Sie sind auf Seite 1von 8

KONSEP ELECTRO CONVULSIVE THERAPY (ECT)

1. Pengertian
ECT (Electro Convulsive Therapy) adalah suatu tindakan terapi dengan
menggunakan aliran listrik dan menimbulkan kejang pada penderita baik tonik
maupun klonik. Tindakan ini adalah bentuk terapi pada klien dengan mengalirkan arus
listrik melalui elektroda yang ditempelkan pada pelipis klien untuk membangkitkan
kejang tonik klonik umum dengan efek terapeutik.
2. Mekanisme Kerja ECT
Mekanisme kerja terapeutik ECT masih belum banyak diketahui. Salah satu
teori yang brkaitan dengan hal ini adalah teori neurofisiologi.Teori ini mempelajari
aliran darh serebral, suplai glukosa dan oksigen, serta permea bilitas sawar otak akan
meningkat. Setelah kejang, aliran darah dan metabolisme glukosa menurun. Hal ini
paling jelas dilihat pada lobus frontalis. Beberapa penelitian mengatakan bahwa
derajat penurunan metabolisme serebral berhubungan dengan respon terapeutik.
Teori lain adalah teori neurokimiawi yang memusatkan perhatian pad
perubahan neurotrasmiter dan second messenger .Hampir semua pada sistem
neurotrasmiter dipengaruhi oleh ECT.Ahir ahir ini mulai berkembang neuroplastisitas
yang berhubungan dengan stimulasi kejang listrik.Pada percobaan hewan,di jumpai
plastisitas sinaps, dihipotalamus,yakni pertumbuhan serabut saraf, peningkatan
konektifitas jaras saraf, dan terjadinya neurogenesis
3. Jenis ECT
Jenis ECT ada 2 macam :
a. ECT konvensional
ECT konvensional ini menyebabkan timbulnya kejang pada pasien
sehingga tampak tidak manusiawi.Terapi konvensional ini di lakukan tanpa
menggunakan obat-obatan anastesi seperti pada ECT premedikasi.
b. ECT pre-medikasi
1

Terapi ini lebih manusiawi dari pada ECT konvensional,karena pada


terapi ini di berikan obat-obatan anastesi yang bisa menekan timbulnya kejang
yang terjadi pada pasien.
4. Fekuensi Tindakan ECT
Frekuensi pemberian ECT tergantung pada keadaan pemberita yang dapat di
perlakukan dengan cara sebagai berikut :
a. Pemberian ECT secara blok 2-4 hari berturut-turut 1-2 kali sehari.
b. Dua sampai tiga kali seminggu.
c.

ECT maintanance sekali tiap 2-4 minggu.

d. Pasien dengan gangguan depresi berat di berikan antara 5-10 kali.


e. Untuk pasien yang mengalami gangguan di polar,mania,dengan
gangguan skijo frenia,pasien baru mendapat respon yang maksimum
setelah 20-25 kali tindakan ECT.
5. Indikasi
Indikasi penggunaan ECT adalah :
a. Penyakit depresi berat yang tidak berespon terhadap obat anti depresan atau
pada pasien yang tidak dapat menggunakan obat.
b. Gangguan bipolar dimana pasien sudah tidak berespon terhadap obat lagi.
c. Pasien dengan bunuh diri akut yang sudah lama tidak menerima pengobatan
untuk dapat mencapai efek terpeutik.
d. Jika efek samping ECT yang diantisipasikan lebihrendah dari padaefek terapi
pengobatan, seperti pada pasien lansia dengan blok jantung, dan selam
kehamilan.
6. Kontraindikasi

ECT merupakan prosedur yang hanya digunakan pada keadaan yang


direkomendasikan. Sedangkan kontraindikasi dan komplikasi dari tindakan ECT,
adalah sebagai berikut:
a. Peningkatan tekanan intra kranial (karena tumor otak, infeksi SSP).
b. Keguguran pada kehamilan, gangguan sistem muskuloskeletal
(osteoartritis berat, osteoporosis, fraktur karena kejang grandmall).
c. Gangguan kardiovaskuler: infark miokardium, angina, hipertensi,
aritmia dan aneurisma.
d. Gangguan sistem pernafasan, asma bronkial.
e. Keadaan lemah.
7. Komplikasi
a. Amnesia (retrograd dan anterograd) bervariasi dimulai setelah 3-4 terapi
berakhir 2-3 bulan (tetapi kadang-.kadang lebih lama dan lebih berat dengan
metode bilateral, jumlah terapi yang semakin banyak, kekuatan listrik yang
meningkat dan adanya organik sebelumnya.
b. Sakit kepala, mual, nyeri otot.
c. Kebingungan.
d. Reserpin dan ECT diberikan secara bersamaan akan berakibat fatal
e. Fraktur jarang terjadi dengan relaksasi otot yang baik.
f. Risiko anestesi pada ECT, atropin mernperburuk glaukom sudut sempit, kerja
Suksinilkolin

