Sie sind auf Seite 1von 7

ASSESMENT

Polifarmasi didefinisikan sebagai penggunaan bersamaan 5 macam atau lebih obat-obatan


oleh pasien yang sama. Namun, polifarmasi tidak hanya berkaitan dengan jumlah obat yang
dikonsumsi. Secara klinis, kriteria untuk mengidentifikasi polifarmasi meliputi (Terrie, 2004):

Menggunakan obat-obatan tanpa indikasi yang jelas

Menggunakan terapi yang sama untuk penyakit yang sama

Penggunaan bersamaan obat-obatan yang berinteraksi

Penggunaan obat dengan dosis yang tidak tepat

Penggunaan obat-obatan lain untuk mengatasi efek samping obat.

Polifarmasi meningkatkan risiko interaksi antara obat dengan obat atau obat dengan penyakit.
Populasi lanjut usia memiliki risiko terbesar karena adanya perubahan fisiologis yang terjadi
dengan proses penuaan. Perubahan fisiologis ini, terutama menurunnya fungsi ginjal dan hepar,
dapat menyebabkan perubahan proses farmakodinamik dan farmakokinetik obat tersebut (Terrie,
2004)
2.1 Farmakodinamik
Farmakodinamik menggambarkan efek obat terhadap tubuh. Sebagai contoh, Acetylsalycilyc
acid (ASA) menghambat fungsi platelet sehingga memperpanjang waktu perdarahan. Oleh
karena itu, perdarahan adalah efek farmakodinamik dari ASA.
2.1.1 Efek Samping Obat
Hal utama yang perlu diperhatikan dalam polifarmasi adalah risiko munculnya efek samping
obat dan interaksi obat yang serius. Dalam beberapa kasus, memang diperlukan terapi dengan
beberapa agen (Terrie, 2004).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa lebih dari 75% efek samping obat yang menyebabkan
pasien harus dirawat inap berhubungan dengan agen farmakologis dan sebagian karena
monitoring yang tidak adekuat, peresepan yang kurang tepat, dan kurangnya edukasi dan
kompliansi pasien. Penelitian juga menyatakan bahwa efek samping obat terjadi 6% pada pasien

yang mendapat 2 macam obat, meningkat 50% pada pasien yang mengonsumsi 5 macam obat
bersamaan, dan 100% ketika lebih dari 8 obat digunakan (Terrie, 2004).
Efek samping obat polifarmasi terutama timbul pada pasien tua. Hal ini dapat menyerupai
sindrom geriatrik atau menyebabkan kebingungan, jatuh, inkontinensia, retensi urin, dan malaise.
Efek samping ini menyebabkan dokter meresepkan obat lain untuk mengatasinya (Terrie, 2004).
Penelitian tidak dapat menunjukkan bahwa banyaknya penggunaan obat bersifat iatrogenik.
Diagnosis klinis berkaitan dengan penyakit cenderung lebih kompleks pada orang tua, sehingga
sulit untuk menentukan apakah gejala fisik dan psikis yang timbul merupakan bagian dari proses
penuaan normal. Sulit untuk mengetahui apakah gejala yang timbul pada orang tua disebabkan
oleh penghentian obat. Penghentian obat menyebabkan banyak gejala, seperti halusinasi dan
kejang, yang perlu ditangani dengan obat-obatan baru. Hal ini menyebabkan pemberian
polifarmasi. Untuk menghindari efek penghentian obat, semakin lama obat digunakan, semakin
lambat penghentian penggunaannya. Dosisnya harus dikurangi setengah atau dua pertiganya.
Setelah beberapa minggu atau bulan, perlu dilakukan penurunan dosis menjadi sepertiganya.
Penghentian obat harus diturunkan dosisnya perlahan-lahan sampai dosis terkecil obat tersebut
dapat ditinggalkan. Obat dengan masa kerja yang panjang, seperti benzodiazepine, memerlukan
penghentian yang lama sekitar 6 bulan sampai 1 tahun atau lebih. Karena risiko efek samping
obat meningkat dengan banyaknya obat yang dikonsumsi, penting untuk menghentikan terapi
yang tidak efektif (Linjakumpu, 2003).
2.1.2 Interaksi Obat
Polifarmasi dan interaksi obat lebih sering terjadi dan lebih serius pada pasien tua. Secara
keseluruhan, insiden polifarmasi sekitar 3-5% namun meningkat secara eksponensial dengan
banyaknya obat yang dikonsumsi. Interaksi obat sering terjadi pada pasien tua dengan kondisi
medis multipel. Interaksi obat menyebabkan kegagalan terapi atau efek samping obat. Inhibisi
metabolik dapat meningkatkan kadar obat beberapa kali dengan konsekuensi yang serius
(Standridge, et al.,2010).
2.1.2.1 Inhibisi
Obat-obatan saling berinteraksi dan dengan makanan serta ramuan herbal. Interaksi yang
signifikan secara klinis terjadi pada obat-obatan yang sering digunakan, seperti warfarin,

