Beruflich Dokumente
Kultur Dokumente
Republik Indonesia
Pedoman Penyusunan
:'I
Sambutan
Kementerian Kesehatan
Puji syukur kita panjatkan pada Tuhan Yang Maha Esa, karena hanya berkat rahmat
NYA, buku Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK) ini dapat tersusun.
Saya menyambut gembira dengan diterbitkannya buku Pedoman Nasional Pelayanan
Kedokteran (PNPK) ini. Berbeda dengan buku pedoman pedoman lain, PIIJPK ini
mempunyai kedudukan yang sangat khusus karena disusun oleh pehimpunan profesi,
untuk memenuhi mandat Undang Undang RI no 29 Tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran.
Saya harapkan dengan terbitnya PNPK ini, dapat memudahkan institusi upaya kesehatan,
dalam memberikan pelayanan kedokteran yang bermutu kepada masyarakat. Para
dokter pun akan memperoleh perlindungan hukum bila dalam menjalankan praktik
kedokteran mengikuti arahan dari PNPK.
Namun demikian, rumah sakit - rumah sakit serta institusi pelayanan kesehatan
lainnya, mempunyai kewajiban untuk menjabarkan PNPK menjadi dokumen yang lebih
operasional, yang disebut Standar Prosedur Operasional (SPO), sesuai dengan tingkat
kompetensi fasilitas pelayanan kesehatan masing masing institusi.
Saya mengucapkan terima kasih yang mendalam dan penghargaan yang tinggi, kepada
para penyusun PNPK, yang telah bekerja keras menyusun buku yang sangat berharga
ini. Kepada direktur rumah sa kit, para dokter dan ahli-ahli lain saya ucapkan selamat
mempelajari dan membaca PNPK ini. Semoga Allah meridhoi niat baik kita
IA,.
. Akm Teher. SpU (KI
iii
Daftar lsi
Kata Pengantar
Daftar lsi
Ringkasan
vii
BAB I. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
2. Dasar Hukum
3. Tujuan
4. 5asaran
A. Pendahuluan
A. Uraian umum
9
9
B. Penyusunan PNPK
10
11
13
13
B. Penyusunan PPK
14
C. lsi PPK
15
15
E. Penerapan PPK
16
F. Revisi PPK
18
19
19
B. Algoritme
22
C. Protokol
22
D. Prosedur
23
D. Standing orders
23
25
27
LAMPI RAN
28
51
DAFTAR PU5TAKA
53
V
Ringkasan
Upaya
peningkatan
kualitas
pelayanan
kesehatan
horus
dilakukan
secara
Di
tingkat
nasional
diperlukan
penyusunan
Pedoman
Nasional
menangani pasien dengan kondisi tertentu. PNPK disusun oleh panel pakar (dari
organisasi profesi, akademisi, klinis, pakar lain) di bawah koordinasi Kemenkes dan
hasilnya disahkan oleh Menteri Kesehatan.
Karena sifatnya yang canggih, mutakhir, maka PNPK horus diterjemahkan menjadi
sesuai
dengan
keadaan
setempat.
PPK
disusun oleh
Staf Medis
fasyankes, dengan mengacu pada PNPK (bila ada), dan / atau sumber pustaka
lain. Karena jumlah PNPK terbatas, maka sebagian besar PPK dibuat dengan
merujuk pada sumber lain (artikel asli, meta-analisis, PNPK neg ora lain, buku ajar,
panduan organisasi profesi, petunjuk pelaksanaan program, dst).
PPK dapat disertai perangkat pelaksanaan langkah demi langkah termasuk clinical
pathway (CP -untuk penyakit yang perjalanannya dapat diprediksi dan memerlukan
penanganan multidisiplin), algoritme (diagram untuk pengambilan keputusan yang
cepat), protokol (panduan pelaksanaan tugas yang cukup kompleks), prosedur
(panduan langkah-Iangkah tugas teknis), dan standing orders (instruksi tetap kepada
perawat). Perlu ditekankan CP tidak dibuat untuk semua penyakit namun terbatas
pada penyakit atau kondisi klinis yang lebih kurang homogen, perjalanan klinisnya
dapat diprediksi, serta memerlukan pendekatan multidisiplin.
Dalam setiap buku PPK horus disertakan disclaimer (wewanti, penyangkalan) yang
intinya menegaskan bahwa PPK hanya bersifat rekomendasi /
melaksanokan apa
yang
tertulis di
vii
Bab 1
Pendahuluan
Latar Belakang
Pelayanan medis adalah pelayanan kesehatan perorangan yang meliputi segala
tindakan atau perilaku yang diberikan kepada pasien dalam upaya promotif,
preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Secara substansi pelayanan medis harus
berdasarkan pada ilmu pengetahuan dan teknologi medis yang telah ditapis
efektivitas, keamanan, aspek sosio-ekonomi-budayanya sehingga menuju pada
pemerataan, peningkatan mutu dan efisiensi pelayanan yang memenuhi
kebutuhan kesehatan masyarakat. Untuk penyelenggaraan pelayanan medis
yang baik dalam arti efektif, efisien, berkualitas serta merata dibutuhkan
masukan berupa sumber daya manusia, fasiJitas, perala tan, dan dana sesuai
dengan prosedur serta metode yang memadai.
Perkembangan sosial ekonomi dan politik akhir-akhir ini telah melahirkan
masyarakat yang makin sadar h ukum, sadar hak konsumen, termasuk
konsumen
pelayanan
kesehatan
(pasien).
Salah
satu
dampak
akibat
jenis dan strata fasilitas pelayanan kesehatan. Ayat (3) Standar pelayanan W1tuk
dokter dan dokter gigi tersebut diatur dengan Peraturan Menteri.
Standar pelayanan kedokteran (SPK) sebagaimana yang dimaksud dalam
Undang Undang Praktik Kedokteran dalam implementasinya adalah Pedoman
Nasional Pelayanan Kedokteran dan Standar Prosedur Operasional yang
dimaksud sesuai dengan Pasal 50 ayat 1 dan pasal 51 Undang-W1dang Nomor
29 TahW1 2004 Tentang Praktik Kedokteran.
Pedoman ini merupakan acuan bagi Kementerian Kesehatan dan organisasi
profesi dalam menyusun Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran, dan
fasilitas pelayanan kesehatan dalam menyusW1 standar prosedur operasional
sebagaimana diamanahkan oleh UU Praktik Kedokteran .
