Sie sind auf Seite 1von 34

BAB I

PENDAHULUAN
1.1. Tujuan Praktikum :
Adapun tujuan dari praktikum alkalinity adalah :
1. Menentukan sifat keasaman dan kebasaan senyawa-senyawa karbonat,
bikarbonat dan hidroksida.
2. Mengetahui jenis-jenis indikator dan penggunaan indikator.
3. Mempelajari faktor-faktor yang mempengaruhi alkalinity.
4. Mampu menganalisa alkalinity dengan metode asidimetri.
1.2. Landasan Teori
1.2.1. Pengolahan Air Asam Tambang Menggunakan Sistem Passive
Treatment
Pendahuluan
Permasalahan utama berhubungan dengan penambangan dan
limbah tambang (tailing dan batu-batuan) adalah terbentuknya aliran
asam tambang (AMD; Acid Mine Drainage), yang terbentuk dari hasil
reaksi oksidasi batuan/mineral sulfida secara kimia dan biologi. AMD
merupakan sumber kontaminasi lingkungan karena selain mempunyai
pH yang rendah juga mengandung logam-logam berat berbahaya seperti
Fe, Al, Mn, Cu, Zn, Cd, Pb, As dan biasanya juga mengandung sulfat
yang tinggi. Keasaman dan kandungan logam yang tinggi telah
menyebabkan hilangnya beberapa jenis dari biota akuatik pada sungaisungai kecil yang mendapat efek buangan AMD.
Diperlukan pengolahan AMD untuk mengurangi pencemaran
sungai, sebelum dibuang ke perairan. Seperti diketahui bahwa banyak
teknologi yang dapat digunakan untuk perbaikan AMD. Passive
Treatment yang merupakan gabungan beberapa sistem pengolahan
seperti sangat efektif meningkatkan pH dan menurunkan kandungan

logam AMD. Adapun sistem yang umum digunakan untuk pengolahan


AMD seperti sistem permeable reactive barrier (PRB), open limestone
channels (OLCs), anoxic limestone drains (ALDs) dan rawa buatan
(CW; constructed wetland. Metode yang murah dan cukup efisien untuk
menetralisasikan AMD adalah dengan menggunakan bahan alkalin
seperti batu kapur (limestone). Sistem passive treatment yang sangat
efektif dalam menurunkan asiditas AMD adalah sistem OLCs dan
ALDs yang digabung dengan sistem CW, dan sistem ini sudah
dikembangkan secara komersial di Kanada dan Amerika Serikat. Sistem
limestone dan wetland yang terpisah akan lebih efektif dan lebih
terkontrol dibandingkan dengan sistem yang disatukan dalam CW.
Pengolahan AMD biasanya menggunakan sistem pengolahan bertingkat
dari beberapa sistem yang disebutkan di atas untuk perbaikan kualitas
airnya.
Sistem fluidized-bed limestone mampu menurunkan asiditas
AMD batubara dari 12000 menjadi 300 mg/L (CaCO3) dimana pH
meningkat dari 2,2 menjadi 7 dengan penurunan kandungan Fe dan Al
mencapai 95% (Maree et al., 2004). Peningkatan pH air asam tambang
yang ber pH<5, Fe> 20 mg/L, alkalinity <80 mg/L dan oksigen
terlarut< 2mg/L dengan sistem ALD sangat efektif sebelum di alirkan
ke sistem CW. Selain meningkatkan pH, sistem ALD dapat
meningkatkan alkalinitas efluen untuk menjaga pH agar tidak turun
setelah melewati sistem CW. Sistem ALD harus diikuti oleh CW
anaerobik ataupun aerobik untuk mendapatkan kualitas air efluen yang
memenuhi standar mutu air bersih, karena untuk AMD yang
mengandung Fe>80 biasanya dengan hanya sistem CW tidak bisa
meningkatkan pH. Dengan desain yang tepat, sistem passive treatment
bisa mempunyai umur (lifespan) > 20 tahun.
Sistem CW atau rawa buatan juga merupakan sistem passive
treatment yang cukup efektif untuk pengontrolan AMD, akan tetapi
untuk efektifitas pengolahan air, sistem CW tidak bisa langsung

digunakan untuk mengolah AMD kecuali sistem dilengkapi dengan


media kapur. Sistem CW secara alamiah adalah daerah transisi (ekoton)
antara ekosistem perairan dimana memiliki kondisi basah dan tergenang
dengan ekosistem darat yang kering. Sistem CW dapat memiliki masa
terendam air namun juga dapat praktis kering. Secara alamiah, pada
sistem CW terjadi proses-proses biologi, kimia dan fisika. Proses
biologi terjadi pada interaksi antara tumbuhan penyusun CW dengan
lingkungannya tersebut. Penyerapan (up taking) unsur-unsur yang
dibutuhkan untuk pertumbuhan diserap melalui akar atau organ yang
berfungsi seperti akar pada air dan substrat tumbuh tumbuhan tersebut.
Penyerapan logam dalam air, terutama Fe dan Mn, akan berlangsung
efektif apabila terdapat intreraksi secara biologis yang menjembatani
proses oksidasi dan reduksi. Sistem CW adalah satu-satunya ekosistem
yang di dalamnya terjadi proses-proses oksidasi dan reduksi. Proses
biologi lainnya yang terjadi pada CW adalah proses pelepasan material
organik dari tumbuhan ke lingkungan sekitarnya. Tumbuhan merupakan
elemen yang sangat penting bagi pertumbuhan komunitas mikrobia.
Perombakan material secara langsung menjadi materi yang sangat
sederhana dapat dilakukan oleh komunitas mikrobia. Keberadaan
tumbuhan

