Sie sind auf Seite 1von 5

Untuk Tahun Baru yang Lebih Baik

Seperti tahun-tahun sebelumnya, masyarakat Jakarta menyambut tahun baru 2016


dengan pesta besar-besaran bertajuk Jakarta Night Festival. Kali ini Pemerintah
Provinsi DKI Jakarta menyiapkan 9 panggung dengan berbagai acara hiburan seperti
konser musik, tari, sulap, stand comedy dan tentunya acara puncak: pesta kembang
api. Tidak kurang dari 750.000 masyarakat Jakarta menghabiskan malam
pergantian tahun dengan menghabiskan dana milyaran rupiah.
Perayaan tahun baru memang identik dengan kegiatan hura-hura. Tahun 2014,
misalnya, Dubai harus merogoh kocek kurang lebih U$ 6 Juta atau setara dengan Rp
74,3 Milyar untuk menghadirkan pesta kembang api di sekitar Burj Khalifa, gedung
tertinggi di dunia. Dalam pesta tersebut panitia menyediakan 500 ribu kembang api
yang habis dalam hitungan 6 menit saja. Itu artinya perayaan ini menghabiskan
biaya Rp 12. 3 Milyar tiap menitnya. Angka fantastis ini sangat kontras dengan
potret kemiskinan dan kelaparan yang masih melanda sebagian umat manusia di
dunia.
Di Jakarta sendiri, yang penduduk miskinnya mencapai angka 4%, perayaan ini
ditaksir menghabiskan dana lebih dari 4-5 milyar. Belum lagi fasilitas fisik seperti
taman pembatas jalan yang rusak akibat terinjak oleh penonton semakin membuat
pesta ini semrawut. Maka wajar apabila beberapa pengamat menganggap perayaan
ini sebagai hal yang mubazir. Dradjat Sudradjat, pengamat kebudayaan,
berpendapat bahwa pemerintah lebih baik memanfaatkan anggaran untuk programprogram nyata seperti pengobatan gratis atau pasar rakyat, sehingga memberikan
manfaat yang lebih esensial bagi rakyat.
Ironi perayaan tahun baru tak cukup disitu, mengingat acara ini tentu dibumbui
dengan hal-hal yang berbau maksiat seperti pesta seks dan minuman keras. Seperti
yang dikutip dari merdeka.com, sudah bukan rahasia umum lagi apabila mudamudi merayakan malam panjang ini dengan kegiatan berbau mesum di hotel dan
vila sekitar Jakarta dan Puncak. Seakan tak kenal dosa, mereka labrak ajaran agama
dan norma ketimuran demi mengikuti tren yang salah kaprah. Dengan
menggebyarkan perayaan tahun baru bisa jadi pemerintah memberikan fasilitas
bagi mereka untuk berbuat maksiat secara lebih masif dan luas.
Walhasil, perayaan pergantian tahun yang diadakan tiap tahunnya menyisakan
permasalahan yang cukup krusial, khususnya bagi umat Islam. Pertama, acara ini
menjadi lumbung maksiat, dimana hal-hal yang melanggar titah Allah menumpuk
pada satu waktu. Kedua, terjadi pemubaziran uang yang sangat besar untuk
mengadakan acara yang justru lebih banyak memberikan madharat tinimbang
manfaat.
Lebih jauh lagi perayaan tahun baru ternyata mengandung permasalahan yang
cukup mendasar bagi umat Islam, yaitu masalah akidah. Meskipun banyak
cendekiawan Muslim yang berargumen bahwa perayaan tahun baru terlah
bertransformasi menjadi perayaan milik umat manusia secara universal, tanpa
melihat SARA, tapi kenyataannya sejarah asal usul perayaan mengungkapkan fakta
yang cukup mengkhawatirkan; jika umat tidak hati-hati, dikhawatirkan akidah
mereka akan tergelincir.

