI (MP-ASI) yang tepat. Pada keluarga dengan tingkat pendidikan rendah
seringkali anak mendapatkan makanan seadanya karena faktor ketidak tahuan dan
ketidak mampuan.

2. Anak tidak mendapatkan asuhan gizi yang memadai


Universitas
Sumatera Utara

Pola pengasuhan anak berpengaruh pada timbulnya gizi buruk. Pengetahuan


orang tua yang kurang tentang pola asuh anak sehingga asupan gizi yang cukup
tidak terpenuhi. Salah satu contohnya adalah anak yang tidak diasuh oleh ibunya
sendiri, pengasuh kurang mengerti pentingnya makanan bergizi sehingga anak
tidak mendapat gizi yang cukup.
3. Anak menderita penyakit infeksi
Terjadi hubungan timbal balik antara kejadian penyakit infeksi dan gizi buruk.
Anak yang menderita gizi buruk akan mengalami penurunan daya tahan, sehingga
anak mudah terkena penyakit infeksi. Demikian juga anak yang menderita infeksi
akan cenderung menderita gizi buruk.
2.2.Penatalaksanaan Gizi Buruk pada Balita
Penatalaksanaan gizi buruk adalah suatu kegiatan pelaksanaan pelayanan
/penanganan gizi yang dilakukan guna mendukung penyembuhan penyakit yang
disebabkan oleh kekurangan gizi sampai gizi buruk dengan komplikasi atau tanpa
komplikasi, ditangani secara serius sampai dinyatakan sembuh (Depkes, 2006).
Tatalaksana gizi berarti mengelola atau melaksanakan pelayanan dan
pemberian zat gizi sesuai kebutuhan kepada pasien/balita yang mempunyai masalah
gizi sampai pasien/balita tersebut sembuh dan status gizinya kembali pulih atau
normal (Depkes, 2009). Berdasarkan standar pelayanan rumah sakit (2006)
penatalaksanaan gizi di rumah sakit disebut juga dengan asuhan gizi (nutritional care)
yaitu dengan pemberian zat gizi yang sesuai dengan kebutuhan dan kondisi

Universitas
Sumatera Utara

pasien agar mencapai status gizi optimal oleh ahli gizi, yaitu dengan melakukan
beberapa proses mulai dari pengukuran antropometri, diagnosa status gizi, intervensi
gizi dan melakukan monitoring dan evaluasi gizi.
Menurut WHO (2000) dalam Suwanti (2003) menyebutkan bahwa, cara
pemulihan gizi buruk yang paling ideal adalah dengan rawat inap dirumah sakit,
tetapi pada kenyataannya hanya sedikit anak dengan gizi buruk yang dirawat karena
berbagai alasan. Salah satu contohnya dari keluarga yang tidak mampu, karena rawat
inap memerlukan biaya yang besar dan dapat mengganggu sosial ekonomi seharihari.
Menurut ASDI (2009) model asuhan gizi atau penatalaksanaan gizi adalah
suatu metode pemecahan masalah yang sistematis, dimana ahli gizi (dietisien) di
tuntut dapat berpikir kritis dan membuat keputusan yang tepat terkait dalam
memecahkan masalah gizi dan dapat melaksanakan asuhan gizi atau penatalaksanaan
gizi yang berkualitas, aman dan efektif.
Alternatif lain dalam memecahkan masalah gizi buruk adalah dengan
melakukan penatalaksanaan gizi balita gizi buruk yang bermutu di posyandu dengan
koordinasi penuh dari puskesmas, dan penanganannya harus secara serius karena
menyangkut kelangsungan hidup anak. Selain itu dalam rangka menjamin mutu
(quality assurance) pelaksanaan tatalaksana gizi buruk tersebut maka itu telah
dilaksanakan pelatihan tatalaksana anak gizi buruk (TLAGB) kepada tim asuhan gizi
yang terdiri dari dokter, ahli gizi dan perawat yang bertugas di puskesmas dan rumah
sakit (Depkes, 2009).
Universitas
Sumatera Utara

