Sie sind auf Seite 1von 17

Pandangan Baru tentang Dermatitis Atopik: Peran

dari Barier kulit dan Disregulasi Sistem Imun.


Donal YM Leung1

ABSTRAK
Dermatitis Atopik (DA) adalah penyakit inflamasi kronik pada kulit yang
sering dihubungkan dengan alergi makanan dan asma. Pandangan baru
tentang DA mengungkapkan peran penting dari abnormalitas struktur
epidermis yang berdampak pada bocornya barier kulit karena inflamasi kronis
yang berperan dalam patofisiologi dari penyakit kulit. Pasien dengan
dermatitis atopik memiliki kecenderungan untuk terjadi kolonisasi dan infeksi
dari organisme mikroba, yang sering ditemukan Staphylococcus aureus dan
herpes simplex virus (HSV). Tindakan yang mengarah pada penyembuhan
dan perlindungan dari kulit dan penggontrolan aktivasi sistem imun
dibutuhkan untuk manajemen efektif dari dermatitis atopik. Intervensi awal
mungkin dapat meningkatkan hasil penyembuhan dari dermatitis atopik
seperti penurunan sensitasi alergi sistemik yang mungkin berhubungan
dengan penyakit alergi.
Keyword
Dermatitis atopik (DA), eksema, imun, infeksi, barier kulit

KATA PENGANTAR
Dermatitis Atopik (DA) adalah penyakit inflamasi kronik pada kulit yang sering
dihubungkan dengan alergi makanan dan asma1. Studi terbaru menunjukan
hubungan yang kuat antara penyakit kesehatan mental dan DA, diduga karena
kebutuhan untuk manajemen efektif dari penyak ini untuk pasien yang sehat
mental2,3. Prevalensi dari DA bervariasi di tiap negara dari 8-18 %4. Laporan
terbaru dari Shanghai, China melaporkan bahwa prevalensi dari DA meningkat
signifikan pada area kota bila dibanding kan dengan area desa5. Gaya hidup dan
faktor lingkungan berperan dalam tanda klinis DA6-9. Stress seperti yang dialami
oleh pasien selama gempa Great Hanshin juga berperan dalam eksaserbasi DA11.
Kulit adalah organ penting pada hubungan antara host dan lingkungan. Kerusakan
barier epitel epidermis di kombinasikan dengan respon imun abnormal sepertinya
juga berperan dalam patofisiologi dari DA12,13. Tinjauan saat ini akan menyoroti
pandangan baru pada peran barier kulit, faktor lingkungan dan disfungsi imun
pada DA. Terapi efektif dari DA memerlukan pendekatan pada barier kulit,
pengontrolan inflamasi kulit, identifikasi dan manajemen dari pencetus alergi
seperti halnya pada terapi infeksi mikroba14.

GAMBARAN KLINIS DAN FENOTIPE DARI DERMATITIS ATOPIK


Pandangan baru mengenai mekanisme dari DA harus dihubungkan dengan
gambaran klinik dari dermatitis atopik seperti yang dijelaskan pada perbedaan
fenotipe yang berhubungan dengan penyakit kulit. 15 Gambaran penting dari
dermatitis atopic adalah pruritus, yang diakibatkan hiperaktivitas kulit karena
stimuli yang berasal dari lingkungan termasuk paparan makanan dan alergen
inhalan, iritan, perubahan lingkungan ( kelembaban, polusi, dsb), infeksi mikroba
dan stress. Setelah pasien menggaruk kulitnya maka akan muncuk erupsi eksema
akut (dengan papul eritema), dan likenifikasi dengan hipeplasia epidermis yang
berdampak pada kronik eksema. Hal ini berlwanan dengan pasien pada urtikaria
idiopatik kronik yang bergejala gatal tapi tidak eksema setelah digaruk, dan
perbedaan yang mencolok terlihat pada mekanisme antara urtikaria idopatik
kronik (autoantigen yang di induksi oleh degranulasi sel mast tanpa adanya
disfungsi barier kulit) yang berlawanan dengan DA dimana berawal dari adanya