dengan

sistem

perakarannya

mampu

menyokong

pertumbuhan mikrobia dalam sistem yang juga akan mendegradasi


senyawa-senyawa logam berat pada sistem.
Pada sistem CW anaerobik, komposisi reaktif material yang
digunakan seperti kompos, daunan, serbuk gergaji ditambahkan lumpur
aktif dari sistem sewage atau anaerobic digester juga menstimulasi
pertumbuhan bakteri pereduksi sulfat untuk menaikan alkalinitas dan
menyisihkan logam dalam bentuk endapan sulfida. Berikut adalah
reaksi peningkatan alkalinitas dengan bakteri pereduksi sulfat dan
penyisihan logamnya dalam bentuk metal sulfida:
SO42- + 2CH2O + 2H+ H2S + 2CO2 + 2H2O

Me2+ + S2Aktivitas

MeS

penambangan

timah

di

Pulau

Bangka

telah

menimbulkan pencemaran sungai dan muara akibat buangan aliran


tambang yang bersifat asam dengan kandungan logam dan padatan
tersuspensi yang tinggi. Untuk mengurangi pencemaran sungai dan
muara akibat aliran buangan tambang diperlukan perbaikan kualitas air
buangan tambang dengan meningkatkan pH air dan menurunkan
kandungan logam maupun padatan tersuspensi. Penelitian ini bertujuan
untuk mengevaluasi kinerja sistem passive treatment yang merupakan
gabungan beberapa teknologi pengolahan air dalam meningkatkan
kualitas air asam tambang yang berasal dari buangan tambang timah di
Pulau Bangka.
Bahan dan Metode
Pengolahan AMD yang diteliti adalah sistem Passive Treatment
yang merupakan gabungan dari dua sistem pengolahan yang terpisah
yaitu sistem anoxic limestone drains (ALDs) dan sistem rawa buatan
(CW;

Constructed

Wetland).

Pemisahan

sistem

adalah

untuk

mempermudah mengganti media reaktif (limestone) apabila sudah tidak


efektif lagi. Sistem yang diseleksi merupakan sistem pengolahan yang
bersifat pasif dimana air mengalir dengan pengaruh grafitasi sehingga
tidak memerlukan energi seperti listrik ataupun penanganan khusus
untuk operasional. Pemilihan material menggunakan material yang
murah, mudah didapat dan mudah diimplementasikan. Penelitian
dilakukan di area tambang timah TB 1.9 di Pulau Bangka. Pengamatan
dilakukan dari bulan April sampai dengan akhir Oktober 2008 lebih
kurang selama 6 bulan. AMD dialirkan dari danau tambang aktif
melalui saluran dan masuk ke sistem pengolahan sebelum dibuang ke
sungai. AMD yang diteliti mempunyai pH 2,8 (<3) dengan warna
merah kecoklatan yang mengindikasikan kandungan Fe yang tinggi.

Skematik sistem passive treatment dapat dilihat pada Gambar 1,


yang terdiri dari kolam penampungan influen, kolam limestone (ALD),
kolam sistem wetland surface flow (aerobik) dan subsurface flow
(anaerobik). Untuk menurunkan kandungan padatan terlarut dari sistem
CW, aliran air melewati sistem filter pasir sebelum ke kolam
penampungan effluen.

Gambar 1. Skematik sistem passive treatment


Sistem Pengolahan
Kolam penampungan influen dan effluen berukuran 2x2x1,5 m.
Kolam ALD berukuran 1x1x1 m, dengan komposisi reactive mixtures
yang digunakan pada limestones bed terdiri dari lapisan atas: kompos
dan tanah (5 cm, porositas 70 - 80%), lapisan utama: limestone (coarse
grain) dengan diameter 0,5 - 1 cm (70 cm, porositas 30%), lapisan
bawah: gravel (10 cm, porositas 10%), aliran yang digunakan
menggunakan sistem upflow. Kolam CW sistem aerobik berukuran
2x0,5x1 m dengan tanaman mengapung eceng gondok (Eichornia sp),
sedangkan komposisi kolam CW sistem anaerobik yang berukuran
2x2x1 m terdiri dari lapisan bawah: liner (bentonit), gravel (10 cm,
porositas 20%), lapisan tengah: campuran pasir, kompos (40 cm,
porositas 70%), lapisan atas: tanah (20 cm, porositas 80%), tanaman:

tanaman lokal purun (Lepironia sp), tinggi permukaanair 10 cm. Kolam


filter pasir berukuran 1x1x0,8 m dengan ketinggian lapisan kerikil 10
cm dan ketinggian pasir 60 cm, porositas 50 - 60%. Kolam dibuat
dengan kemiringan 10%. Kecepatan aliran 500L/d. HRT: 5,5 hari.
Pengukuran Parameter Lapangan
Parameter yang diukur langsung di lapangan meliputi pH,
temperatur,

turbiditas,

salinitas,

konduktivitas

yang

diukur

menggunakan Water Quality Checker (Horiba U-10).


