Sie sind auf Seite 1von 12

MENGAPA HARUS KPH ???

(Sumber : Teguh Yuwono, S.Hut, M.Sc : 2008, Governance Brief, CIVOR : 2008, Bpkh
8.net)
Disusun Oleh : Syahrul Ramadhan, PEH BPKH Wilayah IV Samarinda
Inikah Akar Terbentuknya KPH ???
Apabila kita kembali membuka sejarah tentang Pengelolaan Hutan di Indonesia khusus
nya pengelolaan hutan jati di Jawa sebenarnya kita mempunyai succes story dalam pe
mbentukan KPH, meskipun bukan dalam definisi Kesatuan Pengelolaan Hutan tetapi d
alam definisi Kesatuan Pemangkuan Hutan (Houtvesterij dan Opper-Houtvestrij). Se
benarnya apabila dikaji secara akademik konsep KPH (Kesatuan Pengelolaan Hutan)
yang digagas dalam PP No.6 Tahun 2007 jo PP No. 3 Tahun 2008 ini secara kualitas
masih dibawah dari rancang-bangun konsep Houtvesterij yang dirancang oleh Bruin
sma tahun 1892.
Gambar 1. Proses pengangkutan kayu dengan monorel pada zaman Kolonial
Salah satu alasan mengapa kualitas Houtvesterij lebih baik dibanding konsep Kesa
tuan Pengelolaan Hutan karena selain dalam Houtvesterij merupakan sinergi antara
konsep Planning Unit dan Management Unit, Houtvesterij sebagai Kesatuan Pemangk
uan Hutan berupaya mengakomodasikan subsistem kehutanan dengan sub sistem sosia
l dimana kalau dicermati dalam suatu KPH selain mencakup kawasan hutan juga menc
akup kawasan non hutan (wilayah administratif desa, kecamatan, atau kabupaten).
Sayangnya, sampai dengan saat ini banyak rimbawan Indonesia yang tidak memahami
secara utuh apa dan bagaimana konsep Houtvesterij (Kesatuan Pemangkuan Hutan) in
i diimplementasikan dalam pengelolaan hutan di Jawa dan di Indonesia pada umumny
a.
Konsep Houtvesterij yang dibuat oleh Bruinsma merupakan konsep pengelolaan kawas
an hutan dengan pembentukan Planning Unit (Boschafdelling/Bagian Hutan) dan mana
jemen organisasi pengelola hutan (organisasi teritorial) yang efektif dan efisie
n. Dalam konsep Houtvesterij tersebut kawasan hutan ditata, dipetakan dan diinve
ntarisasi, dan diekspolitasi secara swakelola sehingga tindakan pengelolaan huta
n dapat dilakukan lebih intensif. Secara garis besar ada dua organisasi pokok da
lam konsep Houtvesterij, yaitu: PLANNING UNIT; bertugas mengendalikan/ mengontro
l kelestarian hasil (berupa standing stock), dan MANAGEMENT UNIT; sebagai organi
sasi pengelolaan hutan berfungsi untuk mengendalikan keuntungan finansial perusa
haan. Antara konsep planning unit dengan management unit saling berdiri sendiri
(terpisah dan mandiri), dan tidak ada yang menjadi sub-ordinasi dari yang lain,
akan tetapi keduanya bersinergi untuk mencapai kelestarian hasil dan kelestarian
perusahaan.
Gambar 2. Kegiatan pengangkutan kayu dengan lokomotif bertenaga manusia
Konsep Planning Unit diimplementasikan dilapangan dalam bentuk Boschafdelling, c
ap centra (pusat tebang) dan petak. Sedangkan implementasi konsep Management Uni
t dilakukan melalui pembentukan organisasi teritorial kawasan mulai dari level
Mandor di tingkat petak, Boschwagter di tingkat RPH, Opsiener/BoschArchi tec di
tingkat BKPH, dan Houtvester sebagai pimpinan suatu Houtvesterij. Secara garis b
esar hubungan antara Boschafdelling, Cap Centra dan Petak adalah a). Boschafdell
ing adalah kawasan untuk menjamin asas kelestarian hutan melalui penetapan besar
an etat baik etat luas maupun etat volume; b). Cap centra adalah implementasi pe
laksanaan kegiatan teknis kehutanan yaitu kegiatan tanaman, pemeliharaan, maupun
tebangan sebagai penjabaran besaran etat luas dan etat volume secara kontinu da
n berkelanjutan dengan mempertimbangkan kemampuan mandor, ketersediaan tenaga ke
rja dan ketercukupan biaya; dan c). Petak berperan sebagai unit manajemen dan un
it administrasi terkecil dari implementasi asas kelestarian hasil, dimana penera
pan etat harus mempertimbangkan lokasi areal yang kompak dalam suatu petak (atau
anak petak).
Seiring dengan berjalannya waktu dan kebutuhan organisasi dimana adanya perkemba
ngan industri kehutanan yang membutuhkan pasokan bahan baku kayu secara kontinyu
, konsep Houtvesterij mengalami perkembangan dengan lahirnya konsep Opper Houtve
sterij, yaitu penggabungan Houtvesterij- Houtvesterij dengan tujuan kelancaran s
upply bahan baku log untuk industri pengolahan kayu. Alasan penggabungan tersebu
t untuk meningkatkan efisiensi pengelolaan. Setelah dilaksanakan analisis finans
ial, supply kayu untuk industri tersebut tidak mampu dipenuhi dari satu Houtvest

