Sie sind auf Seite 1von 20

1

BAB I
PENDAHULUAN
Agama Islam menetapkan hak milik seseorang atas harta, baik laki-laki
atau perempuan melalui jalan syara, seperti perpindahan hak milik laki-laki dan
perempuan di waktu masih hidup ataupun perpindahan harta kepada para ahli
warisnya setelah ia meninggal dunia.
Islam tidak mendiskriminasikan antara hak anak kecil dan orang dewasa.
Al-Quran telah menerangkan hukum-hukum waris dan wasiat sesuai ketentuan
masing-masing secara gamblang, dan tidak membiarkan atau membatasi bagian
seseorang dari hak-haknya. Al-Quran al-Karim dijadikan sandaran dan
neracanya. Hanya sebagian kecil saja (perihal hukum waris dan wasiat) yang
ditetapkan dengan Sunnah dan Ijma. Di dalam syariat Islam tidak dijumpai
hukum-hukum yang diuraikan oleh al-Quran al-Karim secara jelas dan terperinci
sebagaimana hukum waris maupun wasiat.
Islam sebagai ajaran yang universal mengajarkan tentang segala aspek
kehidupan manusia, termasuk dalam hal pembagian harta warisan. Islam
mengajarkan tentang pembagian harta warisan dengan seadil - adilnya agar harta
menjadi halal dan bermanfaat serta tidak menjadi malapetaka bagi keluraga yang
ditinggalkannya. Dalam kehidupan di masyarakat, tidak sedikit terjadi
perpecahan, pertikaian, dan pertumpahan darah akibat perebutan harta warisan.
Pembagian harta warisan didalam islam diberikan secara detail, rinci, dan seadiladilnya agar manusia yang terlibat didalamnya tidak saling bertikai dan
bermusuhan yang terpenting pembagian harta warisan setelah di tunaikan dulu
wasiat/hutang si mayat apabila ia berwasiat/berhutang piutang.

Universitas Indonesia

BAB II
PEMBAHASAN
A. Wasiat
1) Pengertian Wasiat
Pengertian wasiat menurut Muhammad Baqir (2008, h. 257), yaitu wasiat
berasal dari bahasa Arab yang artinya sesuatu yang dipesankan. Dalam hal ini,
maksudnya adalah sesuatu yang dipesankan dari seseoarang kepada orang lain
agar pesan itu dilaksanakan setelah kematiannya. Wasiat juga dapat diartikan
sebagai pemberian seseorang kepada orang lain berupa harta atau benda lain
yang berharga dan bermanfaat agar dapat diterima secara sukarela setelah
kematiannya.
Adapun syarat-syarat pemberi wasiat adalah orang yang memiliki
kemampuan yang diakui. Keabsahan itu dilandasi oleh akal, kedewasaan,
kemerdekaan dan tidak dibatasi kebodohan dan kelalaian. Jika pemberi wasiat
kurang memenuhi kemampuan itu, maka wasiatnya tidak sah. Adapula sesuatu
yang dapat membatalkan wasiat. Sayyid Sabiq dalam bukunya meneyebutkan
tiga faktor batalnya wasiat.
a. Pemberi wasiat menderita penyakit gila yang menyebabkan kematiannya.
b. Penerima wasiat mati sebelum pemberi wasiat.
c. Sesuatu yang diwasiatkan atau barang tersebut menjadi rusak sebelum

diwasiatkan.
2)

Hukum Wasiat
Tentang hukum wasiat, para ulama berbeda pendapat tentang hukum
pelaksanaannya. Situasi dan kondisi juga mempengaruhi keberadaan hukum
itu sendiri.
a. Wasiat menjadi wajib bila orang itu memiliki kewajiban syara dan
khawatir semua harta atau barang peniggalannya menjadi sia-sia bila tidak
diwasiatkan.
b.

Wasiat menjadi sunnah apabila digunakan untuk kebijakan karib-kerabat,


fakir dan orang-orang yang membtuhkan.

Universitas Indonesia

c. Wasiat menjadi haram bila itu merugikan ahli waris.


d. Wasiat akan menjadi makruh bila yang berwasiat memiliki harta sedikit,
sedangkan dia memiliki ahli waris yang banyak membutuhkan hartanya.
Dan wasiat memiliki hukum jaiz atau boleh jika ia ditunjukkan kepada
orang kaya, baik orang yang diwasiati ataupun bukan.

