Sie sind auf Seite 1von 19

BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN

REFERAT BESAR
SEPTEMBER 2015

DIAGNOSA DAN PENATALAKSANAAN


NEKROLISIS EPIDERMAL TOKSIK

DISUSUN OLEH :
Johannes Hendrik Lesbatta
Felmi Violita Ingrad de Lima
Amsal Amson Kdise

(2009-83-015)
(2009-83-018)
(2009-83-044)

PEMBIMBING :
dr.Rahmawati Anwar
SUPERVISOR :
Dr. Siti Nur Rahma, Sp.KK

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2015

NEKROLISIS EPIDERMAL TOKSIK

I.

PENDAHULUAN
Nekrolisis epidermal toksik (NET) umumnya merupakan penyakit yang

berat, lebih berat daripada sindrom Stevens Johnson (SSJ), sehingga jika
pengobatannya tidak cepat dan tepat sering menyebabkan kematian yang
dihubungkan denan penggunaan obat. Nekrolisis epidermal toksik (NET)
merupakan reaksi mukokutaneous khas onset akut dan berpotensi mematikan
yang ditandai dengan nekrosis yang luas dan terlepasnya epidermis. Baik NET dan
SSJ memiliki karakteristik yang sama, karena kesamaannya akan gejala,
pemeriksaan histopatologi, faktor risiko, patomekanisme maka dapat digunakan
istilah Nekrolisis Epidermal (NE) untuk sebutan keduanya. Etiologi NET sama
dengan Sindrom Steven Johnson. Penyebab utama juga alergi obat yang
berjumlah 80 - 95% dari semua pasien. Secara definisi diagnosis net merupakan
adanya kerusakan kulit lebih dari 30% dari luas permukaan tubuh.(1,2,3,4)
Walaupun patomekanisme penyakit belum diketahui secara terperinci
mengenai tahapan reaksi imunitas seluler dan humoralnya, namun beberapa
penelitian oleh para ahli telah memberikan petunjuk yang baik mengenai proses
reaksi imunitasnya. Pola reaksi imun pada lesi awal menunjukkan adanya reaksi
imun sitotoksik terhadap keratinosit, yang menyebabkan apoptosis yang masif.
Studi imunopatologi menunjukkan terdapatnya Natural Killer Cell (NK-Cell), dan
CD8 T Lymphocyte yang spesifik terhadap suatu obat, serta makrofag, dan
granulosit. Selain sel radang, terdapat pula peningkatan sitokin sel proinflamatorik

yang dikeluarkan oleh sel imun berupa TNF-, Fas-L, IL-5, granulysin, granzyme,
dan perforin. Kombinasi dua komponen ini mendestruksikan keratinosit di
epidermis.(2)
Penyakit mulai secara akut dengan gejala prodromal. Pasien tampak sakit
berat dengan demam tinggi, kesadaran menurun (soporokomatosa). Kelainan kulit
mulai dengan eritema generalisata kemudian timbul banyak vesikel dan bula,
dapat pula disertai purpura. Lesi pada kulit dapat disertai lesi pada bibir dan
selaput lendir mulut berupa erosi, ekskoriasi dan perdarahan sehingga terbentuk
krusta berwarna merah hitam pada bibir. Kelainan semacam itu dapat pula terjadi
di orifisium genitalia eksterna. Juga dapat disertai kelainan pada mata seperti pada
SSJ. (1)
NET mirip SSJ, perbedaannya adalah pada SSJ tidak terdapat epidermolisis
seperti pada NET. Keadaan umum pada NET lebih buruk pada SSJ. (1) Diagnosis
banding lain dari NET adalah eritema multiforme. (2) Harus pula dibedakan dengan
penyakit staphylococcus scalded skin syndrome (SSSS). Gambaran klinis sangat
mirip karena pada SSSS juga terdapat epidermolisis, tetapi selaput lendir jarang
dikenai. (1,5)
Penatalaksanaan dari NET yaitu penghentian segera obat yang tersangka
menyebabkan alergi. Pengobatan lainnya dengan kortikosteroid, dan adapula
dengan hanya mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit.(1)
Komplikasi dari NET pada ginjal berupa nekrosis tubular akut akibat
terjadinya ketidakseimbangan cairan bersama-sama dengan glomerulonefritis.
Komplikasi yang lain seperti pada SSJ. (1)
II. EPIDEMIOLOGI
NET merupakan penyakit yang jarang ditemukan. Ten lebih banyak
ditemukan pada wanita dari pada pria dengan rasio 1,5:1, dapat terjadi pada semua

