Sie sind auf Seite 1von 13

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
A. Hati
Hati merupakan kelenjar metabolik terbesar dan terpenting dalam tubuh, rata-rata
sekitar 1500 gram atau 2,5 % berat badan pada orang dewasa (Amiruddin, 2009). Hati
mempunyai fungsi yang sangat kompleks dan beragam. Hati penting untuk
mempertahankan hidup dan berperan pada setiap fungsi metabolisme tubuh. Fungsi hati
dibagi menjadi 4 macam (Amiruddin, 2009), yaitu :
A.1 Fungsi Pembentukan dan Eksresi Empedu
Hal ini merupakan fungsi utama hati. Hati mengeksresikan sekitar satu liter
empedu setiap hari kemudian dialirkan melalui saluran empedu, disimpan di
kandung empedu, dan dikeluarkan ke dalam usus halus sesuai kebutuhan (Wilson
dan Lester, 1995). Unsur utama empedu adalah air (97%), elektrolit, garam
empedu

fosfolipid,

kolesterol

dan

pigmen

empedu

(terutama

bilirubin

terkonjugasi). Garam empedu penting untuk pencernaan dan absorpsi lemak dalam
usus halus (Husada, 2009).
A.2 Fungsi Metabolik
Hati memegang peranan penting dalam metabolisme karbohidrat, lemak,
protein, vitamin dan juga memproduksi energi. Hati juga dapat mengubah amonia
menjadi urea, untuk dikeluarkan melalui ginjal dan usus. Metabolisme lemak yang
dilakukan di hati berupa pembentukan lipoprotein, kolesterol, dan fosfolipid juga
mengubah karbohidrat dan protein menjadi lemak (Husada, 2009)
A.3 Fungsi Pertahanan Tubuh
Hati terdiri dari fungsi detoksifikasi dan fungsi proteksi. Fungsi detoksifikasi
dilakukan oleh enzim-enzim hati yang melakukan oksidasi, reduksi, hidrolisis, atau
konjugasi zat yang kemungkinan membahayakan dan mengubahnya menjadi zat
yang secara fisiologis tidak aktif. Fungsi perlindungan dilakukan oleh sel kupfer
yang terdapat di dinding sinusoid hati (Husada, 2009). Sel kupffer mempunyai
fungsi sebagai sistem endothelial, berkemampuan fagositosis yang sangat besar

sehingga mampu membersihkan sampai 99% kuman yang ada dalam vena porta
sebelum darah menyebar melewati seluruh sinusoid. Sel kupffer juga menghasilkan
immunoglobulin dan berbagai macam antibodi yang timbul pada berbagai macam
kelainan hati tertentu (Guyton, 2008)
A.4 Fungsi Vaskular Hati
Pada orang dewasa jumlah aliran darah ke hati diperkirakan mencapai 1500 cc
tiap menit. Hati berfungsi sebagai ruang penampung dan bekerja sebagai filter
karena letaknya antara usus dan sirkulasi umum (Guyton, 2008). Hati terlibat pula
dalam metabolisme zat-zat xenobiotik (senyawa asing bagi tubuh seperti obatobatan, senyawa karsinogen kimia, insektisida, dan lain-lain) dalam tubuh (Wenas,
2009). Senyawa ini mengalami metabolisme di hati melalui hidroksilasi dikatalis
oleh sitokrom P-450 sehingga menjadi metabolit reaktif (Wenas, 2009). Zat yang
dihidroksilasi ini selanjutnya mengalami konjugasi menjadi metabolit polar non
toksik oleh enzim glutation (Murray et al, 2009)
Hepar mampu mensekresikan enzim-enzim transaminase di saat sel-selnya
mengalami gangguan. Kadar transaminase yang tingginya biasanya menunjukkan
kelainan dan nekrosis hati (Husada, 2009). Enzim-enzim tersebut masuk dalam
peredaran darah. Transaminase merupakan indikator yang peka pada kerusakan selsel hati. Enzim-enzim tersebut adalah :
A.4.a Serum Glutamat Oksaloasetat Transaminase (SGOT) / Aspartat
aminotransaminase (AST)
AST adalah enzim mitokondria yang juga ditemukan dalam hati,
jantung, ginjal, dan otak. Bila jaringan tersebut mengalami kerusakan yang
akut, kadarnya dalam serum meningkat. Diduga hal ini disebabkan karena
bebasnya enzim intraseluler dari sel-sel yang rusak ke dalam sirkulasi.
Kadar yang sangat meningkat terdapat pada nekrosis hepatoseluler atau
infark miokard (Akbar, 2009).
AST melakukan reaksi antara asam aspartat dan asam alfaketoglutamat. AST berada dalam sel parenkim hati. AST meningkat pada
kerusakan hati akut, tetapi juga terdapat dalam sel darah merah dan otot
skelet. Oleh karena itu, tidak spesifik untuk hati. AST berfungsi untuk
mengubah aspartat dan -ketoglutarat menjadi oxaloasetat dan glutamat

