Sie sind auf Seite 1von 35

BAB I

PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang
Ileus obstruktif merupakan kegawatan dalam bedah abdominalis yang
sering dijumpai dan merupakan 60% - 70% dari seluruh kasus akut abdomen.
Setiap tahunnya 1 dari 1000 penduduk dari segala usia didiagnosa ileus. Akut
abdomen dapat disebabkan oleh kelainan di dalam abdomen berupa inflamasi
dan penyulitnya, ileus obstruktif, iskemik, dan perdarahan. Sebagian kelainan
dapat disebabkan oleh cedera langsung atau tidak langsung yang mengakibatkan
perforasi saluran cerna atau perdarahan (Evers, 2004).
Obstruksi intestinal secara umum didefinisikan sebagai kegagalan isi
intestinal untuk melanjutkan perjalanannya menuju ke anus. Obstruksi intestinal
terjadi ketika lumen usus konstriksi atau terdapat sumbatan. Kondisi ini harus
dibedakan dengan ileus paralitik, dimana terjadi gerakan propulsif yang
menurun tanpa adanya sumbatan di lumen intestinal (Thompson, 2005).
Hambatan pasase usus dapat disebabkan oleh adanya obstruksi lumen
usus atau oleh adanya gangguan peristaltik. Obstruksi intestinal atau disebut
juga ileus obstruktif (obstruksi mekanik) dapat disebabkan oleh strangulasi,
invaginasi atau adanya sumbatan dalam lumen usus. Obstruksi usus merupakan
gangguan peristaltik baik di usus halus maupun di kolon. Obstruksi mekanik
dapat disebabkan karena adanya lesi pada bagian dinding usus, di luar usus
maupun di dalam lumen usus. Obstruksi usus dapat akut atau kronik, parsial
atau total. Obstruksi usus kronik biasanya mengenai kolon sebagai akibat
adanya karsinoma. Sebagian besar obstruksi justru mengenai usus halus.
Obstruksi total usus halus merupakan kegawatan yang memerlukan diagnosa
dini dan tindakan bedah darurat (Sjamsuhidajat & Jong, 2005).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Markogiannakis et al,
ditemukan 60% penderita yang mengalami ileus obstruktif rata rata berumur

sekitar 16 98 tahun dengan perbandingan jenis kelamin perempuan lebih


banyak daripada laki laki (Markogiannakis et al., 2007).
Terapi ileus obstruktif biasanya melibatkan intervensi bedah. Penentuan
waktu kritis tergantung atas jenis dan lama proses ileus obstruktif. Operasi
dilakukan secepat yang layak dilakukan dengan memperhatikan keadaan
keseluruhan pasien.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.

Definisi
Ileus obstruktif merupakan penyumbatan intestinal mekanik yang terjadi
karena adanya daya mekanik yang bekerja atau mempengaruhi dinding usus
sehingga menyebabkan penyempitan/penyumbatan lumen usus. Hal tersebut
menyebabkan pasase lumen usus terganggu (Ullah et al., 2009).
Obstruksi intestinal secara umum didefinisikan sebagai kegagalan isi
intestinal untuk melanjutkan perjalanannya menuju ke anus. Obstruksi Intestinal
ini merujuk pada adanya sumbatan mekanik atau nonmekanik parsial atau total
dari usus besar dan usus halus (Thompson, 2005).

B.

Anatomi
Usus halus berbentuk tubuler, dengan prakiraan panjang sekitar 6 meter
pada orang dewasa, yang terbagi atas tiga segmen yaitu duodenum, jejunum,
dan ileum. Duodenum, merupakan segmen yang paling proksimal, terletak
retroperitoneal berbatasan dengan kaput dan batas inferior dari korpus pankreas.
Doudenum dipisahkan dari gaster oleh adanya pylorus dan dari jejunum oleh
batas Ligamentum Treitz. Jejunum dan ileum terletak di intraperitoneal dan
bertambat ke retroperitoneal melalui mesenterikum. Tak ada batas anatomi yang
jelas untuk membedakan antara Jejunum dan Ileum; 40% panjang dari
jejunoileal diyakini sebagai Jejunum dan 60% sisanya sebagai Ileum. Ileum
berbatasan dengan sekum di katup ileosekal (Whang et al., 2005)
Usus halus terdiri atas lipatan mukosa yang disebut plika sirkularis atau
valvula conniventes yang dapat terlihat dengan mata telanjang. Lipatan ini juga
terlihat secara radiografi dan membantu untuk membedakan antara usus halus
dan kolon. Lipatan ini akan terlihat lebih jelas pada bagian proksimal usus halus
daripada bagian distal. Hal lain yang juga dapat digunakan untuk membedakan

bagian proksimal dan distal usus halus ialah sirkumferensial yang lebih besar,
dinding yang lebih tebal, lemak mesenterial yang lebih sedikit dan vasa rekta
yang lebih panjang. Pemeriksaan makroskopis dari usus halus juga didapatkan
adanya folikel limfoid. Folikel tersebut, berlokasi di ileum, juga disebut sebagai
Peyer Patches. (Whang et al., 2005)

Gambar 2.1 : Gambaran Usus Halus


(Sumber : Simatupang, 2010)
Usus besar terdapat diantara anus dan ujung terminal ileum. Usus besar
terdiri atas segmen awal (sekum), dan kolom asendens, transversum, desendens,
sigmoid, rectum dan anus. Sisa makanan dan yang tidak tercerna dan tidak
diabsorpsi di dalam usus halus didorong ke dalam usus besar oleh gerak
peristaltik kuat otot muskularis eksterna usus halus. Residu yang memasuki
usus besar itu berbentuk semi cair; saat mencapai bagian akhir usus besar,
residu ini telah menjadi semi solid sebagaimana feses umumnya. Meskipun
terdapat di usus halus, sel-sel goblet pada epitel usus besar jauh lebih banyak
dibandingkan dengan yang di usus halus. Sel goblet ini juga bertambah dari
bagian sekum ke kolon sigmoid. Usus besar tidak memiliki plika sirkularis
maupun vili intestinales, dan kelenjar usus/intestinal terletak lebih dalam
daripada usus halus (Eroschenko, 2003).

Gambar 2.2 : Sistem Saluran Pencernaan Manusia


(Sumber: Simatupang, 2010)
Suplai Vaskuler
Pada usus halus, A. Mesenterika Superior merupakan cabang dari
Aorta tepat dibawah A. Soeliaka. Arteri ini mendarahi seluruh usus halus
kecuali

Duodenum

yang

sebagian

atasnya

diperdarahi

oleh

A.

Pankreotikoduodenalis Superior, suatu cabang dari A. Gastroduodenalis.


Sedangkan

separuh

bawah

Duodenum

diperdarahi

oleh

A.

Pankreotikoduodenalis Inferior, suatu cabang A. Mesenterika Superior.