Metode Analisa
Analisa parameter mengikuti prosedur metode baku. Masingmasing parameter ditetapkan berdasarkan standar kurva dari hasil
analisa 1 seri konsentrasi yang sudah ditentukan. Logam air: Ekstraksi
menggunakan asam HNO3 dan dianalisa dengan AAS Hitachi Z-6100.
Sulfat.

Menggunakan

reagen

BaCl2

dan

dianalisa

dengan

spektrofotometer pada 420 nm.


Air yang dianalisa pada sistem passive treatment adalah K0: Air
di saluran masuk; K1: Air di kolam Penampungan influen; K2: Air
keluar dari kolam ALD; K3: Air keluar dari CW anaerobik; dan K4: Air
di kolam penampungan effluen.
Hasil dan Pembahasan
Dari hasil pengamatan dapat dilihat bahwa setelah pengolahan
dengan sistem passive treatment pH air asam tambang meningkat dari
<3 menjadi 7 pada effluen (Gambar 2). Nilai pH air kolong yang masuk
(K0) dan air kolong kolam penampungan (K1) karena terjadi oksidasi
Fe dan pengendapan, pH mengalami sedikit peningkatan yang kadangkadang mencapai 4. Tetapi begitu keluar dari kolam kapur ALD dan
terjadi pengendapan di kolam CW aerobik (K2) pH air AMD meningkat
menjadi 6. Menurut Brody perancangan ALD yang tepat dan diikuti

kolam aerobik untuk mengendapkan besi, pH air asam tambang (AMD)


meningkat dan terjaga pH nya, karena air AMD yang keluar dari kolam
ALD sudah mempunyai alkalinitas yang tinggi dari pelepasan kalsium.
Sistem CW selain menurunkan kandungan sulfat dan logam,
CW juga bisa meningkatkan pH disebabkan adanya kandungan
alkalinitas (karbonat) pada kompos yang digunakan. CW anaerobik
juga memiliki fungsi untuk mengendapkan logam-logam terlarut yang
masih ada di air AMD dan menurunkan kandungan sulfat yang tinggi di
air AMD melalui proses kimia dan biologi oleh bakteri pereduksi sulfat.
Air keluar dari CW anaerobik (K3) memiliki pH yang lebih tinggi (>6)
bahkan setelah kolam filtrasi effluen pH air AMD yang sudah diolah
(K4) di kolam penampungan mencapai pH di atas 7.

Gambar 2. Profil pH air AMD/AMD pada sistem passive treatment


skala lapangan

Konduktivitas pad AMD juga menurun walaupun setelah 6


bulan penurunan konduktivitas tidak terlalu siginifikan lagi (Gambar 3).
Peningkatan konduktivitas pada air olahan bisa berasal dari substrat

kompos pada CW anaerobik. Penurunan konduktivitas juga bisa


disebabkan oleh pengaruh air hujan yang mana terjadi pengenceran.
Salinitas air AMD sebelum diolah juga menurun sedikit. Faktor air
hujan diduga mempengaruhi penurunan salinitas ini, sedangkan untuk
turbiditas secara umum cukup kecil dari air AMD influen (Tabel 1).
AMD influen K1 suatu waktu mengalami peningkatan turbiditas karena
efek dari buangan tambang influen dari saluran (K0), namun beberapa
hari setelah itu turbiditas menurun karena terjadi endapan di kolam
penampungan.

Gambar 3. Profil konduktivitas air AMD/AMD pada sistem passive


treatment skala lapangan
Tabel 1. Salinitas, turbiditas dan temperatur air AMD sebelum dan
sesudah passive treatment
Kolam
K.0 Influen
K.1 Penampungan
K.2 SF Wetland setelah kolam

Sal
%
0,11 - 0,16
0,09 - 0,11
0,09 - 0,11

Turb
(NTU)
50-200
15 - 200
3-5

Temp.
(C)
27- 33
25 33
26 33

kapur(CW aerobik )
K.3 SSF CW (CW anaerobik )
K.4 Effluen

0,06 - 0,08
0,07 - 0,08

3-8
0-1

26 33
26 33

Turbiditas air AMD yang keluar dari kolam CW aerobik,


anaerobik dan kolam penampungan effluen juga menurun. Perubahan
warna air AMD dari keruh dan coklat kekuningan sebelum diolah
menjadi jernih setelah diolah. Selain dari pengendapan, sistem ALD,
CW dan filter dapat menurunkan turbiditas/kandungan padatan yang
terdapat pada air AMD /air asam tambang (Tabel 1).
Kandungan sulfat pada air AMD influen yang diolah juga
menurun dari >1200 mg/L menjadi 100 - <400 mg/L pada air AMD
effluen (Gambar 4). Sulfat merupakan ion sulfur di air dalam kondisi
oksidasi dan sangat terlarut di dalam air. Kehilangan kandungan sulfat
di alam hanya melalu proses biologi reduksi sulfat oleh kolam teri
pereduksi sulfat pada kondisi anaerobik menjadi sulfida. Sulfida mudah
bereaksi dengan logam sehingga membentuk endapan metal sulfida.
Turunnya kandungan sulfat di air AMD pada sistem passive treatment
disebabkan oleh aktivitas bakteri pereduksi sulfat di sistem CW
anaerobik dan sand filter (sebagai biofilm).