Dasar Hukum
1. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran pasal
Pemerintahan
Negara
Republik
terakhir
dengan
Peraturan
Menteri
Kesehatan
Nomor
Tuiuan
Memberikan pedoman bagi Kementerian Kesehatan dan organisasi profesi
dalam menyusun PNPK dan panduan bagi fasilitas pelayanan kesehatan dalam
menyusun SPO.
Sasaran
1. Kementerian Kesehatan
2. Organisasi profesi
3. Fasilitas pelayanan kesehatan
Bab 2
Standar Pelayanan Kedokteran
Pendahuluan
Dalam pus taka, undang-undang, peraturan, dan panduan pelayanan kesehatan
banyak sekali istilah yang menggunakan kata standar, yang mungkin di satu
sisi bersifat tum pang tindih, di lain sisi mungkin artinya berbeda untuk satu
orang dengan orang lain. Contohnya: standar pelayanan, standar pelayanan
minimal, standar prosedur operasional (SPO), standard operating procedure
(SOP), standar pemeriksaan, standar fasilitas, dsb. Istilah standar yang
digunakan dalam ranah yang melibatkan pasien, keluarga, dan pihak lain
sangat rentan karena kata standar dapat diartikan sebagai suatu hal yang harus
dilakukan. Karenanya kata atau istilah standar dalam ranah pelayanan
sebaiknya dihindarkan.
Dalam ranah kedokteran klinis, bila terdapat masalah yang belum terpecahkan,
maka terdapat alur pemecahan masalah sebagai berikut:
l. Kelompok yang diharapkan paling awal memberikan solusi adalah para
Para peneliti menawarkan apa yang dapat dilakukan (what we can do)
HTA mengkaji opsi yang ditawarkan mana yang layak diterapkan (which
we can do)
Praktisi menerapkan apa yang harus dilakukan (doing what we should do)
banyak, yang berisiko tinggi, atau cenderung menggunakan sumber daya yang
besar, apalagi apabila terdapat variasi yang luas dalam praktik seyogianya
dilakukan "standardisasi". Standardisasi, bila dirancang dan dilaksanakan
dengan baik dipercaya banyak manfaatnya baik bagi pasien, keluarga, pemberi
jasa pelayanan, serta fasilitas pelayanan.
Standing orders
Catatan: PPK merupakan format teknis untuk istilah standar prosedur operasional
(SPO) yang terdapat dalam Undang-undang Praktik Kedokteran.
Bab 3
Kedokteran
evidence mutakhir. Berbeda dengan format lain dalam standar pelayanan yang
merupakan pendekatan langkah demi langkah dalam pelayanan terhad ap
pasien, PNPK berisi informasi ten tang tata laksana pasien yang dianggap
paling efektif. Dokter menggunakan informasi pada PNPK ini bersama dengan
pengetahuan dan pengalamannya untuk menentukan rencana tata laksana
yang paling sesuai terhadap pasien dengan memperhitungkan keadaan lokal.
Dalam pus taka istilah Clinical Practice Guidelines (atau Clinical Guidelines)
digunakan baik untuk pedoman yang dibuat oleh kelompok pakar dan bersifat
nasional/global, maupun yang telah diadaptasi sesuai dengan kondisi fasilitas
setempat. Dalam dokumen ini, (1) untuk mengakomodasi pelbagai istilah yang
tum pang tindih, dan (2) menyadari perbedaan fasilitas yang amat luas di an tara
fasyankes yang ada, dibedakan 2 jenis dokumen:
1. Dokumen lengkap yang dibuat oleh kelompok pakar (profesi, akademisi,
pakar lain) dengan koordinasi Kementerian Kesehatan disebut sebagai
Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK). Dalam pus taka PNPK
setara dengan National Clinical Practice Guidelines.
2. Dokumen yang dibuat oleh fasilitas kesehatan dengan mengacu pada
PNPK dan / atau swnber lain disebut sebagai Panduan Praktik Klinis
(PPK)
Penyusunan PNPK
Pemilihan topik
Topik PNPK dapat diajukan oleh siapa saja: JaJaran Kemenkes, organisasi
profesi, (perhimpunan) rumah sakit, dekan fakultas kedokteran / kedokteran
gigi, dst. Kemenkes (d.h.i. Konsorsium Upaya Kesehatan) bila perlu menulis
surat kepada institusi yang potensial memberi usulan topik. Bila jumlah usulan
terlalu banyak dilakukan pembahasan untuk menentukan prioritas.
Persyaratan PNPK
PNPK diperlukan bila suatu penyakit atau kondisi kesehatan tertentu memiliki
satu atau lebih karakteristik berikut:
terutama bila terdapat variasi yang luas (high variablitiy) di antara para praktisi
untuk penanganan kasus yang sarna.
Siapa yang menyusun PNPK
PNPK disusun oleh panel pakar yang bersifat multidisiplin dari organisasi
profesi, akademisi, pakar lain, di bawah koordinasi Kementerian Kesehatan RI.
Karakteristik PNPK
10
Sahih / valid
Reproducible
Cost-effective
Representatif, sering harus multidisiplin
Dapat diterapkan dalam praktik
Fleksibel
Jelas
Terjadwal untuk dilakukan revisi
Panel pakar dibentuk oleh KUK sesuai dengan topik yang akan dibuat PNPK
nya . Panel pakar bersifat multidisiplin mencakup semua aspek yang hendak
dibahas; jwnlah anggota Panel bervariasi, pada umwnnya antara 6-10 orang.
Idealnya anggota Panel mencakup para pakar di pusat dan daerah.
Dalam rapat pertama dengan panel pakar dilakukan hal-hal berikut:
Penjelasan maksud pembuatan PNPK
Penjelasan format PNPK (lihat Lampiran)
Kesepakatan cara kerja, termasuk time-table
Penentuan Ketua, Wakil Ketua, serta 1 atau 2 Sekretaris. Panel dapat
mengusulkan 1 atau 2 dokter (disebut sebagai PIC - person in charge)
(lihat bawah).