usia dengan angka kejadiaannya meningkat sesuai dengan usia.2,4 kelompok


pasien yang beresiko menderita NET mrupakan passien dengan penurunan sistem
imun seperti pada pasien dengan AIDS, lipoma serta pasien dengan keganasan
yang sering mendapatkan pengobatan reradioterapi dan antiepileptik. Angka
kematian yang berhubungan dengan kejadiab NET sekitar 20% 25%. Usia
lanjut, penyakit penyerta serta luasnya keterlibatan kulit berhibungan dengan
proknosis yang buruk. (2,5)
III. ETIOLOGI
Walupun etiologi dari NET belum diketahui secara jelas , namun obatobatan dan reaksi hipersensitivitas masih merupakan etiologi yang penting pada
kejadian NET. Sekitar 75% kasus NET diidentifikasi sebagai akibat dari
pemakaian obat, dan 25% sisanya masih belum dapat diketahui. Pada sebagian
besar kasus, allopurinol merupakan penyebab yang paling umum dari SSJ / NET
di Eropa dan Israel, dan kebanyakan pada pasien yang menerima dosis harian
lebih kurang 200 mg. Beberapa kasus diantaranya mungkin disebabkan oleh
infeks. (2,4,5).
Lebih dari 100 obat telah diidemtifikasi dapat penyebabkan NET. Obatobatan yang paling sering menyebabkan NET ialah antibiotik, NSAID dan anti
konfulsan. Rincian obat yang dapat menimbulkan NET dapat dilihat pada tabel 1.
(2,5)

Tabel 1. Pengobatan dan risiko dari Nekrolisis Epidermal. (2)


Risiko tinggi
Risiko rendah
Risiko sedang
Allopurinol
Acetic acid
Paracetamol
Sulfamethoxazole NSAIDs (cth:
(acetaminophen)
Sulfadiazine
diclofenac)
Pyrazolone
Sulfapyridine
Aminopenicilins
analgesics
Sulfadoxine
Cephalosporins
Corticosteroids
Sulfasalazine
Quinolones
Yang lainnya
Carbamazepine
Cyclines
NSAIDs (kecuali

Tidak ada risiko


Aspirin
Sulfonylurea
Thiazide diuretics
Furosemide
Aldactone
Calsium Channel Blocker
blockers

Lamotrigine
Phenobarbital
Phenytoin
Phenylbutazone
Nevirapine
Oxicam NSAIDs

IV.

Macrolides

aspirin)
Sertraline

ACE inhibitors
Angiotensin II
reseptorantagonists
Statins
Hormon
Vitamin

PATOFISIOLOGI
Beberapa kajian memberikan petunjuk penting pada patogenesis NET yang