(Akbar, 2009). Terdapat 2 isoenzim, yaitu AST 1 merupakan isoenzim


sitosol yang terutama berada dalam sel darah merah dan jantung. Kemudian
AST 2 merupakan isoenzim mitokondria yang predominan dalam sel hati.
Kadar normal dalam darah 10-40 IU/liter. Meningkat tajam ketika terjadi
perubahan infark miokardium. (Sacher dan McPerson, 2004)
A.4.b

Serum

Glutamat

Piruvat

Transaminase

(SGPT)

Alanin

aminotransferase (ALT)
Enzim ini mengkatalasis pemindahan satu gugus amino antara lain
alanin dan asam alfa ketoglutarat. Terdapat banyak di hepatosit dan
konsentrasinya relatif rendah di jaringan lain. Kadar normal dalam darah 535 IU/liter dan ALT lebih sensitif dibandingkan AST (Sacher dan
McPerson, 2004).
Kadar SGPT dan SGOT serum meningkat pada hampir semua penyakit
hati. Kadar yang tertinggi ditemukan dalam hubungannya dengan keadaan
yang menyebabkan nekrosis hati yang luas seperti hepatitis virus yang
berat, cedera hati akibat toksin, atau kolaps sirkulasi yang berkepanjangan.
Peningkatan yang lebih rendah ditemukan pada hepatitis akut ringan
demikian pula pada penyakit hati kronik difus maupun lokal (Podolsky dan
Isselbacher, 2011). Kadar mendadak turun pada penyakit akut, menandakan
bahwa sumber enzim yang masih tersisa habis. Kalau kerusakan oleh
radang hati hanya kecil, kadar SGPT lebih dini dan lebih cepat meningkat
dari kadar SGOT (Widmann, 2000).
B. Tes Fungsi Hati
Fungsi hati mengatur begitu banyak metabolit, ada juga test dan tindakan tertentu
yang berkorelasi baik dengan keutuhan struktural dan fungsional dari hati. Test-test itu
diberi nama test fungsi hati (TFH) (Widmann,2000). Penyakit hati yang berbeda akan
menyebabkan kerusakan yang berbeda dan tes fungsi hati dapat menunjukkan perbedaan
ini. Hasil tes fungsi hati dapat memberi gambaran mengenai penyakit apa yang mungkin
menyebabkan kerusakan, tetapi tes ini tidak mampu mendiagnosis akibat penyakit hati,
tetapi tidak memberi gambaran yang tepat. Namun, kecenderungan hasil tes fungsi hati
memberi gambaran mengenai tingkat peradangan (Podolsky dan Isselbacher, 2011)
Pemeriksaan kimia darah digunakan untuk mendeteksi kelainan hati, menentukan
diagnosis, mengetahui berat ringannya penyakit, mengikuti perjalanan pennyakit, dan

penilaian hasil pengobatan. Pengukuran kadar bilirubin serum, aminotransferase, alkali