Gambar 4. Profil penurunan sulfat AMD pada sistem passive treatment

Walaupun tidak ada peraturan mengenai baku mutu air bersih


kandungan sulfat pada air bersih, namun kandungan sulfat yang tinggi
di perairan dapat memicu turunnya kualitas air yang mempunyai
kandungan

organik

yang

tinggi.

Pembentukan

sulfida

dapat

menyebabkan perairan menjadi anoksik dan terjadi pelepasan fosfat ke


badan air sehingga bisa menyebabkan eutrofikasi yang parah di
perairan. Penyisihan sulfat (sulfate removal) di sistem passive\tretment
mencapai 67- 90%.
Tidak seperti kandungan sulfat di air AMD, hilangnya Fe dari
sistem passive treatment cukup besar pada kolam penampungan (K1)
karena mengalami oksidasi dan pengendapan, serta setelah melewati
kolam kapur dan CW aerobik (K2) (Gambar 5). Kandungan Fe pada
kolam penampungan berkisar antara 15 80 mg/L. Kandungan Fe di
kolam ini sangat fluktuatif karena air buangan tambang yang fluktuatif
sehingga setelah pengisian kolam, kandungan Fe menurun cukup nyata
tetapi masih cukup tinggi bila dibandingkan setelah air melewati sistem
ALD, CW aerobik dan anaerobik. Penyisihan logam Fe pada sistem
mencapai 100%.

Gambar 5. Profil Fe air AMD pada sistem passive treatment skala


lapangan
Seperti juga Fe, kandungan Al di air AMD yang diolah menurun
setelah melewati kolam penampungan, ALD dan CW aerobik dan
anaerobik (Gambar 6). Kandungan Al di kolam penampungan (K1)
berkisar antara 11,68 109 mg/L. Penyisihan Al setelah passive
treatment mencapai 93 99%.
Tanaman yang digunakan untuk CW aerobik adalah kolam
dengan tanaman eceng gondok, sedangkan untuk CW anaerobik
menggunakan purun. Kandungan logam air AMD olahan setelah CW
aerobik tidak berbeda secara signifikan dengan air AMD olahan setelah
CW anaerobik. Namun untuk jangka panjang tanaman air selain sumber
organik bagi bakteri, penyerapan logam oleh tanaman air juga sangat
signifikan seperti temuan pada kandungan logam di tanaman air AMD.

Gambar 6. Profil Fe air AMD pada sistem passive treatment skala


lapangan
Kesimpulan

Sistem passive treatment yang merupakan gabungan sistem


kapur (ALD) dan rawa buatan (CW; constructed wetland) secara efektif
dan efisien dalam meningkatkan pH dan menurunkan kandungan
padatan tersuspensi, logam dan sulfat air asam tambang dari aliran
buangan tambang timah di Pulau Bangka. Air AMD setelah melewati
kolam penampungan, ALD dan CW aerobik mempunyai kualitas air
yang memenuhi standar mutu air bersih gol B (PP no.82,2001) .

1.2.2. Limbah
1.2.1.1 Pengertian limbah
Limbah adalah buangan yang dihasilkan dari suatu proses
produksi baik industri maupun domestik (rumah tangga).
Limbah adalah sisa hasil proses produksi baik yang dapat
digunakan lagi (yang dapat didaur ulang) dan yang tidak dapat
digunakan lagi (yang tidak dapat didaur ulang) yang dapat
mengganggu, merusak ekosistem apabila dibiarkan. Limbah
biasanya terdiri dalam wujud padat, cair dan gas.Limbah
adalah sisa hasil produksi baik yang dapat digunakan lagi
(yang dapat di daur ulang) dan yang tidak dapat digunakan lagi
(yang tidak dapat didaur ulang) yang dapat mengganggu,
merusak ekosistem apabila dibiarkan.
Limbah adalah buangan yang dihasilkan dari suatu proses
produksi baik industri maupun domestik (rumah tangga, yang
lebih dikenal sebagai sampah), yang kehadirannya pada suatu
saat dan tempat tertentu tidak dikehendaki lingkungan karena
tidak memiliki nilai ekonomis. Limbah ini terdiri dari bahan
kimia senyawa organik dan senyawa anorganik dengan
konsentrasi dan kuantitas tertentu. Kehadiran limbah dapat
berdampak

negatif terhadap lingkungan terutama

bagi

kesehatan manusia, sehingga perlu dilakukan penanganan


terhadap limbah. Tingkat bahaya keracunan yang ditimbulkan
oleh limbah tergantung pada jenis dan karakteristik limbah.
1.2.1.2 Jenis-Jenis Limbah
1.