disfungsi barier kulit dan peningkatan penetrasi antigen yang menimbulkan


infiltrasi sel mononuclear dan inflamasi kulit kronis.16
Terdapat tanda klinis fenotif pada DA (Tabel 1). Kebanyakan bayi dengan
DA ringan akan semakin berkembang ketika masa anak-anak. Bagaimanapun,
terdapat kesulitan untuk mengurus pasien dermatitis dengan onset cepat, dengan
DA berat seumur hidup. Terdapat juga pasien dengan onset DA saat dewasa
walaupun itu tidak jelas karena pasien memang mempunyai riwayat dematitis
selama bayi, kemudian menjadi remisi lama yang hanya dermatitis yang relaps di
kemudian karena ada recall history, pada beberapa kasus, tidak dapat dipercaya.
Lebih dari 50% tetapi tidak semua DA berhubungan dengan asma, rhinitis alergi
atau alergi makanan. Kurang lebih 80% pasien DA mengalami peningkatan serum
IgE dan atau bereaksi dengan allergen pada skin test, tetapi 20% DA tidak terdapat
IgE pada allergen makanan maupun inhalan. Bagaimanapun, hal ini mungkin
terjadi pada pasien intrinsik atau non atopik yang mempunyai IgE atau sel T
autoreaktif pada autoalergen atau antigen mikroba yang tidak rutin terukur.17-20
Terdapat DA lain yang disebabkan karena infeksi kulit oleh Staphylococcus
aureus atau dermatitis herpetiformis.21,22 Walaupun hampir 90% dari DA akan
terinfeksi S. aureus, terapi dengan antibiotik sistemik mempengaruhi kurang dari
50% kasus DA. Kurang dari 5% kasus DA mempunyai predisposisi menjadi
dermatitis herpetikum atau dermatitis vaksinatum.23 Fenotif yang berbeda ini
muncul karena adanya kombinasi kompleks dari mutasi dan efek epigenetik pada
protein pengekspresi pengontrol gen di barier kulit, innate dan respons adaptif
imun dengan pengaruh kuat dari lingkungan.
ABNORMALITAS BARIER KULIT PADA DERMATITIS ATOPI
Peran Multi Fungsi Flagirin
Barier kulit berperan penting pada pertahanan terhadap invasi mikroba dan
penetrasi alergen. Stratum korneum sebagai lapisan teratas dari proses diferensiasi
sel epitel kompleks dimana terdapat keratinosit yang memproduksi barier yang
kuat yaitu cross-linked matrix yang terdiri dari lemak dan protein yang berfungsi

untuk meminimalisir kehilangan air dan melindungi tubuh dari penetrasi alergen
atau mikroba. Studi terbaru mengindikasikan bahwa defek pada fungsi barier
epidermis memberikan pengaruh yang besar untuk memicu inflamasi kulit pada
DA.12,13 Kulit pada DA memiliki karakterisitik adanya peningkatan kehilangan air
di transepidermal dan defek pada diferensiasi keratinosit terminal yang
menyebabkan berkurangnya ceramide, filagrin dan peptida antimikroba. 24-29
Peningkatan akitivitas protease dan pengeluaran sitokin proflamatori secara
bersamaan yang dihasilkan dari peningkatan keratinosit endogen dan pelepasan
sel mast derivat protease pada kulit yang atopi sama dengan protease eksogen dari
alergen lingkungan sekitar, seperti debu, atau S. Aureus mengakibatkan rusaknya
barier kulit.30,31

Gambar 1. Cara jalur kekebalan yang terlibat dalam fase yang berbeda dari dermatitis
atopik. Diterbitkan dengan ijin dari: Gittler JK, Shemer A, Surez-Farias M, et al .
Aktivasi Progresif TH2/TH22 sitokin dan protein epidermal selektif ciri dermatitis atopik akut dan
kronis. J Allergy Clin Immunol 2012; 130: 1344-54.

Pada orang normal, formasi dari sel kornifikasi memerlukan defosforilasi


dan pembelahan profilaggrin oleh protease serine hasil akhir dari pelepasan
filaggrin13. Filaggrin mengagregasi sitoskeleton keratin untuk memfasilitasi
pendataran keratinosit di lapisan kulit terluar. Selain itu, protein lain yang dikode
oleh gen-gen di epidermis kompleks diferensiasi, termasuk loricrin dan