fosfatase, gamma GT, dan albumin sering disebut sebagai tes fungsi hati atau LFTs. Testes ini dapat dikelompokkan dalam 3 kategori utama (Amirudin, 2009), antara lain :
1) Peningkatan enzim aminotransferase (juga dikenal sebagai transaminase), SGPT
dan SGOT, biasanya mengarahkan pada perlukaan hepatoselular atau inflamasi
2) Keadaan patologis yang mempengaruhi sistem empedu intra dan ekstra hepatis
dapat menyebabkan peningkatan alkali fosfatase dan gamma GT
3) Kelompok ketiga merupakan kelompok yang mewakili fungsi sintesis hati, seperti
produksi albumin, urea, dan faktor pembekuan.
Pada penyakit yang menyebabkan inflamasi seperti hepatitis, kenaikan kembali atau
bertahannya nilai transaminase yang tinggi menunjukkan kelainan yang berlanjut dan
terjadinya nekrosis hati (Akbar, 2009). Hepatits virus dan toksik yang berat dapat
menyebabkan peningkatan sampai 20 kali nilai normal. Berikut ini Tabel 2.3
menunjukkan kriteria hepatotoksisitas menurut Common Toxicity Criteria.
Tabel 2.3 Kriteria hepatoksisitas menurut Common Toxicity Criteria
Grade
0
1
2
SGOT
DBN
>BAN 2,5 x > 2,5-5,0 x >5,0-20,0
BAN
SGPT

DBN

>BAN-2,5

BAN

BAN

x >2,5-5,0

x >5,0-20,0

3
4
x >20,0 x BAN

x >20,0 x BAN

BAN
BAN
BAN
Ket : DBN = Dalam Batas Normal, BAN = Batas Atas Normal (King PD & Perry MC,
2001)
Berikut dapat dilihat karakteristik enzim aminotransferase terkait hati pada tabel 2.4

Tabel 2.4 Karakteristik aminotransferase terkait hati


Karakteristik

Aspartat

Alanin

aminotransferase

(SGPT)

aminotransferase

Terdapat

di

(SGOT)
jaringan Lebih banyak di jantung Konsentrasinya relatif rendah

selain hati

dibandingkan

di

hati, di jaringan lain

juga otot rangka, ginjal,


dan otak
Mitokondria

Lokasi di hepatosit

dan Hanya Sitoplasma

Sitoplasma
Rentang rujukan dalam 5-40 IU/liter

5-35 IU/liter

darah orang dewasa


Waktu paruh dalam darah 12-22 jam
Perubahan
pada Sensitif sedang

35-57 jam
Sangat sensitif

kerusakan

inflamatorik

akut
Perubahan

pada Meningkat

secara Meningkat ringan atau sedang

Neoplasma primer atau bermakna


sekunder
Perubahan pada sirosis
Meningkat sedang
(Sacher dan McPherson, 2004)

Meningkat ringan atau sedang

C. Parasetamol
Asetaminofen atau parasetamol adalah salah satu obat yang terpenting untuk
pengobatan nyeri ringan sampai sedang, bila efek antiinflamasi tidak diperlukan.
(Wilmana, 2007). Asetaminofen adalah metabolit fenasetin yang bertanggung jawab atas
efek analgesiknya. Obat ini adalah penghambat prostaglandin yan lemah pada jaringan
perifer dan tidak mempunyai efek anti-inflamasi yang bermakna (Wilmana, 2007)
C.1 Farmakokinetik
Asetaminofen diberikan per oral. Absorpsi tergantung pada kecepatan
pengosongan lambung, dan kadar pucak di dalam darah biasanya tercapai dalam
waktu 30-60 menit (Rang dan Dale, 2007). Asetaminofen sedikit terikat dengan
protein plasma dan sebagian dimetabolisme oleh enzim mikrosom hati dan diubah
menjadi asetaminofen sulfat dan glukoronida, yang secara farmakologi tidak aktif.
Kurang dari 5% diekskresikan dalam bentuk tidak berubah. Suatu metabolit minor
tetapi sangat aktif (N-asetil-p-benzokuinon), penting pada dosis besar, karena
toksisitasnya terhadap hati dan ginjal. Pada jumlah toksik atau adanya penyakit hati,

waktu paruhnya bisa meningkat dua kali lipat atau lebih. (Goodman dan Gillman,
2012)