mana patogenesisnya masih belum dipahami secara menyeluruh. Pola imunologi


pada lesi awal memberi kesan reaksi sitotoksik yang diperantarai sel terhadap
keratinosit menimbulkan terjadinya apoptosis masif. Kajian immunopatologis
menunjukkan adanya limfosit T CD8+ dalam epidermis dan dermis dalam reaksi
bula lebih lanjut, dengan beberapa sel Natural Killer (NK) yang khas pada fase
awal NET, manakala sel monosit lebih banyak pada fase lanjut. Sel T sitotoksik
CD8+ ini menggambarkan sel reseptor - dan mampu membunuh melalui
perforin dan granzyme B tetapi tidak melalui Fas atau Trail. (2,6)
Kini, dapat dibuktikan dengan lebih baik bahwa ekspansi oligoklonal CD+8
sesuai dengan spesifistas obat tersebut, pembatasan Major histocompatibility
complex (MHC) sitotoksisitas terhadap keratinosit. Lebih jauh lagi, regulasi sel T
CD+4 CD+25 telah menunjukkan potensi yang penting untuk mencegah kerusakan
epidermis yang parah yang dipicu oleh limfosit T sitotoksik reaktif. Sitokin yang
penting seperti interleukin-6, TNF- dan FasL juga ada pada lesi kulit dari pasien
nekrosis epidermal. Viard et al. menduga bahwa apoptosis keratinosit pada lesi
kulit berhubungan dengan peningkatan ekspansi dari Fas pada membrannya dan di
blok oleh Human Immunoglobulin konsentrasi tinggi yang mengganggu interaksi
4

dari Fas dan Fas Ligand TNF mungkin juga penting, molekul ini ada pada lesi
epidermis, di cairan pada lepuhan dan sel mononuklear perifer serta makrofag.
Asetilasi yang lambat juga ditemukan pada pasien dengan NET yang dipicu oleh
sulfonamid, di mana diperkirakan terjadi peningkatan dari produksi metabolit
reaktif. (2,6)
V. DIAGNOSIS
1. Anamnesis
Nekrolisis epidermal klinis dimulai dalam waktu 8 minggu (biasanya 4
sampai 30 hari) setelah timbulnya paparan obat untuk pertama kali. Hanya dalam
kasus yang sangat jarang terjadi reaksi dengan obat yang sama terlihat lebih
cepat, dalam beberapa jam. Gejala tidak spesifik seperti demam, sakit kepala,
rhinitis, batuk, atau malaise mungkin mendahului lesi mukokutan oleh 1 sampai 3
hari. Nyeri saat menelan dan rasa terbakar atau rasa pedih mata semakin
meningkat menunjukkan keterlibatan membran mukosa. Sekitar sepertiga dari
kasus dimulai dengan gejala nonspesifik, sepertiga dengan gejala keterlibatan
membran mukosa, dan sepertiga dengan eksantema. (2)
2. Gejala Klinis
Diagnosis bergantung pada gejala klinis dan pada gambaran histologis.
Tanda-tanda klinis yang khas pada awalnya meliputi area eritematosa dan makula
pucat pada kulit. Gejala awal dari nekrolisis epidermal toksik (NET) dan Sindrom
Stevens Johnson (SSJ) mungkin tidak spesifik dan meliputi gejala seperti demam,
mata pedih dan ketidaknyamanan saat menelan. Biasanya,gejala ini mendahului
manifestasi pada kulit dalam beberapa hari. Awalnya daerah kulit yang terpapar
adalah wilayah presternal dari trunkus dan wajah, dan juga telapak tangan dan
kaki. Keterlibatan (eritema dan erosi) dari bukal, alat kelamin dan / atau mukosa

okular terjadi pada lebih dari 90% pasien, dan dalam beberapa kasus saluran
pernapasan dan traktus gastrointestinalis juga terlibat.(2,3)
Biasanya, bagian distal lengan serta kaki relatif terhindar, tetapi lesi dengan
cepat dapat meluas ke seluruh tubuh dalam beberapa hari dan bahkan dalam
beberapa jam. Lesi kulit awal ditandai dengan eritematosa, berwarna merah gelap,
makula purpura, berbentuk iregular, yang semakin lama semakin menyatu. Lesi
target atipikal dengan bagian tengah yang gelap sering diamati. Penyatuan lesi
nekrotik menyebabkan eritema meluas dan menyebar.(2)
Tanda Nikolsky, atau terlepasnya epidermis dengan tekanan lateral, positif
pada zona eritematosa. Pada tahap ini, lesi menjadi lembek, yang menyebar
dengan tekanan dan mudah pecah. Epidermis yang menjadi nekrosis mudah
terlepas pada titik tekanan atau pada trauma geseran menampakkan area terbuka
yang luas, merah, kadang-kadang menjalar ke dermis. Pada area yang lain, masih
terdapat epidermis.(1,2)
Gambar 1: Tanda Nikolsky pada kulit(2)

