Sie sind auf Seite 1von 104

Skripsi

SKRINING FITOKIMIA DAN UJI AKTIVITAS ANTIOKSIDAN BEBERAPA


TANAMAN OBAT DI SULAWESI TENGGARA

Oleh:
MARIO MARTINUS KARVIN
F1F1 10 086

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2015

Skripsi

SKRINING FITOKIMIA DAN UJI AKTIVITAS ANTIOKSIDAN BEBERAPA


TANAMAN OBAT DI SULAWESI TENGGARA
Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan
Mencapai Derajat Sarjana (S-1)

Oleh:
MARIO MARTINUS KARVIN
F1F1 10 086

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2015

Skripsi
Skrining Fitokimia dan Uji Aktivitas Antioksidan Beberapa Tanaman Obat di
Sulawesi Tenggara
Oleh:
Mario Martinus Karvin
F1F1 10 086
Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji
pada tanggal 16 April 2015
dan dinyatakan telah memenuhi syarat
Susunan Tim Penguji
Pembimbing II
Pembimbing I

Prof. Dr. I. Sahidin, S.Pd., M.Si


NIP. 19690420 199403 1 004

Yamin, S.Pd, M.Sc


NIP.

Anggota Tim Penguji


Penguji I

Penguji II

Dra. Sri Ambardini, M.Si


NIP. 19671121 199802 2 001

Nur Illiyyin Akib, S.Si., M.Si., Apt


NIP. 19810319 200801 2 006

Penguji III

Sabarudin, S.Farm., M.Si., Apt


NIP.

Kendari, 16 April 2015


Universitas Halu Oleo
Fakultas Farmasi
Dekan,

Prof. Dr. I. Sahidin, S.Pd., M.Si


NIP. 19690420 199403 1 004

ii

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi ini tidak terdapat karya yang
pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi, dan
sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah
ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam
naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Kendari, 16 April 2015

Mario Martinus Karvin

iii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa yang
telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
tugas akhir dengan judul Skrining Fitokimia dan Uji Aktivitas Antioksidan
Beberapa Tanaman Obat Tradisional di Sulawesi Tenggara. tepat pada
waktunya. Selama proses penyusunan tugas akhir ini, penulis menghadapi berbagai
masalah. Namun, berkat bimbingan, arahan dan motivasi serta bantuan dari kedua
pembimbing, penulis mampu mengatasi dan menemukan jalan keluar dari tiap
permasalahaan yang dihadapi, sehingga tugas akhir ini terselesaikan dengan baik.
Untuk itu, dengan sangat tulus penulis ucapkan rasa terima kasih yang sebesarbesarnya kepada Prof. Dr. I. Sahidin, S.Pd., M.Si. sebagai pembimbing I dan
Bapak Yamin, S.Pd, M.Sc. sebagai pembimbing II yang telah meluangkan waktu,
tenaga dan pikiran dalam mengarahkan dan membimbing penulis selama mengikuti
perkuliahan maupun dalam proses penyelesaian hasil penelitian ini.
Tak ada rangkaian kata yang mampu mewakili rasa terima kasih kepada kedua
orang tua penulis, Ayahanda Vincentius La Basi, S.Pd. Ibunda Kartini, A.Ma. yang
telah memberikan segalanya dan telah merawat penulis dengan cara terhebat dan
terbaik.

iv

Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada :


1. Bapak Prof. Dr. Ir. H. Usman Rianse, M.Si. selaku Rektor Universitas Halu Oleo
2. Bapak Prof. Dr. I. Sahidin., S.Pd., M.Si. selaku Dekan Fakultas Farmasi UHO.
3. Ibu Nur Illiyyin Akib, S.Si., M.Si., Apt. selaku Ketua Jurusan Farmasi UHO
sekaligus sebagai Penasehat akademik.
4. Ibu Henny Kasmawati, S.Farm., M.Si., Apt. selaku Kepala Laboratorium
Farmasi serta Laboran Ibu Adriani dan Kak Fitrawan, yang telah banyak
membantu dalam melaksanakan penelitian.
5. Tim Penguji Ibu Dra. Sri Ambardini, M.Si., Ibu Nur Illiyyin Akib, S.Si., M.Si.,
Apt dan Bapak Sabarudin, S.Farm., M.Si., Apt. Terima kasih untuk semua kritik
dan masukan yang diberikan kepada penulis.
6. Seluruh Dosen Jurusan Farmasi Fakultas Farmasi UHO dan beberapa Dosen
Jurusan Kimia Fakultas MIPA UHO. Terima kasih untuk semua ilmu yang telah
diberikan kepada penulis.
7. Ibu Wahyuni, S.Si., M..Si., Apt. selaku Sekretaris Jurusan Farmasi Fakultas
Farmasi Universitas Halu Oleo yang telah memberikan banyak bantuan
administratif.
8. Buat adik-adikku, Merlin Claudya Karvin dan Rival Camilus Karvin yang selalu
membuatku tersenyum dengan dukungan dan semangat yang diberikan.

9. Buat seniorku yang baik hati Kak Agung, Kak Hajrul, Kak Nina, Kak Sarip, Kak
Sarlan, Kak Uba terima kasih untuk bantuan dan arahannya selama ini. Semoga
rahmat Tuhan selalu menyertai keluarga kanda.
10. Sahabat-sahabatku angakatan 2010 Fakultas Farmasi Halu Oleo tanpa terkecuali
semoga kita semua dapat menjadi orang yang sukses dan dapat bermanfaat bagi
orang banyak.
11. Kepada adik-adikku Mahasiswa Fakultas Farmasi angkatan 2011, 2012, dan
2013 yang turut memberi dukungan kepada penulis selama ini semoga kalian
selalu diberi petunjuk dan kemudahan oleh-Nya.
Akhirnya penulis memohon maaf atas hal-hal yang tidak berkenan dari diri
penulis, semoga Tuhan memberikan imbalan pahala terhadap doa dan motovasinya.
Semoga tugas akhir ini dapat menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi kita semua.
Amin.

Kendari, 16 April 2015

Mario Martinus Karvin

vi

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

HALAMAN PENGESAHAN

ii

KATA PENGANTAR

iv

DAFTAR ISI

vii

DAFTAR TABEL

ix

DAFTAR GAMBAR

DAFTAR ARTI LAMBANG DAN SINGKATAN

xi

ABSTRAK

xii

ABSTRACT

xiii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

B. Rumusan Masalah

C. Tujuan Penelitian

D. Manfaat Penelitian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Tanaman Obat

B. Metode Analisis Senyawa Bahan Alam

15

1. Ekstraksi

15

2. Skrining Fitokimia

17

3. Identifikasi senyawa aktif dengan kromatografi lapis tipis (KLT)

21

C. Radikal bebas

24

D. Antioksidan

25

E. Uji Aktivitas Antioksidan Metode DPPH (1,1-difenil-2-pikrilhidrazil)

29

F. Kerangka Konsep

31

vii

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

32

A.

Tempat dan Waktu Penelitian

32

B.

Jenis Penelitian

32

C.

Bahan

32

D.

Alat

33

E.

Definisi operasional

33

F.

Prosedur Penelitian

34

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

39

A.

Determinasi

39

B.

Tahap maserasi

40

1. Penyiapan Sampel

40

2. Maserasi

41

C.

D.

Skrining fitokimia

42

1. Alkaloid

45

2. Flavonoid

47

3. Tanin

48

4. Saponin

49

5. Triterpenoid

50

Uji Aktivitas Antioksidan dengan Metode DPPH

BAB V PENUTUP

51
60

A.

Kesimpulan

60

B.

Saran

61

DAFTAR PUSTAKA

62

LAMPIRAN

67

viii

DAFTAR TABEL
Nomor

Teks

Halaman

1.

Berat ekstrak hasil maserasi

42

2.

Hasil skrining metabolit sekunder

44

3.

Nilai IC50 tanaman

54

4.

Klasifikasi nilai IC50 tanaman

58

ix

DAFTAR GAMBAR

Nomor

Teks

Halaman

1.

M. Dewa (P. macrocarpa (Scheff.) Boerl)

2.

Kirinyuh (C. odorata L.)

3.

Kersen (M. calabura L.)

10

4.

Katuk (S. androgynus L. Merr.)

12

Bayam Merah (A. amoena Voss)

14

Kerangka Konsep

31

UV 254 nm dan 366 nm

43

Hasil KLT Senyawa Alkaloid

46

Hasil KLT Senyawa Flavonoid

47

Hasil KLT Senyawa Tanin

48

Hasil KLT Senyawa Saponin

49

Hasil KLT Senyawa Triterpenoid

50

Hasil uji antioksidan

52

Reaksi Antioksidan dengan Radikal DPPH

53

Mekanisme Reaksi Vitamin C dengan DPPH

59

5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.

DAFTAR ARTI LAMBANG DAN SINGKATAN

Lambang/Singkatan

Arti Lambang dan Keterangan

Gram

mL

Mili liter

KLT

Kromatografi lapis tipis

ppm

Part per million

p.a

Pro analis

DPPH

1,1-difenil-2-pikrilhidrazil

IC50

Inhibition Concentration 50%

xi

Skrining Fitokimia dan Uji Aktivitas Antioksidan Beberapa Tanaman Obat


Tradisional di Sulawesi Tenggara

MARIO MARTINUS KARVIN


F1F1 10 086
ABSTRAK

Penyakit degeneratif akibat radikal bebas semakin meningkat di negara


berkembang. Pencarian dan pengembangan antioksidan alami saat ini terus dilakukan
dengan memanfaatkan kelimpahan tanaman obat di Indonesia, salah satunya di
wilayah Sulawesi Tenggara. Telah dilakukan penelitian tentang skrining fitokimia
dan uji aktivitas antioksidan tanaman obat yaitu ekstrak metanol akar, batang, dan
daun tanaman mahkota dewa (Phaleria macrocarpa (Scheff.) Boerl), kirinyuh
(Chromolaena odorata L.), kersen (Muntingia calabura L.), katuk (Sauropus
androgynus L. Merr.), dan bayam merah (Altenanthera amoena Voss). Skrining
fitokimia dilakukan dengan menggunakan plat KLT, metabolit sekunder yang diuji
yaitu alkaloid, flavonoid, tanin, saponin, dan triterpenoid. Pada pengujian aktivitas
antioksidan dilakukan dengan menggunakan metode DPPH. Uji antioksidan
dilakukan untuk menentukan nilai IC50 dari ekstrak tanaman. Berdasarkan hasil
penelitian yang dilakukan, ekstrak tanaman yang memiliki aktivitas antioksidan
terkuat adalah ekstrak akar tanaman kersen (Muntingia calabura L.) dengan nilai IC50
31,15 g/mL dan yang memiliki aktivitas antioksidan terlemah adalah ekstrak daun
tanaman bayam merah (Altenanthera amoena Voss) dengan nilai IC50 5.661,62
g/mL. Hal tersebut karena kandungan flavonoid dan tanin dalam ekstrak tanaman
dapat bertindak sebagai antioksidan dengan cara mendonorkan elektronnya pada
radikal DPPH sehingga dapat menstabilkan radikal DPPH.
Kata kunci : Skrining fitokimia, Antioksidan, DPPH, IC50.

xii

Phytochemical Screening and Antioxidant Activity Test of Some Traditional


Medicinal Plants in the Southeast Sulawesi

MARIO MARTINUS KARVIN


F1F1 10 086
ABSTRACT

Degenerative diseases caused by free radical substances which is more


complex in developing countries. Inventory and development of natural antioxidants
is currently being conducted by utilizing the abundance of medicinal plants in
Indonesia, especially in Southeast Sulawesi. Phytochemical screening and antioxidant
activities has evaluated toward methanol extracts of medicinal plants namely roots,
stems, and leaves of the plant crown god (Phaleria macrocarpa (Scheff.) Boerl),
kirinyuh (Chromolaena odorata L.), cherry (Muntingia calabura L.), cinnamon
(Sauropus androgynus L. Merr.), and red amaranth (Altenanthera amoena Voss).
Phytochemical screening determined by using TLC plate, secondary metabolites
examined, ie alkaloids, flavonoids, tannins, saponins, and triterpenoids. In evaluation
of the antioxidant activity using DPPH method. Antioxidant test conducted to
determine the IC50 values of plant extracts. The results showed that plant extracts
which have the strongest antioxidant activity is an extract of the roots of plants cherry
(Muntingia calabura L.) with IC50 value of 31.15 g/mL and who had the weakest
antioxidant activity is red amaranth plant leaf extract (Altenanthera amoena Voss)
with values IC50 5661.62 g/mL. This is caused by the content of flavonoids and
tannins in plant extracts may act as an antioxidant by donating electrons in order to
stabilize the DPPH radical.
Keywords: Phytochemicals screening, Antioxidants, DPPH, IC50.

xiii

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alam. Potensi alam
yang dimiliki Indonesia sangat melimpah pada sektor pertanian, peternakan,
perikanan, perkebunan, kehutanan dan kelautan serta pariwisata. Pemanfaatan
kekayaan alam yang terintegrasi akan memaksimalkan potensi alam yang ada,
sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia. Salah satu kekayaan
alam yang dimiliki Indonesia adalah dari sektor kehutanan dalam hal ini
melimpahnya tanaman dan tumbuh-tumbuhan. Tanaman memiliki peranan yang
penting dalam memberikan manfaat bagi kehidupan manusia maupun hewan,
mengingat tanaman memiliki kandungan senyawa alam yang berkhasiat (Supriatna,
2008).
Tradisi dan pengetahuan masyarakat tentang pemanfaatan tumbuhan untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari telah berlangsung sejak lama. Pengetahuan ini
dimulai dengan dicobanya berbagai tumbuhan untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Tradisi pemanfaatan tumbuhan sebagian telah dibuktikan kebenarannya secara
ilmiah, namun masih banyak yang belum tercatat secara ilmiah dan disebarluaskan
melalui publikasi-publikasi (Windadri dkk, 2006). Masyarakat di Sulawesi Tenggara
telah banyak memanfaatkan pengobatan secara tradisional dengan menggunakan
1

tanaman yang telah dilakukan secara turun temurun. Pengobatan secara tradisional
tidak didukung adanya data ilmiah dan hanya berdasarkan data empiris, untuk
membuktikan khasiat obat yang digunakan secara tradisional maka diperlukan
penelitian ilmiah untuk menentukan kandungan kimia dan efek farmakologi tanaman
obat tradisional.
Negara Indonesia merupakan salah satu negara berkembang dimana
masyarakat Indonesia telah memiliki gaya hidup yang tidak lagi dapat dikategorikan
sebagai gaya hidup yang sehat. Banyaknya asap-asap kendaraan dan pabrik,
banyaknya tempat yang menyediakan makanan cepat saji yang mengandung banyak
lemak. Tanpa disadari kebiasaan-kebiasaan seperti ini akan menimbulkan adanya
penyakit-penyakit degeneratif yang disebababkan oleh radikal bebas yang dihasilkan
oleh gaya hidup modern yang tidak lagi sehat. Radikal bebas adalah suatu senyawa
yang memiliki satu atau lebih elektron tidak berpasangan pada kulit terluarnya.
Radikal bebas sangat reaktif dalam mencapai kestabilan, radikal bebas sangat
berbahaya apabila telah menyerang tubuh dan terakumulasi banyak di dalam tubuh
akan menimbulkan penyakit-penyakit degeneratif. Untuk dapat mencegah efek dari
radikal bebas dapat digunakan antioksidan, antioksidan adalah senyawa kimia yang
dapat menyumbangkan satu atau lebih elektron kepada radikal bebas, sehingga
radikal bebas tersebut dapat diredam (Juniarti dkk, 2009).
Penelitian ini memanfaatkan kekayaan alam yang ada di Indonesia untuk
mencegah adanya penyakit-penyakit degeneratif yang disebabkan oleh radikal bebas
maka dilakukan pengujian aktivitas antioksidan ekstrak metanol 5 tanaman yang
2

terdapat dan mudah dijumpai oleh masyarakat di Sulawesi Tenggara dimana kelima
jenis tanaman ini biasa digunakan oleh masyarakat sebagai obat tradisional. Kelima
tanaman tersebut terdiri dari mahkota dewa (Phaleria macrocarpa (Scheff.) Boerl),
kirinyuh (Chromolaena odorata L.), kersen (Muntingia calabura L.), katuk
(Sauropus androgynus L. Merr.) dan bayam merah (Alternanthera amoena Voss).
Pengujian aktivitas antioksidan dilakukan dengan metode DPPH. DPPH
adalah singkatan dari 1,1-difenil-2-pikrilhidrazil yang merupakan salah satu radikal
bebas yang mengandung nitrogen tidak stabil. Pemeriksaan aktivitas anti radikal
bebas DPPH secara spektrofotometri dilakukan dengan mereaksikan sampel dengan
larutan DPPH pada panjang gelombang 515 nm. Metode DPPH digunakan dalam
penelitian ini karena pendeteksian adanya aktivitas dapat diketahui pada absorbansi
dengan menggunakan spektrofotometer, selain itu waktu dalam menganalisis sampel
lebih cepat serta penggunaan DPPH sebagai radikal lebih peka dan dapat
menggunakan sedikit sampel (Zuhra dkk, 2008).