Menentukan person-in-charge (PIC)
11
Pengembangan
Draft awal PNPK dibuat oleh PIC di bawah arahan Ketua, Sekretaris,
serta anggota panel.
Draft awal tersebut dikembangkan bersama oleh seluruh anggota Panel
dengan mekanisme yang disepakati, terutama komunikasi melalui
email.
Setiap bulan dilakukan rapat Panel yang dikordinasi oleh KUK untuk
perkembangan
pembuatan
Draft akhir yang sudah disepakati oleh Panel dan KUK diajukan
kepada Oirjen Pelayanan Medis untuk dibahas dan dimintakan
pengesahannya oleh Menteri Kesehatan.
Tampilan PNPK
12
Bab 4
Panduan praktik klinis (PPK) adalah istilah teknis sebagai pengganti standar
prosedur operasional (SPO) dalam Undang-W1dang Praktik Kedokteran yang
merupakan istilah administratif. Penggantian ini perlu W1tuk menghindarkan
kesalahpahaman yang mW1gkin terjadi, bahwa "standar" merupakan hal yang
harus dilakukan pada semua keadaan. Jadi secara teknis SPO dibuat berupa
PPK yang dapat berupa atau disertai dengan salah satu atau lebih: alur klinis
din~uk.
Oi rumah sakit tipe A dan rumah sakit tipe B yang memiliki ahli bedah
saraf, alur klinis (clinical pathway) stroke non-hemoragik memerlukan
pendekatan multidisiplin yang antara lain melibatkan ahli bedah saraf.
NamW1 di rumah sakit tipe B yang lain ahli bedah saraf tidak tersedia
harus dibuat alur klinis yang berbeda.
Oengan demikian maka PPK bersifat hospital specific.
13
Penyusunan PPK
PPK seharusnya dibuat untuk semua jenis penyakit / kondisi klinis yang
ditemukan dalam fasyankes. Namun dalam pelaksanaannya dapat dibuat
secara bertahap, dengan mengedepankan misalnya 10 penyakit tersering yang
ada di tiap bagian . Bila tersedia PNPK, PPK dibuat dengan rujukan utama
PNPK. Namun karena PNPK hanya dibuat untuk sebagian kecil penyakit /
kondisi klinis, maka sebagian besar PPK (dengan segala turunannya) dibuat
dengan memperhatikan fasilitas setempat dan merujuk pada:
Pus taka mutakhir berupa artikel asli
Systematic review atau meta-analisis
PNPK dari negara lain
Buku ajar
Panduan dari organisasi profesi
Petunjuk pelaksanaan program dari Kemenkes
Kesepakatan para staf medis
Oi rumah sakit umum PPK dibuat untuk penyakit-penyakit terbanyak untuk
setiap departemen, sedangkan untuk rumah sa kit tipe A dan tipe B yang
memiliki pelayanan subdisiplin harus dibuat PPK untuk penyakit-penyakit
terbanyak sesuai dengan divisi / subdisiplin masing-masing. Pembuatan PPK
dikoordinasi oleh Komite Medis setempat dan berlaku setelah disahkan oleh
Oireksi.
14
lsi PPK
Pada uumnya PPK berisi butir-butir berikut:
1.
Pengertian
2.
Anamnesis
3.
Pemeriksaan fisis
4.
Prosedur diagnostik
5.
Diagnosis banding
6.
Pemeriksaan penunjang
7.
Terapi
8.
Edukasi
9.
Prognosis
10.
Daftar pustaka
15
Penerapan PPK
Panduan Praktik Klinis (termasuk "turunan-turunannya": clinical pathway,
algoritme, protokol, prosedur, standing orders) merupakan panduan yang harus
diterapkan sesuai dengan keadaan pasien. Oleh karenanya dikatakan bahwa
semua PPK bersifat rekomendasi atau advis. Apa yang tertulis dalam PPK
tidak harus diterapkan pada semua pasien tanpa kecuali.
Berikut alasan mengapa PPK harus diterapkan dengan memperhatikan kondisi
pasien secara individual.
1 PPK dibuat untuk 'average patients'. Pasien dengan demam tifoid ada
yang masih dapat bekerja seperti biasa, di sisi lain ada yang hampir
meninggal. PPK dibuat bukan untuk kedua ekstrem tersebut, melainkan
untuk pasien rata-rata demam tifoid: demam 5 hari atau lebih, lidah
kotor, tidak mau makan minum, mengigau, dan seterusnya.
2 PPK dibuat untuk penyakit atau kondisi kesehatan tunggal. Kembali
pada pasien demam tifoid . Pada PPK demam tifoid seolah-olah pasien
tersebut hanya menderita demam tifoid; dia tidak menderita hipertensi,
tidak ada asma, tidak obes atau malnutrisi, tidak alergi kloramfenikol,
dan seterusnya. Padahal dalam praktik seorang pasien datang dengan
keluhan utama yang sesuai dengan demam tifoid, namun mungkin ia
juga menderita diabetes, alergi kloramfenikol, hipertensi dan sebagainya.
Contoh lain, seorang yang menderita kardiomiopati obstruktif m enurut
PPK harus diberikan propranolol; namun bila temyata ia menderita asma
berat, maka propranolol tidak boleh diberikan. Demikian pula pasien
gonore yang harusnya diberikan penisilin namun tidak boleh diberikan
karena ia alergi penisilin. Atau seorang anak yang menderita diare
16
Revisi PPK
PPK merupakan panduan terkini untuk tata laksana pasien, karenanya harus
selalu mengikuti kemajuan ilmu dan teknologi kedokteran . Untuk itu PPK
secara periodik perlu dilakukan revisi, biasanya setiap 2 tahun. Idealnya
meskipun tidak ada perbaikan, peninjauan tetap dilakukan setiap 2 tahun .
Masukan untuk revisi diperoleh dari PNPK yang baru (bila ada), pustaka
mutakhir, serta pemantauan rutin apakah PPK selama ini dapat dan sudah
dikerjakan dengan baik. Proses formal audit klinis dapat merupakan sumber
yang berharga untuk revisi PPK; namun bila audit klinis belum dilaksanakan,
pemantauan rutin merupakan sumber yang penting pula .