Pembuluh - pembuluh darah yang memperdarahi Jejunum dan Ileum ini
beranastomosis satu sama lain untuk membentuk serangkaian arkade. Bagian
Ileum yang terbawah juga diperdarahi oleh A. Ileocolica. Darah dikembalikan
lewat V. Messentericus Superior yang menyatu dengan V. lienalis membentuk
vena porta. (Price, 2003).
Pada usus besar, A. Mesenterika Superior memperdarahi belahan
bagian kanan (sekum, kolon ascendens, dan dua pertiga proksimal kolon
transversum) : (1) ileokolika, (2) kolika dekstra, (3) kolika media, dan arteria
mesenterika inferior memperdarahi bagian kiri (sepertiga distal kolon

transversum, kolon descendens dan sigmoid, dan bagian proksimal rektum) :


(1) kolika sinistra, (2) sigmoidalis, (3) rektalis superior (Price, 1994) (Whang
et al., 2005).
Pembuluh limfe
Pembuluh limfe duodenum mengikuti arteri dan mengalirkan cairan
limfe; 1. Ke atas melalui nodi lymphatici pancreoticoduodenalis ke nodi
lymphatici gastroduodenalis dan kemudian ke nodi lymphatici coeliacus dan
2. ke bawah, melalui nodi lymphatici pancreoticoduodenalis ke nodi lyphatici
mesentericus superior sekitar pangkal arteri mesenterica superior.
Pembuluh limfe jejunum dan ileum berjalan melalui banyak nodi
lymphatici mesentericus dan akhirnya mencapai nodi lymphatici mesentericus
suprior, yang terletak sekitar pangkal arteri mesentericus superior. Pembuluh
limfe sekum berjalan melewati banyak nodi lymphatici mesentericus dan
akhirnya mencapai nodi lymphatici msentericus superior. Pembuluh limfe
untuk kolon mengalirkan cairan limfe ke kelenjar limfe yang terletak di
sepanjang perjalanan arteri vena kolika. Untuk kolon ascendens dan dua
pertiga dari kolon transversum cairan limfenya akan masuk ke nodi limphatici
mesentericus superior, sedangkan yang berasal dari sepertiga distal kolon
transversum dan kolon descendens akan masuk ke nodi limphatici
mesentericus inferior (Snell, 2004).
Persarafan
Saraf - saraf duodenum berasal dari saraf simpatis dan parasimpatis
(vagus) dari pleksus mesentericus superior dan pleksus coeliacus. Saraf untuk
jejunum dan ileum berasal dari saraf simpatis dan parasimpatis (nervus vagus)
dari pleksus mesentericus superior (Snell, 2004). Rangsangan parasimpatis
merangasang aktivitas sekresi dan pergerakan, sedangkan rangsangan simpatis
menghambat pergerakan usus. Serabut - serabut sensorik sistem simpatis
menghantarkan nyeri, sedangkan serabut - serabut parasimpatis mengatur
refleks usus. Suplai saraf intrinsik, yang menimbulkan fungsi motorik,

berjalan melalui pleksus Auerbach yang terletak dalam lapisan muskularis,


dan pleksus Meissner di lapisan submukosa (Price, 2003).
Persarafan usus besar dilakukan oleh sistem saraf otonom dengan
pengecualian pada sfingter eksterna yang berada dibawah kontrol voluntar
(Price, 2003). Sekum, appendiks dan kolon ascendens dipersarafi oleh serabut
saraf simpatis dan parasimpatis nervus vagus dari pleksus saraf mesentericus
superior. Pada kolon transversum dipersarafi oleh saraf simpatis nervus vagus
dan saraf parasimpatis nervus pelvikus. Serabut simpatis berjalan dari pleksus
mesentericus superior dan inferior. Serabut - serabut nervus vagus hanya
mempersarafi dua pertiga proksimal kolon transversum; sepertiga distal
dipersarafi oleh saraf parasimpatis nervus pelvikus. Sedangkan pada kolon
descendens dipersarafi serabut - serabut simpatis dari pleksus saraf
mesentericus inferior dan saraf parasimpatis nervus pelvikus (Snell, 2004).
Perangsangan simpatis menyebabkan penghambatan sekresi dan kontraksi,
serta perangsangan sfingter rektum, sedangkan perangsangan parasimpatis
mempunyai efek berlawanan. (Price, 2003).
C.

Etiologi
Ileus obstruktif sering dijumpai dan merupakan penyebab terbesar
pembedahan pada akut abdomen. Hal ini terjadi ketika udara dan hasil sekresi
tak dapat melewati lumen intestinal karena adanya sumbatan yang menghalangi.
Obstruksi mekanik dari lumen intestinal biasanya disebabkan oleh tiga
mekanisme ; 1. blokade intralumen (obturasi), 2. intramural atau lesi intrinsik
dari dinding usus, dan 3. kompresi lumen atau konstriksi akibat lesi ekstrinsik
dari intestinal. Berbagai kondisi yang menyebabkan terjadinya obstruksi
intestinal biasanya terjadi melalui satu mekanisme utama. Satu pertiga dari
seluruh pasien yang mengalami ileus obstruktif, ternyata dijumpai lebih dari
satu faktor etiologi yang ditemukan saat dilakukan operasi. (Thompson, 2005)

Gambar 2.3 Penyebab ileus obstruktif


(Sumber: Simatupang, 2010)
Penyebab terjadinya ileus obstruktif beragam jumlahnya berdasarkan
umur dan tempat terjadinya obstruksi. Adhesi post operatif merupakan
penyebab utama dari terjadinya obstruksi usus halus. Pada pasien yang tidak

pernah dilakukan operasi laparotomi sebelumnya, adhesi karena inflamasi dan


berbagai hal yang berkaitan dengan kasus ginekologi harus dipikirkan. Adhesi,
hernia, dan malignansi merupakan 80 % penyebab dari kasus ileus obstruktif.
Pada anak-anak, hanya 10 % obstruksi yang disebabkan oleh adhesi; intususepsi
merupakan penyebab tersering dari ileus obstruktif yang terjadi pada anak-anak.
Volvulus dan intususepsi merupakan 30 % kasus komplikasi dari kehamilan dan
kelahiran. Kanker harus dipikirkan bila ileus obstruktif ini terjadi pada orang
tua. Metastasis dari genitourinaria, kolon, pankreas, dan karsinoma gaster
menyebabkan obstruksi lebih sering daripada tumor primer di intestinal.
Malignansi, divertikel, dan volvulus merupakan penyebab tersering terjadinya
obstruksi kolon, dengan karsinoma kolorektal. (Thompson, 2005).
Tabel 2.1. : Beberapa Penyebab Obstruksi Mekanik dari Intestinal (Whang et al.,
2005) (Thompson, 2005)
Obturasi Intraluminal
Lesi Ekstrinsik
Lesi Intrinsik
Benda Asing
Adhesi
Kongenital
- Iatrogenik
- Atresia, stenosis,
Benda Asing
- Tertelan
dan webs
Hernia
- Divertikulum
- Batu Empedu
- Eksternal
Meckel
- Cacing
- Internal
Intususepsi
Pengaruh Cairan
- Barium
- Feses
- Meconium

Massa
Inflamasi
- Anomali organ atau
- Divertikulitis
pembuluh darah
- Drug-induced
- Organomegali
- Infeksi
- Akumulasi Cairan
- Coli ulcer
- Neoplasma

Post Operatif
Volvulus

Neoplasma
- Tumor Jinak
- Karsinoma
- Karsinoid
- Limpoma
- Sarcoma
Trauma
- Intramural
Hematom

D.

