Sie sind auf Seite 1von 46

1

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Dermatitis adalah peradangan kulit yang ditandai dengan keluhan gatal
dan bermacam-macam ruam seperti eritema, edema, papul, vesikel, skuama dan
likenifikasi. Menurut Coca (1923), Atopi merupakan sekelompok penyakit yang
terjadi pada individu yang mempunyai riwayat alergi dalam keluarganya, salah
satunya dermatitis atopik (Djuanda,2010).
Dermatitis atopik adalah suatu peradangan pada kulit yang bersifat kronis
dan cenderung berulang, ditandai dengan adanya keluhan gatal yang hilang
timbul. Keadaan ini akan menyebabkan penderita menggaruk bagian kulit yang
gatal

sehingga

dapat

timbul

bermacam-macam

ruam. Dermatitis

atopik

dipengaruhi oleh faktor endogen dan faktor eksogen. Faktor endogen adalah
faktor yang berasal dari dalam tubuh penderita dan lebih berperan sebagai
faktor predisposisi, seperti faktor genetik, hipersensitivitas, disfungsi sawar kulit
dan gangguan psikis. Faktor eksogen adalah faktor yang berasal dari luar tubuh
penderita dan lebih berperan sebagai faktor pencetus, seperti trauma fisik-kimiapanas, bahan iritan, allergen, infeksi

mikroba, perubahan iklim serta

hygiene

lingkungan (Djuanda,2010).
Berbagai penelitian menyatakan bahwa prevalensi dermatitis atopik makin
meningkat sehingga merupakan masalah kesehatan besar. Di Amerika Serikat,
Eropa, Jepang, Australia, dan negara industri lain, prevalensi dermatitis atopik
pada anak mencapai 10 - 20 %, sedangkan pada dewasa kira-kira 1 3 %
(Djuanda,2010). Pada penelitian Yuin Chew Chan dkk, di Asia Tenggara
didapatkan prevalensi dermatitis atopik pada orang dewasa adalah sebesar
kurang lebih 20 %. Data mengenai dermatitis atopik di Indonesia belum

diketahui secara pasti. Menurut laporan kunjungan bayi dan anak di RS di


Indonesia, dermatitis atopik berada pada urutan pertama (611 kasus) dari 10
penyakit

kulit

yang

umum

di

temukan

pada

anak-anak Di

klinik

Dermatovenereologi RSUP dr.Sardjito Yogyakarta, pada periode bulan februari


2005 sampai desember 2007, terdapat 73 kasus dermatitis atopik pada bayi
(Budiastuti M.,dkk., 2007). Sedangkan data di unit rawat jalan penyakit kulit
anak RSU dr.Soetomo didapatkan jumlah pasien dermatitis atopik mengalami
peningkatan setiap tahunnya sebesar 116 pasien (8,14 %) pada tahun 2006 dan
pada

tahun

2007

sebanyak

148

pasien (11,05%), sedangkan

tahun

2008

sebanyak 230 pasien (17,65%) (Zulkarnaen,2009).


Pengobatan

dermatitis

atopik

terdiri

dari

pengobatan

topikal

dan

pengobatan sistemik. Pengobatan topikal berupa hidrasi kulit, kortikosteroid


topikal, dan

imunomodulator

topikal. Pengobatan

dermatitis

atopik

dengan

kortikosteroid topikal adalah yang paling sering digunakan sebagai antiinflamasi lesi kulit dan sebagai immunosupresan yang kuat. (Djuanda,2010).
Kortikosteroid

merupakan

derivate dari hormon kortikosteroid yang

dihasikan oleh kelenjar adrenal. Hormon ini memainkan peran penting pada
tubuh termasuk mengontrol respon inflamasi. Kortikosteroid terbagi menjadi dua
kelomp

ok utama yaitu glukokortikoid dan mineralokortikoid. Golongan

glukokortikoid adalah kortikosteroid yang efek utamanya terhadap penyimpanan


glikogen hepar dan khasiat inflamasinya nyata, sedangkan pengaruhnya pada
keseimbangan air dan elektrolit kecil atau tidak berarti. Prototipe untuk
golongan ini adalah kortison dan kortisol, yang merupakan glukokortikoid alam.
Terdapat juga glukokortikoid sintetik, misalnya prednisolon, triamsinolon dan
betametason. Golongan
utamanya

adalah

mineralokortikoid

terhadap

adalah

keseimbangan

air

kortikosteroid
dan

yang

efek

elektrolit, sedangan

pengaruhnya terhadap glikogen hepar sangat kecil. Prototipe untuk golongan ini

adalah desoksikortikosteron. Umumnya golongan ini tidak mempunyai efek antiinflamasi yang berarti (J.Mycek Mary.,dkk., 2001).
Kortikosteroid topikal adalah obat yang digunakan dikulit pada tempat
tertentu. Terapi kortikosteroid topikal untuk dermatitis atopik bersifat paliatif
dan supresif terhadap penyakit kulit dan merupakan pengobatan kausal, selain
itu kortikosteroid topikal juga bersifat efektif, relatif cepat, ditoleransi dengan
baik, mudah digunakan, dan harganya lebih murah dari terapi alternatif lainnya.
Pada sebuah penelitian dengan randomized controlled trials pada 83 kasus
dermatitis atopik, 80 % dilaporkan penyembuhan total (Agustin,2011)
Kortikosteroid topikal dapat diklasifiksikan berdasarkan potensinya. Ada
potensi yang sangat tinggi, tinggi, sedang dan rendah. Contoh kortikosteroid
topikal potensi sangat tinggi adalah 0,05 % halobetasol propionat, 0,05 %
klobetasol propionat, 0,05 % betametason dipropionat. Kortikosteroid topikal
sangat tinggi hanya direkomendasikan untuk dipakai selama 1-2 minggu (Paling
lama

minggu). Kortikosteroid

topikal

potensi

tinggi

seperti

0,25

desoksimetason, 0,5 % triamsinolon asetonid, 0,2 % fluosinolon asetonid.


Kortikosteroid topikal potensi sedang seperti 0,2 % hidrokortison valerat, 0,1 %
betametason valerat, 0,05 % desoksimetason dan kortikosteroid topikal potensi
ringan seperti 0,25 % hidrokortison, 0,04 % dan 0,5 % prednisolon (MIMS
Dermatology,2006). Berdasarkan hasil survey di RSUD Pirngadi Medan, pada
tahun 2011 terdapat 147 kasus dermatitis atopik.
Karena jumlah penderita dermatitis atopik yang semakin lama semakin
banyak, maka perlu penanganan yang tepat. Kortikosteroid topikal merupakan
penanganan yang paling sering digunakan. Oleh karena itu, diperlukan suatu
penelitian mengenai penggunaan kortikosteroid topikal pada pasien dermatitis
atopik di RSUD Pirngadi Medan tahun 2011 yang merupakan rumah sakit
rujukan di kota Medan.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan

latar belakang diatas, maka

didapatkan rumusan

masalah sebagai berikut : Bagaimana penggunaan kortikosteroid topikal


pada pasien dermatitis atopik di RSUD. Pirngadi Medan tahun 2011?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Yang menjadi tujuan umum dari penelitian ini adalah
mengetahui

penggunaan

kortikosteroid

topikal

pada

pasien

dermatitis atopik di RSUD. Pirngadi Medan tahun 2011.


1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui jenis kortikosteroid topikal yang paling
sering digunakan pada pasien dermatitis atopik infantil.
2. Mengetahui jenis kortikosteroid topikal yang paling
sering

digunakan

pada

anak-anak

pada

pasien

dermatitis atopik
3. Mengetahui jenis kortikosteroid topikal yang paling
sering digunakan pada remaja pada pasien dermatitis
atopik
4. Mengetahui jenis kortikosteroid topikal yang paling
sering digunakan pada orang dewasa
dermatitis atopik

1.4 Manfaat Penelitian

pada

pasien

Hasil Penelitian ini diharapkan akan membawa manfaat-manfaat


yaitu :
1. Hasil penelitian ini merupakan syarat kelulusan sebagai sarjana
kedokteran.
2. Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk masukan dalam
rangka pengobatan dermatitis atopik di RSUD. Pirngadi
Medan.
3. Hasil penelitian

ini

diharapkan

penderita dermatitis atopik.


