Sie sind auf Seite 1von 5

Nada sambung berbunyi ditelingaku.

Sejak keluar kelas aku berusaha menghubungi Imel,


tapi tidak berhasil. Ku redial kembali nomor BB imel sambil berjalan menuju tempat parkir.
Tetap tidak ada tanda-tanda Imel akan mengangkat BB-nya.
Aduh si Imel, percuma HP canggih tapi susah dihubungi. Aku berjalan cepat menuju
mobil Imel yang masih terparkir rapih.
Ku rapikan ikatan rambutku yang semakin lama semakin panjang. Tekadku sekarang
sudah sangat bulat. HARUS POTONG RAMBUT!
Hai. suara Tristan dari belakang mengejutkanku. Kejutan yang menyenangkan.
Hai. Ngagetin aja.
Nungguin Imel ya?
Iya.
Biasa banget emang si Imel. Kalo janji susah tepatnya.
Kubalas komentar Tristan dengan senyum yang kuusahakan semanis mungkin. Ikatan
rambutku masih berantakan aku kembali menarik rambutku dan menguncirnya sambil sedikit
menarik napas.
Kenapa? tanya Tristan.
Enggak. Rambutnya kepanjangan. Tadinya cuma sepundak, tapi sekarang tambah
panjang, tambah ribet. Rencananya sih mo dipotong, tapi blom sempet.
Hah? jangan! Jangan dipotong. Sayang, rambut lo kan bagus banget.
Aku hanya tersipu malu mendengar pujian Tristan. Bener ga sih apa yang dikatakan
Tristan? Aku jadi berpikir dua kali untuk memotong rambut panjangku.
Tapi panas banget. jawabku.
Itu cuma perasaan lo aja.
Masa sih? Kalo lo mah enak, rambutnya pendek.
Kalo gua punya rambut kaya lo, pasti gua panjangin. jawab Tristan sambil tertawa.
Tidak berapa lama terlihat Imel berlari menuju kami sambil memanggil-manggil namaku.
Eh, sori ya. Gua ga denger suara HP. kata Imel beralasan.
Gua telponin dari tadi.
Iya, gua lihat missed call lo lebay banget. ujar Imel. Tris, lo ngapain di sini? berduaan
aja sama Mirel? Nah ya. Lo PDKT yaaa?
Ih, apaan sih lo Mel? kataku salting.
Imel menatap mata Tristan seperti berusaha mncari kebenaran di baliknya.

Enggak, gua liat Mirel sendirian di sini, kasian gua, kaya anak hilang. jelas Tristan.
Awas lo! ancam Imel.
Awas kenapa sih? tanya Tristan.
Imel hanya menunjuk ke arah Tristan denagn mata melotot dan bibir agak monyong.
Lebih ke lucu daripada menakutkan. Tristan hanya tertawa kecil melihat lagak Imel.
Eh, iya, gimana si Dartoyo? tanya Tristan kepadaku.
Iya tuh rese banget! Kenapa sih dia ga diem aja. Mulut kok ga dijaga. Dia kan guru,
kewajibannya ngajar bukan mempermalukan anak baru. cerocos Imel tanpa memberiku
kesempatan menjawab.
Emang awalnya gimana? tanya Tistan lagi.
Awalnya emang agak-agak salah gua sih.
Loh kok salah lo? tanya Imel.
Iya, gua bengong. jelasku.
Yaaahhh... itu mah biasa. Emang pelajaran dia tuh bikin bengong. jawab Imel.
Emang bengong mikirin apa? tanya Tristan.
Pertanyaan Tristan membuatku gugup. Masa aku harus menjawab jujur kalo aku bengong
memikirkan dia. Kan tidak mungkin.
Apa? tanyaku lagi karena tidak tahu mo jawab apa.
Bengong mikir apa? tanya Tristan lagi.
Ooo... mikir bokap nyokap. jawabku asal.
Imel menatapku dengan tampang curiga. Aku berusaha menyembunyikan wajahku
yang memerah.
Udah yuk pulang. ajak ku.
Si Alvin mana? tanya Imel.
Katanya sih lagi ke WC. jawab Tristan.
Ya udah ya. Kita duluan. kata Imel.
Kami masuk ke dalam mobil Yaris Imel dan dengan cepat meninggalkan Tristan yang
menatap kami dari belakang. Andai aku pindah ke Jakarta lebih awal, mungkin aku bisa
mengenal Tristan lebih awal dan keadaannya mungkin akan berbeda.
6