erij, sehingga lahirlah gagasan penggabungan (opper Houtvesterij). Pembentukan O


pper Houtvesterij saat itu lebih menekankan pada efisiensi pengelolaan dan kelan
caran supply log ke industri, dan belum mempertimbangkan aspek wilayah administr
asi pemerintahan, sehingga ada overlapping antara wilayah Opper Houtvesterij den
gan wilayah kabupaten.
Gambar 3. kondisi alam pegunungan dieng masih berupa hutan perawan Tahun 1911
Berkaca dari pengalaman Pemerintah Hindia Belanda dalam membentuk Houtvesterij d
i Jawa, sebelum memulai tahapan pembentukan houtvesterij, salah satu tahapan pen
ting yang dilakukan oleh Belanda adalah penetapan kawasan hutan negara melalui D
omeinverklaaring dalam Agrarische-wet (UU Agraria) tahun 1870. Akan tetapi yang
tidak boleh dilupakan oleh kita semua adalah, sebelum menetapkan Domeinverklaari
ng, selama beberapa dasawarsa Belanda terlebih dahulu melakukan proses sosial un
tuk menaklukkan hak ulayat dari penduduk asli di Pulau Jawa melalui pendekatan met
ode Blandhongdiensten (Dinas Blandhong). Setelah hak ulayat tersebut berhasil di
selesaikan dengan baik, barulah Belanda mengumumkan dokumen Domeinverklaaring te
rsebut.
Secara garis besar, kegiatan penataan hutan dalam pembentukan Houtvesterij di Pu
lau Jawa dapat dibagi menjadi tiga tahap yaitu tahap penataan hutan jati produkt
if, dilanjutkan penataan hutan jati yang kurang produktif, dan yang terakhir ada
lah penataan hutan di hutan lindung. Pada penataan pertama tersebut tentu saja d
iperlukan biaya yang besar karena semua kegiatan baru pertama kali dilakukan. Se
belum enam kegiatan di atas dilaksanakan, pada penataan pertama dilakukan pekerj
aan-pekerjaan sebagai berikut:
Pembuatan batas kawasan hutan, yang sebelumnya telah ditetapkan dan dipetakan da
lam register kawasan hutan yang bersangkutan. Register batas kawasan hutan ini d
ilakukan sebagai tindak lanjut keluarnya Domeinverklaaring tahun 1865.
Gambar 4. Contoh Arsip Peta pada zaman Kolonial, Garut dan sekitarnya
Penetapan kawasan hutan yang akan menjadi satu kesatuan unit perencanaan yang di
namakan Bagian Hutan (Bosch Afdeling). Luas Bagian Hutan dibuat sekitar 4800 640
0 ha, tetapi ada beberapa yang mencapai lebih dari 10.000 ha. Setiap Bagian Huta
n diberi nama dengan menggunakan nama-nama yang terkenal di daerah tersebut, bai
k nama desa, bukit atau tempat-tempat yang mempunyai arti khusus.
Pembagian kawasan dalam Bagian Hutan yang telah diberi batas tersebut menjadi be
berapa blok. Batas antar blok ditetapkan sebagai alur induk, diberi tanda-tanda
yang bersifat permanan. Alur induk ini akan berfungsi sebagai jalan utama untuk
mengangkut hasil hutan maupun transportasi bagi setiap kegiatan pengelolaan. Leb
ar jalan untuk alur induk adalah 6 m, dan semua alur induk diberi nama dengan hu
ruf kapital, mulai dari A alur induk pertama sampai alur induk yang terakhir.
Pembagian seluruh kawasan Bagian Hutan ke dalam petak (compartment) yang luas no
rmalnya berkisar antara 40-70 ha, walaupun di beberapa tempat ada pula yang samp
ai 80 ha.
Batas antar petak juga berupa jalan yang dibuat permanen, disebut alur cabang; l
ebar alur cabang adalah 4 m. Semua petak diberi nomer urut yang juga bersifat pe
rmanen, untuk keperluan administrasi dan pembayaran upah tenaga yang melaksanaka
n pekerjaan di petak yang bersangkutan. Pemberian nomor petak dimulai dari barat
laut, berurutan mengikuti arah jarum jam dengan menggunakan angka Arab.
Semua alur induk maupun alur cabang diberi pal-pal hm untuk menyatakan jarak set
iap 100 m. Akan tetapi di lapangan pal hm biasanya dipancang untuk tiap jarak 20
0 m demi kepentingan penghematan biaya penataan. Setiap pal hm diberi nomer, den
gan nomer nol (0) dari TPK (tempat penimbunan kayu) yang akan digunakan untuk me
nyimpan kayu hasil dari Bagian Hutan yang bersangkutan. Pal hm di seluruh alur i
nduk dan alur cabang dicantumkan dengan ketelitian tinggi di atas peta kerja ska
la 1:10.000.
Melakukan pengukuran dengan ketelitian tinggi terhadap alur induk maupun alur ca
bang. Berdasarkan hasil pengukuran tersebut dibuat peta Bagian Hutan dengan berb
agai skala untuk bermacam-macam kepentingan pengelolaan. Dengan peta tersebut da
pat diketahui panjang alur atau jarak suatu petak dari TPK. Setiap petak diketah
ui luasnya, sampai ketelitian satu angka di belakang koma. (sumber : Teguh Yuwon

o, S. Hut., MSc.)
Pentingnya Pembentukan KPH untuk Jaman Sekarang
Deforestasi dan Degradasi Hutan di Indonesia
Indonesia dengan luas hutan ketiga terbesar di dunia setelah Brazil dan Zaire me
megang peranan penting dalam perubahan iklim global. Deforestasi dan degradasi h
utan yang terjadi di Indonesia mendorong berkembangnya isu sebagai penyumbang em
isi karbon yang cukup signifikan. Di sisi lain, sebagaimana negara berkembang la
innya hutan masih diposisikan sebagai sumberdaya pembangunan ekonomi yang dikhaw
atirkan akan mempercepat laju deforestasi dan degradasi hutan yang memperbesar e
misi gas rumah kaca dari sektor kehutanan.

Gambar 5. Potret Deforestasi dan Degradasi hutan Indonesia


Sampai dengan saat ini, di Indonesia masih terjadi deforestrasi dan degradasi hu
tan yang meyebabkan penurunan penutupan vegetasi hutan. Berdasarkan data dan has
il analisis Departemen Kehutanan, pada periode 1985-1997 laju deforestasi dan de
gradasi di Indonesia mencapai 1,8 juta hektar per tahun. Pada periode 1997-2000
terjadi peningkatan laju deforestasi yang cukup signifikan yaitu mencapai rata-r
ata sebesar 2,8 juta hektar dan menurun kembali pada periode 2000-2005 menjadi s
ebesar 1,08 juta hektar, penurunan penutupan vegetasi hutan yang sangat besar te
rjadi di Sumatera dan Kalimantan, sedangkan pada periode 1997 s/d 2000 terjadi s
elain di Sumatera dan Kalimantan, juga di Papua, yang selanjutnya secara umum te
rjadi penurunan angka rata-rata penurunan penutupan vegetasi hutan pada periode
2000 s/d 2005.
Terjadinya deforestasi dan degradasi hutan di Indonesia disebabkan oleh :
Kebakaran dan perambahan hutan;
Illegal loging dan illegal trading yang antara lain didorong oleh adanya permin
taan yang tinggi terhadap kayu dan hasil hutan lainya di pasar lokal, nasional d
an global.
Adanya konversi kawasan hutan secara permanen untuk pertanian, perkebunan, pemu
kiman, dsb.
Adanya penggunaan kawasan hutan di luar sektor kehutanan melalui pinjam pakai k
awasan hutan.
Pemanenan hasil hutan yang tidak memperhatikan prinsip-prinsip PHL.
Berikut Beberapa Potret Kehutanan Indonesia
Gambar 6. Akibat kebakaran hutan
Gambar 7. Pembukaan Kawasan Hutan untuk eksplorasi tambang
Gambar 8. Peralihan Fungsi Kawasan Hutan untuk Areal Kebun Sawit
Gambar 9. Illegal Logging merupakan salah satu masalah yang cukup serius
Pembangunan KPH di Indonesia sampai saat ini masih terbatas pada sebagian kawasa
n hutan yang menjadi areal kerja Perhutani (BUMN) di P Jawa, yang telah dimulai
sejak jaman penjajahan Belanda dan pada sebagian kawasan hutan konservasi dalam
bentuk unit-unit Taman Nasional. Sampai dengan tahun 1990an, di luar Jawa pernah
terbentuk unit-unit KPH namun dalam perkembangannya sebagai akibat kuatnya para
digma timber based management keberadaan KPH sebagai unit manajemen tidak berkem
bang bahkan dibubarkan, sehingga Dinas Kehutanan sebagai institusi pengurusan hu
tan (forest administration) kehilangan dasar pengurusan di tingkat tapak berupa
institusi pengelola (forest mangement) dalam bentuk KPH.
Untuk menangani permasalahan tersebut di atas dilakukan melalui 2 (dua) pendekat
an yang saling melengkapi, yaitu membangun kembali institusi KPH di satu pihak d
an di lain pihak mmelanjutkan upaya-upaya yang telah dilakukan dalam pencegahan
terjadinya deforestasi dan degradasi, antara lain melalui pencegahan kebakaran h
utan, perambahan. Illegal logging, dsb.

