The Sulawesi forest turtle, Leucocephalon yuwonoi and the forstens tortoise,

Indotestudo forsteniirepresent the only two endemic chelonians from Sulawesi

Indonesia. Both are poorly understood and rapidly declining in numbers
throughout their ranges due to overexploitation for pet, live food, and medicial
purposes. I conducted a preliminary in-situ investigation of the current
distribution and trade of the two species, investigated population dynamics and
phenotypic differences in I.forstenii, and analyzed baseline levels of the stress
hormone corticosterone in a large group of captive L. yuwonoi. My in-situ
investigation provided evidence for previously undocumented populations for
both species in Sulawesi and the surrounding islands that, if confirmed,
significantly increase the species' known distribution. Trade of L yuwonoi over the
last three years appears to have changed little. Anecdotal information obtained
from interviews with hunters suggests that there have not been significant
changes in yield per hunt over the last 3 years. Similarly, large exporters are not
finding it necessary to pay higher prices for individuals caught, as would be
expected with a decline in supply. Comparisons of I. forstenii populations from
the north of Sulawesi with those from the south revealed differences in mass,
MCL and the presence of a nuchal scute. To determine if these phenotypic
differences are diagnostic for mtDNA lineages in the species, an examination of
cytb Mitochondrial DNA (mtDNA) sequences in two groups of wild caught captive
I. forstenii, one group with and one without the nuchal scute was performed.
Results showed that the nuchal differences do not correspond to mtDNA
lineages. I therefore suggest that the differences in size are the result of
environmental factors. Corticosterone (CORT) levels in a long term captive group
of L. yuwonoi were high relative to other reptiles, showed no detectable increase
during the first 5 minutes after capture, were higher in males than in females,
and were lower in females housed in groups of 3 than in females housed alone.
Future research is required to better understand the cause and biological
significance of the high CORT levels detected in both sexes of this collection. L.
yuwonoi collections experiencing reproductive success, as well as those
experiencing reproductive failure should have CORT assays conducted in order to
determine if stress is a contributing factor to the lack of reproductive success in
captivity. This work provides much needed baseline information for future studies
involving range and distribution of the two species, population studies of I.
forstenii, and reproductive biology of L. yuwonoi.

Kura-kura hutan Sulawesi, Leucocephalon yuwonoi dan kura-kura forsten ini,

Indotestudo forstenii mewakili hanya dua chelonians endemik dari Sulawesi
Indonesia. Keduanya kurang dipahami dan cepat menurun dalam jumlah seluruh
rentang mereka karena eksploitasi berlebihan untuk hewan peliharaan, makanan
hidup, dan tujuan medicial. Saya melakukan awal in-situ investigasi distribusi
arus dan perdagangan dari dua spesies, dinamika populasi diselidiki dan
perbedaan fenotip pada I.forstenii, dan dianalisis tingkat dasar dari
corticosterone hormon stres dalam kelompok besar dari captive L. yuwonoi. Saya
investigasi in-situ memberikan bukti untuk populasi yang sebelumnya tidak
tercatat untuk kedua spesies di Sulawesi dan pulau-pulau sekitarnya yang, jika
dikonfirmasi, secara signifikan meningkatkan spesies 'distribusi dikenal. Dagang
dari L yuwonoi selama tiga tahun terakhir tampaknya telah berubah sedikit.
informasi anekdotal yang diperoleh dari wawancara dengan pemburu
menunjukkan bahwa belum ada perubahan signifikan dalam hasil per perburuan
selama 3 tahun terakhir. Demikian pula, eksportir besar tidak menemukan itu
diperlukan untuk membayar harga yang lebih tinggi untuk individu tertangkap,
seperti yang diharapkan dengan penurunan pasokan. Perbandingan I. populasi

forstenii dari utara Sulawesi dengan orang-orang dari selatan mengungkapkan

perbedaan massa, MCL dan kehadiran tameng nuchal. Untuk menentukan
apakah perbedaan-perbedaan fenotipik adalah diagnostik untuk garis keturunan
mtDNA dalam spesies, pemeriksaan DNA mitokondria (mtDNA) urutan cytb
dalam dua kelompok liar tertangkap captive I. forstenii, satu kelompok dengan
dan satu tanpa tameng kuduk dilakukan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
perbedaan nuchal tidak sesuai dengan garis keturunan mtDNA. Oleh karena itu
saya sarankan bahwa perbedaan ukuran adalah hasil dari faktor lingkungan.
Kortikosteron (CORT) tingkat dalam kelompok captive jangka panjang L. yuwonoi
yang relatif tinggi untuk reptil lainnya, tidak menunjukkan peningkatan
terdeteksi selama pertama 5 menit setelah penangkapan, lebih tinggi pada
laki-laki daripada perempuan, dan lebih rendah pada wanita bertempat di
kelompok 3 daripada perempuan ditempatkan sendiri. Penelitian di masa depan
diperlukan untuk lebih memahami penyebab dan signifikansi biologis dari tingkat
CORT tinggi terdeteksi pada kedua jenis kelamin dari koleksi ini. L. yuwonoi
koleksi mengalami keberhasilan reproduksi, serta mereka yang mengalami
kegagalan reproduksi harus memiliki tes CORT dilakukan dalam rangka untuk
menentukan apakah stres merupakan faktor yang berkontribusi terhadap
kurangnya keberhasilan reproduksi di penangkaran. Karya ini menyediakan
sangat dibutuhkan informasi dasar untuk studi masa depan yang melibatkan
berbagai dan distribusi dari dua spesies, studi populasi I. forstenii, dan biologi
reproduksi L. yuwonoi.