B. Warisan
Menurut bahasa waris ialah, berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada
orang lain. Sedang menurut istilah, waris adalah harta peninggalan yang
ditinggalkan pewaris kepada ahli waris. Ahli waris ialah orang yang berhak
menerima harta peninggalan orang yang meninggal. Sedangkan harta warisan
ialah sesuatu yang ditinggalkan oleh orang yang meniggal baik berupa uang
atau materi.
1) Sebab-Sebab Seseorang Mendapatkan Warisan
Seseorang berhak mendapatkan sejumlah harta warisan apabila terdapat
salah satu sebab di bawah ini, yaitu:
a. Kekeluargaan.
b. Perkawinan.
c. Karena memerdekakan budak.
d. Hubungan Islam.
Orang yang meninggal dunia apabila tidak mempunyai ahli waris, maka
harta peninggalannya diserahkan ke baitul mal untuk umat Islam dengan jalan
pusaka.
2) Sebab-Sebab Seseorang Tidak Berhak Mendapatkan Warisan
a. Hamba. Seorang hamba tidak mendapat warisan dari semua keluarganya
yang meninggal dunia selama ia masih berstatus hamba.
b. Pembunuh. Seorang pembunuh tidak memperoleh warisan dari orang yang
dibunuhnya. Rasulullah Saw bersabda:

Universitas Indonesia

yang membunuh tidak mewarisi sesuatu pun dari yang dibunuhnya (HR Nasai).
c. Murtad. Orang yang murtad tidak mendapat warisan dari keluarganya
yang masih beragama Islam.
d. Orang non muslim. Orang non muslim tidak berhak menerima warisan

dari keluarganya yang beragama Islam dan begitu pula sebaliknya, orang
muslim tidak berhak menerima harta warisan dari orang non muslim
(kafir).
3) Furudhul Muqadharah (ketentuan kadar bagi masing-masing ahli waris)
a. Ketentuan bagian anak perempuan dalam KHI Pasal 176 yaitu:
Anak perempuan bila hanya seorang ia mendapat separuh bagian, bila dua
orang atau lebih mereka bersama-sama mendapat dua pertiga bagian, dan
apabila anak perempuan bersama-sama dengan anak laki-laki adalah dua
berbanding satu.
b. Ketentuan bagi ayah dalam KHI Pasal 177 yaitu:
Ayah mendapat sepertiga bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak,
bila ada anak, ayah mendapat seperenam bagian.
c. Bagian ibu, dalam KHI mendapatkan bagian:

Ibu mendapat seperenam bagian bila ada anak atau dua saudara atau
lebih. Bila tidak ada anak atau dua orang saudara atau lebih, maka ia
mendapat seprtiga bagian.

Ibu mendapat sepertiga bagian dari sisa sesudah diambil oleh janda
atau duda bila bersama-sama dengan ayah.

d. Bagian duda dalam KHI Pasal 179 berhak mendapatkan bagian yaitu:
Duda mendapat separuh bagian, bila pewaris tidak meninggalkan anak,
dan bila pewaris meningalkan anak, maka duda mendapat seperempat
bagian.

e. Bagian janda dalam KHI Pasal 180 mendapatkan bagian yaitu:

Universitas Indonesia

Janda mendapat seperempat bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak,


dan bila pewaris

meninggalkan anak, maka janda mendapatkan

seperdelepan bagian.
f. Bagian saudara laki-laki dan perempuan seibu dalam KHI Pasal 181
mendapatkan bagian:
Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan anak dan ayah, maka saudara
laki-laki dan saudara perempuan seibu masing-masing mendapat
seperenam bagian. Bila mereka itu dua orang atau lebih maka mereka
bersama-sama mendapat sepertiga bagian.
g. Bagian satu atau lebih saudara perempuan kandung atau seayah dalam
KHI Pasal 182 mendapatkan bagian:
Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan ayah dan anak sedang ia
mempunyai satu saudara perempuan kandung atau seayah maka ia
mendapat separuh bagian. Bila saudara perempuan tersebut bersama-sama
dengan saudara perempuan kandung atau seayah dua orang atau lebih,
maka mereka bersama-sama mendapat dua pertiga bagian. Bila saudara
perempuan tersebut bersama-sama dengan saudara laki-laki kandung atau
seayah maka saudara bagian laki-laki adalah dua berbanding satu dengan
saudara perempuan.

3) Pewaris Pengganti
Perihal pewaris pengganti, KHI mengaturnya dalam Pasal 185 sebagai berikut:
a. Ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pewaris maka kedudukannya
dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam Pasal
173.[5]
b. Bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari ahli waris yang
sederajat dan yang diganti.
C. Keterkaitan Antara Waris Dengan Wasiat

Universitas Indonesia

Adapun hal-hal yang mempunyai keterkaitan antara waris dengan wasiat,


diantaranya adalah:
1) Warisan tidak harus pewarisnya meninggal terlebih dahulu. Sedangkan, wasiat
orang yang pemberi wasiat harus meninggal terlebih dahulu.
2) Dalam hal pembatalannya keduanya sama-sama, yaitu dalam soal membunuh.
Maka, keduanya batal dengan sebab itu.
3) Warisan sudah ditentukan berapa bagian yang diperoleh masing-masing ahli
waris. Akan tetapi, jika wasiat ditentukan sesuai dengan isi surat wasiat.