Untuk menghemat anggaran, di rumah-rumah sakit yang sudah mempunyai
'intranet', PPK dan panduan lain dapat di-upload yang dapat diakses setiap saat
oleh para dokter dan profesionallainnya, dan bila perlu dicetak.
18
Bab 5
Alur klinis & penuniang PPK yang
lain
Perangkat yang diperlukan untuk pelaksanaan PPK tertentu perlu diuraikan
lebih lanjut dalam Bab terpisah ini, mengingat terdapatnya kecenderungan
untuk terdapatnya perbedaan persepsi, terutama yang menyangkut alur klinis
(clinical pathway).
terdapat ko-morbiditas.
19
Apa pun yang terjadi hams dilakukan evaluasi dan dokter memberikan
intervensi sesuai dengan keadaan pasien.
Pada umumnya di rumah sakit umum hanya 30% pasien dirawat dengan CP.
Selebihnya pasien dirawat dengan prosedur biasa (usual care). CP hanya efektif
dan efisien apabila dilaksanakan untuk penyakit atau kondisi kesehatan yang
perjalanannya predictable, khususnya bila memerlukan perawatan multidisiplin.
Beberapa pertanyaan yang dapat muncul:
a. Apakah CP perlu dibuat untuk semua penyakit?
Jawabnya telah dijelaskan di atas, tidak. CP hanya untuk penyakit yang
perjalanan klinisnya predictable dan memerlukan penanganan multidisiplin.
b. Apakah CP dibuat untuk perincian biaya perawatan?
Tidak. PPK dan semua perangkatnya, termasuk CP, hams patient oriented,
bukan DGR (diagnosis-related group)-oriented, length of stay oriented, atau BPJS
20
Berikut adalah contoh CP untuk diare pada bayi dan anak, yang secara
keseluruhan perjalanan penyakitnya sangat bervariasi sehingga biasanya
tidak dibuat CP, namun dengan kriteria tertentu yang ketat dapat dibuat CP.
21
Algoritme
Algoritme merupakan format tertulis berupa flowchart dari pohon pengambilan
keputusan. Dengan format ini dapat dilihat secara cepat apa yang harus
dilakukan pada situasi tertentu. Algoritme merupakan panduan yang efektif
dalam beberapa keadaan klinis tertentu misaInya di ruang gawat darurat atau
instalasi gawat darurat. Bila staf dihadapkan pada situasi yang darurat, dengan
menggunakan algoritme ia dapat melakukan tindakan yang cepat untuk
memberikan pertolongan.
Protokol
Protokol merupakan panduan tata laksana untuk kondisi atau situasi tertentu
yang cukup kompleks. MisaInya dalam PPK disebutkan bila pasien mengalami
atau terancam mengalami gagal napas dengan kriteria tertentu perlu dilakukan
pemasangan ventilasi mekanik. Untuk ini diperlukan panduan berupa
protokol,
bagaimana
melakukan
pemasangan
ventilasi
mekanik,
dari
diperhatikan,
22
Prosedur
Prosedur merupakan uraian langkah-demi-langkah untuk melaksanakan tugas
teknis tertentu. Prosedur dapat dilakukan oleh perawat (misalnya cara
memotong dan mengikat talipusat bayi baru lahir, merawat luka, suctioning,
pemasangan pipa nasogastrik), atau oleh dokter (misalnya pungsi lumbal atau
biopsi sumsum tulang).
Standing orders
Standing orders adalah suatu set instruksi dokter kepada perawat atau
profesional kesehatan lain untuk melaksanakan tugas pada saat dokter tidak
ada di tempat. Standing orders dapat diberikan oleh dokter pada pasien tertentu,
atau secara umum dengan persetujuan Komite Medis. Contoh: perawatan
pascabedah tertentu, pemberian antipiretik untuk demam, pemberian
antikejang per rektal untuk pasien kejang, defibrilasi untuk aritmia tertentu.
23
24
Bab 6
Disclaimer harus dicantumkan di bagian depan setiap buku PPK. Oi luar negeri
seringkali disclaimer mencakup banyak hal lain yang rinci, misalnya pemyataan:
PPK berisi panduan praktis, tidak berisi uraian lengkap tentang
penyakit / kondisi
PPK bukan merupakan hal terbaik untuk semua pasien
PPK bukan merupakan standard of medical care
Penyusun tidak menjamin akurasi informasi yang ada dalam PPK
Penyusun tidak bertanggung jawab terhadap hasil apa pun akibat
penggunaan PPK
Bila dokter ragu disarankan melakukan konsultasi
25
26
Bab 7
Penutup
Dokumen ini diharapkan dapat menjadi panduan bagi penyusun standar
pelayanan kedokteran yang sesuai dengan kebutuhan dan kemarnpuan
masing-masing
organisasi
profesi,
fasilitas
maupun
fasilitas
pelayanan
27
Lampiran 1
Judul
Daftar isi
dengan selalu mencantumkan salah satu atau lebih high v olume, high risk, high
Bab 2. Metodologi
Telaah kritis
Peringkat bukti
Derajat rekomendasi
Catatan: Format laporan bila perlu dapat dimodifikas i, namun butir-butirnya tetap
dipertahankan. Misalnya rekomendasi untuk topic tertentu dapat dikumpulkan pada
akhir PNPK, namun untuk topic lainnya lebih memadai bila dibuat per jenis bahasan.
28
Lampiran 2
Berikut adalah contoh beberapa judul PNPK (yang setara dengan National
Clinical Practice Guidelines) dari Indonesia dan luar negeri. Perhatikan bahwa
PNPK mencakup satu kondisi spesifik yang memenuhi salah satu atau lebih
kriteria high volume, high risk, high cost, high variability).