Gambar 10. Masyarakat sekitar hutan salah satu aspek yang perlu diperhatikan
Belajar dari pengalaman pengelolaan hutan di Jawa dan Taman Nasional, serta peng
alaman di beberapa negara maju seperti Jerman, Swizerland, dsb, yang pengelolaan
hutannya juga dilakukan dalam satuan unit-unit pengelolaan dalam bentuk KPH (Fo
rest Management Unit/FMU) dan telah terbukti mampu memberikan keuntungan bagi pe
merintah dan seluruh lapisan masyarakat secara adil, baik dari sisi ekonomi, sos
ial dan lingkungan, maka pengalaman tersebut menjadi salah satu faktor pendorong
komitmen Indonesia untuk mempercepat pembangunan KPH pada kawasan hutan di luar
P Jawa. Dengan pembetukan unit-unit wilayah KPH dengan institusi pengelola yang
memadai, diharapkan PHL dapat diimplementasikan dengan baik di tingkat tapak.
Pengelolaan hutan secara lebih baik melalui penerapan PHL yang sejalan dengan up
aya mitigasi perubahan iklim (Rooper, 2001), meliputi :
Perbaikan kebijakan pengelolaan hutan dan pemanenan serta teknologi untuk mening
katkan kapasitas hutan yang ada untuk penyerapan dan penyimpanan karbon;
Investasi yang dapat meminimalkan deforestasi, menjaga atau meningkatkan pertumb
uhan tegakan, meminimalkan gangguan terhadap tanah dan tegakan sisa dalam pembal
akan, dan menjamin regenerasi yang cepat dan memuaskan;
Mengadopsi program-program perlindungan hutan yang dapat diterima secara sosial
atau joint management.
Perlunya Reorganisasi Kelembagaan
Ketika sistem pemerintahan otoda diberlakukan setiap kabupaten di Sulawesi Selat
an membentuk lembaga setingkat dinas atau kantor untuk menangani urusan kehutana
n di daerahnya. Pada tingkat provinsi, lembaga dinas kehutanan yang memang sudah
ada sejak sebelum otoda masih ada dan menjalankan tugas fungsinya pada era otod
a. Selain itu, kecuali Kanwil Kehutanan, semua Unit Pelaksana Teknis (UPT) Depar
temen Kehutanan di Sulawesi Selatan masih dipertahankan dan menjalankan tugas fu
ngsi sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya (tupoksi) masing-masing. Tahun 2004
Departemen Kehutanan juga membentuk Pusat Pengendalian Pembangunan Kehutanan Re
gional, yang mana wilayah Sulawesi masuk dalam regional IV.
Banyaknya lembaga kehutanan tampaknya juga menjadi tantangan tersendiri dalam pe
mbangunan kehutanan di daerah. Sekalipun misalnya tupoksi setiap lembaga dan tat
a hubungan kerjanya dengan lembaga lainsudah diatur dalam ketentuan, dalam prakt
eknya seringkali terjadi tumpang tindih, dan lemahnya koordinasi seringkali menj
adi salah satu isu penting penyebab tidak efektifnya mengapa sampai saat ini ber
bagai permasalahan pengelolaan hutan seakan tidak kunjung dapat diselesaikan dan
kerusakan hutan terus berlanjut.
Dengan adanya KPH yang disertai dengan organisasi dan kelembagaannya, maka semak
in bertambah jumlah lembaga yang akan mengurusi hutan di daerah. Menarik untuk d
ipertanyakan, akankah permasalahan kehutanan lebih mudah diatasi dengan diperban
yaknya lembaga yang mengurusi hutan? Dengan semakin banyaknya lembaga yang mengu
rusi obyek yang sama, koordinasi menjadi sangat penting. Namun dalam prakteknya, k
oordinasi hanyalah sebuah kata yang mudah diucapkan namun tidak mudah diimplemen
tasikan. Di antara UPT Departemen Kehutanan yang ada di Sulawesi Selatan saat in
i pun tidak mudah diadakan koordinasi. Sebagai contoh, dalam menyusun rencana re
habilitasi hutan dan lahan, apakah UPT Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (B
PDAS) sudah mengacu pada hasil penelitian yang dilakukan oleh Balai Teknologi Pe
ngelolaan Daerah Aliran Sungai (BTPDAS) dan Balai Penelitian Kehutanan yang ada
di daerah tersebut? Penambahan lembaga/organisasi yang mengurusi hutan tentunya
berimplikasi terhadap jumlah sumberdaya manusia yang akan dipekerjakan untuk men
gurus hutan.
Terbentuknya dinas-dinas kehutanan tingkat kabupaten pada era otoda meningkatkan
jumlah tenaga manusia, baik di kantor maupun di lapangan. Sebagai konsekuensiny
a, jumlah anggaran untuk operasional lembaga dan gaji staf untuk mengurus hutan

