Beruflich Dokumente
Kultur Dokumente
atresia koane
stenosis supraglotis,glottis dan infraglotis
kista duktus tireoglosus
kista bronkiegen yang besar
Radang
Traumatik
cedera laringotrakeal
intubasi lama: udem/stenosis
dislokasi krikoaritenoid
paralysis n. laringeus rekurens bilateral
hemangioma
Tumor
higroma kistik
papiloma laring rekuren
limfoma
tumor ganas tiroid
Lain-lain
Kelainan Kongenital
Atresia koane
Koane dapat menyumbat total atau sebagian, di satu atau dua sisi, akibat
kegagalan absorpsi membran bukofaringeal. Obstruksi mungkin berupa membran
atau tulang. Gejalanya ialah kesulitan bernapas dan keluar sekret hidung terus
menerus. Diagnosis mudah dibuat dengan timbulnya sianosis pada waktu diam yang
menghilang pada waktu menangis, dan melihat sumbatan di belakang rongga hidung.
Pengobatan dengan pembedahan.
Sindrom Piere Robin
Sindrom ini terdiri dari trias gejala yaitu mikrognasia, celah langit-langit, dan
oleh karena mikrognasia, lidah jatuh ke belakang mengakibatkan obstruksi jalan
napas atas. Kadang sindroma ini disertai defek pada mata.
Selaput (web) glotis dan stenosis glotis
Pita suara terbentuk dari membran horizontal primordial yang terbelah pada
garis tengah. Kegagalan pemisahan mengakibatkan berbagai derajat stenosis glotis,
mulai dari selaput pada komisura anterior sampai atresia total glotis. Biasanya
ditandai suara parau sedangkan pada bayi menifestasinya berupa suara serak dan
menangis tidak keras. Derajat sesak dan disfonia tergantung dari luasnya kelainan.
Pengobatan sementara pada bayi atau anak dengan businasi. Diperlukan
tindakan bedah untuk memisahkan pita suara melalui tirotomi.
Obstruksi di subglotis jarang ditemukan, yaitu berupa penyempitan jalan
napas setinggi rawan krikoid.
Radang
Angina Ludwig
Angina Ludwig ialah selulitis di dasar mulut dan leher akut yang invasif,
menyebabkan udem hebat di leher bagian atas yang dapat menyumbat jalan napas.
Kuman penyebab biasanya streptokokus atau stafilokokus. Infeksi biasanya berasal
dari lesi di mulut seperti abses alveolar gigi atau infeksi sekunder pada karsinoma
dasar mulut. Kelainan ini cepat meluas melalui ruang fasia tertutup dan dapat
menyebabkan udem glotis yang dapat mengancam jiwa karena obstruksi jalan napas.
Karena radang dasar mulut ini lidah terdorong ke palatum dan ke dorsal, ke arah
dinding dorsal faring sehingga menutup jalan napas.
Diagnosis dibuat berdasarkan gejala klinis dan dibantu dengan pemeriksaan
biakan dan uji kepekaan kuman dari nanah.
Bila dapat dibuat diagnosis dini maka pemberian antibiotik kadang-kadang
memberikan hasil yang memuaskan. Bila pembengkakan leher dan dasar mulut tidak
segera berkurang maka dilakukan dekompresi terhadap ruang fasia yang tertutup di
dasar mulut dan leher, selanjutnya dipasang pipa penyalir.
Trauma
Trauma intubasi
Pemasangan pipa endotrakea yang lama dapat menimbulkan udem laring dan
trakea. Keadaan ini baru diketahui bila pipa dicabut karena suara penderita terdengar
parau dan ada kesulitan menelan, gangguan aktivitas laring, dan beberapa derajat
obstruksi pernapasan. Pengobatan dilakukan dengan pemberian kortikosteroid. Bila
obstruksi napas terlalu hebat maka dilakukan trakeotomi.
Stenosis trakea adalah komplikasi pemasangan pipa endotrakea berbalon
dalam waktu lama. Tekanan balon menyebabkan nekrosis mukosa trakea disertai
penyembuhan dengan jaringan fibrosis yang mengakibatkan stenosis.
Pengobatan stenosis ini berupa peregangan bagian yang stenosis dalam waktu
lama, tetapi seringkali perlu dilakukan reseksi segmental trakea dan anstomosis ujung
ke ujung.
Dislokasi krikoaritenoid
Trauma pada laring dapat menyebabkan dislokasi persendian krikoaritenoid
yang mengakibatkan suara parau disertai obstruksi jalan napas bagian atas. Pada
pemeriksaan roentgen leher tampak dislokasi struktur laring, penyempitan jalan
napas, dan udem jaringan lunak.
Penanganannya berupa trakeotomi, kemudian dislokasi direposisi secara
terbuka dan dipasang bidai dalam. Kelambatan penanganan dislokasi krikoaritenoid
dapat mengakibatkan stenosis laring.