Seperti yang dikutip dari Republika.co.id, Ridwan Saidi, budayawan senior


Betawi, berpendapat bahwa perayaan tahun baru identik dengan penyembahan
dewa matahari. Hal ini diamini oleh Ust. Felix Siauw, muballigh muallaf kondang,
yang menulis bahwa perayaan tahun baru berasal dari tradisi pagan (berhala)
Romawi kuno, dimana mereka melakukan ritual penyembahan terhadap dewa
matahari. Dalam perhitungan tahun matahari (tahun masehi) dikenal konsep empat
musim; semi, panas, gugur dan dingin. Penghujung bulan Desember, yang terjadi di
musim dingin, adalah masa di mana matahari akan terlihat kembali setelah
bersembunyi tiga bulan lamanya karena musim dingin. Maka bangsa Romawi
kuno biasa merayakan hadirnya dewa mereka (matahari) dengan berbagai
perayaan dari mulai pesta minuman keras, sampai pesta sex bebas.
Ketika pengaruh Kristen masuk ke kebudayaan Romawi, terjadi akulturasi budaya
dalam perayaan pergantian tahun. Maka diadopsilah tanggal 25 Desember sebagai
hari Natal, 1 Januari sebagai Tahun Baru dan Bahkan perayaan Paskah (Easter Day),
dan banyak perayaan dan simbol serta ritual lain yang diadopsi.
Bahkan untuk membenarkan 1 Januari sebagai perayaan besar, Romawi
menyatakan bahwa Yesus yang lahir pada tanggal 25 Desember menurut mereka
disunat 6 hari setelahnya yaitu pada tanggal 1 Januari, maka perayaannya dikenal
dengan nama Hari Raya Penyunatan Yesus (The Circumcision Feast of Jesus).
Meskipun terlah terjadi akulturasi budaya, secara luaran tidak ada yang berubah
dengan format perayaan pergantian tahun, yaitu pesta yang mubazir dan penuh
maksiat.
Jika kita menimbang latar belakang perayaan tahun baru, lebih baik kita sebagai
umat Islam menjauhinya dan lebih memfokuskan diri pada hal-hal yang lebih
bermanfaat seperti bagaimana membuat tahun yang akan datang lebih baik dari
tahun sebelumnya. Hal ini bisa kita mulai dengan memahami perbedaan dimensi
waktu dan cara menyikapinya.
Memahami Dimensi Waktu
Agar tahun baru lebih baik, nampaknya kita perlu memahami secara komprehensif
konsep dimensi waktu dan cara menyikapinya. Ada tiga dimensi waktu; masa lalu,
masa sekarang dan masa depan. Ketiganya memerlukan treatment yang berbeda.
Masa lalu adalah waktu yang telah berlalu dan tidak akan pernah kembali, untuk itu
kita tidak perlu larut meratapinya. Yang harus kita lakukan adalah muhasabah,
introspeksi diri agar bisa mengambil pelajaran untuk masa sekarang dan masa
depan. Apabila kita melakukan kesalahan di masa lalu, maka seyogyanya kita
beristighfar dan berazzam untuk tidak melakukannya di masa depan. Sebaliknya,
apabila kita melakukan hal yang baik, maka patutlah kita mengenangnya dan
meningkatkannya.
Masa lalu berkaitan secara berlawanan dengan masa depan. Menyikapi masa depan
hendaknya kita memandangnya dengan tatapan optimis sambil menggendong citacita setinggi langit. Ibarat kompas, cita-cita adalah panduan bagi kita untuk
melangkah secara simultan ke arah perubahan yang kita inginkan di masa yang
akan datang.
Supaya cita-cita yang kita panggul lebih mudah kita capai, hendaknya kita
membangun fondasi yang kuat terlebih dahulu dalam bentuk perencanaan matang.