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dari penelitian ini yaitu:


1.

Senyawa

metabolit sekunder apakah yang terkandung pada ekstrak metanol

mahkota dewa (Phaleria macrocarpa (Scheff.) Boerl), kirinyuh (Chromolaena


odorata L.), kersen (Muntingia calabura L.), katuk (Sauropus androgynus L.
Merr.) dan bayam merah (Alternanthera amoena Voss)?
3

2.

Bagaimanakah aktivitas antioksidan terhadap radikal DPPH ekstrak metanol dari


mahkota dewa (Phaleria macrocarpa (Scheff.) Boerl), kirinyuh (Chromolaena
odorata L.), kersen (Muntingia calabura L.), katuk (Sauropus androgynus L.
Merr.) dan bayam merah (Alternanthera amoena Voss)?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini yaitu:


1. Untuk mengetahui senyawa metabolit sekunder yang terkandung pada mahkota
dewa (Phaleria macrocarpa (Scheff.) Boerl), kirinyuh (Chromolaena odorata
L.), kersen (Muntingia calabura L. ), katuk (Sauropus androgynus L. Merr.) dan
bayam merah (Alternanthera amoena Voss).
2. Untuk mengetahui aktivitas antioksidan dari mahkota dewa (Phaleria
macrocarpa (Scheff.) Boerl), kirinyuh (Chromolaena odorata L.), kersen
(Muntingia calabura L.), katuk (Sauropus androgynus L. Merr.) dan bayam
merah (Alternanthera amoena Voss).

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa:


1.

Memperoleh informasi mengenai golongan senyawa kimia dan aktivitas


antioksidan ekstrak metanol beberapa tanaman.

2.

Menjadi bahan rujukan untuk penelitian oleh peneliti lainnya, sehingga dapat
dibuat suatu sediaan.

3.

Diharapkan dapat menambah informasi dan mendukung penggunaan tanaman


herbal sebagai antioksidan kepada masyarakat.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Tanaman Obat


1. Mahkota Dewa (Phaleria macrocarpa (Scheff.) Boerl)

Mahkota dewa berasal dari tanah Papua, Irian Jaya, namun dewasa ini tanaman
mahkota dewa bisa dijumpai di berbagai daerah. Sebagian ahli botani menamai
mahkota dewa berdasarkan tempat asalnya, yaitu Phaleria papuana Warb. var.
Wichannii (Val.) Back. Namun, sebagian yang lain menamainya berdasarkan ukuran
buahnya yang besar-besar (makro), yaitu Phaleria macrocarpa (Scheff.) Boerl.
a. Klasifikasi (Artayanti, 2014)
Regnum

: Plantae

Divisi

: Spermatophyta

Subdivisi

: Angiospermae

Kelas

: Magnoliopsida

Ordo

: Thymelaeaceae

Famili

: Thymelaeceae

Genus

: Phaleria

Spesies

: Phaleria macrocarpa (Scheff.) Boerl.

Gambar 1. Mahkota dewa ( P. macrocarpa)

b. Morfologi tanaman
Mahkota dewa bisa ditemukan ditanam di pekarangan sebagai tanaman hias
atau dikebun-kebun sebagai tanaman peneduh. Perdu menahun ini tumbuh tegak
dengan tinggi 1-2,5 m. Batangnya bulat, permukannya kasar, warnanya cokelat,
berkayu dan bergetah, percabangan simpodial. Daun tunggal, letaknya berhadapan,
bertangkai pendek, bentuknya lanset atau lonjong, ujung dan pangkalnya runcing, tepi
rata (Manganti, 2011). Mahkota dewa di daerah melayu, Depok, dan Jawa Barat
dikenal dengan nama buah simalakama, sedangkan di daerah Jawa Tengah mahkota
dewa memiliki nama lain makutadewa, makuto mewo, makuto ratu, atau makuto rojo.
c. Kandungan Kimia
Telah diketahui bahwa biji mahkota dewa bersifat toksik sedangkan buahnya
tidak, dengan potensi penghambatan yang lebih besar dibandingkan daunnya. Buah
mahkota dewa terdiri dari golongan saponin, alkaloid, tanin, flavonoid, fenol, lignan,
minyak atsiri. Pada kulitnya mengandung alkaloid, saponin, dan flavonoid (Beatrice,
2010).
d. Khasiat
Ekstrak daging buah mahkota dewa berkhasiat sebagai antihistamin,
antialergi, bersifat sitotosik terhadap sel kanker rahim, juga menurunkan kadar gula
darah, antioksidan, menurunkan kadar asam urat (Wijoyo, 2012).

2. Kirinyuh (Chromolaena odorata L.)

Tanaman kirinyuh berasal dari Hindia Timur, Amerika Tengah dan Amerika
Selatan. Tanaman ini biasa di anggap sebagai gulma pengganggu tanaman budidaya
ataupun mengganggu padang rumput yang menjadi tempat makan hewan ternak.
Tanaman ini biasa digunakan sebagai penghambat darah yang keluar pada luka.
a. Klasifikasi (Sagala, 2009)
Regnum

: Plantae

Divisi

: Spermatophyta

Subdivisi

: Magnoliophyta

Kelas

: Magnoliopsida

Ordo

: Asterales

Famili

: Asteraceae

Genus

: Chromolaena

Spesies

: Chromolaena odorata L.

Gambar 2. Kirinyuh (C. odorata)

b. Morfologi tanaman
Chromolaena odorata L. dikenal dengan nama Kirinyuh. Tumbuhan ini
termasuk dalam famili Asteraceae, daun berbentuk segitiga dan bergerigi pada bagian
tepi, mempunyai tulang daun yang nyata dan bila diremas akan terasa bau yang khas,
percabangan berhadapan. Tumbuhan ini dapat tumbuh pada ketinggian 1.000 - 2.800
m dari permukaan laut, tetapi di Indonesia banyak ditemukan di dataran rendah (0500 m dari permukaan laut) seperti di perkebunan karet, kelapa sawit, kelapa, dan
8

jambu mete serta padang penggembalaan. Sifatnya yang tidak tahan naungan,
membuat tumbuhan ini tumbuh subur dengan adanya sinar matahari yang cukup
(Nasution, 1986). Nama lain kirinyuh adalah pokok selaput tunggul (Eupatorium
odoratum) atau juga dikenali sebagai pokok kapalterbang dan pokok jerman dalam
bahasa melayu atau pokok jepun. Nama-nama lain tumbuhan ini selain yang telah
disebutkan adalah Osmia odorata L., rumpai siam, Christmas Bush, Bitter Bush dan
Baby Tea.
c. Khasiat
Ekstrak daun kirinyuh diketahui mengandung senyawa flavonoid yang
diketahui dapat berfungsi sebagai antivirus dan antibakteri. Daun tersebut telah
diaplikasikan pada manusia untuk membantu pembekuan darah akibat luka bisul
atau borok. Sedangkan pemakaian daun kirinyuh pada ikan budidaya khususnya
gurame masih dilakukan secara tradisional oleh para petani (Hadiroseyani, 2005).
d. Kandungan kimia
Pengujian kualitatif fitokimia ekstrak etanol daun kirinyuh terhadap beberapa
senyawa kimia mendapatkan hasil bahwa ekstrak daun

kirinyuh

diketahui

mengandung senyawa flavonoid (Hadiroseyani dkk, 2005).

3. Kersen (Mutingia calabura L.)

Buah kersen disukai terutama oleh anak-anak, burung dan kelelawar. Buah ini
juga dapat dijadikan selai. Di Meksiko, buah kersen dijual di pasar. Pohon kersen di
9

Indonesia mudah dijumpai, biasanya pohon ini dijadikan tempat teduh bagi tukang
becak di Indonesia. Burung-burung pemakan buah sering mengunjungi pohon ini di
waktu siang untuk memakan buah atau sari buahnya yang manis. Di waktu hari gelap,
berganti aneka jenis kelelawar pemakan buah yang datang dengan tujuan yang sama.
a. Klasifikasi (Puspitaning, 2012)
Regnum

: Plantae

Divisi

: Spermatophyta

Kelas

: Magnoliopsida

Ordo

: Malvales

Famili

: Muntingiaceae

Genus

: Muntingia

Spesies

: Muningia calabura L.

Gambar 3. Kersen (M. calabura)

b. Morfologi tanaman
Tumbuhan kersen berasal dari Amerika tropis dan banyak ditanam di
kebun sebagai pohon peneduh. Kersen memiliki pohon yang kecil dengan tinggi
2-10 m. Rantingnya diselimuti rapat oleh rambut biasa yang halus dan oleh rambut
kelenjar. Daunnya berseling, helaian daun tidak sama sisi, bulat telur bentuk
lanset dengan ujung runcing bergerigi, berambut rapat terutama di bawah daun,
lebarnya 4,5 - 14 kali 1,5 - 4 cm, tangkai daun pendek dan berambut seperti wol.
Bunga berjumlah 1-3 menjadi satu di ketiak daun, berbilangan 5 dan berkelamin
2. Mahkota bunganya berbentuk bulat telur terbalik dan berwarna putih.
Buahnya buni berwarna merah (Steenis, 2006). Nama lain dari kersen di Jakarta
10

biasa di sebut ceri, biasa juga disebut talok di Pulau Jawa dan dalam bahasa Madura
buah ini desebut baleci. Nama-nama lainnya di beberapa negara adalah datiles,
aratiles, manzanitas (Filipina); mt sm (Vietnam); khoom smz, takhb (Laos);
takhop farang (Thailand); krkhb barang (Kamboja); dan kerukup siam (Malaysia).
c. Khasiat
Bunga kersen dimanfaatkan sebagai obat tradisional untuk meringankan sakit
kepala dan gejala awal flu,

sedangkan daunnya dipercaya

memiliki efek

antipiretik dan anti inflamasi. Diketahui bahwa ekstrak aqueous daun Muntingia
calabura L. memiliki aktivitas antinociceptif,

anti-inflamasi

dan antipiretiki

(Zakaria dkk, 2007).


d. Kandungan kimia
Beberapa kandungan kimia dari kersen yang diketahui yaitu flavonoid,
saponin, tannin dan steroid (Zakaria dkk, 2007).
4. Katuk (Sauropus androgynus L. Merr.)

Pada umumnya daun katuk (Sauropus androgynus L. Merr.) digunakan sebagai


sayuran. Di Indonesia daun katuk digunakan untuk melancarkan air susu ibu, obat
borok, bisul, demam, dan darah kotor. Daun katuk diproduksi sebagai sediaan
fitofarmaka yang berkhasiat untuk melancarkan ASI (air susu ibu).

11

a. Klasifikasi (Christi, 2014)


Regnum

: Plantae

Divisi

: Spermatophyta

Kelas

: Magnoliopsida

Ordo

: Malpighiales

Famili

: Euphorbiaceae

Genus

: Sauropus

Spesies

: Sauropus androgynus L. Merr.

Gambar 4. Katuk (S. androgynus)

b. Morfologi tanaman
Katuk adalah perdu menahun yang sering dijumpai di Asia Tenggara.
Sayuran ini dikonsumsi secara luas di Indonesia, khususnya di Kalimantan, dan
seluruh wilayah India. Semak tahunan ini memiliki adaptasi tropika dan
subtropika serta produktif sepanjang tahun, walaupun tanaman cenderung agak
dorman

pada

cuaca

dingin.Ciri-ciri penting (khas) untuk mengenal Sauropus

androgynus L. Merr. ialah daun


uniseksualtrimeros (tanpa

tajuk

tunggal

seperti

daun

majemuk,

bunga

bunga atau petal) dan kristal kalsium oksalat

(roset), stomata anisositik (Filina, 2012). Di Indonesia katuk dikenal dengan berbagai
nama yaitu daun kartu dan daun barbing. Nama lain dari katuk di berbagai daerah
adalah memata (Melayu), simani (Minangkabau), kebing dan katukan (Jawa),
Kerakur (Madura).

12

c. Khasiat
Daun katuk digunakan sebagai obat demam dan pelancar air susu ibu (ASI)
karena mengandung beberapa senyawa seskuiterna, sedangkan akar katuk digunakan
sebagai obat luar (lepra) dan demam (Filina, 2012).
d. Kandungan kimia
Hasil penelitian Kelompok Kerja Nasional Tumbuhan Obat Indonesia
menunjukkan bahwa tanaman katuk mengandung beberapa senyawa kimia, antara
lain alkaloid papaverin, protein, lemak, vitamin, mineral, saponin, flavonid dan tanin.
(Zuhra dkk, 2008).
5. Bayam Merah (Alternanthera amoena Voss)
Tanaman bayam berasal dari Amerika tropik dan mudah tubuh dan tersebar di
daerah tropis dan subtropis di seluruh dunia. Tanaman bayam semula dikenal sebagai
tumbuhan hias. Dalam perkembangan selanjutnya, tanaman bayam dipromosikan
sebagai bahan pangan sumber protein, terutama untuk negara-negara berkembang.
Bayam merah biasa dimanfaatkan sebagai sayuran pelengkap gizi dan bayam merah
dapat digunakan dalam pengobatan penyakit tertentu seperti batang bayam digunakan
sebagai obat disentri dan akar bayam merah dapat digunakan sebagai obat anti
malaria dan demam berdarah.

