Sie sind auf Seite 1von 13

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN

TRAUMA SPINAL DAN SERVIKAL


A. KONSEP DASAR PENYAKIT
1. DEFINISI

Cedera tulang belakang adalah cedera mengenai cervicalis, vertebralis dan


lumbalis akibat trauma ; jatuh dari ketinggian, kecelakakan lalu lintas, kecelakakan

olah raga dsb ( Sjamsuhidayat, 1997).


Cedera medulla spinalis adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang sering kali
disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas. Apabila cedera itu mengenai daerah L1-2
dan/atau dibawahnya maka akan dapat mengakibatkan hilangnya fungsi motorik dan

sensorik serta kehilangan fungsi defekasi dan berkemih. (Doengoes, 1999; 338)
Cedera medulla spinalis adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang disebabkan

oleh benturan pada daerah medulla spinalis. (smeltzer, 2001 ; )


Trauma tulang belakang adalah cedera pada tulang belakang (biasanya mengenai
servikal dan lumbal) yang ditandai dengan memar, robeknya bagaian pada tulang
belakang akibat luka tusuk atau fraktur/ dislokasi di kolumna spinalis. (ENA, 2000 ;

426)
Trauma spinal cord adalah cedera yang mengakibatkan fungsi konduksi saraf
terganggu, reflex dan fungsi motorik berkurang, terjadi perubahan sensasi, dan syok
neurogenik. (Campbell, 2004 ; 130)

Gambar 1. Cedera pata tulang belakang menyebabkan kerusakan fungsi dan nyeri
akut
2. PENYEBAB
Adapun penyebab dari trauma servikal dan spinal antara lain :
Seseorang yang terpeleset di lantai,
Menyelam di air yang dangkal.
Terlempar dari kuda atau motor
Jatuh dari ketinggian dalam posisi berdiri

Kecelakaan motor.
Terjatuh.Anak-anak yang memakai sabuk bahu yang tidak sesuai di sekitar
leher.Leher tergantung.(Campbell, 2004 ; 131)

Berikut ini adalah mekanisme cedera tumpul spinal menurut Campbell (2004 ; 131) :
Hiperektensi
Kepala dan leher bergerak ke belakang / hiperektensi secara berlebihan.
Hiperfleksi
Ke
pala di atas dada bergerak ke depan / heperfleksi dengan berlebihan.
Kompresi
Bobot tubuh dari kepala hingga pelvis mengakibatkan penekanan pada leher atau

batang tubuh.
Rotasi
Rotasi yang berlebih dari batang tubuh atau kepala dan leher sehingga terjadi

pergerakan berlawanan arah dari kolumna spinalis.


Penekanan ke samping
Pergerakan ke samping yang berlebih menyebabkan pergeseran dari kolumna

spinalis.
Distraksi
Peregangan yang berlebihan dan kolumna spinalis dan spinal cord.

3. TANDA DAN GEJALA


Menurut menurut ENA (2000 : 426), tanda dan gejala adalah sebagai berikut:
Pernapasan dangkal
penggunaan otot-otot pernapasan
pergerakan dinding dada
Hipotensi (biasanya sistole kurang dari 90 mmHg)
Bradikardi
Kulit teraba hangat dan kering
Poikilotermi (Ketidakmampuan mengatur suhu tubuh, yang mana suhu tubuh
bergantung pada suhu lingkungan)
kehilangan sebagian atau keseluruhan kemampuan bergerak
Kehilangan sensasi
terjadi paralisis, paraparesis, paraplegia atau quadriparesis/quadriplegia
adanya spasme otot, kekakuan
Menurut menurut Campbell (2004 ; 133)
Kelemahan otot
Adanya deformitas tulang belakang
adanya nyeri ketika tulang belakang bergerak
terjadinya perubahan bentuk tulang servikal akibat cedera
Kehilangan control dalam eliminasi urin dan feses,
terjadinya gangguan pada ereksi penis (priapism)
4. PATOFISIOLOGI

Akibat kecelakaan, terpeleset, terjatuh dari motor, jatuh dari ketinggian dalam
posisi berdiri menyebabkan cedera pada kolumna vertebra dan medulla spinalis
yang dapat menyebabkan gangguan pada beberapa system, diantaranya :
1) Kerusakan jalur simpatetik desending yang mengakibatkan terputusnya jaringan
saraf medulla spinalis, karena jaringan saraf ini terputus maka akan menimbulkan
paralisis dan paraplegi pada ekstremitas.
2)