Gambar 2.1 Asetaminofen (parasetamol)


C.2 Indikasi
Walaupun efek analgesik dan antipiretiknya setara dengan aspirin, asetaminofen
berbeda karena tidak adanya efek anti-inflamasinya. Obat ini tidak mempengaruhi
kadar asam urat dan tidak mempunyai sifat menghambat trombosit. Obat ini berguna
untuk nyeri ringan sampai nyeri sedang seperti nyeri kepala, mialgia, nyeri pascapersalinan, dan keadaan lain dimana aspirin efektif sebagai analgesik. Asetaminofen
sendiri tidak adequat untuk terapi keadan peradangan seperti artritis rematoid,
walaupun dapat digunakan sebagai analgesik tambahan pada terapi anti-inflamasi.
Untuk analgesia ringan, asetaminofen merupakan obat yang lebih disukai pada
pederita yang alergi dengan aspirin atau jika salisilat tidak dapat ditoleransi. Obat ini
lebih disukai daripada aspirin untuk penderita hemofilia atau dengan riwayat tukak
lambung dan pada penderita yang mendapat bronkospasme yang dicetuskan oleh
oleh aspirin. Tidak seperti aspirin, asetaminofen tidak mengantagonis efek obat
urikosurik; dapat diberikan bersama dengan probenesid pada pengobatan gout. Pada
anak-anak, aspirin lebih disukai pada infeksi virus. (Goodman dan Gillman, 2012)
C.3 Efek samping
Pada dosis terapi, kadang-kadang timbul peningkatan ringan enzim hati tanpa
ikterus; keadan ini reversible bila obat dihentikan. Pada dosis yang lebih besar, dapat
timbul pusing, mudah terangsang, dan disorientasi. Pemakaian 15 g asetaminofen
dapat berakibat fatal; kematian disebabkan oleh hepatotoksisitas yang berat dengan
nekrosis lobulus sentral, kadang-kadang berhubungan dengan nekrosis tubulus ginjal
akut. Gejala dini kerusakan hati meliputi mual, muntah, diare, dan nyeri abdomen.
Pengobatan sangat tidak memuaskan dibandingkan terapi kelebihan dosis aspirin. Di
samping terapi suportif, tindakan yang terbukti menggembirakan adalah sifat

gugusan sulfihidril yang dapat menetralisasi metabolit toksik. Untuk tujuan ini
digunakan asetilsistein. (Goodman dan Gillman, 2012)
C.4 Dosis
Nyeri akut dan demam dapat ditanggulangi dengan 325-500 mg 4 kali sehari dan
untuk anak-anak dalam dosis lebih kecil yang sebanding. Kadar mantap dalam darah
dicapai dalam satu hari. (Katzung, 2010) Parasetamol dapat menimbulkan
hepatotoksisitas pada pemberian dosis tunggal 10-15 gram (200- 250 mg/kg BB).
(Rang dan Dale, 2007)
C.5 Hepatotoksisitas Obat Parasetamol
Hepatotoksisitas disebabkan oleh overdosis pemakaian parasetamol. Akibat efek
ini, parasetamol merupakan obat yang paling sering digunakan untuk bunuh diri
(Rang dan Dale, 2007). Dengan pemakaian dosis toksik parasetamol, enzim akan
sangat jenuh dalam mengkatalisis reaksi konjugasi normal. Enzim P450 akan
mengubah obat menjadi metabolit reaktif N-acetyl-p-benzoquinonone imine
(NAPBQI). Bila jumlah NAPBQI tinggi, maka serangkaian reaksi kovalen dan non
kovalen yang dapat menyebabkan kematian dari sel hepar dapat terjadi. Selain itu,
stres oksidatif akibat deplesi GSH dapat pula menginduksi kematian sel (Rang dan
Dale, 2007).

Berikut penjelasan mekanisme potensial kematian sel hepar dari

metabolisme parasetamol sampai bentuk N-acetyl-p-benzoquinone imine (NAPBQI)


pada gambar 2.1.