4. Hasil penelitian ini diharapkan

menambah
mampu

wawasan

meningkatkan

keteraturan berobat penderita dermatitis atopik di RSUD.


Pirngadi Medan.
5. Hasil penelitian

ini

diharapkan

mampu

meningkatkan

pengetahuan peneliti mengenai penggunaan kortikosteroid


topikal pada pasien dermatitis atopik.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Kulit


Kulit adalah organ terbesar tubuh. Kulit merupakan pembungkus yang
elastik yang melindungi tubuh dari pengaruh lingkungan. Kulit juga merupakan
alat tubuh yang terberat dan terluas ukurannya, yaitu 15% dari berat tubuh dan
luasnya 1,50 m2. Pada dasarnya kulit itu elastis dan sensitif, dan keadaannya
berbeda-beda sesuai dengan iklim, umur, seks, ras, dan juga lokasi tubuh
(Wasiaatmadja,2010).
2.1.1 Lapisan Kulit
Kulit terdiri dari dua lapisan yaitu epidermis dan dermis.
Epidermis merupakan epitel berlapis gepeng yang sel-selnya menjadi
pipih bila matang dan naik ke permukaan. Bagian paling tebal terdapat
pada telapak tangan dan kaki (Snell,2006). Epidermis adalah bagian
terluar kulit. Epidermis mengalami stratifikasi menjadi lima lapisan yaitu:
1. Stratum Basalis (Germinativum) adalah lapisan epidermis paling
bawah yang sel-selnya melekat pada jaringan ikat dari lapisan kulit
dibawahnya. Pembelahan sel yang cepat berlangsung pada lapisan ini
dan pada lapisan ini terdapat clear cell yaitu sel pembentuk melanin.
2. Stratum Spinosum adalah lapisan yang selnya berbentuk tanduk,
karena sel-sel yang berada pada lapisan ini disatukan oleh tonjolan
yang menyerupai spina. Spina adalah bagian penghubung intraselular
yang disebut desmosom.
3. Stratum Granulosum terdiri dari tiga atau lima lapis sel-sel gepeng
dengan sitoplasma yang mengandung granula-granula keratohialin
yang merupakan prekursor pembentukan keratin.
4. Stratum lusidum adalah Lapisan yang berada dibawah stratum
korneum. Lapisan ini jernih dan tembus cahaya, terdiri dari sel-sel

gepeng tidak mempunyai inti yang mati atau hampir mati dengan
ketebalan empat sampai tujuh lapisan sel.
5. Stratum Korneum adalah lapisan kulit yang paling luar. Permukaan
terbuka dari stratum korneum mengalami proses pergantian ulang
yang konstan atau deskuamasi (Sloane,2003)
Dermis merupakan lapisan yang terletak dibawah epidermis yang
lebih

tebal

dari

epidermis. Terdiri

mengandung banyak

atas

jaringan

ikat

padat

yang

pembuluh darah, pembuluh limfatik, dan saraf.

Tingkat ketebalan dermis berbeda-beda pada berbagai bagian tubuh, dan


cenderung menjadi lebih tipis pada permukaan anterior dibandingkan
dengan permukaan posterior. (Snell,2006).
2.1.2 Warna Kulit
Perbedaan warna kulit terjadi akibat faktor berikut :
1. Melanosit, terletak pada stratum basalis yang memproduksi pigmen
melanin. Pigmen ini berguna untuk pewarnaan kulit dari coklat
sampai hitam. Melanin melindungi kulit dari sinar ultraviolet matahari
yang merusak. Apabila kulit terpajan sinar matahari akan terjadi
peningkatan produksi melanin. Jumlah melanosit sekitar 1000/mm2
sampai 2000/mm2. Adanya perbedaan genetik dalam besarnya jumlah
produksi

melanin

dan

pemecahan

pigmen

yang

lebih

melebar

mengakibatkan perbedaan ras


2. Darah dalam pembuluh dermal di bawah lapisan epidermis dapat
terlihat dari permukaan dan menghasilkan pewarnaan merah muda.
Ini lebih jelas terlihat pada kulit orang kulit putih
3. Keberadaan dan jumlah pigmen kuning, keratin hanya ditemukan
pada stratum korneum, dan dalam sel lemak dermis dan hypodermis,
yang

menyebabkan

(Sloane,2003)

beberapa

perbedaan

pada

pewarnaan

kulit

2.2 Faal Kulit


a) Fungsi proteksi, kulit melindungi bagian dalam tubuh terhadap gangguan
fisis

atau

mekanis, misalnya

tekanan, gesekan, tarikan dan gangguan

kimiawi, misalnya zat-zat kimia terutama yang bersifat iritan, contohnya


lisol, karbol, asam, dan alkali kuat lainnya
b) Fungsi absorbsi, kulit yang sehat lebih mudah menyerap cairan yang
mudah menguap dibandingkan dengan air, larutan, dan benda padat.
Permeabilitas kulit terhadap O2, CO2, dan uap air memungkinkan kulit
ikut mengambil bagian pada fungsi respirasi
c) Fungsi ekskresi, kelenjar-kelenjar kulit mengeluarkan zat-zat yang tidak
berguna lagi atau sisa metabolisme dalam tubuh berupa NaCl, urea, asam
urat, dan ammonia
d) Fungsi persepsi, kulit mengandung ujung-ujung saraf sensorik di dermis
dan subkutis. Terhadap rangsangan panas diperankan oleh badan-badan
ruffini di dermis dan subkutis. Terhadap dingin diperankan oleh badanbadan Krause yang terletak di dermis. Badan taktil meissner terletak di
papilla dermis berperan terhadap rabaan, demikian pula badan merkel
ranvier

yang

terletak

di

epidermis. Sedangkan

terhadap

tekanan

diperankan oleh badan paccini di epidermis


e) Fungsi pengaturan suhu tubuh (termoregulasi), kulit melakukan peranan
ini dengan cara mengeluarkan keringat dan mengerutkan pembuluh darah
kulit.
f) Fungsi pembentukan pigmen, sel pembentuk pigmen (melanosit), terletak
dilapisan basal dan sel ini berasal dari rigi saraf. Perbandingan jumlah
sel basal dengan melanosit adalah 10 : 1. Jumlah melanosit dan jumlah
serta besarnya butiran pigmen (melanosomes) menentukan warna kulit ras
maupun individu
g) Fungsi keratinisasi, lapisan epidermis dewasa mempunyai 3 jenis sel
utama yaitu keratinosit, sel langerhans, dan melanosit. Keratinosit dimulai
dari sel basal mengadakan pembelahan, sel basal yang lain akan

berpindah ke atas dan berubah bentuknya menjadi sel spinosum,


semakin ke atas sel semakin menjadi gepeng dan bergranula menjadi sel
granulosum
h) Fungsi pembentukan vitamin D, dimungkinkan dengan mengubah 7
dihidroksi kolesterol dengan pertolongan sinar matahari (Wasitaatmadja,
2010)

2.3 Dermatitis Atopik


2.3.1 Definisi
Dermatitis atopik adalah suatu peradangan pada kulit yang bersifat kronis
dan cenderung berulang, ditandai dengan adanya keluhan gatal yang hilang
timbul

serta

peningkatan

IgE. Keadaan

ini

akan

menyebabkan

penderita

menggaruk bagian kulit yang gatal sehingga dapat timbul bermacam-macam


ruam (Djuanda,2010)

2.3.2 Etiopatogenesis
Faktor endogen yang berperan, meliputi faktor genetik, hipersensitivitas
akibat peningkatan kadar immunoglobulin (Ig)E total dan spesifik, kondisi kulit yang
relatif kering (disfungsi sawar kulit), dan gangguan psikis. Faktor eksogen pada
dermatitis atopik, antara lain adalah trauma fisik-kimia-panas, bahan iritan, allergen
debu, tungau debu rumah, makanan (susu sapi, telur), infeksi mikroba, perubahan
iklim (peningkatan suhu dan kelembaban), serta hygiene lingkungan. Faktor endogen
lebih berperan sebagai faktor predisposisi sedangkan faktor eksogen cenderung
menjadi faktor pencetus (Djuanda,2010).
2.3.2.1 Faktor Endogen

10

Faktor endogen merupakan faktor yang berasal dari dalam tubuh,


seperti

faktor

genetik, lingkungan, sawar

kulit,

farmakologik, dan

imunologik. Konsep dasar terjadinya dermatitis atopik adalah melalui


reaksi imunologik, yang diperantai oleh sel-sel yang berasal dari sumsum
tulang (Djuanda,2010).
Pada penderita dermatitis atopik terjadi peningkatan kadar IgE
dan jumlah eosinofil dalam darah perifer . 80% anak dengan dermatitis
atopik mengalami asma bronkial dan rinitis alergik. Hal ini mendakan
adanya hubungan secara sistemik antara dermatitis atopik dan alergi
saluran napas. Pada percobaan tikus yang disensitisasi secara epikutan
dengan antigen, akan terjadi dermatitis alergik dan IgE dalam serum
meningkat, eosinofilia saluran napas. Hal tersebut menguatkan dugaan
bahwa pajanan allergen pada dermatitis atopik akan mempermudah
timbulnya asma bronchial (Djuanda,2010).