Pasien diklasifikasikan dalam satu dari tiga kelompok berdasarkan area total
di mana epidermis dapat terlepas (detachable). Nikolski positif:

1.
2.
3.

Sindrom Steven-Johnson < 10% BSA


Sindrom Steven-Johnson / NET overlap : 10 30 % BSA
NET > 30 % BSA.(2,6,7)

Sangat membantu untuk mengingat bahwa permukaan untuk satu telapak


tangan dan jari-jari mewakili kurang dari 1 % BSA.(2)

Gambar

2:
awal
erite

Erupsi
. Makula
matosa
merah

kehitaman (lesi target atipikal yang datar) yang semakin menyatu dan
menunjukkan perlepasan epidermal.(2)

Gambar 3: Erupsi pada fase lebih lanjut. Lepuhan dan pelepasan epidermal memicu erosi
luas yang menyatu(2)

Gambar 4: Nekrosis epidermal lengkap ditandai dengan area erosi yang luas
mengingatkan gambaran kulit yang tersiram air panas (2)

Keterlibatan membran mukosa (hampir selalu di setidaknya dua daerah)


diamati pada sekitar 90% kasus dan dapat didahului erupsi kulit. Ini dimulai
dengan eritema diikuti oleh erosi yang menyakitkan di bagian oral, mata, dan
mukosa genital. Hal ini biasanya menyebabkan fotofobia, konjungtivitis dan nyeri
saat berkemih. Rongga mulut dan perbatasan vermilion bibir yang hampir selalu
terpengaruh dan erosi hemoragik menyakitkan dilapisi oleh pseudomembrane
putih keabu-abuan dan remah dari bibir. Sekitar 80% dari pasien memiliki lesi
konjungtiva, terutama disertai dengan nyeri, fotofobia, lakrimasi, dan kemerahan.
Bentuk parah dapat menyebabkan cacat epitel ulserasi kornea, uveitis anterior, dan
konjungtivitis purulen. Sinekia antara kelopak mata dan konjungtiva sering
terjadi. Mungkin ada penumpahan bulu mata. Erosi genital sering, sering
diabaikan pada wanita, dan dapat menyebabkan sinekia.(2)

3. Gambaran histologi
Pengambilan

biopsi

kulit

untuk

pemeriksaan

histologis

dan

immunofluoresens harus rutin dilakukan dalam setiap kasus epidermal nekrolisis


yang bahkan walaupun secara klinis sudah jelas diagnosanya, karena probabilitas
tinggi untuk melakukan penanganan yang tepat sesuai prosedur, dan karena itu
adalah satu-satunya cara untuk mengeliminasi diagnosis banding yang lain. (2)
Pada tahap awal, kerusakan epidermal ditandai dengan keratinosit yang
mengalami apoptosis di lapisan suprabasal, yang dengan cepat berkembang
menjadi EN yang meluas dan sampai sub-epidermal. Ditemukan pula sel
mononuklear yang cukup padat pada papila dermis, yang kebanyakannya adalah
limfosit dan makrofag. Di antara populasi sel T, dapat ditemukan limfosit CD8+

dengan gambaran fenotipik sel sitotoksik, yang terlihat seperti reaksi mediasi sel
imunologi. Gambaran eosinofil jarang ditemukan pada pasien dengan EN yang
berat. Gambaran imunofloresens tidak dapat ditemukan secara langsung. (2)

Gambar 5: Gambaran histologis NET. A. eosinofil yang mengalami nekrosis pada lapisan
epidermis pada tahap akhir, dengan respon inflamasi yang kecil di dermis. Perhatikan
adanya pembelahan di zona junction. B. epidermis yang nekrotik terlepas sepenuhnya
dari dermis dan terlihat seperti lembaran dilipat.(2)

VI.