Dari berbagai kajian terhadap pelaksanaan pemantauan pertumbuhan


ditemukan juga beberapa masalah yaitu seringkali balita yang mengalami gangguan
pertumbuhan bahkan gizi buruk tidak dirujuk ke puskesmas/rumah sakit untuk tindak
lanjut sebagaimana mestinya sesuai tatalaksana gizi buruk. Kendala lain seperti,
masalah kemiskinan dan anak yang menderita infeksi, selain itu juga pengetahuan
orang tua yang kurang tentang pola asuh anak, sehingga asupan gizi yang cukup tidak
terpenuhi (Depkes, 2009).
2.2.1. Aspek-Aspek Penatalaksanaan Gizi pada Balita
Pelaksanaan tatalaksana gizi menyangkut banyak aspek seperti adanya tim
asuhan gizi yang diperlukan untuk melakukan kegiatan anamnesa, penentuan status
gizi dan melakukan pelayanan gizi, baik perawatan, maupun penyelenggaraan
makanan, sampai balita gizi buruk dinyatakan sembuh (Depkes, 2006).
Menurut Departemen Kesehatan (2009) untuk melihat prosedur tatalaksana
gizi buruk dan rujukannya dilakukan dengan mengambil satu contoh atau lebih status
pasien anak gizi buruk di puskesmas yaitu dengan melihat tahap-tahap yang
dilakukan seperti, pengorganisasian yaitu dengan melihat apakah ada atau tidak
tenaga gizi yang telah dilatih untuk menjadi tim asuhan gizi, serta hal-hal lain yang
mendukung

terlaksananya

penatalaksanaan

gizi

buruk

di

puskesmas,

tatacara/prosedur tatalaksana gizi seperti identifikasi/penemuan kasus baik di


posyandu ataupun dipuskesmas, dan penentuan status gizi balita secara benar, serta
rujukan/tindak lanjut yang dilakukan, selain itu setelah dilakukan penatalaksanaan
gizi dengan benar sesuai prosedur harus dilakukan juga monitoring/pengawasan
Universitas
Sumatera Utara

sehingga balita yang sudah dinyatakan sembuh tetap terpantau berat badannya serta
adanya pencatatan pelaporan yang baik.
1. Pengorganisasian
Siagian (2002) fungsi pengorganisasian merupakan alat untuk mengatur semua
kegiatan yang berkaitan dengan personil, finansial, material dan tatacara untuk
mencapai

tujuan.

Pengorganisasian

adalah

langkah

untuk

menetapkan,

menggolongkan dan mengatur berbagai macam kegiatan, menetapkan tugas-tugas


pokok dan wewenang, serta pendelegasian dari pimpinan ke staf untuk mencapai
tujuan organisasi. Pada pengorganisasian ini mencakup ada tidaknya tim asuhan
gizi yang sudah terlatih, tim asuhan gizi adalah sekelompok petugas kesehatan
yang berada di rumah sakit ataupun puskesmas yang terkait dengan pelayanan
gizi, terdiri dari dokter/dokter spesialis, tenaga pelaksana gizi, dan perawat bidan
dari setiap unit pelayanan, bertugas menyelenggarakan asuhan gizi (nutrition
care) untuk mencapai pelayanan paripurna yang bermutu (Depkes, 2009).
2. Tatacara (prosedur) dan Tindak Lanjut Tatalaksana Gizi Buruk
Tatacara / prosedur tatalaksana gizi dapat dimulai dengan penemuan kasus balita
kurang energi protein (KEP)/gizi buruk dapat dimulai dari posyandu ataupun dari
puskesmas dimana ditemukannya balita dengan berat badan <-3 standar deviasi
(sesuai standar WHO-2005).
Untuk melihat prosedur tatalaksana anak gizi buruk dan rujukannya dilakukan
dengan mengambil satu contoh atau lebih status pasien anak gizi buruk di
puskesmas dimulai dari : Tahap identifikasi identitas anak, kemudian dilakukan
Universitas
Sumatera Utara