Patofisiologi
Respon Usus Halus Terhadap Obstruksi
Normalnya, sekitar 2 L asupan cairan dan 8 L sekresi dari gaster,
intestinal dan pankreaticobilier ditansfer ke intestinal setiap harinya. Meskipun
aliran cairan menuju ke intestinal bagian proksimal, sebagian besar cairan ini
akan diabsorbsi di intestinal bagian distal dan kolon. Ileus obstruktif terjadi
akibat akumulasi cairan intestinal di proksimal daerah obstruksi disebabkan
karena adanya gangguan mekanisme absorbsi normal proksimal daerah
obstruksi serta kegagalan isi lumen untuk mencapai daerah distal dari obstruksi.
Akumulasi cairan intralumen proksimal daerah obstruksi terjadi dalam
beberapa jam dan akibat beberapa faktor. Asupan cairan dan sekresi lumen yang
terus bertambah terkumpul dalam intestinal. Aliran darah meningkat ke daerah
intestinal segera setelah terjadinya obstruksi, terutama di daerah proksimal lesi,
yang akhirnya akan meningkatkan sekresi intestinal. Hal ini bertujuan untuk
menurunkan kepekaan vasa splanknik pada daerah obstruksi terhadap mediator
vasoaktif. Pengguyuran cairan intravena juga meningkatkan volume cairan
intralumen. Sekresi cairan ke dalam lumen terjadi karena kerusakan mekanisme
absorpsi dan sekresi normal. Distensi lumen menyebabkan terjadinya kongestif
vena, edema intralumen, dan iskemia.
Gas intestinal juga mengalami akumulasi saat terjadinya ileus obstruktif.
Sebagian kecil dihasilkan melalui netralisasi bikarbonat atau dari metabolisme
bakteri. Gas di Intestinal terdiri atas Nitrogen (70%), Oksigen (12%), dan
Karbon Dioksida (8%), yang komposisinya mirip dengan udara bebas. Hanya
karbon dioksida yang memiliki cukup tekanan parsial untuk berdifusi dari
lumen.
Intestinal, normalnya, berusaha untuk membebaskan obstruksi mekanik
dengan cara meningkatkan peristaltik. Periode yang terjadi ialah berturut-turut:
terjadinya hiperperistaltik, intermittent quiescent interval, dan pada tingkat
akhir terjadi ileus. Bagian distal obstruksi segera menjadi kurang aktif.
Obstruksi mekanik yang berkepanjangan menyebabkan penurunan dari

10

frekuensi gelombang - lambat dan kerusakan aktivitas gelombang spike, namun


intestinal masih memberikan respon terhadap rangsangan. Ileus dapat terus
menetap bahkan setelah obstruksi mekanik terbebaskan.
Tekanan

intralumen

meningkat

sekitar

20

cmH 2O,

sehingga

menyebabkan aliran cairan dari lumen ke pembuluh darah berkurang dan


sebaliknya aliran dari pembuluh darah ke lumen meningkat. Perubahan yang
serupa juga terjadi pada absorbsi dan sekresi dari Natrium dan Khlorida.
Namun, peningkatan tekanan intralumen tidak selalu terjadi dan mungkin
terdapat mekanisme lain yang menyebabkan perubahan pada mekanisme
sekresi. Peningkatan sekresi juga dipengarui oleh hormon gastrointestinal,
seperti peningkatan sirkulasi vasoaktif intestinal polipeptida, prostaglandin, atau
endotoksin.
Peningkatan volume intralumen menyebabkan terjadinya distensi
intestinal di bagian proksimal obstruksi, yang bermanifestasi pada mual dan
muntah. Proses obstruksi yang berlanjut, kerusakan progresif dari proses
absorbsi dan sekresi semakin ke proksimal. Selanjutnya, obstruksi mekanik ini
mengarah pada peningkatan defisit cairan intravaskular yang disebabkan oleh
terjadinya muntah, akumulasi cairan intralumen, edema intramural, dan
transudasi cairan intraperitoneal. Pemasangan

nasogastric tube malah

memperparah terjadinya defisit cairan melalui external loss. Hipokalemia,


hipokhloremia, alkalosis metabolik merupakan komplikasi yang sering dari
obstruksi letak tinggi. Hipovolemia yang tak dikoreksi dapat mengakibatkan
terjadinya insufisiensi renal, syok, dan kematian.
Stagnasi isi intestinal dapat memfasilitasi terjadinya proliferasi bakteri.
Bakteri Aerob dan Anaerob berkembang pada daerah obstruksi. Koloni
berlebihan dari bakteri dapat merangsang absorbtif dan fungsi motorik dari
intestinal dan menyebabkan terjadinya translokasi bakteri dan komplikasi
sepsis.

11

Gambar 2.4 Patofisiologi Ileus Obstruktif


(Sumber : Simatupang, 2010)
Strangulasi
Obstruksi strangulasi adalah hilangnya aliran darah di segmen obtruksi
dari intestinal. Hal ini dapat terjadi karena adanya penekanan langsung dari
vasa mesenteric atau sebagai akibat perubahan lokal pada dinding intestinal.
Komplikasi ini sering berhubungan dengan obstruksi yang disebabkan oleh
hernia dan volvulus. Obstruksi strangulasi pada kolon paling sering
disebabkan oleh volvulus.
Iskemia intramural dapat terjadi karena berbagai sebab. Distensi dan
peningkatan tekanan pada intramural dapat menyebabkan kongesti dari vena,

12

kebocoran kapiler, edema dinding usus besar dan perdarahan serta thrombosis
dari arteri dan vena. Peningkatan pertumbuhan bakteri terjadi dalam beberapa
jam setelah strangulasi. Hal ini menyebabkan produksi toksin intralumen dan
dapat merangsang pelepasan mediator vasoaktif seperti prostaglandin.
Mukosa dari intestinal lebih peka terhadap iskemia dan beberapa faktor
tampaknya memainkan peranan penting untuk mendukung terjadinya iskemia,
termasuk hipoksia, protease pankreas dan radikal bebas. Mukosa pada
intestinal lebih peka terhadap terjadinya iskemia dibandingkan mukosa pada
kolon. Saat terjadi nekrosis mukosa, bakteri dan toksin dapat dengan segera
berpindah tempat dari dinding intestinal menuju ke cavum peritoneal, limfe
pada mesenterikum, dan sirkulasi sistemik. Hal ini menggiring pada
terjadinya iskemia, sepsis, perforasi frank yang dapat disertai dengan
peritonitis dan kematian akibat syok sepsis. Gut iskemia dan terjadinya
reperfusion juga mendukung terjadinya gagal organ, seperti paru.