Dari cedera tersebut akan menimbulkan perdarahan makroskopis yang akan


menimbulkan reaksi peradangan, dari reaksi peradangan tersebut akan melepaskan
mediator kimiawi yang menyebabkan timbulnya nyeri hebat dan akut, nyeri yang
timbul berkepanjangan mengakibatkan syok spinal yang apabila berkepanjangan
dapat

menurunkan

tingkat

kesadaran.

Reaksi

peradangan

tersebut

juga

menimbulkan juga menyebabkan edema yang dapat menekan jaringan sekitar


sehingga aliran darah dan oksigen ke jaringan tersebut menjadi terhambat dan
mengalami hipoksia jaringan. Reaksi anastetik yang ditimbulkan dari reaksi
peradangan tersebut juga menimbulkan kerusakan pada system eliminasi urine.
3) Blok pada saraf simpatis juga dapat diakibatkan dari cedera tulang belakang yang
menyebabkan kelumpuhan otot pernapasan sehinggan pemasukan oksigen ke
dalam tubuh akan menurun, dengan menurunnya kadar oksigen ke dalam tubuh
akan mengakibatkan tubuh berkompensasi dengan meningkatkan frekuensi
pernapasan sehingga timbul sesak.

Gambar 2. Cedera pada bagian tertentu tulang belakang mengakibatkan kerusakan


saraf

5. KLASIFIKASI
Holdsworth membuat klasifikasi cedera spinal sebagai berikut :
Cedera fleksi
Cedera fleksi menyebabkan beban regangan pada ligamentum posterior, dan
selanjutnya dapat menimbulkan kompresi pada bagian anterior korpus vertebra dan
mengakibatkan

wedge

fracture

(teardrop

fracture).

Cedera

semacam

ini

dikategorikan sebagai cedera yang stabil


Cedera fleksi-rotasi
Beban fleksi-rotasi akan menimbulkan cedera pada ligamentum posterior dan
kadang juga prosesus artikularis, selanjutnya akan mengakibatkan terjadinya
dislokasi fraktur rotasional yang dihubungkan dengan slice fracture korpus vertebra.

Cedera ini merupakan cedera yang paling tidak stabil.


Cedera ekstensi
Cedera ekstensi biasanya merusak ligamentum longitudinalis anterior dan
menimbulkan herniasi diskus. Biasanya terjadi pada daerah leher. Selama kolum

vertebra dalam posisi fleksi, maka cedera ini masih tergolong stabil.
Cedera kompresi vertikal (vertical compression)
Cedera kompresi vertical mengakibatkan pembebanan pada korpus vertebra dan

dapat menimbulkan burst fracture.


Cedera robek langsung (direct shearing)
Cedera robek biasanya terjadi di daerah torakal dan disebabkan oleh pukulan
langsung pada punggung, sehingga salah satu vertebra bergeser, fraktur prosesus
artikularis serta ruptur ligamen.
Berdasarkan sifat kondisi fraktur yang terjadi, Kelly dan Whitesides mengkategorikan
cedera spinal menjadi cedera stabil dan cedera non-stabil. Cedera stabil mencakup
cedera kompresi korpus vertebra baik anterior atau lateral dan burst fracture derajat
ringan. Sedangkan cedera yang tidak stabil mencakup cedera fleksi-dislokasi, fleksi-

rotasi, dislokasi-fraktur (slice injury), dan burst fracture hebat.


a. Cedera stabil

Fleksi

Cedera fleksi akibat fraktura kompresi baji dari vertebra torakolumbal umum
ditemukan dan stabil. Kerusakan neurologik tidak lazim ditemukan. Cedera ini
menimbulkan rasa sakit, dan penatalaksanaannya terdiri atas perawatan di rumah
sakit selama beberapa hari istorahat total di tempat tidur dan observasi terhadap

paralitik ileus sekunder terhadap keterlibatan ganglia simpatik. Jika baji lebih besar
daripada 50 persen, brace atau gips dalam ekstensi dianjurkan. Jika tidak, analgetik,
korset, dan ambulasi dini diperlukan. Ketidaknyamanan yang berkepanjangan tidak

lazim ditemukan.
Fleksi ke Lateral dan Ekstensi
Cedera ini jarang ditemukan pada daerah torakolumbal. Cedera ini stabil, dan defisit
neurologik jarang. Terapi untuk kenyamanan pasien (analgetik dan korset) adalah

semua yang dibutuhkan.