anamnesis, pemeriksaan fisik serta penentuan status gizi sehingga diketahui


dengan jelas kondisi gizi buruk yang dialami pasien. Rujukan dan persiapan
tindak lanjut di puskesmas yaitu menerima rujukan gizi buruk dari Posyandu
dalam wilayah kerjanya serta pasien pulang dari rawat inap di rumah sakit,
kemudian menyeleksi dengan cara menimbang ulang dan dicek dengan tabel
BB/TB, WHO-2005 (Depkes, 2009).
Anak dengan kurang energi protein berat/gizi buruk dengan komplikasi serta
tanda-tanda kegawat daruratan harus segera dirujuk ke rumah sakit. Tindakan
yang dapat dilakukan di puskesmas pada anak gizi buruk tanpa komplikasi yaitu :
Memberikan penyuluhan gizi dan konseling diet KEP berat/gizi buruk (dilakukan
dipojok gizi), melakukan pemeriksaan fisik dan pengobatan minimal 1 kali
perminggu, melakukan evaluasi pertumbuhan berat badan balita gizi buruk setiap
dua minggu sekali, melakukan peragaan cara menyiapkan makanan untuk KEP
berat/gizi buruk, melakukan pencatatan dan pelaporan tentang perkembangan
berat badan dan kemajuan asupan makanan, untuk keperluan data pemantauan
gizi buruk di lapangan, posyandu, dan puskesmas. Diperlukan laporan segera
jumlah balita KEP berat/gizi buruk ke Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dalam 24
jam (Depkes, 2002).
3. Pengawasan (Monitoring)
Menurut George Terry berdasarkan fungsi manajemen yang dipakai Depkes,
fungsi merupakan fungsi yang terakhir dari proses manajemen, fungsi
pengawasan adalah proses untuk mengawasi secara terus menerus pelaksanaan
Universitas
Sumatera Utara

kegiatan sesuai dengan rencana kerja yang disusun. Melalui fungsi ini standar
keberhasilan program yang ditetapkan dibandingkan dengan hasil yang dicapai,
apabila ada penyimpangan dan kesenjangan yang terjadi harus segera diatasi.
2.2.2.Faktor-Faktor yang Memengaruhi Keberhasilan Penatalaksanaan Gizi

Buruk pada Balita


Perkembangan masalah gizi di Indonesia berdasarkan hasil surveilens dari
seluruh Dinas Kesehatan Provinsi sejak tahun 2005 didapatkan bahwa setiap bulan
kasus gizi buruk mengalami penurunan. Hal tersebut disebabkan karena anak yang
menderita gizi buruk mendapat perawatan yang baik di puskesmas maupun rumah
sakit. Dilanjutkan perawatan tindak lanjut yang berupa rawat jalan melalui posyandu,
untuk memantau kenaikan berat badan serta mendapatkan makanan tambahan
(Depkes ,2005).
Oleh karena itu dapat diketahui bahwa faktor-faktor yang memengaruhi
keberhasilan penatalaksanaan gizi buruk antara lain : Faktor tenaga kesehatan, faktor
ibu, faktor program kesehatan, faktor kerjasama lintas sektor, faktor ekonomi dan
faktor penyakit.
1. Faktor Tenaga Kesehatan
Pemerintah meningkatkan akses pelayanan kesehatan gizi yang bermutu, melalui
penempatan tenaga pelaksana gizi di puskesmas dan peningkatan kemampuan
tenaga kesehatan dalam mendeteksi, menemukan dan menangani kasus gizi buruk
sedini mungkin. Selain itu pemerintah juga membentuk tim asuhan gizi yang
terdiri dari dokter, perawat, bidan, ahli gizi dan dibantu oleh tenaga kesehatan

Universitas
Sumatera Utara

lainnya. Diharapkan dapat memberikan penanganan yang cepat dan tepat pada
kasus gizi buruk, baik di puskesmas maupun rumah sakit (Depkes, 2006).
2. Faktor Ibu
Pengetahuan ibu dalam pemberian gizi yang baik pada anaknya merupakan salah
satu faktor yang sangat berpengaruh bagi keberhasilan pemulihan gizi buruk pada
anak balita, sehingga diharapkan tidak terjadi kesalahan dalam pola asuh anaknya.
Pada saat pemulihan selain intervensi medis, seharusnya orang tua mendapatkan
pembinaan yang berkelanjutan, agar anaknya tidak jatuh dalam kondisi buruk lagi
(Depkes, 2006), melalui kegiatan antara lain: memberikan ASI secara ekslusif,
menimbang berat badan balitanya secara teratur di posyandu, mengkonsumsi
makanan

beraneka

ragam,

serta

menggunakan

garam

beryodium

serta

mengkonsumsi suplemen gizi (Depkes, 2007).


