Beruflich Dokumente
Kultur Dokumente
BAB I
PENDAHULUAN
Agama Islam menetapkan hak milik seseorang atas harta, baik laki-laki
atau perempuan melalui jalan syara, seperti perpindahan hak milik laki-laki dan
perempuan di waktu masih hidup ataupun perpindahan harta kepada para ahli
warisnya setelah ia meninggal dunia.
Islam tidak mendiskriminasikan antara hak anak kecil dan orang dewasa.
Al-Quran telah menerangkan hukum-hukum waris dan wasiat sesuai ketentuan
masing-masing secara gamblang, dan tidak membiarkan atau membatasi bagian
seseorang dari hak-haknya. Al-Quran al-Karim dijadikan sandaran dan
neracanya. Hanya sebagian kecil saja (perihal hukum waris dan wasiat) yang
ditetapkan dengan Sunnah dan Ijma. Di dalam syariat Islam tidak dijumpai
hukum-hukum yang diuraikan oleh al-Quran al-Karim secara jelas dan terperinci
sebagaimana hukum waris maupun wasiat.
Islam sebagai ajaran yang universal mengajarkan tentang segala aspek
kehidupan manusia, termasuk dalam hal pembagian harta warisan. Islam
mengajarkan tentang pembagian harta warisan dengan seadil - adilnya agar harta
menjadi halal dan bermanfaat serta tidak menjadi malapetaka bagi keluraga yang
ditinggalkannya. Dalam kehidupan di masyarakat, tidak sedikit terjadi
perpecahan, pertikaian, dan pertumpahan darah akibat perebutan harta warisan.
Pembagian harta warisan didalam islam diberikan secara detail, rinci, dan seadiladilnya agar manusia yang terlibat didalamnya tidak saling bertikai dan
bermusuhan yang terpenting pembagian harta warisan setelah di tunaikan dulu
wasiat/hutang si mayat apabila ia berwasiat/berhutang piutang.
Universitas Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN
A. Wasiat
1) Pengertian Wasiat
Pengertian wasiat menurut Muhammad Baqir (2008, h. 257), yaitu wasiat
berasal dari bahasa Arab yang artinya sesuatu yang dipesankan. Dalam hal ini,
maksudnya adalah sesuatu yang dipesankan dari seseoarang kepada orang lain
agar pesan itu dilaksanakan setelah kematiannya. Wasiat juga dapat diartikan
sebagai pemberian seseorang kepada orang lain berupa harta atau benda lain
yang berharga dan bermanfaat agar dapat diterima secara sukarela setelah
kematiannya.
Adapun syarat-syarat pemberi wasiat adalah orang yang memiliki
kemampuan yang diakui. Keabsahan itu dilandasi oleh akal, kedewasaan,
kemerdekaan dan tidak dibatasi kebodohan dan kelalaian. Jika pemberi wasiat
kurang memenuhi kemampuan itu, maka wasiatnya tidak sah. Adapula sesuatu
yang dapat membatalkan wasiat. Sayyid Sabiq dalam bukunya meneyebutkan
tiga faktor batalnya wasiat.
a. Pemberi wasiat menderita penyakit gila yang menyebabkan kematiannya.
b. Penerima wasiat mati sebelum pemberi wasiat.
c. Sesuatu yang diwasiatkan atau barang tersebut menjadi rusak sebelum
diwasiatkan.
2)
Hukum Wasiat
Tentang hukum wasiat, para ulama berbeda pendapat tentang hukum
pelaksanaannya. Situasi dan kondisi juga mempengaruhi keberadaan hukum
itu sendiri.
a. Wasiat menjadi wajib bila orang itu memiliki kewajiban syara dan
khawatir semua harta atau barang peniggalannya menjadi sia-sia bila tidak
diwasiatkan.
b.
Universitas Indonesia
B. Warisan
Menurut bahasa waris ialah, berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada
orang lain. Sedang menurut istilah, waris adalah harta peninggalan yang
ditinggalkan pewaris kepada ahli waris. Ahli waris ialah orang yang berhak
menerima harta peninggalan orang yang meninggal. Sedangkan harta warisan
ialah sesuatu yang ditinggalkan oleh orang yang meniggal baik berupa uang
atau materi.
1) Sebab-Sebab Seseorang Mendapatkan Warisan
Seseorang berhak mendapatkan sejumlah harta warisan apabila terdapat
salah satu sebab di bawah ini, yaitu:
a. Kekeluargaan.
b. Perkawinan.
c. Karena memerdekakan budak.
d. Hubungan Islam.
Orang yang meninggal dunia apabila tidak mempunyai ahli waris, maka
harta peninggalannya diserahkan ke baitul mal untuk umat Islam dengan jalan
pusaka.