Cair
Limbah cair merupakan sisa buangan hasil suatu
proses yang sudah tidak dipergunakan lagi, baik berupa
sisa industri, rumah tangga, peternakan, pertanian, dan
sebagainya. Komponen utama limbah cair adalah air
(99%) sedangakan komponen lainnya bahan padat yang
bergantung asal buangan tersebut.(Rustama et. al, 1998).
Limbah cair adalah bahan cairan yang telah
digunakan dan tidak diperlukan kembali dan dibuang ke
tempat pembuangan sampah. Limbah cair biasanya
dikenal

sebagai

entitas

pencemar

air.

Komponen

pencemaran air pada umumnya terdiri dari bahan buangan


padat, bahan buangan organik, dan bahan buangan
anorganik.
Limbah hitam: sampah cair yang dihasilkan dari
toilet.

Sampah

ini

mengandung

patogen

yang

berbahaya.Limbah rumah tangga: sampah cair yang


dihasilkan dari dapur, kamar mandi dan tempat cucian.
Sampah ini mungkin mengandung patogen.
2.

Padat
Limbah padat lebih dikenal sebagai sampah, yang
seringkali tidak dikehendaki kehadirannya karena tidak
memiliki nilai ekonomis. Sampah merupakan material sisa
yang tidak diinginkan setelah berakhirnya suatu proses.
Sampah merupakan konsep buatan manusia dalam proses-

proses alam tidak ada sampah, yang ada hanya produkproduk yang tak bergerak.
3.

Gas
Limbah gas adalah semua limbah yang berbentuk gas
atau berada dalam fase gas, contoh : karbon monoksida
(CO), karbon dioksida (CO2), nitrogen oksida (NOx), dan
sulfur oksida (SOx).

1.2.3. Air
Air adalah zat atau materi atau unsur yang penting bagi semua
bentuk kehidupan yang diketahui sampai saat ini di bumi, tetapi tidak
di planet lain. Air menutupi hampir 71% permukaan bumi. Terdapat
1,4 triliun kilometer kubik (330 juta mil) tersedia di bumi. Air
sebagian besar terdapat di laut (air asin) dan pada lapisan-lapisan es (di
kutub dan puncak-puncak gunung), akan tetapi juga dapat hadir
sebagai awan, hujan, sungai, muka air tawar, danau, uap air, dan lautan
es.
Air dalam obyek-obyek tersebut bergerak mengikuti suatu siklus
air, yaitu: melalui penguapan, hujan, dan aliran air di atas permukaan
tanah (runoff, meliputi mata air, sungai, muara) menuju laut. Air bersih
penting bagi kehidupan manusia. Di banyak tempat di dunia terjadi
kekurangan persediaan air. Selain di bumi, sejumlah besar air juga
diperkirakan terdapat pada kutub utara dan selatan planet Mars, serta
pada bulan-bulan Europa dan Enceladus. Air dapat berwujud padatan
(es), cairan (air) dan gas (uap air). Air merupakan satu-satunya zat
yang secara alami terdapat di permukaan bumi dalam ketiga wujudnya
tersebut. Pengelolaan sumber daya air yang kurang baik dapat
menyebakan kekurangan air, monopolisasi serta privatisasi dan bahkan
menyulut konflik. Indonesia telah memiliki undang-undang yang

mengatur sumber daya air sejak tahun 2004, yakni Undang Undang
nomor 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air.
Air merupakan sumber alam yang sangat penting di dunia,
karena tanpa air kehidupan tidak dapat berlangsung. Air sering disebut
sebagai pelarut universal karena air melarutkan banyak zat kimia. Air
berada dalam kesetimbangan dinamis antara fase cair dan padat di
bawah tekanan dan temperatur standar. Dalam bentuk ion, air dapat
dideskripsikan sebagai sebuah ion hidrogen (H+) yang berasosiasi
(berikatan) dengan sebuah ion hidroksida (OH-).
1.2.3.1 Karakteristik Air
Air di alam = H2O + X
X berupa:
a. Faktor non biologis (organik, anorganik).
b. Faktor biologis (mikroba, protozoa, hewan kecil).
Besarnya X dapat menunjukkan tingkat pencemaran air, perlu
analisa untuk menentukan karakter air.
A. Karakter fisik
1. Temperatur/suhu, berpengaruh terhadap reaksi kimia,
reduksi kelarutan gas.
2. Rasa dan bau, diakibatkan oleh senyawa-senyawa lain
dalam air seperti gas H2S , NH3, senyawa fenol, dll.
3. Warna : air yang murni tidak berwarna, bening dan
jernih, adanya warna pada air menunjukkan adanya
senyawa lain yang masuk ke dalam air.
4. Turbiditas/kekeruhan, karena adanya bahan dalam
bentuk koloid dari partikel yang kecil, dan atau adanya
pertumbuhan mikroorganisma.
5. Solid, disebabkan oleh senyawa organik maupun
anorganik dalm bentuk suspensi (larut). Jumlah total
kandungan bahan terlarut = TDS (Total dissolve solid),

sedangkan bahan yang tidak terlarut (terpisah dengan


filtrasi atau sentrifugasi) = Suspended Solid (SS).
B. Karakteristik kimia
1. pH
Pembatasan