D. Ayat-Ayat tentang Wasiat dan Warisan


1) Ayat Wasiat (QS. Al-Baqoroh : 180)











Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan
(tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat
untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara maruf, (ini adalah)
kewajiban atas orang-orang yang bertakwa (QS. Al-Baqoroh: 180)

2) Ayat Warisan (QS. An-Nisa: 11-12)














Universitas Indonesia
















Allah mensyari'atkan kepadamu tentang (pembagian warisan untuk) anakanakmu, yaitu bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang
anak perempuan. Dan jika anak itu semuanya perempuan yang jumlahnya lebih
dari dua, maka bagian mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Jika
anak perempuan itu seorang saja, maka dia memperoleh setengah (harta yang
ditinggalkan). Dan untuk kedua ibu-bapak, bagian masing-masing seperenam
dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak. Jika
orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan dia diwarisi oleh kedua ibubapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga. Jika yang meninggal itu
mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagianpembagian tersebut di atas) setelah dipenuhi wasiat yang dibuatnya atau (dan)
setelah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak
mengetahui siapa di antara mereka yang lebih banyak manfaatnya bagimu. Ini
adalah

ketetapan

Allah.

Sungguh,

Allah

Maha

Mengetahui

lagi

Mahabijaksana.Dan bagianmu (suami-suami) adalah seperdua dari harta yang


ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika mereka
(istri-istrimu) itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta
yang ditinggalkannya setelah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan)
setelah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu
tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka

Universitas Indonesia

para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan setelah
dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) setelah dibayar hutang-hutangmu.
Jika seseorang meninggal, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak
meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang
saudara laki-laki (seibu) atau seorang saudara perempuan (seibu), maka bagi
masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika
saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersama-sama dalam
bagian yang sepertiga itu, setelah dipenuhi wasiat yang dibuatnya atau (dan)
setelah dibayar hutangnya dengan tidak menyusahkan (kepada ahli waris).
Demikianlah ketentuan Allah. Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun
(QS. An-Nisa: 11-12)
E. Asbabun Nuzul Ayat Wasiat dan Warisan
1) Asbabun Nuzul Ayat Wasiat (QS. Al-Baqoroh : 180)
Adapun sebab turunnya ayat ini adalah sesungguhnya masyarakat jahiliyah
mewasiatkan harta mereka kepada orang-orang yang jauh dengan tujuan
pamer (riya) dan agar terkanal (mencari kemasyhuran), serta mencari
kebasaran dan kemuliaan. Dan meninggalkan kerabat dekatnya dalam keadaan
fakir dan miskin. Kemudian Allah menurunkan ayat ini pada awal islam, serta
mengembalikan hak yang diberikan orang-orang yang jauh kepada sanak
kerabat yang dekat, hal tersebut dilakukan untuk mencari kebaikan dan
hikmah. Ada pendapat yang mengatakan ayat ini dinasakh oleh ayat waris
pada surat an-nisa, maka sekarang tidak diwajibkan seseorang berwasiat
kepada orang yang dekat maupun orang yang jauh dan jika ada yang berwasiat
pada orang yang dekat ataupun jauh maka mereka bukan termasuk dalam
orang-orang yang menerima waris.
2) Asbabun Nuzul Ayat Warisan (QS. An-Nisa : 11-12)
Diriwayatkan oleh Imam-Imam yang enam yang bersumber dari Jabir bin
Abdillah: bahwa Rasulullah disertai Abu Bakar berjalan kaki menengok Jabir
bin Abdillah sewaktu sakit keras di kampung Bani Salamh. Ketika
didapatkannya tidak sadarkan diri, beliau minta air untuk berwudu dan