Paralisis korda vokalis bilateral
Kedua pita suara tidak dapat bergerak sedangkan posisinya paramedian dan
cenderung bertaut satu sama lain waktu inspirasi. Penderita mengalami sesak napas
hebat yang mungkin memerlukan intubasi dan atau trakeotomi.
Tumor
Papiloma laring rekuren (papilomatosis laring infantil)
Tumor epithelial papiler yang multipel pada laring ini disebabkan oleh papova
virus yang banyak didapatkan di lembah sungai Missisipi (AS). Penderitanya sering
mempunyai veruka kulit yang mengandung virus. Biasanya kelainan sudah mulai
pada usia dua tahun. Jika si ibu mempunyai veruka vagina maka kelainan ini dapat
terjadi pada bayi usia enam bulan.
Gejala khas berupa disfonia dan sesak napas yang bertambah hebat sampai
terjadi sumbatan total jalan napas.
Terapi terdiri dari pembedahan dengan mikrolaringoskopi. Eksisi papiloma
dilakukan tanpa mengikutsertakan jaringan sehat. Kadang digunakan laser CO2,
pembedahan dingin atau radiasi ultrasonik. Angka kekambuhan tinggi sehingga perlu
dilakukan pembedahan berulang kali.
Papiloma pada orang dewasa merupakan lanjutan dari papilomatosis infantile
atau tumbuh pada usia pertengahan dan tetap sebagai satu lesi tunggal terbatas pada
satu korda.
Kedua keadaan ini dapat berubah jadi karsinoma sel skuamosa. Perubahan ke
keganasan terjadi khusus pada penderita yang sebelumnya pernah mendapat
radioterapi. Penanganannya sama seperti pada anak-anak, hanya tidak memerlukan
trakeotomi.
Neoplasma tiroid
Karsinoma tiroid dapat berinvasi ke laring dan mempengaruhi jalan napas.
Adanya invasi ini harus dicurigai bila tumor tiroid tidak dapat digerakkan dari
dasarnya, disertai suara parau dan gangguan napas. Pada pemeriksaan photo roentgen
leher terlihat distorsi laring atau bayangan suatu massa yang menonjol ke lumen
laring dan trakea.
Kadang tumor tiroid berada pada saluran napas atas secara primer. Diduga
tumor primer di laring atau trakea bagian atas berasal dari sisa tiroid yang terletak
dalam submukosa yang melapisi krikoid dan cincin trakea atas yang ditemukan pada
1-2 % populasi. Tumor ini harus dieksisi dengan laringektomi.
Udem angioneurotik
Udem angiopneurotik mukosa laring adalah salah satu penyebab obstruksi
laring yang disebabkan oleh alergi. Gejala berupa suara parau yang progresif setelah
kontak dengan menghirup atau menelan alergen tanpa tanda infeksi. Kadang
diperlukan trakeotomi untuk menyelamatkan jiwa.2
c. Diagnosis Obstruksi Saluran Napas Atas3,4
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan hasil pemeriksaan fisik, serta
pemeriksaan penunjang.
Gejala dan tanda sumbatan yang tampak adalah :
Nasoendoskopi
X-ray. Dilakukan pada foto torak yang mencakup saluran nafas bagian atas.
Apabila sumbatan berupa benda logam maka akan tampak gambaran
radiolusen. Pada epiglotitis didapatkan gambaran thumb like.
Biopsi
terdapat di infraklavikula dan di sela-sela iga, pasien sangat gelisah dan dispnea.
Stadium IV
sangat ketakutan dan sianosis, jika keadaan ini berlangsung terus maka penderita
akan kehabisan tenaga, pusat pernapasan paralitik karena hiperkapnea. Pada
keadaan ini penderita tampaknya tenang dan tertidur, akhirnya penderita
meninggal karena asfiksia.1
e. Tindakan pada Obstruksi Saluran Napas Atas7
Pada prinsipnya penanggulangan pada obstruksi atau obstruksi saluran
napas atas diusahakan supaya jalan napas lancar kembali.
Tindakan konservatif
stadium
II
dan
III,
atau
melakukan
Untuk mengatasi gangguan pernapasan bagian atas ada tiga cara, yaitu :
f. Intubasi
Intubasi dilakukan dengan memasukkan pipa endotrakeal lewat mulut atau
hidung.
Intubasi endotrakea merupakan tindakan penyelamat (lifesaving procedure) dan
dapat dilakukan tanpa atau dengan analgesia topikal dengan xylocain 10%.
Indikasi intubasi endotrakea adalah :
-
Membantu ventilasi.
Mencegah aspirasi sekret yang ada di rongga mulut atau berasal dari
lambung.
Mudah dikerjakan.
Posisi pasien tidur telentang, leher fleksi sedikit dan kepala ekstensi
10
Kemudian balon diisi udara dan pipa endotrakea difiksasi dengan baik.