3. Faktor Program Kesehatan
Intervensi yang dilakukan oleh pemerintah melalui upaya promotif dan preventif,
untuk melakukan pemantauan pertumbuhan anak melalui kegiatan posyandu,
pemberian makanan tambahan, pendidikan dan konseling gizi serta pendampingan
keluarga sadar gizi. Pemerintah juga membentuk SKPG (Sistem Kewaspadaan
Pangan dan Gizi) dalam rangka mendeteksi, menemukan dan menangani kasus
gizi buruk sedini mungkin. Untuk meningkatkan status gizi anak dilakukan upaya
melalui pemberian perawatan anak gizi buruk di puskesmas perawatan dan rumah
sakit (Depkes, 2006).
4. Faktor Kerjasama Lintas Sektor
Universitas
Sumatera Utara

Menurut

Mardiyah

(2007)

mengingat

penyebabnya

sangat

kompleks,

penatalaksanaan gizi buruk memerlukan kerjasama yang komprehensif dari semua


pihak, tidak hanya dokter dan tenaga kesehatan saja tetapi juga dari pihak orang
tua, keluarga, pemuka masyarakat, pemuka agama dan pemerintah. Oleh karena itu
penanggulangan masalah gizi buruk merupakan tanggung jawab bersama, yang
melibatkan masyarakat dan banyak sektor yang terkait dalam pelayanan kesehatan.
Meliputi sektor ekonomi, pendidikan, sosial, budaya, pemberdayaan perempuan,
PKK dan pertanian yang menyangkut ketersediaan pangan dalam rumah tangga.
5. Faktor Ekonomi
Adanya krisis ekonomi menyebabkan penurunan pendapatan masyarakat dan
peningkatan harga pangan. Dalam kehidupan sehari-hari pengaruh tersebut sangat
dirasakan oleh masyarakat dalam bentuk pengurangan jumlah dan mutu konsumsi
makanan sehari-hari (Depkes, 2000). Pada tahun 2000 jaringan pengaman sosial
bidang kesehatan (JPSBK) telah berhasil meningkatkan akses keluarga miskin
terhadap pelayanan kesehatan. Sehingga derajat kesehatan masyarakat miskin
cenderung meningkat dan status gizi buruk mulai menurun (Media Ind, 2008).
6. Faktor Penyakit
Salah satu faktor penyebab gizi buruk pada anak balita adalah faktor penyakit yang
diderita anak, baik penyakit bawaan seperti penyakit jantung, penyakit infeksi
seperti, saluran pernafasan dan diare. Untuk mengatasi masalah tersebut,
pemerintah melakukan berbagai upaya untuk mencegah dan mengatasi masalah

Universitas
Sumatera Utara

masalah penyakit pada anak, misalnya memberikan imunisasi kepada ibu hamil
dan bayi untuk mencegah terjadinya penyakit (IDAI, 2008).
2.3.Pengetahuan
2.3.1.Pengertian Pengetahuan
Pengetahuan (knowledge) adalah merupakan hasil tahu dan ini terjadi
setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu obyek tertentu. Pengindraan
terjadi melalui panca indra manusia yakni : Indra penglihatan, pendengaran,
penciuman, rasa dan raba (Notoadmojo, 2003).
Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk
terbentuknya tindakan seseorang (over behavior). Suatu perbuatan yang didasari oleh
pengetahuan akan lebih langgeng daripada perbuatan yang tidak didasari oleh
pengetahuan, dan orang yang mengadopsi perbuatan dalam diri seseorang tersebut
akan terjadi proses sebagai berikut :
1. Kesadaran (awareness) dimana orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui
terlebih dahulu terhadap obyek (stimulus).
2. Merasa tertarik (interest) terhadap stimulus atau obyek tertentu. Disini sikap
subyek sudah mulai timbul.
3. Menimbang-nimbang (evaluation) terhadap baik dan tidaknya terhadap stimulus
tersebut bagi dirinya. Hal ini berarti sikap responden sudah tidak baik lagi.
4. Trial, dimana subyek mulai melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang
dikehendaki oleh stimulus.