Universitas Indonesia

memercikkan air di atasnya, sehingga sadar. Lalu berkatalah Jabir: Apa yang
tuan perintahkan kepadaku tentang harta bendaku?. Maka turunlah ayat
tersebut di atas (An-Nisa ayat 11, 12) sebagai pedoman pembagian harta
waris.
Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi dan Al-Hakim yang
bersumber dari Jabir: bahwa istri Saad bin Ar-Rabbi menghadap kepada
Rasulullah Saw dan berkata: Ya Rasulallah, kedua putri ini anak Saad bin
Ar-Rabi yang menyertai tuan dalam perang Uhud dan ia telah gugur sebagai
syahid. Paman kedua anak ini mengambil harta bendanya, dan ia tidak
meninggalkan sedikitpun, sedang kedua anak ini sukar mendapat jodoh kalau
tidak berharta. Bersabda Rasulullah Saw: Allah akan memutuskan hukumNya. Maka turunlah ayat hukum pembagian waris seperti tersebut di atas
(An-Nisa ayat 11, 12)
Keterangan:
Menurut Al-Hafidh Ibnu Hajar: Berdasarkan Hadis tentang kedua putri
Saad bin Ar-Rabi, ayat ini turun berkenaan dengan kedua putri itu dan tidak
berkenaann dengan Jabir, karena Jabir pada waktu itu belum mempunyai anak.
Selanjutnya ia menerangkan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan
keduanya, mungkin ayat 11 pertama berkenaan dengan kedua putri Saad dan
bagian akhir dari ayat itu (An-Nisa ayat 12) berkenaan dengan kisah Jabir.
Adapun maksud Jabir dengan kata-katanya turunlah ayat 11, ingin
menyebutkan hal penetapan hukum waris bagi kalalah yang terdapat pada ayat
selanjutnya (An-Nisa ayat 12)
Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa orang jahiliyyah tidak
memberikan harta waris kepada wanita dan pada anak laki-laki yang belum
dewasa atau yang belum mampu berperang. Ketika Abdurrahman (Saudara
Hasan bin Tsabit) ahli Syair yang masyhur meninggal, ia meninggalkan
seorang istri bernama Ummu Kuhhah dan lima putri. Maka datanglah keluarga
suaminya mengambil harta bendanya. Berkatalah Ummu Kuhhah kepada Nabi
Saw mengadukan halnya. Maka turunlah ayat tersebut di atas (An-Nisa ayat
11) yang menegaskan hak waris bagi anak-anak wanita dan (An-Nisa ayat 12)
yang menegaskan hak waris bagi istri.

Universitas Indonesia

10

Diriwayatkan oleh Al-Qadh Ismail dalam kitab Ahkamul Quran yang


bersumber dari Abdul Malik bin Muhammad bin Hazm: bahwa peristiwa
Saad bin Ar-Rabi tentang turunnya ayat 127 surat An-Nisa adalah sebagai
berikut: Amrah binti Hizam yang ditinggal gugur sebagai syahid di perang
Uhud oleh suaminya (Saad bin Ar-Rabi) menghadap kepada Nabi Saw
membawa putrinya (dari Saad bin Ar-Rabi) menuntut hak waris. Ayat tersebut
menegaskan kedudukan dan hak wanita dalam hukum waris.
F. Tafsir Ayat Wasiat dan Warisan
1) Tafsir Ayat Wasiat (QS. Al-Baqoroh : 180)
Ayat ini mengandung perintah untuk memberikan wasiat kepada kedua
orang tua dan kaum kerabat. Menurut pendapat yang lebih kuat, pemberian
wasiat itu merupakan suatu hal yang wajib sebelum turunnya ayat mengenai
mawaris (pembagian harta warisan). Dan ketika turun ayat faraidh, ayat
washiyat itu dinasakh, dan pembagian warisan yang ditentukan menjadi suatu
hal yang wajib dari Allah Taala yang harus diberikan kepada ahli waris, tanpa
perlu adanya wasiat serta tidak mengandung kemurahan dari orang yang
berwasiat.
Oleh karena itu, disebutkan dalam sebuah hadits yang terdapat dalam kitab
as-Sunan dan lainnya, dari Amr bin Kharijah, katanya, aku pemah mendengar
Rasulullah berkhutbah, dan beliau bersabda: Sesungguhnya Allah telah
memberikan hak kepada setiap yang berhak, maka tiada wasiat bagi ahli
waris.
Imam Ahmad meriwayatkan dari Muhammad bin Sirin, katanya, ketika
Ibnu Abbas duduk dan membaca surat al-Baqarah hingga sampai ayat ini: in
taraka khairanil washiiyyatu lilwaalidaini wal aqrabiin (Jika ia meninggalkan
harta yang banyak, berwasiat kepada ibu bapak dan karib kerabatnya,) ia pun
mengatakan, Ayat ini sudah dinasakh.
Hadits di atas juga diriwayatkan al-Hakim dalam kitab al-Mustadrak, dan
menurutnya derajat hadits ini shahih sesuai persyaratan al-Bukhari dan
Muslim.