Jika menggunakan spatel laringoskop yang lurus maka pasien yang tidur
telentang itu pundaknya harus diganjal dengan bantal pasir, sehingga kepala
mudah diekstensikan maksimal.
Laringoskop dengan spatel yang lurus dipegang dengan tangan kiri dan
dimasukkan mengikuti dinding faring posterior dan epiglotis diangkat
horizontal ketas bersama-sama sehingga laring jelas terlihat.
11
g. Laringotomi (Krikotirotomi)
Laringotomi dilakukan dengan membuat lubang pada membran tirokrikoid
(krikotirotomi).
Krikotiromi merupakan tindakan penyelamat pada pasien dalam keadaan gawat
napas. Bahayanya besar tetapi mudah dikerjakan, dan harus dikerjakan cepat
walaupun persiapannya darurat.
Krikotirotomi merupakan kontraindikasi pada anak di bawah usia 12 tahun,
demikian juga pada tumor laring yang sudah meluas ke subglotik dan terdapat
laringitis.
Bila kanul dibiarkan terlalu lama maka akan timbul stenosis subglotik karena
kanul yang letaknya tinggi akan mengiritasi jaringan-jaringan di sekitar
subglotis, sehingga terbentuk jaringan granulasi dan sebaiknya diganti dengan
trakeostomi dalam waktu 48 jam.
Teknik krikotirotomi:
-
Pasien
tidur
telentang
dengan
kepala
ekstensi
pada
artikulasi
atlantooksipitalis.
-
Puncak tulang rawan tiroid mudah diidentifikasi difiksasi dengan jari tangan
kiri.
Dengan telunjuk jari tangan kanan tulang rawan tiroid diraba ke bawah
sampai ditemukan kartilago krikoid. Membran krikotiroid terletak di antara
kedua tulang rawan ini. Daerah ini diinfiltrasi dengan anestetikum kemudian
dibuat sayatan horizontal pada kulit.
Setelah tepi bawah kartilago terlihat, tusukkan pisau dengan arah ke bawah.
Kemudian masukkan kanul bila tersedia. Jika tidak, dapat dipakai pipa
plastik untuk sementara.
12
13
Irisan horizontal.
Nebulizer.
14
Dalam 25 jam tidak ada keluhan sesak bila lubang trakeostomi ditutup waktu
tidur, makan dan bekerja.
Komplikasi trakeostomi:
- Waktu operasi:
Perdarahan, lesi organ sekitarnya, apnea dan shock.
-
Pasca operasi:
Infeksi, sumbatan, kanul lepas, erosi ujung kanul atau desakan cuff pada
pembuluh darah, fistel trakeokutan, sumbatan subglotis dan trakea, disfagia,
granulasi.
Teknik trakeostomi:
-
Dilakukan insisi.
Insisi vertikal: dimulai dari batas bawah krikoid sampai fossa suprasternum,
insisi ini lebih mudah dan alir sekret lebih mudah
15
Bila sudah tampak trakea maka difiksasi dengan kain tajam. Kemudian
suntikkan anestesi lokal kedalam trakea sehingga tidak timbul batuk pada
waktu memasang kanul.
Stoma dibuat pada cincin trakea 2-3 bagian depan, setelah dipastikan trakea
yaitu dengan menusukkan jarum suntik dan letakkan benang kapas tersebut.
Kemudian kanul dimasukkan dengan bantuan dilator.
Kanul difksasi dengan pita melingkar leher, jahitan kulit sebaiknya jahitan
longgar agar udara ekspirasi tidak masuk ke jaringan dibawah kulit.
16
17
Tangan kanan dikepalkan dan dengqan bantuan tangan kiri, kedua tangan
diletakkan pada perut bagian atas.
Kemudian dilakukan penekanan pada rongga perut kearah dalam dan kearah
atas dengan hentakan beberapa kali. Diharapkan dengan hentakan 4-5 kali
benda asing akan terlempar keluar. Pada anak, penekanan cukup dengan
memakai jari telunjuk dan jari tengah kedua tangan.
Pada pasien yang tidak sadar atau terbaring, dapat dilakukan dengan cara
penolong berlutut dengan kedua kaki pada kedua sisi pasien. Kepalan
tangan diletakkan di bawah tangan kiri di daerah epigastrium.
Dengan hentakan tangan kiri ke bawah dan ke atas beberapa kali udara
dalam paru akan mendorong benda asing keluar.
18
19
20
21
5. Stupor (soporo koma), yaitu keadaan seperti tertidur lelap, tetapi ada respon
terhadap nyeri.
6. Coma (comatose), yaitu tidak bisa dibangunkan, tidak ada respon terhadap
rangsangan apapun (tidak ada respon kornea maupun reflek muntah, mungkin juga
tidak ada respon pupil terhadap cahaya).