2) Sebab-Sebab Seseorang Tidak Berhak Mendapatkan Warisan
a. Hamba. Seorang hamba tidak mendapat warisan dari semua keluarganya
yang meninggal dunia selama ia masih berstatus hamba.
b. Pembunuh. Seorang pembunuh tidak memperoleh warisan dari orang yang
dibunuhnya. Rasulullah Saw bersabda:
Universitas Indonesia
yang membunuh tidak mewarisi sesuatu pun dari yang dibunuhnya (HR Nasai).
c. Murtad. Orang yang murtad tidak mendapat warisan dari keluarganya
yang masih beragama Islam.
d. Orang non muslim. Orang non muslim tidak berhak menerima warisan
dari keluarganya yang beragama Islam dan begitu pula sebaliknya, orang
muslim tidak berhak menerima harta warisan dari orang non muslim
(kafir).
3) Furudhul Muqadharah (ketentuan kadar bagi masing-masing ahli waris)
a. Ketentuan bagian anak perempuan dalam KHI Pasal 176 yaitu:
Anak perempuan bila hanya seorang ia mendapat separuh bagian, bila dua
orang atau lebih mereka bersama-sama mendapat dua pertiga bagian, dan
apabila anak perempuan bersama-sama dengan anak laki-laki adalah dua
berbanding satu.
b. Ketentuan bagi ayah dalam KHI Pasal 177 yaitu:
Ayah mendapat sepertiga bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak,
bila ada anak, ayah mendapat seperenam bagian.
c. Bagian ibu, dalam KHI mendapatkan bagian:
Ibu mendapat seperenam bagian bila ada anak atau dua saudara atau
lebih. Bila tidak ada anak atau dua orang saudara atau lebih, maka ia
mendapat seprtiga bagian.
Ibu mendapat sepertiga bagian dari sisa sesudah diambil oleh janda
atau duda bila bersama-sama dengan ayah.
d. Bagian duda dalam KHI Pasal 179 berhak mendapatkan bagian yaitu:
Duda mendapat separuh bagian, bila pewaris tidak meninggalkan anak,
dan bila pewaris meningalkan anak, maka duda mendapat seperempat
bagian.
Universitas Indonesia
seperdelepan bagian.
f. Bagian saudara laki-laki dan perempuan seibu dalam KHI Pasal 181
mendapatkan bagian:
Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan anak dan ayah, maka saudara
laki-laki dan saudara perempuan seibu masing-masing mendapat
seperenam bagian. Bila mereka itu dua orang atau lebih maka mereka
bersama-sama mendapat sepertiga bagian.
g. Bagian satu atau lebih saudara perempuan kandung atau seayah dalam
KHI Pasal 182 mendapatkan bagian:
Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan ayah dan anak sedang ia
mempunyai satu saudara perempuan kandung atau seayah maka ia
mendapat separuh bagian. Bila saudara perempuan tersebut bersama-sama
dengan saudara perempuan kandung atau seayah dua orang atau lebih,
maka mereka bersama-sama mendapat dua pertiga bagian. Bila saudara
perempuan tersebut bersama-sama dengan saudara laki-laki kandung atau
seayah maka saudara bagian laki-laki adalah dua berbanding satu dengan
saudara perempuan.
3) Pewaris Pengganti
Perihal pewaris pengganti, KHI mengaturnya dalam Pasal 185 sebagai berikut:
a. Ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pewaris maka kedudukannya
dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam Pasal
173.[5]
b. Bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari ahli waris yang
sederajat dan yang diganti.
C. Keterkaitan Antara Waris Dengan Wasiat
Universitas Indonesia
Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan
(tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat
untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara maruf, (ini adalah)
kewajiban atas orang-orang yang bertakwa (QS. Al-Baqoroh: 180)
Universitas Indonesia
Allah mensyari'atkan kepadamu tentang (pembagian warisan untuk) anakanakmu, yaitu bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang
anak perempuan. Dan jika anak itu semuanya perempuan yang jumlahnya lebih
dari dua, maka bagian mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Jika
anak perempuan itu seorang saja, maka dia memperoleh setengah (harta yang
ditinggalkan). Dan untuk kedua ibu-bapak, bagian masing-masing seperenam
dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak. Jika
orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan dia diwarisi oleh kedua ibubapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga. Jika yang meninggal itu
mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagianpembagian tersebut di atas) setelah dipenuhi wasiat yang dibuatnya atau (dan)
setelah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak
mengetahui siapa di antara mereka yang lebih banyak manfaatnya bagimu. Ini
adalah
ketetapan
Allah.