PNPK Indonesia:
1. PNPK Tata Laksana HIV-AIDS
2. PNPK Penanganan Trauma
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
29
htt:p:llwww.caalz.orgIPDF files/Guideline-FullReport-CA.pdf
ACC/AHA 2008 Guidelines for the Management of Adults With Congenital Heart
Disease. htt:p:Ucirc.ahajournals.org/cgilreprint/I18/23/2395
ACC/AHA 2008 Guidelines for the Management of Adults With Congenital Heart
Disease: Executive Summary. 49 halaman, 202 rujukan.
http://circ.aha;ou rna ls.or~/cgilreprin t/118/23/2395
Americal College of Cardiology / American Heart Association (2002): Guideline
update for the management of chronic stable angina. 136 halaman, 1053 rujukan
hltp:llwww.acadmed.or~.m}'
fibrillation . http:Uwww.moh.gov.sg/cpg
30
Lampiran 3
Panduan Praktik Klinis (PPK) dibuat untuk setiap rumah sa kit / fasilitas
pelayanan kesehatan, dengan mengacu pada Pedoman Nasional Pelayanan
Medis (PNPK) dan / atau pustaka mutakhir dengan menyesuaikan dengan
kondisi setempat. PPK dibuat oleh Staf Medis setiap departemen / divisi di
bawah koordinasi Komite Medis, dan baru dapat dilaksanakan setelah
diresmikan oleh Direksi.
Format PPK dapat sangat bervariasi. PPK dapat dibuat atas dasar penyakit
Pengertian
2.
Anamnesis
3.
Pemeriksaan fisis
4.
Prosedur diagnostik
5.
Diagnosis banding
6.
Pemeriksaan penunjang
7.
Terapi
8.
Edukasi
9.
Prognosis
10. Pustaka
31
Patogenesis
Kuman masuk melalui makanan/minuman, setelah melewati lambung kuman mencapai
usus halus {ileum} dan setelah menembus dinding usus sehingga mencapai folikel limfoid
usus halus {plaque Peyeri}. Kuman ikut aliran limfe mesenterial ke dalam sirkulasi darah
{bakteremia
primer}
bermultiplikasi}.
mencapai
Setelah
jaringan
mengalami
RES
bakteriemi
{hepar,
kedua,
lien,
sumsum
kuman
tulang
mencapai
untuk
sirkulasi
darah untuk menyerang organ lain {intra dan ekstra-intestinal}. Masa inkubasi adalah
10-14 hari.
Anamnesis
Demam naik secara bertahap tiap hari, mencapai suhu tertinggi pada akhir minggu
pertama, minggu kedua demam terus menerus tinggi . Anak sering mengigau (delirium),
malaise, letargi, anoreksia, nyeri kepala, nyeri perut, diare atau konstipasi, muntah,
perut kembung. Pada demam tifoid berat dapat dijumpai penurunan kesadaran,
kejang, dan ikterus.
Pemeriksaan lisis
Gejala klinis bervariasi dari yang ringan sampai berat dengan komplikasi. Kesadaran
menu run, delirium, sebagian besar anak mempunyai lidah tifoid, yaitu di bagian tengah
kotor dan bagian pinggir hiperemis, meteorismus, hepatomegali lebih sering dijumpai
daripada splenomegali. Kadang dapat terdengar ronki pada pemeriksaan paru.
Pemeriksaan laboratorium
Darah tep;
Anemia, pada umumnya terjadi karena karena supresi sumsum tulang, defisiensi
besi, atau perdarahan usus.
32
Limfositosis relatif
Pemeriksaan ser%gi
Serologi Widal: kenaikan titer S. typhi titer 0 zl :200 atau kenaikan 4 kali titer
fase akut ke fase konvalesens.
Biakan Salmonela
Pemeriksaan radi%gis
distribusi
udara
tak
merata, tampak
Penyulit
Perforasi usus atau perdarahan sa luran cerna: suhu menurun, nyeri abdomen,
muntah, nyeri tekan pada palpasi, bising usus menurun sampai menghilang,
Diagnosis banding
33
Tata laksana
Medikamentosa
Antipiretik bila suhu tubuh > 38,5 C. Kortikosteroid dianjurkan pada demam
tifoid be rat.
Tindakan bedah
Tindakan bedah perlu dilakukan segera bila terdapat perforasi usus. Konsultasi Bedah
Anak bila dicurigai komplikasi perforasi usus.
Imunisasi
1. Imunisasi aktif terutama diberikan bila terjadi kontak dengan pasien
demam tifoid, terjadi kejadian luar biasa, dan untuk turis yang
bepergian ke daerah endemik.
2. Vaksin polis aka rid a (capsular Vi polysaccharide), pada usia 2 tahun
atau lebih diberikan secara intramuskular dan diulang setiap 3 tahun.
3. Vaksin tifoid oral (Ty21-a), diberikan pada usia > 6 tahun dengan
interval selang sehari (hari 1, 3, dan 5), ulangan setiap 3-5 tahun.
Vaksin ini belum beredar di Indonesia, terutama direkomendasikan
untuk turis yang bepergian ke daerah endemik.
Daftar pustaka
1. Feigin RD, Demmler GJ, Cherry JD, Kaplan SL. Textbook of pediatric infectious
diseases. 5th ed. Philadelphia: WB Saunders; 2004.
34
2. Long SS, Pickering LK, Prober CG. Principles and practice of pediatric infectious
diseases. 2nd ed. Philadelphia: Churchill & Livingstone; 2003.
3. Gershon AA, Hotez PJ, Katz SL. Krugman's infectious disease of children. 11 th ed.
Philadelphia: Mosby; 2004.
4. Pomerans AJ, Busey SL, Sabnis S. Pediatric decision making strategies. WB
Saunders: Philadelphiai 2002.
PPK: Hipoglikemia
Batasan dan Uraian
Kadar glukosa darah < 60 mg/dL, atau kadar glukosa darah < 80 mg/dL dengan
gejala klinis.
Hipoglikemia pada DM terjadi karena:
Kelebihan obat / dosis obat: terutama insulin, atau abat hipoglikemik oral.
Kebutuhan tubuh akan insulin yang relatif menu run: gaga I ginjal kr~nik, pasco
persalinan.
Masukan makan tidak adekuat: jumlah kalori / waktu makan tidak tepat.