3. Jelaskan Mengenai Klasifikasi Suhu Tubuh Menurut WHO !
Secara umum suhu tubuh manusia berkisar 36,5 37,5 C. Gangguan suhu tubuh dapat
diklasifikasikan menjadi :
1. hipotermia (<35 C)
2. demam (>37.5 38.3 C)
3. hipetermia (>37.5 38.3 C)
4. hiperpireksia (>40 41,5 C).
Ditilik dari tingginya suhu, pada demam dan hipertermia memiliki nilai rentang suhu yang sama
yaitu berkisar antara > 37.5-38.3 C.
Menurut Breman (2009), adapun kisaran nilai normal suhu tubuh adalah suhu
oral antara 35,5-37,5 C, suhu aksila antara 34,7-37,3 C, suhu rektal antara 36,637,9 C dan suhu telinga antara 35,5-37,5 C. Suhu tubuh yang diukur di mulut akan
lebih rendah 0,5-0,6 C (1 F) dari suhu rektal. Suhu tubuh yang diukur di aksila akan
lebih rendah 0,8-1,0 C (1,5- 2,0F) dari suhu oral. Suhu tubuh yang diukur di
timpani akan 0,5-0,6 C (1F) lebih rendah dari suhu aksila
4. Jelaskan mengenai Wheezing dan Stridor !
Stridor yaitu suara yang terdengar kontinu (tidak terputus-putus), bernada
tinggi yang terjadi baik pada saat inspirasi maupun pada saat ekspirasi, dapat
terdengar tanpa menggunakan stetoskop, bunyinya ditemukan pada lokasi saluran
napas atas (laring) atau trakea, disebabkan karena adanya penyempitan pada saluran
napas tersebut. Pada orang dewasa, keadaan ini mengarahkan kepada dugaan adanya
22
edema laring, kelumpuhan pita suara, tumor laring, stenosis laring yang biasanya
disebabkan oleh tindakan trakeostomi atau dapat juga akibat pipa endotrakeal.
Suara mengi (wheezing): Suara ini dapat didengar baik pada saat inspirasi
maupun ekspirasi. Wheezing merupakan suara nafas seperti musik yang terjadi
karena adanya penyempitan jalan udara atau tersumbat sebagian. Obstruksi seringkali
terjadi sebagai akibat adanya sekresi atau edema. Bunyi yang sama juga terdengar
pada asma dan banyak proses yang berkaitan dengan bronkokonstriksi. Mengi dapat
dihilangkan dengan membatukannya.
Kondisi ini biasanya disebabkan oleh bronkospasme, edema mukosa,
hilangnya penyokong elastik, dan berlikunya saluran nafas. Asma maupun obstruksi
oleh bahan intralumen, seperti benda asing atau sekresi yang diaspirasi, merupakan
penyebabnya pula. Wheezing yang tidak berubah dengan batuk, mungkin
menunjukan bronkus yang tersumbat sebagian oleh benda asing atau tumor. (2)
Mengi berasal dari bronki oleh osilasi kontinyu dari dinding jalan nafas yang
menyempit. Mengi cenderung menjadi lebih keras pada ekspirasi. Ini disebabkan
penyempitan jalan nafas terjadi bila tekanan paru lebih tinggi seperti pada ekspirasi.
Mengi inspirasi menunjukan penyempitan jalan nafas yang berat.
Mengi dapat berasal dari bronki dan bronkiolus yang kecil. Bunyi yang
terdengar mempunyai puncak suara tinggi dan bersiul. Ronki berasal dari bronki
yang lebih besar atau trakea dan mempunyai bunyi yang berpuncak lebih rendah dari
sonor. Bunyi-bunyi tersebut terdengar pada klien yang mengalami penurunan sekresi.
Frekuensi mengi bervariasi . Nada ditentukan kecepatan aliran udara, dan
tidak berkaitan dengan panjangnya jalan nafas dan ukurannya. Mengi bernada tinggi,
ditimbulkan bronkus kecil, kualitasnya seperti bunyi siulan, sedangkan mengi yang
bernada rendah timbul dari bronkus yang lebih besar.
Mengi merupakan petunjuk yang buruk untuk menentukan berat ringannya
obstruksi jalan nafas. Pada obstruksi jalan napas berat, mengi dapat menghilang
karena ventilasi sangat rendah sehingga kecepatan aliran udara berkurang di bawah
tingkat kritis yang diperlukan untuk menimbulkan bunyi napas. Obstruksi bronkus
23
5. Jelaskan Penyakit apa yang lubang telinga dan daun telinga tidak terbentuk
(Mikrotia)? Dan bagaimana tatalaksananya?
a.