13

a. Klasifikasi (Mua, 2012)


Regnum

: Plantae (Tumbuhan)

Divisi

: Spermatophyta

Kelas

: Magnoliopsida

Ordo

: Caryophyllales

Famili

: Amaranthaceae

Genus

: Alternanthera

Spesies

: Alternanther amoena Voss

Gambar 5. Bayam merah (A. amoena)


b. Morfologi tanaman
Tanaman bayam tumbuh baik pada ketinggian antara 5 sampai 1300 meter di
atas permukaan laut. Di Indonesia sering ditanam di pekarangan, sepanjang tanah
lumpur endapan sungai, kadang-kadang dijumpai juga yang hidup liar di tempattempat tidak terurus (Nugroho, 2011). Dalam bahasa jawa bayam merah dikenal
dengan nama bayam lemah, bayam sekul, bayam ringgit, bayam siti sedangkan
dalam bahasa Jakarta dikenal dengan bayam glatik. Dalam bahasa Maluku dikenal
dengan tona ma gaahu, jawa lufife, baya roriha, atau loda kohori.
c. Khasiat
Daun bayam baik untuk ginjal dan organ pencernaan oleh karena kandungan
seratnya yang cukup tinggi sehingga dapat mengatasi sembelit dan mengatasi sulit
buang air besar. Kandungan nutrisi dalam bayam dapat menurunkan koleterol, gula
darah, melancarkan peredaran darah dan menurunkan tekanan darah yang berlebihan.
Bayam juga dapat berkhasiat membersihkan darah kotor (Nugroho, 2011).
14

d. Kandungan kimia
Bagian daun, batang dan bunga bayam merah diduga terdapat
betasianin. Bayam merah telah
tinggi

dikenal sebagai salah

satu

sayuran

pigmen
bergizi

yang banyak mengandung protein, vitamin A, vitamin C dan garam-garam

mineral yang sangat dibutuhkan oleh tubuh. Bayam merah merupakan salah satu
spesies dari Genus Amaranthus, yang termasuk dalam famili Amaranthaceae
(Yuliza, 2012).
B. Metode Analisis Senyawa Bahan Alam
1. Ekstraksi

Ekstrak adalah sediaan kental yang diperoleh dengan mengekstraksi senyawa


aktif dari simplisia dengan menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau
hampir semua pelarut diauapkan (Depkes, 1995).
Ekstraksi adalah suatu metoda operasi yang digunakan dalam proses
pemisahan suatu komponen dari campurannya dengan menggunakan sejumlah massa
bahan (solven) sebagai tenaga pemisah. Apabila komponen yang akan dipisahkan
(solute) berada dalam fase padat, maka proses tersebut dinamakan pelindihan atau
leaching. Sebagai tenaga pemisah, solven harus dipilih sedemikian hingga
kelarutannya terhadap salah satu komponen murninya adalah terbatas atau sama
sekali tidak saling melarutkan. Karenanya, dalam proses ekstraksi akan terbentuk dua
fase cairan yang saling bersinggungan dan selalu mengadakan kontak. Fase yang
15

banyak mengandung diluen disebut fase rafinat sedangkan fase yang banyak
mengandung solven dinamakan ekstrak (Maulida dan Naufal, 2010).
Ekstraksi yang biasa digunakan ada dua jenis yaitu ekstraksi dingin dan
ekstraksi panas. Contoh ekstraksi dingin adalah maserasi dan perkolasi, sedangkan
ekstraksi secara panas adalah dengan refluks, digesti, infus, dekok dan sokletasi
(Simanjuntak, 2008).
Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan pelarut
dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan (kamar).
Remaserasi berarti dilakukan pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan
penyaringan serat pertama, dan seterusnya. Metode ekstraksi yang dipilih adalah
maserasi karena pelaksanaannya sederhana serta untuk mengurangi kemungkinan
terjadinya penguraian zat aktif yang terkandung dalam tanaman oleh pengaruh suhu,
karena dalam maserasi tidak ada proses pemanasan. Tujuan maserasi adalah untuk
memberi kesempatan pada simplisia berdifusi ke dalam pelarut (Beatrice, 2010).
Prinsip maserasi adalah ekstraksi zat aktif yang dilakukan dengan cara
merendam serbuk dalam pelarut yang sesuai selama beberapa hari pada temperatur
kamar terlindung dari cahaya, pelarut akan masuk kedalam sel tanaman melewati
dinding sel. Isi sel akan larut karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan di
dalam sel dengan di luar sel. Larutan yang konsentrasinya tinggi akan terdesak keluar
dan diganti oleh pelarut dengan konsentrasi redah (proses difusi). Peristiwa tersebut

16

akan berulang sampai terjadi keseimbangan antara larutan di dalam sel dan larutan di
luar sel (Ansel, 1989).
2. Skrining Fitokimia

Kajian fitokimia meliputi uraian yang mencangkup aneka ragam senyawa


organik yang dibentuk dan disimpan oleh organisme, yaitu struktur kimianya,
biosintesisnya, perubahan serta metabolismenya, penyebarannya secara alamiah dan
fungsi biologisnya, isolasi dan perbandingan komposisi senyawa kimia dari
bermacam-macam jenis tanaman (Sirait, 2007). Analisis fitokimia dilakukan untuk
menentukan ciri komponen bioaktif suatu ekstrak kasar yang mempunyai efek racun
atau efek farmakologis lain yang bermanfaat bila diujikan dengan sistem biologi atau
bioassay (Harborne, 1987).
a) Alkaloid
Alkaloid merupakan metabolit sekunder terbesar yang banyak ditemukan pada
tumbuhan tingkat tinggi dan mempunyai susunan basa nitrogen, yaitu satu atau 2
atom nitrogen (Bhat dkk, 2009). Alkaloid sering beracun bagi manusia dan
mempunyai efek fisiologis yang menonjol, sehingga sering digunakan untuk
pengobatan. Alkaloid dibentuk berdasarkan prinsip pembentukan campuran dan
terbagi menjadi 3 bagian, yaitu elemen yang mengandung N terlibat pada
pembentukan alkaloid, elemen tanpa N yang ditemukan dalam molekul alkaloid dan
reaksi yang terjadi untuk pengikatan khas elemen-elemen pada alkaloid. Alkaloid

17

tidak mempunyai tata nama sistematik, oleh karena itu, suatu alkaloid dinyatakan
dengan nama trivial yang berakhiran -in. Fungsi alkaloid dalam tumbuhan belum
diketahui secara pasti. Namun alkaloid berfungsi sebagai pengatur tumbuh atau
penghalau dan penarik serangga (Harborne, 1987).
b) Flavonoid
Flavonoid merupakan golongan fenol terbesar yang senyawa yang terdiri dari
C6-C3-C6 dan sering ditemukan diberbagai macam tumbuhan dalam bentuk
glikosida atau gugusan gula bersenyawa pada satu atau lebih grup hidroksil fenolik.
Flavonoid merupakan golongan metabolit sekunder yang disintesis dari asam piruvat
melalui metabolisme asam amino. Flavonoid adalah senyawa fenol, sehingga
warnanya berubah bila ditambah basa atau amoniak. Terdapat sekitar 10 jenis
flavonoid yaitu antosianin, proantosianidin, flavonol, flavon, glikoflavon, biflavonil,
khalkon, auron, flavanon, dan isoflavon (Harborne, 1987).
Penamaan flavonoid berasal dari bahasa latin yang mengacu pada warna
kuning dan sebagian besar flavonoid adalah berwarna kuning. Flavonoid sering
ditemukan dalam bentuk pigmen dan co-pigmen. Flavonoid adalah golongan pigmen
organik yang tidak mengandung molekul nitrogen. Kombinasi dari berbagai macam
pigmen ini membentuk pigmentasi pada daun, bunga, buah dan biji tanaman. Pigmen
ini merupakan antraktan bagi serangga dan merupakan agen polinasi. Pigmen juga
bermanfaat bagi manusia dan salah satu manfaat yang penting adalah sebagai
antioksidan. Bagi manusia, flavon dalam dosis kecil bekerja sebagai stimulan pada
18

jantung dan pembuluh darah kapiler, sebagai diuretik dan antioksidan pada lemak
(Bhat dkk, 2009).
c) Tanin
Tanin disebut juga zat samak yang memiliki sifat dapat menciutkan dan
mengendapkan protein dari larutan dengan membentuk senyawa yang tidak
larut (Sirait, 2007). Tanin merupakan polimer polifenolik yang dapat larut
dalam air dengan berat molekuler yang relatif tinggi dan memiliki kemampuan
untuk membentuk senyawa kompleks dengan protein membentuk kelompok
fenolik hidroksil yang besar. Tanin banyak terdapat pada hijauan pohon yang
memiliki nutrisi baik, semak belukar, dan kacang-kacangan, buah-buahan serta
biji-bijian.
Tanin dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu tanin terhidrolisa dan
tanin terkondensasi. Tanin terhidrolisa merupakan molekul kompleks dengan
polyol sebagai intinya seperti glukosa, glusitol, asam quinic, quersitol, dan asam
shikimic yang sebagian atau seluruhnya teresterifikasi dengan kelompok fenolik.
Tanin terkondensasi

merupakan sebagian

besar dari polimer

flavan-3-ol unit

(epi)catechin dan (epi)gallocatechin yang berikatan dengan hubungan C4 - C8


dan C4 - C6 interflavoniod (Patra dan Saxena, 2010).

19

d) Saponin
Saponin tersebar luas diantara tanaman tinggi. Keberadaan saponin sangat
mudah ditandai dengan pembentukan larutan koloidal dengan air yang apabila
dikocok menimbulkan buih yang stabil. Saponin merupakan senyawa berasa pahit
menusuk, menyebabkan bersin dan sering mengakibatkan iritasi terhadap selaput
lendir (Gunawan dan Mulyani, 2004).
Saponin adalah glikosida triterpena dan sterol yang telah terdeteksi dalam
lebih dari 90 genus pada tumbuhan. Glikosida adalah suatu kompleks antara gula
pereduksi (glikon) dan bukan gula (aglikon). Banyak saponin yang mempunyai
satuan gula sampai 5 dan komponen yang umum ialah asam glukuronat. Adanya
saponin dalam tumbuhan ditunjukkan dengan pembentukan busa yang mantap
sewaktu mengekstraksi tumbuhan atau memekatkan ekstrak (Harborne, 1987).
e) Triterpenoid
Triterpenoid adalah senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari 6 satuan
isoprene dan secara biosintesis diturunkan dari hidrokarbon C30 asiklik, yaitu
skualena. Triterpenoid merupakan senyawa tanpa warna, berbentuk kristal, sering kali
mempunyai titik leleh tinggi dan aktif optik yang umumnya sukar dicirikan karena
tak ada kereaktifan kimianya (Harborne, 1987).

20

3. Identifikasi senyawa aktif dengan kromatografi lapis tipis (KLT)

Kromatografi adalah proses pemisahan yang tergantung pada perbedaan


distribusi campuran komponen antara fase gerak dan fase diam. Fase diam dapat
berupa pembentukan kolom dimana fase gerak dibiarkan untuk mengalir
(kromatografi kolom) atau berupa pembentukan lapis tipis dimana fase gerak
dibiarkan untuk naik berdasarkan kapilaritas (kromatografi lapis tipis). Perlu
diperhatikan bahwa senyawa yang berbeda memiliki koefisien partisi yang
berbeda antara fase gerak dan diam. Senyawa yang berinteraksi lemah dengan
fase diam akan bergerak lebih cepat melalui sistem kromatografi. Senyawa
dengan interaksi yang kuat dengan fase diam akan bergerak sangat lambat
(Noviyanti, 2010).
Kromatografi lapis tipis (KLT) adalah metode pemisahan fitokimia dari
campuran zat dengan menggunakan sebuah lapisan tipis bahan penyerap, karena
penggunaan lapisan tipis ini maka prosesnya disebut Kromatografi Lapis Tipis.
Campuran zat yang akan dipisahkan berupa larutan dan ditotolkan berupa titik atau
pita. Setelah itu lempeng diletakkan di dalam bejana tertutup rapat yang birisi cairan
elusi atau fase gerak yang cocok. Pemisahan dianggap berhasil bila zat dapat berpisah
satu dengan yang lainnya sepanjang lapisan bahan penjerap (lempeng) berupa bercak.
Selanjutnya senyawa yang tidak berwarna harus ditampakkan dengan menggunakan
pereaksi warna yang cocok. Keuntungan menggunakan metode ini adalah biaya yang

21

murah untuk pemakaian rutin, serta ketersediaan prosedur untuk pemurnian dan
isolasi (Nugroho, 2009).
a. Fase diam
Fase diam adalah lapisan tipis penyerapan yang seragam atau media terpilih
digunakan sebagai media pembawa. Penjerap dilekatkan pada penyangga sebagai
pelapis untuk mendapatkan lapisan yang stabil dengan ukuran yang sesuai.
Penyangga yang sering digunakan adalah lempeng gelas juga lembaran plastik dan
alumuniun, sedangkan penjerap yang sering digunakan antara lain silica gel, alumina,
kieselguhr dan selulose (Tounchstone dan Dobbins, 1983).
Penjerap pada umumnya adalah silica gel, alumina, kieselguhr, selulosa dan
turunannya, poliamid. Panjang lapisan tipis fase diam tersebut adalah 200 mm,
dengan lebar 200 mm atau 100 mm. Lempeng yang banyak digunakan adalah
lempeng dengan fase diam silica gel GF254 dimana pada sinar UV 254 nm lempeng
dapat berfluorosensi dan bercaknya gelap, sedangkan dengan sinar UV 366 nm
lempeng akan gelap dan bercaknya befluorosensi (Nugroho, 2009).
Lapis tipis dapat mengandung indikator fluorosensi yang ditambahkan untuk
membantu penampakan bercak tak berwarna setelah proses pengembangan. Lapisan
yang mengandung indikator fluorosensi akan berpendar jika disinari pada panjang
gelombang yang tepat. Jika senyawa pada bercak yang akan ditampakkan
mengandung ikatan rangkap terkonjugasi atau mengandung cincin aromatik, maka
sinar UV yang mengeksitasi tidak akan mencapai indikator fluorosensi dan ada
22

cahaya yang dipancarkan. Hasilnya berupa bercak gelap dengan latar belakang yang
berfluorosensi (Gritter, 1991).
b. Fase gerak
Fase gerak adalah media angkut yang terdiri dari satu atau beberapa pelarut,
bergerak di dalam fase diam yaitu lapisan berpori, karena adanya gaya kapiler.
(Nugroho, 2009). Sifat dan komposisi kimia fase gerak ditentukan oleh jenis zat yang
dipisahkan dan jenis penjerap yang digunakan untuk pemisahan. Komposisi fase
gerak dapat berupa pelarut murni maupun campuran kompleks dari beberapa pelarut
(Tounchstone dan Dobbins, 1983).
c. Penotolan sampel
Pemisahan pada kromatografi lapis tipis yang optimal akan diperoleh
hanya

jika

Sebagaimana

menotolkan
dalam

sampel

prosedur

dengan

kromatografi

ukuran
yang

bercak
lain,

sekecil mungkin.
jika sampel

yang

digunakan terlalu banyak maka akan menurukan resolusi. Hasil penelitian


menunjukkan bahwa penotolan sampel secara otomatis lebih dipilih daripada
penotolan secara manual terutama jika sampel yang akan ditotolkan lebih dari 15 l.
Penotolan sampel yang tidak tepat akan menyebabkan bercak menyebar dan puncak
ganda (Akhyar, 2010).
d. Metode deteksi
Mengidentifikasi noda-noda dalam lapisan tipis lazim menggunakan harga Rf
yang diidentifikasikan sebagai perbandingan antara jarak perambatan suatu zat
23

dengan jarak perambatan pelarut yang dihitung dari titik penotolan pelarut zat. Jarak
yang ditempuh oleh tiap bercak dari titik penotolan diukur dari pusat bercak. HargaRf
didefinisikan sebagai berikut (Sinaga, 2012):
Harga Rf =

Harga-harga Rf untuk senyawa-senyawa murni dapat dibandingkan dengan


harga-harga standar. Harga-harga Rf yang diperoleh hanya berlaku untuk campuran
tertentu dari pelarut dan penyerap yang digunakan (Sastrohamidjojo, 2007).
C. Radikal bebas
Radikal bebas (free radical) merupakan salah satu bentuk senyawa yang
mempunyai elektron tidak berpasangan (Winarsi, 2007). Adanya elektron tidak
berpasangan menyebabkan senyawa tersebut sangat reaktif mencari pasangan.
Radikal bebas ini akan merebut elektron dari molekul lain yang ada di sekitarnya
untuk menstabilkan diri. Radikal bebas erat kaitannya dengan kerusakan sel,
kerusakan jaringan, dan proses penuaan (Fessenden dan Fessenden, 1986). Reaksi ini
akan berlangsung terus menerus dalam tubuh dan bila tidak dihentikan akan
menimbulkan berbagai penyakit seperti kanker, jantung, katarak, penuaan dini, serta
penyakit degeneratif lainnya. Oleh karena itu, tubuh memerlukan suatu substansi
penting yaitu antioksidan yang mampu menangkap radikal bebas tersebut sehingga
tidak dapat menginduksi suatu penyakit. Radikal bebas juga dapat mengubah suatu
molekul menjadi suatu radikal (Kikuzaki dkk, 2002).
24

Secara umum, tahapan reaksi pembentukan reaksi radikal bebas melalui 3


tahapan reaksi yaitu inisiasi, propagasi dan terminasi. Tahap inisiasi merupakan awal
pembentukan radikal bebas, tahap propagasi merupakan pemanjangan rantai dan
tahap terminasi merupakan bereaksinya senyawa radikal dengan radikal lain atau
dengan penangkap radikal sehingga potensi propagasinya rendah. Reaktivitas radikal
bebas dapat dihambat dengan cara: mencegah (prevention) atau menghambat
(inhibition) pembentukan radikal bebas baru, menginaktivasi (inactivation) atau
menangkap radikal bebas (free radical scavenger) dan memotong propagasi
(pemutusan rantai) memperbaiki (repaire) kerusakan yang diakibatkan oleh radikal
bebas (Winarsi, 2007).
Tidak selamanya oksidan yang reaktif dalam tubuh itu merugikan. Pada
kondisi tertentu keberadaannya sangat dibutuhkan, misalnya untuk membunuh
bakteri yang masuk ke dalam tubuh. Oleh karena itu, keberadaannya harus
dikendalikan oleh sistem antioksidan dalam tubuh (Hudaya dan Hadeng, 2010).