Kompresi Vertikal
Tenaga aksial mengakibatkan kompresi aksial dari 2 jenis : (1) protrusi diskus ke
dalam lempeng akhir vertebral, (2) fraktura ledakan. Yang pertama terjadi pada
pasien muda dengan protrusi nukleus melalui lempeng akhir vertebra ke dalam
tulang berpori yang lunak. Ini merupakan fraktura yang stabil, dan defisit neurologik
tidak terjadi. Terapi termasuk analgetik, istirahat di tempat tidur selama beberapa
hari, dan korset untuk beberapa minggu. Meskipun fraktura ledakan agak stabil,
keterlibatan neurologik dapat terjadi karena masuknya fragmen ke dalam kanalis
spinalis. CT-Scan memberikan informasi radiologik yang lebih berharga pada
cedera. Jika tidak ada keterlibatan neurologik, pasien ditangani dengan istirahat di
tempat tidur sampai gejala-gejala akut menghilang. Brace atau jaket gips untuk
menyokong vertebra yang digunakan selama 3 atau 4 bulan direkomendasikan. Jika
ada keterlibatan neurologik, fragmen harus dipindahkan dari kanalis neuralis.
Pendekatan bisa dari anterior, lateral atau posterior. Stabilisasi dengan batang
kawat, plat atau graft tulang penting untuk mencegah ketidakstabilan setelah

dekompresi.
b. Cedera Tidak Stabil
Cedera Rotasi Fleksi
Kombinasi dari fleksi dan rotasi dapat mengakibatkan fraktura dislokasi dengan
vertebra yang sangat tidak stabil. Karena cedera ini sangat tidak stabil, pasien harus
ditangani dengan hati-hati untuk melindungi medula spinalis dan radiks. Fraktura
dislokasi ini paling sering terjadi pada daerah transisional T10 sampai L1 dan
berhubungan dengan insiden yang tinggi dari gangguan neurologik. Setelah
radiografik yang akurat didapatkan (terutama CT-Scan), dekompresi dengan
memindahkan unsur yang tergeser dan stabilisasi spinal menggunakan berbagai alat

metalik diindikasikan.
Fraktura Potong

Vertebra dapat tergeser ke arah anteroposterior atau lateral akibat trauma parah.
Pedikel atau prosesus artikularis biasanya patah. Jika cedera terjadi pada daerah
toraks, mengakibatkan paraplegia lengkap. Meskipun fraktura ini sangat tidak stabil
pada daerah lumbal, jarang terjadi gangguan neurologi karena ruang bebas yang
luas pada kanalis neuralis lumbalis. Fraktura ini ditangani seperti pada cedera fleksi

rotasi.
Cedera Fleksi-Rotasi
Change fracture terjadi akibat tenaga distraksi seperti pada cedera sabuk
pengaman. Terjadi pemisahan horizontal, dan fraktura biasanya tidak stabil.
Stabilisasi bedah direkomendasikan.

6.
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.

PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK/PENUNJANG
Hasil AGD menunjukkan keefektifan pertukaran gas dan upaya ventilasi
CT Scan untuk menentukan tempat luka atau jejas
MRI untuk mengidentifikasi kerusakan saraf spinal
Foto Rongen Thorak untuk mengetahui keadaan paru
Sinar X Spinal untuk menentukan lokasi dan jenis cedera tulang (Fraktur/Dislokasi)
Tomogram
Mielogram
Odontoid View Films
Spinal Films (lateral and oblique)
(ENA, 2000 ; 427)