involucrin, merupakan komponen esensial untuk barier epidermis 23. Ketika konten
air pada stratum korneum berkurang, filaggrin berubah menjadi asam karboksilik
pyrolidine dan asam trans-urocanik yang berperan dalam penyusunan natural
moisturizing factor (NMF) dan sebagian berperan untuk hidrasi korneosit33.
Defisiensi filaggrin pada kasus DA berperan pada penurunan hidrasi di stratum
korneum dan peningkatan kehilangan air pada transepidermal34.
Yang terpenting, produk filaggrin yang rusak berperan penting dalam
keasaman stratum korneum dan penurunan generasi dari hasil metabolit filaggrin
meningkatkan pH dari stratum korneum yang dapat menyebabkan aktivasi
sejumlah protease serine dan dapat meningkatkan kerusakan barier 35. Studi in
vitro terbaru menyebutkan bahwa angka pertumbuhan S. aureus dan densitas sel
dipengaruhi oleh keasaman produk filaggrin yang rusak, asam urocanik dan asam
karboksilin pyrolidine36. pH yang rendah berhubungan dengan berkurangnya
ekspresi dari sekresi protein dan tautan antar dinding sel, termasuk protein yang
terdapat pada S. aureus di kulit seperti clumping factor B dan fibronectin binding
protein A, sama seperti protein A yang berfungsi dalam proses imunitas.
Adanya disfungsi barier kulit sebagai faktor penyebab dari DA didukung
dengan laporan penillitian yang menyebutkan bahwa mutasi yang menyebabkan
hilangnya fungsi pada gen filaggrin (FLG) merupakan factor resiko utama untuk
perkembangan DA13,37. Mutasi FLG meningkatkan resiko untuk kekeringan kulit
yang persisten38, meningkatkan respon imun kulit39 dan berhubungan dengan
peningkatan ekspresi IL-1 pada stratum korneum pasien dengan DA.40 Filaggrin
juga sudah diketahui dapat melindungi dari toksin staphylococcal alpha yang
dimediasi oleh kematian sel keratinosit.41 Abnormalitas barier kulit yang
disebabkan oleh mutasi FLG juga berhubungan dengan peningkatan konsentrasi
serum 25-hidroksi vitamin D.42
Filaggrin nol mutasi mempengaruhi minoritas subyek dengan AD. Pengurangan
filaggrin sering diamati bahkan pada kulit pasien DA yang tidak memiliki mutasi
nol FLG terdeteksi. Dalam hal ini, variasi jumlah salinan intragenic dalam gen

filaggrin telah dibuktikan berkontribusi pada risiko DA dengan efek tergantung


dosis. 43 Selanjutnya, berbagai sitokin telah ditemukan untuk mengurangi ekspresi
filaggrin termasuk IL-4, IL-13, TNF dan IL-25. 44-46 Profiling proteomika kulit DA
telah mengungkapkan bahwa berbagai protein lain yang berkaitan dengan
penghalang kulit (filaggrin- 2, corneodesmosin, desmoglein-1, desmocollin-1, dan
transglutaminase-3) dan generasi faktor pelembab alami (arginase-1, caspase-14,
dan gammaglutamyl cyclotransferase) yang diekspresikan pada tingkat signifikan
lebih rendah pada lesional, dibandingkan dengan nonlesional, situs pasien dengan
DA.24 Penelitian ini didukung oleh studi profil genom dan histologis kulit DA
yang mengungkapkan penghentian cacat diferensiasi epidermal yang luas.

29

Dengan demikian, kombinasi dari faktor genetik dan diperoleh berkontribusi


mengurangi diferensiasi epidermal, dan meregulasi kembali fungsi penghalang
epidermal.
Abnormalitas Tight Junction: Sebuah Cacat Kedua dalam Barrier Fisik
ekspresi DA
Profil ekspresi gen epitel nonlesional dari pasien dengan DA ekstrinsik, studi nonatopik, dan pasien dengan psoriasis, baru-baru ini mengungkapkan tingkat
mencolok lebih rendah dari protein tight junction, claudin-1 dan claudin-23, pada
pasien dengan DA.

47

tight junction ditemukan pada membran bertolak belakang

dengan keratinosit stratum granulosum langsung di bawah stratum korneum dan


dengan demikian membentuk penghalang fisik kedua pada epidermis (Gambar 1).
Mereka terdiri dari kompleks protein perekat yang mengontrol alur cairan dan zat
terlarut melalui jalur paraselular tersebut. Studi tentang Epitel nonlesional DA
telah terbukti memiliki kelainan bioelektrik indikasi abnormalitas tight junction
yang bisa menjadi konsekuensi dari mengurangi tingkat claudin-1 (CLDN1),
kunci protein perekat tight junction.