D. Antioksidan
Antioksidan merupakan substansi penting yang mampu melindungi tubuh dari
serangan radikal bebas dan meredamnya. Konsumsi antioksidan dalam jumlah
memadai mampu menurunkan resiko terkena penyakit

degeneratif seperti

kardiovaskuler, kanker, aterosklerosis, osteoporosis dan lain-lain. Konsumsi makanan


yang

mengandung

antioksidan dapat

meningkatkan status

imunologi dan

25

menghambat timbulnya penyakit degeneratif akibat penuaan. Kecukupan antioksidan


secara optimal dibutuhkan oleh semua kelompok umur (Winarsi, 2007).
Di dalam tubuh kita terdapat senyawa yang disebut antioksidan yaitu senyawa
yang dapat menetralkan radikal bebas, seperti: enzim SOD (Superoksida Dismutase),
gluthatione, dan katalase. Antioksidan juga dapat diperoleh dari asupan makanan
yang banyak mengandung vitamin C, vitamin E dan betakaroten serta senyawa
fenolik. Bahan pangan yang dapat menjadi sumber antioksidan alami, seperti rempahrempah, coklat, biji-bijian, buah-buahan, sayur-sayuran seperti buah tomat, pepaya,
jeruk dan sebagainya (Prakash, 2001).
Antioksidan merupakan substansi nutrisi maupun non-nutrisi yang terkandung
dalam bahan pangan, yang mampu mencegah atau memperlambat terjadinya
kerusakan oksidatif dalam tubuh. Antioksidan merupakan senyawa pemberi elektron
(elektron donor) atau reduktan/reduktor. Antioksidan mampu menghambat reaksi
oksidasi dengan cara mengikat radikal bebas dan molekul yang sangat reaktif
sehingga kerusakan sel dapat dicegah. Senyawa ini mempunyai berat molekul kecil
tapi mampu menginaktivasi reaksi oksidasi dengan mencegah terbentuknya radikal
(Winarsi, 2007). Antioksidan merupakan zat yang dapat menunda, memperlambat
dan mencegah terjadinya proses oksidasi. Antioksidan sangat bermanfaat bagi
kesehatan dan berperan penting dalam mempertahankan mutu produk pangan (Tamat
dkk, 2007).
Antioksidan penting untuk kesehatan dan kecantikan serta mempertahankan
mutu produk pangan. Di bidang kesehatan dan kecantikan, antioksidan berfungsi
26

untuk mencegah penyakit kanker dan tumor, penyempitan pembuluh darah, penuaan
dini, dan lain-lain (Tamat dkk, 2007). Konsumsi antioksidan dalam jumlah memadai
mampu menurunkan resiko terkena penyakit degeneratif seperti kardiovaskuler,
kanker, aterosklerosis, osteoporosis dan lain-lain. Konsumsi makanan yang
mengandung antioksidan dapat meningkatkan status imunologi dan menghambat
timbulnya penyakit degeneratif akibat penuaan. Kecukupan antioksidan secara
optimal dibutuhkan oleh semua kelompok umur (Winarsi, 2007).
Berkaitan dengan fungsinya, senyawa antioksidan di klasifikasikan dalam
lima tipe antioksida yaitu primary antioxidants merupakan senyawa-senyawa fenol
yang mampu memutus rantai reaksi pembentukan radikal bebas asam lemak. Dalam
hal ini memberikan atom hidrogen yang berasal dari gugus hidroksi senyawa fenol
sehingga terbentuk senyawa yang stabil. Senyawa antioksidan yang termasuk
kelompok ini, misalnya BHA, BHT, PG, TBHQ, dan tokoferol. Tipe antioksidan
kedua yaitu oxygen scavengers merupakan senyawa-senyawa yang berperan sebagai
pengikat oksigen sehingga tidak mendukung reaksi oksidasi. Dalam hal ini, senyawa
tersebut akan mengadakan reaksi dengan oksigen yang berada dalam sistem sehingga
jumlah oksigen akan berkurang. Contoh dari senyawa-senyawa kelompok ini adalah
vitamin C (asam askorbat), askorbilpalminat, asam eritorbat, dan sulfit. Tipe
antioksidan ketiga yaitu secondary antioxidants merupakan senyawa-senyawa yang
mempunyai kemampuan untuk berdekomposisi hidroperoksida menjadi prodak akhir
yang stabil. Tipe antioksidan ini pada umumnya digunakan untuk menstabilkan
poliolefinresin. Contohnya, asam tiodipropionat dan dilauriltiopropionat. Tipe
27

antioksidan keempat antioxidative enzime, yaitu enzim yang berperan mencegah


terbantuknya radikal bebas. Contohnya glukoseoksidase, superoksidase dismutase
(SOD), glutation peroksidase, dan kalalase. Serta tipe antioksidan helators
sequestrants, yaitu senyawa-senyawa yang mampu mengikat logam seperti besi dan
tembaga yang mampu mengkatalis reaksi oksidasi lemak. Senyawa yang termasuk di
dalamnya adalah asam sitrat, asam amino, ethylenediamin etetra acetid acid (EDTA),
dan fosfolipid (Maulida dan Naufal, 2010).
Berdasarkan mekanisme kerja dan sumbernya, antioksidan diklasifikasikan
menjadi 3 golongan, yaitu antioksidan primer, antioksidan sekunder dan antioksidan
tersier.

Antioksidan primer disebut juga sebagai antioksidan endogenus, yaitu

antioksidan yang diproduksi secara alami dan kontinyu oleh tubuh. Antioksidan
primer merupakan jenis antioksidan enzimatis, yaitu mampu memberikan atom
hidrogen kepada radikal bebas sehingga radikal bebas ini menjadi lebih stabil.
Mekanisme kerja antioksidan primer adalah dengan cara mencegah pembentukan
senyawa radikal bebas baru atau mengubah radikal bebas yang telah terbentuk
menjadi lebih stabil dan kurang reaktif dengan cara memutus reaksi berantai
(polimerisasi) atau dikenal dengan istilah juga chain- breaking-antioxidant. Contoh
antioksidan primer adalah enzim superoksida dismutase (SOD), katalase dan
glutation peroksidase (GSH) (Tamat dkk, 2007).
Antioksidan sekunder disebut juga sebagai antioksidan eksogenus atau
antioksidan non-enzimatis, yaitu antioksidan yang tidak diproduksi secara alami oleh
tubuh dan didapatkan dari asupan makanan maupun minuman. Mekanisme kerja
28

antioksidan sekunder adalah dengan cara memotong reaksi oksidasi berantai dari
radikal bebas atau dengan cara menangkap radikal bebas (free radicalscavenger).
Sehingga radikal bebas tidak akan bereaksi dengan komponen seluler. Antioksidan
sekunder terdiri dari antioksidan alami dan antioksidan sintetik. Antioksidan alami
banyak ditemukan dalam sayuran dan buah-buahan. Komponen yang terkandung di
dalamnya adalah vitamin C, vitamin E, -karoten, flavonoid, isoflavon, flavon,
antosianin, katekin, isokatekin, asam lipoat, bilirubin dan albumin, likopen dan
klorofil. Antioksidan sintetik dibuat dari bahan-bahan kimia antara lain butyl
atedhydroxyanisol (BHA), butylated hydroxy toluene (BHT), tert- butylhydroquinone
(TBHQ) dan propyl gallate (PG) (Heo dkk, 2005).
Antioksidan tersier meliputi sistem enzim DNA-repair dan metionin
sulfoksida reduktase. Enzim-enzim ini berfungsi dalam perbaikan biomolekuler yang
rusak akibat aktivitas radikal bebas. Kerusakan DNA akibat radikal bebas dapat
dicirikan oleh rusaknya single atau double strand pada gugus basa dan non- basa
(Winarsi, 2007).
E. Uji Aktivitas Antioksidan Metode DPPH (1,1-difenil-2-pikrilhidrazil)
Pada metode ini, larutan DPPH berperan sebagai radikal bebas yang akan
bereaksi dengan senyawa antioksidan sehingga DPPH akan berubah menjadi 1,1diphenyl-2-picrylhydrazin yang bersifat non-radikal. Peningkatan jumlah 1,1diphenyl-2-picrylhydrazin akan ditandai dengan berubahnya warna ungu tua menjadi
warna merah muda atau kuning pucat dan dapat diamati menggunakan

29

spektrofotometer sehingga aktivitas peredaman radikal bebas oleh sampel dapat


ditentukan (Molyneux, 2004). Pengukuran antioksidan dengan metode DPPH
merupakan metode pengukuran antioksidan yang cepat dalam mengidentifikasi reaksi
antara radikal dan ekstrak serta dapat dilakukan dengan pengamatan secara langsung
apabila adanya hambatan pada radikal dan tidak membutuhkan banyak reagen seperti
halnya metode lain. Hasil pengukuran dengan metode DPPH menunjukkan
kemampuan antioksidan sampel secara umum, tidak berdasar jenis radikal yang
dihambat (Juniarti dkk, 2009).
Pengukuran aktivitas antioksidan dengan metode DPPH menggunakan prinsip
spektrofotometri. Senyawa DPPH dalam metanol berwarna ungu tua terdeteksi pada
panjang

gelombang

sinar

tampak

sekitar

515-517

nm.

Parameter

untuk

menginterpretasikan hasil pengujian DPPH adalah dengan nilai IC 50 (Inhibitor


Concentration). IC50 merupakan konsentrasi larutan substrat atau sampel yang
mampu mereduksi aktivitas DPPH sebesar 50%. Semakin kecil nilai IC50 berarti
semakin tinggi aktivitas antioksidan. Secara spesifik suatu senyawa dikatakan sebagai
antioksidan sangat kuat jika nilai IC50 kurang dari 50 ppm (IC50 < 50 ppm), kuat (50
ppm < IC50 < 100 ppm), sedang (100 ppm < IC50 < 150 ppm), lemah (150 ppm <
IC50 < 200 ppm), dan sangat lemah (IC50 > 200 ppm).

30

F. Kerangka Konsep
Untuk memahami alur dari penelitian ini maka dibuat dalam kerangka konsep.
Kerangka konsep dari penelitian ini dapat dilihat pada gambar 6.

Penyakit

Radikal Bebas

degeneratif
Antioksidan

Sintesis

Alami

Tanaman obat

Phaleria
macrocarpa
(Akar, batang, dan
daun)

Kirinyuh
(Chromolaena
odorata) (Akar,
batang, dan daun)

Skrining

Alkaloid
Flavonoid
Tanin
Saponin
Triterpenoid

Kersen (M.
calabura) (Akar,
batang, dan daun)

Katuk
(Sauropusandrogy
nus)(Akar,
batang, dan daun)

Bayam merah
(Alternanthera
amoena)(Akar,
batang, dan daun)

Ekstrak

Uji antioksidan

IC50
Gambar 6. Kerangka Konsep Penelitian

31

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Farmasi Fakultas Farmasi
Universitas Halu Oleo dan dilaksanakan mulai bulan Oktober 2014 Desember 2014.

B. Jenis Penelitian
Penelitian ini berupa penelitian eksperimental yaitu berupa penentuan
aktivitas antioksidan ekstrak metanol daun, batang, dan akar dari beberapa tanaman
terhadap radikal bebas DPPH.

C. Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun, kulit batang, dan
akar tanaman mahkota dewa (P. macrocarpa (Scheff.) Boerl) yang di ambil di daerah
Mandonga Kendari. Daun, kulit batang, dan akar kirinyuh (C. odorata L.) yang
diambil dari arboretum Universitas Halu Oleo daerah Anduonohu. Daun, kulit
batang, dan akar kersen (M. calabura L.) yang diambil dari arboretum Universitas
Halu Oleo daerah Anduonuhu. Daun, kulit batang, dan akar katuk (S. androgynus L.
Merr.) yang diambil di daerah Mandonga Kendari. Daun, kulit batang, dan akar
bayam merah (A. amoena Voss) dari darerah Konawe Selatan. Metanol, kloroform,
32

asam asetat, air, asam klorida, FeCl3, asam sulfat, n-heksan, etil asetat, reagen
Dragendrof, reagen Lieberman-Burchard, amoniak, plat KLT, radikal DPPH, vitamin
C, kertas saring (Whatmann).

D. Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah pisau, blender (philips),
erlenmeyer (pyrex), corong (pyrex), rotary vacum evaporator (Buchi Rotavapor R210), gelas ukur (pyrex), waterbath, botol / toples kaca, oven, timbangan analitik,
botol vial, chamber, pipa kapiler, pinset, oven, lampu UV, cutter, kuvet, dan
spektronik 20D.

E. Definisi operasional
Definisi operasional dalam penelitian ini sebagai berikut.
1. Ekstrak metanol Phaleria macrocarpa (Scheff.) Boerl yang dimaksud dalam
penelitian ini adalah maserat metanol Phaleria macrocarpa (Scheff.) Boerl
(daun, kulit batang dan akar).
2. Ekstrak metanol Chromolaena odorata L. yang dimaksud dalam penelitian ini
adalah maserat metanol Chromolaena odorata L. (daun, kulit batang dan akar).
3. Ekstrak metanol Muntingia calabura L. yang dimaksud dalam penelitian ini
adalah maserat metanol Muntingia calabura L. (daun, kulit batang dan akar).

33

4. Ekstrak metanol Sauropus androgynus L. Merr. yang dimaksud dalam penelitian


ini adalah maserat metanol Sauropus androgynus L. Merr. (daun, kulit batang
dan akar).
5. Ekstrak metanol Alternanthera amoena Voss. yang dimaksud dalam penelitian
ini adalah maserat metanol Alternanthera amoena Voss. (daun, kulit batang dan
akar).
6. DPPH (1,1-difenil-2-pikrilhidrazil) adalah radikal bebas yang digunakan dalam
penelitian ini.
7. Metabolit sekunder yang dimaksud dalam penelitian ini adalah metabolit
sekunder yang diidentifikasi pada skrining fitokimia.
8. Aktivitas antioksidan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah aktivitas
antioksidan metabolit sekunder yang diukur presentasi hambatannya (IC50).
F. Prosedur Penelitian
1.

Determinasi Tanaman
Tanaman

yang

diperoleh

dilakukan

determinasi

di

Laboratorium

Pengembangan Program Studi Pendidikan Biologi Fakultas Keguruan dan Ilmu


Pendidikan Universitas Halu Oleo.
2.

Tahap maserasi

a.

Penyiapan Sampel
Penelitian menggunakan 5 tanaman yang terdiri dari mahkota dewa (Phaleria

macrocarpa (Scheff.) Boerl), kirinyuh (Chromolaena odorata L.), kersen (Muntingia


34

calabura L. ), katuk (Sauropus androgynus L. Merr.), dan bayam merah


(Alternanthera amoena Voss) yang diambil di daerah Sulawesi Tenggara. Preparasi
dilakukan dengan membersihkan menggunakan air mengalir. Kemudian memotongmotongnya menjadi ukuran yang lebih kecil, selanjutnya dikeringkan dan diblender
sampai menjadi serbuk.
b. Ekstraksi Maserasi
Sebanyak 500 g serbuk tanaman diekstraksi maserasi dalam wadah kaca
tertutup hingga pelarut berwarna bening, pelarut yang digunakan metanol. Pemisahan
residu dan filtrat dilakukan dengan menyaring dengan menggunakan kertas saring.
Filtrat yang didapat dikumpulkan dan dipekatkan dengan penguap berputar vakum
pada suhu 55,5oC hingga diperoleh ekstrak kental.

3.