Definisi Mikrotia
Mikrotia terbentuk dari dua kata yaitu micro yang artinya kecil dan otia yang
Kelainan
bentuk
ini
sering
kali
disertai
dengan
tidak
Epidemiologi
Melnick dan Myranthopoulos meneliti cacat dan anomalidaun telinga terkait
dalam serangkaian 56.000 kehamilan pada populasi etnis yang beragam ( Kaukasia
46 % , 46% Afrika Amerika , Latino 8 % ) , cacat telinga terjadi pada sekitar 1,1 %
( 11 1000 ) kelahiran . Anomali yang parah , seperti mikrotia , terjadi pada sekitar 3 di
10.000 kelahiran hidup . Kejadian telah dilaporkan 1 di 4000 pada populasi Jepang
dan setinggi 1 di 900-1 tahun 1200 pada populasi Navajo. 10
Hampir
setengah
dari
pasien
mikrotia
dalam
studi
Melnick
dan
24
25
d.
Manifestasi Klinis
Kelainan biasanya terlihat pada saat lahir dengan malformasi aurikular jelas.
Tingkat hipoplasia dari telinga eksternal adalah variabel. Ketika mikrotia terlihat
dalam hubungannya dengan anomali lainnya, karyotyping dapat mengungkapkan
kelainan kromosom.10
Ada tiga kategori penting yang memudahkan menilai kelainan daun telinga
dengan cepat. Kriteria menurut Aguilar dan Jahrsdoerfer, yaitu: (1) Derajat 1: Jika
telinga luar terlihat normal tetapi sedikit lebih kecil. Tidak diperlukan prosedur
operasi untuk kelainan daun telinga ini. Telinga berbentuk lebih kecil dari telinga
normal. Semua struktur telinga luar ada pada grade 1 ini. Kita bisa melihat adanya
lobule, helix dan anti helix. Grade 1 ini dapat disertai dengan atau tanpa lubang
telinga luar. (2) Derajat 2: Jika terdapat defisiensi struktur telinga seperti tidak
terbentuknya skapa, lobul, heliks atau konka. Ada beberapa struktur normal telinga
yang hilang. Namun masih terdapat lobule dan sedikit bagian dari helix dan antihelix.
(3) Derajat 3: terlihat seperti bentuk kacang tanpa struktur telinga atau anotia.
Kelainan ini membutuhkan proses operasi rekonstruksi dua tahap atau lebih.
Kelompok ini diklasifikasikan sebagai mikrotia klasik. Sebagian besar pasien anak
akan mempunyai mikrotia jenis ini. Telinga hanya akan tersusun dari kulit dan
lobulus yang tidak sempurna pada bagian bawahnya. Biasanya juga terdapat jaringan
lunak di bagian atasnya. Dimana ini merupakan tulang kartilgo yang terbentuk tidak
sempurna. Biasanya pada kategori ini juga akan disertai atresia atau ketidakadaan
lubang telinga luar.10,12
26
27
Diagnosis
Mikrotia akan terlihat jelas pada saat kelahiran, ketika anak yang dilahirkan
memiliki telinga yang kecil atau tidak ada telinga. Tes pendengaran akan dilakukan
untuk mengetahui apakah ada gangguan pendengaran di telinga yang bermasalah atau
tidak. Dan jika ada gangguan pendengaran, maka derajat berapa gangguan
pendengarannya.10,11
f.
Penatalaksanaan
Usia pasien menjadi pertimbangan operasi, minimal berumur 6-8 tahun. Pada
usia ini kartilago tulang iga sudah cukup memadai untuk dibentuk sebagai rangka
telinga dan telinga sisi normal telah mencapai pertumbuhan maksimal, sehingga dapat
digunakan sebagai contoh rangka telinga. Pada usia ini daun telinga mecapai 80-90%
ukuran dewasa.11
Dengan tidak adanya tulang rawan daun telinga, pembedahan rekonstruksi
jarang menghasilkan kosmetik yang memuaskan. Prostesis yang artistik adalah
pemecahan yang paling baik untuk kosmetiknya. Pada kelainan unilateral dengan
pendengaran normal dari telinga sisi lain, rekonstruksi telinga tengah tengah tidak
dianjurkan, tetapi bila terjadi gangguan pendengaran bilateral, dianjurkan
rekonstruksi telinga tengah.10
Terdapat tiga model rangka telinga untuk operasi rekonstruksi, antara lain: (1)
tandur autologus, yaitu rekonstruksi menggunakan kartilalo autologus, telah menjadi
standar operasi rekonstruksi karena tandur diterima dengan baik dan tidak terjadi
reaksi penolakan jaringan. (2) prosthetic farmwork, bila rekosntruksi menggunakan
rangka silikon atau gorotex. Metode ini sering menimbulkan komplikasi nekrosis.