Tabel 2.2 Perbedaan ileus obstruktif simple dan strangulate


(Sumber : Bickle dan Kelly, 2002)
Obstruksi Gelung Tertutup
Terjadi saat obstruksi terdapat di dua tempat. Volvulus merupakan
sebab yang paling sering dan dapat juga menyebabkan terjadinya perputaran
mesenterium. Obstruksi di bagian distal dari usus besar juga dapat
menyebabkan terjadinya closed loop obstruction jika katup ileocekal masih

13

tersisa. Saat tekanan intralumen di segmen obstruksi meningkat, sekresi cairan


ke dalam lumen meningkat sementara absorbsinya menurun. Kepentingan
klinis yang mungkin terjadi akibat fenomena ini ialah meningkatnya resiko
kejadian strangulasi. Distensi pada obstruksi gelung tertutup terjadi sangat
cepat sehingga biasanya strangulasi terjadi lebih dahulu bahkan sebelum
gejala klinis dari obstruksi tampak jelas.
Obstruksi Parsial Intestinal
Pada obstruksi parsial, lumen tak sepenuhnya tersumbat. Adhesi
merupakan penyebab tersering dari gangguan ini dan jarang sekali
mengakibatkan terjadinya strangulasi. Obstruksi parsial kronis dapat
menyebabkan terjadinya penebalan dinding intestinal akibat hipertrofi otot.
Perpanjangan waktu kontraksi dan peningkatan kelompok kontraksi
merupakan karakteristik yang dapat ditemukan. Kelainan motoris ini dan
kemungkinan berhubungan dengan pertumbuhan bakteri dapat menyebabkan
terjadinya malabsorbsi, distensi dan diare sekretorik.
Obstruksi kolon
Patofisiologi terjadinya obstruksi pada kolon berbeda dengan
intestinal. Kolon khususnya yang bagian distal memiliki kemampuan yang
terbatas pada absorbsi. Akumulasi Cairan dan gas di kolon terjadi lebih lambat
karena posisinya yang berada paling distal dari saluran pencernaan dan karena
sebagian besar cairan telah diabsorbsi di usus halus. Distensi yang terjadi
secara perlahan ini memungkinkan kolon untuk beradaptasi dan dekompresi
dapat terjadi karena katup ileocecal yang inkompeten. Seperti disebutkan
sebelumnya, katup ileocecal yang kompeten dapat menyebabkan terjadinya
closed loop obstruction. Dilatasi cecal dan penipisan dinding cecum akibat
penambahan diameter dapat meningkatkan resiko terjadinya rupture. Rupture
dapat disebabkan oleh iskemia yang terjadi pada dinding kolon, diastasis dari
lapisan otot, ataupun karena invasi bakteri di dinding kolon. Obstruksi kolon
berakibat pada motilitas abnormal namun tidak hiperperistaltik.

14

Tabel 2.3. Perbedaan ileus obstruktif usus halus dan usus besar
(Sumber : Bickle dan Kelly, 2002)
E.

Klasifikasi
Berdasarkan penyebabnya ileus obstruktif dibedakan menjadi tiga
kelompok (Yates, 2004) :
a. Lesi-lesi intraluminal, misalnya fekalit, benda asing, bezoar, batu empedu.
b. Lesi-lesi intramural, misalnya malignansi atau inflamasi.
c. Lesi-lesi ekstramural, misalnya adhesi, hernia, volvulus atau intususepsi.
Ileus obstruktif dibagi lagi menjadi tiga jenis dasar (Sjamsuhidajat &
Jong, 2005) :
1. Ileus obstruktif sederhana, dimana obstruksi tidak disertai dengan
terjepitnya pembuluh darah.
2. Ileus obstruktif strangulasi, dimana obstruksi yang disertai adanya
penjepitan pembuluh darah sehingga terjadi iskemia yang akan berakhir
dengan nekrosis atau gangren yang ditandai dengan gejala umum berat yang
disebabkan oleh toksin dari jaringan gangren.
3. Ileus obstruktif jenis gelung tertutup, dimana terjadi bila jalan masuk dan
keluar suatu gelung usus tersumbat, dimana paling sedikit terdapat dua
tempat obstruksi.
Untuk keperluan klinis dan berdasarkan letak sumbatan, ileus obstruktif
dibagi dua (Ullah et al., 2009):

15

1. Ileus obstruktif usus halus, yaitu obstruksi letak tinggi dimana mengenai
duodenum, jejunum dan ileum
2. Ileus obstruktif usus besar, yaitu obstruksi letak rendah yang mengenai kolon,
sigmoid dan rectum.
F.

Manifestasi Klinis
Terdapat 4 tanda kardinal gejala ileus obstruktif :
1. Nyeri abdomen
2. Muntah
3. Distensi
4. Kegagalan buang air besar atau gas (konstipasi).
Gejala ileus obstruktif tersebut bervariasi tergantung kepada:
1. Lokasi obstruksi
2. Lamanya obstruksi
3. Penyebabnya
4. Ada atau tidaknya iskemia usus (Ullah et al., 2009)
Gejala utama dari obstruksi ialah nyeri kolik, mual dan muntah dan
obstipasi. Adanya flatus atau feses selama 6-12 jam setelah gejala merupakan ciri
khas dari obstruksi parsial. Nyeri kram abdomen bisa merupakan gejala penyerta
yang berhubungan dengan hipermotilitas intestinal proksimal daerah obstruksi.
Nyerinya menyebar dan jarang terlokalisir, namun sering dikeluhkan nyeri pada
bagian tengah abdomen. Saat peristaltik menjadi intermiten, nyeri kolik juga
menyertai. Saat nyeri menetap dan terus menerus kita harus mencurigai telah
terjadi strangulasi dan infark. (Whang et al., 2005)
Tanda-tanda obstruksi usus halus juga termasuk distensi abdomen yang
akan sangat terlihat pada obstruksi usus halus bagian distal ileum, atau distensi
bisa tak terjadi bila obstruksi terjadi di bagian proksimal usus halus, dan
peningkatan bising usus. Hasil laboratorium terlihat penurunan volume
intravaskuler, adanya hemokonsentrasi dan abnormalitas elektrolit. Mungkin
didapatkan leukositosis ringan.