Berikut ini 4 kelas gen yang mempengaruhi penyakit atopi.

Kelas 1 : Gen predisposisi untuk atopi dan respons umum IgE


a) Reseptor FcRI-, mempunyai afinitas tinggi untuk IgE (kromosom
11q12-13)
b) Gen sitokin IL-4 (kromosom 5)
c) Gen reseptor- IL-4 (kromosom 16)
Kelas II : Gen yang berpengaruh pada respons IgE spesifik
a) TCR (kromosom 7 dan 14)
b) HLA (kromosom 6)
Kelas III : Gen yang mempengaruhi mekanisme non-inflamasi
(misalnya hiperresponsif bronkial)

11

Kelas IV : Gen yang mempengaruhi inflamasi yang tidak di perantai


IgE
a) TNF (kromosom 6)
b) Gen kimase sel mast (kromosom 14) (Djuanda,2010).

2.3.2.1.1 Genetik
Ekspresi gen IL-4 memainkan peranan penting dalam ekspresi
dermatitis atopik. Aktivitas transkripsi gen IL-4 menyebabkan perbedaan
genetik mempengaruhi predisposisi dermatitis atopik. Ada hubungan yang
erat antara polimorfisme spesifik gen kimase sel mast dan dermatitis
atopik, tetapi tidak dengan asma bronkial atau rinitis alergik. Pendapat
tentang faktor genetik diperkuat dengan bukti, yaitu terdapat DA dalam
keluarga. Jumlah penderita dermatitis atopik di keluarga meningkat 50%
apabila salah satu orangtuanya dermatitis atopik, 75% bila kedua orangtuanya
menderita dermatitis atopik. Risiko terjadi dermatitis atopik pada kembar
monozigot

sebesar

77%

sedangkan

kembar

dizigot

sebesar

25%

(Djuanda,2010).

2.3.2.1.2 Respons imun pada kulit


Sitokin

adalah

mediator

mikroorganisme, tumor dan

antigen

utama

respon

imun

terhadap

sendiri. Sitokin diproduksi oleh

beragam jenis sel dalam darah termasuk sel-sel T helper tipe 1 dan 2. T
helper tipe 1 dianggap sebagai sitokin pro inflamasi yang menginduksi
immunitas dan Tipe 2 (IL-4, IL-5, IL-6, IL-10 dan IL-13) yang juga sitokin
antiinflamasi yang mengawali immunitas dan toleransi humoral. Sitokin
TH2 dan TH1 berperan dalam pathogenesis peradangan kulit dermatitis
atopik Jumlah TH2 lebih banyak pada penderita atopi, sebaliknya TH1
menurun. Pada

kulit

normal

dari

penderita

dermatitis

atopik

bila

12

dibandingkan dengan kulit normal orang yang bukan penderita dermatitis


atopik, ditemukan lebih banyak sel-sel yang mengekspresikan mRNA IL-4
dan IL-3, tetapi bukan IL-5, IL-12, atau IFN-y. Pada lesi akut dan kronis
bila dibandingkan dengan kulit normal atau kulit yang tidak ada lesinya
penderita dermatitis atopik, menunjukkan jumlah yang lebih besar sel-sel
yang mengekspresikan mRNA IL-4, IL-5, dan IL-13. Tetapi pada lesi akut
tidak banyak mengandung sel yang mengekspresikan mRA IFN-y atau IL-12.
Lesi kronis dermatitis

atopik mengandung sangat sedikit sel yang

mengekspresikan mRNA IL-4 dan IL-13, tetapi jumlah sel yang


mengekspresikan mRNA IL-5, GM-CSF, IL-12, dan IFN-y, maningkat bila
dibandingkan dengan yang akut. Peningkatan IL-12 pada lesi kronis
dermatitis atopik berperan dalam perkembangan TH1 (Djuanda,2010).
2.4.1.3 Respons sistemik
IFN-y menghambat sintesis IgE, proliferasi sel TH-2 dan ekspresi
reseptor IL-4 pada sel T. Pada penderita dermatitis atopik jumlah IFN-y
yang dihasilkan oleh sel mononuklear darah tepi menurun sehingga
konsentrasi IgE dalam serum meningkat (Djuanda,2010).
-

Sintesis IgE meningkat


IgE spesifik terhadap alergen ganda meningkat, termasuk terhadap

makanan, aeroalergen, mikroorganisme, toksin bakteri, dan autoalergen.


Ekspresi CD23 (reseptor IgE berafinitas rendah) pada sel B monosit

meningkat.
Pelepasan histamin dari basofil meningkat.
Respons hipersensitivitas lambat terganggu.
Eosinofilia
Sekresi IL-4, IL-5, dan IL-13 oleh sel TH2 meningkat.
Sekresi IFN-y oleh sel TH1 menurun.
Kadar reseptor IL-2 yang dapat larut meningkat.
Kadar CAMP-phosphodiesterase monosit meningkat, disertai peningkatan
IL-10 dan PGE2 (Djuanda,2010).

13

2.3.2.2 Faktor Eksogen


2.3.2.2.1 Iritan
Kulit penderita dermatitis atopik ternyata lebih rentan terhadap
bahan iritan, antara lain sabun alkalis, bahan kimia yang terkandung
pada berbagai obat gosok untuk bayi dan anak, sinar matahari, dan
pakaian wol (Boediardja,2006).
2.3.2.2.2 Alergen
Penderita dermatitis atopik mudah mengalami alergi terutama
terhadap beberapa alergen, antara lain:
1. Alergen hirup, yaitu debu rumah dan tungau debu rumah. Hal
tersebut dibuktikan dengan peningkatan kadar IgE RAST (IgE
spesifik) (Boediardja,2006).
2. Alergen makanan, khususnya pada bayi dan anak usia kurang dari 1
tahun (mungkin karena sawar usus belum bekerja sempurna)
(Boediardja,2006).
3. Infeksi: Infeksi Staphylococcus aureus ditemukan pada > 90% lesi
DA dan hanya pada 5% populasi normal. Hal tersebut mempengaruhi
derajat keparahan dermatitis atopik, pada kulit yang mengalami
inflamasi ditemukan 107 unit koloni setiap sentimeter persegi.
(Soebaryo,2009).
2.3.2.2.3 Lingkungan
Faktor lingkungan yang kurang bersih berpengaruh pada
kekambuhan dermatitis atopik, misalnya asap rokok, polusi udara
(nitrogen dioksida, sufur dioksida), walaupun secara pasti belum
terbukti. Suhu yang panas, kelembaban, dan keringat yang banyak

14

akan memicu rasa gatal dan kekambuhan dermatitis

atopik.

(Boediardja,2006).
2.5 Gambaran Klinis
Gejala utama dermatitis atopik ialah gatal (pruritus), yang dapat terjadi
sepanjang hari dan hilang timbul. Gatal yang dirasakan biasanya lebih hebat
pada malam hari. Akibatnya penderita akan manggaruk sehingga timbul bermacammacam kelainan (ruam) di kulit berupa papul, likenifikasi, eritema, erosi, ekskoriasi,
eksudasi, dan krusta(Djuanda,2010).