Seperti biasa, jalan arteri sudah dijejali kendaraan bermotor. Mobil Yaris Imel memang cocok
untuk kondisi jalan di Jakarta yang padat dan memerlukan kesigapan dalam berkendara.
Tapi aku sendiri lebih menyukai Jazz. Keren banget apalagi kalo warnanya putih.
Panasnya cuaca bercampur dengan asap kendaraan yang menambah penatnya
suasana jalanan. Aku membayangkan betapa panas dan sesak para penumpang
angkutan umum. Besyukur aku berada di dalam mobil yang nyaman dan ber AC.
Mir, lo masih bete? tanya Imel.
Enggak.
Ga kok.
Gara-gara ketemu Tristan ya? tembak Imel.
Badanku seperti tersengat aliran listrik mendengar pertanyaan Imel yang sangat to the
point.
Apaan sih lo? elakku.
Kayaknya lo kalo ketemu Tristan agak beda. ujar Imel.
Lo aja yang ngerasa gitu kali?
Tristan juga beda kalo ngobrol sama lo, kayak waktu dia masih deket sama gua.
Waduh, gimana ini? Apa yang sebaiknya aku katakan? Tidak mungkin aku katakan
perasaanku yang sesungguhnya. Aku tahu Imel masih suka dengan Tristan, masa aku curhat
tentang rasa sukaku terhadap Tristan.
Kebohongan juga bukan solusi terbaik. Biasanya kebohongan akan terus ditutupi dengan
kebohongan. Itu akan memperparah keadaan. Aku juga tidak dapat memilih diam karena
itu sama saja dengan mengiyakan pertanyaan Imel.
Kenapa aku selalu berada di situasi yang sulit. Ah! Rasanya saat ini aku lebih memilih di
dalam bis yang panas dan padat ketimbang di sini menjawab pertanyaan Imel.
Udah ah, ngobrol yang lain aja.
Loh kok gitu? Ngalihin pembicaraan?
Enggak.
Enggak apa nih? enggak ngalihin pembacaraan atau enggak suka sama Tristan.
Dua-duanya. jawabku tegas walaupun jawabanku keduanya adalah bohong.
Masa sih, lo ga suka Tristan? Apa coba yang kurang dari Tristan? Gak ada kan? cecar
Imel.

Kok aku merasa si Imel sudah mengetahui perasaanku terhadap Tristan ya? Apakah aku
se-obvious itu? Memang aku belum menemukan kekurangan Tristan. Semua kualitas cowok
idaman ada pada dirinya. Yang jadi permasalahan, apa reaksi Imel jika aku berkata jujur
padanya.
Apakah dia akan bersikap supportif atau sebaliknya, memusuhi dan membenciku karena
menyukai ex-nya.
Loh kok malah diem aja sih lo Mir? tanya Imel curiga.
Enggak, enggak kok, gua cuma agak masih kebayang-bayang kejadian di kelas tadi.
Kan gua udah bilang, kalo itu mah ga usah dipikirin, emang itu guru agak-agak stres.
Eh, kita langsung pulang kan? tanyaku.
Ya enggak lah! Gila apa! makan dulu dong.
Gagal rencanaku untuk langsung tidur. Tapi tidak apa lah, hitung-hitung refreshing.
Sekali-kali aku harus memanjakan diriku daripada nanti stres kayak pak Dartoyo.

Bagus juga nih mall Itulah yang ada di kepalaku ketika memasuki Pejaten Village.
Seingatku tempat ini dulunya terbengkalai. Tapi tak disangka menjadi mall yang sangat
megah dan cozy.
Makan di Solaria aja yuk. ajak Imel.
Ya udah.
Kami menaiki tangga jalan lantai demi lantai. Lebih enak daripada naik lift, sekalian cuci
mata liat-liat etalase.
Langit-langit mall yang tinggi serta di hiasi kaca-kaca bening yang memberi kesempatan
sinar matahari memasuki atrium mall yang menggema membuat suasana mall terlihat
terang dan menyenangkan.
Solaria berada di lantai 4 di bawah lantai tertinggi Pejaten Village. Pengunjung solaria
tidak begitu ramai. Mungkin karena kami datang setelah jam makan siang.
Suasana cafe sungguh terasa di retoran ini. Kenapa di desain seperti cafe? sedangkan
makanannya, seperti makanan rumahan? Mungkin akan lebih nyambung kalo desainnya
seperti rumah? Oh well, i dont really care, selama makanannya enak dan affordable.
Duduk di situ aja yuk. ajak Imel menunggu salah satu sudut restoran yang menghadap
keluar gedung.

Enak juga melihat perempatan yang dipenuhi kendaraan dari atas gedung. Mobil dan
motor teratur bergantian melewati perempatan Pejaten. Kadang terlihat pengendara
sepeda dengan peralatan lengkap. Siang-siang begini naik sepeda, its a suicide.
Pelayan Solaria memberikan selembar kertas yang didalamnya berisi tabel daftar
makanan yang sangat bervariasi. Siapapun kokinya di dalam sana, pastinya ia adalah koki
super. Bisa memasak sekian banyak menu yang dipesan dengan kecepatan luar biasa.
Imel langsung menulis angka satu di samping nasi goreng udang dan es teh manis. Lo
mo mesen apaan? tanya Imel.
Kayaknya pesenan lo enak deh. Gua sama deh sama lo. jawabku.
Imel menghapus angka satu dan menggantinya dengan angka dua. Kertas pesanan
diserahkan kepada pelayan Solaria yang menurutku mahal senyum.
Tangannya dengan sigap menghitung harga pesanan dan menyebutkannya di depan
kami. Imel memberikan lembaran uang seratus ribuan kemudian pelayan itu ngeluyur
meninggalkan kami tetap dengan tampang tanpa senyum.
Jadi, lo bayarin gua nih? tanyaku.
Iya. Sekarang-sekarang sih ga papa. Tapi jangan terus-terusan.
Ya iyalah. Thanks ya Mel.
Mir, gimana? lo betah ga di sini? tanya Imel.
Ya iyalah. gua kan orang sini. Masa ga betah.
Bukan, maksud gua di sekolah.
Ga ada masalah berarti sih, selain pak Dartoyo.
Kalo Tristan masalah ga? goda Imel.
Aduh, not again. Topik paling dihindari tahun ini! Kalo begini terus, kepalaku bisa meledak.
Kok enggak jawab sih? tanya Imel.
Ngapain gua jawab. lo udah tau jawaban gua.