47

Hal ini konsisten dengan penelitian

sebelumnya dalam CLDN1 tikus mati yang menetapkan pentingnya tight junction
epidermal dan claudin-1. CLDN1 membuat tikus mati dalam waktu 24 jam
kelahiran dengan dehidrasi berat dan peningkatan permeabilitas epidermal yang

diukur

dengan

studi

pewarnaan

dan

kehilangan

cairan

pada

daerah

transepidermal.48 Kerentanan keratinosit manusia terhadap infeksi HSV-1


berhubungan terbalik dengan tingkat kontak sel-sel dan pertemuan antar selyang
dipertahankan oleh kadar claudin-1.49Pada DA, korelasi yang berkebalikan
ditemukan antara ekspresi CLDN1 dan penanda polaritas Th2 (hitungan total
eosinophil dan serum IgE total).
RESPON IMUN PADA DERMATITIS ATOPI
Setelah 2 hambatan fisik (filaggrin dantight junction) diterobos, respon
imun bawaan yang cepat harus dimulai untuk mencegah invasi mikroba dan
replikasinya. Keratinosit dan antigen presenting cells mengekspresi sejumlah
reseptor kekebalan tubuh bawaan yang juga disebut sebagai pola pengenalan
reseptor

seperti

Toll

Like

Receptors(TLRs)

yang

paling

banyak

diketahui.12,50Stimulasi TLRs oleh mikroba atau cedera jaringan menyebabkan


pelepasan peptida antimikroba, sitokin dan chemokines dan meningkatkan
kekuatan TJs untuk membatasi penetrasi alergen dan mikroba. Telah ditemukan
bahwa pasien dengan DA memiliki fungsi TLR yang menurun. Penelitian pada
pasien dengan DA mengungkapkan bahwa mereka kekurangan dalam produksi
keratinosityang berasal dari peptida antimikroba yang dibutuhkan untuk
mengendalikan S. aureus dan replikasi virus.12Ini dapat mempengaruhi kolonisasi
mikroba dan inflamasi kulit yang kronis.
Respon imun adaptif pada DA dikaitkan dengan peningkatan ekspresi
sitokin Th2 (IL-4, IL-13 dan IL-31) dan sitokin Th22, IL-22 51 selama fase akut
DA (Gambar. 1). Sitokin-sitokin ini mengurangi diferensiasi epidermal dan
dengan demikian berkontribusi untuk mengurangi ekspresi filaggrin dan ekspresi
peptida anti-mikroba. IL-31 menginduksi gatal yang parah terkait efek
penghambatan pada diferensiasi epidermis.52 Profil complex cytokine yang
berkembang setelah pembentukan lesi akut DA, termasuk peningkatan interferongamma yang menginduksi apoptosis dari keratinosit. 53Namun efek inidapat
diimbangi oleh IL-10 yang mengendalikan reaktivitas sel dendritik terinduksi sel
Tdi kulit.54,55Corticotropinreleasing hormone(CRH) baru-baru ini telah ditemukan

dapat menurunkan regulasi produksi IL-10 oleh sel T adaptif forkhead protein box
3- negative regulatory pada AD.56,57
Meskipun DA ini dikenal sebagai penyakit inflamasi kulit yang dimediasi
Th2 dan Th22 sedangkan psoriasis dikenal sebagai penyakit inflamasi kulit yang
dimediasi Th1_Th17,58 mungkin saja terdapat subset DA lainnya. Memang
ekspresi IL-17 telah dilaporkan dalam model tikus eksema. 59Baru-baru ini,
analisis komparatif transcriptomikDA dan psoriasis mengungkapkan bukti bahwa
terdapat peningkatan ekspresi gen IL-17 dan peradangan neutrofilik pada kedua
penyakit kulit ini. 60
Sel dendritik diakui sebagai salah satu sel kunci yang terlibat dalam
inisiasi respon sel T pada berbagai penyakit kulit. 61Pada DA, sel-sel dendritik
seperti