DIAGNOSIS BANDING
Beberapa diagnosis banding diantaranya Sindrom Stevens Johnson (SSJ)

dan eritema multiform.


1. Sindrom Stevens Johnson
Sindrom Stevens Johnson (SSJ) pertama kali ditemukan pada tahun 1922
sebagai sindrom mukokutaneus akut pada anak laki laki. Kondisi tersebut
ditandai dengan konjungtivitis purulen berat, stomatitis berat dengan mukosa
nekrosis yang luas, dan makula purpura. SSJ diketahui menjadi penyakit
mukokutaneous yang berat dengan jalan berkepanjangan dan berpotensi
mematikan, banyak terjadi pada kasus memasukkan obat dan harus dibedakan dari

10

eritema multiforme (EM). Pada SJS, keterlibatan epidermis lebih kecil dari 10%,
transisi SJS-TEN antara 10%-30%, sedangkan lesi dikatakan TEN jika >30%
kerusakan epidermis tubuh. (3,5)

Gambar 6: Perbandingan luas lesi pada SSJ dan TEN. (6)

2. Eritema Multiforme
Eritema Multiforme (EM) merupakan erupsi mendadak dan rekuren pada
kulit dan selaput lendir dengan efloresensi yang khas berbentuk iris. Pada kasus
yang berat disertai simtom konstitusi dan lesi viseral. Penyebab belum diketahui
pasti, namun dapat disebabkan oleh alergi obat seperti halnya pada NET. Gejala
khas yang membedakan dengan NET yaitu lesi bentuk iris (target lesion) yang
terdiri dari tiga bagian, yaitu bagian tengah berupa vesikel atau eritema keunguan,
dikelilingi oleh lingkaran konsentris yang pucat, dan kemudian lingkaran yang
merah. (1)

11

Gambar 7: Pasien Eritema Multiforme. (3)

VII. KOMPLIKASI
Komplikasi akut dari NET sama seperti pada luka bakar yang luas. Total
kekurangan cairan bahkan dapat mencapai 3-4 L perhari pada pasien dewasa
dengan NET yang mencapai 50% dari luas permukaan tubuh. Ini menyebabkan
penurunan volume intravaskular dan gagal ginjal secara fungsional. Jika tidak
dikoreksi, hipovolemia dapat menyebabkan perubahan hemodinamik dan gagal
ginjal organik. Pneumonia atau pneumonitis terjadi pada 30% pasien,
dikontribusikan oleh rusaknya cabang trakeobronkial. Sindrom gangguan
pernapasan akut (ARDS) merupakan salah satu komplikasi utama. Anemia atau
leukopenia, disebabkan oleh penipisan selektif CD4 + sel T helper, ini cukup
umum terjadi. Erosi esofagus dan usus, dengan gambaran endoskopi kolitis
ulseratif atau pseudomembran, dapat terjadi; bahkan dapat menyebabkan striktur.
Koagulasi intravaskular juga dapat terjadi.(1,2)