pun meningkat. Ironisnya, sejalan dengan semakin banyaknya lembaga dan sumberday
a manusia yang dikaryakan untuk mengurus hutan pada era otoda, banyak laporan me
nyebutkan bahwa degradasi hutan justru meningkat drastis pada era tersebut12. Se
kalipun berpotensi memperbaiki system pengelolaan hutan di masa yang akan datang
, KPH dan kelembagaannya perlu dibentuk dengan pertimbangan yang matang. Jumlah
lembaga yang banyak tidak menjamin terciptanya system pengelolaan yang baik, nam
un sebaliknya justru menyebabkan semakin sulitnya koordinasi dan tumpang tindih
tugas dan fungsi. Dengan diberikannya tugas dan fungsi yang cukup luas kepada KP
H, apakah keberadaan UPT BPDAS di daerah masih diperlukan? Apakah tidak sebaikny
aUPT BTPDAS digabung saja dengan Balai Penelitian dan Pengembangan Hutan? Apakah
pada tingkat kabupaten masih diperlukan lembaga kehutanan setingkat dinas? Dala
m hal ini, perlu dipertimbangkan reorganisasi kelembagaan kehutanan secara menye
luruh sebelum KPH dibentuk, agar salah satu tujuan pembentukan KPH, yaitu efisien
dapat tercapai.
Kedudukan Lembaga/ Organisasi KPH
Dari sejumlah kebijakan yang ada menyangkut KPH, belum ada pengaturan secara jel
as bagaimana kedudukan lembaga KPH terkait dengan lembaga kehutanan yang sudah a
da saat ini. Pasal 8 PP 6/2007 hanya mengatur bahwa pemerintah dan/ atau pemerin
tah provinsi dan/atau pemerintah kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya mene
tapkan organisasi KPH. Lebih jauh dinyatakan bahwa organisasi KPHK serta KPHL da
n KPHP lintas provinsi ditetapkan oleh pemerintah pusat, organisasi KPHL dan KPH
P lintas kabupaten/kota oleh pemerintah provinsi, dan KPHL dan KPHP di dalam wil
ayah kabupaten/kota oleh pemerintah kabupaten/kota. Apakah ini berarti bahwa lem
baga KPH juga akan berjenjang sesuai dengan jenjang pemerintahan yang ada? KPH,
menjadi bagian penting sistem pengurusan hutan nasional, provinsi dan kabupaten.
Keterlibatan dan partisipasi penuh para pihak di daerah menentukan langkah-lang
kah keberhasilan menuju pengelolaan hutan lestari.
Badan Planologi Departemen Kehutanan (2006) menyebutkan bahwa selain pada tingka
t unit (KPHP, KPHL, KPHK), wilayah pengelolaan hutan juga akan dibentuk pada tin
gkat kabupaten/kota dan provinsi. Jika dikaitkan dengan bunyi Pasal 8 PP 6/2007,
pernyataan tersebut menunjukkan bahwa selain pada tingkat unit, lembaga KPH nam
paknya juga akan ada pada tingkat kabupaten/kota (terbentuk dari himpunan unit-u
nit), pada tingkat provinsi (himpunan dari wilayah tingkat kabupaten/kota dan un
it-unit lintas kabupaten/kota) dan pada tingkat pusat (himpunan dari wilayah tin
gkat provinsi dan unit-unit lintas provinsi).

Gambar 11. KPH menjadi bagian penting dalam sistem pengurusan hutan nasional, pr
ovinsi
dan kabupaten.
Beberapa pertanyaan yang perlu dikaji antara lain: (1) milik siapa lembaga-lemba
ga pada setiap tingkatan tersebut; (2) apa nama dan bagaimana kedudukan antara s
atu lembaga KPH pada tingkatan yang berbeda; (3) bagaimana kedudukan lembaga KPH
dengan lembaga kehutanan daerah yang ada dan UPT Departemen Kehutanan yang ada
di daerah? Munculnya pertanyaan milik siapa terkait dengan pertanyaan lanjutan siap
a yang akan bertanggung jawab membayar dan melaksanakan tugas lembaga tersebut d
an kepada siapa lembaga tersebut mempertanggungjawabkan kinerjanya? Apakah lemba
ga tingkat kabupaten akan diselenggarakan oleh pemerintah kabupaten, tingkat pro
vinsi oleh pemerintah provinsi, dan tingkat pusat oleh pemerintah pusat? Jika de
mikian, siapa yang bertanggung jawab menyelenggarakan operasional KPH tingkat un
it? Pertanyaan kedua muncul terkait dengan koordinasi antara lembaga KPH pada ti
ngkat pemerintahan yang berbeda. Jika tanggung jawab penyelenggaraan operasional
KPH berada pada tingkat pemerintahan dimana lembaga tersebut berada (kabupaten,
provinsi atau pusat), maka logikanya mereka mempertanggungjawabkan kinerjanya k

epada kepala pemerintahan pada tingkatan tersebut. Tidak adanya garis komando se
cara langsung dari lembaga KPH pusat, provinsi dan kabupaten diduga akan mempers
ulit koordinasi dan konsultasi.
Perwilayahan KPH
Perwilayahan KPH akan erat kaitannya dengan kelembagaan dan pembiayaan operasion
al lembaganya. Makin banyak wilayah-wilayah KPH maka akan semakin banyak pula le
mbaganya, yang pada akhirnya memiliki konsekuensi pada besarnya dana yang dibutu
hkan untuk membiayai operasionalnya. Sehubungan dengan hal itu, untuk dapat menc
apai tujuan KPH yang adalah terselenggaranya kegiatan pengelolaan hutan secara ef
isien dan lestari , maka perwilayahan KPH seharusnya juga dibuat dengan mempertimb
angkan aspek efisiensi. Penggabungan pengelolaan kawasan hutan produksi dengan h
utan lindung dan hutan konservasi dalam bentuk satu KPH memungkinkan terjadinya
efisiensi pengelolaan.

Gambar 12. Keberadaan Hutan Menjadi bagian penting dalam keseharian


masyarakat sekitar hutan
Hal lain yang seharusnya juga dijadikan pertimbangkan oleh pemerintah pusat dala
m membuat kriteria standar pembentukan wilayah KPH adalah harapan bahwa KPH nant
inya dapat membiayai dirinya sendiri. Apabila perwilayahan dan kelembagaan dipis
ah-pisahkan menurut fungsi pokok dan peruntukan kawasan hutannya, maka akan ada
KPH yang mampu membiayai dirinya secara berlebih dan ada KPH yang operasionalnya
defisit. Bukan tidak mungkin KPHL dan KPHK yang pengelolaannya lebih diarahkan
pada system penyangga kehidupan akan dianaktirikan karena tidak mampu menghasilk
an pendapatan sebesar yang dapat dihasilkan oleh KPHP. Sebenarnya indikasi ini s
udah nampak dengan belum dikeluarkannya pedoman tentang kriteria dan standar pem
bentukan KPHL dan KPHK sampai saat ini, padahal pedoman tentang kriteria dan sta
ndar pembentukan KPHP sudah ditetapkan pada bulan Juli 2003.