Gambar 2.1 Mekanisme potensial kematian sel hepar dari metabolisme parasetamol
sampaibentuk N-acetyl-p-benzoquinone imine (NAPBQI).
D. Aloe Vera
Lidah buaya (Aloe vera) adalah sejenis tumbuhan yang sudah dikenal sejak ribuan
tahun silam dan digunakan sebagai penyembuh luka dan untuk perawatan kulit. Seiring
dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, pemanfaatan tanaman lidah buaya
berkembang sebagai bahan baku industri farmasi dan kosmetika, serta sebagai bahan
makanan dan minuman kesehatan (Bill, 2010)
Tanaman ini termasuk keluarga Lilicaea yang memiliki 4.000 jenis dan terbagi ke
dalam 240 marga dan 12 anak suku. Berikut ini penggolongan klasifikasi lidah buaya.
(Bill, 2010)
Kingdom

: Plantae

Divisi

: Spermatophyta

Subdivisi

: Angiospermae

Kelas

: Monocotyledoneae

Bangsa

: Liliflorae

Suku

: Liliceae

Genus

: Aloe

Spesies

: Aloe Vera

D.1 Jenis
Varietas tanaman lidah buaya mencapai lebih dari 200 jenis dari sekian banyak
varietas tersebut ada 3 jenis lidah buaya yang paling populer dan diperdagangkan
secara komersil untuk bahan baku obat dan industri yang meliputi (Edi, 2002) :
D.1.a Aloe ferox Miller
Bentuk daun agak cekung pada bagian atas, duri tidak hanya terdapat pada
tepi daun, tetapi juga pada bagian bawah dan atas daun. Duri pada bagian atas
lebih sedikit dibandingkan dengan duri bagian daun yang lain. Warna daun
hijau keabu-abuan dan berlapis lilin. Panjang daun mencapai 50-80 cm dan

lebar 10-15 cm. Daging pelepah sangat keras dengan keterbalan 1-2 cm dan
rasanya pahit. (Edi, 2002)
D.1.b Aloe barbadensis Miller
Bentuk daun bagian atas cembung, warna daun hijau tua dan berlapis lilin
yang sangat tebal. Duri hanya terdapat pada tepi daun. Panjang daun bisa
mencapai 60-80 cm, lebar 10-14 cm, dan tebal 2-3 cm. Berat pelepah antara
1,2 1,5 kg per pelepah (Edi, 2002)
D.1.c Aloe chinensis Baker
Bentuk daun agak cekung pada bagian atas, berwarna hijau muda, dan
mempunyai lapisan lilin tipis pada permukaan bawah daun. Lidah buaya jenis
ini mempunyai panjang daun 50-80 cm, lebar 10-14 cm, dan tebal 2-3 cm
dengan berat pelepah mencapai 0,8 1,5 kg per pelepah. Seperti halnya Aloe
barbadensis Miller, Aloe chinensis Baker hanya mempunyai duri pada bagian
tepi daun (Edi, 2002)
D.2 Kandungan lidah buaya
Lidah buaya mengandung air sebanyak 95%. Sisanya berupa bahan aktif (active
ingredients) antara lain minyak esensial, asam amino, mineral, vitamin, enzim, dan
glikoprotein. Berikut tabel 2.5 menunjukkan kandungan kimia lidah buaya dalam
100 gram bahan (Jatnika dan Saptoningsih, 2009).
Tabel 2.5 Kandungan kimia lidah buaya
No.
1.

Komponen
Air

2.

Total Padatan Terlarut

Nilai
95,51%

a. Lemak

0,067%

b. Karbohidrat

0,043%

c. Protein

0,038%

d. Vitamin A

4,59 IU

e. Vitamin C

3,47 Mg

Berikut dapat dilihat tabel 2.6 yang menjelaskan mengenai rincian komposisi bahan
kimia lidah buaya (Aloe vera) disertai dengan manfaatnya

Tabel 2.6 Rincian komposisi bahan kimia lidah buaya (Aloe vera)
Kelas
Anthraquin

Komponen
Aloe-emodin, aloetic-acid,

Kegunaan
Aloin dan emodin memiliki efek

ones/anthro

anthranol, barbaloin,

Aloin dan emodin bertindak

nes

isobarbaloin , emodin,

sebagai analgesik, antibakterial,

ester of cinnamic acid.