Diagnosis
Gejala dan tanda klinis:
Stadium simpatik: keringat dingin pada muka, bibir atau tangan gemetar
Stadium gangguan otak berat: tidak sadar, dengan atau tanpa kejang
Anamnesis:
Penggunaan preparat insulin atau obat hipoglikemik oral: dosis terakhir, waktu
pemakaian terakhir, perubahan dosis.
35
p, dll.
Pemeriksaan fisis
Pucat, diaforesis,
Tekanan darah
Penurunan kesadaran
2.
3.
Diagnosis banding
Hipoglikemia karena
o
Obat:
o
Hiperinsulinisme endogen:
o
36
Insulinoma
p jenis lain
Kelainan sel
Sekretagogue: sulfonilurea
Autoimun
Penyakit kritis:
Gagal hati
Gagal ginjal
Gagal jantung
Sepsis
Defisiensi endokrin:
Glukagon, epinefrin
Tumor non-sel
B:
Sorkoma
Pasco-prandial:
o
Diinduksi alkohol
Pemeriksaan penunjang
C-peptide
Tata laksana
Stadium permulaan (sadar )
Berikan gula murni 30 gram (2 sendok makan) atau sirop/permen gula murni (bukan
pemanis
pengganti
gula
atau
gula
diet/gula
diabetes)
dan
makanan
yang
mengandung karbohidrat
Cori penyebab
37
+ curiga
hipoglikemia):
+ bolus
Dekstrosa 40 % 50 mL IV
+ bolus
Dekstrosa 40 % 25 mL IV
+ bolus
Dekstrosa 40 % 50 mL IV
+ bolus
Dekstrosa 40 % 25 mL IV
pertimbangkan
5. Bila GDs > 100 mg / dL sebanyak 3 kali berturut-turut, pemantauan GDs setiap 2
jam, dengan protokol sesuai di atas. Bila GDs > 200 mg/dL ~ pertimbangkan
6. Bilo GDs > 100 mg / dL sebonyok 3 koli berturut-turut, pemontouon GDs setiop 4
~ pertimbongkon
7. Bilo GDs > 100 mg/dL sebonyok 3 koli berturut-turut, sliding scale tiop 6 jom:
GD~
(mg!dLl
RI
(Unit. subkutonl
< 200
200 - 250
250 - 300
10
300 - 350
15
> 350
20
38
1M (bilo
Bila pasien belum sador, GDs sekitor 200 mg/dL: Hidrokortison 100 mg per 4 jam
selama 1 2 jam atau Deksametason 10 mg IV bolus dilanjutkan 2 mg tiap 6 jam dan
Manitol 1,5 - 2 g/kgBB IV setiap 6-8 jam. Dicari penyebab lain kesadoran menurun
Daftar Pustaka
1. PERKENI. Petunjuk Praktis Pengelolaan Diabetes Melitus Tipe 2002.
2. Waspadji S. Kegawatan pad a Diabetes Melitus. Dalam Prosiding Simposium
Penatalaksanaan Kedaruratan di Bidang IImu Penyakit Dalam. Jakarta, 15-16 April
2000:83-8.
3. Cryer PE. Hypoglycemia. In Braunwald E, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL,
Jameson Jl. Harrison's Principles of Internal Medicine.15'h ed. New York: McGraw
Hill, 2001 :2138-43.
Konsultasi
Disiplin ilmu lain sesuai dengan penyakit yang menyertai atau komplikasi yang
timbul.
Perawatan RS
Rawat inap diberlakukan untuk luka derajat II atau IV:
Luka bakar derajat ~II seluas
> 10%
pada anak-anak,
> 15%
pada dewasa.
39
Terapi
Diberikan nutrisi enteral dini (sedapatnya dalam 8 jam pertama pasca cedera);
Fisioterapi.
Untuk trauma karena bahan kimia, perlu dibilas secara tuntas dengan air.
Tindakan pembedahan dilakukan untuk membuang kulit yang mati (skar). Jika
mung kin dilanjutkan dengan skin graft (SISG). Pembedahan ini dapat dilakukan
setelah diyakini sirkulasi stabil.
Penyulit
sirkulasi
bila
berlanjut
dapat
menyebabkan
multipel.
U Ikus stres.
40
kegagalan
organ
In'ormed consent
Perlu
tertulis
(derajat
luka
nakar,
persentase
luka
bakar
dari
total
luas
Standar tenaga
Dokter Umum untuk luka bakar ring an.
Lama perawatan
Sangat dipengaruhi oleh kedalaman dan luas luka. Dirawat sampai luka lebih
kedl dari indikasi perawatan.
Masa pemulihan
Sangat bervariasi, mungkin 2 tahun atau lebih bergantung pada parut yang
terjadi.
Luaran
Sembuh dengan kecacatan warna kulit saja sampai kecacatan berat, tidak dapat
menggerakkan sendi.
Kematian.
Autopsi/risalah rapat
Mungkin diperlukan bila terjadi kematian. Luas dan beratnya luka bakar dapat
menjadi
penyebab
langsung
kematian.
Penyebab
lain
beragntung
pada
41
Patologi
Dapat berupa mola hidatidosa komplit atau parsial. Mola Hidatidosa komplet
mempunyai kariotipe 46,XX yang semua berasal dari paternal. Secara klinik tidak
dijumpai embrio atau fetus kecuali pada kehamilan ganda. Secara mikoskopis dijumpai
degenerasi hidropik villi chorialis dan hyperplasia sel tropoblas yang difus.
Pad a mola hidatidosa partial terdapat jaringan embrio atau fetal, degenerasi hidopik
villi dan hiperplasia bersifat fokal dengan ukuran bervariasi.
Epidemiologi
10-20% dari kehamilan.
Manifestasi klinis
Berdasarkan gejala klinik seperti pada tabel diatas.
Gambaran sarang tawon pad a ultra sonografi menunjukkan mola hidatidosa komplit,
sedang pada mola parsial akan dijumpai gambaran multikistik pada plasenta.Pada
mola komplit umumnya dijumpai kista lutein yang menetap. Keluarnya gelembung mola
dari ostium.