Gambar 13. Vegetasi hutan Taman Nasional Kayan Mentarang (TNKM) di


Kalimantan Timur Merupakan Aset Nasional yang Luar Biasa
Kawasan hutan dengan perbedaan fungsi pokok dan peruntukan sebenarnya saling ter
kait dan perlu dikelola secara terpadu. Alangkah ironis ketimpangan pengelolaan
hutan yang terjadi selama ini, dimana di satu sisi begitu sulit untuk menyediaka
n anggaran bagi pengamanan kawasan hutan konservasi, tetapi di sisi lain di dala
m kawasan hutan produksi wajib dibentuk blok konservasi plasma nutfah. Sebalikny
a kawasan konservasi ditekan untuk mampu menghasilkan pendapatan bagi pengelolaa
nnya sendiri. Oleh karena itu, perwilayahan KPH yang dibuat menurut fungsi pokok
dan peruntukan kawasan hutannya berarti melanggengkan ketidaksinkronan system p
engelolaan hutan mulai dari tingkat makro sampai ke tingkat unit KPH.
Mengingat eratnya keterkaitan antara kawasan hutan dengan fungsi dan status yang
berbeda sebagai satu kesatuan ekosistem yang sama, wilayah kesatuan ekosistem a
tau wilayah DAS seharusnya dijadikan pertimbangan utama dalam penetapan perwilay
ahan KPH. Kawasan hutan produksi seharusnya dikelola dalam satu organisasi KPH d
engan kawasan hutan lindung dan hutan konservasi melalui sistem pembiayaan subsi
di silang. Penerimaan yang diperoleh dari memanfaatkan hutan produksi sebagian h
arus digunakan untuk mengurusi hutan lindung dan hutan konservasi yang ada di wi
layah KPH bersangkutan karena berfungsi sebagai system penyangga kehidupan. Deng
an demikian, di dalam kawasan hutan produksi tidak perlu lagi dibuat blok perlin
dungan plasma nutfah.
Rekomendasi

Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) merupakan sistem pengelolaan hutan yang cukup m
emberikan harapan bagi terciptanya pengelolaan hutan secara bertanggung gugat, e
fisien dan lestari di Indonesia. Melalui sistem KPH, seluruh kawasan hutan di In
donesia akan dibagi ke dalam wilayah- yang masing-masing dilengkapi dengan insti
tusi yang bertanggung jawab terhadap pengelolaannya mulai dari tata hutan dan pe
nyusunan rencana pengelolaan, pemanfaatan hutan, penggunaan kawasan hutan, rehab
ilitasi hutan dan reklamasi, sampai pada perlindungan hutan dan konservasi alam.
Dengan demikian, untuk setiap wilayah akan jelas siapa pengelolanya, bagaimana
pengelolaannya, dan siapa yang harus diminta bertanggung jawab apabila terjadi p
enyimpangan dalam pengelolaannya. Namun demikian, diantara sejumlah kebijakan ya
ng telah dikeluarkan untuk mengatur pembentukan dan pengelolaan KPH, masih ada b
eberapa hal yang perlu diperhatikan oleh pemerintah agar tujuan KPH
untuk menyed
iakan wadah bagi terselenggaranya kegiatan pengelolaan hutan secara efisien dan
lestari dapat dicapai.
Mengingat masih simpang siurnya pemahaman para stakeholder terhadap konsep PH,
maka konsep ini masih perlu dimantapkan, diperjelas dan disosialisasikan secara
lebih intensif. Perbedaan ketentuan dalam PP 6/2007 dengan PP 38/2007 terkait pe
mbentukan wilayah hutan perlu segera diperjelas. Pemerintah daerah, terutama kab
upaten, perlu diberikan ruang dan peran yang lebih luas mulai dari proses pemben
tukan KPH sampai pada penyusunan rencana pengelolaannya.
Tanya Jawab Seputar KPH
APAKAH YANG DISEBUT DENGAN KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN (KPH) ITU ?
Berikut penjelasan dalam bentuk tanya-jawab seputar Kesatuan Pengelolaan Hutan y
ang biasa disingkat dengan KPH.
1.
Peraturan perundangan apa saja yang mendasari pembangunan KPH ?
UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
PP No 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Hutan
PP No 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan rencana pengelolaan Hutan,
serta Pemanfaatan Hutan
Peraturan perundangan terkait lainnya
2. Apa yang dimaksud dengan pengurusan hutan ?
Pengurusan hutan meliputi kegiatan penyelenggaraan (UU 41 pasal 10 ayat 2) :
perencanaan kehutanan,
pengelolaan hutan,
penelitian dan pengembangan, pendidikann dan latihan, serta penyuluhan kehutanan
, dan
pengawasan
3. Apa yang dimaksud dengan perencanaan kehutanan ?
Perencanaan kehutanan meliputi (UU 41 pasal 12) :
inventarisasi hutan,
pengukuhan kawasan hutan,
penatagunaan kawasan hutan,
pembentukan wilayah pengelolaan hutan,
penyusunan rencana kehutanan.
4. Apa yang dimaksud dengan pengelolaan hutan ?
Pengelolaan hutan melliputi kegiatan (UU 41 pasal 21) :
tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan,
pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan,
rehabilitasi dan reklamasi hutan, dan
perlindungan hutan dan konservasi alam.
5.
Dimana pembentukan wilayah pengelolaan dilakukan ?
Pembentukan wilayah pengelolaan dilaksanakan untuk tingkat :
provinsi
kabupaten/kota, dan
unit pengelolaan
pada seluruh kawasan hutan (konservasi, lindung dan produksi) (lihat pasal 17 UU
41).
6. Apa yang dimaksud dengan wilayah pengelolaan hutan tingkat propinsi?
Yang dimaksud dengan wilayah pengelolaan hutan tingkat propinsi adalah seluruh h