sel-sel

Langerhans

dan

sel

inflammatory

dendritic

epidermal

meningkatkan kadar FceRI serta mengurangi respon interferon.62Memblokir sinyal


reseptor histamin H1 dari sel dendritik yang mengurangi alergen yang mengatur
respon imun kulit.63Keratinosit epidermal padaDAmengekspresi Thymic Stromal
Lymphopoietin(TSLP) yang meningkat, sitokin yang meningkatkan sel dendritik
yang mengatur diferensiasisel Th2.64,65IL-25 dan IL-33, dilepaskan dari beberapa
jenis sel yang termasuk keratinosit dan sel-sel limfoid innate tipe 2, yang juga
menambah respon Th2 dan dapat mengaktifkan eosinofil dan sel mast.66Cedera
mekanik, paparan alergi dan infeksi mikroba meningkatkan TSLP, IL-25 dan IL33sehingga meningkatkan respon Th2. 67,68
Hubungan penting antara kecacatan barrierpada pasien DA dengan
mutasiFLG dan polarisasi Th2 dapat dijelaskan dengan peningkatan penetrasi
alergen melalui epidermis yang rusak disertai dengan peningkatan produksi TSLP,
IL-25 dan IL-33 oleh keratinosit dan sel-sel kulit lain yang mengarah pada
Th2jenismilieu. TSLP, khususnya, dapat bertindak sebagai ahli bertukar untuk
peradangan alergi karena memiliki efek pada jumlah sel-sel kunci yang terlibat
dalam inflamasi alergi di kulit, termasuk sel mast, eosinofil, dan basofil. 64
Pengamatan klinis mengungkapkan bahwa inhibitor calcineurin topikal dan
kortikosteroid topikal, sebagian dapat memperbaiki kecacatan barrier pada
DAyang mendukung konsep bahwa peradangan atau aktivasi imun dapat

menurunkan regulasi fungsi barrierpadaDA dan bahwa ada silang pendapat antara
barrier epidermal dan sistem kekebalan tubuh. 69
MENDEFINISIKAN
SUBSET
DERMATITIS
MANAJEMEN YANG LEBIH BAIK

ATOPI

UNTUK

Kemajuan dalam genetika dan patofisiologi DA telah menyumbangkan


pemahaman kita tentang terhadap endotipepada AD.15Endotipe telah diusulkan
pada asma dimana diakui sebagai suatu penyakit kompleks atau sindrom yang
dapat dibagi menjadi entitas penyakit yang berbeda berdasarkan mekanisme
patofisiologi yang berbeda, yang disebut sebagai endotipe asma. 70 Pentingnya
mendefinisikan endotipepadaDA adalah bahwa pada subtipe baru ini dapat
digunakan pada desain penelitian klinis dan pengembangan obat dan ide terapi
baru pasien yang mungkin sebagai manfaat dari pengobatan berbasis mekanisme.
Di masa depan, DA dapat digolongkan berdasarkan genotipe, biomarkers
reflecting immune polarization dan fenotipe klinis.
Beberapa fenotipe klinis telah dijelaskan pada DA (Tabel 1). DA anakanak umum terjadi, dengan lebih dari 60% dari pasien memiliki onset penyakit
pada usia 2 tahun pertama.71Kesembuhan pada DA anak terjadi di sekitar 50%
pasien. Sisanya memiliki kekambuhan di masa remaja dan dewasa. Onset DA
dewasa juga dapat terjadi tanpa riwayat DA di masa kanak-kanak.72Pada segala
bentuk DA, fenotipe klinis dapat dibagi secara bertingkat lebih lanjut dari bentuk
ringan sampai berat dan pemicunya bervariasi diantaranya termasuk infeksi
bakteri dan virus. Termasuk juga kelompok dengan riwayat atopik yang mengacu
pada pasien DA anak-anak dengan alergi makanan yang memungkinkan memiliki
asma atau rhinitis alergi di kemudian hari, hal tersebut dapat dijadikan
kesempatan untuk pendekatan pencegahan untuk mencegah terjadinya alergi
pernapasan. Tingginya sensitisasi sistemik terhadap makanan dan alergen inhalan
yang terjadi pada pasien DA dapat memudahkan penetrasi alergen lingkungan
untuk masuk melalui barrier kulit yang rusak pada pasien tersebut.

Gambar 2. Perbandingan fitur klinis dan biofisik pasien dermatitis atopik dengan
(ADFLG) dan tanpa (ADNON-FLG) mutasi filaggrin. Dipublikasikan seijin dari:
McAleer MA, Irvine AD. The multifunctional role of fi laggrin in allergic skin disease.
J Allergy Clin Immunol 2013; 131: 280-91.