12

Sepsis adalah penyebab kematian yang utama. Erosi luas meningkatkan


risiko infeksi pada pasien oleh bakteri dan jamur yang mengakibatkan komplikasi
paru dan kegagalan multiorgan. Sepsis, terutama disebabkan Staphylococcus
aureus atau Pseudomonas tetapi juga disebabkan oleh organisme Gram-negatif
atau Candida secara bersamaan, mungkin akibat dari infeksi kulit, paru-paru, dan
tempat pemasangan kateter intravena (terutama di pusat). Pasien biasanya demam
dan menggigil, bahkan tanpa adanya infeksi. Hipotermia jarang terjadi dan
biasanya timbul sebagai penanda infeksi berat dan syok septik ireversibel.
Kehilangan protein, dari lesi kulit dan peningkatan katabolisme, bisa mencapai
150-200 g / hari. Penghambatan sekresi insulin dan / atau resistensi insulin pada
jaringan perifer sering terjadi, sehingga kadar glukosa plasma meningkat dan
glikosuria.(2)
VIII. PENATALAKSANAAN
Terapi Umum :
1.
Mengembalikan keseimbangan cairan dan elektrolit dengan pemberian
cairan intravena. Cairan 0,5% NaCl + 20 mEq KCL diberikan sambil
2.

3.

memantau volume urin dalam batas 50-80 ml/jam.


Jika penderita koma, lakukan tindakan darurat terhadap keseimbangan O 2
dan CO2.
Jangan lakukan debridemen pada lesi seperti pada penatalaksanaan luka
bakar, karena dapat mengganggu proses re-epitelisasi. (2)

Terapi Khusus :
1. Sistemik :

13

Kortikosteroid dosis tinggi, dapat digunakan deksametason 40 mg sehari iv


dosis terbagi. (1)
Pengobatan tersering : antibiotik. (1)
Thalidomide (anti TNF-). (2)
High-dose Intravenous Immunoglobulin. (2)
Siklosporin. Penelitian menunjukkan kombinasi siklosporin sebagai
calcineurin inhibitor dan kortikosteroid dosis tinggi, dapat mempercepat

reepitelisasi, dan mengurangi angka kematian. (2)


2. Topikal :

Sebagai pengobatan topikal dapat digunakan sulfadiazin perak (krim


dermazin, silvadene). Perak dimaksudkan sebagai astringen dan mencegah
atau mengobati infeksi oleh kuman Gram negatif, Gram positif dan

Candida., sedangkan sulfa untuk Gram positif. (1)


Untuk lesi mulut dapat diberikan kenalog in orabase dan betadine gargle.
(1)

Untuk bibir yang biasanya kelainannya berupa krusta tebal kehitaman


dapat diberikan emolien misalnya krim urea 10 %. Vesikel dan bula yang

belum pecah diberi bedak salisil 2% (1)


Konjungtivitis diberi salap antibiotik dan kortikosteroid topikal. (2)

PROGNOSIS
Secara umum, jika diagnosis tepat dan penatalaksanaan tepat dan cepat,
maka prognosis cukup memuaskan. Namun, bila terdapat purpura yang luas dan
leukopenia prognosisnya lebih buruk. Pada keadaan umum yang buruk dan
terdapat bronkopneumonia, penyakit ini dapat mendatangkan kematian.(1) Adapun

14

untuk menentukan prognosis EN dapat meggunakan SCORTEN seperti pada tabel


2.
Tabel 2. SCORTEN : sistem penilaian prognosis pada pasien NET
Faktor Prognosis

Nilai

Umur > 40 tahun

HR > 120x/mnt

Kanker/keganasan hematologi

Luas area luka > 10%

Level serum urea > 10 milimikro

Level bikarbonat serum < 20 milimikro

Level serum glukosa > 14 milimikro

SCORTEN

Persentase angka kematian

0-1

3,2

12,1

35,8

58,3

>5

90

Tabel 3 : SCORTEN : Sistem penilaian prognosis pada pasien NET (1)

IX.