Dr. Marwah Daud Ibrahim, seorang cendekiawan Muslimah Indonesia,


mengusulkan konsep Mengelola Hidup dan Merencanakan Masa Depan (MHMMD)
untuk perencanaan kehidupan yang lebih matang. Dalam konsepnya, beliau
membuat matriks perencanaan yang memuat detail dari apa yang akan kita
lakukan di masa depan dimulai dalam lingkup mikro (harian) sampai makro (lima
tahunan). Dengan begitu kita tidak akan terombang-ambing meskipun kapal yang
kita tumpangi mengalami goncangan yang dahsyat.
Dimensi terakhir adalah masa kini. Dalam space ini kita melakukan aksi yang
berlandaskan pada muhasabah masa lalu dan proyeksi masa depan. Aksi atau
tindakan sangatlah penting karena hal ini akan menentukan mungkin atau tidaknya
suatu hal terjadi dan suatu cita-cita tercapai. Seseorang yang bermimpi menjadi
pengusaha, misalnya, tidak akan pernah mewujudkan mimpinya kalau mengabaikan
aksi di kehidupannya sekarang.
Sudah selayaknya sebagai seorang Muslim kita menjadi manusia yang penuh
dengan aksi dan perbuatan. Dr. (HC). Abdullah Syukri Zarkasyi, salah satu
pimpinan Pondok Modern Gontor menyebutnya sebagai keputusan (decision).
Menurut beliau, kriteria manusia produktif sebagai salah satu elemen pokok
kepemimpinan adalah mereka yang menelurkan keputusan sebanyak mungkin
dalam satu hari. Ketika keputusan tersebut terkumpul dalam satu tahun, maka akan
menjadi sebuah maha karya yang spektakuler.
Dengan bekal pemahaman terhadap dimensi waktu, Insya Allah, kita akan lebih siap
dalam menghadapi tahun baru. Agar lebih matang lagi, alangkah lebih baiknya kita
memahami tuntunan al-Quran dalam memanfaatkan waktu, khususnya di tahun
yang akan datang.
Berbagai Perspektif dalam Mengisi Tahun Baru
Kita memerlukan panduan bagaimana memanfaatkan waktu selama satu tahun
kedepan agar sesuai dengan tuntutan Sang Pemilik Waktu. Ajaran Islam tak pernah
kering membahas hal ini; salah satunya adalah apa yang termaktub dalam Quran
Surah al-Ashr. Dalam ayat ini ada empat kriteria dasar dalam pemanfaatan waktu
yaitu; 1) beriman, 2) beramal shaleh, 3) saling menasehati dalam kebenaran, dan 4)
saling menasehati dalam kesabaran. Empat panduan ini ibarat buku manual yang
akan memandu kita menuju puncak keberuntungan dalam hidup.
Keimanan adalah fondasi dasar kehidupan. Tanpa iman, amal akan menjadi sia-sia
tak berguna. Hari-hari akan binasa bak kapas berterbangan, jika tak diikuti dengan
keimanan yang kuat terhadap Zat Yang Maha Segalanya. Untuk itu, kita perlu
menyisipkan keimanan dalam setiap gerak langkah di tahun baru kelak.
Iman yang benar terkejawantahkan dalam tiga media sekaligus; diyakini dalam hati,
diikrarkan dengan lisan, dan dipraktekan dalam perbuatan. Ada sinkronisasi antara
keyakinan, perkataan dan perbuatan. Seorang Mukmin sejati tidak akan pernah
terjerumus dalam perbuatan hina, karena keimanan yang teguh terpatri dalam
dirinya.
Buah dari keimanan yang benar adalah amal shaleh. Itu artinya, mukmin yang baik
akan serta merta melakukan perbuatan shaleh, dan meninggalkan perbuatan