Dermatitis atopik dapat dibagi menjadi tiga fase, yaitu:


2.3.3.1 Dermatitis atopik infantil (usia 2 bulan sampai 2 tahun)
Dermatitis

atopik paling sering muncul pada tahun pertama

kehidupan, biasanya setelah usia 2 bulan. Lesi pertama kali terlihat di muka
di daerah dahi dan pipi berupa eritema dan papulo-vesikel yang halus.
Garukan pada daerah yang gatal akan menyebabkan papulo-vesikel
pecah sehingga timbul eksudatif dan akhirnya terbentuk krusta. Selanjutnya,
lesi meluas ke tempat lain yaitu ke skalp, leher, pergelangan tangan, lengan
dan tungkai. Bila anak mulai merangkak, lesi ditemukan di lutut. Biasanya
anak mulai menggaruk setelah berumur 2 bulan. Pada

umumnya

anak

dengan dermatitis atopik cenderung gelisah, susah tidur, dan sering


menangis akibat rasa gatal yang timbul. Lama kelamaan lesi menjadi
kronis dan residif. Sekitar usia 18 bulan mulai tampak likenifikasi. Pada
sebagian besar penderita sembuh setelah usia 2 tahun, mungkin juga
sebelumnya, sebagian lagi berlanjut menjadi bentuk anak. (Djuanda,2010).

15

Gambar 2.1 Ekzema pada Infantil

2.3.3.2 Dermatitis Atopik pada anak (usia 2 sampai 10 tahun)


Bentuk lanjut dari dermatitis atopik infantil atau dapat timbul
sendiri (de novo). Lesi lebih kering, tidak begitu eksudatif, lebih banyak
papul, likenifikasi, dan sedikit skuama. Letak kelainan kulit dilipat siku, lipat
lutut, pergelangan tangan bagian fleksor, kelopak mata, leher, jarang di muka.
Akibat rasa gatal yang luar biasa menyebabkan penderita sering menggaruk
sehingga dapat terjadi erosi (kehilangan jaringan sampai stratum basal),
likenifikasi (penebalan

kulit)

dan

mungkin juga mengalami infeksi

sekunder. Rangsangan menggaruk sering diluar kendali. Penderita sensitif


terhadap wol, bulu kucing dan anjing, juga bulu ayam, burung dan sejenisnya.
Dermatitis

atopik berat yang melebihi 50% permukaan tubuh dapat

memperlambat pertumbuhan (Djuanda,2010).


2.5.3 Dermatitis atopik pada remaja dan dewasa
Lesi kulit dermatitis atopik pada bentuk ini dapat berupa plak papularerimatosa dan berskuama, atau plak likenifikasi yang gatal. Pada dermatitis

16

atopik remaja lokalisasi lesi di lipat siku, lipat lutut, dan samping leher, dahi,
dan sekitar mata. Pada dermatitis

atopik dewasa, distribusi lesi kurang

karakteristik, sering mengenai tangan dan pergelangan tangan, dapat pula


ditemukan setempat, misalnya di bibir (kering, pecah, bersisik), vulva, puting
susu, atau skalp. Kadang erupsi meluas, dan paling parah di lipatan,
mengalami likenifikasi. Lesi kering, agak menimbul, papul datar dan
cenderung bergabung menjadi plak likenifikasi dengan sedikit skuama, dan
sering terjadi eksoriasi dan eksudasi karena garukan. Lambat laun terjadi
hiperpigmentasi (Djuanda,2010).
Lesi sangat gatal, terutama pada malam hari waktu beristirahat.
Penderita atopik sering merasa gatal pada saat melakukan aktivitas fisik
karena sulit mengeluarkan keringat. Pada umumnya dermatitis atopik
remaja atau dewasa berlangsung lama, kemudian cenderung menurun dan
membaik (sembuh) setelah usia 30 tahun, jarang sampai usia pertengahan;
hanya sebagian kecil terus berlangsung sampai tua. Apabila terkena bahan
iritan allergen, kulit penderita atopik yang sudah sembuh cenderung gatal
dan mudah meradang (Djuanda,2010).
2.3.4 Diagnosis
Diagnosis dermatitis atopik didasarkan kriteria yang disusun oleh Hanifin dan
Rajka yang diperbaiki oleh kelompok kerja dari Inggris yang dikoordiansi oleh
Williams (1994) :
a. Kriteria Mayor
- Pruritus (gatal)
- Dermatitis di wajah atau ekstensor pada bayi dan anak
- Dermatitis di fleksura pada dewasa
- Dermatitis kronis atau residif
- Riwayat atopi pada penderita atau keluarganya (Djuanda,2010).
b. Kriteria Minor
- Xerosis

17

Infeksi kulit (khususnya oleh S. aureus dan virus herpes simpleks)


Dermatitis nonspesifik pada tangan atau kaki
Iktiosis/hiperliniar palmaris/keratonis pilaris
Dermatitis di papila mame
White dermographism dan delayed blanch response
Keilitis
Lipatan infra orbital Dennie-Morgan
Konjungtivitis berulang
Keratokonus
Katarak subkapsular anterior
Orbita menjadi gelap
Muka pucat atau eritem
Gatal bila berkeringat
Intolerans terhadap wol atau pelarut lemak
Aksentuasi perifolikular
Hipersensitif terhadap makanan
Perjalanan penyakit dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan atau emosi
Tes kulit alergi tipe dadakan positif
Kadar IgE dalam serum meningkat
Awitan pada usia dini (Djuanda,2010).

Diagnosis D.A. harus mempunyai tiga kriteria mayor dan tiga kriteria minor.
Untuk bayi, kriteria diagnosis dimodifikasi yaitu:
tiga kriteria mayor berupa:
-

Riwayat atopi pada keluarga


Dermatitis di muka atau ekstensor
Pruritus (Djuanda,2010).

ditambah tiga kriteria minor:


-

Xerosis/iktiosis/hiperliniaris palmaris,
Aksentuasi perifokular,
Fisura belakang telinga,
Skuama di skalp kronis (Djuanda,2010).

Kriteria major dan minor yang diusulkan oleh Hanifin dan Rajka didasarkan
pengalaman klinis. Kriteria ini cocok untuk diagnosis penelitian berbasis rumah sakit

18

(hospital based) dan eksperimental, tetapi tidak dapat dipakai pada penelitian berbasis
populasi, karena kriteria minor umumnya ditemukan pula pada kelompok kontrol, di
samping juga belum divalidasi terhadap diagnosis dokter atau diuji untuk
pengulangan (repeatibility). Oleh karena itu kelompok kerja Inggris (UK working
party) yang dikoordinasi oleh William memperbaiki dan menyederhankan kriteria
Hanifin dan Rajka menjadi satu set kriteria untuk pedoman diagnosis dermatitis
atopik yangdapat diulang dan divalidasi. Pedoman ini sahih untuk orang dewasa,
anak, berbagai ras, dan sudah divalidasi dalam populasi, sehingga dapat membantu
dokter Puskesmas membuat diagnosis (Djuanda,2010).
Pedoman diagnosis D.A. yang diusulkan oleh kelompok tersebut yaitu:
-

Harus mempunyai kondisi kulit gatal (itchy skin) atau dari laporan orang

tuanya bahwa anakanya suka menggaruk atau menggosok.


Ditambah tiga atau lebih kriteria berikut:
1. Riwayat terkenanya lipatan kulit, misalnya lipat siku, belakang
lutut, bagian depan pergelangan kaki atau sekeliling leher
(termasuk pipi anak usia dibawah 10 tahun).
2. Riwayat asma bronkial atau hay fever pada penderita (atau riwayat
penyakit atopi pada keluarga tingkat pertama darianak di bawah
tahun 4 tahun).
3. Riwayat kulit kering secara umum pada tahun terakhir.
4. Adanya dermatitis yang tampak di lipatan (atau dermatitis pada

pipi/dahi dan anggota badan bagian luar anak di bawah 4 tahun).


Awitan di bawah usia 2 tahun (tidak digunakan bila anak di bawah 4
tahun) (Djuanda,2010).