16

Muntah terjadi setelah terjadi obstruksi lumen intestinal dan menjadi


lebih sering saat telah terjadi akumulasi cairan di lumen intestinal. Derajat
muntah linear dengan tingkat obstruksi, menjadi tanda yang lebih sering
ditemukan pada obstruksi letak tinggi. Obstruksi letak tinggi juga ditandai
dengan bilios vomiting dan letak rendah muntah lebih bersifat malodorus.
(Thompson, 2005).
Kegagalan untuk defekasi dan flatus merupakan tanda yang penting
untuk membedakan terjadinya obstruksi komplit atau parsial. Defekasi masih
terjadi pada obstruksi letak tinggi karena perjalan isi lumen di bawah daerah
obstruksi. Diare yang terus menerus dapat juga menjadi tanda adanya obstruksi
partial.
Tanda-tanda pada pemeriksaan fisik dapat saja normal pada awalnya,
namun distensi akan segera terjadi, terutama pada obstruksi letak rendah. Tanda
awal yang muncul ialah penderita segera mengalami dehidrasi. Massa yang
teraba dapat di diagnosis banding dengan keganasan, abses, ataupun strangulasi.
Auskultasi digunakan untuk membedakan pasien menjadi tiga kategori : loud,
high pitch dengan burst ataupun rushes yang merupakan tanda awal terjadinya
obstruksi mekanik. Saat bising usus tak terdengar dapat diartikan bahwa
obstruksi telah berlangsung lama, ileus paralitik atau terjadinya infark. Seiring
waktu, dehidrasi menjadi lebih berat dan tanda-tanda strangulasi mulai tampak.
Pemeriksaan lipat paha untuk mengetahui adanya hernia serta rectal toucher
untuk mengetahui adanya darah atau massa di rectum harus selalu dilakukan.
Tanda-tanda terjadinya strangulasi seperi nyeri terus menerus, demam,
takikardia, dan nyeri tekan bisa tak terdeteksi pada 10-15% pasien sehingga
menyebabkan diagnosis strangulasi menjadi sulit untuk ditegakkan. Pada
obstruksi karena strangulasi bisa terdapat takikardia, nyeri tekan lokal, demam,
leukositosis

dan

asidosis. Level

serum dari

amylase,

lipase, lactate

dehidrogenase, fosfat, dan potassium mungkin meningkat. Penting dicatat bahwa


parameter ini tak dapat digunakan untuk membedakan antara obstruksi
sederhana dan strangulasi sebelum terjadinya iskemia irreversible.

17

G.

Diagnosis
Diagnosis ileus obstruktif tidak sulit; salah satu yang hampir selalu
harus ditegakkan atas dasar klinik dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik,
kepercayaan atas pemeriksaan radiologi dan pemeriksaan laboraorium harus
dilihat sebagai konfirmasi dan bukan menunda mulainya terapi yang segera.
Diagnosa ileus obstruktif diperoleh dari :
1. Anamnesis
Pada anamnesis ileus obstruktif usus halus biasanya sering dapat
ditemukan penyebabnya, misalnya berupa adhesi dalam perut karena pernah
dioperasi sebelumnya atau terdapat hernia (Sjamsuhudajat & Jong, 2004).
Pada ileus obstruktif usus halus kolik dirasakan di sekitar umbilkus,
sedangkan pada ileus obstruktif usus besar kolik dirasakan di sekitar
suprapubik. Muntah pada ileus obstruktif usus halus berwarna kehijaun dan
pada ileus obstruktif usus besar onset muntah lama.
2. Pemeriksaan Fisik
a. Inspeksi
Dapat ditemukan tanda-tanda generalisata dehidrasi, yang mencakup
kehilangan turgor kulit maupun mulut dan lidah kering. Pada abdomen
harus dilihat adanya distensi, parut abdomen, hernia dan massa abdomen.
Inspeksi pada penderita yang kurus/sedang juga dapat ditemukan darm
contour (gambaran kontur usus) maupun darm steifung (gambaran
gerakan usus), biasanya nampak jelas pada saat penderita mendapat
serangan kolik yang disertai mual dan muntah dan juga pada ileus
obstruksi yang berat. Penderita tampak gelisah dan menggeliat sewaktu
serangan kolik.

18

Gambar 2.5 Gerakan Peristaltik Usus (Sumber : Faradilla, 2009)


b. Palpasi dan perkusi
Pada palpasi didapatkan distensi abdomen dan perkusi tympani yang
menandakan adanya obstruksi. Palpasi bertujuan mencari adanya tanda
iritasi peritoneum apapun atau nyeri tekan, yang mencakup defance
musculair involunter atau rebound dan pembengkakan atau massa yang
abnormal.
c. Auskultasi
Pada ileus obstruktif pada auskultasi terdengar kehadiran episodik
gemerincing logam bernada tinggi dan gelora (rush) diantara masa
tenang. Tetapi setelah beberapa hari dalam perjalanan penyakit dan usus di
atas telah berdilatasi, maka aktivitas peristaltik (sehingga juga bising usus)
bisa tidak ada atau menurun parah. Tidak adanya nyeri usus bisa juga
ditemukan dalam ileus paralitikus atau ileus obstruktif strangulata.
Bagian akhir yang diharuskan dari pemeriksaan adalah pemeriksaan
rectum dan pelvis. Pada pemeriksaan colok dubur akan didapatkan tonus
sfingter ani biasanya cukup namun ampula recti sering ditemukan kolaps
terutama apabila telah terjadi perforasi akibat obstruksi. Mukosa rectum dapat
ditemukan licin dan apabila penyebab obstruksi merupakan massa atau tumor

19

pada bagian anorectum maka akan teraba benjolan yang harus kita nilai
ukuran, jumlah, permukaan, konsistensi, serta jaraknya dari anus dan
perkiraan diameter lumen yang dapat dilewati oleh jari. Nyeri tekan dapat
ditemukan pada lokal maupun general misalnya pada keadaan peritonitis. Kita
juga menilai ada tidaknya feses di dalam kubah rektum. Pada ileus obstruktif
usus feses tidak teraba pada colok dubur dan tidak dapat ditemukan pada
sarung tangan. Pada sarung tangan dapat ditemukan darah apabila penyebab
ileus obstruktif adalah lesi intrinsik di dalam usus (Sjamsuhidajat & Jong,
2005).
Diagnosis harus terfokus pada membedakan antara obtruksi mekanik
dengan ileus; menentukan etiologi dari obstruksi; membedakan antara
obstruksi parsial atau komplit dan membedakan obstruksi sederhana dengan
strangulasi. Hal penting yang harus diketahui saat anamnesis adalah riwayat
operasi abdomen (curiga akan adanya adhesi) dan adanya kelainan abdomen
lainnya (karsinoma intraabdomen atau sindroma iritasi usus) yang dapat
membantu kita menentukan etiologi terjadinya obstruksi. Pemeriksaan yang
teliti untuk hernia harus dilakukan. Feses juga harus diperiksa untuk melihat
adanya darah atau tidak, kehadiran darah menuntun kita ke arah strangulasi.
3. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium pada pasien yang diduga mengalami
obstruksi intestinal terutama ialah darah lengkap dan elektrolit, Blood Urea
Nitrogen, kreatinin dan serum amylase. Obstruksi intestinal yang sederhana
tidak akan menyebabkan perubahan pada hasil laboratorium jadi pemeriksaan
ini tak akan banyak membantu untuk diagnosis obsruksi intestinal yang
sederhana. Pemeriksaan elektrolit dan tes fungsi ginjal dapat mendeteksi
adanya hipokalemia, hipokhloremia dan azotemia pada 50% pasien.
4. Pemeriksaan Radiologi
a. Foto polos abdomen (foto posisi supine, posisi tegak abdomen atau posisi
dekubitus) dan posisi tegak thoraks