Universitas
Sumatera Utara

5. Adopsi (adoption), dimana subyek telah berperilaku baru sesuai dengan


pengetahuan, kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus.
2.3.2.Tingkat Pengetahuan
Menurut Notoadmodjo (2007), pengetahuan yang dicakup di dalam domain
kognitif mempunyai 6 tingkat, yaitu :
1. Tahu (know)
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya.
Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall)
terhadap suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan
yang telah diterima. Oleh sebab itu, tahu ini adalah merupakan tingkat
pengetahuan yang paling rendah.
2. Memahami (comprehension)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan secara benar tentang
obyek yang diketahui dan dapat menginterpretasi materi tersebut secara benar.
3. Aplikasi (application)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah
dipelajari pada situasi atau kondisi rill (sebenarnya). Aplikasi di sini dapat
diartikan aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, adanya prinsip
terhadap obyek yang dipelajari.
4. Analisis (analysis)

Universitas
Sumatera Utara

Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau obyek ke dalam
komponen-komponen, tetapi masih di dalam suatu struktur organisasi tersebut,
dan masih ada kaitannya satu sama lainnya.
5. Sintesis (synthesis)
Sintesis menunjukan kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau
menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.
Dalam kata lain sintesis itu suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru
dari formulasi-formulasi yang ada.
6. Evaluasi (evaluation)
Evaluasi berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan suatu justifikasi atau
penilaian terhadap suatu materi atau objek.
Penilaian-penilaian ini berdasarkan suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau
menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada.

2.3.3.Faktor yang Memengaruhi Pengetahuan


Faktor-faktor yang memengaruhi pengetahuan menurut Notoadmodjo (2003) antara
lain :
1. Tingkat Pendidikan
Pendidikan adalah upaya untuk memberikan pengetahuan sehingga terjadi
perubahan perilaku positif yang meningkat. Pendidikan digolongkan sebagai
berikut : Tamat SD, Tamat SLTP, Tamat SLTA, Tamat Perguruan Tinggi dan
Universitas
Sumatera Utara

seterusnya. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang diharapkan akan


semakin tinggi tingkat pengetahuannya.
2. Informasi
Seseorang dengan sumber informasi yang lebih banyak akan mempunyai
pengetahuan yang lebih luas.
3. Budaya
Tingkah laku manusia atau kelompok manusia dalam memenuhi kebutuhan yang
meliputi sikap dan kepercayaan.
4. Pengalaman
Sesuatu yang pernah dialami seseorang akan menambah pengetahuannya tentang
sesuatu yang bersifat informal.
5. Sosial Ekonomi
Sosial ekonomi disini maksudnya adalah tingkat kemampuan seseorang untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya. Semakin tinggi tingkat sosial ekonomi akan
semakin tinggi tingkat pengetahuan yang dimiliki karena dengan tingkat sosial
ekonomi yang tinggi memungkinkannya untuk mempunyai fasilitas-fasilitas yang
mendukung seseorang mendapatkan informasi dan pengalaman yang lebih
banyak.
2.4.Penatalaksanaan Gizi dan Perbaikan Status Gizi pada Balita Gizi Buruk
Status gizi pada balita perlu mendapatkan perhatian yang serius, mengingat
jumlah balita di Indonesia sangat besar yaitu sekitar 10 % dari seluruh populasi,
Universitas
Sumatera Utara