Uji Aktivitas Antioksidan Metode DPPH

a. Pembuatan Pereaksi DPPH 100 ppm


Cara membuatnya adalah menimbang 10 mg DPPH kemudian dilarutkan
dalam metanol hingga semua larut, selanjutnya dimasukkan ke dalam labu takar 100
mL dan diencerkan hingga tanda tera. Kocok sampai homogen sehingga didapat
larutan DPPH 100 g/mL. Larutan DPPH disimpan dalam wadah yang dilindungi
dari cahaya dengan cara melapisinya dengan kertas aluminium.
b. Pembuatan larutan blanko
Pembuatan larutan blanko dilakukan dengan cara memipet 1,0 mL metanol
dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan ditambahkan 1,0 mL larutan DPPH 100 ppm,
35

lalu ditambahkan 2,0 mL metanol dikocok hingga homogen dan diinkubasi pada suhu
37oC selama 30 menit.
c. Pengujian larutan pembanding asam askorbat
Sebanyak 5 mg asam askorbat ditimbang kemudian dilarutkan dalam 5 mL
metanol sehingga diperoleh konsentrasi 1000 ppm. Dilakukan pengenceran untuk
membuat larutan konsentrasi 10, 20, 40, 80, dan 160 ppm. Setelah itu 1 mL larutan
masing-masing konsentrasi dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan ditambahkan 1
mL larutan DPPH 100 ppm dan ditambahkan 2 mL metanol. Dikocok hingga
homogen kemudian tabung yang berisi larutan tersebut diinkubasi pada suhu 370C
selama 30 menit. Serapan diukur menggunakan spektrofotometer UV-Vis pada
panjang gelombang 515-517 nm.
d. Pengukuran serapan sampel
1) Pembuatan larutan sampel/ekstrak 1.000 ppm
Cara membuatnya adalah menimbang 1.000 mg ekstrak dilarutkan dalam
metanol hingga larut, selanjutnya dimasukkan ke dalam labu takar 1.000 mL dan
diencerkan hingga tanda tera.
2) Pembuatan larutan seri bahan uji konsentrasi 10, 20, 40, 80, dan 160 ppm
Dilakukan pengenceran pada sampel 1.000 ppm untuk membuat konsentrasi
10, 20, 40, 80, dan 160 ppm. Setelah itu 1 mL larutan masing-masing konsentrasi
dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan ditambahkan 1 mL DPPH kemudian
ditambahkan lagi 2 mL metanol. Dikocok hingga homogen kemudian diinkubasi pada

36

suhu 370C selama 30 menit. Uji serapan dilakukan pada panjang gelombang 515-517
nm.
e. Penghitungan
Persentase hambatan (IC50) terhadap radikal DPPH dari masing-masing
konsentrasi larutan sampel dapat dihitung dengan rumus:
% Inhibisi =

x 100%

Nilai persentase hambatan (%) dan konsentrasi ekstrak (g/mL) diplot


masing-masing pada sumbu x dan y, sehingga didapatkan persamaan y = a + bx
dengan perhitungan regresi linear. Aktivitas antioksidan dinyatakan dengan
Inhibition Concentration 50% (IC50) yaitu konsentrasi sampel yang dapat meredam
radikal DPPH sebanyak 50%. Nilai IC50 didapatkan dari nilai x setelah mengganti y =
50.
4.

Skrining Fitokimia
Skrining fitokimia dengan KLT dilakukan dengan menggunakan plat silika

gel F254. Masing-masing plat dengan ukuran 1x10 cm2. Ekstrak dari masing-masing
tanaman ditotolkan pada jarak 1 cm dari tepi bawah plat dengan pipa kapiler
kemudian dikeringkan dan dielusi dengan masing-masing fase gerak golongan
senyawanya. Setelah gerakan fase gerak sampai pada garis batas, elusi dihentikan.
Noda-noda pada permukaan plat diperiksa di bawah sinar UV pada panjang
gelombang 254 nm dan 366 nm, kemudian diamati pada masing-masing hasil

37

nodanya. Pengembang dan reagen penguji masing-masing golongan senyawa adalah


sebagai berikut:
a. Golongan senyawa alkaloid digunakan pengembang campuran fase gerak
kloroform-metanol (9 : 1) (Sumaryanto, 2009) dan pereaksi Duragendorff untuk
mendeteksi yang menunjukkan bercak coklat jingga (Lutfillah, 2008).
b. Golongan senyawa flavonoid digunakan pengembang kloroform : metanol (9:1)
dan diuapi uap amoniak dalam akan menghasilkan warna biru kehijauan
(Kusnaeni, 2008).
c. Golongan senyawa tanin digunakan pengembang kloroform : metanol (9:1)
kemudian dengan penyemprot FeCl3 1%

menghasilkan warna lembayung

(Harborne, 1996).
d. Golongan senyawa saponin digunakan pengembang campuran kloroform : metanol
(9:1)

ketika

ditambah

H2SO4

menimbulkan

warna

ungu-ungu

gelap

(Kristianingsih, 2005).
e. Golongan senyawa triterpenoid digunakan pengembang kloroform : metanol (9:1)
ditambah dengan pereaksi Lieberman-burchard menghasilkan warna merah ungu
(violet).

38

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Determinasi
Determinasi tanaman merupakan upaya membandingkan suatu tanaman
dengan tanaman lain yang telah dikenali sebelumnya. Tujuan dilakukan determinasi
tanaman adalah untuk mendapatkan suatu spesies yang spesifik dan tepat sasaran.
Proses determinasi akan menghasilkan kunci determinasi, kunci determinasi
merupakan suatu alat yang diciptakan khusus untuk memperlancar pelaksanaan
pedeterminasian tumbuhan. Kunci determinasi dibuat secara bertahap, ciri-ciri
tumbuhan dibuat sedemikian rupa sehingga dengan menggunakan kunci determinasi
dapat diperoleh identitas tumbuhan yang diinginkan. Determinasi tanaman penelitian
ini dilakukan di Laboratorium Pengembangan Program Studi Pendidikan Biologi
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Halu Oleo. Kunci determinasi
yang di peroleh berdasarkan hasil determinasi tanaman adalah sebagai berikut.
1. 1a2a (Chromoilaena odorata L.)
2. 1a2b (Altenanthera amoena V)
3. 1b3a (Sauropus androgynus L. Merr.)
4. 1b3b4a (Muntingia calabura L.)
5. 1b3b4b (Phaleria macrocarpa (Scheff.) Boerl)
Data lengkap determinasi tanaman dapat dilihat pada lampiran.

39

B. Tahap maserasi

1. Penyiapan Sampel
Sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah bagian akar, batang, dan
daun dari tanaman mahkota dewa (Phaleria macrocarpa (Scheff.) Boerl), kirinyuh
(Chromolaena odorata L.), kersen (Muntingia calabura L.), katuk (Sauropus
androgynus L. Merr.) dan bayam merah (Alternanthera amoena Voss). Tahap
pertama

sampel

diambil,

kemudian

dicuci dengan air mengalir agar sampel

terhindar dari kotoran dan pengganggu, digunakan air mengalir agar kotoran yang
hanyut pada saat dibersihkan tidak kembali mencemari sampel. Kemudian sampel
yang dicuci dipotong kecil-kecil untuk mempermudah proses pengeringan dan
penggilingan. Selanjutnya sampel dikeringkan, sampel dikeringkan pada suhu kamar
agar kandungan senyawa kimia yang terdapat pada tanaman tidak mengalami
kerusakan apabila dilakukan pengeringan dengan pemanasan. Pengeringan dilakukan
untuk mengurangi kadar air dan untuk menghentikan reaksi enzimatis sehingga dapat
disimpan lebih lama dan komposisi kimianya tidak mengalami perubahan.
Sampel yang telah melewati proses pengeringan kemudian disortir untuk
memilih sampel yang baik dan tidak tercemar. Kemdian sampel dihaluskan
menggunakan blender sampai berbentuk serbuk. Sampel dihaluskan agar mengubah
ukuran sampel menjadi lebih kecil, semakin kecil ukurannya semakin besar luas
permukaannya maka interaksi zat cairan ekstraksi akan semakin besar, sehingga
proses ekstraksi akan semakin efektif.
40

2. Maserasi
Serbuk sampel yang diperoleh sebanyak 500 g dimaserasi dalam wadah kaca
tertutup hingga pelarut yang digunakan berwarna bening agar maserasi yang
dilakukan menjadi lebih efektif karena tidak terdapat lagi senyawa yang dapat ditarik
oleh pelarut. Metode maserasi digunakan karena ekstraksi dengan cara maserasi dapat
mencegah terurainya metabolit yang tidak tahan terhadap pemanasan sedangkan
pelarut metanol digunakan karena senyawa flavonoid, saponin, tanin, triterpenoid,
minyak atsiri, serta glikosida dapat tertarik dalam pelarut metanol. Hal ini disebabka
karena metanol merupakan pelarut universal yang memiliki gugus polar (-OH) dan
gugus nonpolar (-CH3) sehingga dapat menarik analit-analit yang bersifat polar dan
nonpolar (Astarina dkk, 2013) selain itu metanol mudah diuapkan untuk dipisahkan
kembali dari ekstrak yang diperoleh selain itu metanol memiliki tingkat energi yang
besar sehingga mampu menarik senyawa yang ada pada sampel baik yang polar
maupun yang nonpolar.
Hasil maserasi disaring dan filtrat yang diperoleh dipekatkan menggunakan
penguap berputar vakum hingga diperoleh ekstrak kental. Penggunaan penguap
vakum memungkinkan pelarut yang digunakan menguap pada suhu yang rendah
sehingga senyawa yang terdapat pada ekstrak juga tidak mengalami kerusakan akibat
suhu penguapan. Ekstrak yang diperoleh kemudian dikeringkan di dalam oven pada
suhu 37oC. Masing-masing ekstrak yang telah dikeringakan pada oven kemudian
ditimbang dan dihitung persen rendemennya terhadap berat simplisia awal untuk

41

melihat jumlah ekstrak yang dihasilkan dari berat simplisia awal. Berat ekstrak kental
dan rendemennya dapat dilihat pada tabel 1:
Tabel 1: Berat ekstrak hasil maserasi
Serbuk
Sampel
sampel (g)
Akar
500
Mahkota dewa
500
(P.
Batang
macrocarpa )
500
Daun
Akar
500
Kirinyuh
500
Batang
(C. odorata L.)
500
Daun
Kersen
(M. calabura
L.)
Katuk
(S. androgynus
L. Merr.)
Bayam merah
(A. amoena)

Akar
Batang
Daun
Akar
Batang
Daun
Akar
Batang
Daun

500
500
500
500
500
500
500
500
500

Ekstrak
kental (g)
14,23
8,77
7,46
8,15
9,57
10,89
8,6
5,23
6,44
4,69
5,4
7,26
2,65
3,36
5,48

Rendemen
(%)
2,84
1,75
1,49
1,63
1,91
2,17
1,72
1,04
1,28
0,93
1,08
1,45
0,53
0,67
1,09

C. Skrining fitokimia

Skrining fitokimia dilakukan untuk mengetahui golongan senyawa aktif


pada tanaman. Pada penelitian ini skrining fitokimia dilakukan dengan menggunakan
plat KLT. Skrining fitokimia dilakukan dengan menotol ekstrak tanaman pada plat
KLT kemudian dielusi dengan eluen yang sesuai, eluen yang digunakan dalam
penelitian ini adalah kloroform:metanol (9:1). Eluen yang baik digunakan adalah
eluen yang saling bercampur, pada penelitian ini digunakan eluen kloroform dan
metanol karena dua eluen ini saling bercampur, selain itu kloroform memiliki sifat
42

yang nonpolar dan methanol memiliki sifat polar sehingga diharapkan melalui
penggunaan eluen ini dapat menarik senyawa yang bersifat polar maupun nonpolar.
Profil KLT sebelum identifikasi senyawa dapat dilihat pada gambar 7.

Gambar 7. UV 254 nm dan UV 366 nm


Berdasarkan hasil pengamatan menunjukkan bahwa senyawa metabolit yang
terdapat pada plat sangat beragam. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya spot yang
teramati setelah disinari di bawah lampu UV baik UV254 dan UV366. Namun
berdasarkan hasil teresebut belum dapat ditentukan golongan-golongan senyawa apa
saja yang terkandung dalam bagian-bagian tanaman teresebut. Oleh karena itu untuk
mengetahui golongan senyawa maka dilakukan pemberian pereaksi penampak
bercak. Pereaksi penampak noda tersebut adalah :
1.

Untuk identifikasi senyawa alkaloid digunakan pereaksi Dragendroff, jika hasil


reaksi menampakkan noda yang berwarna jingga berarti positif mengandung
alkaloid.

2.

Untuk identifikasi golongan senyawa flavonoid dalam bagian tanaman maka


diuapi dengan gas amoniak. Jika berwarna hijau berarti positif mengandung
flavonoid.
43

3.

Tanin diidentifikasi dengan pereaksi FeCl3 1%, jika hasil reaksi berwarna biru
kehitaman berarti positif mengandung tanin.

4.

Saponin diidentifikasi dengan pereaksi H2SO4 0,1 M, apabila sampel


menimbulkan bercak ungu gelap berarti positif mengandung golongan senyawa
saponin.

5.

Triterpenoid dinyatakan positif jika bercak senyawa direaksikan dengan


Lieberman-Buchart akan menampakkan warna noda merah ungu (violet).

Berdasarkan hal tersebut di atas maka diperoleh hasil skrining senyawa yang
terkandung dalam tanaman yang dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel 2. Hasil skrining metabolit sekunder
Sampel
Mahkota dewa
(P.
macrocarpa)
Kirinyuh
(C. odorata L.)
Kersen
(M. Calabura
L.)
Katuk
(S. androgynus
L. Merr.)
Bayam merah
(A. amoena)

Alkaloid
M1
M2
M3
Kr1
Kr2
Kr3
G1
G2
G3
K1
K2
K3
B1
B2
B3

+
+++
+
+
+
+

Metabolit sekunder
Flavonoid Tanin Saponin
++
++
+
++
+
++
+

+
+
+
-

++
+++
+
+++++
+
+++
++
++
++
++
++

Triterpenoid
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
-

Keterangan:

(+) : jumlah noda pada plat (-) : tidak mengandung senyawa/tidak terbentuk warna
M1 = Batang P. macrocarpa
M2 = Akar P. macrocarpa
M3 = Daun P. macrocarpa

Kr1 = Batang C. odorata


Kr2 = Akar C. odorata
Kr3 = Daun C. odorata

K1 = Batang S. androgynus
K2 = Akar S. androgynus
K3 = Daun S. androgynus

S1 = Batang A. amoena
S2 = Akar A. amoena
B3= Daun A. amoena

G1 = Batang M. calabura
G2 = Akar M. calabura
G3 = Daun M. calabura

44

Pada tabel 2 dapat dilihat senyawa-senyawa metabolit yang terkandung pada


bagian tanaman yaitu alkaloid, flavonoid, tannin, saponin, dan triterpenoid. Alkaloid
terdapat pada ekstrak batang P. macrocarpa (Scheff.) Boerl, M. calabura L., C.
odorata L., dan S. androgynus L. Merr. serta ekstrak daun M. calabura L. dan A.
amoena Voss. Pada ekstrak batang tanaman P. macrocarpa(Scheff.) Boerl terdapat
tiga bercak yang ditandai dengan tiga tanda tambah (+++) yang berarti pada ekstrak
batang tanaman P. macrocarpa (Scheff.) Boerl mengandung tiga senyawa yang
termasuk dalam golongan alkaloid akan tetapi memiliki jarak noda yang berbeda dan
kemungkinan senyawa tersebut adalah senyawa yang berbeda. Kandungan alkaloid
terdapat pada ekstrak daun semua tanaman dan pada ekstrak batang tanaman
M.calabura L. dan S. androgynus L. Merr. Kandungan tannin terdapat pada ekstrak
batang, akar, dan daun tanaman M. calabura L. Kandungan saponin terdapat pada
ekstrak batang, akar, dan daun tanaman A. amoena Voss, C. odorata L., dan M.
calabura L. serta ekstrak batang dan daun S. androgynus L. Merr. Kandungan
triterpenoid terdapat pada ekstrak semua bagian tanaman kecuali ekstrak daun
tanaman A. amoena Voss.
1. Alkaloid
Skrining fitokimia untuk identifikasi senyawa alkaloid positif apabila
timbulnya bercak senyawa berwarna jingga setelah disemprot dengan pereaksi
Dragendroff. Berdasarkan hasil skrining ekstrak tanaman yang positif mengandung
alkaloid adalah ekstrak daun A. amoena Voss, ekstrak batang tanaman C. odorata L.,
45

ekstrak batang tanaman P. macrocarpa (Scheff.) Boerl, ekstrak batang tanaman S.


androgynus L. Merr. serta ekstrak batang dan daun tanaman M. calabura L. yang
dapat dilihat pada gambar 8.

Gambar 8. Hasil KLT senyawa alkaloid eluen kloroform 9 : 1 metanol.