20

Temuan spesifik untuk obstruksi usus halus ialah dilatasi usus


halus ( diameter > 3 cm ), adanya air-fluid level pada posisi foto abdomen
tegak, dan kurangnya gambaran udara di kolon. Sensitifitas foto abdomen
untuk mendeteksi adanya obstruksi usus halus mencapai 70-80% namun
spesifisitasnya rendah. Pada foto abdomen dapat ditemukan beberapa
gambaran, antara lain:
1) Distensi usus bagian proksimal obstruksi
2) Kolaps pada usus bagian distal obstruksi
3) Posisi tegak atau dekubitus: Air-fluid levels
4) Posisi supine dapat ditemukan :
a) distensi usus
b) step-ladder sign
5) String of pearls sign, gambaran beberapa kantung gas kecil yang
berderet
6) Coffee-bean sign, gambaran gelung usus yang distensi dan terisi
udara dan gelung usus yang berbentuk U yang dibedakan dari dinding
usus yang oedem.
7) Pseudotumor Sign, gelung usus terisi oleh cairan.(Moses, 2008)
Ileus paralitik dan obstruksi kolon dapat memberikan gambaran
serupa dengan obstruksi usus halus. Temuan negatif palsu dapat
ditemukan pada pemeriksaan radiologis ketika letak obstruksi berada di
proksimal usus halus dan ketika lumen usus dipenuhi oleh cairan saja
dengan tidak ada udara. Dengan demikian menghalangi tampaknya airfluid level atau distensi usus. Keadaan selanjutnya berhubungan dengan
obstruksi gelung tertutup. Meskipun terdapat kekurangan tersebut, foto
abdomen tetap merupakan pemeriksaan yang penting pada pasien dengan
obstruksi usus halus karena kegunaannya yang luas namun memakan
biaya yang sedikit.

21

Tabel 2.4 Perbedaan Radiologi obstruksi intestinal dan ileus


Temuan Radiologis
Air-fluid Level

Osbtruksi Mekanik
Present
proximal
to
obstruction
Gas in small intestine
Large bowel shape loops;
stepladder pattern
gas ini colon
Absent or diminished
Thickened bowel wall
Present if chronic or
strangulation
Intraabdominal fluid
Rare
Diapraghm
Slightly elevated; normal
motion
Gastrointestinal contrast Rapid progression to point
media
of obstruction

Ileus
Prominent throughout
Gas present diffusely;
moveable
Increase throughout
Present with inflamation
Often present
Elevated; decrease motion
Slow progression to colon

Gambar 2.6 Dilatasi usus (Nobie, 2009)

22

Gambar 2.7 Multipel air fluid level dan string of pearls sign (Nobie, 2009)

Gambar 2.8 Herring bone appearance (Nobie,2009)

23

Gambar 2.9 Coffee bean appearance (Bickle dan Kelly, 2002)

Gambar 2.10 Step ledder sign (Nobie, 2009)


b. Enteroclysis
Enteroclysis berfungsi untuk mendeteksi adanya obstruksi dan
juga untuk membedakan obstruksi parsial dan total. Cara ini berguna jika
pada foto polos abdomen memperlihatkan gambaran normal namun

24

dengan klinis menunjukkan adanya obstruksi atau jika penemuan foto


polos abdomen tidak spesifik. Pada pemeriksaan ini juga dapat
membedakan adhesi oleh karena metastase, tumor rekuren dan kerusakan
akibat radiasi. Enteroclysis memberikan nilai prediksi negative yang
tinggi dan dapat dilakukan dengan dua kontras. Barium merupakan
kontras yang sering digunakan. Barium sangat berguna dan aman untuk
mendiagnosa obstruksi dimana tidak terjadi iskemia usus maupun
perforasi. Namun, penggunaan barium berhubungan dengan terjadinya
peritonitis dan penggunaannya harus dihindari bila dicurigai terjadi
perforasi. (Nobie, 2009)

Gambar 2.11 Intususepsi (coiled-spring appearance).(Khan,2009)


c. CT-Scan
CT-Scan berfungsi untuk menentukan diagnosa dini atau obstruksi
strangulate dan menyingkirkan penyebab akut abdomen lain terutama jika
klinis dan temuan radiologis lain tidak jelas. CT-scan juga dapat
membedakan penyebab obstruksi intestinal, seperti adhesi, hernia karena
penyebab ekstrinsik dari neoplasma dan penyakit Chron karena penyebab

25

intrinsik. Obstruksi ditandai dengan diametes usus halus sekitar 2,5 cm


pada bagian proksimal menjadi bagian yang kolaps dengan diameter
sekitar 1 cm. (Nobie, 2009)
Tingkat sensitifitas CT scan sekitar 80-90% sedangkan tingkat
spesifisitasnya sekitar 70-905 untuk mendeteksi adanya obstruksi
intestinal. Temuan berupa zona transisi dengan dilatasi usus proksimal,
dekompresi usus bagian distal, kontras intralumen yang tak dapat
melewati bagian obstruksi dan kolon yang mengandung sedikit cairan dan
gas. CT scan juga dapat memberikan gambaran adanya strangulasi dan
obstruksi gelung tertutup. Obstruksi Gelung tertutup diketahui melalui
gambaran dilatasi bentuk U atau bentuk C akibat distribusi radial vasa
mesenteric yang berpusat pada tempat puntiran. Strangulasi ditandai
dengan penebalan dinding usus, intestinal pneumatosis (udara didinding
usus), gas pada vena portal dan kurangnya uptake kontras intravena ke
dalam dinding dari bowel yang affected. CT scan juga digunakan untuk
evaluasi menyeluruh dari abdomen dan pada akhirnya mengetahui etiologi
dari obstruksi.
Keterbatasan CT scan ini terletak pada tingkat sensitivitasnya yang
rendah (<50%) untuk mendeteksi grade ringan atau obstruksi usus halus
parsial. Zona transisi yang tipis akan sulit untuk diidentifikasi. (Nobie,
2009)

Gambar 2.12 CT Scan Ileus Obstruktif akibat tumor mesenterium


(Khan, 2009)