KESIMPULAN
Nekrolisis Epidermal Toksik (NET) merupakan penyakit berat yang

ditandai dengan gejala kulit epidermolisis generalisata yang disertai kelainan pada
selaput lendir di orifisium dan mata. 80-95% penyebab utama NET ialah alergi
obat, diantaranya penisilin, paracetamol, karbamazepin serta analgetik/antipiretik
dan kortikosteroid.
Pada lesi awal NET terdapat reaksi imun sitotoksik terhadap keratinosit
yang menyebabkan apoptosis yang masif, berupa Natural Killer Cell (NK-Cell),

15

dan CD8 T Lymphocyte yang spesifik terhadap suatu obat, serta makrofag, dan
granulosit. Sehingga, selain sel radang terdapat pula peningkatan sitokin sel
proinflamatorik yang dikeluarkan oleh sel imun berupa TNF-, Fas-L, IL-5,
granulysin, granzyme, dan perforin. Dimana kombinasi dua komponen ini
mendestruksikan keratinosit di epidermis. Awalnya kelainan kulit dimulai dari
eritema generalisata kemudian timbul banyak vesikel dan bula sampai memecah
menjadi erosi yang luas, dapat pula disertai purpura. Sedangkan lesi pada bibir
dan selaput lendir mulut berupa erosi, ekskoriasi dan perdarahan sehingga
terbentuk krusta berwarna merah hitam pada bibir.
Pada NET dengan menghentikan faktor pencetus atau pemberhentian obat
penyebab alergi dan ditangani dengan cepat dan tepat cukup baik dan memuaskan,
jika tidak disertai dengan kelainan kulit yang meluas juga tidak terdapat purpura
yang luas dan leukopenia.
DAFTAR PUSTAKA
1. Djuanda, Adhi,

dan Mochtar. Eritema Multiform, Sindrom Stevens-

Johnson, Epidermal Toksik Eritomatous In : Adhi Djuanda, dkk. Ilmu


Penyakit Kulit dan Kelamin. 6th edition. Jakarta: Balai Penerbit FKUI;
2013. p.162-168.
2. L. Valeyrie-Allanore, Jean-Claude Roujeau. Erythema Multiforme, Toxic
Epidermal Necrolysis (TEN) and Stevens-Johnson Syndrome. In: Wolff K,
Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ. editors.
Fitzpatricks Dermatology In General Medicine. 8th edition. New York:
McGraw-Hill; 2012. p.642-54

16

3. Blanca R, Alejandro L., Bruce C., Lucila I., Michael J. A Systematic


Review of Treatment of Drug-Induced Stevens Johnson Syndrome and
Toxic Epidermal Necrolysis In Children. J Popul Ther Clin Pharmacol
2011:e121-e133
4. Maja Mockenhaupt. The current understanding of StevensJohnson
syndrome and toxic epidermal necrolysis. Rev. Clin. Immunol. 7(6), 803
815 (2011)
5. Jean L, Joseph L, Ronald P, StevensJohnson Syndrome And Toxic
Epidermal Necrolysis. Bolognia: Dermatology. 2nd edition. USA: Elsevier
Limited; 2008.p.291-9
6. Odom RB, James WD, Berger TG. Atopic Dermatitis, Eczema, and Noninfectious Immunodeficiency Disorders, Andrews Diseases of The Skin,
Clinical Dermatology. 9th ed. Philadelphia: WB Saunders; 2000. p. 123-5.
7. Breathnach SM. Erythema Multiforme, Stevens Johnson Syndrome and
Toxic Epidermal Necrolysis. In: Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths
C, editors. Rook's Textbook of Dermatology. 8th edition. Cambrige; Wiley
Blackwell Publishing Ltd.; 2010. p.76.8-22.
8. Anne Sriram, Kosanam Sreya, and N Prasanthi Lakshmi. Steven Johnson
syndrome and toxiz epidermal necrolysis. International Journal of
Pharmacological Research. 2014:158-162
9. Thomas Harr and Lars E French. Toxic epidermal necrolysis and StevensJohnson syndrome. Orphanet Journal of Rare Diseases. 2010:1-11
10. Jennifer G, Barbara W, Joyce JC. Toxic Epidermal Necrolysis due to
Voriconazole : case report. In Dermatology Online Journal. 20(9). 2014. p.
6

17

18

Das könnte Ihnen auch gefallen