28
Integritas jaringan host dengan bahan prostetik masih memerlukan penelitian lebih
lanjut. (3) prosthetic ear replacement.12
Dibawah ini adalah tiga pilihan utama untuk rekonstruksi mikrotia: (1)
rekonstruksi autogenik, dua teknik utama yang menjelaskan untuk rekonstruksi
autogenik dari aurikel yang menggunakan kerangka kartilago dari tulang rusuk adalah
teknik Brent dan teknik Nagata.12
Teknik Brent meliputi empat tahapan: (a) pembuatan dan penempatan dari
kerangka aurikuler kartilago tulang rusuk. (b) lubang telinga dirotasi dari malposisi
vertikal menjadi posisi yang benar di aspek kaudal dari kerangka. (c) pengangkatan
dari aurikel yang direkonstruksi dan pembuatan dari sulkus retroaurikuler. (d)
pendalaman dari konka dan pembuatan tragus.12
Gambar 6. Keterangan gambar: Pemuatan dari kerangka telinga dari kartilago tulang
rusuk. Teknik brent tahap 1. A: Blok dasar diperoleh dari sinkondrosis dari dua
kartilago tulang rusuk. Pinggrian heliks dipertahankan dari sebuah kartilago rusuk
yang mengambang. B: Mengukir detail menjadi dasar menggunakan gouge. C:
Penipisan dari kartilago tulang rusuk untuk membuat pinggiran heliks. D: mengaitkan
pinggiran ke blok dasar menggunakan benang nilon. E: Kerangka selesai.12
29
Gambar 7. Keterangan Gambar: Pemasangan dari kerangka telinga teknik Brent tahap
1. A: Tanda preoperative menandakan lokasi yang diinginka dari kerangka (garis
lurus) dan pelebaran dari pembedahan yang diperlukan (garis putus-putus). B:
Pemasangan dari kerangka kartilago. C: Tampilan setelah tahap pertama. Kateter
suction digunakan untuk menghisap kulit ke dalam jaringan interstisial dari
kerangka.4
Gambar 3.4
Keterangan Gambar 8. Rotasi dari lobules. Teknik Brent tahap 2. Lubang telinga di
rotasi dari malposisi vertical menjadi posisi yang benar di aspek kaudal dari
30
kerangka. A: Desain dari rotasi lobus dibuat dengan incise yang dapat digunakan di
tahap 4, konstruksi tragus. B: Setelah rotasi dari lobules.4
Gambar
31
Gambar 10.
Keterangan Gambar:
Pendalaman dari konka dan pembuatan tragus. Konstruksi dari tragus. Teknik Brent
tahap 4. A: Graft konka diambil dari dinding konka posterior dari telinga yang
berlawanan. B: Insisi bentuk L dibuat dan graft diamasukkan dengan permukaan kulit
di bawah. C: Graft sembuh dengan baik.3
Gambar 11. Keterangan Gambar: Pembuatan kerangka kerangka telinga dari kartilago
tulang rusuk. Teknik Nagata tahap 1. A. Secaa garis besar mirip dengan Brent, dasar
dan detailnya di buat dari sinkrondosis dari 2 tulang rusuk. B: Empat buah kartilago
yang membuat kerangka kartilago diberikan nomor. Dasar dan pinggiran heliks
seperti pada teknik Brent. Terdapat potongan antiheliksa-fossa triangular tambahan
dan ada tambahan potongan tragus-antitragus yang khas pada prosedur Nagata.3,5
32
Gambar 12. Keterangan Gambar: Penempatan dari kerangka kartilago, teknik Nagata
tahap 1. A: Insisi di desain, mengambil sebagian besar dari kulit di permukaan medial
dari lobulus yang akan dibutuhkan untuk membentuk garis konka. B: Kantung di
bedah, membuat pedikel yang intak di ujung kaudal dari flap. C: Kerangka di
masukkan. D: Tampilan dari kerangka setelah tahap 1. Drain suction ditempatkan
untuk menghisap kulit yang berada dibawah kartilago.3,5
33
Komplikasi
Seperti yng disebutkan sebelumnya, kerangka alloplastik memiliki resiko
ekstrusi yang lebih besar dibandingkan dengan kerangka kartilago tulang rusuk.
Ekstrusi yang membutuhkan pemindahan terjadi pada 5-30% dari kerangka silastik,
dibandingkan pada 1-2% dari kartilago tulang rusuk. Komplikasi lainnya termasuk
infeksi, hematom dan kehilangan kulit. Hal ini biasanya jarang terjadi dan kerangka
hampir selalu bisa diselamatkan. Komplikasi daerah donor termasuk luka pada
dadayang tidak bagus, retrusi ringan sampai berat dan peraturan dari kontur tulang
rusuk.5,6
h. Prognosis
Sekitar 90% anak dengan mikrotia akan mempunyai pendengaran yang
normal. Karena adanya atresia pada telinga yang terkena, anak-anak ini akan terbiasa
dengan pendengaran yang mono aural (tidak stereo). Sebaiknya orang tua berbicara
34
dengan gurunya untuk menempatkan anak di kelas sesuai dengan sisi telinga yang
sehat agar anak bisa mengikuti pelajaran dengan baik. Pada kasus bilateral (pada
kedua telinga) umumnya juga tidak terjadi pendengaran. Hanya saja anak-anak perlu