26

Gambar 2.13 CT Scan Ileus Obstruksi Akibat Intususepsi : tampak distensi


usus halus yang tidak diikuti dengan distensi kolon (Vriesman dan Robin, 2005)
d. CT enterography (CT enteroclysis)
Pemeriksaan ini menggantikan enteroclysis pada penggunaan
klinis. Pemeriksaan ini merupakan pilihan pada ileus obstruksi intermiten
atau pada pasien dengan riwayat komplikasi pembedahan (seperti tumor,
operasi besar). Pada pemeriksaan ini memperlihatkan seluruh penebalan
dinding usus dan dapat dilakukan evaluasi pada mesenterium dan lemak
perinerfon. Pemeriksaan ini menggunakan teknologi CT-scan dan disertai
dengan penggunaan kontras dalam jumlah besar. CT enteroclysis lebih
akurat disbanding dengan pemeriksaan CT biasa dalam menentukan
penyebab obstruksi (89% vs 50%), dan juga lokasi obstruksi (100% vs
94%).(Nobie, 2009)
e. MRI
Keakuratan MRI hampir sama dengan CT-scan dalam mendeteksi
adanya obstruksi. MRI juga efektif untuk menentukan lokasi dan etiologi
dari obstruksi. Namun, MRI memiliki keterbatasan antara lain kurang
terjangkau dalam hal transport pasien dan kurang dapat menggambarkan
massa dan inflamasi. (Nobie, 2009)

27

Gambar 2.14 Kehamilan dengan ileus obstruktif (Edelman, 2010)


f. USG
Ultrasonografi dapat menberikan gambaran dan penyebab dari
obstruksi dengan melihat pergerakan dari usus halus. Pada pasien dengan
ilues obtruksi, USG dapat dengan jelas memperlihatkan usus yang
distensi. USG dapat dengan akurat menunjukkan lokasi dari usus yang
distensi. Tidak seperti teknik radiologi yang lain, USG dapat
memperlihatkan peristaltic, hal ini dapat membantu membedakan
obstruksi mekanik dari ileus paralitik. Pemeriksaan USG lebih murah dan
mudah jika dibandingkan dengan CT-scan, dan spesifitasnya dilaporkan
mencapai 100%. (Nobie, 2009)

28

Gambar 2.15 USG Abdomen tumor dinding epigastrium (Khan, 2009)

Gambar 2.16 USG Longitudinal dari abdomen bagian bawah menunjukkan


distensi multiple dari usus halus akibat invaginasi (Hagen-Ansert, 2010).
H.

Diagnosis Banding
1.
2.
3.
4.
5.

Diagnosis banding dari ileus obstruktif, yaitu (Nobie, 2009)


Ileus paralitik
Appensicitis akut
Kolesistitis, koleliathiasis, dan kolik bilier
Konstipasi
Dysmenorhoe, endometriosis dan torsio ovarium

29

6. Gastroenteritis akut dan inflammatory bowel disease


7. Pancreatitis akut
I.

Penatalaksanaan
Pasien dengan obstruksi intestinal biasanya mengalami dehidrasi dan
kekurangan Natrium, Khlorida dan Kalium yang membutuhkan penggantian
cairan intravena dengan cairan salin isotonic seperti Ringer Laktat. Urin harus
di monitor dengan pemasangan Foley Kateter. Setelah urin adekuat, KCl harus
ditambahkan pada cairan intravena bila diperlukan. Pemeriksaan elektrolit
serial, seperti halnya hematokrit dan leukosit, dilakukan untuk menilai
kekurangan cairan. Antibiotik spektrum luas diberikan untuk profilaksis atas
dasar temuan adanya translokasi bakteri pada ostruksi intestinal. (Evers, 2004)
Dekompresi
Pada pemberian resusitasi cairan intravena, hal lain yang juga penting
untuk dilakukan ialah pemasangan nasogastric tube. Pemasangan tube ini
bertujuan untuk mengosongkan lambung, mengurangi resiko terjadinya aspirasi
pulmonal karena muntah dan meminimalkan terjadinya distensi abdomen.
Pasien dengan obstruksi parsial dapat diterapi secara konservatif dengan
resusitasi dan dekompresi saja. Penyembuhan gejala tanpa terapi operatif
dilaporkan sebesar 60 85% pada obstruksi parsial. (Evers, 2004)
Terapi Operatif
Secara umum, pasien dengan obstruksi intestinal komplit membutuhkan
terapi operatif. Pendekatan non operatif pada beberapa pasien dengan
obstruksi intestinal komplit telah diusulkan, dengan alasan bahwa pemasangan
tube intubasi yang lama tak akan menimbulkan masalah yang didukung oleh
tidak adanya tanda-tanda demam, takikardia, nyeri tekan atau leukositosis.
Namun harus disadari bahwa terapi non operatif ini dilakulkan dengan berbagai
resikonya seperti resiko terjadinya strangulasi pada daerah obstruksi dan
penundaan terapi pada strangulasi hingga setelah terjadinya injury akan
menyebabkan intestinal menjadi ireversibel. Penelitian retrospektif melaporkan

30

bahwa penundaan operasi 12 24 jam masih dalam batas aman namun


meningkatkan resiko terjadinya strangulasi.
Pasien dengan obstruksi intestinal sekunder karena adanya adhesi dapat
diterapi dengan melepaskan adhesi tersebut. Penatalaksanaan secara hati hati
dalam pelepasan adhesi tresebut untuk mencegah terjadinya trauma pada serosa
dan untuk menghindari enterotomi yang tidak perlu. Hernia incarcerata dapat
dilakukan secara manual dari segmen hernia dan dilakukan penutupan defek.
Penatalaksanaan pasien dengan obstruksi intestinal dan adanya riwayat
keganasan akan lebih rumit. Pada keadaan terminal dimana metastase telah
menyebar, terapi non-operatif, bila berhasil, merupakan jalan yang terbaik;
walaupun hanya sebagian kecil kasus obstruksi komplit dapat berhasil di terapi
dengan non-operatif. Pada kasus ini, by pass sederhana dapat memberikan hasil
yang lebih baik baik daripada by pass yang panjang dengan operasi yang rumit
yang mungkin membutuhkan reseksi usus.
Pada saat dilakukan eksplorasi, terkadang susah untuk menilai viabilitas
dari segmen usus setelah strangulasi dilepaskan. Bila viabilitas usus masih
meragukan, segmen tersebut harus dilepaskan dan ditempatkan pada kondisi
hangat, salin moistened sponge selama 15-20 menit dan kemudian dilakukan
penilaian kembali. Bila warna normalnya telah kembali dan didapatkan adanya
peristaltik, berarti segmen usus tersebut aman untuk dikembalikan. Kedepannya
dapat digunakan Doppler atau kontras intraoperatif untuk menilai viabilitas
usus.
Pada umumnya dikenal 4 macam (cara) tindakan bedah yang dikerjakan
pada obstruksi ileus.
1. Koreksi sederhana (simple correction). Hal ini merupakan tindakan bedah
sederhana untuk membebaskan usus dari jepitan, misalnya pada hernia
incarcerata non-strangulasi, jepitan oleh streng/adhesi atau pada volvulus
ringan.