antibiotik, antidepresan, analgesik, dan HMG-CoA reductase inhibitors). Perubahan absorbsi


obat terjadi karena pengikatan obat dalam saluran cerna, misalnya antasida mengganggu
penyerapan tetrasiklin, perubahan pH lambung, gangguan flora usus, dan perubahan motilitas
saluran cerna. Penurunan keasaman lambung dan melambatnya motilitas saluran cerna
merupakan fenomena penuaan yang normal (Standridge, et al.,2010).
2.1.2.2 Potensiasi
Contoh interaksi farmakodinamik yang bersifat potensiasi atau saling menguatkan adalah sebagai
berikut. Seorang pasien mengonsumsi ASA yang dibeli sendiri untuk rematiknya dan ginkgo
biloba untuk memorinya. Pasien mengalami atrial fibrillation dan diresepi warfarin oleh
kardiologisnya untuk mencegah terjadinya stroke. Pada kasus ini, ASA menghambat platelet dan
warfarin mempengaruhi faktor pembekuan. Keduanya meningkatkan risiko perdarahan. Ginkgo
biloba dosis tinggi juga meningkatkan perdarahan. Interaksi farmakodinamik obat-obatan ini
menyebabkan perdarahan pada pasien (Lin, 2003).
2.1.2.3 Akumulasi
Pasien diabetes yang mendapat sulfonylureas, seperti glyburide, beresiko mengalami
hipoglikemia ketika mengonsumsi antibiotik sulfonamide, karena obat ini menghambat
metabolisme glyburide oleh sistem enzim cytochrome P450 2C9 (CYP 2C9). Toksisitas digoksin
dapat timbul pada pasien yang diterapi dengan clarithromycin yang menghambat P-glycoprotein,
sehingga meningkatkan renal clearance digoxin. Hiperkalemia banyak terjadi pada pasien yang
diterapi dengan angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitors, dan penggunaan bersamaan
dengan potassium-sparing diuretics dapat menyebabkan hyperkalemia yang mengancam nyawa
(Juurlink, et al., 2003).
Metabolisme

obat

terutama

terjadi

di

hepar

melalui

berbagai

sistem

enzim,

seperti cytochromeP450 (CYP450). Suatu obat dapat menjadi inhibitor atau menginduksi jalur
tertentu, dan menjadi substrat pada jalur lainnya. Eliminasi obat melalui ekskresi urin dapat
dipengaruhi dengan menambahkan obat lainnya, mengubah glomerular filtration rate (GFR),
sekresi tubulus, atau pH urin. Diuretik dapat menurunkan GFR sehingga meningkatkan kadar
obat dalam serum (Standridge, et al.,2010).

2.2 Farmakokinetik
Farmakokinetik terdiri dari absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi obat. Proses
penuaan dapat mempengaruhi proses ini.
2.2.1 Absorpsi
Beberapa perubahan dalam absorpsi obat telah ditunjukkan, dan absorpsi obat secara
keseluruhan lengkap, meskipun pada lansia sangat lambat. Analgesik merupakan obat umum
yang absorpsinya lambat. Jumlah obat yang mencapai sirkulasi sistemik tergantung pada
bioavailabilitas dari obat setelah diabsorpsi. Beberapa obat, seperti bisphosphonates
(alendronate, etidronate, risedronate, tiludronate), memiliki bioavailabilitas yang kecil. Dalam
keadaan puasa, kurang dari 1 % dosis yang diberikan mencapai sirkulasi sistemik. Masuknya
obat-obat bersamaan dengan makanan dapat menurunkan absorpsi dan bila terjadi lebih lanjut
dapat mengurangi jumlah obat yang mencapai sirkulasi sistemik.
Interaksi obat-obat dan obat-makanan dapat mempengaruhi absorpsi obat. Sebagai contoh
fluoroquinolon berinteraksi dengan kation divalent dan trivalent (antasida, zat besi, sukralfat)
dan mengurangi absorpsi antibiotik tersebut. Di sisi lain, penyakit yang bersamaan seperti gagal
jantung dapat meningkatkan konsentrasi obat serum seperti levedopa, nifedipin, dan omeprazole
dengan mengurangi aliran darah hati. Penurunan aliran hepatik meminimalkan efek hepatic firstpass dan meningkatkan jumlah obat yang mencapai sirkulasi sistemik. Obat-obatan seperti
levedopa, nifedipin, dan omeprazol menunjukkan peningkatan bioavailabilitas pada lansia.
2.2.2 Distribusi
Distribusi obat dapat dipengaruhi oleh ikatan protein pada konsentrasi serum, seperti
albumin dan 1-acid glycoprotein. Penyakit kronis dan kekurangan nutrisi kalori-protein
mempengaruhi jumlah albumin dalam serum, dan jumlah 1-acid glycoprotein akan dipengaruhi
oleh penyakit akut seperti infeksi, kanker, gagal jantung, stroke dan trauma. Ikatan protein sangat
penting untuk obat dengan indeks terapi yang rendah, seperti fenitoin, lidokain, quinidin, dan
antidepresan trisiklik. Ikatan albumin juga penting untuk obat acidic seperti warfarin dan
naproksen.
Terapi fenitoin secara khusus sangat sulit bagi lansia. Ikatan protein yang tinggi (90%)
dan farmakokinetik yang komplek harus diberikan dengan dosis yang diperhitungkan dan