2.3.5 Diagnosis Banding


Dermatitis seboroik (Paling sering pada bayi), selain itu pada bayi bisa
ditemukan

sindrom imunodefisiensi, misalnya sindrom Wiskott-Aldrich, dan

sindrom hiper IgE. Diagnosis banding lainnya ialah dermatitis kontak, dermatitis

19

numularis, skabies, iktiosis, psoriasis (terutama di daerah palmoplantar), dermatitis


herpetiformis, sindrom Sezary, dan penyakit Letterer-Siwe (Djuanda,2010).
2.3.6

Penatalaksanaan dermatitis atopik dengan kortikosteroid topikal


Kortikosteroid adalah suatu kelompok hormon steroid yang dihasilkan di

bagian korteks kelenjar adrenal sebagai tanggapan atas hormon adrenokortikotropik


(ACTH) yang dilepaskan oleh kelenjar hipofisis. Hormon ini memainkan peran
penting pada tubuh termasuk mengontrol respon inflamasi. Berdasarkan cara
penggunaannya kortikosteroid dapat dibagi dua yaitu kortikosteroid sistemik dan
kortikosteroid topikal. Kortikosteroid topikal adalah obat yang digunakan dikulit
pada

tempat tertentu. Kortikosteroid

topikal

bersifat

paliatif

dan supresif

terhadap penyakit kulit dan merupakan pengobatan kausal. Obat kortikosteroid


mempunyai daya kerja anti radang dan anti alergi (Sugito,2009).
2.3.6.1 Klasifikasi kortikosteroid topikal berdasarkan potensinya
Penggolongan kortikosteroid topikal menurut USA system
Nama

Konsentrasi

dan

Bentuk Dosis

Sediaan
Potensi Sangat Tinggi
Clobetasol Propionate

0,05

Halcinonide

aplikasi kulit kepala


0,1 % krim , solution

2 3 x/hari

Potensi Tinggi
Amcinonide
Beclometasone Dipripionate

0,1 % krim
0,025 % krim

2 3 x/hari
2 x/hari

Betamethasone Dipripionate

0,05 % krim,salep,cair

1 3 x/hari

Betamethasone Valerate

0,064%krim,salep,solution
0,025 % krim

2 3 x/hari

krim,

salep, 1 - 2 x/hari

0,1 % krim,gel,lotion salep, 1 3 x/hari

20

Dexosimetasone

solution
0,05 % gel, 0,025 % krim, 1 3 x/hari

Difluocortolone Valerate

salep
0,3 % salep berlemak

2 x/hari

0,1 % krim,salep berlemak, 1 3 x/hari


Fluclorolone Acetonide
Fluocinolone Acetonide

salep
0,025 % krim
0,025 % krim,gel,salep

2 x/hari
1 3 x/hari

0,03 % salep
0,2 % krim

2 3 x/hari

0,005 % krim

1 3 x/hari

0,01 % krim,salep
Fluocinonide
Fluocortolone/Fluocortolone

0,0125 % krim
0,05% krim, salep
0,25 % krim

2 3 x/hari
1 3 x/hari

caproate
Fluocortolonepivalate/

0,25 % salep

1 3 x/hari

Fluocortolone caproate
Fluticasone propionate

0,05 % krim

1 2 x/hari

Hydrocortisone aceponate
Methylprednisolone
aceponate
Mometasone furoate
Prednicarbate
Potensi Sedang
Alclometasone
dipropionate
Clobetasone butyrate
Desonide
Fluprednidine Acetate
Triamcinolone Acetonide

0,005 % salep
0,127 % krim
1 2 x/hari
0,1 % krim, salep berlemak, 1 2 x/hari
salep
0,1 % krim, salep, lotion
0,25 % krim

1 x/hari
1 2 x/hari

0,05 % krim, salep

2 3 x/hari

0,05 % krim, salep


0,05 % krim, salep, lotion
0,1 % krim, solution
0,1 % krim, salep, lotion

Sampai 4 x/hari
2 x/hari
2 x/hari
2 3x/hari

0,2 % krim, 0,02 % krim


Potensi Ringan
Hydrocortisone

0,5 %krim,1 % lotion, gel, krim 2 3 x/hari

21

Hydrocortisone acetate

2,5 % krim
1 % krim, salep

2 3 x/hari

2,5 % krim

2.3.6.2 Biosintesis dan Kimia


Korteks adrenal mengubah asetat menjadi kolesterol, yang kemudian
dengan bantuan berbagai enzyme diubah lebih lanjut menjadi kortikosteroid
dengan 21 atom karbon dan androgen lemah dengan 19 atom karbon. Androgen
ini juga merupakan sumber estradiol. Sebagian besar kolesterol yang digunakan
untuk steroidogenesis ini berasal dari luar, baik pada keadaan basal maupun
setelah pemberian ACTH Dalam korteks adrenal kortikosteroid tidak disimpan
sehingga harus disimpan terus menerus. Bila biosintesis berhenti, meskipun
hanya untuk beberapa menit saja, jumlah yang tersedia dalam kelenjar adrenal
tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan normal. Oleh karenanya kecepatan
biosintesisnya disesuaikan dengan kecepatan sekresinya (Suherman,2007).

Pengaturan Sekresi
ACTH mempengaruhi sekresi dari korteks adrenal. Akibat pengaruh
ACTH, zona

fasikulata

korteks

adrenal

akan

mensekresi

kortisol

dan

kortikosteron. Bila kadar dari kortisol dan kortikosteron tersebut meningkat


didalam darah, terutama kortisol, maka akan terjadi penghambatan sekresi
ACTH. Keadaan tersebut tidak berlaku untuk aldosteron, yang disekresi oleh
zona glomerulosa. Peninggian kadar aldosteron dalam darah tidak menyebabkan
penghambatan sekresi ACTH (Suherman,2007).
2.3.6.3 Mekanisme Kerja

22

Kortikosteroid bekerja dengan mempengaruhi kecepatan sintesis protein.


Molekul hormon memasuki jaringan melalui membran plasma secara difusi pasif di
jaringan target, kemudian bereaksi dengan reseptor steroid. Kompleks ini mengalami
perubahan bentuk, lalu bergerak menuju nukleus dan berikatan dengan kromatin.
Ikatan ini menstimulasi transkripsi RNA dan sintesis protein spesifik. Induksi sintesis
protein ini merupakan perantara efek fisiologis steroid. Pada beberapa jaringan,
misalnya hepar, hormon steroid merangsang transkripsi dan sintesis protein spesifik;
pada jaringan lain, misalnya sel limfoid dan fibroblas hormon steroid merangsang
sintesis protein yang sifatnya menghambat atau toksik terhadap sel-sel limfoid, hal ini
menimbulkan efek katabolik (Suherman,2007).
2.3.6.4 Farmakokinetik
Kortisol dan analog sintetiknya pada pemberian oral diabsobsi cukup
baik. Untuk mencapai kadar tinggi dengan cepat dalam cairan tubuh, ester
kortisol dan derivatnya diberikan dengan cara IV. Untuk mendapatkan efek
yang lama kortisol dan esternya diberikan secara IM. Perubahan struktur kimia
sangat mempengaruhi kecepatan absorbsi, mula kerja dan lama kerja karena
mempengaruhi afinitas terhadap reseptor, dan ikatan protein. (Suherman,2007).
Pada keadaan normal, 90% kortisol terikat pada 2 jenis protein plasma
yaitu globulin pengikat kortikosteroid dan albumin. Afinitas globulin tinggi
tetapi kapasitas ikatnya rendah, sebaliknya afinitas albumin rendah tetapi
kapasitas ikatnya relatif tinggi. Karena itu pada kadar rendah atau normal,
sebagian

besar

kortikosteroid

terikat

globulin. Kortikosteroid

berkompetisi

sesamanya untuk berikatan dengan globulin pengikat kortikosteroid (Suherman,


2007).
2.3.6.5 Indikasi
2.3.6.5.1 Terapi subtitusi

23

Pemberian kortikosteroid disini bertujuan memperbaiki kekurangan akibat


insufisiensi sekresi korteks adrenal akibat gangguan fungsi atau struktur adrenal
sendiri atau hipofisis. Biasanya digunakan pada :

Insufisiensi adrenal akut


Bila insufisiensi primer, dosisnya 20-30 mg hidrokortison harus
diberikan setiap hari. Perlu juga diberi preparat mineralokortikoid

supaya dapat menahan Na dan air.