Karbohidrat Pure mannan, acetylated mannan,

dan antiviral
Glikoprotein yang memiliki

acetylated glucomannan,

fungsi antialergi, sering disebut

glucogalactomannan, galactan,

alprogen dan komponen anti

galactogalacturan,

inflamasi

arabinogalactan,
galactoglucoarabinomannan,
Chromones

pectic substance, xylan, cellulose


8-C-glusoly-(2'-O-cinnamoly)

Stimulator komponen anti

-7-O-methlyaloediol A,

inflamasi

8-C-glucosyl-(S)-aloesol,
8-C-glucosyl-7-O-methylaloediol
A,
8-C-glucosyl-7-0-methylaloediol,
8-C-glucosyl-noreugenin,
isoaloeresin D, isorabaichromone,
Enzim

neoalosin A
Alkaline phosphatese,

Bradikinin membantu dalam

amylase,bradykinase,

menurunkan inflamasi yang

carboxypeptidase,

berlebihan ketika diaplikasikan

catalase,cyclooxidase,

pada kulit. Enzim yang lainnya

cyclooxygenase,lipase, oxidase,

bertindak sebagai pemecah

phosphoenolpyruvate,

lemak dan lemak dalam tubuh

carboxylase,
Komponen

superoxide dismutase
Calsium,chlorine,

Mereka memiliki fungsi yang

Anorganik

chromium,

esensial dalam menstimulasi

copper,iron,magnesium,

terbentuknya enzim tubuh

manganese,potassium,phosphoros

melalui jalur metabolik yang

berbeda dan beberapa

Komponen

sodium,Zinc
Arachidonic acid,

merupakan antioksidan
Terdiri dari asam salisilat yang

organik dan

Y-linolenic acid,

dapat bertindak sebagai anti

lipid

steroids(campestrol,

inflamasi dan antibakterial.

cholesterol, Bsitosterol),

Lignin merupakan substansi

triglycerides, triterpenoid,

yang dapat mempenetrasi kulit

gibberillin,

dan sering digunakan pada obat

lignins,potassium sorbate,salicylic

topikal. Saponin memiliki

acid,

substansi 3% gel dan memiliki

Protein
Sakarida

uric acid
Lectins, lectin-like substance
Mannose, glucose, L-rhamnose,

efek antiseptik.
Antiinflamasi dan Antioksidan
Mannosa Bertindak sebagai

Vitamin

aldopentose
Vitamin A, B12,C, E,choline and

hepatoprotektor dan antikanker


Vitamin A, C, E merupakan

folic acid

antioksidan dan antioksidan


bertindak menangkal radikal
bebas

(Jatnika dan Saptoningsih, 2009)


D.3 Efek Hepatoprotektor Lidah Buaya
Lidah buaya memiliki kandungan glukomannans, acemannans, mineral,
flavanoid, tannic acid, alprogen yang merupakan antioksidan pencegah terjadinya
kerusakan organ (Moghaddasi et al., 2011). Senyawa flavanoid di dalam lidah
buaya dapat meningkatkan enzim hepatic katalase, superoksida dismutase, dan
glukosa 6 fosfat dehidrogenase (G6PD), serta meningkatkan kembali produksi
hepatic glutation (GSH) yang tereduksi akibat intoksikasi obat-obat yang bersifat
hepatotoksik (Saritha et al., 2010). Antioksidan yang terdapat pada lidah buaya
dapat menstimulasi enzim superoksida dismutase yang berfungsi menginhibisi
enzim hidrogen peroksidase sehingga dapat mengurangi ROS (reactive oksigen
spesies) atau radikal bebas yang dapat merusak sel-sel hepatosit pada organ hepar
(Sarita et al., 2010)
D.3.a Mekanisme perlindungan ekstrak lidah buaya (Aloe vera) terhadap
kerusakan sel hepar akibat paparan parasetamol
Pada kondisi normal, sebagian besar parasetamol dikonjugasikan dengan
sulfat dan glukoronat dan sebagian kecil akan dioksidasi oleh sitokrom