Sungguh,
Allah
Maha
Mengetahui
lagi
Universitas Indonesia
para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan setelah
dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) setelah dibayar hutang-hutangmu.
Jika seseorang meninggal, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak
meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang
saudara laki-laki (seibu) atau seorang saudara perempuan (seibu), maka bagi
masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika
saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersama-sama dalam
bagian yang sepertiga itu, setelah dipenuhi wasiat yang dibuatnya atau (dan)
setelah dibayar hutangnya dengan tidak menyusahkan (kepada ahli waris).
Demikianlah ketentuan Allah. Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun
(QS. An-Nisa: 11-12)
E. Asbabun Nuzul Ayat Wasiat dan Warisan
1) Asbabun Nuzul Ayat Wasiat (QS. Al-Baqoroh : 180)
Adapun sebab turunnya ayat ini adalah sesungguhnya masyarakat jahiliyah
mewasiatkan harta mereka kepada orang-orang yang jauh dengan tujuan
pamer (riya) dan agar terkanal (mencari kemasyhuran), serta mencari
kebasaran dan kemuliaan. Dan meninggalkan kerabat dekatnya dalam keadaan
fakir dan miskin. Kemudian Allah menurunkan ayat ini pada awal islam, serta
mengembalikan hak yang diberikan orang-orang yang jauh kepada sanak
kerabat yang dekat, hal tersebut dilakukan untuk mencari kebaikan dan
hikmah. Ada pendapat yang mengatakan ayat ini dinasakh oleh ayat waris
pada surat an-nisa, maka sekarang tidak diwajibkan seseorang berwasiat
kepada orang yang dekat maupun orang yang jauh dan jika ada yang berwasiat
pada orang yang dekat ataupun jauh maka mereka bukan termasuk dalam
orang-orang yang menerima waris.
2) Asbabun Nuzul Ayat Warisan (QS. An-Nisa : 11-12)
Diriwayatkan oleh Imam-Imam yang enam yang bersumber dari Jabir bin
Abdillah: bahwa Rasulullah disertai Abu Bakar berjalan kaki menengok Jabir
bin Abdillah sewaktu sakit keras di kampung Bani Salamh. Ketika
didapatkannya tidak sadarkan diri, beliau minta air untuk berwudu dan
Universitas Indonesia
memercikkan air di atasnya, sehingga sadar. Lalu berkatalah Jabir: Apa yang
tuan perintahkan kepadaku tentang harta bendaku?. Maka turunlah ayat
tersebut di atas (An-Nisa ayat 11, 12) sebagai pedoman pembagian harta
waris.
Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi dan Al-Hakim yang
bersumber dari Jabir: bahwa istri Saad bin Ar-Rabbi menghadap kepada
Rasulullah Saw dan berkata: Ya Rasulallah, kedua putri ini anak Saad bin
Ar-Rabi yang menyertai tuan dalam perang Uhud dan ia telah gugur sebagai
syahid. Paman kedua anak ini mengambil harta bendanya, dan ia tidak
meninggalkan sedikitpun, sedang kedua anak ini sukar mendapat jodoh kalau
tidak berharta. Bersabda Rasulullah Saw: Allah akan memutuskan hukumNya. Maka turunlah ayat hukum pembagian waris seperti tersebut di atas
(An-Nisa ayat 11, 12)
Keterangan:
Menurut Al-Hafidh Ibnu Hajar: Berdasarkan Hadis tentang kedua putri
Saad bin Ar-Rabi, ayat ini turun berkenaan dengan kedua putri itu dan tidak
berkenaann dengan Jabir, karena Jabir pada waktu itu belum mempunyai anak.
Selanjutnya ia menerangkan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan
keduanya, mungkin ayat 11 pertama berkenaan dengan kedua putri Saad dan
bagian akhir dari ayat itu (An-Nisa ayat 12) berkenaan dengan kisah Jabir.
Adapun maksud Jabir dengan kata-katanya turunlah ayat 11, ingin
menyebutkan hal penetapan hukum waris bagi kalalah yang terdapat pada ayat
selanjutnya (An-Nisa ayat 12)
Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa orang jahiliyyah tidak
memberikan harta waris kepada wanita dan pada anak laki-laki yang belum
dewasa atau yang belum mampu berperang. Ketika Abdurrahman (Saudara
Hasan bin Tsabit) ahli Syair yang masyhur meninggal, ia meninggalkan
seorang istri bernama Ummu Kuhhah dan lima putri. Maka datanglah keluarga
suaminya mengambil harta bendanya. Berkatalah Ummu Kuhhah kepada Nabi
Saw mengadukan halnya. Maka turunlah ayat tersebut di atas (An-Nisa ayat
11) yang menegaskan hak waris bagi anak-anak wanita dan (An-Nisa ayat 12)
yang menegaskan hak waris bagi istri.