Diagnosis Diferensial
Gejala klinis
Mola komplit
Mola parsial
N=307 (%)
N=83 (%)
Perdarahan pervaginam
97
73
51
50
Toxemia
27
Hiperemesis
26
Hipertiroid
Kriteria diagnosis
Berdasarkan gejala klinis seperti pada tabel diatas.
42
Gambaran sarang tawon pada ultra sonografi menunjukkan mola hidatidosa komplit,
sedang pada mol a parsial akan dijumpa i gambaran multikistik pada plasenta.Pada
mola komplit umumnya dijumpai kista lutein yang menetap. Keluarnya gelembung mol a
dari ostium.
Diagnosis Banding
Hamil biasa, mioma dengan kehamilan
Pemeriksaan penunjang
Beta hCG serum
Foto toraks
T3, T4 dan TSH bila terdapat gejala hipertiroid
Terapi
Kuret isap
Kuret manual dengan sendok kuret. (Selama tindakan kuret diberikan oxytocin drip).
Penyulit
Pemulihan tergantung beberapa factor antara lain factor keadaan umum pasien, faktor
pilihan pengobatan, faktor stadium penyakit, factor adanya penyulit infeksi, faktor
penyembuhan luka.
Informed consent
Penjelasan tentang stadium penyakit, rencana terapi, hasil pengobatan dan
kemungkinan komplikasi pengobatan.
Lama perawatan
Lama perawatan tergantung beberapa faktor antara lain keadaan umum, pilihan
pengobatan, stadium penyakit, adanya penyulit, penyembuhan luka.
Pemulihan tergantung beberapa factor antara lain factor keadaan umum pasien, factor
pilihan pengobatan, factor stadium penyakit, factor adanya penyulit infeksi, factor
penyembuhan luka .
Output
Sembuh dengan beta hCG normal
Patologi anatomi
Pemeriksaan histologi hasil kuretase
Indikator
Pemeriksaan ginekologi
43
Pemeriksaan beta hCG serum setiap dua minggu sampai 3 kali hasil
pemeriksaan yang normal dan setiap bulan sampai 6 bulan berikutnya
Daftar pustaka
1. Berkowitz RS, Goldstein DP in: Berek JS, Hacker NF. Practical Gynecologic
Oncology. Williams&Wilkins 3rd ed. Baltimore 2002; 457-80.
2. Benedet JL, Nga HYS, Hacker NF. Staging classifications and clinical practice
guidelines of gynecologic cancer. FIGO committee on Gynecologic Oncology and
IGCS Guidelines Committee. 2nd Ed. Elsevier, 2003: 122-4
Lampiran 4
Clinical pathway dapat sang at bervariasi dari satu penyakit ke penyakit lain, dari satu
rumah sakit ke rumah sa kit lain. Satu contoh CP yang lengkap untuk bedah kaisar dapat
dilihat di http://www.health.qld.gov.au/caru/pathways/docs/pathway caes.pdf.
Seperti CP pada umumnya, tampak bahwa formatnya berupa tabel yang kolomnya
merupakan waktu, sedangkan barisnya merupakan observasi / pemeriksaan / tindakan
/ intervensi yang diperlukan. Pada contoh ini semua jenis tindakan dan perlakuan
dijadwalkan, termasuk pendidikan dan penjelasan kepada pasien yang memakan porsi
yang cukup besar dari 15 halaman CP yang ada.
44
Lampiran 5
Contoh Protokol
Persiapan
lesi kulit dalam keadaan tidak aktif
sebaiknya dilakukan setelah 2 minggu lesi tenang
tidak mengkonsumsi imunosupresan atau kortikosteroid sistemik (prednison >
1 Omg) minimal selama 3 hari sebelum uji atau sesuai waktu paruh obat
dapat
digunakan
alergen
standar
(Eropa)
atau
non-standar
dengan
Pelaksanaan
Bahan uji tempel diisikan pada unit uji tempel
Uji tempel dilaksanakan dengan posisi pasien dalam keadaan duduk atau tidur
Pasien diminta untuk membuka pakainan sehingga daerah punggung atau
lengan atas bagian lateral dapat terlihat
Dilakukan pembersihan lokasi uji dengan kapas alkohol 70%
Unit uji tempel yang telah diisi, ditempelkan pada lokasi uji dan ditambahkan
plester hipoalergenik di luarnya ( untuk fiksasi )
dibiarkan menempel
selama
48
jam.
Untuk
menghindari
terlepasnya unit uji tempel, selama waktu tersebut lokasi uji tidak boleh basah
dan pasien dianjurkan untuk membatasi aktivitasnya
Setelah 28 jam unit dibuka, diberi tanda dengan larutan gentian violet
Setelah ditunggu 15-30 menit untuk menghilangkan efek tekanan, hasil uji
tempel dibaca sesuai metode ICDRG yaitu :
ertema
45
++
+++
IR
reaksi iritan
NT
Pasien diizinkan pulang namun lokasi uji tetap dianjurkan untuk tidak basah /
kena air
Pada hari ke-3 (72 jam) dan hari ke-4 (96 jam) dilakukan pembacaan ulang
dengan cara yang sama
Dari hasil pembacaan disimpulkan reaksi yang timbul bersifat alergik atau
iritan
Hasil uji tempel yang positif bermakna (minimal +) dinilai relevansinya melalui
anamnesis dan gambaran klinis. Hasil dengan relevansi positif ditetapkan
sebagai penyebab kelainan kulit saat ini
Pasien
diberi
catatan
tentang
hasil
uji
tempel
yang
positif
bermakna
Hasil
uji
tempel
yang
positif
bermakna
namun
relevansi
negatif
tetap
Daftar pustaka
1. Lachapelle JM, Maibach HI. The methodology of patch testing . In: Lachapelle JM,
Maibach HI ed. Patch testing /
46
Lampiran 6
Contoh Prosedur
Indikasi
o
Kontraindikasi
o
Pasca-esofagoplatis
Perforasi esophagus
Sonde lambung ("feeding tube"): untuk bayi ukuran 5 Fr-8 Fr, untuk anak ukuran
9 Fr- 12 Fr
Plester, pinset
Semprit 5 ml dan 20 m
Stetoskop
Cara
o
Panjang bagian sonde lam bung yanga akan dimasukkan diperkirakan dengan
jalan mengukur jarak dari lobang hi dung ke orofaring terus ke esofagus,
sampai batas plester berada di lubang hidung
Bila diisap, cairan lambung akan mengalir keluar, ini ditampung sesuai
dengan kebutuhan
47
Catatan
o
Pada
anak/bayi
dengan
distress
pernapasan
sebaiknya
sonde
lambung
48
Lampiran 7
_~ _')
Edukasi pasien
Peencanaa n follow up
49
Lampiran 8
2.