utan dalam wilayah propinsi yang dapat dikelola secara lestari (Penjelasan pasal
17 ayat 1 UU 41).
Wilayah pengelolaan hutan tingkat provinsi terbentuk dari himpunan wilayah-wilay
ah pengelolaan hutan tingkat kabupaten/kota dan unit-unit pengelolaan hutan lint
as kabupaten/kota dalam provinsi (PP 44 pasal 27 ayat 1).
7. Apa yang dimaksud dengan wilayah pengelolaan hutan tingkat kabupaten/kota ?
Yang dimaksud dengan wilayah pengelolaan hutan tingkat kabupaten/kota adalah sel
uruh hutan dalam wilayah kabupaten/kota yang dapat dikelola secara lestari (Penj
elasan pasal 17 ayat 1 UU 41). Wilayah pengelolaan hutan tingkat kabupaten/kota
terbentuk dari himpunan unit-unit pengelolaan hutan di wilayah kabupaten/kota da
n hutan hak di wilayah kabupaten kota.
Wilayah pengelolaan hutan provinsi dan kabupaten/kota merupakan wilayah pengurus
an hutan di provinsi dan kabupaten/kota yang mencakup kegiatan-kegiatan:
perencanaan kehutanan;
pengelolaan hutan;
penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, serta penyuluhan kehutanan;
pengawasan. (Penjelasan pasal 26 ayat 2 PP 44).
8.
Apa yang dimaksud dengan unit pengelolaan ?
Unit pengelolaan adalah kesatuan pengelolaan hutan terkecil sesuai fungsi pokok
dan peruntukannya, yang dapat dikelola secara efisien dan lestari, antara lain K
PHL, KPHK, KPHP, KPHKM, KPHA, dan KPDAS. (Penjelasan pasal 17 ayat 1 UU 41)
Unit Pengelolaan Hutan merupakan kesatuan pengelolaan hutan terkecil pada hampar
an lahan hutan sebagai wadah kegiatan pengelolaan hutan untuk mencapai tujuan ya
ng telah ditetapkan (Penjelasan pasal 28 ayat 1 PP 44). Terdiri dari KPHP, KPHL
dan KPHK
Catatan :
KPH menurut UU 41 terdapat 6 jenis KPH sedangkan pada PP 44 terdapat 3 jenis KPH
sesuai fungsi pokok hutan, dengan argument bahwa HKM, HUTAN ADAT dan DAS dapat
berada dan atau meliputi 3 jenis fungsi pokok hutan (konservasi, lindung, dan pr
oduksi)
Kesatuan Pengelolaan Hutan selanjutnya disingkat KPH, adalah wilayah pengelolaan
hutan sesuai fungsi pokok dan peruntukannya, yang dapat dikelola secara efisien
dan lestari. (PP 6/2007 Pasal 1 huruf 1)
Catatan
Unit terkecil pada pengertian UU 41 dan PP 44 di dalam PP 6 diwakili dengan peng
ertian efisiensi dan efektifitas pengelolaan hutan (lihat pasal 7 PP 6/2007), ya
ng lebih lanjut kriteria luas KPH diatur melalui peraturan Menteri.
9
Apa yang dimaksud dengan pembangunan KPH ?
Pembangunan KPH, adalah serangakaian proses untuk menghasilkan wujud riil Unit P
engelolaan Hutan (KPH) di lapangan yang meliputi :
pembentukan unit (wilayah) KPH (PP 44/2004 Pasal 29 dan 30),
pembentukan institusi pengelola KPH pada setiap unit (PP 44/2004 Pasal 32), dan
penyusunan rencana pengelolaan (PP 44/2004 Pasal 37)
10 Apa tujuan pembangunan KPH ?
Pembentukan wilayah pengelolaan bertujuan untuk mewujudkan pengelolaan hutan yan
g efisien dan lestari (PP 44 pasal 26 ayat 1), yang dilaksanakan untuk tingkat p
rovinsi, kabupaten/kota; dan unit pengelolaan (PP 44 pasal 26 ayat 2).
11 Bagaimana target pembangunan KPH tersebut ?
PP 4/2007 Pasal 141 mentargetkan pembentukan seluruh wilayah KPH dapat diselesai
kan selama 2 tahun sejak PP diberlakukan (8 Januari 2007) sehingga harus sudah d
apat selesai pada akhir 2008
Sedangkan pembentukan institusi (organisasi) KPH dilakukan secara bertahap sesua
i dengan prioritas berdasarkan kebutuhan dan kondisi pengelolaan hutan (penjelas
an Pasal 141)
12
Bagaimana tahapan di dalam proses pembentukan unit (wilayah) KPH ?
Tahapan pembentukan KPHK terdiri dari :
Rancang bangun (oleh UPT Pusat)
Arahan pencadangan (oleh Menhut)
Penetapan (oleh Menhut) (Ps 29 PP 44 tahun 2004)
Tahapan pembentukan KPHP dan KPHL terdiri dari :

Rancang bangun (oleh gubernur dengan pertimbangan bupati/walikota)


Arahan Pencadangan (oleh Menhut)
Pembentukan (oleh gubernur)
Penetapan (oleh Menhut) (Ps 30 PP 44 tahun 2004)
13
Bagaimana pembentukan institusi pengelola (organisasi) KPH ?
Pemerintah dan/atau pemerintah provinsi dan/atau pemerintah kabupaten/kota, sesu
ai kewenangan, menetapkan organisasi KPH (lihat pasal 8 PP 6/2007)
Pemerintah menetapkan organisasi :
KPHK; atau
KPHL dan KPHP yang wilayah kerjanya lintas provinsi.
Pemerintah provinsi, menetapkan organisasi:
KPHL dan KPHP lintas kabupaten/kota.
Pemerintah kabupaten/kota menetapkan organisasi:
KPHL dan KPHP dalam wilayah kabupaten/kota
Dalam menetapkan organisasi, khusus SDM harus memperhatikan syarat kompetensi.
14
Apa yang dimaksud dengan harus memperhatikan syarat kompetensi ketika mene
tapkan organisasi KPH ?
Organisasi KPH harus memiliki kompetensi untuk menyelengarakan kegiatan pengelol
aan hutan yang meliputi :
tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan
pemanfaatan hutan
penggunaan kawasan hutan
rehabilitasi hutan dan reklamasi
perlindungan hutan dan konservasi alam
Agar memiliki kopetensi sebagaimana tersebut di atas, maka organisasi KPH harus
diisi oleh personel yang memiliki kompetensi di bidang pengelolaan hutan, yaitu
yang memenuhi syarat kompetensi kerja yang diterbitkan oleh lembaga sertifikasi
profesi (LSP) di bidang kehutanan atau pengakuan oleh Menteri (penjelasan Pasal
8 ayat (1) PP 6/2007)
Ketentuan mengenai Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) mengacu pada UU No 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan.
15
Apa yang menjadi tanggungjawab institusi pengelola ?
Pasal 32 PP 44/2004 mengatur bahwa pada setiap Unit Pengelolaan Hutan dibentuk i
nstitusi pengelola yang beretanggung jawab terhadap penyelenggaraan pengelolaan
hutan yang meliputi:
perencanaan pengelolaan;
pengorganisasian;
pelaksanaan pengelolaan; dan
pengendalian dan pengawasan.
Selanjutnya di dalam Pasal 9 ayat (1) PP No 6/2007 ditetapkan tugas dan fungsi o
rganisasi KPH :
menyelenggarakan pengelolaan hutan :
tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan
pemanfaatan hutan
penggunaan kawasan hutan
rehabilitasi hutan dan reklamasi
perlindungan hutan dan konservasi alam
menjabarkan kebijakan kehutanan nasional, provinsi dan kabupaten/kota bidang keh
utanan untuk diimplementasikan;
melaksanakan kegiatan pengelolaan hutan di wilayahnya mulai dari perencanaan, pe
ngorganisasian, pelaksanaan dan pengawasan serta pengendalian;
melaksanakan pemantauan dan penilaian atas pelaksanaan kegiatan pengelolaan huta
n di wilayahnya;
membuka peluang investasi guna mendukung tercapainya tujuan pengelolaan hutan.
16
Apa yang dimaksud dengan usaha pemanfaatan hasil hutan ?
Usaha pemanfaatan hasil hutan meliputi kegiatan penanaman, pemeliharaan, pemanen
an, pengolahan dan pemasaran hasil hutan. (UU 41 pasal 33 ayat1)
17
Bagaimana posisi KPH terhadap Dinas yang menangani urusan kehutanan di pro
vinsi dan kabupaten/kota ?
KPH adalah pelaksana pengelolaan hutan, terfokus pada kegiatan teknis lapangan