Universitas Indonesia

11

Dan mengenai firman-Nya: al washiiyyatu lilwaalidaini wal aqrabiin


(Berwasiat kepada ibu bapak dan karib kerabatnya,) Ali bin Abi Thalhah
meriwayatkan, dari Ibnu Abbas, Pada mulanya tidak ada yang memperoleh
warisan dengan adanya ibu-bapak kecuali jika ia berwasiat kepada kaum
kerabat. Kemudian Allah Taala menurunkan ayat tentang mawaris, di
dalamnya diterangkan bagian kedua orang tua dan ditetapkan wasiat untuk
karib kerabat dengan sepertiga harta si mayit.
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa ayat: al washiiyyatu
lilwaalidaini wal aqrabiin (Berwasiat kepada ibu bapak dan karib
kerabatnya,) ini telah dinasakh dengan ayat yang artinya:
Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu bapak dan
kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian pula dari harta peninggalan ibu
bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah
ditetapkan. (QS. An-Nisaa: 7)
Mengenai ini, penulis (Ibnu Katsir) katakan: Kewajiban berwasiat kepada
ibu bapak dan juga karib kerabat yang termasuk ahli waris itu menurut ijma
telah dinasakh, bahkan dilarang. Hal itu didasarkan pada hadits:
Sesungguhnya Allah telah memberikan hak kepada setiap yang berhak, maka
tiada wasiat bagi ahli waris.
Dengan demikian, ayat mawaris merupakan hukum yang independen dan
kewajiban dari sisi Allah bagi ashhabul furudh (ahli waris yang mendapat
bagian tertentu) dan juga ashabah (ahli waris yang menerima sisa bagian dari
ashhabulfurudh). Dengan ayat ini pula hukum wasiat terhapus secara total.
Dengan demikian yang tertinggi adalah kaum kerabat yang tidak berhak
memperoleh warisan. Disunnahkan kepada seseorang untuk berwasiat bagi
mereka dari sepertiga hartanya sebagai respon atas ayat wasiat dan
keumumannya.
Selain itu, diriwayatkan dalam kitab Shahih al-Bukhari dan Muslim dari
Ibnu Umar, bahwa Rasulullah bersabda: Tidak dibenarkan bagi seseorang
muslim yang memiliki sesuatu untuk diwasiatkan berdiam diri selama dua
malam, melainkan wasiat itu telah tertulis di sisinya. (Muttafaq alaih).

Universitas Indonesia

12

Ibnu Umar menuturkan: Tidak ada satu malam pun yang berlalu dariku sejak
aku mendengar Rasulullah menyampaikan-hal itu melainkan wasiatku berada
di sisiku.
Dan firman-Nya: in taraka khairan (Jika ia meninggalkan harta yang
banyak) Di antara para ulama ada yang berpendapat bahwa wasiat itu
disyariatkan, baik harta warisan itu sedikit maupun banyak sepert halnya
disyariatkannya warisan. Tetapi di antara mereka ada juga yang berpendapat,
bahwa wasiat itu hanya dilakukan bila seseorang meninggalkan harta yang
banyak.
Firman-Nya lebih lanjut: bil maruuf (Dengan cara yang baik.) Artinya
dengan lemah lembut dan baik. Dan yang dimaksud dengan makruf adalah
hendaklah seseorang berwasiat kepada kaum kerabat tanpa menghancurkan
(masa depan) ahli warisnya; tidak berlebih-lebihan dan tidak pula kikir.
Sebagaimana yang dinyatakan dalam kitab Shahih al-Bukhari dan Muslim,
bahwa Saad pernah bertanya, Wahai Rasulullah, sesungguhya aku
mempunyai harta kekayaan (yang cukup banyak) dan tidak ada yang
mewarisiku kecuali seorang puteriku, apakah aku boleh mewasiatkan dua
pertiga hartaku? Tidak, jawab Rasulullah. Apakah setengahnya?
tanyanya lebih lanjut. Beliau jawab, Tidak. Ia bertanya lagi, Apakah
sepertiga? Beliau menjawab, Ya sepertiga, dan sepertiga itu banyak.
Sesungguhnya jika kamu meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya
adalah lebih baik daripada meninggalkan mereka dalam keadaan miskin,
meminta-minta kepada orang lain.
Sedangkan dalam kitab Shahih al-Bukhari diriwayatkan, bahwa Ibnu
Abbas berkata, Seandainya orang-orang mengurangi (nya) dari sepertiga
menjadi seperempat itu sudah cukup karena sesungguhnya Rasulullah telah
bersabda, Sepertiga, dan sepertiga itu banyak.
2) Tafsir Ayat Warisan (QS. An-Nisa : 11-12)
Ayat di atas (yakni ayat 11 dan 12) serta ayat terakhir surat An Nisa' adalah
ayat-ayat tentang warisan, ditambah dengan hadits Ibnu Abbas radhiyallahu
'anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

Universitas Indonesia

13

"Berikanlah bagian ashabul furudh, sisanya untuk laki-laki yang terdekat."


(HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits ini sudah mencakup sebagian besar hukum-hukum faraa'idh,
bahkan menerangkan semuanya sebagaimana yang akan kita lihat selain
warisan nenek shahih; yang tidak disebutkan di sana. Namun telah tsabit
(tetap) dalam As Sunnah, dari Mughirah bin Syu'bah bahwa Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam memberikan 1/6 kepada nenek, dan para ulama pun telah
sepakat seperti itu.
Ada yang menafsirkan lebih luas lagi kata-kata "Yuushiikumullahu fii
awlaadikum", yakni wahai para orang tua, di sisi kalian ada titipan yang Allah
wasiatkan terhadapnya, yaitu agar kamu memperhatikan maslahat anakanakmu baik terkait dengan agama maupun dunia, kamu membimbing mereka
dan mengajarkan adab serta menghindarkan dari mafsadat, kamu menyuruh
mereka menaati Allah dan agar senantiasa bertakwa sebagaimana firman-Nya
"Quu anfusakum wa ahliikum naaraa" (Jagalah dirimu dan keluargamu dari
api neraka). Oleh karena itu, orang tua mendapatkan wasiat terhadap anakanaknya; yakni apakah orang tua akan memenuhi wasiat itu atau
mengabaikannya sehingga mereka memperoleh ancaman dan siksa. Hal ini
menunjukkan bahwa Allah Ta'ala lebih sayang kepada hamba-hamba-Nya
daripada sayangnya orang tua mereka, di mana Allah Ta'ala mewasiatkan para
orang tua untuk memperhatikan anaknya meskipun orang tua memiliki rasa
sayang yang dalam kepada anaknya.
Bagian laki-laki dua kali bagian perempuan adalah karena kewajiban lakilaki lebih berat dari perempuan, seperti kewajiban membayar maskawin dan
memberi nafkah. (Lihat surat An Nisaa ayat 34). Anak laki-laki di ayat ini
adalah anak kandung, anaknya anak (cucu) dst. ke bawah, jika tidak ada orang
yang mendapat bagian tertentu (shahib fardh) atau bagian telah diberikan

Universitas Indonesia

14

kemudian ada sisa, maka anak-anak menghabisinya dengan ketentuan seorang


anak laki-laki mendapat dua bagian dua anak perempuan. Jika masih ada anak
kandung, maka anaknya anak (cucu) tidak mendapatkan bagian. Keadaan di
atas adalah ketika berkumpul anak laki-laki dengan anak perempuan.
"Lebih dari dua" maksudnya dua atau lebih. Hal ini sebagaimana
ditunjukkan dalam hadits shahih bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
memberikan kepada dua puteri Sa'ad 2/3. Baik anak perempuan tersebut
adalah anak kandung atau puteri dari anak laki-laki. Faedah disebutkan "lebih
dari dua" adalah untuk memberitahukan bahwa bagian 2/3 itu tidaklah
bertambah meskipun jumlah anak perempuan itu banyak. Ayat yang mulia ini
juga menunjukkan bahwa jika ada anak perempuan kandung seorang saja dan
ada seorang atau lebih puteri dari anak laki-laki, maka anak perempuan
kandung mendapatkan 1/2, sisanya dari 2/3 yaitu 1/6 diberikan kepada
seorang puteri dari anak laki-laki atau lebih, inilah yang dimaksud dengan
menyempurnakan menjadi 2/3. Termasuk ke dalam contoh ini adalah puteri
dari anak laki-laki bersama dengan puteri dari anak laki-laki yang di
bawahnya.
Kata-kata "dari harta yang ditinggalkan" menunjukkan bahwa ahli waris
mewarisi semua yang ditinggalkan si mati, baik 'aqaar (benda tidak
bergerak/tidak bisa dipindahkan), perabot, emas, perak dsb. bahkan termasuk
pula diyat yang tidak wajib kecuali setelah meninggalnya dan piutang yang
ada pada orang lain.
Berdasarkan keterangan ini, maka bahwa harta warisan itu terbagi dua:
a. Harta warisan yang dapat dibagi. Misalnya uang, tanah yang harga dan
isinya sama, dsb.
b. Harta yang tidak bisa dibagi sama rata. Misalnya bangunan, tanah yang
berbeda isinya, barang perkakas, kendaraan, dan lainnya.
Harta yang dapat dibagi, bisa langsung diberikan berdasarkan bagiannya
masing-masing. Akan tetapi, harta yang tidak bisa dibagi, harus diuangkan
terlebih dahulu. Kalau tidak, maka hanya akan diperoleh angka bagian di atas

Universitas Indonesia

15

kertas dalam bentuk nisbah (persentase). Artinya masing-masing ahli waris


yang sudah ditetapkan bagiannya, memiliki saham atas harta tersebut.
Misalnya seorang wafat meninggalkan dua buah rumah yang sama besar,
tetapi beda harganya. Ia memiliki dua orang anak laki-laki, maka harta ini
tidak dapat dibagi Kecuali jika mereka mau berdamai, atau saling
mengikhlaskan, itu pun setelah mengetahui bagian yang seharusnya mereka
terima] tetapi hanya bisa diberikan nisbah (persentase) bagian sebagaimana
yang sudah diatur dalam ilmu Faraaid.
Menurut sebagian ulama termasuk juga ke dalam tarikah adalah segala
sesuatu yang ditinggalkan oleh si mayyit, berupa harta yang ia peroleh selama
hidupnya, atau hak dia yang ada pada orang lain seperti barang yang dihutang,
atau gajinya, atau yang akan diwasiatkan, atau amanatnya, atau barang yang
digadaikan atau barang baru yang diperoleh karena terbunuhnya dia, atau
kecelakaan yang berupa santunan ganti rugi.
Adapun barang yang tidak berhak diwarisi di antaranya adalah:
a. Peralatan tidur untuk istri dan peralatan yang khusus bagi dirinya, atau
pemberian suami kepada istrinya semasa hidupnya.
b. Harta yang diwaqafkan oleh si mati, seperti kitab dan lainnya.
c. Barang yang diperoleh dengan cara haram, seperti barang curian,
hendaknya diserahkan kepada pemiliknya atau diserahkan kepada
pihak yang berwajib.