Penelitian genetik telah mengungkapkan asosiasi dari mutasi yang mana


dapat membedakan endotype DA tertentu. Data terkuat melibatkan identifikasi
pasien dengan mutasi filaggrin.13 Pasien DA dengan nol mutasi filaggrin
homozigot atau heterozigot majemuk, dibandingkan dengan pasien dengan
ekspresi gen filaggrin normal, memiliki penyakit kulit dengan onset cepat, lebih
persisten, dan eksim yang parah dan dapat menimbulkan komplikasi eksim
herpetikum13,73 (Gambar 2). Mereka juga sering memiliki hyperlinearity palmaris,
lebih berisiko terhadap sensitisasi alergi, riwayat alergi makanan dan asma. 74,75
Pasien ini juga memiliki pH yang tinggi dalam stratum korneum kulit mereka
yang dapat mempengaruhi adanya kolonisasi untuk S. Aureus.36 Pasien dengan
mutasi filaggrin heterozigot memiliki fenotipe menengah.

Meskipun mutasi filaggrin paling signifikan dan mutasi replikasi genetik


yang baik terkait dengan DA, mutasi filaggrin yang dihitung hanya minoritas dari
total DA meskipun hingga 50% DA yang parah dapat memiliki mutasi filaggrin. 13
Banyak gen lain seperti barrier kulit berespon sama baiknya dengan respon imun
bawaan dan adaptif , sehingga memperkuat konsep bahwa DA adalah penyakit
genetik yang kompleks.15, 76-78 Ini termasuk variasi gen yang mengendalikan fungsi
barier kulit seperti mutasi pada

gen serine protease inhibitor Kazal-tipe 5

(SPINK5), yang mengkode PI lymphoepithelial inhibitor Kazal-type-related


inhibitor (LEKTI).79 Dalam model murine DA yang terjadi akibat defisiensi
epidermis LEKTI,80 eksem yang parah dan peningkatan produksi TSLP dapat
diamati mengikuti beberapa fitur penting dalam DA. Varian genetik pada CLDN1
juga dikaitkan dengan risiko terjadinya eksim herpetikum pada subyek DA. 49
Subyek dengan mutasi FLG tidak termasuk memperkuat asosiasi CLDN1 mutasi
dengan kerentanan terjadinya EH. Data ini menunjukkan bahwa defek barier baik
dari stratum korneum maupun epidermal TJ sama-sama memicu mekanisme
peningkatan kerentanan subyek dengan ADEH + untuk terjadinya infeksi kulit
yang luas dengan HSV.
Varian gen juga berkontibusi dalam abnormalitas respon imun asli dan
respon adaptif Th2 yang ditemukan di DA. Hal ini termasuk adanya observasi
yang meyakinkan bahwa varian Tol-like receptor 2 (TLR2) berhubungan dengan
DA yang parah.81 Studi terbaru menunjukan adanya peningkatan hubungan antara
gen yang mengkode TSLP dan reseptornya, IL7R, dengan risiko eksema
herpetikum82. Hubungan antara varian gen pengkode TH2 penentu sitokin IL-483
dan IL-384 dan transkripsi akhir faktor STAT685 mendukung pentingnya respon
Th2 pada DA. Haplotype pengkode IL-31, sitokin yang menginduksi pruritus
parah, telah dilaporkan berhubungan dengan bentuk intrinsik/ tidak terkait IgE
dari DA.86 Poin penemuan ini penting untuk kedua batas perlindungan dan gen
respon imun dalam mengatur fenotip kompleks dari DA.