Dinas di tingkat provinsi dan kabupaten/kota adalah penyelenggara pengurusan hut


an, terfokus pada pelayanan administrasi pengurusan (antara lain proses perizina
n)
Kalau KPH diposisikan sebagai struktur pengelolaan hutan, maka dinas di provinsi
dan kabupaten/kota berada pada posisi infrastruktur yang harus memberikan pelay
anan-pelayanan (dukungan) terhadap struktur KPH untuk dapat melaksanakan tugas p
engelolaan hutan
Untuk dapat memberikan gambaran umum hubungan antara Dinas dan KPH dapat diconto
hkan :
Hubungan antara Dinas Kesehatan Kabupaten dengan Rumah Sakit, Puskesmas, dan Pol
iklinik Desa
Hubungan antara Dinas Pendidikan dengan Sekolahan (SD, SMP dan SMA)
18
Apakah dalam satu unit KPH dapat terdiri dari lebih satu fungsi pokok kawa
san ?
Dalam hal terdapat hutan konservasi dan atau hutan lindung, dan atau hutan prod
uksi yang tidak layak untuk dikelola menjadi satu unit pengelolaan hutan berdasa
rkan kriteria dan standar, maka pengelolaannya disatukan dengan unit pengelolaan
hutan yang terdekat tanpa mengubah fungsi pokoknya. (Pasal 31 PP 44/2004). Kete
ntuan tersebut membuka kemungkinan dalam satu unit KPH dapat terdiri dari lebih
dari satu fungsi pokok kawasan.
Dalam Pasal 6 PP No 6/2007, unit (wilayah) KPH
Ditetapkan dalam satu atau lebih fungsi pokok hutan dan satu wilayah administras
i atau lintas wilayah administrasi pemerintahan.
Dalam hal satu KPH terdiri lebih dari satu fungsi pokok hutan, penetapan (nama)
KPH berdasarkan fungsi yang luasnya dominan.
19
Berapa luas optimal satu unit KPH ?
Luas wilayah KPH ditetapkan dengan memperhatikan efisiensi dan efektifitas penge
lolaan hutan dalam satu wilayah DAS atau satu kesatuan wilayah ekosistem (lihat
Pasal 7 PP 6/2007), sesuai dengan karakteristik DAS/SubDAS dan tujuan pengelolaa
n KPH
Luas KPH optimal secara tepat (berapa hektar) sulit ditetapkan, sehingga dalam m
enentukan luas/batas wilayah KPH digunakan kriteria-kriteria yang dapat memberik
an jaminan efisiensi dan efektifitas organisasi KPH yang akan dibentuk, antara l
ain :
tujuan pengelolaan;
kondisi daerah aliran sungai;
batas administrasi pemerintahan;
hamparan yang secara geografis merupakan satu kesatuan;
aksesibilitas;
rentang kendali;
20
Selama ini yang dikerjakan adalah pembentukan KPHP dengan berpedoman pad
a SK Menhut No 230/Kpts-II/2003 tentang Pembentukan KPHP dan SK Ka Baplan No SK.
14/VII-PW/2004 tentang Pedoman Pelaksanaan Pembentukan KPHP. Bagaimana posisi KP
HP yang telah dibentuk tersebut terhadap KPH ?
(KPH vs KPHP, KPHL)
SK Menhut dan Ka Baplan tersebut menghasilkan disain wilayah KPHP yang hanya ter
diri dari satu fungsi pokok hutan produksi
Dengan terbitnya PP 44/2004 dan PP 6/2007, untuk tujuan efisiensi dan efektifita
s institusi pengelola (organisasi) yang akan dibentuk pada setiap unit KPH, maka
dimungkinkan dalam satu unit KPH terdiri lebih dari satu fungsi pokok.
Disain wilayah KPHP yang telah disusun perlu dilihat kembali (dilengkapi) dengan
memperhatikan posisi hutan lindung dan konservasi, yang selanjutnya perlu diper
timbangkan kembali batas wilayah KPH (dengan memperhatikan semua fungsi HP, HL d
an HK) dengan mempertimbangkan efisiensi dan efektifitas organisasi KPH yang aka
n di bentuk pada setiap unit KPH
Data dan informasi serta deliniasi HP di dalam KPHP tetap digunakan sebagai dasa
r penyesuaian (transformasi) menjadi KPH.
21
Bagaimana strategi pembentukan institusi pengelola (organisasi) KPH ?
Pembangunan kelembagaan (termasuk di dalamnya organisasi) KPH memerlukan proses
yang panjang dan keterkaitan luas dengan berbagai sektor serta kepentingan.