Perlu diketahui bahwa tidak termasuk tarikah hibah dan wasiat. Adapun
hibah adalah pemberian yang dilakukan ketika si mati masih hidup, sedangkan
wasiat adalah pemberian yang dilakukan ketika si mati sudah meninggal.
G. Analisis Nasakh dan Mansukh Ayat Wasiat dan Warisan
1) Kategori Nasakh
Secara umum, nasakh di dalam Al-Quran memiliki empat kategori1:
a. Nasakh Al-Quran dengan Al-Quran
Nasakh kategori ini disepakati kebolehannya oleh para Ulama dan
telah diterapkan secara hukum. Sebagai contoh, ayat tentang Iddahdalam
1

Manna Al-Qathan. 2013. Pengantar Studi Ilmu Al-Quran. Pustaka Al-Kautsar: Jakarta.
hal. 291-293

Universitas Indonesia

16

suratAl-Baqoroh ayat 240 yang masanya satu tahun di nasakh menjadi


empat bulan sepuluh hari oleh ayat 234 di surat yang sama.
b. Nasakh Al-Quran dengan As-Sunnah
Pada nasakh kategori ini, para ulama membatasi hannya pada
Sunnah mutawatiroh (sebagaimana menurut imam Maliky, Abu Hanifah,
mazhab al-Asyary dan Mutazilah), dan naskh ini ditolak oleh mazhab
syafiih, dengan alasan ayat Al-Baqarah : 106, bahwa Al-Quran tidak
lebih baik kedudukannya dengan as-sunnah.2
c. Nasakh As-Sunnah dengan Al-Quran
Nasakh kategori ini dibolehkan oleh jumhur ulama. Sebagai
contoh, masalah pengahadapan kiblat ke Baitul Maqdis yang ditetapkan
dengan As-Sunnah kemudian dinasakh oleh Al-Quran dalam QS.AlBaqarah: 144.
d. Nasakh As-Sunnah dengan As-Sunnah
Dalam kategori ini terdapat empat bentuk: 1) nasakh mutawatir
dengan mutawatir; 2) nasakh ahad dengan ahad, 3) nasakh ahad dengan
mutawatir, dan 4) nasakh mutawatir dengan ahad. Tiga bentuk pertama
dibolehkan, sedang pada bentuk keempat terjadi silang pendapat seperti
halnya nasakh Al-Qur'an dengan hadits ahad, yang tidak dibolehkan oleh
jumhur.
2) Jenis-Jenis Nasakh pada Al-Quraan
Adapun jenis-jenis nasakh yang terjadi pada Al-Quran terbagi dalam tiga
jenis3:
a. Nasakh bacaan dan hukumnya sekaligus
Artinya menghapuskan bacaan ayat dan hukumnya sekaligus
sehingga bacaan ayatnya sudah tidak ada lagi dan hukum ayat pun telah
dihapus dan diganti dengan ketentuan lain.
b. Nasakh hukum tetapi bacaannya tetap
2

Imam Al-Subki. 2007. Jam' al-Jawami'. Prodial Pratama Sejati Press : Ponorogo.hal.32

Abu Anwar. 2009. Ulumul Quran. Amzah: Pekan Baru.hal. 60-61

Universitas Indonesia

17

Yaitu tulisan dan bacaan ayatnya masih tetap, sementara isi hukum
ajarannya

telah

di-nasakhdan

diganti

dengan

hukum

yang

lain. Nasakh macam yang kedua ini banyak terdapat dalam al-Qur`an.
c. Nasakh bacaan tetapi hukumnya tetap