pH

dilakukan

karena

akan

mempengaruhi rasa, korosifitas air dan efisien


klorinasi. Beberapa senyawa asam dan basa lebih
toksid dalam bentuk molekular, dimana disosiasi
senyawa asam dan basa lebih toksid dalam bentuk
molekular dan disosiasi tersebut dipengaruhi oleh pH.
2. DO (dissolved oxygent)
DO adalah jumlah oksigen terlarut dalam air
yang berasal dari fotosintesa dan absorbsi atmosfer.
Semakin banyaj jumlah DO maka kualitas air semakin
baik.
3. BOD (biological oxygent demand)
BOD

adalah

banyaknya

oksigen

yang

dibutuhkan oleh mikroorganisme untuk menguraikan


bahan bahan organik (zat pencemar) yang terdapat di
dalam air buangan secara biologi.
4. COD (chemical oxygent demand)
COD

adalah

banyaknya

oksigen

yang

dibutuhkan untuk mengoksidasi bahan bahan organik


secara kimia.
5. Kesadahan
Kesadahan air adalah kandungan mineral
mineral tertentu di dalam air, umumnya ion kalsium
(Ca) dan ion magnesium (Mg) dalam bentuk karbonat.
6. Senyawa senyawa kimia yang beracun

Kehadiran unsur arsen (As) pada dosis yang


rendah sudah merupakan racun terhadap manusia
sehingga perlu pembatasan yang ketat. Kehadiran besi
(Fe) dalam air bersih akan menyebabkan timbulnya
rasa dan bau ligam yang menimbulkan warna koloid
merah (karat) akibat oksidasi oleh oksigen terlarut
yang dapat menjadi racun bagi manusia.
C. Karakteristik Biologi:
Organisme yang ditemukan dalam perairan: bakteri,
virus,algae, jamur, mikroinvertebrata (protozoa, serangga,
cacing, dll). Karakteristik biologi ditentukan dengan
parameter yang disebut indeks biotik. Indeks ini
menunjukkan ada tidaknya organisme.
1.2.3.2 Jenis-jenis Air
1. Hard water (air kesadahan tinggi)
Adalah air yang mengandung garam kapur secara
berlebihan, yaitu kalsium karbonat, kalsium sulfat, dan
magnesium, sodium, besi, tembaga, silikon, nitrat, chlorida,
virus, bakteri, zat2 kimia dan berbagai mineral anorganik
lainnya.
2. Soft water (air kesadahan rendah)
Contohnya air sungai, air danau, air mata air
pegungungan, dan air dari beberapa tempat.
3. Raw water (air mentah)
Adalah jenis air yang belum mendapat penanganan
tertentu, air tersebut dapat berupa hard water maupun soft
water. contoh hard water adlaah air kapur, contoh soft water
adalah air hujan. air mentah mengandung jutaan virus dan

bakter dalam satu tetes saja. Beberapa ahli kesehatan


menyarankan untuk memasak air yang akan kita konsumsi.
pendidihan air tidak menghilangkan mineral anorganik,
meskipun air tersebut dapat membunuh bakteri dalam air
mentah.
4. Rain water (air hujan)
Rain Water memang sudah disuling oleh panasnya
matahari sehingga tidak mengandung mineral dan juga
tidak mengandung kuman, namun pada waktu terjadinya
kondensasi (pengembunan) dari awan menjadi hujan, titik
air tersebut melewati udara yang mengandung bakteri,
debu, asap, bahan-bahan kimia, lumpur, dan bahan-bahan
mematikan.

5. Snow water (air salju)


Air salju merupakan salju yang mencair yang juga
membawa
mengadnung

bahan-bahan
radioaktif

kimia
seperti

dan

bahkan

strontium

90.

dapat
salju

merupakan air hujan yang membeku.


6. Filtered water (air saringan)
Air saringan adalah air yang dilewatkan melalui saringan
sangat halus, yang diaktifkan dengan karbon atau dengan
penghilang mekanik lainnya. pemakaian air saringan masih
cukup populer saat ini,m beberapa orang mengira air yang
dilewatkan melalui suatu filter telah menjadi murni, namun
tidak ada suatu filter yang dapat mencegah bakteri atau
virus lolos dari jaringan-jaringan halusnya.
7. Deionized water (air deionisasi)
Air deionisasi dapat menghilangkan mineral secara
efektif dan menyaingi air suling dalam hal ini. Namun

demikian air itu berubah menjadi media pengembangan


untuk bakteri, zat-zat renik dan virus. kesalahan alat ini
terletak pada hamparan damarnya yang justru menjadi
media pembenihan. disamping itu air ini tidak dapat
menghilangkan bahan kimia sintetis seperti herbisida,
pestisida, dan insektisida.
8. Distiled water (air suling)
Air suling adalah air yang diubah menjadi uap (dengan
pemanasan) sehingga semua yang tidak murni ditinggalkan,
kemudian dengan proses kondensasi (pengembunan)
dikembalikan menjadi air murni.

1.2.4 Alkalinity
1.2.4.1. Pengertian Alkalinity
Alkaliniti adalah kapasitas air untuk menetralkan
tambahan asam tanpa penurunan nilai pH larutan. Sama halnya
dengan larutan bufer, alkaliniti merupakan pertahanan air
terhadap pengasaman. Alkaliniti adalah hasil reaksi-reaksi
terpisah dalam larutan hingga merupakan sebuah analisa
makro yang menggabungkan beberapa reaksi. Alkaliniti
dalam air disebabkan oleh ion-ion karbonat (CO32- ), bikarbonat
(HCO3- ), hidroksida (OH-) dan juga borat (BO33-), fosfat
(PO43-),

silikat dan sebagainya.