perhatian yang serius itu berupa pemberian gizi yang baik. Pada lima tahun pertama
kehidupannya, ditujukan untuk mempertahankan kehidupan sekaligus meningkatkan
kualitas agar mencapai pertumbuhan optimal baik secara fisik, sosial maupun
intelegensi. Pertumbuhan adalah bertambahnya ukuran dan jumlah sel serta jaringan
intraseluler, yang berarti bertambahnya ukuran tubuh sebagian atau keseluruhan
sehingga dapat diukur dengan satuan panjang dan berat (Depkes, 2005).
Apabila balita mengalami status gizi yang buruk, secara otomatis proses
pertumbuhan dan perkembangan pada fungsi tubuhnya akan mengalami gangguan,
baik itu secara fisik yang dapat dilihat dengan terganggunya pertumbuhan ukuran
tubuhnya yaitu panjang atau tinggi badan, sedangkan perkembangan yang terganggu
yaitu dalam segi motorik dan tingkat kecerdasan yang rendah dibandingkan anakanak seusianya dengan status gizi yang baik.
Departemen Kesehatan (2008) telah mengupayakan penjaringan kasus gizi
buruk secara dini melalui kegiatan operasi timbang untuk seluruh balita, yang
pelaksanaannya turut melibatkan sektor lain. Balita yang ditemukan dilapangan akan
segera divalidasi dan dirujuk ke rumah sakit atau di puskesmas bila terdeteksi gizi
buruk berdasarkan indeks BB/TB, akan dilakukan perawatan dan disesuaikan dengan
prosedur tatalaksana anak gizi buruk, dan dilihat apakah gizi buruk tersebut tanpa
komplikasi atau dengan komplikasi, karena dari segi penanganan yang dilakukan
akan berbeda.
Saat ini penanganan gizi buruk tidak hanya terpusat pada rumah sakit, tetapi
lebih diarahkan agar puskesmas mempunyai kemampuan dalam penanganan gizi
Universitas
Sumatera Utara

buruk, perawatan gizi buruk dapat dilakukan secara rawat inap maupun rawat jalan di
puskesmas melalui klinik pemulihan gizi (PPG) atau lebih dikenal dengan TFC
(Therapeutic Feeding Center). Untuk itu perlunya diberikan pelatihan tentang
tatalaksana gizi buruk bagi semua petugas kesehatan terutama bagi tenaga pelaksana
gizi di puskesmas, sebagai upaya untuk meningkatkan pengetahuannya sehingga pada
saat ditemukan kasus gizi buruk di wilayahnya, mereka dapat melakukan
penatalaksanaan gizi yang sesuai dengan pedoman dan prosedur yang telah
ditetapkan.
Penelitian Arnelia (1992) menunjukkan sebanyak 20 % anak balita yang
awalnya menderita gizi buruk, pasca pemulihan di klinik gizi (pusat penelitian gizi
dan makanan, Depkes) masih dalam kondisi gizi buruk. Hal ini menunjukkan bahwa
ada suatu hal yang menyebabkan berulangnya kondisi gizi buruk tersebut yang
disebabkan oleh banyak faktor lain yang mungkin menjadi penyebabnya.
Perkembangan masalah gizi di Indonesia, berdasarkan hasil surveilens dari
seluruh Dinas Kesehatan Provinsi sejak tahun 2005 didapatkan bahwa setiap bulan
kasus gizi buruk mengalami penurunan. Hal tersebut disebabkan karena anak yang
menderita gizi buruk mendapat perawatan yang baik di puskesmas maupun rumah
sakit. Dilanjutkan perawatan tindak lanjut yang berupa rawat jalan melalui posyandu,
untuk memantau kenaikan berat badan serta mendapatkan makanan tambahan
(Depkes , 2005).
Menurut Departemen Kesehatan (2009) untuk melihat penatalaksanaan gizi
buruk dan rujukannya dilakukan dengan mengambil satu contoh atau lebih status
Universitas
Sumatera Utara

pasien anak gizi buruk di puskesmas yaitu dengan melihat tahap-tahap yang
dilakukan seperti, ada tidaknya pengorganisasian yaitu dengan melihat apakah ada
atau tidak tenaga gizi, dokter dan perawat/bidan yang telah dilatih untuk menjadi tim
asuhan gizi, karena tim asuhan gizi inilah yang akan melakukan penatalaksanaan gizi
pada balita gizi buruk yang ada di puskesmas tersebut, serta hal-hal lain yang
mendukung terlaksananya penatalaksanaan gizi buruk di puskesmas.
Sedangkan tatacara tatalaksana gizi yang dilakukan harus disesuaikan dengan
buku pedoman yang ada seperti identifikasi dan penemuan kasus baik di posyandu
ataupun dipuskesmas, yang biasanya dilakukan melalui deteksi dini penyimpangan
tumbuh kembang anak dan penentuan status gizi balita secara benar berdasarkan
standar WHO 2005, serta rujukan/tindak lanjut yang dilakukan terhadap pasien sudah
diberikan sesuai keadaan seperti gizi buruk dengan komplikasi atau tanpa komplikasi,
selain itu setelah dilakukan penatalaksana gizi dengan benar sesuai prosedur juga
yang harus dilakukan adalah pengawasan sehingga balita yang sudah dinyatakan
sembuh atau status gizi sudah mulai baik dan dapat dipulangkan, tetapi tetap
terpantau berat badannya. Serta adanya pencatatan pelaporan yang baik, sehingga
pada saat keadaan status gizi kembali memburuk catatan dan status pasien dapat
dibuka dan dilakukan penanganan dengan baik dan dapat dicari akar permasalahan
kenapa dan bagaimana kondisi gizinya dapat kembali memburuk, sehingga solusi
penanganan yang akan dilakukan dapat diketahui dengan pasti.
Berdasarkan Departemen Kesehatan (2011) dalam pedoman pelayanan anak
gizi buruk dijelaskan prosedur dalam penanganan kasus gizi buruk secara rawat jalan
Universitas
Sumatera Utara