dibantu untuk dipasang dengan alat bantu dengar konduksi tulang (BAHA = Bone
Anchor Hearing Aid). Hal ini diperlukan agar tidak terjadi gangguan perkembangan
bicara pada anak. Lebih jauh lagi agar proses belajar anak tidak terganggu.2,7
6. Jelaskan Tes Bisik !
Syarat : tempat sunyi, tidak ada echo
Telinga yang tidak diperiksa ditutup atau dimasking dengan menekan tragus
Mata pasien ditutup agar tidak membaca gerak bibir
Cara : Pemeriksa berdiri dari jarak 1 meter. Jika pasien dapat mendengar, pemeriksa
mundur hingga 2 meter. Jika dapat didengar, maka mundur lagi hingga mencapai 6
meter
Interpretasi :
Normal : 6 meter
Tuli ringan : >4 m - <6 m
Tuli sedang : >1 m - <4 m
Tuli berat : <1 m
Tuli total : jika berteriak di depan telinga tetapi penderita tetap tidak mendengar
7. Apa yang dimaksud dengan kelenjar adenoid?
Adenoid adalah kelompok jaringan limfoid yang terletak pada atap dan dinding
posterior nasofaring. Adenoid merupakan masa limfoid yang berlobus dan terdiri dari
jaringan limfoid yang sama dengan yang terdapat pada tonsil. Lobus atau segmen
tersebut tersusun teratur seperti suatu segmen terpisah dari sebuah ceruk dengan celah
atau kantong diantaranya. Lobus ini tersusun mengelilingi daerah yang lebih rendah
di bagian tengah, dikenal sebagai bursa faringeus. Adenoid terletak di dinding
belakang nasofaring. Jaringan adenoid di nasofaring terutama ditemukan pada
35
dinding atas dan posterior, walaupun dapat meluas ke fosa Rosenmuller dan orifisium
tuba eustachius. Ukuran adenoid bervariasi pada masing-masing anak.
Adenoid bersama tonsil dan lingual tonsil membentuk cincin jaringan limfe pada
pintu masuk saluran nafas dan saluran pencernaan yang dikenal sebagai cincin
Waldeyer. Ukuran adenoid kecil pada waktu lahir.
36
T0
T1
T2
Derajat
Interpretasi
Tonsil sudah diangkat
Tonsil masih dalam fossa tonsilaris
Tonsil melewati arkus posterior hingga
T3
T4
(pertengahan uvula)
Tonsil melewati linea mediana (uvula)
37
Gambar 16. Lokasi kelenjar getah bening (KGB) di daerah kepala dan leher. 10
American Head and Neck Society and the AAO-HNS, membagi kelenjar
limfe (getah bening) menjadi 6 regio, level I VI. 13,14
Level IA : Submental
Level IB : Submandibular
Level II : Upper Jugular
Terletak di sepanjang vena jugularis bagian atas, tepatnya dimulai dari dasar
tengkorak sampai inferior os hyoid
Level III : Middle Jugular
Terletak dari os hyoid sampai kartilago krikoid
Level IV : Lower Jugular
Terletak dari kartilago krikoid sampai batas atas klavikula
Level V : Posterior Triangel Group (spinal accessory and supraclavicular
nodes)
Terletak di antara muskulus sternokleidomastoideus dan muskulus trapezius.
Level VA dan VB dipisahkan oleh perpanjangan garis kartilago krikoid.
38
39
Pons bagian bawah. Dari sini berjalan kebelakang dan mengelilingi inti N VI dan
membentuk genu internal nervus facialis, kemudian berjalan ke bagian-lateral batas
kaudal pons pada sudut ponto serebelar. Saraf Inter Medius terletak pada bagian
diantara N VII dan N VIII. Serabut motorik saraf Facialis bersama-sama dengan saraf
intermedius dan saraf vestibulokoklearis memasuki meatus akustikus internus untuk
meneruskan perjalanannya didalam os petrosus (kanalis facialis). Nervus Facialis
keluar dari os petrosus kembali dan tiba dikavum timpani. Kemudian turun dan
sedikit membelok kebelakang dan keluar dari tulang tengkorak melalui foramen
stilomatoideus. Pada waktu ia turun ke bawah dan membelok ke belakang kavum
timpani di situ ia tergabung dengan ganglion genikulatum. Ganglion tersebut
merupakan set induk dari serabut penghantar impuls pengecap, yang dinamakan
korda timpani. juluran sel-sel tersebut yang menuju ke batang otak adalah nervus
intennedius, disamping itu ganglion tersebut memberikan cabangcabang kepada
ganglion lain yang menghantarkan impuls sekretomotorik. Os petrosus yang
mengandung nervus fasialis dinamakan akuaduktus fallopii atau kanalis facialis.