Air yang sangat alkali atau bersifat basa sering


mempunyai pH tinggi dan umumnya mengandung padatan
terlarut yang tinggi. Sifat-sifat ini dapat menurunkan
kegunaannya untuk keperluan dalam tangki uap, prosesing

makanan dan system saluran air dalam kota. Alkalinitas


memegang peranan penting dalam penentuan kemampuan air
untuk mendukung pertumbuhan ganggang dan kehidupan
perairan lainnya. Pada umumnya, komponen utama yang
memegang peran dalam menentukan alkalinitas perairan adalah
ion bikarbonat, ion karbonat dan ion hidroksil.

1.2.4.2. Jenis-Jenis Alkalinity


1.

Alkalinity karbonat

2.

Alkalinity total

1.2.5 Asidimetri
1.2.5.1. Pengertian Asidimetri
Asidimetri adalah pengukuran konsentrasi asam dengan
menggunakan larutan baku basa, sedangkan alkalimeteri adalah
pengukuran konsentrasi basa dengan menggunakan larutan
baku asam. Oleh sebab itu, keduanya disebut juga sebagai
titrasi asam-basa.
Titrasi adalah proses mengukur volume larutan yang
terdapat dalam buret yang ditambahkan ke dalam larutan lain
yang diketahui volumenya sampai terjadi reaksi sempurna.
Atau dengan perkataan lain untuk mengukur volume titran
yang diperlukan untuk mencapai titik ekivalen. Titik ekivalen
adalah saat yang menunjukkan bahwa ekivalen perekasipereaksi sama. Di dalam prakteknya titik ekivalen sukar
diamati, karena hanya meruapakan titik akhir teoritis atau titik

akhir stoikometri. Hal ini diatasi dengan pemberian indikator


asam-basa yang membantu sehingga titik akhir titrasi dapat
diketahui. Titik akhir titrasi meruapakan keadaan di mana
penambahan satu tetes zat penitrasi (titran) akan menyebabkan
perubahan warna indikator. Kadua cara di atas termasuk
analisis titrimetri atau volumetrik. Selama bertahun-tahun
istilah analisis volumetrik lebih sering digunakan dari pada
titrimetrik. Akan tetatpi, dilihat dari segi yang yang keta,
titrimetrik lebih baik, karena pengukuran volume tidak perlu
dibatasi oleh titrasi.

1.2.5.2. Indikator dan Penggunaannya


Beberapa pengertian indikator, antara lain :
1.

Teori Oswald
Indikator adalah zat-zat warna yang bersifat sebagai
asam lemah atau basa lemah

yang warna molekulnya

sebelum berdissosiasi berlainan dengan warna ionnya yang


terjadi sesudah berdissosiasi.
2.

Teori Chromophore
Indikator adalah suatu persenyawaan organik yang
warnanya tidak bergantung pada struktur molekulnya dan
perubahan. Adapun penggunaan indikator yaitu sebagai
penunjuk untuk mngetahui titik akhir titrasi dalam titrasi
asam

basa

dengan

adanya

perubahan

warna

terbentuknya endapan
Tabel 2. Jenis-jenis Indikator dan Penggunaannya

atau

1
2

Nama

Rentang

Warna

Kuning metil
Dinitrofenol

pH
23
2,4 4,0

asam
Merah
Tidak

Kuning
Kuning
Biru
Merah
Ungu
Jingga

3
4
5
6

Jingga metil
Merah metil
Lakmus
Fenolftalein

3 4,5
4,4 6,6
68
8 10

berwarna
Merah
Merah
Merah
Tidak

7
8

Timolftalein
Trinitrobenzena

10 12
12 -13

berwarna
Kuning
Tidak

Warna basa

BAB II
Kuning
Kuning

DAN

berwarna

BAHAN
2.1. Alat
Adapun alat alat yang digunakan pada praktikum ini adalah :

2.2.

1. Buret 50 ml
2. Statif

1 buah
1 buah

3. Beaker glass 200 ml

1 buah

4. Beaker glass 1000 ml

1 buah

5. Bola karet

1 buah

6. Erlenmeyer 100 ml

7 buah

7. Corong

1 buah

8. Pipet tetes

2 buah

9. Pipet volume 25 ml

1 buah

10. Labu ukur 50 ml

1 buah

11. Labu ukur 200 ml

1 buah

Bahan
Adapun bahan bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah :
1. Larutan H2SO4 0,02 N
2. Indikator PP
3. Indikator MO

ALAT

4. Air kemasan merek Ades


5. Air kemasan merek Cleo
6. Air kemasan merek air sumur

BAB III
PROSEDUR KERJA
3.1. Prosedur Kerja P Alkalinity
a. Dipipet sampel sebanyak 25 ml, kemudian dituang kedalam erlenmeyer
100 ml.
b. Ditambahkan indikator PP sebanyak 4 tetes dan diaduk.
c. Jika terjadi perubahan warna dititrasi dengan H 2SO4 0,02 N sampai hilang
warnanya dan dicatat volume H2SO4 0,02 N yang terpakai. Tetapi jika
tidak terjadi perubahan warna, berarti P alkalinity = 0.
3.2. Prosedur Kerja M Alkalinity
a. Dipipet sampel sebanyak 25 ml, kemudian dituang kedalam erlenmeyer
100 ml.
b. Ditambahkan indikator MO sebanyak 4 tetes dan diaduk.
c. Sampel akan berubah menjadi warna kuning, kemudian sampel dititrasi
dengan H2SO4 0,02 N sampai berwarna orange dan dicatat volume H 2SO4
0,02 N yang terpakai.