Insufisiensi adrenal kronik
Dosisnya 20-30 mg per hari dalam dosis terbagi (20 mg pada pagi
hari dan 10 mg pada sore hari). Banyak pasien memerlukan juga
mineralokortikoid fluorokortison asetat dengan dosis 0,1-0,2 mg per

2.3.6.5.2

hari; atau cukup dengan kortison dan diet tinggi garam.


Hiperplasia adrenal kongenital
Insufisiensi adrenal sekunder (Suherman,2007).

Terapi non-endokrin

Dasar pemakaian kortikosteroid disini ialah efek antiinflamasinya dan


kemampuannya menekan reaksi imun. Pada penyakit yang dasarnya reaksi imun,
obat ini bermanfaat pada keadaan yang perlu penanganan reaksi radang atau
reaksi imun untuk mencegah kerusakan jaringan yang parah dan menimbulkan
kecacatan. Biasanya digunakan pada :

Fungsi paru pada fetus, penyempurnaan fungsi paru fetus dipengaruhi


sekresi kortisol pada fetus. Betametason atau deksametason selama 2
hari diberikan pada minggu ke 27-34 kehamilan. Dosis terlalu banyak
akan mengganggu berat badan dan perkembangan kelenjar adrenal

fetus.
Artriris

24

Kortikosteroid hanya diberikan pada pasien arthritis rheumatoid yang

sifatnya progresif, dengan pembengkakan dan nyeri sendi yang hebat.


Korditis reumatik
Penyakit ginjal, kortikosteroid dapat bermanfaat pada sindrom nefrotik
yang disebabkan lupus eritematus sistemik atau penyakit ginjal primer,

kecuali amiloidosis.
Penyakit kolagen, pemberian dosis besar bermanfaat untuk eksaserbasi
akut, sedangkan terapi jangka panjang hasilnya bervariasi. Untuk

scleroderma umumnya obat ini kurang bermanfaat.


Asma bronchial dan penyakit saluran napas.
Penyakit alergi.
Penyakit mata.
Penyakit kulit, yang harus diperhatikan adalah kadar kandungan
steroidnya. Erupsi eksematosa biasanya diatasi dengan salep
hidrokortison 1%. Pada penyakit kulit akut dan berat serta pada
eksaserbasi penyakit kulit kronik, kortikosteroid diberikan secara

sistemik.
Penyakit hepar.
Keganasan.
Gangguan hematologik lain.
Syok.
Edema serebral.
Trauma sumsum tulang belakang (Suherman,2007).

2.3.6.6 Efek Samping


Efek samping dapat timbul karena penghentian pemberian secara tibatiba atau pemberian terus menerus terutama dengan dosis besar. Pemberian
kortikosteroid

jangka

lama

yang

dihentikan

tiba-tiba

dapat

menimbulkan

insufisiensi adrenal akut dengan gejala demam, mialgia, atralgia, dan malaise
(Suherman,2007).

25

Efek samping lokal dari kortikosteroid topikal meliputi : atrofi, yang


mungkin muncul seperti tertekan, sering berkerut, cigarette paper (gambaran kulit
tampak dengan telangiektasis yang menonjol dan cenderung berkembang
menjadi

purpura

dan

ekimosis, steroid

rossea

dengan

eritema

menetap

(Katzung,1998).
2.3.6.7 Dexamethasone
Deksametason adalah kortikosteroid kuat dengan khasiat immunosupresan
dan antiinflamasi yang digunakan untuk mengobati berbagai kondisi peradangan
(Samtani, 2005).

2.3.6.7.1

Rumus Bangun

2.3.6.7.2 Sifat Fisiokimia


Rumus Molekul
:
Berat molekul
:
Nama kimia
:
Pemerian

C22H29FO5
392,47
9-Fluoro-11,17,21-trihidroksi-16-

metilpregna-1,4-diena-3,20-dion
: Serbuk hablur, putih sampai praktis putih, tidak
berbau, stabil diudara. Melebur pada suhu lebih kurang
250 disertai peruraian

26

Kelarutan

: Praktis tidak larut dalam air, agak sukar larut dalam


aseton, dalam etanol, dalam dioksan dan dalam
methanol; sukar larut dalam kloroform ; sangat sukar
larut dalam eter (Ditjen POM, 1995).

2.3.6.8 Betametason
2.3.6.8.1 Rumus Bangun

2.3.6.8.2

Sifat Fisiokimia

Rumus molekul

:C22H29FO5

Berat molekul

:392,47

Nama kimia

:9-Fluoro-11,17,21-trihidroksi-16-metilpregna-1,4diena- 3,20-dion

Pemerian

:Serbuk, putih sampai praktis putih; tidak berbau

Kelarutan

:Praktis tidak larut dalam air, mudah larut dalam aceton


dan dalam kloroform; larut dalam etanol; sukar larut
dalam eter dan benzen. (Farmakope, 1995)

2.3.6.8.3 Indikasi
Alergi dan peradangan lokal
2.3.6.8.4 Kontra Indikasi

27

Infeksi bakteri, fungi, dan penyakit kulit yang disebabkan oleh virus. Selain
itu penderita acne rosacea, dan perioral dermatitis.
2.3.6.8.5 Efek Samping
Atropi lokal, gatal-gatal, hipopigmentasi, perioral dan alergi dermatitis, serta
infeksi sekunder (Sartono,1996).
2.3.6.9 Prednisone
2.3.6.9.1 Rumus Bangun

2.3.6.9.2

Sifat Fisiokimia
Nama kimia

:17,21-Dihidroksipregna-1,4-diena-3,11,20-trion

Sinonim

:Prednisonum

Rumus molekul:C21H26O5
Berat molekul :358,43
Pemerian
:Serbuk hablur putih atau praktis putih, tidak berbau;
melebur pada suhu 230C disertai peruraian
Kelarutan
:Sangat sukar larut dalam air, sukar larut dalam etanol,
dalam

kloroform,

(Suherman,2007).

dalam

dioksan

dan

dalam

methanol

28

2.4 Kerangka Pemikiran


1. Faktor Eksogen
2. Faktor Endogen

Deksametason
e
Hidrokortisone

Dermatitis Atopik

Desoximethas
one
Triamcinolone

Jenis Kortikosteroid topikal


yang diberikan pada dermatitis
atopik

Betametasone
Fluocinolone

Prednisone

Infantil

Anak-anak

Remaja

Dewasa

29

BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian


Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif. Desain penelitian ini
mengunakan studi retrospektif.
3.2

Lokasi dan Waktu Penelitian

3.2.1

Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Poliklinik Kulit RSUD Dr. Pirngadi Medan
Waktu Peneltian

3.2.2

Penelitian dilaksanakan mulai dari Maret 2014 sampai April 2014


3.3

Subyek Penelitian

3.3.1 Populasi
Populasi adalah keseluruhan objek penelitian atau objek yang diteliti
(Notoatmodjo, 2005). Pada penelitian ini, jumlah populasi data rekam medik pasien
Dermatitis Atopik selama periode 2011 di bagian poliklinik kulit RSUD Dr. Pirngadi
terdapat sebanyak 147 orang.

30

3.3.2 Sampel
Sampel adalah bagian yang diambil dari keseluruhan objek yang yang diteliti
dan dianggap mewakili seluruh populasi (Notoatmodjo, 2005).
a. Kriteria Inklusi
Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah semua kasus dermatitis atopik yang
terjadi selama periode 2011.
b. Kriteria Eksklusi
Kriteria Eksklusi pada penelitian ini adalah kasus dermatitis atopik yang terjadi
selama 2011 dengan adanya penyakit penyerta serta ketidak lengkapan rekam
medis.
3.4

Teknik Sampling
Sampel dalam penelitian ini adalah berdasarkan total sampling, dimana

seluruh populasi akan diambil sebagai sampel dan harus memenuhi kriteria inklusi
untuk dilanjutkan ke penelitian.
3.5

Definisi Operasional

1. Kortikosteroid Topikal adalah suatu kelompok obat antiinflamasi yang diberikan


untuk proses pengobatan seperti :
a) Deksametasone

31

b)
c)
d)
e)
f)
g)

Hidrokortisone
Desoximethasone
Triamcinolone
Betametasone
Fluocinolone
Prednisone

Skala : Ordinal
2. Usia adalah jumlah tahun hidup seseorang sejak lahir sampai terdiagnosa
menderita dermatitis atopik, yang dikatagorikan atas :
a.
b.
c.
d.