Yakni bacaan ayat-ayatnya sudah dihapus, sehingga sudah tidak


bisa dibaca lagi tetapi hukumnya masih tetap berlaku dan diamalkan.
3) Analisis Nasakh dan Mansukh Ayat Wasiat dan Warisan
Nasakh dan Mansukh ayat tentang wasiat dan warisan ini termasuk dalam
kategori nasakh Al-Quran dengan Al-Quran serta jenis nasakh yang
hukumnya telah dihapus sedangkan tulisan dan bacaannya tetap.
Dalam surat Al-Baqoroh ayat 180 Allah menjelaskan bahwa wasiat itu
wajib. Adapun kewajiban wasiat itu diberikan kepada orang yang disebut
dalam ayat ini dengan (lil walidaini wal aqrobina), yaitu mewajibkan
berwasiat untuk kedua orang tua dan kerabat dekat. Namun, ketetapan hukum
pada ayat ini akhirnya di hapus setelah turunnya surat An-Nisa ayat 11 dan 12
tentang warisan yang menjadi nasikh bagi ayat wasiat ini. Dalam ketetapan
hukum yang baru yakni di surat An-Nisa ayat 11-12 dijelaskan siapa saja
sanak kerabat yang berhak menerima warisan, berapa hak mereka masingmasing, dan siapa saja yang tidak berhak menerima warisan. Dengan adanya
penjelasan ini, maka hukum kewajiban memberikan wasiat kepada orang tua
dan kerabat termansukh.4
Dengan ditetapkannya orang tua sebagai ahli waris yang dalam setiap
keadaan dalam bab waris mendapatkan bagian warisan, maka mereka tidak
boleh menerima wasiat. Sedangkan terhadap para kerabat, maka ditetapkan
dengan jalan qiyas. Maksudnya adalah kerabat yang bukan termasuk ahli
waris boleh menerima wasiat, sedangkan kerabat yang termasuk ahli waris
tidak dapat menerima wasiat.5

4
5

Dr. Aidh Al-Qarni. 2007. Tafsir Muyassar Jilid 1. Qisthi Press: Jakarta. hal. 138
Sayyid Quthb. 2000. Tafsir Fi Zhilalil Quran Jilid 1. Gema Insani: Jakarta. hal.197.

Universitas Indonesia

18

BAB III
KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan diatas, maka dapat diambil beberapa kesimpulan


sebagai berikut :
1. Wasiat diartikan sebagai pemberian seseorang kepada orang lain berupa
harta atau benda lain yang berharga dan bermanfaat agar dapat diterima
secara sukarela setelah kematiannya.
2. Warisan adalah harta peninggalan yang ditinggalkan pewaris kepada ahli
waris.
3. Diantara sebab-sebab seseorang mendapatkan warisan adalah: a)
Hubungan kekeluargaan, b) Pernikahan , c) Memerdekakan budak, d)
Hubungan Islam. Sebaliknya, seseorang tidak mendapatkan warisan

Universitas Indonesia

19

dengan beberpa sebab yaitu: a) Hamba, b) Pembunuh, c) Murtad, d) Non


Muslim.
4. Asbabun Nuzul dari ayat-ayat wasiat dan warisan ini sesuai dengan latar
belakang historisnya yaitu kondisi dan perilaku masyarakat arab pada saat
itu.
5. Sedangkan Tafsir dari ayat-ayat ini mengandung ketentuan hukum tentang
berapa jumlah wasiat yang boleh diberikan, serta siapa saja kategori ahli
waris yang berhak mendapatkan warisan.
6. Dari sisi nasakh dan Mansukh, dalam surat Al-Baqoroh ayat 180 Allah
menjelaskan bahwa wasiat itu wajib. Adapun kewajiban wasiat itu
diberikan kepada orang yang disebut dalam ayat ini dengan (lil walidaini
wal aqrobina), yaitu mewajibkan berwasiat untuk kedua orang tua dan
kerabat dekat. Namun, ketetapan hukum pada ayat ini akhirnya di hapus
setelah turunnya surat An-Nisa ayat 11 dan 12 tentang warisan yang
menjadi nasikh bagi ayat wasiat ini. Dalam ketetapan hukum yang baru
yakni di surat An-Nisa ayat 11-12 dijelaskan siapa saja sanak kerabat yang
berhak menerima warisan, berapa hak mereka masing-masing, dan siapa
saja yang tidak berhak menerima warisan.
DAFTAR PUSTAKA

Abu Anwar. 2009. Ulumul Quran. Amzah: Pekan Baru.


Bagir, Muhammad. 2008. Fiqih Praktis II: Menurut Al-Quran, As-Sunnah
dan Pandangan Para Ulama. Karisma: Bandung
Dr. Aidh Al-Qarni. 2007. Tafsir Muyassar Jilid 1. Qisthi Press: Jakarta.

Haqiy Al-Burusawa, Ismail. 2006. Tafsir Ruhul Bayan Juz 1. Lebanon: Dar
al Fiqr.

Universitas Indonesia

20

Imam Al-Subki. 2007. Jam' al-Jawami'. Prodial Pratama Sejati Press :


Ponorogo.
Manna Al-Qathan. 2013. Pengantar Studi Ilmu Al-Quran. Pustaka AlKautsar: Jakarta.
Sabiq, Sayyid. 2006. Fiqhus Sunnah diterjemahkan oleh Nor Hasanuddin
dengan judul Fiqih Sunnah. Pena Pundi Askara: Jakarta
Sayyid Quthb. 2000. Tafsir Fi Zhilalil Quran Jilid 1. Gema Insani:
Jakarta.
Syarifuddin,Amir. 2004. Hukum Kewarisan Islam. Kencana : Jakarta

Universitas Indonesia

Das könnte Ihnen auch gefallen