BAB IV
GAMBAR RANGKAIAN
4.1. Gambar Rangkaian Percobaan P Alkalinity
1. Sampel-sampel yang digunakan

2. Setiap sampel dimasukkan ke dalam erlemeyer sebanyak 25ml

3. Setiap sampel di tetesi indikator PP sebanyak 3 tetes

4. Tidak terjadi perubahan warna pada setiap sampel setelah pemberian


indikator PP

4.2. Gambar Rangkaian Percobaan M Alkalinity


1. Sampel-sampel yang digunakan

2. Setiap sampel dimasukkan ke dalam erlemeyer sebanyak 25 ml

3. Setiap sampel ditambahkan indikator MO 4 tetes

4. Apabila sampel berubah warna, maka di titrasi dengan H2SO4 0,02N

5. Setiap sampel di titrasi sampai warna orange

BAB V
DATA PENGAMATAN
Untuk P Alkalinity
No

Sampel

Volume

Indikator PP

Volume

Sampel

(tetes)

Titrasi

Warna

(ml)

1
2
4

Ades

(ml)

25

Cleo

25

Air sumur

25

Sebelum

Sesudah

Titrasi

Titrasi

Tidak

Tidak

berwarna

berwarna

Tidak

Tidak

berwarna

berwarna

Tidak

Tidak

berwarna

berwarna

Untuk M Alkalinity
No

Sampel

Volume

Indikator PP

Volume

Sampel
(ml)

(tetes)

Titrasi
(ml)

Warna
Sebelum

Sesudah

Titrasi

Titrasi

Ades

25

0.2

Kuning

Orange

Cleo

25

0,3

Kuning

Orange

Air sumur

25

3.8

Kuning

Orange

BAB VI
PENGOLAHAN DATA
6.1. Perhitungan P Alkalinity
1. P Alkalinity untuk air Ades
Tidak terjadi perubahan warna sehingga P Alkalinity sama dengan nol.
2. P Alkalinity untuk air Cleo
Tidak terjadi perubahan warna sehingga P Alkalinity sama dengan nol.
3. P Alkalinity untuk air sumur

Tidak terjadi perubahan warna sehingga P Alkalinity sama dengan nol.

6.2. Perhitungan M Alkalinity


1. M Alkalinity untuk air Ades

2. M Alkalinity untuk air Cleo

3. M Alkalinity untuk Indomaret

6.3. Reaksi
1.

Dengan Indikator PP
OH

H2O +
air

C
O

OH

C
O
(Phenolphtalein )
Tidak berwarna

OH

H2O+ +

air

OH
C OO
(phenolphtalein )tidak berwarna

2. Dengan Indikator MO

H
H2O + Na+ -O3S

NN=

N(CH3)2
Air
Na+-O3S

Metil orange ( kuning )


N=N

N (CH3)2 +
Orange

H2O+
air

BAB VII
KESIMPULAN
7.1. Kesimpulan
Dari praktikum yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa :
1. P Alkalinity untuk sampel air Ades, air Cleo, dan air sumur adalah sama
2.

dengan nol.
M Alkalinity untuk

sampel air Ades adalah 0,16 ppm, untuk

sampel Indomaret adalah 0,24 ppm dan Anda adalah 3,04 ppm.
3. Alkalinity dipengaruhi oleh jenis air, kandungan air, temperatur dan
konsentrasi.
7.2. Saran
1. Sebaiknya sebelum memulai praktek, bahan bahan yang akan digunakan
dipersiapkan terlebih dahulu agar praktek berjalan dengan lancar.
2. Praktikan hendaknya lebih berhati hati dan teliti pada saat melakukan
praktikum.

DAFTAR PUSTAKA
Arsyad, S. 2000. Konservasi Tanah dan Air. Bogor: Serial Pustaka IPB Press
Cynthia Henny. 2010. Pengolahan Air Asam Tambang Menggunakan Sistem
Passive Treatment. Pusat Penelitian Limnologi-LIPI: Jakarta

Karmono dan Joko Cahyono. 1978. Pengantar Penentuan Kualitas Air. Fakultas
Geografi . Universitas Gajah Mada : Yogyakarta
Keenan, C. W, dkk. Kimia untuk Universitas. Jakarta: Erlangga, 1998.
Purnama, I. 2000. Bahan Ajar Geohidrologi. Yogyakarta : Fakultas Geografi,
Universitas Gadjah Mada

LAMPIRAN

Karakteristik Air

Sumber : Pengantar Pengolahan Air, TL 4001 Rekayasa Lingkungan 2009


Program Studi Teknik Lingkungan ITB.

Das könnte Ihnen auch gefallen