Infantil (0-1 tahun)


Anak-anak (2-12 tahun)
Remaja (12-21 tahun)
Dewasa (>21 tahun)

Skala : Ordinal
3.6

Alat dan Bahan Penelitian


Alat dan Bahan Penelitian adalah data dari rekam medik pasien dermatitis

atopik di bagian poliklinik anak RSUD Dr. Pirngadi Medan periode 2011.
3.7

Etika Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan jika telah mendapat izin dari Komite Etik

Penelitian Fakultas Kedokteran Universitas Methodist Indonesia. Selain itu, peneliti


telah melakukan perizinan kepada Direktur RSUD Dr. Pirngadi Medan.

3.8

Prosedur Penelitian

32

1. Permohonan izin penelitian diajukan kepada direktur rumah sakit agar


dapat melakukan penelitian di Rumah Sakit Umum Dr. Pirngadi Medan.
2. Sebelumnya dilakukan survey pendahuluan untuk mengetahui jumlah dari
pasien dermatitis atopik periode 2011.
3. Data yang terkumpul dilanjutkan dengan melakukan analisis data sehingga
diperoleh hasil serta tabulasi dan dapat ditarik kesimpulan.
3.9

Pengolahan dan Analisis Data


Data yang diperoleh akan diolah dengan langkah - langkah sebagai berikut :
1. Editing
Editing dilakukan untuk memeriksa ketepatan dan kelengkapan data.
Apabila data belum lengkap atau pun ada kesalahan data akan dilengkapi
kembali.
2. Coding
Data yang telah terkumpul dan dikoreksi ketepatan dan kelengkapannya
kemudian diberi kode oleh peneliti secara manual sebelum diolah dengan
komputer.
3. Entry
Data yang telah lengkap kemudian dimasukkan ke dalam program
komputer (Statistic Product and Service Solution [SPSS] Versi 20) untuk
analisis lebih lanjut.
4. Saving
Penyimpanan data untuk siap di analisis

BAB IV
HASIL PENELITIAN

4.1 Deskripsi Penelitian

33

Proses pengambilan data pada penelitian ini diambil pada bulan maret sampai
dengan bulan april 2014 di RSUD Dr. Pirngadi Medan. Berdasarkan survei rekam
medis yang dijumpai di poliklinik kulit RSUD Dr. Pirngadi didapati 147 kasus namun
yang memenuhi kriteria inklusi sebanyak 90 kasus. Gambaran yang akan diamati
adalah umur dan jenis kortikosteroid topikal.

4.2 Deskripsi Lokasi Penelitian


Penelitian ini dilakukan di RSUD Dr. Pirngadi. Lokasi Rumah Sakit ini
terletak di Jalan Prof. H. M. Yamin SH No.47 Medan.

4.3 Deksripsi Gambaran Sampel


Jumlah sampel yang diambil sebanyak 90 kasus dermatitis atopik tanpa
penyakit penyerta. Dimana pada survei awal ditemukan sebanyak 147 kasus namun
dikarenakan data rekam medis pasien yang tidak lengkap maka hanya diambil 90
kasus rekam medis pasien di poliklinik kulit RSUD Dr. Pirngadi Medan. Gambaran
dari sampel pada penelitian ini dapat terlihat pada tabel berikut :
Tabel 4.1 Distribusi Penggunaan Kortikosteroid Topikal Pada Pasien Dermatitis
Atopik
Kortikosteroid Topikal

34

Dexamethasone

18

20,0

Hidrocortisone

33

36,7

Desoximethasone

16

17,8

Triamcinolone

1,1

Betamethasone

14

15,6

Fluocinolone

1,1

Prednisone

Total

90

7,8
100 %

Grafik 4.1 Distribusi Penggunaan Kortikosteroid Topikal Pada Pasien


Dermatitis Atopik

35

35
30
25
20
15
10
5

Frekuensi

Berdasarkan Tabel 4.1 distribusi penggunaan kortikosteroid topikal pada pasien


dermatitis atopik, maka jenis yang paling banyak digunakan adalah dengan
Hydrocortisone sebanyak 33 sampel (36,7%), Dexamethasone sebanyak 18 sampel
(20%), Desoximethasone sebanyak 16 sampel (17,8%), Betamethasone sebanyak 14
sampel (15,6%), Prednisone sebanyak 7 sampel (7,8%), Triamcinolone sebanyak 1
sampel (1,1%), dan Fluocinolone sebanyak 1 sampel (1,1%).

Tabel 4.2 Distribusi Penggunaan Kortikosteroid Topikal Pada Pasien Dermatitis


Atopik Infantil

36

Kortikosteroid Topikal

Hidrocortisone

50,0

Fluocinolone

25,5

Prednisone

25.5

Total

100 %

Grafik 4.2 Distribusi Penggunaan Kortikosteroid Topikal Pada Pasien


Dermatitis Atopik Infantil
2.5
2
1.5
Frekuensi

1
0.5
0
Hidrokortisone

Fluocinolone

Prednisone

Berdasarkan Tabel 4.2 distribusi penggunaan kortikosteroid topikal pada pasien


dermatitis atopik infantil, maka jenis yang paling banyak digunakan adalah dengan
Hydrocortisone sebanyak 2 sampel (50,0%), Fluocinolone sebanyak 1 sampel (25%)
dan Prednisone sebanyak 1 sampel (25%).

37

Tabel 4.3 Distribusi Penggunaan Kortikosteroid Topikal Pasien Dermatitis


Atopik Pada Anak-Anak
Kortikosteroid Topikal

Hydrocortisone

24

82,8

Desoximethasone

10,3

Betamethasone

3,4

Prednisone

3,4

29

100 %

Total

Grafik 4.3 Distribusi Penggunaan Kortikosteroid Topikal Pasien Dermatitis


Atopik Pada Anak-Anak

38

30
25
20
15
10

Frekuensi

5
0

Berdasarkan Tabel 4.3 distribusi penggunaan kortikosteroid topikal pasien dermatitis


atopik pada anak-anak, maka jenis yang paling banyak digunakan adalah dengan
Hydrocortisone sebanyak 24 sampel (82,8%), Desoximethasone sebanyak 3 sampel
(10,3%), Betamethasone sebanyak 1 sampel (3,4%) dan Prednisone sebanyak 1
sampel (3,4%).

Tabel 4.4 Distribusi Penggunaan Kortikosteroid Topikal Pasien Dermatitis


Atopik Pada Remaja

39

Kortikosteroid Topikal

Dexamethasone

14,3

Hydrocortisone

28,6

Desoximethasone

28,6

Triamcinolone

7,1

Betamethasone

Total

14

21,4
100 %

Grafik 4.4 Distribusi Penggunaan Kortikosteroid Topikal Pasien Dermatitis


Atopik Pada Remaja
4.5
4
3.5
3
2.5
2
1.5
1
0.5
0

Frekuensi

Berdasarkan Tabel 4.4 distribusi penggunaan kortikosteroid topikal pasien dermatitis


atopik pada remaja, maka jenis yang paling banyak digunakan adalah dengan
Hydrocortisone dan Desoximethasone sebanyak 4 sampel (28,6%), Betamethasone

40

sebanyak 3 sampel (21,4%), Dexamethasone sebanyak 2 sampel (14,3%) dan


Triamcinolone sebanyak 1 sampel (7,1%).

Tabel 4.5 Distribusi Penggunaan Kortikosteroid Topikal Pasien Dermatitis


Atopik Pada Orang Dewasa
Kortikosteroid Topikal

Dexamethasone

16

37,2

Hydrocortisone

7,0

Desoximethasone

20,9

Betamethasone

10

23,3

Prednisone

Total

43

11,6
100 %

Tabel 4.5 Distribusi Penggunaan Kortikosteroid Topikal Pasien Dermatitis


Atopik Pada Orang Dewasa

41

18
16
14
12
10
8
6
4
2
0

Frekuensi

Berdasarkan Tabel 4.5 distribusi penggunaan kortikosteroid topikal pasien dermatitis


atopik pada orang dewasa, maka jenis yang paling banyak digunakan adalah dengan
Dexamethasone sebanyak 16 sampel (37,2%), Betamethasone sebanyak 10 sampel
(23,3%), Desoximethasone sebanyak 9 sampel (20,9%), Prednisone sebanyak 5
sampel (11,6%) dan Hydrocortisone sebanyak 3 sampel (7,0%).