Disitu nervus facialis memberikan. Cabang untuk muskulus stapedius dan lebih jauh
sedikit ia menerima serabut-serabut korda timpani. Melalui kanaliskulus anterior ia
keluar dari tulang tengkorak dan tiba di bawah muskulus pterigoideus eksternus,
korda timpani menggabungkan diri pada nervus lingualis yang merupakan cabang
dari nevus mandibularis. Sebagai saraf motorik nervus facialis keluar dari foramen
stilomastoideus memberikan Cabang yakni nervus auricularis posterior dan kemudian
memberikan cabang ke otot stilomastoideus sebelum masuk ke glandula Parotis. Di
40
dalam glatldula parotis nervus facialis dibagi atas lima jalur percabangannya yakni
temporal, servical, bukal, zygomatic dan marginal mandibularis.
Jaras parasimpatis (General Viceral Efferant) dari intinya di nucleus
salivatorius superior setelah mengikuti jaras N VII berjalan melalui Greater petrosal
nerve dan chorda Tympatni.
Jaras Special Afferent ( Taste) : dari intinya nukeus solitarius berjalan melalui
nervus intennedius ke :
Greater petrosal Nerve melalui nervus palatina mempersarafi taste dari palatum.
Chorda Tympani melalui nervus lingualis mempersarafi taste 2/3 bagian depan
lidah.
memberikan
persaratan
bilateral
pada
nucleus
VII
yang
mengontrol otot dahi, tetapi hanya mernberi persarafan kontra lateral pada otot wajah
bagian bawah. Sehingga pada lesi LMN akan menimbulkan paralysis otot wajah
ipsilateral bagian atas bawah, sedangkan pada lesi LMN akan menimbulkan
kelemahan otot wajah sisi kontta lateral. Pada kerusakan sebab apapun di jaras
kortikobulbar atau bagian bawah korteks motorik primer, otot wajah muka sisi
kontralateral akan memperlihatkan kelumpuhan jenis UMN. Ini berarti otot wajah
bagian bawah lebih jelas lumpuh dari pada bagian atasnya, sudut mulut sisi yang
lumpuh tampak lebih rendah. Jika kedua sudut mulut disuruh diangkat maka sudut
mulut yang sehat saja yang dapat terangkat.
41
Lesi LMN : bisa terletak di pons, disudut serebelo pontin, di os petrusus, cavum
tympani di foramen stilemastoideus dan pada cabang-cabang tepi nervus facialis. Lesi
di pon yang terletak disekitar ini nervus abducens bisa merusak akar nevus facialis,
inti nervus abducens dan fasikulus longitudinalis medialis. Karena itu paralysis
facialis LMN tersebut akan disertai kelumpuhan rektus lateris atau gerakan melirik ke
arah lesi, Proses patologi di sekitar meatus akuatikus intemus akan melibatkan nervus
facialis dan akustikus sehingga paralysis facialis LMN akan timbul berbarengan
dengan tuli perseptif ipsilateral dan ageusia ( tidak bisa rnengecap dengan 2/3 bagian
depan lidah).
DAFTAR PUSTAKA
42
1. Soepardi EA, Iskandar N. Editor. Buku ajar ilmu kesehatan telinga-hidungtenggorok. Edisi 5. Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
2005.
2. Sjamsuhidajat R, Wim de Jong. Editor. Kepala dan Leher dalam: Buku ajar ilmu
bedah. Edisi revisi. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. 1997.
3. D Gerard,MD. Epiglotitis. Dalam: Daniel J Kelley MD, Francisco Talavera,
harmD, PhD, Gregory C Allen,MD, Christopher L Slack, MD, Arlen D
Meyers,MD,MBA (editor). http://www.emedicine.com.
4. D Gerard,MD. Croup Dalam: Daniel J Kelley MD, Francisco Talavera, PharmD,
PhD, Gregory C Allen,MD, Christopher L Slack, MD, Arlen D Meyers,MD,MBA
(editor). http://www.emedicine.com.
5. Adams GL, Boies LR, Jr. Highler PA. Boies Buku Ajar THT. Edisi 6. Effendi H.
Santoso RAK. Editor. Penerbit Buku Kedokteran EGC. 1993.
6. Ballenger JJ. Penyakit telinga, hidung, tenggorok, kepala dan leher. Edisi 13.
Penerbit Binarupa Aksara. Jakarta. 1994.
7. Hermani B, Abdurrachman. Penanggulangan sumbatan laring. Dalam: S.A.Efiaty,
I.Nurbaiti, B.Jenny, R.D.Ratna (editor). Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi VI. Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta: 2003 : 243 - 253.
8. Swartz MH. Buku Ajar Diagnostik Fisik. Jakarta: Penerbit EGC; 1995. P. 162,175
9. Muttaqin A. Buku Ajar Asuhan Keperawatan dengan Gangguan Sistem
Pernapasan:
Pengkajian
Keperawatan
Klien
dengan
Gangguan
Sistem
43
12. Lalwani A.K. Current Diagnosis and Treatment in Otolaringology Head and
Neck Surgery, 2007, Mc Graw Hill, New York.