7. KOMPLIKASI
Efek dari cedera kord spinal akut mungkin mengaburkan penilaian atas cedera
lain dan mungkin juga merubah respon terhadap terapi. 60% lebih pasien dengan
cedera kord spinal bersamaan dengan cedera major: kepala atau otak, toraks,
abdominal, atau vaskuler. Berat serta jangkauan cedera penyerta yang berpotensi
didapat dari penilaian primer yang sangat teliti dan penilaian ulang yang sistematik
terhadap pasien setelah cedera kord spinal. Dua penyebab kematian utama
setelah cedera kord spinal adalah aspirasi dan syok. (Wikipedia, Maret, 2009)
8. PENATALAKSANAAN KEGAWATDARURATAN DAN TERAPI PENGOBATANNYA
a. Mempertahankan ABC (Airway, Breathing, Circulation)
b. Mengatur posisi kepala dan leher untuk mendukung airway : headtil, chin lip, jaw
thrust. Jangan memutar atau menarik leher ke belakang (hiperekstensi),
mempertimbangkan pemasangan intubasi nasofaring.
c. Stabilisasi tulang servikal dengan manual support, gunakan servikal collar,
imobilisasi lateral kepala, meletakkan papan di bawah tulang belakang.

d. Stabililisasi tulang servikal sampai ada hasil pemeriksaan rontgen (C1 - C7) dengan
menggunakan collar (mencegah hiperekstensi, fleksi dan rotasi), member lipatan
e.
f.
g.
h.

selimut di bawah pelvis kemudian mengikatnya.


Menyediakan oksigen tambahan.
Memonitor tanda-tanda vital meliputi RR, AGD (PaCO2), dan pulse oksimetri.
Menyediakan ventilasi mekanik jika diperlukan.
Memonitor tingkat kesadaran dan output urin untuk menentukan pengaruh dari

i.
a.
b.
c.
j.
a.
b.
k.

hipotensi dan bradikardi.


Meningkatkan aliran balik vena ke jantung.
Berikan antiemboli
Tinggikan ekstremitas bawah
Gunakan baju antisyok.
Meningkatkan tekanan darah
Monitor volume infuse
Berikan terapi farmakologi ( vasokontriksi)
Berikan atropine sebagai indikasi untuk meningkatkan denyut nadi jika terjadi gejala

bradikardi.
l. Mengetur suhu ruangan untuk menurunkan keparahan dari poikilothermy.
m. Memepersiapkan pasien untuk reposisi spina.
n. Memberikan obat-obatan untuk menjaga, melindungi dan memulihkan spinal cord :
steroid dengan dosis tinggi diberikan dalam periode lebih dari 24 jam, dimulai dari 8
jam setelah kejadian.
o. Memantau status neurologi pasien untuk mengetahui tingkat kesadaran pasien.
p. Memasang NGT untuk mencegah distensi lambung dan kemungkinan aspirasi jika
q.
r.
s.
t.

ada indikasi.
memasang kateter urin untuk pengosongan kandung kemih.
Mengubah posisi pasien untuk menghindari terjadinya dekubitus.
Memepersiapkan pasien ke pusat SCI (jika diperlukan).
Mengupayakan pemenuhan kebutuhan pasien yang teridentifikasi secara konsisten

untuk menumbuhkan kepercayaan pasien pada tenaga kesehatan.


u. Melibatkan orang terdekat untuk mendukung proses penyembuhan.
(ENA, 2000 ; 427)

B. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN


1. PENGKAJIAN
PENGKAJIAN PRIMER

Data Subyektif
1.
a)
b)
c)
d)
2.
a)
b)

Riwayat Penyakit Sekarang


Mekanisme Cedera
Kemampuan Neurologi
Status Neurologi
Kestabilan Bergerak
Riwayat Kesehatan Masa Lalu
Keadaan Jantung dan pernapasan
Penyakit Kronis
Data Obyektif