BAB V

42

PEMBAHASAN

Dari hasil penelitian yang telah dilaksanakan di bagian poliklinik kulit RSUD
Dr. Pirngadi medan pada bulan Maret sampai april 2014 diperoleh jumlah pasien
dermatitis atopik yang menggunakan kortikosteroid topikal adalah 90 sampel.
Jenis kortikosteroid topikal yang digunakan adalah Hidrocortisone sebanyak
33 sampel (36,7%), Dexamethasone sebanyak 18 sampel (20%), Desoximethasone
sebanyak 16 sampel (17,8%), Betamethasone sebanyak 14 sampel (15,6%),
Prednisone sebanyak 7 sampel (7,8%), Triamcinolone sebanyak 1 sampel (1,1%), dan
Fluocinolone sebanyak 1 sampel (1,1%). Dari hasil penelitian ini dapat dilihat bahwa
hidrocortisone merupakan obat yang paling sering digunakan. Berbeda dengan yang
ditulis di buku farmakologi dasar dan klinik edisi ke enam (Katzung,1997), dalam
buku tersebut dikatakan bahwa karena sifat penahan garamnya hidrokortisone kurang
disukai walaupun untuk penggunaan topikal. Dalam buku tersebut juga dikatakan
triamcinolone dan fluocinolone yang merupakan turunan acetonide, lebih mempunyai
keuntungan pada terapi topikal. Selain itu juga dikatakan betamethasone yang
mengikat rantai 5-karbon valerat ke posisi 17-hidroksil menghasilkan suatu senyawa
300 x lebih aktif dibandingkan hidrokortisone pada penggunaan topikal. Adanya
perbedaan hasil penelitian ini dapat disebabkan karena jumlah sampel yang
digunakan tidak sama, selain itu ketidaklengkapan data rekam medik juga turut
mempengaruhi hasil penelitian.
Pada pasien dermatitis atopik infantil, jenis kortikosteroid topikal yang
digunakan adalah Hidrocortisone sebanyak 2

sampel (50,0%), Fluocinolone

sebanyak 1 sampel (25%) dan Prednisone sebanyak 1 sampel (25%). Dari hasil
penelitian ini dapat dilihat bahwa jenis kortikosteroid topikal yang paling
banyak digunakan pada dermatitis atopik infantil adalah Hidrocortisone. Hasil

43

penelitian ini sesuai dengan yang ditulis oleh Djuanda (2010), yang mengatakan
bahwa pada

bayi digunakan steroid berpotensi rendah seperti hidrokortison.

Pada pasien dermatitis atopik anak-anak, jenis kortikosteroid topikal yang


digunakan adalah Hidrocortisone sebanyak 24 sampel (82,8%), Desoximethasone
sebanyak 3 sampel (10,3%), Betamethasone sebanyak 1 sampel (3,4%) dan
Prednisone sebanyak 1 sampel (3,4%). Dari hasil penelitian ini dapat dilihat bahwa
jenis kortikosteroid topikal yang paling banyak digunakan adalah Hidrocortisone.
Berbeda dengan yang di tulis oleh Djuanda (2010), yang mengatakan bahwa untuk
anak

dipakai

kortikosteroid

berpotensi

menengah,

seperti

triamcinolon.

Pada pasien dermatitis atopik remaja, jenis kortikosteroid topikal yang


digunakan adalah Hidrocortisone dan Desoximethasone sebanyak 4 sampel (28,6%),
Betamethasone sebanyak 3 sampel (21,4%), Dexamethasone sebanyak 2 sampel
(14,3%) dan Triamcinolone sebanyak 1 sampel (7,1%). Dari hasil penelitian ini dapat
dilihat bahwa jenis kortikosteroid topikal yang paling banyak digunakan pada
dermatitis

atopik

remaja

adalah

hidrocortisone

dan

Desoximethasone.

Pada pasien dermatitis atopik pada orang dewasa, jenis kortikosteroid topikal
yang adalah Dexamethasone sebanyak 16 sampel (37,2%), Betamethasone sebanyak
10 sampel (23,3%), Desoximethasone sebanyak 9 sampel (20,9%), Prednisone
sebanyak 5 sampel (11,6%) dan Hidrocortisone sebanyak 3 sampel (7,0%). Dari hasil
penelitian ini dapat dilihat bahwa jenis kortikosteroid topikal yang paling banyak
digunakan pada dermatitis atopik dewasa adalah dexamethasone.

BAB VI

44

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan
Berdasarkan data yang diperoleh pada penelitian ini dapat disimpulkan
bahwa:
1. Kortikosteroid topikal yang paling banyak digunakan pada pasien dermatitis
atopik adalah Hydrocortisone (36,7%).
2. Kortikosteroid topikal yang paling banyak digunakan pada pasien dermatitis
atopik infantil adalah Hydrocortisone (50 %)
3. Kortikosteroid topikal yang paling banyak digunakan pada pasien dermatitis
atopik anak-anak adalah Hydrocortisone (82,8%)
4. Kortikosteroid topikal yang paling banyak digunakan pada pasien dermatitis
atopik remaja adalah Hydrocortisone dan Dexosimethasone (28,6%)
5. Kortikosteroid topikal yang paling banyak digunakan pada pasien dermatitis
atopik dewasa adalah Hydrocortisone (37,2%)
6.2 Saran
1. Untuk peneliti
Diharapkan agar dalam praktek di masa yang akan datang dapat lebih
mengerti mengenai penggunaan kortikosteroid topikal. Dan untuk peneliti lain
dapat melakukan penelitian lebih lanjut mengenai kortikosteroid topikal lebih
luas lagi.
2. Untuk institusi terkait
Diharapkan agar kedepannya penulisan data rekam medis lebih lengkap
lagi,khusunya mengenai terapinya.

45

DAFTAR PUSTAKA

Agustin triana,Menaldi sri linuwih,Agustin.(2007).Perkembangan


terapi

terkini

pada

dermatitis atopik.Jakarta:J Indon Med Assoc:300-303

Boediardja,S.A.,(2006).Etiopatogenesis beberapa Dermatitis pada Bayi dan Anak.


Jakarta: Balai Penerbit FK UI, pp: 132-134
Djuanda suria,Sularsito sri adi.(2010).Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Cetakan
keenam.Jakarta: Balai Penerbit FKUI:129-146
Katzung Bertram,G.(1998).Farmakologi dasar dan klinik. Jakarta:EGC:979-981
Mims Dermatology (2006). Management of atopic eczema in children aged up to 12
years . National Institute for Health and Clinical Excellence
Mycek J Merry,Richard A Harvey, Pamela C Champe. (2001). Farmakologi. Edisi
kedua.Jakarta:Widya medika,pp :121
Notoatmodjo,soekidjo.(2005).Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineke
Cipta, pp: 131-133
Price Sylvia A,Lorraine M Wilson. (2005).Patofisiologi.Edisi keenam. Jakarta :
EGC:1431-1432
Sloane Ethel.(2003).Anatomi dan Fisiologi.Jakarta:EGC:85-86
Snell Richard,S.(2006). Anatomi klinik. Edisi keenam. Jakarta:EGC:6
Soebaryo,R.W.(2009).Imunopaogenesis Dermatitis Atopik. Jakarta: Balai Penerbit
FK UI, pp: 110
Sugito TL. (2009).Eksim pada bayi dan anak : Jakarta: Balai Penerbit FKUI, pp: 145

46

Suherman K Suharti,Purwantyastuti ascobat. (2007) .Farmakologi

dan

terapi.

Jakarta :EGC: 496-516


Wasiaatmadja.(2010).Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.Jakarta:Balai Penerbit FK
UI:3-8
Zulkarnaen.(2009). Dermatitis Atopik . Jakarta : Balai penerbit FK UI, pp: 68

Das könnte Ihnen auch gefallen