Gambar 3. Langkah-langkah Manajemen DA berdasarkan tingkat keparahan penyakit

Dilihat dari gambaran genetik DA yang kompleks, perkembangan


biomarker penting untuk menilai jalur polarisasi imun final yang mungkin muncul
pada berbagai variasi subset DA. Biomarker terbaik utnuk DA saat ini
didefinisikan pasien yang mempolarisasi Th2 dan yang tidak. Hampir 80% DA
memiliki peningkatan level serum IgE. Pasien ini biasanya memiliki peningkatan
eosinofilia dan level serum kemokin Th2, timus, dan aktivasi level kemokin
teregulasi (TARC). Penanda tambahan juga dibutuhkan untuk memonitor dengan
lebih baik pasien DA yang dapat disebut DA intrinsik. Hal ini penting, studi pada
pasien yang disebut DA intrinsik, yang kekurangan IgC utnuk inhalan
konvensional dan alergi makanan sehingga memiliki serum yang dapat
mendeteksi IgE sebagai autoantigen pada kulit dan atigen microbial dari bakteri
dan ungi yang akan mengkolonisasi kulit.19,87 Lebih jauh, jarak yang lebih jauh
utnuk skrining IgE terhadap berbagai eksogenus dan antigen endogenus juga telah
dibutuhkan utnuk memutuskan pencetus potensial untuk DA seperti hal ini juga
memilikiefek yang penting dalam jalur inflamasi pencetus alergi pada kulit.

Secara keseluruhan, ada berbagai penyebab dari bocornya pertahanan kulit epitel
yang akan menyebabkan gangguan flora microbial, gangguan pada resoin mu
nasal dan mempertinggi abnormalitas imun Th2 adaptif yang mempengaruhi
pertahanan tubuh dan memperjelas beberapa penjelasan utnuk berbeadai subset D
dapat menyebabkan fenotip klinik yang kompleks.
TERAPI DAN TATALAKSANA DERMATITIS ATOPIK
Tatalaksana

DA

membutuhkan

pendekatan

yang

sistematik

dan

multidisiplin. Hal ini termasuk hidrasi kulit dan perbaikan pertahanan, obat anti
inflamasi topikal, pengontrolan infeksi dan eliminasi faktor eksaserbasi (termasuk
pencetus allergen, iritan dan emosional) membawa pada sebuah pertimbangan
bahwa DA merupakan penyakit heterogenous membutuhkan pendekatan
individual untuk setiap pasien. Terapi harus menggunakan pendekatan langkah
demi langkah yang bijaksana yang bergantung pada tingkat keparahan penyakit
kulit (dapat dilihat pada referensi 14).
Tahap pertama utnk DA ialah mengurangan fungsi pertahanan kulit sebagai hasil
dari kurangnya protein structural dan lemak di epidermis (Gambar 3). Hal ini
membuat peningkatan hilangnya air dan kulit kering. Kecuali pada kasus
terseingan, hidrasi kulit akan seringkali membutuhkan mandi air hangat paling
tidak untuk 10 menit kemudian diikuti dengan pemakaian pelembab. Pelembab
dalam berbagai sediaan, antara lain krim, salem dapat menjadi pilihan pertama
dalam terapi dermatitis atopik. Ketika menggunakan salep yang lebih padat,
pertimbangkan untuk membasahi kulit sebelum pengolesan. Pasien dengan DA
sedang dan parah bisa diberikan krim yang banyak mengandung ceramide atau
filaggrin.
Langkah kedua pada DA adalah inflamasi kulit. Hal ini sangat bervariasi
dari derajat sedang hingga derajat berat DA, bahkan bisa juga mengenai kulit
tanpa lesi karena barier yang rusak dapat menjadi tempat masuknya alergen dan
mikroba yang memicu terjadinya reaksi imun dan inflamasi. Pada DA yang tidak
dipicu oleh emollient saja, anti inflamasi topikal harus dipakai. Untuk terapi

maintenans bisa diberikan kortikosteroid poten rendah, sedangkan poten sedang


dan poten tinggi diberikan untuk eksaserbasi dalam waktu yang singkat.
Pengobatan yang pro aktif menggunakan steroid poten sedang topilal dan inhitor
calcineurin sudah menunjukan dapat mengurangi relaps DA88.
Jensen et al.89 melihat pada pengurangan cairan pada lapisan transepidermal
sebagaimana parameter lain yakni barier epidermis termasuk hidrasi stratum
korneum dan penetrasi pewarna dan menujukkan perbaikan parameter ketika
pasien DA diobati dengan steroid topikal dan inhibitor calcineurin. Kedua terapi
memperbaiki differensiasi sel sel epidermis menjadi normal kembali. Sebagai
catatan, ketika ekspresi filaggrin ditekan pada DA tanpa terapi, pada terapi
antiinflamasi filaggrin dapat naik kembali. Coal tar yang mempunyai efek
antiinflamasi yang lebih lemah, juga dapat memperbaiki barier kulit pada DA.89
Strategi manajemen jangka panjang yang lain adalah identifikasi faktor
pemicu DA termasuk makanan (pada bayi dan anak kecil), alergen udara, stress
dan

infeksi.