dan rawat inap yang merupakan pedoman yang harus dilakukan tenaga kesehatan
khususnya tim asuhan gizi yang ada di puskesmas. Sehingga diketahui apa
sebenarnya yang menjadi kriteria dari anak gizi buruk, alur pemeriksaan/penemuan
kasus, penanganan kasus rawat jalan dan rawat inap, serta pencatatan dan pelaporan
dan melakukan monitoring dan evaluasi kegiatan penatalaksanaan gizi buruk yang
telah dilaksanakan.
2.5.Pengetahuan Tenaga Pelaksana Gizi dan Perbaikan Status Gizi pada Balita
Gizi Buruk.
Pengetahuan adalah informasi yang diketahui atau disadari oleh seseorang,
dan merupakan hasil tahu yang terjadi setelah orang melakukan penginderaan
terhadap obyek tertentu atau berbagai gejala yang ditemui. Penginderaan melalui
panca indera manusia. Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk
terbentuknya tindakan seseorang (Notoadmojo, 2007).
Pengetahuan dalam penatalaksanaan gizi buruk menyangkut ilmu gizi dan
segala sesuatu yang diketahui petugas dalam hal ini tenaga pelaksana gizi puskesmas,
untuk melakukan penanganan kasus gizi buruk yang ada di wilayah kerjanya,
meliputi pengetahuan yang dimulai: pengertian tatalaksana gizi buruk, bagaimana
penatalaksanaan kasus dan hal-hal lain menyangkut penatalaksanaan gizi yang akan
dilakukan terhadap balita gizi buruk.
Menurut Sarjono (1999) penatalaksanaan gizi adalah suatu paket program
komprehensif yang memadukan upaya promotif dan kuratif, mengkombinasikan
pengobatan semua penyakit penyerta yang sering diderita atau bahkan penyakit itu
Universitas
Sumatera Utara

sendiri yang membuat keadaan anak menjadi gizi buruk, merujuk penyakit secara
cepat, menilai status gizi serta menangani dan memberi konseling bagi ibu bagaimana
perawatan anak dirumah, nasehat pemberian makan dan kapan harus kembali segera
atau kapan harus kembali untuk tindak lanjut dan konseling bagi ibu untuk perawatan
dirinya. Semua kegiatan tersebut sepenuhnya harus dipahami dan dilakukan oleh
petugas kesehatan khususnya tenaga pelaksana gizi di puskesmas , sehingga
diharapkan tenaga pelaksana gizi telah dan mempunyai keterampilan dan tingkat
pengetahuan yang baik tentang apa dan bagaimana cara penanganan kasus dan sesuai
dengan standar tatalaksana gizi buruk.
Apabila petugas kesehatan mempunyai pengetahuan pada materi tatalaksana
gizi buruk yang telah dipelajari sebelumnya maka orang tersebut mempunyai
kemampuan untuk menjelaskan secara benar sampai dengan menggunakan atau
berperilaku sesuai dengan pengetahuannya pada situasi yang sebenarnya. Petugas
kesehatan mempunyai

kemampuan menganalisa, menyusun formulasi baru

berdasarkan ilmu pengetahuan yang dapat dipertanggung jawabkan serta melakukan


evaluasi sejauh mana kemampuan melaksanakan tatalaksana gizi buruk sesuai
standar.
2.6.Landasan Teoritis
Berbagai studi menunjukkan bahwa gizi kurang/buruk pada balita disebabkan
oleh penyebab langsung dan berbagai penyebab tidak langsung, (Myers, 1990),
Zeitlin et al, 1991; Engel, Mennon and Hadad (1997). seperti digambarkan dalam