P450 menjadi metabolit reaktif N-asetil-p-benzo-quinon (NAPQI) yang


kemudian oleh glutation hati akan didetosifikasi menjadi konjugat non
toksik yang akan dikeluarkan melelui ginjal (Guyton dan Hall, 2008). Pada
pemberian parasetamol yang besar, jalur sulfat dan glokoronat menjadi
jenuh dan dialihkan ke sitokrom P450 untuk membentuk NAPQI. Jumlah
NAPQI yang besar menyebabkan deplesi glutation dan NAPQI bebas
berikatan dengan protein mitokondria (Goodman dan Gillman, 2012).
Akibatnya akan terjadi kerusakan produksi ATP (energi) yang akan
menyebabkan kerusakan sel yang mengarah pada nekrosis. Selain itu,
disfungsi

mitokondria

akan

menghasilkan

ROS

dan

RNS

yang

mengakibatkan terjadinya stres oksidatif (Sudjarwo, 2004). Stres oksidatif


inilah yang menyebabkan terjadinya hepatotoksisitas. Jenis kerusakan hepar
karena keracunan parasetamol adalah nekrosis sel hati, yang ditandai
dengan pembengkakan sel, kebocoran membran plasma, disintegrasi
nukleus, dan masuknya sel-sel radang (Bayupurnama, 2006).
Lidah buaya (Aloe vera) yang mengandung flavanoid diharapkan
mampu melindungi hepar dari kerusakan akibat paparan parasetamol
dengan cara menaikkan cadangan glutation dan mengurangi kerusakan
oksidatif, sedangkan vitamin C sebagai antioksidan diharapkan dapat
mencegah kondisi stress oksidatif dengan menyumbangkan salah satu
elektronnya kepada radikal bebas ROS dan RNS sehingga kerusakan sel
hepar dapat dikurangi (Sudher et al, 2010).

E. Rattus norvegicus galur Wistar


Tikus putih adalah spesies tikus yang biasanya dibesarkan dan disimpan untuk
penelitian ilmiah. Data Foundation for Biomedical Research (FBR), 95% hewan
laboratorium adalah tikus. Ilmuwan dan Peneliti bergantung pada beberapa alasan
diantaranya tikus putih mudah disimpan dan dipelihara serta bisa beradaptasi dengan baik
dengan lingkungan baru. Tikus putih dapat berkembang biak dengan cepat dan berumur
pendek (2-3 tahun) sehingga beberapa generasi tikus dapat diamati dalam waktu singkat.
Selain itu tikus mudah ditangani oleh peneliti sehingga mudah untuk dilakukan perlakuan
penelitian. Menurut Human Genome Research Institute, Sebagian besar tikus percobaan
medis hampir identik secara genetik, kecuali jenis kelaminnya. Hal ini membantu dalam
menyeragamkan hasil percobaan medis. Berikut merupakan klasifikasi dari tikus putih :

Kingdom

: Animalia

Phylum

: Chordata

Subphylum

: Vertebrata

Class

: Mammalia

Order

: Rodentia

Family

: Muridae

Genus

: Rattus

Species

: Norvegicus

F. Kerangka Konseptual
Ekstrak Aloe
vera
Flavano
id
Menstimula
si Glutation

Parasetamol

Vitamin
C

N-asetil-p-benzo-quinon
(NAPQI) (Radikal Bebas)

Antioksidan

Berikatan dengan
makromolekul hepar

Mencegah Kerusakan Sel


Hepar/Nekrosis

Kerusakan Sel
Hepar

Nekrosis Dapat Dikurangi

Nekrosis

Keterangan :

Sampel yang diberikan perlakuan Parasetamol dan Ekstrak Aloe vera


Sampel yang diberikan perlakuan Parasetamol

Das könnte Ihnen auch gefallen