dilakukan pemantauan untuk populasi ini. Konsentrasi serum dari fenitoin mencerminkan total
obat, yakni fenitoin bebas dan terikat. Jika jumlah albumin dalam serum rendah, fraksi bebas
akan meningkat sedangkan konsentrasi total obat tidak berubah. Toksisitas dapat terjadi dengan
konsentrasi serum terapeutik.
2.2.3 Metabolisme
Sebagian besar obat dimetabolisme di hati. Obat yang dimetabolisme di hati mengalami
oksidasi, reduksi dan hidrolisis, yang akan menurun dengan bertambahnya usia. Penuaan normal
berhubungan dengan beberapa perubahan pada kapasitas metabolisme hati, namun aliran darah
hati menurun 40% dengan bertambahnya usia. Oleh karena itu terdapat variabilitas dalam
metabolism obat di hati dengan bertambahnya usia.
Biotransformasi pada sistem sitokrom P450 terjadi lebih lambat pada lansia. Proses ini
akan mempengaruhi metabolisme beberapa obat seperti wrfarin, fenitoin dan diazepam. Perokok,
pengguna alcohol dan kafein akan mempengaruhi metabolism obat di hati.
2.2.4 Eliminasi
Eliminasi obat pada lansia sangat dipengaruhi oleh penurunan laju filtrasi glomerolus dan
aliran darah ginjal yang berhubungan dengan usia, dengan penurunan sekitar 1% per tahun
setelah usia 50 tahun. Jumlah kreatinin serum tidak selalu mencerminkan akurasi perkiraan laju
filtrasi glomerolus karena adanya penurunan massa otot yang berhubungan usia. Pada pasien
dengan kekurangan nutrisi kalori-protein, hasil pemeriksaan fungsi ginjal dapat normal meskipun
terjadi gangguan ginjal yang substansial. Perkiraan creatinin clearance harus dipertimbangkan
secara hati-hati ketika memberikan dosis obat pada lansia. Pemberian dosis obat yang memiliki
indeks terapi yang rendah harus berdasarkan jumlah obat dalam serum. Tabel 5-1 menunjukkan
beberapa obat yang membutuhkan modifikasi dosis pada pasien dengan penurunan fungsi ginjal.
Tabel 5-1
Antimicrobial agents
Amantadine
Ciprofloxacin, levofloxacin, ofloxacin
Sparfloxacin
Ethambutol
Gentamicin, tobramycin, amikacin

Imipenem
Penicillins
Vancomycin
Cardiovascular agents
Atenolol
Digoxin
Enalapril, lisinopril, quinapril, ramipril
Nadolol
Gastrointestinal agents
Cimetidine, famotidine, nizatidine, ranitidine
Oral hypoglycemic agents
Acetohexamide
Chlorpropamide
Glyburide
Tolazamide

2.2.5 Perubahan lain


Pertimbangan akhir pada eliminasi obat yang berhubungan dengan usia adalah bahwa
lansia akan merespon pengobatan secara berbeda dibandingkan dengan orang yang masih muda.
Hal ini dapat terjadi karena perubahan jumlah reseptor, seperti down-regulation dari aktivitas
reseptor -adrenergic, atau jumlah jaringan atau organ, seperti peningkatan sedasi, kehilangan
memori dengan benzodiazepine, atau pengurangan rasa nyeri dengan penggunaan narkotik.
Perubahan pada sensitivitas reseptor ini sering disebut dengan perubahan farmakodinamik yang
berhubungan dengan penuaan.

REFERENSI

Linjakumpu, T. 2003. Drug use among the home-dwelling elderly. Oulun yliopisto. University of
Oulu. ISBN 951-42-7102-5.
Standrigde JB, Zylstra LG, Miller KE, Ruiz DE, Simpson JD. 2010. Caring for Elderly
Individual: Polypharmacy and Drug
Interaction.http://www.researchresidency.com/goppert/FP2010/FP_Comprehensive/FPE_297/section3_polypharmacy.html.
Terrie YC. 2004. Understanding and Managing Polypharmacy in the
Elderly.http://www.pharmacytimes.com
Lin, P. 2003. Drug Interaction and Polypharmacy in the Elderly. The Canadian Alzheimer
Disease Review, September 2003, p 10-14.
Juurlink DN, Mamdani M, Kopp A, Laupacis A, Redelmeier DA. 2003. Drug-Drug Interactions
Among Elderly Patients Hospitalized for Drug Toxicity.JAMA. 2003;289(13):1652-1658. doi:
10.1001/jama.289.13.1652

Das könnte Ihnen auch gefallen