Universitas
Sumatera Utara

kerangka pikir UNICEF (1998), pada penyebab langsung dari masalah gizi
kurang/buruk adalah anak tidak mendapat cukup makanan bergizi dan seimbang, dan
disisi lain baik secara bersama atau terpisah menderita penyakit infeksi yang
dampaknya akan menyebabkan makin beratnya keadaan gizi balita .
Berdasarkan konsep teori Dewan Pimpinan Pusat ASDI (2009), dalam Proses
Asuhan Gizi Terstandar (PAGT) atau disebut juga standardized nutrition care
process, bahwa semua pasien malnutrisi atau yang mempunyai masalah gizi diberikan
asuhan gizi yang sama dengan pemberian zat gizi yang sesuai dengan kebutuhan dan
kondisi pasien agar status gizinya optimal yang ditangani oleh ahli gizi yaitu dengan
melakukan pengkajian gizi (Assessment), diagnosa masalah gizi (Diagnosis),
intervensi gizi tahap rencana dan tahap implementasi (intervention) serta melakukan
monitoring dan evaluasi.
Menurut Depkes (2009), untuk menilai kepatuhan petugas (tim asuhan gizi)
dalam menjalankan dan melaksanakan tatalaksana anak gizi buruk sesuai standar
dipuskesmas perawatan dan non perawatan dengan melihat pengorganisasian,
prosedur tatalaksana gizi buruk, rujukan dan tindak lanjut serta melakukan
monitoring dan evaluasi yang dampaknya terhadap peningkatan/perbaikan status gizi
balita yang menderita gizi buruk.
Menurut Lawrence Green dalam Notoatmodjo (2007), diketahui bahwa faktorfaktor yang berpengaruh terhadap kepatuhan penatalaksanaan gizi ada 3 faktor yang salah
satunya yaitu faktor predisposisi yang didalamnya termasuk pengetahuan yang akan
memengaruhi tindakan dan kepatuhannya dalam penatalaksanaan kasus gizi
Universitas
Sumatera Utara

buruk sehingga diharapkan mempunyai dampak terhadap perbaikan status gizi pada
balita yang menderita gizi buruk.

2.7. Kerangka Konsep


Variabel Bebas

Variabel Terikat

Penatalaksanaan gizi
- Pengorganisasian
- Tatacara (prosedur)
- Tindak Lanjut
- Pengawasan (monitoring)

Keberhasilan
Puskesmas Dalam
Perbaikan Status Gizi
pada Balita Gizi
Buruk

Pengetahuan
Tenaga Pelaksana Gizi
Faktor Perancu:
1. Faktor Ibu
2. Faktor Penyakit
3. Faktor Ekonomi

Gambar 2.1 : Kerangka Konsep Penelitian.


Berdasarkan kerangka konsep dapat dijelaskan dengan penatalaksanaan gizi
pada balita gizi buruk seperti adanya pengorganisasian, tatacara penatalaksanaan,
tindak lanjut yang diberikan dan pengawasan yang sesuai standar tatalaksana gizi
Universitas
Sumatera Utara

buruk dan tingkat pengetahuan tenaga pelaksana gizi yang baik akan berdampak pada
kepatuhannya dalam melakukan penatalaksanaan gizi buruk sesuai standar sehingga
puskesmas berhasil dalam perbaikan status gizi pada balita gizi buruk yang ada di
wilayah kerjanya.
Untuk melihat status gizi pada balita gizi buruk yang telah mendapat
penatalaksanaan gizi dilakukan dengan memilih balita gizi buruk yang tidak
mempunyai faktor perancu dengan kriteria Inklusi seperti, balita gizi buruk yang tidak
menderita penyakit penyerta atau komplikasi, ibu balita yang mendukung
dilakukannya penatalaksanaan gizi dan dengan kondisi ekonomi menengah keatas,
sehingga faktor perancu pada penelitian ini dapat dihilangkan.

Universitas
Sumatera Utara

Das könnte Ihnen auch gefallen