31

2. Tindakan operatif by-pass. Membuat saluran usus baru yang "melewati"


bagian usus yang tersumbat, misalnya pada tumor intralurninal, Crohn
disease, dan sebagainya.
3. Membuat fistula entero-cutaneus pada bagian proximal dari tempat obstruksi,
misalnya pada Ca stadium lanjut.
4. Melakukan reseksi usus yang tersumbat dan membuat anastomosis ujungujung usus untuk mempertahankan kontinuitas lumen usus, misalnya pada
carcinomacolon, invaginasi strangulata, dan sebagainya.
Pada beberapa obstruksi ileus, kadang-kadang dilakukan tindakan operatif
bertahap, baik oleh karena penyakitnya sendiri maupun karena keadaan
penderitanya, misalnya pada Ca sigmoid obstruktif, mula-mula dilakukan
kolostomi saja, kemudian hari dilakukan reseksi usus dan anastomosis. (Ullah et
al., 2009).
J.

Komplikasi
Komplikasi pada pasien ileus obstruktif dapat meliputi gangguan
keseimbangan elektrolit dan cairan, serta iskemia dan perforasi usus yang dapat
menyebabkan peritonitis, sepsis, dan kematian (Ullah et al., 2009).

K.

Prognosis
Mortalitas obstruksi tanpa strangulata adalah 5% sampai 8% asalkan
operasi dapat segera dilakukan. Keterlambatan dalam melakukan pembedahan
atau jika terjadi strangulasi atau komplikasi lainnya akan meningkatkan
mortalitas sampai sekitar 35% atau 40%. Prognosisnya baik bila diagnosis dan
tindakan dilakukan dengan cepat (Nobie, 2009).

32

BAB III
KESIMPULAN
Ileus obstruksi adalah hilangnya atau adanya gangguan pasase isi usus yang
disebabkan oleh sumbatan mekanik. Ileus obstruksi pada usus halus dapat disebabkan
oleh adhesi, hernia inkarserata, askariasis, invaginasi, volvulus, kelainan kongenital,
radang kronik, neoplasma, benda asing. Sedangkan ileus obstruksi pada kolon dapat
disebabkan oleh karsinoma, volvulus, divertikulum meckel, intsusuepsi, penyakit
Hirchsprung.
Gejala umum yang timbul ialah syok, oligouri, gangguan elektrolit.
Selanjutnya gejala dari ileus obstruksi ialah nyeri kolik abdomen, mual, muntah, tidak
dapat buang air besar, tidak dapat flatus, perut kembung (distensi). Pada pemeriksaan
fisik, terutama abdomen, terlihat distensi abdomen, terdapat darm contour, darmn
steifung, pada auskultasi terdengar hiperperistaltik dengan nada tinggi (metalic
sound) yang jika obstruksi terus berlanjut, bising usus akan melemah dan
menghilang. Pada pemeriksaaa radiologi, yaitu foto polos abdomen 3 posisi,
didapatkan gambaran herring bone appearance, air fluid level yag membentuk
kaskade yang disebut juga step ladder pattern. Bila terjadi perforasi usus, dapat
ditemukan adanya free air sickle di bawah diafragma kanan.
Terapi pada ileus obstruksi meliputi tindakan konservatif yaitu resusitasi
cairan dengan cairan intravena dan monitoring melalui urin, dekompresi dengan
menggunakan NGT, pemberian antibiotik broadspectrum dan tindakan operatif yang
biasanya sering dilakukan.

33

DAFTAR PUSTAKA

Bickle IC, Kelly B. 2002. Abdominal X Rays Made Easy: Normal Radiographs.
studentBMJ April 2002;10:102-3
Edelman, RR. 2010. Pregnancy and Small Bowel Obstruction. Retrieved June 6th,
2011,
Available
at:
http://www.mr-tip.com/serv1.php?
type=img&img=Pregnancy%20and%20Small%20Bowel%20Obstruction
Eroschenko, V. P. 2003. Atlas Histologi di Fiore dengan Korelasi Fungsional (9 ed.).
(D. Anggraini, T. M. Sikumbang, Eds., & J. Tambayong, Trans.) Jakarta: EGC
Evers, B. M. 2004. Small Intestine. In T. c. al, Sabiston Textbook Of Surgery (17 ed.,
pp. 1339-1340). Philadelphia: Elseviers Saunders
Faradilla, Nova. 2009. Ileus Obstruksi. Pekanbaru : FK UNRI
Hagen-Ansert, S. 2010. Sonographic Evaluation of the Acute Abdomen. Retrieved
June
6th,
2011,
Available
at:
http://www.gehealthcare.com/usen/education/proff_leadership/products/msuc
meaa.html
Khan, A. N. (2009, September 11). Small Bowel Obstruction. Retrieved June 6th,
2011, Available at emedicine: http://emedicine.medscape.com/article/374962overview
Markogiannakis H, Messaris E, Dardamanis D, Pararas N, Tzertzemelis D,
Giannopoulos P,et al. 2007. Acute mechanical bowel obstruction:clinical
presentation, etiology, management and outcome. World Journal of
gastroenterology.
January
2007
21;13(3):432-437.
Available
from:URL:http://www.wjgnet.com
Moses, S. 2008. Mechanical Ileus. Retrieved July 16, 2010, Available at :
http://www.fpnotebook.com/Surgery/GI/MchnclIls.htm
Nobie, B. A. (2009, November 12). Obstruction, Small Bowel. Retrieved June 6th,
2011, from emedicine: http://emedicine.medscape.com/article/774140overview
Price, S. A. 2003. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. (S. A. Price,
L. McCarty, & Wilson, Eds.) Jakarta: EGC

34

Simatupang O N. 2010. Ileus Obstruktif. Samarinda: UNMUL Retrieved June 6th,


2011, Available at: http://www.scribd.com/doc/28090500/ileus-obstruksi
Sjamsuhidajat. R, Jong WD. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 2, Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC
Snell, Richard S. 2004. Clinical Anatomy for Medical Students, Fifth edition, New
York
Thompson, J. S. 2005. Intestinal Obstruction, Ileus, and Pseudoobstruction. In R. H.
Bell, L. F. Rikkers, & M. W. Mulholland (Eds.), Digestive Tract Surgery (Vol.
2, p. 1119). Philadelphia: Lippincott-Raven Publisher
Ullah S, Khan M, Mumtaz N, Naseer A. 2009. Intestinal Obstruction : A Spectrum of
causes. JPMI 2009 Volume 23 No 2 page 188-92
Vriesman, AB and Robin S. 2005. Acute Abdomen - A Practical Approach. Retrieved
June
6th,
2011,
Available
at:
http://www.radiologyassistant.nl/en/420cd11061ecd
Whang, E. E., Ashley, S. W., & Zinner, M. J. 2005. Small Intestine. In B. e. al (Ed.),
Schwatz`s Principles Of Surgery (8 ed., p. 1018). McGraw-Hill Companies.
Yates K. 2004. Bowel obstruction. In: Cameron P, Jelinek G, Kelly AM, Murray L,
Brown AFT, Heyworth T, editors. Textbook of adult emergency medicine. 2nd
ed. New York: Churchill Livingstone. p.306-9

35

Das könnte Ihnen auch gefallen