Das könnte Ihnen auch gefallen

  • Rom 93
    Rom 93
    Dokument5 Seiten
    Rom 93
    Abdul Aziz
    Noch keine Bewertungen
  • Rom 94
    Rom 94
    Dokument5 Seiten
    Rom 94
    Abdul Aziz
    Noch keine Bewertungen
  • Rom 92
    Rom 92
    Dokument5 Seiten
    Rom 92
    Abdul Aziz
    Noch keine Bewertungen
  • Rom 95
    Rom 95
    Dokument5 Seiten
    Rom 95
    Abdul Aziz
    Noch keine Bewertungen
  • Rom 9
    Rom 9
    Dokument5 Seiten
    Rom 9
    Abdul Aziz
    Noch keine Bewertungen
  • Rom 5
    Rom 5
    Dokument5 Seiten
    Rom 5
    Abdul Aziz
    Noch keine Bewertungen
  • Rom 7
    Rom 7
    Dokument5 Seiten
    Rom 7
    Abdul Aziz
    Noch keine Bewertungen
  • Rom 8
    Rom 8
    Dokument5 Seiten
    Rom 8
    Abdul Aziz
    Noch keine Bewertungen
  • Rom 4
    Rom 4
    Dokument5 Seiten
    Rom 4
    Abdul Aziz
    Noch keine Bewertungen
  • Rom 91
    Rom 91
    Dokument4 Seiten
    Rom 91
    Abdul Aziz
    Noch keine Bewertungen
  • Rom 5
    Rom 5
    Dokument5 Seiten
    Rom 5
    Abdul Aziz
    Noch keine Bewertungen
  • Rom 6
    Rom 6
    Dokument5 Seiten
    Rom 6
    Abdul Aziz
    Noch keine Bewertungen
  • Rom 3
    Rom 3
    Dokument6 Seiten
    Rom 3
    Abdul Aziz
    Noch keine Bewertungen
  • Sin 98
    Sin 98
    Dokument5 Seiten
    Sin 98
    Abdul Aziz
    Noch keine Bewertungen
  • Rom 1
    Rom 1
    Dokument6 Seiten
    Rom 1
    Abdul Aziz
    Noch keine Bewertungen
  • Sin 97
    Sin 97
    Dokument180 Seiten
    Sin 97
    Abdul Aziz
    Noch keine Bewertungen
  • Sin 8
    Sin 8
    Dokument5 Seiten
    Sin 8
    Abdul Aziz
    Noch keine Bewertungen
  • Rom 2
    Rom 2
    Dokument7 Seiten
    Rom 2
    Abdul Aziz
    Noch keine Bewertungen
  • Sin 93
    Sin 93
    Dokument5 Seiten
    Sin 93
    Abdul Aziz
    Noch keine Bewertungen
  • Sin 95
    Sin 95
    Dokument5 Seiten
    Sin 95
    Abdul Aziz
    Noch keine Bewertungen
  • Sin 96
    Sin 96
    Dokument5 Seiten
    Sin 96
    Abdul Aziz
    Noch keine Bewertungen
  • Sin 9
    Sin 9
    Dokument5 Seiten
    Sin 9
    Abdul Aziz
    Noch keine Bewertungen
  • Sin 7
    Sin 7
    Dokument5 Seiten
    Sin 7
    Abdul Aziz
    Noch keine Bewertungen
  • Sin 94
    Sin 94
    Dokument5 Seiten
    Sin 94
    Abdul Aziz
    Noch keine Bewertungen
  • Sin 93
    Sin 93
    Dokument5 Seiten
    Sin 93
    Abdul Aziz
    Noch keine Bewertungen
  • Sin 91
    Sin 91
    Dokument5 Seiten
    Sin 91
    Abdul Aziz
    Noch keine Bewertungen
  • Sin 92
    Sin 92
    Dokument5 Seiten
    Sin 92
    Abdul Aziz
    Noch keine Bewertungen
  • Sin 6
    Sin 6
    Dokument5 Seiten
    Sin 6
    Abdul Aziz
    Noch keine Bewertungen
  • Sin 5
    Sin 5
    Dokument5 Seiten
    Sin 5
    Abdul Aziz
    Noch keine Bewertungen