3.
4.
5.
6.
Hibiclens shower (sa bun) pada pagi hari: basahi bad an, cuci dari leher ke bawah
dengan 2 oz Hibiclens, bilas dan ulangi (jangan dipakai pada wajah, kepala,
membran mukosa atau luka terbuka)
7.
8.
EKG
9.
Tanggal
*Dokter horus melengkapi bagian bertanda bintang dan mengeliminasi item yang tidak
diinginkan. Dokter harus melengkapi seluruh poin.
50
Pedoman Nasional
adalah
penyataan yang
dibuat secara sistematis yang didasarkan pada bukti ilmiah (scientific evidence),
untuk membantu dokter dan pembuat keputusan klinis tentang tata laksana penyakit
atau kondisi klinis yang spesifik. PNPK disusun oleh kelompok pakar dari organisasi
profesi, aka demisi, serta pakar lain yang terkait yang dikoordinasi oleh Kemenkes.
PNPK disahkan oleh Menteri Kesehatan. Dalam pustaka PNPK setara dengan
bersifat rekomendasi
untuk
membantu
dokter atau
dokter
gigi
dalam
melaksanakan pelayanan pada pasien dengan penyakit atau kondisi klinis tertentu.
Panduan ini berbasis bukti dan memberikan informasi tentang pelayanan yang
paling efektif, aman, dan cost-effective. Dokter atau dokter gigi menerapkan PPK
sesuai dengan pengalaman dan pengetahuan mereka untuk menentukan rencana
pelayanan yang tepat kepada pasien. PPK disusun oleh fasilitas kesehatan dengan
mengacu pada PNPK dan /
atau sumber
pustaka
mutakhir;
di
rumah
sa kit
Clinical pathway (CP, alur klinis) adalah bagian atau kelengkapan PPK yang
mengatur, mengurutkan, dan menggabungkan intervensi yang dilakukan oleh dokter,
perawat, profesional lain yang terlibat dalam perawatan pasien. CP dinilai efektif
dan efisien bila diterapkan pada penyakit atau kondisi klinis yang perjalanan
klinisnya dapat diprediksi serta memerlukan pendekatan multidisiplin. Perencanaan
tata laksana dibuat tercetak dalam format tabel, apa yang harus dilakukan, kapan
dilakukan, apa outcome-nya dari hari ke hari, bahkan untuk kasus tertentu dalam
hitungan jam. Stroke non-hemoragik, persalinan normal, bedah kaisar, apendektomi,
pemasangan
device untuk
menutup
defek
pada
penyakit
jantung
bawaan
merupakan contoh-contoh tata laksana kasus yang layak untuk dibuat CP.
care pathway, care map, integrated care pathways, multidisciplinary
pathways of core, pathways of core, collaborative care pathways.
Sinonim:
Algoritme adalah skema rekomendasi tata laksana pasien yang dirancang untuk
pengambilan keputusan yang cepat, misalnya di instalasi gawat darurat. Algoritme
biasanya disusun sebagai flowchart yang terstruktur, decision tree, ataupun decision
grid.
Protokol
merupakan
pemandu
lengkap
tentang
cara
melakukan tugas
yang
51
Standing orders merupakan suatu set instruksi dokter yang ditujukan kepada
perawat atau profesional kesehatan lain untuk memberikan intervensi kepada
pasien selama dokter tidak ada di tempat. Standing order dapat dibuat untuk set
kegiatan tertentu (misalnya pada operasi tertentu perawat mengukur tanda vital,
memasang kateter uretra, memasang infus, memberikan suntikan obat tertentu
tanpa perintah dokter. Standing order juga dilaksanakan pada kondisi pasien
tertent; missal pasien anak dengan kejang demam diberikan diazepam rektal, anak
dengan hiperpireksi diberikan parasetamol, dsb.
yang
PPK
ini tidak
menjamin keakuratan
apa pun akibat penggunaan PPK ini ... " dan seterusnya. Penyangkalan ini horus
dimuat di setiap PPK.
52
Daftar pustaka
1. Ashton J. Taxonomy of health system standard. Center for Human Services, 2002.
Diunduh dari www.gaproject.org.
2. Department of General Practice, Royal United Hospital. Study guide - clinical audit.
Karis.Christie@ruh-bath.swest.nhs.uk.
3. Halligan A, Donaldson l. Implementing clinical governance: turning vision into reality.
BMJ 2001 ;322: 1413-7.
4. Ministry of Health, New Zealand. Toward clinical excellence. Diunduh dari
www.moh.govt.nz.
5. National Health Systems. Clinical governance. Diunduh dari:
www.doh.gov.uk/pricare/clingov.htm.
6. National Centre for Health Outcome Development. Coding issues concerning clinical
indicators. 2002.
7. National Institute of Clinical Excellence. Principles for best practice in clinical audit.
Redcliffe Medical Press, Ltd. Oxon: 2002.
8. Royal Children's Hospital, Melbourne. Clinical pathways - 2010. Diunduh dari:
www.rch.au.
9. Starey N. What is clinical governance? Diunduh dari: www.evidence-based
medicine.co.uk. 2001.
10. Wasserman SI, et al. Recertification in internal medicine. A program of continuing
professional development. Ann Intern Med 2000; 133:202-8
11. Institute of Medicine. Standards for developing trustworthy clinical practice
guidelines. Diunduh dari:
http://www.ion.edu/activities /guality /clinicpracguide.aspx. 201 1
1 2. Barkun AN, Baht M, Amstrong D. Effectiveness of disseminating consensus
management recommendation for ulcer bleeding: a cluster randomized trial. CMAJ.
53