1. Airway
adanya desakan otot diafragma dan interkosta akibat cedera spinal sehingga
mengganggu jalan napas
2. Breathing
- Pernapasa dangkal, penggunaan otot-otot pernapasan, pergerakan dinding dada
3. Circulation
Hipotensi (biasanya sistole kurang dari 90 mmHg), Bradikardi, Kulit teraba hangat
dan kering, Poikilotermi (Ketidakmampuan mengatur suhu tubuh, yang mana suhu
tubuh bergantung pada suhu lingkungan)
4. Disability
Kaji Kehilangan sebagian atau keseluruhan kemampuan bergerak, kehilangan
sensasi, kelemahan otot

a)
b)
-

PENGKAJIAN SEKUNDER
Exposure
Adanya deformitas tulang belakang
Five Intervensi
Hasil AGD menunjukkan keefektifan pertukaran gas dan upaya ventilasi
CT Scan untuk menentukan tempat luka atau jejas
MRI untuk mengidentifikasi kerusakan saraf spinal
Foto Rongen Thorak untuk mengetahui keadaan paru
Sinar X Spinal untuk menentukan lokasi dan jenis cedera

tulang

(Fraktur/Dislokasi)
c) Give Comfort
- Kaji adanya nyeri ketika tulang belakang bergerak
d) Head to Toe
Leher : Terjadinya perubahan bentuk tulang servikal akibat cedera
Dada :
Pernapasa dangkal, penggunaan otot-otot pernapasan, pergerakan
dinding dada, bradikardi, adanya desakan otot diafragma dan interkosta akibat
cedera spinal
Pelvis dan Perineum : Kehilangan control dalam eliminasi urin dan feses,
terjadinya gangguan pada ereksi penis (priapism)
Ekstrimitas
:
terjadi
paralisis,
paraparesis,
quadriparesis/quadriplegia

paraplegia

atau

e) Inspeksi Back / Posterior Surface


- Kaji adanya spasme otot, kekakuan, dan deformitas pada tulang belakang
2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1)

Pola napas tidak efektif berhubungan dengan hiperventilasi ditandai dengan


dispnea,terdapat otot bantu napas

2) Perfusi jaringan perifer tidak efektif berhubungan dengan penyumbatan aliran darah
ditandai dengan bradikardi, nadi teraba lemah, terdapat sianosis, akral teraba dingin,
CRT > 2 detik, turgor tidak elastis, kelemahan, AGD abnormal
3) Nyeri akut berhubungan dengan gangguan neurologis
4) Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan neuromuscular ditandai
dengan paralisis dan paraplegia pada ekstremitas.
5) Kerusakan eliminasi urine berhubungan dengan kerusakan sensori motorik ditandai
dengan kehilangan kontrol dalam eliminasi urine.
6) Risiko decera berhubungan dengan penurunan kesaradaran.
3. RENCANA TINDAKAN
1.

Pola napas tidak efektif berhubungan dengan hiperventilasi ditandai dengan


dispnea,terdapat otot bantu napas
Tujuan keperawatan : setelah diberikan tindakan keperawatan selama 2x15 menit,
diharapkan pola napas pasien efektif dengan kriteria hasil:

a. Pasien melaporkan sesak napas berkurang


b. Pernapasan teratur
c. Takipnea tidak ada
d. Pengembangan dada simetris antara kanan dan kiri
e. Tanda vital dalam batas normal (nadi 60-100x/menit, RR 16-20 x/menit, tekanan
darah 110-140/60-90 mmHg, suhu 36,5-37,5 oC)
f. Tidak ada penggunaan otot bantu napas
Intervensi
Mandiri :
1. Pantau ketat tanda-tanda vital dan pertahankan ABC
R/ : Perubahan pola nafas dapat mempengaruhi tanda-tanda vital
2. Monitor usaha pernapasan pengembangan dada, keteraturan pernapasan nafas
bibir dan penggunaan otot bantu pernapasan.