Proses panjang tersebut akan ditempuh melalui pendekatan bertahap dengan kejelasan
target-target antara yang harus dicapai sebelum sampai pada target puncak yang
akan dicapai.
Pendekatan bertahap tersebut dimulai dengan pembangunan KPH Model yang secara be
rtahap dikembangkan menuju bentuk aktual (situasi dan kondisi riil) KPH di tingk
at tapak, yaitu adanya kejelasan wilayah, kelembagaan/organisasi pengelola dan r
encana kegiatan serta implementasinya di lapangan.
22
Apa yang dimaksud dengan KPH Model ?
Pengertian Model di dalam KPH Model adalah Perwakilan atau abstraksi dari sebuah o
byek atau situasi aktual. Model dikatakan lengkap apabila dapat mewakili beberapa
aspek dari realitas yang sedang dikaji.
Pembangunan KPH Model tidak dimaksudkan untuk mencari bentuk KPH ideal yang akan
diimplementasikan secara masal, tetapi merupakan bentuk awal organisasi KPH ses
uai dengan tipologi wilayah setempat, yang secara bertahap didorong untuk berkem
bang sesuai dengan siklus pertumbuhan organisasi.
Dengan demikian KPH Model sebagai strategi pendekatan bertahap pembentukan kelem
bagaan KPH, ditempatkan sebagai bentuk (wujud) awal dari KPH yang secara bertaha
p dikembangkan menuju situasi dan kondisi aktual KPH di tingkat tapak, yang diin
dikasikan antara lain oleh suatu kemampuan menyerap tenaga kerja (al. personel o
rganisasi KPH), investasi, memproduksi barang dan jasa kehutanan yang melembaga
dalam system pengelolaan hutan secara lestari dan efisien.
23
Bagaimana membangun KPH Model ?
Telah tersedia pedoman pembangunan KPH Model yang ditetapkan melalui Peraturan K
a Baplan No. SK.80/VII-PW/2006, yang ruang lingkupnya meliputi :
penyusunan rancangan pembangunan KPH Model
pengorganisasian pembangunan KPH Model
pelaksanaan pembangunan KPH Model
pengawasan pembangunan KPH Model
24
Bagaimana posisi penggunaan kawasan hutan terhadap wilayah kelola KPH ?
Penggunaan kawasan hutan dilakukan melalui mekanisme pinjam pakai kawasan hutan,
yang berarti bila penggunaan kawasan hutan tersebut berakhir maka kawasan hutan
dikembalikan ke negara yang pengelolaannya kembali menjadi kewenangan pemerinta
h.
Karena areal penggunaan tersebut tetap berstatus hutan negara, maka keberadaanny
a harus jelas berada di wilayah kerja suatu unit KPH. Dengan demikian KPH perlu
melaksanakan monitoring terhadap pelaksanaan yang terkait dengan ketentuan-keten
tuan pinjam pakai kawasan hutan
25
Apakah dengan adanya KPH tidak memperpanjang birokrasi ?
KPH tidak dalam posisi memberikan pelayanan dalam rangka proses-proses perizinan
pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan. Dengan demikian keberadaan KPH
tidak akan menambah panjang birokrasi pelayanan tersebut.
KPH sesuai dengan tupoksinya berada pada posisi domain teknis pengelolaan hutan
di tingkat tapak, sebagai gambaran adalah sebagai berikut:
Melakukan kegiatan tata hutan di KPH yan terdiri dari : tata batas; inventarisas
i hutan; pembagian ke dalam blok atau zona; pembagian petak dan anak petak; dan
pemetaan.
menyusun rencana pengelolaan jangka panjang dan pendek
melaksanakan penugasan dari Menteri untuk menyelenggarakan pemanfatan hutan, ter
masuk melakukan penjualan tegakan pada wilayah tertentu
melaksanakan pemberdayaan masyarakat
bersama lembaga desa menyusun rencana pengelolaan hutan desa
memfasilitasi penyusunan RKUPHHK dan RKT pada HTR
mengusulkan satu kesatuan luas petak untuk izin penjualan tegakan HTHR
melaksanakan pemantauan dan penilaian atas pelaksanaan kegiatan pengelolaan huta
n di wilayahnya;
menerima tembusan ijin-ijin yang diterbitkan dalam rangka pemanfaatan hutan
menerima tembusan perpanjangan ijin-ijin pemanfaaatan hutan
mengesahkan rencana kerja tahunan (RKT) yang dibuat oleh pemegang izin pemanfaat
an hutan
menerima laporan hasil evaluasi RKUPHHK yg dilakukan pemegang izin setiap 5 tahu

n
26
Bagaimana hubungan pemegang ijin dengan institusi KPH ?
KPH mempunyai Tupoksi antara lain melaksanakan pemantauan dan penilaian atas pel
aksanaan kegiatan pengelolaan hutan di wilayahnya, dengan demikian KPH akan mela
ksanakan pemantauan dan penilaian atas pelaksanaan ijin pemanfaatan yang ada di
wilayahnya. Sebagai contoh : KPH mengesahkan rencana kerja tahunan (RKT) pemegan
g ijin pemanfaatan; menerima laporan hasil evaluasi RKUPHHK yg dilakukan pemegan
g izin setiap 5 tahun,
27
Apakah organisasi KPH boleh dalam bentuk BUMD, atau BUMS ?
Sesuai dengan penjelasan Pasal 21 UU 41/1999, pada dasarnya pengelolaan hutan me
njadi wewenang pemerintah dan atau pemerintah daerah yang dalam kondisi tertentu
dapat dilimpahkan kepada BUMN. Dengan penjelasan tersebut organisasi KPH dapat
dalam bentuk UPT, UPTD atau BUMN.
28
Apakah pemegang IUPHHK dalam hutan alam atau hutan tanaman yang telah mem
peroleh sertifikat Pengelolaan Hutan Lestari (PHL) dapat ditetapkan sebagai peng
elola KPH ?
IUPHHK adalah salah satu kegiatan dari pengelolaan. Salah satu tugas KPH adalah
melaksanakan pemantauan dan penilaian atas pelaksanaan kegiatan pengelolaan huta
n di wilayahnya (al kegiatan pemanfaatan hutan melaui IUPHHK). Pengelolaan hutan
adalah kewenangan Pemerintah dan atau pemerintah daerah yang hanya dapat dilimp
ahkan kepada BUMN. Dengan penjelasan tersebut, maka pemegang IUPHHK tidak dapat
ditetapkan sebagai pengelola KPH.
29
Siapa yang bertanggung jawab terhadap pembangunan KPH ?
Pasal 10 PP 6/2007 menyebutkan :
Pemerintah, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota sesuai kewenangann
ya bertanggung jawab terhadap pembangunan KPH dan infrastrukturnya.
Dana bagi pembangunan KPH bersumber:
APBN;
APBD; dan
dana lain yang tidak mengikat sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
30
Bagaimana posisi pemberdayaan masyarakat di dalam kerangka KPH ?
Pemberdayaan masyarakat (dengan instrumen hutan desa, hutan kemasyarakatan, dan
kemitraan) merupakan kewajiban Pemerintah, provinsi, kabupaten/kota yang pelaksa
naannya menjadi tanggung jawab kepala KPH (PP 6/2007 Pasal 83 ayat 2)

Das könnte Ihnen auch gefallen