Terbentuknya warna jingga pada plat disebabkan karena terbentuknya
kompleks antara

ion logam dari Dragendroff dengan senyawa alkaloid yang

menghasilkan kalium-alkaloid, kalium berasal dari pada pembuatan pereaksi


Dragendorff, bismut nitrat dilarutkan dalam HCl agar tidak terjadi reaksi hidrolisis
karena garam-garam bismut mudah terhidrolisis membentuk ion bismutil (BiO+).
Agar ion Bi3+ tetap berada dalam larutan, maka larutan itu ditambah asam sehingga
kesetimbangan akan bergeser ke arah kiri. Selanjutnya ion Bi3 + dari bismut nitrat
bereaksi dengan kalium iodida membentuk endapan hitam Bismut(III) iodida yang
kemudian

melarut

dalam

kalium

iodida

berlebih

membentuk

kalium

tetraiodobismutat (Svehla, 1990). Pada uji alkaloid dengan pereaksi Dragendorff,


nitrogen pada alkaloid digunakan untuk membentuk ikatan kovalen koordinat dengan

46

K+ sehingga membentuk kalium-alkaloid. Kompleks ini dapat dilihat pada sinar


tampak dengan terbentuknya bercak berwarna jingga.
2. Flavonoid
Flavonoid dapat dideteksi dengan diuapi oleh uap amoniak, positif
mengandung flavonoid apabila terbentuk warna hijau. Berdasarkan hasil skrining,
tanaman P. macrocarpa (Scheff.) Boerl dan C. odorata L. positif mengandung
flavonoid terdapat pada bagian daun. Tanaman M. calabura L. dan S. androgynus L.
Merr. pada bagian batang dan daunnya positif mengandung flavonoid, hal ini sesuai
dengan penelitian Zuhra dkk (2008) bagian daun dari tanaman S. androgynus L.
Merr. mememiliki flavonoid yang aktif sebagai antioksidan dan penelitian Prasetyo
dan Sasongko (2014) dimana terdapat kandungan flavonoid pada daun M. calabura
L. Pada tanaman A. amoena Voss yang positif mengandung alkaloid adalah daunnya
yang dapat dilihat pada gambar 9.

Gambar 9. Hasil KLT senyawa Flavonoid eluen kloroform 9 : 1 metanol

47

Hasil skrining pada gambar 9 memperlihatkan plat KLT setelah diuapi


amoniak. Apabila positif mengandung flavonoid maka bercak noda senyawa berubah
menjadi warna hijau. Digunakan uap amoniak karena sifat flavonoid yang asam akan
terhidrolisis oleh basa dari uap ammonia yang menyebabkan terjadinya pembentukan
garam. Warna hijau yang terbentuk disebabkan karena pembentukan struktur kinoid
yang mengandung ikatan rangkap terkonjugasi yang lebih panjang dan planar
sehingga dapat berfluorosensi (Robinson, 1995).
3. Tanin
Identifikasi golongan senyawa tanin menggunakan FeCl3 1%. Positif
mengandung golongan senyawa tanin apabila terdapat bercak berwarna biru
kehitaman. Hasil skrining golongan senyawa tanin dapat dilihat pada gambar 10.

Gambar 10. Hasil KLT senyawa tanin eluen kloroform 9 : 1 metanol.


Berdasarkan hasil skrining, ekstrak tanaman yang positif mengandung tanin
adalah pada bagian akar, batang, dan daun M. calabura L., hal ini sesuai dengan
48

penelitian Puspitaning (2012) dan Prasetyo dan Sasongko (2014) yang mununjukkan
bahwa tanin terkandung dalam ekstrak daun M. calabura L. Pada tanaman M.
calabura L. mengandung tanin yang ditandai dengan penambahan FeCl3 yang dapat
bereaksi dengan salah satu gugus hidroksil pada senyawa tanin. Penambahan FeCl3
menghasilkan warna hijau kehitaman yang menunjukkan adanya tanin terkondensasi.
4. Saponin
Identifikasi golongan senyawa saponin untuk pereaksi penampak noda
digunakan H2SO4 0,1 M. Positif mengandung golongan senyawa saponin apabila
terbentuk bercak berwarna ungu gelap yang dapat dilihat pada gambar 11.

Gambar 11. Hasil KLT senyawa saponin eluen kloroform 9 : 1 metanol


Berdasarkan hasil skrining menjukkan hampir semua bagian tanaman
memperlihatkan warna ungu gelap. Senyawa saponin tidak terdapat pada bagian akar,
batang, dan daun P. macrocarpa (Scheff.) Boerl, dan pada akar tanaman S.
androgynus L. Merr. Saponin positif terkandung pada bagian akar, batang, dan daun
tanaman C. odorata L., M. calabura L., A. amoena Voss, serta pada batang dan daun
49

S. androgynus L. Merr. yang ditandai dengan timbulnya bercak berwarna ungu gelap
pada plat. Hal ini sesuai dengan penelitian dari Prasetyo dan Sasongko (2014) dimana
ekstrak daun kersen mengandung saponin. Terbentuknya warna ungu gelap
disebabkan karena ketika penambahan H2SO4 akan memutuskan ikatan antara
glukosa dan sapogenin, SO4 yang terikat menjadi mengendap dan menimbulkan
warna ungu gelap.
5. Triterpenoid
Kandungan golongan senyawa triterpenoid dapat dideteksi dengan pemberian
pereaksi Lieberman-Buchart, positif mengandung golongan senyawa triterpenoid
apabila timbul bercak berwarna merah ungu yang dapat dilihat pada gambar 12.

Gambar 12. Hasil KLT senyawa triterpenoid eluen kloroform 9 : 1 metanol


Berdasarkan hasil skrining terpenoid menunjukkan bahwa hampir semua noda
tanaman yang direaksikan dengan Lieberman-Buchart berubah menjadi merah ungu
(violet) kecuali ekstrak daun tanaman A. amoena Voss. Terbentuknya warna merah
ungu akibat terjadi reaksi antara senyawa triterpenoid dengan Lieberman-Buchart.
50

Prinsip reaksi dalam mekanisme reaksi uji terpenoid adalah kondensasi atau
pelepasan H2O dan penggabungan dengan karbokation. Reaksi ini diawali dengan
proses asetilasi gugus hidroksil menggunakan asam asetat anhidrida. Gugus asetil
yang merupakan gugus pergi yang baik akan lepas, sehingga terbentuk ikatan
rangkap. Selanjutnya terjadi pelepasan gugus hidrogen beserta elektronnya,
mengakibatkan ikatan rangkap berpindah. Senyawa ini mengalami resonansi yang
bertindak sebagai elektrofil atau karbokation. Serangan karbokation menyebabkan
adisi elektrofilik, diikuti pelepasan hidrogen. Kemudian gugus hidrogen beserta
elektronnya dilepas, akibatnya senyawa mengalami perpanjangan konjugasi yang
memperlihatkan munculnya warna merah-ungu (Siadi, 2012).
D. Uji Aktivitas Antioksidan dengan Metode DPPH

DPPH merupakan radikal bebas yang dapat bereaksi dengan senyawa yang
dapat mendonorkan atom hidrogen, dapat berguna untuk pengujian aktivitas
antioksidan komponen tertentu dalam suatu ekstrak. Karena adanya elektron yang
tidak berpasangan, DPPH memberikan serapan kuat pada 517 nm. Ketika elektronnya
menjadi berpasangan oleh keberadaan penangkap radikal bebas, keberadaan senyawa
antioksidan dapat mengubah warna larutan DPPH dari ungu menjadi kuning selain itu
dengan metode yang digunakan ini pemudaran warna juga dapat terlihat pada
penurunan serapan pada panjang gelombang maksimum yang diukur menggunakan
spectrometer UV-Vis. Perubahan warna pada DPPH setelah direaksikan dapat dilihat
pada gambar 13.
51

Gambar 13. Hasil uji antioksidan


A. DPPH + Metanol
B. DPPH + Ekstrak tidak aktif
C. DPPH + Ekstrak aktif
D. DPPH + Vitamin C

Pengukuran penurunan serapan DPPH pada larutan uji dihitung terhadap


serapan kontrol yakni larutan DPPH dan pelarut tanpa sampel. Hasil pengukuran
dengan metode DPPH menunjukkan kemampuan antioksidan sampel secara umum,
tidak berdasar jenis radikal yang dihambat (Juniarti dkk, 2009). Metode DPPH
digunakan karena DPPH merupakan radikal yang stabil pada suhu ruang dan DPPH
juga baik digunakan untuk senyawa-senyawa yang larut dalam metanol tanpa
menggunakan banyak pereaksi.

52

NO2
O2N

NO2
+R-H

O2N

H
N

+R

NO2

NO2
1,1-Difenil-2-pikrilhidrazil
(radikal bebas)

1,1-Difenil-2-pikrilhidrazin
(nonradikal)

Gambar 14. Reaksi antioksidan dengan radikal DPPH (Sumber: Molineux, 2004)
Berdasarkan uji dengan metode DPPH aktivitas antioksidan dinyatakan
dalam persen penghambatannya terhadap DPPH. Penghambatan dapat diperoleh dari
perbedaan serapan antara absorban DPPH dalam metanol dengan absorban sampel
yang dibuat grafik kemudian diperoleh persamaan regresi yang digunakan untuk
memperoleh nilai IC50. Aktivitas antioksidan dapat diperoleh dengan adanya nilai
IC50 yaitu konsentrasi larutan sampel yang dibutuhkan untuk menghambat 50%
radikal bebas DPPH.

Semakin kecil nilai IC50 senyawa, maka semakin besar

kemampuan senyawa tersebut untuk menangkal radikal.


Pengujian

aktivitas antioksidan ekstrak metanol tanaman digunakan

beberapa konsentrasi, yaitu 10 ppm; 20 ppm 40 ppm; 80 ppm; dan 160 ppm untuk
mendapatkan persamaan regresi linear, sehingga diperoleh nilai IC50 dari ekstrak
metanol dan selanjutnya akan diperoleh gambaran mengenai aktivitas antioksidan
dari ekstrak metanol.

Nilai IC50 dari ekstrak metanol mahkota dewa (Phaleria

macrocarpa (Scheff.) Boerl), kirinyuh (Chromolaena odorata L.), kersen (Muntingia

53

calabura L.), katuk (Sauropus androgynus L. Merr.) dan bayam merah


(Alternanthera amoena Voss) dapat dilihat pada tabel 3.
Tabel 3. Nilai IC50 tanaman

Sampel
Mahkota dewa
(P. macrocarpa)
Kirinyuh
(C. odorata L.)

Kersen
(M. calabura L.)
Katuk
(S. androgynus L. Merr.)
Bayam merah
(A. amoena Voss)
Vitamin C (pembanding)

Bagian
tanaman
Akar
Batang
Daun
Akar
Batang
Daun
Akar
Batang
Daun
Akar
Batang
Daun
Akar
Batang
Daun

IC50 (g/mL)
2.741,43
190,47
525,06
449,41
3.163,70
131,64
31,15
35,16
126,05
291,97
525,71
795,15
1.866,11
3.335,27
5.661,62
3,9018

Berdasarkan hasil analisis pengujian yang terdapat pada tabel ada beberapa
bagian tanaman yang memiliki nilai IC50 di bawah 200 g/mL yaitu akar, batang, dan
daun kersen, daun kirinyuh dan batang mahkota dewa. Daun mahkota dewa, akar
kirinyuh, dan akar, batang, dan daun katuk memiliki nilai IC50 antara 200-1000
g/mL. Sedangkan bagian akar mahkota dewa, batang kirinyuh, akar, batang, dan
daun bayam merah memiliki nilai IC50 di atas 200 g/mL. Suatu zat mempunyai sifat
antioksidan bila nilai IC50 kurang dari 200 g/mL, bila nilai IC50 yang diperoleh

54

berkisar antara 200-1000 g/mL, maka zat tersebut kurang aktif namun masih
berpotensi sebagai zat antioksidan. Jika nilai IC50 lebih dari 1000 g/mL maka
dapat dikatakan zat tersebut memiliki aktivitas

antioksidan yang sangat lemah

(Zuhra dkk, 2008).


Berdasarkan hasil penelitian, tanaman P. macrocarpa (Scheff.) Boerl pada
bagian batang memiliki nilai IC50 dibawah 200 g/mL, pada bagian daun memiliki
kemampuan sebagai antioksidan yang kurang aktif dengan nilai IC50 sedangkan pada
bagian akarnya tidak memiliki hambatan terhadap radikal dengan nilai IC 50 lebih dari
1000 g/mL. Berdasarkan hasil skrining fitokimia akar, batang dan daun

P.

macrocarpa (Scheff.) Boerl yang positif mengandung senyawa fenol (flavonoid)


adalah bagian daunnya, pada bagian daun diduga memiliki aktivitas menghambat
radikal akibat adanya kandungan flavonoid tersebut yang memiliki noda berwarna
hijau setelah diuapi amoniak sedangkan batang P. macrocarpa (Scheff.) Boerl aktif
sebagai antioksidan dimana tidak ditemukan adanya kandungan fenol pada saat
skrining fitokimia yang bisa saja disebabkan oleh eluen yang digunakan pada saat
skrining (kloroform 9 : 1 metanol) tidak baik dalam memisahkan senyawal fenol yang
bertannggung jawab dalam aktivitas antioksidan ekstrak batang tanaman P.
macrocarpa (Scheff.) Boerl.
Pada tanaman C. odorata L. bagian tanaman yang memiliki aktivitas nilai
IC50 dibawah 200 g/mL adalah bagian daun, pada bagian akar C. odorata L. yang
memiliki nilai IC50 di atas 200 g/mL yang memiliki hambatan kurang aktif terhadap
radikal sedangkan pada bagian batang memilki nilai IC50 diatas 1000 g/mL yang
55

tidak aktif menghambat radikal. Berdasarkan skrining fitokimia pada bagian daun
mengandung flavonoid yang diduga dapat menyebabkan pada bagian daun memilki
hambatan terhadap radikal. Sedangkan pada bagian batang tidak mengandung
flavonoid maupun tanin sehingga tidak aktif dalam mengahambat radikal. Flavonoid
merupakan suatu antioksidan alam dan mempunyai aktivitas biologis, antara lain
sebagai antioksidan yang dapat menghambat berbagai reaksi oksidasi, serta mampu
bertindak sebagai pereduksi radikal hidroksil, superoksida dan radikal peroksil
(Soeksmanto dkk, 2007).
Pada tanaman M. calabura L. ketiga bagian tanaman aktif mengnghambat
raadikal dengan nilai IC50 di bawah 200 g/mL, berdasarkan hasil skrining fitokimia
akar, batang dan daun M. calabura L. mengandung tanin dan flavonoid pada batang
dan daunnya, diduga hal inilah yang menyebabkan mengapa aktivitas antioksidan
akar, batang dan daun M. calabura L. aktif dalam menghambat radikal. Hal ini serupa
dengan penelitian Kuntorini dkk (2013), daun M. calabura L. baik yang tua maupun
yang muda memiliki aktivitas menghambat radikal dpph dengan nilai IC 50 dibawah
200 g/mL kerena mengandung tanin maupun flavonoid yang mengahambat radikal.
Radikal dapat dihambat karena memiliki gugus OH (hidroksi) yang terikat pada
karbon cincin aromatik yang menyumbangkan atom hidrogennya yang terdapat pada
gugus hidroksi sehingga dapat mereduksi radikal. Kemampuan senyawa fenol dalam
meredam radikal bebas dipengaruhi oleh posisi dan jumlah gugus OH dalam
molekulnya. Semakin banyak gugus hidroksi yang dimiliki maka semakin kuat pula
aktivitas antioksidannya.
56

Pada tanaman S. androgynus L. Merr. dan A. amoena Voss memiliki aktivitas


yang berbeda pada ketiga bagian tanamannya. Tanaman S. androgynus L. Merr.
memiliki nilai IC50 diatas 200 g/mL yang memiliki aktivitas terhadapa antioksidan
namun kurang aktif sedangkan tanaman A. amoena Voss pada bagian akar, batang
dan daunnya memiliki nilai IC50 diatas 1000 g/mL yang tidak memiliki kemampuan
menghambat radikal. Berdasarkan skrining fitokimia bagian tanaman S. androgynus
L. Merr. yang mengandung flavonoid adalah bagian batang dan daunnya yang
menyebabkan dapat mengahambat radikal sedangkan skrining fitokimia tanaman A.
amoena Voss tidak mengandung tanin akan tetapi mengandung flavonoid pada
bagian daunnya. Berdasarkan kekuatan antioksidan dalam penelitian ini dapat
diklasifikasikan antioksidan yang baik berdasarkan nilai IC50 adalah ekstrak batang P.
macrocarpa (Scheff.) Boerl, ekstrak daun C. odorata L. dan ekstrak akar, batang dan
daun M. calabura L.. Antioksidan yang kurang baik namun masih berpotensi adalah
ekstrak daun P. macrocarpa (Scheff.) Boerl, ekstrak akar C. odorata L., dan ekstrak
akar, batang, dan daun S.androgynus L. Merr. Ekstrak tanaman yang tidak memilki
aktivitas antioksidan adalah ekstrak akar P. macrocarpa (Scheff.) Boerl, ekstrak
batang C. odorata L., dan ekstrak akar, batang, dan daun A. amoena Voss, untuk
lengkapnya dapat dilihat pada tabel 4.