R/ : Pengembangan dada dan penggunaan otot bantu pernapasan mengindikasikan


gangguan pola nafas
3. Berikan posisi semifowler jika tidak ada kontra indiksi
R/ : Mempermudah ekspansi paru
4. Gunakan servikal collar, imobilisasi lateral kepala, meletakkan papan di bawah tulang
belakang.
R/ : Stabilisasi tulang servikal
Kolaborasi :
1. Berikan oksigen sesuai indikasi
R/ : Oksigen yang adekuat dapat menghindari resiko kerusakan jaringan
2. Berikan obat sesuai indikasi
R/ : Medikasi yang tepat dapat mempengaruhi ventilasi pernapasan
2. Perfusi jaringan perifer tidak efektif berhubungan dengan penyumbatan aliran darah
ditandai dengan bradikardi, nadi teraba lemah, terdapat sianosis, akral teraba dingin,
CRT > 2 detik, turgor tidak elastis, kelemahan, AGD abnormal
Tujuan Keperawatan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x5 menit
diharapkan perfusi jaringan adekuat dengan kriteria hasil :
a. Nadi teraba kuat
b. Tingkat kesadaran composmentis
c. Sianosis atau pucat tidak ada
d. Nadi Teraba lemah, terdapat sianosis,
e. Akral teraba hangat
f. CRT < 2 detik
g. GCS 13-15
h. AGD normal
Intervensi :
1. Atur posisi kepala dan leher untuk mendukung airway (jaw thrust). Jangan memutar
atau menarik leher ke belakang (hiperekstensi), mempertimbangkan pemasangan
intubasi nasofaring.
R/ : Untuk mempertahankan ABC dan mencegah terjadi obstruksi jalan napas
2. Atur suhu ruangan
R/ : Untuk menurunkan keparahan dari poikilothermy.
3. Tinggikan ekstremitas bawah
R/ : Meningkatkan aliran balik vena ke jantung.
4. Gunakan servikal collar, imobilisasi lateral kepala, meletakkan papan di bawah
tulang belakang.

R/ : Stabilisasi tulang servikal


5. Sediakan oksigen dengan nasal canul untuk mengatasi hipoksia
R/: Mencukupi kebutuhan oksigen tubuh dan oksigen juga dapat menurunkan
terjadinya sickling.
6. Ukur tanda-tanda vital
R/: Perubahan tanda-tanda vital seperti bradikardi akibat dari kompensasi jantung
terhadap penurunan fungsi hemoglobin
7. Pantau adanya ketidakadekuatan perfusi :
Peningkatan rasa nyeri
Kapilari refill . 2 detik
Kulit : dingin dan pucat
Penurunanan output urine
R/: Menunjukkan adanya ketidakadekuatan perfusi jaringan
8. Pantau GCS
R/: Penurunan perfusi terutama di otak dapat mengakibatkan penurunan tingkat
kesadaran
9. Awasi pemeriksaan AGD
R/: Penurunan perfusi jaringan dapat menimbulkan infark terhadap organ jaringan
3. Nyeri akut berhubungan dengan gangguan neurologis
Tujuan keperawatan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 15 menit
diharapkan nyeri pasien dapat berkurang dengan kriteria hasil :
a. Tanda-tanda vital dalam batas normal (Nadi 60-100 x/menit),(Suhu 36,5-37,5),
( Tekanan Darah 110-140/60-90 mmHg),(RR 16-20 x/menit)
b. Penurunan skala nyeri( skala 0-10)
c. Wajah pasien tampak tidak meringis
Intervensi:
1. Kaji PQRST pasien :
R/: pengkajian yang tepat dapat membantu dalam memberikan intervensi yang
tepat.
2. Pantau tanda-tanda vital
R/: nyeri bersifat proinflamasi sehingga dapat mempengaruhi tanda-tanda vital.
3. Berikan analgesic untuk menurunkan nyeri
R/ : Analgetik dapat mengurangi nyeri yang berat (memberikan kenyamanan pada
pasien)

4. Gunakan servikal collar, imobilisasi lateral kepala, meletakkan papan di bawah


tulang belakang.
R/ : Stabilisasi tulang belakang untuk mengurangi nyeri yang timbul jika tulang
belakang digerakkan.

DAFTAR PUSTAKA
ENA. 2000. Emergency Nursing Core Curriculum. 5 thED. USA: WB.Saunders Company
Campbell, Jhon Pe. 2004. Basic Trauma Life Support. New Jersy : Person Prentice Hall.

Doengoes, Marilynn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman untuk


Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi 3, EGC : Jakarta
Price, S. A. 2000. Patofisiologi : Konsep klinis Proses-proses Penyakit, Jakarta: EGC
Muttaqin,

Arif.

2007.

Pengantar

Asuhan

Keperawatan

Sistem

Persyarafan.

Jakarta:Salemba
Smeltzer,C.S. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner dan Suddarth.Edisi
8. Jakarta: EGC
Wikipedia, the free encyclopedia, 2009, Spinal cord injury, (Online), (http://en.wikipedia.
org/wiki/Triage, Diakses pada tgl 21 Maret 2010).

Das könnte Ihnen auch gefallen