Universitas Indonesia
10
Universitas Indonesia
11
Universitas Indonesia
12
Ibnu Umar menuturkan: Tidak ada satu malam pun yang berlalu dariku sejak
aku mendengar Rasulullah menyampaikan-hal itu melainkan wasiatku berada
di sisiku.
Dan firman-Nya: in taraka khairan (Jika ia meninggalkan harta yang
banyak) Di antara para ulama ada yang berpendapat bahwa wasiat itu
disyariatkan, baik harta warisan itu sedikit maupun banyak sepert halnya
disyariatkannya warisan. Tetapi di antara mereka ada juga yang berpendapat,
bahwa wasiat itu hanya dilakukan bila seseorang meninggalkan harta yang
banyak.
Firman-Nya lebih lanjut: bil maruuf (Dengan cara yang baik.) Artinya
dengan lemah lembut dan baik. Dan yang dimaksud dengan makruf adalah
hendaklah seseorang berwasiat kepada kaum kerabat tanpa menghancurkan
(masa depan) ahli warisnya; tidak berlebih-lebihan dan tidak pula kikir.
Sebagaimana yang dinyatakan dalam kitab Shahih al-Bukhari dan Muslim,
bahwa Saad pernah bertanya, Wahai Rasulullah, sesungguhya aku
mempunyai harta kekayaan (yang cukup banyak) dan tidak ada yang
mewarisiku kecuali seorang puteriku, apakah aku boleh mewasiatkan dua
pertiga hartaku? Tidak, jawab Rasulullah. Apakah setengahnya?
tanyanya lebih lanjut. Beliau jawab, Tidak. Ia bertanya lagi, Apakah
sepertiga? Beliau menjawab, Ya sepertiga, dan sepertiga itu banyak.
Sesungguhnya jika kamu meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya
adalah lebih baik daripada meninggalkan mereka dalam keadaan miskin,
meminta-minta kepada orang lain.
Sedangkan dalam kitab Shahih al-Bukhari diriwayatkan, bahwa Ibnu
Abbas berkata, Seandainya orang-orang mengurangi (nya) dari sepertiga
menjadi seperempat itu sudah cukup karena sesungguhnya Rasulullah telah
bersabda, Sepertiga, dan sepertiga itu banyak.
2) Tafsir Ayat Warisan (QS. An-Nisa : 11-12)
Ayat di atas (yakni ayat 11 dan 12) serta ayat terakhir surat An Nisa' adalah
ayat-ayat tentang warisan, ditambah dengan hadits Ibnu Abbas radhiyallahu
'anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
Universitas Indonesia
13
Universitas Indonesia
14
Universitas Indonesia
15
Perlu diketahui bahwa tidak termasuk tarikah hibah dan wasiat. Adapun
hibah adalah pemberian yang dilakukan ketika si mati masih hidup, sedangkan
wasiat adalah pemberian yang dilakukan ketika si mati sudah meninggal.
G. Analisis Nasakh dan Mansukh Ayat Wasiat dan Warisan
1) Kategori Nasakh
Secara umum, nasakh di dalam Al-Quran memiliki empat kategori1:
a. Nasakh Al-Quran dengan Al-Quran
Nasakh kategori ini disepakati kebolehannya oleh para Ulama dan
telah diterapkan secara hukum. Sebagai contoh, ayat tentang Iddahdalam
1
Manna Al-Qathan. 2013. Pengantar Studi Ilmu Al-Quran. Pustaka Al-Kautsar: Jakarta.
hal. 291-293
Universitas Indonesia
16
Imam Al-Subki. 2007. Jam' al-Jawami'. Prodial Pratama Sejati Press : Ponorogo.hal.32
Universitas Indonesia
17
Yaitu tulisan dan bacaan ayatnya masih tetap, sementara isi hukum
ajarannya
telah
di-nasakhdan
diganti
dengan
hukum
yang
lain. Nasakh macam yang kedua ini banyak terdapat dalam al-Qur`an.
c. Nasakh bacaan tetapi hukumnya tetap
4
5
Dr. Aidh Al-Qarni. 2007. Tafsir Muyassar Jilid 1. Qisthi Press: Jakarta. hal. 138
Sayyid Quthb. 2000. Tafsir Fi Zhilalil Quran Jilid 1. Gema Insani: Jakarta. hal.197.
Universitas Indonesia
18
BAB III
KESIMPULAN
Universitas Indonesia
19
Haqiy Al-Burusawa, Ismail. 2006. Tafsir Ruhul Bayan Juz 1. Lebanon: Dar
al Fiqr.
Universitas Indonesia
20
Universitas Indonesia