57

Tabel 4. Klasifikasi nilai IC50 tanaman

Sampel

IC50 (g/mL)

Ekstrak akar kersen (M. calabura L.)


Ekstrak batang kersen (M. calabura L.)
Ekstrak daun kersen (M. calabura L.)
Ekstrak daun kirinyuh (C. odorata L.)
Ekstrak batang mahkota dewa (P.
macrocarpa (Scheff.) Boerl)
Ekstrak akar katuk (S. androgynus L.
Merr.)
Ekstrak akar kirinyuh (C. odorata L.)
Ekstrak daun mahkota dewa (P.
macrocarpa (Scheff.) Boerl)
Ekstrak batang katuk (S. androgynus L.
Merr.)
Ekstrak daun katuk (S. androgynus L.
Merr.)
Ekstrak akar bayam merah (A. amoena)
Ekstrak akar mahota dewa (P.
macrocarpa (Scheff.) Boerl)
Ekstrak batang kirinyuh (C. odorata L.)
Ekstrak batang bayam merah (A.
amoena)
Ekstrak daun bayam merah (A. amoena)

31,15
35,16
126,05
131,64
190,47
291,97
449,41
525,06
525,71
795,15
1.866,11
2.741,43
3.163,70
3.335,27
5.661,62

Kontrol yang digunakan adalah vitamin C karena vitamin C telah diketahui


sangat baik dalam mengahambat radikal. Vitamin C memiliki nilai IC50 yang rendah
dibandingkan dengan ekstrak semua tanaman, nilai IC50 vitamin C yaitu 3,90186
g/mL. Semakin kecil nilai IC50 maka semakin besar kemampuan senyawa tersebut
dalam menghambat radikal. Vitamin C dapat menstabilkan DPPH, sebagai reduktor
vitamin C akan mendonorkan satu elektron membentuk semidehidroaskorbat yang

58

tidak bersifat reaktif dan selanjutnya mengalami reaksi disproporsionasi membentuk


dehidroaskorbat.
CH2OH

CH2OH
HC

HC

OH
O

DPPH

CH2OH

OH
O

HC
O-

HO

OH

Asam askorbat

OH

DPPH

OH
O
O

+ 2 DPPH-H

Asam dehidroaskorbat

Gambar 15. Mekanisme reaksi antara vitamin C dengan DPPH

59

BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Golongan senyawa metabolit sekunder yang terkandung pada tanaman


mahkota dewa (P. macrocarpa (Scheff.) Boerl) adalah flavonoid pada bagian
daun, alkaloid pada bagian batang dan triterpenoid pada bagian akar, batang,
dan daun. Tanaman kirinyuh (C. odorata L.) mengandung metabolit sekunder
golongan alkaloid pada bagian batang, flavonoid pada daun, saponin dan
triterpenoid pada bagian akar, batang, dan daun. Tanaman kersen (M.
calabura L.) mengandung alkaloid pada batang dan daun. Flavonoid terdapat
pada batang dan daun sedangkan tanin, saponin dan triterpenoid terdapat pada
akar, batang, dan daun. Tanaman katuk (S. androgynus L. Merr.) mengandung
alkaloid pada bagian batang, flavonoid pada batang dan daun, saponin pada
batang dan daun serta triterpenoid pada bagian akar, batang dan daunnya.
Tanaman bayam merah (A. amoena Voss) mengandung alkaloid pada bagian
daun, flavonoid pada daun, saponin pada akar, batang, dan daun serta
triterpenoid pada bagian batang dan akar tanaman.
2. Aktivitas antioksidan terkuat adalah ekstrak akar kersen (M. calabura L.)
dengan nilai IC50 31,15 g/mL. Nilai IC50 yang termasuk dalam antioksidan
kuat dengan IC50 dibawah 200 g/mL adalah ekstrak batang P. macrocarpa
(Scheff.) Boerl, ekstrak daun C. odorata L. dan ekstrak akar, batang dan daun
60

M. calabura L. Antioksidan yang kurang baik namun masih berpotensi


dengan IC50 antara 200 1000 g/mL adalah ekstrak daun P. macrocarpa
(Scheff.) Boerl, ekstrak akar C. odorata L., dan ekstrak akar, batang, dan daun
S.androgynus L. Merr. Ekstrak tanaman yang tidak memiliki aktivitas
antioksidan dengan IC50 di atas 1000 g/mL adalah ekstrak akar P.
macrocarpa (Scheff.) Boerl, ekstrak batang C. odorata L., dan ekstrak akar,
batang, dan daun A. amoena Voss.
B. Saran

1. Ekstrak yang memiliki nilai IC50 kecil dapat dikembangkan untuk dibuat
dalam bentuk sediaan.
2. Pemisahan senyawa-senyawa polar seperti tanin pada teknik KLT sebaiknya
menggunakan reversed phase silica, karena teknik tersebut sangat baik dalam
memisahkan senyawa yang bersifat polar, sehingga dapat menghasilkan
pemisahan yang baik. Perlu dilakukan isolasi untuk mengetahui senyawa aktif
dalam ekstrak yang bertanggung jawab pada aktivitas antioksidan.

61

DAFTAR PUSTAKA

Akhyar, 2010, Uji Daya Hambat Dan Analisis KltBioautografi Ekstrak Akar Dan
Buah Bakau (Rhizophorastylosa Griff.) Terhadap Vibrio harveyi, Skripsi,
Universitas Hasanuddin, Makassar.
Ansel, C. H., 1989, Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi Edisi IV, UI Press, Jakarta.
Artayanti, P. R., 2014, Efektivitas Antibakteri Ekstrak Buah Mahkota Dewa
(Phaleria macrocarpa [Scheff.] Boerl) Sebagai Bahan Alternatif Sterilisasi
Saluran Akar Gigi Terhadap Bakteri Mix Saluran Akar Gigi, Skripsi,
Universitas Mahasaraswati, Denpasar.
Astarina, N., Astuti, K., Warditiani, N., 2013, Skrining Fitokimia Ekstrak Metanol
Rimpang Bangle (Zingiber purpureum Roxb.), Jurnal Farmasi Udayana,
Universitas Udayana, Bali.
Beatrice, L., 2010, Daya Antibakteri Ekstrak Buah Mahkota Dewa (Phaleria
Macrocarpa Scheff ( Boerl.)) Terhadap Enterococcus Faecalis Sebagai
Bahan Medikamen Saluran Akar Secara In Vitro, Skripsi, Universitas
Sumatera Utara, Medan.
Bhat, S. V., B. A. Nagasampagi and S. Meenakshi., 2009, Natural Products :
Chemistry and Application. Narosa Publishing House, New Delhi, India.
Christi, V. E. I., 2014, Study Of Pharmacognostical, Anti-Inflammatory And
Antioxidant Activity Of Sauropus androgynus Plant, IJAPR, ISSN: 2230
7583.
Depkes. 1995, Farmakope Indonesia Edisi IV, Depkes, Jakarta.
Fessenden, R. J. dan J. S. Fessenden., 1986, Kimia Organik, Erlangga, Jakarta.
Filina, N. M., 2012, Pengaruh Penambahan Bromelin, Tepung Limbah Udang, Daun
Katuk (Sauropus androgynus L. Merr.), Atau Bawang Putih Terhadap
Performa Dan Kualitas Telur Puyuh, Skripsi, Institut Pertanian Bogor,
Bogor.
Gritter, R.J., 1991, Pengantar Kromatografi Edisi Kedua, Penerbit ITB, Bandung.
Gunawan, D., Mulyani, S., 2004, Ilmu Obat Alam (Farmakognosi), Penebar
Swadaya, Jakarta.
62

Hadiroseyani, Y., Hafifuddin, Alifuddin M., Supriyadi H., 2005, Potensi Daun
Kirinyuh (Chromolaena odorata) Untuk Pengobatan Penyakit Cacar Pada
Ikan Gurame (Osphronemus gouramy) Yang Disebabkan Aeromonas
hydrophilla S, Jurnal Akuakultur Indonesia, 4(2): 139144.
Harborne, J. B., 1987. Metode Fitokimia : Penuntun Cara Modern Menganalisis
Tumbuhan, Institut Teknologi Bandung, Bandung.
Harborne, J.B., 1996, Metode Fitokimia: Penuntun Cara Modern Menganalisa
Tumbuhan, Edisi II, Institut Teknologi Bandung, Bandung.
Heo, S. J., S. H. Cha., K. W. Lee., S. K. Cho. And Y. J. Jeon., 2005, Antioxidant
Activities of Chlorophyta and Phaeophyta from Jeju Island, Algae, 20(3) :
251-260.
Hudaya, Adeng., 2010, Uji Antioksidan dan Antibakteri Ekstrak Air Bunga
Kecombrang (Etlingera elatior) Sebagai Pangan Fungsional Terhadap
Staphylococcus aureus dan Eschericia coli, Skripsi, Universitas Islam Negri
Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Juniarti., Delvi, O., dan Yuhernita., 2009, Kandungan Senyawa Kimia, Uji Toksisitas
(Brine Shrimp Lethality Test) Dan Antioksidan (1,1-Diphenyl-2Pikrilhydrazyl) Dari Ekstrak Daun Saga (Abrus Precatorius L.)., MAKARA,
SAINS, 13(1).
Kikuzaki, H., Hisamoto, M., Hirose, K., Akiyama, K., and Taniguchi, H., 2002,
Antioxidants Properties of Ferulic Acid and Its Related Compound, J. Agric,
Food Chem, 50:2161-2168.
Kristianingsih, 2005, Isolasi dan Identifikasi Senyawa Triterpenoid dari Akar
Tanaman Kedondong Laut (Polyscias fruticosa), Skripsi, Universitas
Brawijaya, Malang.
Kuntorini, E. M., Fitriana, S., Astuti, M. D., 2013, Struktur Anatomi dan Uji
Aktivitas Antioksidan Ekstrak Metanol Daun Kersen (Muntingia calabura),
Prosiding Semirata FMIPA Universitas Lampung, Lampung.
Kusnaeni, V., 2008, Isolasi dan Karakterisasi Senyawa Fraksi n-Heksana dari ekstrak
kulit batang Angsret (Spathoda campanulata Beauv), Skripsi, Universitas
Brawijaya, Malang.

63

Lutfillah, M., 2008, Karakterisasi Senyawa Alkaloid Hasil Isolasi dari Kulit Batang
Angsret (Spathoda campanulata Beauv) Serta Uji Aktivitasnya Sebagai
Antibakteri Secara In Vitro, Skripsi, Universitas Brawijaya, Malang.
Manganti, I., 2011, 37 Resep Ampuh Tanaman Obat Untuk Menurunkan Kolesterol
Dan Mengobati Asam Urat, Araska, Hal 110.
Maulida, D., Naufal, Z., 2010, Ekstraksi Antioksidan ( Likopen ) Dari Buah Tomat
dengan Menggunakan Solven Campuran, n Heksana, Aseton, Dan Etanol,
Skripsi, Universitas Dipenogoro, Semarang.
Molyneux, P., 2004, The Use of The Stable Free Radical Diphenylpicryl-hydrazil
(DPPH) for Estimating Antioxidant Activity, Songklanakarin J. Science
Technology, 26(2) : 211-219.
Mua, C., 2012, Informasi Spesies, http://www.plantamor.com. 10 September 2014.
Nasution, U., 1986, Gulma dan Pengendaliannya di Perkebunan Karet Sumatra Utara
dan Aceh, Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan Tanjung
Morawa (P4TM), Medan, Hal 155.
Noviyanti, L., 2010, Modifikasi Teknik Kromatografi Kolom Untuk Pemisahan
Trigliserida Dari Ekstrak Buah Merah (Pandanus conoideus Lamk.), Skripsi,
Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
Nugroho, W. A., 2009, Penambahan Bahan Kimia Fenilbutazon Pada Jamu
Tradisional Rematik, skripsi, Universitas Indonesia, Jakarta.
Nugroho, D. S., 2011, Kajian Pupuk Organik Enceng Gondok Terhadap Pertumbuhan
dan Hasil Bayam Putih dan Bayam Merah (Amaranthus tricolor L.), Skripsi,
Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
Patra, A. K., J. Saxena., 2010, A new perspective on the use of plant secondary
metabolites to inhibit methanogenesis in the rumen, J. Phytochemistry,
71: 1198-1222.
Prakash, A., 2001, Antioxidant Activity, Medallion Laboratories : Analithycal
Progres, 19(2) 1 4.
Prasetyo, A. D., Sasongko, H., 2014, Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol 70% Daun
Kersen (Muntingia calabura L.) Terhadap Bakteri Bacillus subtilis dan
Shigella dysenteriae Sebagai Materi Pembelajaran Biologi SMA Kelas X
untuk Mencapai Kd 3.4 pada Kurikulum 2013, JUPEMASI-PBIO, 1(1):
ISSN 2407-1269.
64

Puspitaning, I. R., 2012, Populasi Protozoa Dan Karakteristik Fermentasi Rumen


Dengan Pemberian Daun Kersen (Muntingia Calabura) Secara In Vitro,
Skripsi, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Rasyid, Abdullah., 2012, Identifikasi Senyawa Metabolit Sekunder Serta Uji
Aktivitas Antibakteri Dan Antioksidan Ekstrak Metanol Teripang Stichopus
Hermanii, Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, 4(2).
Robinson, T., 1995, Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi Edisi VI, diterjemahkan
oleh Kosasih Padmawinata, ITB press, Bandung.
Saadah, L., 2010, Isolasi Dan Identifikasi Senyawa Tanin Dari Daun Belimbing
Wuluh (Averrhoa Bilimbi L.), Skripsi, Universitas Islam Negeri (UIN)
Maulana Malik Ibrahim, Malang.
Sagala, N. R., 2009, Pemanfaatan Semak Bunga Putih (Chromolena odorata)
Terhadap Pertumbuhan dan IOFC dalam Ransum Burung Puyuh (Cortunixcortunix japonica) Umur 1 sampai 42 Hari, Skripsi, Universitas Sumatera
Utara, Medan.
Sastrohamidjojo, H., 2007, Kromatografi, UGM Press, Yogyakarta.
Setiawati, E., 2001, Isolasi dan Karakterisasi Senyawa- Seyawaterpeniod dalam
minyak Atsiri Rimpang Temu Putih (Curcuma zedonica (Berg.) Roscoe,
Skripsi, Universitas Brawijaya, Malang.
Siadi, K., 2012, Ekstrak Bungkil Biji Jarak Pagar (Jatropha curcas) Sebagai
Biopestisida yang Efektif dengan Penambahan Larutan NaCl, Jurnal MIPA,
Universitas Negeri Semarang, Semarang.
Simanjuntak, M.R., 2008, Ekstraksi dan Fraksinasi Komponen Ekstrak Daun
Tumbuhan Senduduk (Melastoma malabathricum.L) Serta Pengujian Efek
Sediaan Krim Terhadap Penyembuhan Luka Bakar, Skripsi, Universitas
Sumatra Utara, Medan.
Sinaga, M., 2012, Isolasi Senyawa Flavonoidadari Kulit Batang Tumbuhan Petai
Cina ( Leucaena glauca L.), Skripsi, Universitas Sumatra Utara, Medan.
Sirait, M. 2007, Penuntun Fitokimia dalam Farmasi, Institut Teknologi Bandung,
Bandung.
Soeksmanto, A., Hapsari, Y., Simanjuntak, P., 2007, Kandungan Antioksidan pada
Beberapa Bagian Tanaman Mahkota Dewa, Phaleria macrocarpa (Scheff)
Boerl. (Thymelaceae), Biodiversitas, 8(2) : 92-95.
65

Steenis, J., 2006, Flora: Untuk Sekolah di Indonesia, PT Pradnya Paramita, Jakarta.
Sumaryanto, A., 2009, Isolasi Karakterisasi Senyawa Alkaloid Dari Kulit Batang
Tanaman Angsret (Spathoda campanulata Beauv) Serta Uji Aktivitas
Biologisnya Dengan Metode Uji Brine Shrimp, Skripsi, Universitas
Brawijaya, Malang.
Supriatna, J., 2008, Melestarikan Alam Indonesia,Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
Svehla, G., 1990, Buku Teks Analisis Anorganik Kualitatif Makro dan Semimikro, PT
Kalman Media Pustaka, Jakarta.
Tamat, S. R., T. Wikanta dan L. S. Maulina., 2007, Aktivitas Antioksidan dan
Toksisitas Senyawa Bioaktif dari Ekstrak Rumput Laut Hijau Ulva
reticulata Forsskal, Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia, 5(1) : 31-36.
Tounchstone, J.C., Dobbins, M.F., 1983, Practice of Thin Layer Chromatography,
John Wiley and Sons, Canada.
Wijoyo, M., 2012, Cara Tuntas Menyembuhkan Diabetes Dengan Herbal, Pustaka
Agro Indonesia, Jakarta.
Winarsi, H., 2007, Antioksidan Alami dan Radikal Bebas. Kanisius, Yogyakarta.
Windadri, F.I., Mulyati, R., Himmah R., 2006, Pemanfaatan Tumbuhan sebagai
Bahan Obat oleh Masyarakat Lokal Suku Muna di Kecamatan Wakarumba,
Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara, Biodiversitas, 7(4).
Yuliza, F. Y., 2012, Identifikasi Betasianin Dan Uji Antioksidan Dari Ekstrak Daun
Bayam Merah (Amaranthus tricolor L) Serta Aplikasinya Sebagai Zat
Warna, Tesis, Universitas Andalas, Padang.
Zakaria Z.A., Mat A.M., Mastura M., Mat S.H., Mohamed A.M., Moch Jamil
N.S., Rofiee M.S., Sulaiman M.R., 2007, In vitro Antistaphylococcal
Activity of the Extract of Several Neglected Plants in Malaysia,
International Journal of Pharmacology, 3(5): 428-431.
Zuhra, C.F., Juliati, B.T., dan Herlince, S., 2008, Aktivitas Antioksidan Senyawa
Flavonoid Dari Daun Katuk (Sauropus androgunus (L) Merr.), Jurnal
Biologi Sumatera, 3(1).