Beberapa

bakteri

mempunyai

kecenderungan

unik

untuk

berkolonisasi dan menginfeksi pasien dengan DA.1 Untuk menaksir hubungan


antara mikrobiota kulit dan progresi penyakit, Kong et al mempertontonkan
ribosom 16S pada sekuens RNA bakteri pada DNA yang diambil dari anak anak
pengidap DA. Pada DA, proporsi sekuens Staphylococcus, khususnya S. Aureus
lebih tinggi selama eksaserbasi daripada saat post terapi. Yang menarik adalah,
berbagai macam terapi DA dihubungkan dengan meningkatnya jenis bakteri.
Infeksi S. aureus juga merupakan predisposisi infeksi virus pada pasien DA.
Pemantauan infeksi dapat meningkatkan penggunaan antibiotik. Sehingga sangat
penting untuk mengobati pasien ketika sudah jelas bahwa infeksi tersebut
disebabkan oleh S aureus, karena penggunaan antibiotik yang berlebihan dapat
menyebabkan infeksi MRSA.22 Pada pasien yang dicurigai S aureus,
pertimbangkan bleach bath.92
Pruritus merupakan gejala kardinal DA yang mempengaruhi kualitas hidup
dan mempersulit pemantauan penyakit kulit karena penggarukan yang dilakukan

pasien dapat mengurangi ruam. Peningkatan barier kulit dapat mencegah penetrasi
bakteri/alergen dan terapi anti inflamasi yang efektif dapat mengurangi pruritus.
Antihistamin konvensional H-1 dinilai kurang efektif, dan beberapa penelitian
terakhir mengatakan H4 blokers lebih efektif mengatasi pruritus pada DA.94
Keberagaman penggunaan antihistamin pada DA mencerminkan banyaknya
mediator yang berperan pada pruritus DA. IL-31, yang sangat prurit ditemukan
sangat ekspresif pada model binatang DA, juga ditemukan pada DA. Dengan
mengkesampingkan fenotip atopy, IL-31 telah dipercaya berhubungan langsung
dengan aktivitas DA.95
Pada pasien DA yang sukar disembuhkan dengan terapi konvensional, dianjurkan
untuk mencoba strategi baru menggunakan cyclosporine, methothrexate,
azathioprine, immunoadsorption, IL-6 blocker, terapi imun konvensional, dan
cahaya ultraviolet.96-102 Defisiensi vitamin D juga dicurigai berperan dalam
penyakit alergi.103 Vitamin D mempunyai bebrapa efek positif pada AD termasuk
memperbaiki pengaturan peptida antimikroba yang berperan dalam pengontrolan
infeksi dan induksi sel T yang dapat menekan inflamasi.104 Pada pengobatan
clinical trial vitamin D untuk pasien DA menunjukan perbaikan dibandingkan
dengan pasien yang diberikan plasebo.105 Dikarenakan terapi untuk DA saat ini
bukan merupakan terapi kuratif, maka diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai
pencegahan DA106. Efektivitas penggunaan probiotik pada stadium awal masih
dalam penyelidikan.107,108
KESIMPULAN
Pasien DA mempunyai mutasi genetik yang mempengaruhi fungsi barier kulit dan
respon imun yang dipicu oleh pemicu tertentu dari lingkungan luar. Pada pasien
dengan DA, respon imun yang dipicu oleh lingkungan dapat merusak barier kulit.
Secara klinis, hal ini menyebabkan pruritus, kulit meradang, yang meningkatkan
penetrasi iritan dan alergen serta merupakan predisposisi kolonisasi dan infeksi
organisme mikroba. Pengetahuan mengenai hubungan antara barier kulit dengan
respon imun yang tidak normal dapat menjadi panduan terapi DA yang lebih tepat

sasaran dan terapi komplikasi infeksi yang terjadi pada pasien DA. Metode baru
yang mengkatagorikan fenotip dan jalur imun terkutub pada DA dapat menjadi
wacana awal strategi terapi yang bisa mengganggu perkembangan asma dan
penyakit alergi lainnya.

Das könnte Ihnen auch gefallen