fahisyah. Seluruh gerak langkahnya akan selaras dengan syariat yang digariskanNya baik melalui al-Quran maupun as-Sunnah.
Uniknya, dalam ajaran Islam cakupan amal shaleh sangat luas; tidak terbatas pada
ritual ibadah saja. Kita mengenal kategorisasi ibadah menjadi mahdoh dan ghoir
mahdoh. Yang pertama merujuk pada ibadah ritual yang telah ditentukan syarat
dan rukunnya seperti shalat, shaum, zakat, dlsb, sedangkan yang kedua merujuk
pada amalan secara luas, sepanjang diniatkan ibadah dan tidak keluar dari koridor
syari seperti menuntut ilmu, mandi, tidur, dan lain sebagainya. Dalam pandangan
saya, ibadah mahdhoh adalah fondasi yang akan memperkuat ibadah ghoir
mahdoh. Kalau boleh saya menganalogikan yang pertama adalah akar ibadah,
sedangkan yang kedua adalah buahnya. Orang yang shalatnya benar, seharusnya
akan menyayangi sesamanya. Begitupun sebaliknya, Muslim yang menyayangi
orang lain, harus diperkuat dengan shalatnya benar.
Amal shaleh yang disertai keimanan yang kuat adalah perpaduan yang dahsyat
dalam menjalani kehidupan di tahun baru ini. Apalagi jika kita berupaya
menyinkronkan antara ibadah mahdoh dan ghoir mahdoh sehingga menghasilkan
perilaku yang ajeg antara ibadah ritual dan akhlak sehari-hari. Kombinasi ini akan
melahirkan pribadi yang lebih hebat jika diperkuat dengan komponen ketiga dan
keempat; saling menasehati dalam kebenaran dan kesabaran.
Kebenaran adalah ketentuan yang berasal dari Allah swt sedangkan kesabaran
adalah kesiapan untuk menghadapinya meskipun berat. Upaya saling menasehati
ini meliputi dua ranah sekaligus yaitu ide dan aksi yang terkejawantahkan dalam
dua media yang berbeda; lisan/tulisan dan perbuatan.
Ranah ide menjadi dasar bagi wajibnya dakwah bagi setiap Muslim seperti perintah
dalam Hadits Riwayat Bukhari, yang berbunyi, Sampaikanlah dariku walau hanya
satu ayat. Tentunya medianya bisa berbentuk lisan maupun tulisan. Media lisan
meliputi dakwah tradisional melalui forum pengajian, majelis talim, acara televisi
dan radio dan semacamnya, sedangkan media tulisan bisa berbentuk buletin,
majalah, koran, media online, atau buku. Saat ini, perkembangan teknologi dan
informasi memungkinkan kita untuk lebih leluasa dalam melaksanakan titah saling
menasehati dalam kebenaran dan kesabaran.
Di sisi lain, ranah aksi akan melengkapi ranah ide. Dalam beberapa ayat terungkap
bahwa menyampaikan ayat Allah swt saja tidak cukup, tapi harus disertai dengan
pengamalan diri sendiri. Dalam Quran Surat As-Shaff ayat 2-3, Allah swt
menyebutkan kebencian-Nya (kaburo maqtan) kepada orang yang mengatakan
sesuatu yang tidak mereka kerjakan.
Di samping itu, aksi secara psikologis dapat menjadikan kita teladan, sehingga
menginspirasi obyek dakwah untuk berbuat kebaikan. Dalam titik tertentu,
keteladanan justru lebih efektif daripada tutur lisan dalam menginsipirasi orang lain.
Dalam pepatah Arab dikatakan, lisaanul haal afdhalu min lisaanil qaul.
Empat prinsip tersebut iman, amal shaleh, saling menasehati dalam kebenaran
dan kesabaran - yang terangkum dalam Quran Surat al-Ashr bisa kita jadikan
rujukan lengkap dalam menghadapi tahun baru. Buya Hamka dalam tafsir alAzharnya menyitir pendapat Imam Syafii yang menyatakan bahwa surat ini telah
merangkum semua hal penting dalam kehidupan. Maka tak pelak lagi, penting bagi

kita untuk menggunakan perspektif surat al-Ashr dalam menjalani kehidupan di


tahun yang baru.
Hal ini juga merupakan pengejawantahan rasa syukur atas lima nikmat yang masih
Allah berikan kepada kita yang terangkun dalam hadits masyhur Ightanim khomsan
qabla khamsin. Kita bersyukur Dia masih memberikan kita kelapangan harta dan
waktu, kesehatan, waktu muda dan kehidupan. Kita tidak tahu suatu saat lapang
harta dan waktu bisa berubah menjadi miskin harta dan sempit waktu, sehat
menjadi sakit, muda menjadi tua dan kehidupan menjadi kematian. Untuk itulah kita
gunakan momen tahun baru untuk menjadi pribadi yang lebih baik dengan
menyukuri semua nikmat yang Allah anugerahkan kepada kita.
Semoga Allah swt menjadikan kita pribadi yang lebih baik dalam menghadapi tahun
baru dua ribu enam belas ini. Amin.

Das könnte Ihnen auch gefallen