66

LAMPIRAN
1. Pembuatan ekstrak kental tanaman
Akar, batang dan daun
Tanaman Obat

- Dilakukan sortasi basah


- Dicuci hingga bersih
- Dipisahkan per bagian tanaman
- Dilakukan perajangan
- Dikeringkan
- Dihaluskan dengan blender

Serbuk masing-masing tanaman per bagiannya


- Dimaserasi dengan pelarut metanol
selama 3 x 24 jam
- Dievaporasi

Ekstrak Kental

67

2. Skrining fitokimia dan uji antioksidan


Ekstrak kental masing-masing
bagian tanaman

Dibuat dalam konsentrasi 1000 ppm


Konsentrasi ekstrak
1000 ppm

Dilakukan skrining fitokimia


metabolit sekunder alkaloid
flavonoid, tannin, saponin
dan terpenoid

Kandungan metbolit
sekunder tanaman obat

Ekstrak aktif
Dilakukan uji antioksidan
untuk mendapatkan nilai IC50

Nilai IC50 tanaman obat

68

Jenis-jenis fasa gerak dan pendeteksi pada skrining fitokimia


Golongan senyawa
Fase gerak
Pendeteksi
Alkaloid

Kloroform:metanol

Flavonoid

(9:1)
Kloroform:metanol

Tanin

(9:1)
Kloroform:metanol

Saponin

(9:1)
Kloroform:metanol

Triterpenoid

(9:1)
Kloroform:metanol
(9:1)

Dragendorff
Diuapi
amonia

Warna noda
Coklat jingga
uap Biru kehijauan

FeCl3 1%

Hijau kehitaman

H2SO4 0,1 M

Ungu-ungu
gelap

LiebermanBurchard

Merah
(violet)

ungu

69

Lampiran 2. Pembuatan Reagen


a. Pembuatan Dragendrof (alkaloid)
1. 0,6 g bismutsubnitrat dalam 2 mL HCl pekat dan 10 mL H2O.
2. 6 g KI dalam 10 mL H2O.
Kedua larutan tersebut dicampur dengan 7 mL HCl pekat dan 15
mL H2O (Harborne, 1987).
b. Pembuatan FeCl3 1%
1%

x100 %

1%

x100 %

gram = 1
Jadi, untuk membuat larutan FeCl3 1% diambil sebanyak 1 gram serbuk
FeCl3 dan dilarutkan dalam labu ukur 100 mL
c. Pembuatan H2SO4 0,1 M

Dik:

Konsentrasi H2SO4 = 98%

Densitas H2SO4 = 1.84 g/mL 1840 g/L


Mr H2SO4 = 98 g/mol

Mencari massa H2SO4dalam 1 L


Massa H2SO4 = 98% x 1840 g/L = 1803.2 gram

mol

70

mol =

= 18.4 mol

= 18.4 mol/L

Molar
Molar =

Pengenceran
M1 x V1

= M2 x V2

18.4x V1

= 0,1 x 50

V1

= 0,2717mL

Jadi, untuk membuat H2SO4 0,1 M dipipet 0,277 mL H2SO4 18 M dan


dilarutkan dalam labu ukur 50 mL.
d. Pembuatan reagen Lieberman-Burchard
5 mL asam asetat anhidrat dan 5 mL asam sulfat konsentrate ditambahkan
secara hati-hati melalui dindingnya ke dalam 50 mL etanol dalam
keadaan dingin (Wagner, 2001).
e. Pembuatan pereaksi DPPH 100 ppm
10 mg DPPH dilarutkan dalam methanol kemudian dimasukkan ke dalam
labu takar 100 mL sehingga diperoleh larutan DPPH 100 ppm.
f. Pembuatan variasi konsentrasi sampel

10 ppm
1.000 ppm x V1

10 ppm x 10 mL

V1

0,1 mL

0,1 mL konsentrasi 1.000 ppm diencerkan dengan metanol hingga 10 mL.


71

20 ppm
1.000 ppm x V1

20 ppm x 10 mL

V1

0,2 mL

0,2 mL konsentrasi 1.000 ppm diencerkan dengan metanol hingga 10 mL.

40 ppm
1.000 ppm x V1

40 ppm x 10 mL

V1

0,4 mL

0,4 mL konsentrasi 1.000 ppm diencerkan dengan metanol hingga 10 mL.

80 ppm
1.000 ppm x V1

80 ppm x 10 mL

V1

0,8 mL

0,8 mL konsentrasi 1.000 ppm diencerkan dengan metanol hingga 10 mL.

160 ppm
1.000 ppm x V1

160 ppm x 10 mL

V1

1,6 mL

1,6 mL konsentrasi 1.000 ppm diencerkan dengan metanol hingga 10 mL.

72

Lampiran 3. Kurva persamaan regresi penetapan IC50


a. Mahkota dewa (P. macrocarpa (Scheff.) Boerl)
1. Batang mahkota dewa (P. macrocarpa (Scheff.) Boerl)
Absorbansi
blanko

0.543

Absorbansi Konsentrasi

%
Inhibisi

0.540

10

0.552486

0.522

20

3.867403

0.515

40

5.156538

0.390

80

28.1768

0.331

160

39.04236

45
40
y = 0.270x - 1.427

% Inhibisi

35
30
25
20
15
10

IC50 190.47037 g/mL

5
0
0

50

100

150

200

Konsentrasi ekstrak batang P. macrocarpa (g/ml)

73

Perhitungan nilai IC50

% Inhibisi

% Inhibisi (10 ppm) =

% Inhibisi (20 ppm) =

% Inhibisi (40 ppm) =

% Inhibisi (80 ppm) =

% Inhibisi (160 ppm) =

= 0.270x - 1.427

50

= 0.270x - 1.427

x 100%

x 100% = 0.552486
x 100% = 3.867403
x 100% = 5.156538
x 100% = 28.1768
x 100% = 39.04236

= 190.47037 g/mL

2. Akar mahkota dewa (P. macrocarpa (Scheff.) Boerl)


Absorbansi
blanko

0.654

Absorbansi Konsentrasi

%
Inhibisi

0.566

200

13.45566

0.537

400

17.88991

0.517

600

20.94801

0.503

800

23.08869

0.491

1000

24.92355

74

30
y = 0.014x + 11.62

% Inhibisi

25

20
15
10

IC50 2741.429 g/mL


5
0
0

200

400

600

800

1000

1200

Konsentrasi ekstrak akar P. macrocarpa (g/ml)

3. Daun mahkota dewa (P. macrocarpa (Scheff.) Boerl)


Absorbansi
blanko

0.882

Absorbansi Konsentrasi

%
Inhibisi

0.733

200

16.89342

0.512

400

41.95011

0.318

600

63.94558

0.228

800

74.14966

0.133

1000

84.92063

75

100
90

y = 0.084x + 5.895

80

% Inhibisi

70
60
50
40
30

IC50 525.0595 g/mL

20
10

0
0

200

400

600

800

1000

1200

Konsentrasi ekstrak daun P. macrocarpa (g/ml)

b. Kirinyuh (C. odorata L.)


1. Batang kirinyuh (C. odorata L.)
Absorbansi
Absorbansi Konsentrasi
blanko

%
Inhibisi

0.897

200

0.443951

0.882

400

2.108768

0.831

600

7.769145

0.829

800

7.991121

0.767

1000

14.87236

0.901

76

16

14
y = 0.017x - 3.784

12

% Inhibisi

10
8
6
4

IC50 3163.765 g/mL

2
0

-2

200

400

600

800

1000

1200

Konsentrasi ekstrak batang C. odorata

2. Akar kirinyuh (C. odorata L.)


Absorbansi
Absorbansi Konsentrasi
blanko

%
Inhibisi

0.255

200

32.36074

0.188

400

50.13263

0.132

600

64.98674

0.119

800

68.43501

0.094

1000

75.06631

0.377

77

90
80
y = 0.051x + 27.08

% Inhibisi

70
60
50
40
30

IC50 449.4118 g/mL

20
10
0
0

200

400

600

800

1000

1200

Konsentrasi ekstrak akar C. odorata (g/ml)

3. Daun kirinyuh (C. odorata L.)


Absorbansi
Absorbansi Konsentrasi
blanko

%
Inhibisi

0.485

10

4.901961

0.461

20

9.607843

0.411

40

19.41176

0.338

80

33.72549

0.21

160

58.82353

0.51

78

70
60
y = 0.355x + 3.268

% Inhibisi

50
40
30

IC50 131.6394 g/mL

20
10

0
0

50

100

150

200

Konsentrasi ekstrak daun C. odorata (g/ml)

c. Kersen (M. calabura L.)


1. Batang kersen (M. calabura L.)
Absorbansi
Absorbansi Konsentrasi
blanko

%
Inhibisi

0.715

10

16.37427

0.556

20

34.97076

0.228

40

73.33333

0.05

80

94.15205

0.043

160

94.97076

0.855

79

120
y = 0.475x + 33.30

% Inhibisi

100
80

60

IC50 35.15789 g/mL

40
20
0
0

50

100

150

200

Konsentrasi ekstrak batang M. calabura (g/ml)

2. Akar kersen (M. calabura L.)


Absorbansi
Absorbansi Konsentrasi
blanko

%
Inhibisi

0.735

10

14.93056

0.542

20

37.26852

0.168

40

80.55556

0.055

80

93.63426

0.046

160

94.67593

0.864

80

120
y = 0.460x + 35.67

% Inhibisi

100
80

60

IC50 31.15217 g/mL

40
20
0
0

50

100

150

200

Konsntrasi ekstrak akar M. calabura (g/ml)

.
3. Daun kersen (M.calabura L.)
Absorbansi
Absorbansi Konsentrasi
blanko

%
Inhibisi

0.862

10

7.112069

0.798

20

14.00862

0.715

40

22.95259

0.419

80

54.84914

0.344

160

62.93103

0.928

81

80
70
y = 0.382x + 8.656

% Inhibisi

60
50

40
30

IC50 126.0488 g/mL

20
10
0
0

50

100

150

200

Konsentrasi ekstrak daun M. calabura (g/ml)

d. Katuk (S. androgynus L. Merr.)


1. Batang katuk (S. androgynus L. Merr.)
Absorbansi
Absorbansi Konsentrasi
blanko

%
Inhibisi

0.189

200

28.13688

0.148

400

43.72624

0.121

600

53.9924

0.08

800

69.58175

0.057

1000

78.327

0.263

82

90
80

y = 0.063x + 16.88

% Inhibisi

70
60
50
40
30

IC50 525.7143 g/mL

20
10
0
0

200

400

600

800

1000

1200

Konsentrasi ekstrak batang S. androgynus (g/ml)

.
2. Akar katuk (S. androgynus L. Merr.)
Absorbansi
Absorbansi Konsentrasi
blanko

%
Inhibisi

0.2

200

42.19653

0.145

400

58.09249

0.109

600

68.49711

0.078

800

77.45665

0.055

1000

84.10405

0.346

83

100
90

y = 0.051x + 35.11

80

% Inhibisi

70
60

50
40

IC50 291.9608 g/mL

30
20
10
0
0

200

400

600

800

1000

1200

Konsentrasi ekstrak akar S. androgynus (g/ml)

3. Daun katuk (S. androgynus L. Merr.)


Absorbansi
Absorbansi Konsentrasi
blanko

%
Inhibisi

0.415

200

17.82178

0.382

400

24.35644

0.3

600

40.59406

0.268

800

46.93069

0.177

1000

64.9505

0.505

84

70
y = 0.058x + 3.881
60

% Inhibisi

50
40
30

IC50 795.1552 g/mL

20

10
0
0

200

400

600

800

1000

1200

Konsentrasi ekstrak daun S. sndrogynus (g/ml)

e. Bayam merah (A. amoena Voss.)


1. Batang bayam merah (A. amoena Voss)
Absorbansi
Absorbansi Konsentrasi
blanko

%
Inhibisi

0.324

200

2.994012

0.313

400

6.287425

0.305

600

8.682635

0.29

800

13.17365

0.284

1000

14.97006

0.334

85

18
16

y = 0.015x - 0.029

% Inhibisi

14
12
10
8
6

IC50 3335.267 g/mL

4
2
0
0

200

400

600

800

1000

1200

Konsentrasi ekstrak batang A. amoena (g/ml)

2. Akar bayam merah (A. amoena Voss)


Absorbansi
Absorbansi Konsentrasi
blanko

%
Inhibisi

0.481

200

20.62706

0.464

400

23.43234

0.448

600

26.07261

0.415

800

31.51815

0.396

1000

34.65347

0.606

86

40
35

y = 0.018x + 16.41

% Inhibisi

30
25
20

IC50 1866.111 g/mL

15
10
5
0
0

200

400

600

800

1000

1200

Konsentrasi ekstrak akar A. amoena (g/ml)

.
3. Daun bayam merah (A. amoena Voss)
Absorbansi
Absorbansi Konsentrasi
blanko

%
Inhibisi

0.481

200

20.62706

0.464

400

23.43234

0.448

600

26.07261

0.415

800

31.51815

0.396

1000

34.65347

0.606

87

40
35

y = 0.018x + 16.41

% Inhibisi

30
25
20

IC50 1866.111 g/mL

15
10
5
0
0

200

400

600

800

1000

1200

Konsentrasi ekstrak akar A. amoena (g/ml)

.
f. Vitamin C (pembanding)
Absorbansi blanko

1.086

Absorbansi

Konsentrasi

% Inhibisi

0.671

38.21363

0.637

2.5

41.34438

0.61

43.83057

0.572

3.5

47.32965

0.532

51.01289

88

60
y = 6.3168x + 25.396

% Inhibisi

50
40
30
20

IC50 3,90186 g/ml

10
0
0

Konsentrasi Vitamin C (g/ml)

89

Lampiran 4. Dokumentasi

Penghalusan Simplisia

Pengeringan Simplisia

Maserasi

Evaporasi sampel

Ekstrak 10000 ppm untuk uji


aktivitas dan skrining

Ekstrak kental

Variasi konsentrasi ekstrak


untuk uji aktivitas antioksidan

90

Das könnte Ihnen auch gefallen