diperlama

pada

.keadaan

defisiensi

hati

dan

bisa

menyebabkan hipotonia.
8. Efek Samping Penggunaan ECT

Adapun efek samping yang timbul dari tindakan ECT secara konvensional
adalah dislokasi vertebra,takikardi, hipertensi,spasme laring paralise nervus
peronosus, status epileptikus, dan kerusakan gigi. Sedangkan efek samping dari ECT
pre-medikasi adalah aspirasi pneumonia, apnoe, alergi obat-obatan pre-medikasi, dan
bradicardi paska kejang. Secara umum efek samping akibat kejang antara lain
hemoptoe, fraktur dan panas.
9. Peran Perawat
Perawat sebelum melakukan terapi ECT, harus mempersiapkan alat dan
mengantisipasi kecemasan klien dengan menjelaskan tindakan yang akan dilakukan.
10. Persiapan Alat
Adapun alat-alat yang perlu disiapkan sebelum tindakan ECT, adalah sebagai berikut:
a. Konvulsator set (diatur intensitas dan timer).
b. Tounge spatel atau karet mentah dibungkus kain.
c. Kain kasa.
d.

Cairan Nacl secukupnya

e. Spuit disposibel.
f. Obat SA injeksi 1 ampul.
g. Tensimeter.
h. Stetoskop.
i. Slim suiger.
j. Set konvulsator.
11. Persiapan Klien.

a. Anjurkan klien dan keluarga untuk tenang dan beritahu prosedur tindakan
yang akan dilakukan.
b.

Lakukan pemeriksaan fisik dan laboratorium untuk mengidentifikasi adanya


kelainan yang merupakan kontraindikasi ECT.

c.

Siapkan surat persetujuan.

d.

Klien berpuasa 4-6 jam sebelum ECT.

e. Lepas gigi palsu, lensa kontak, perhiasan atau penjepit rambut yang mungkin
dipakai klien
f. Klien diminta untuk mengosongkan kandung kemih dan defekasi
g. Klien jika ada tanda ansietas, berikan 5 mg diazepam IM 1-2 jam sebelum
ECT
h. Jika klien menggunakan obat antidepresan, antipsikotik, sedatif-hipnotik, dan
antikonvulsan harus dihentikan sehari sebelumnya. Litium biasanya dihentikan
beberapa hari sebelumnya karena berisiko organik.
i. Premedikasi dengan injeksi SA (sulfa atropin) 0,6-1,2 mg setengah jam
sebelum ECT. Pemberian antikolinergik ini mengembalikan aritmia vagal dan
menurunkan sekresi gastrointestinal.
12. Pelaksanaan
a. Setelah alat sudah disiapkan, pindahkan klien ke tempat dengan permukaan
rata dan cukup keras. Posisikan hiperektensi punggung tanpa bantal. Pakaian
dikendorkan, seluruh badan di tutup dengan selimut, kecuali bagian kepala.
b. Berikan natrium metoheksital (40-100 mg IV). Anestetik barbiturat ini dipakai
untuk menghasilkan koma ringan.
c. Berikan pelemas otot suksinikolin atau Anectine (30-80 mg IV) untuk
menghindari kemungkinan kejang umum.

d. Kepala bagian temporal (pelipis) dibersihkan dengan alkohol untuk tempat


elektrode menempel.
e. Kedua pelipis tempat elektroda menempel dilapisi dengan kasa yang dibasahi
caira Nacl.
f.

Penderita diminta untuk membuka mulut dan masang spatel/karet yang


dibungkus kain dimasukkan dan klien diminta menggigit.

g. Rahang bawah (dagu), ditahan supaya tidak membuka lebar saat kejang
dengan dilapisi kain.
h. Persendian (bahu, siku, pinggang, lutu) di tahan selama kejang dengan
mengikuti gerak kejang.
i. Pasang elektroda di pelipis kain kasa basah kemudia tekan tombol sampai
timer berhenti dan dilepas.
j. Menahan gerakan kejang sampai selesai kejang dengan mengikuti gerakan
kejang (menahan tidak boleh dengan kuat).
k.

Bila berhenti nafas berikan bantuan nafas dengan rangsangan menekan


diafragma.

l.

Bila banyak lendir, dibersihkan dengan slim siger.

m. Kepala dimiringkan.
n. Observasi sampai klien sadar.
o. Dokumentasikan hasil di kartu ECT dan catatan keperawatan.
13. Post ECT
a. Observasi dan awasi tanda vital sampai kondisi klien stabil.
b. Jaga keamanan.

c. Bila klien sudah sadar bantu mengembalikan orientasi klien sesuai kebutuhan,
biasanya timbul kebingungan pasca kejang 15-30 menit.

DAFTAR PUSTAKA
Dalami, Ermawati dkk. 2009. Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Jiwa.
Jakarta : Trans Info Media.
Kaplan, H.I., Sadock, B.J., dan Grebb, J.A. (2000). Synopsis of Psychiatry. New
York : Williams and Wilkins
Stuart, G.W. dan Laraia, M.T. (2001). Principles and Practice of Psychiatric
Nursing. (Ed ke-7). St. Louis: Mosby, Inc.
Maramis, W.F. 1994. Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya : Airlangga University Press
Baihaqi, MIF. 2007. Psikiatri. Bandung : PT. Refika Aditama.

Das könnte Ihnen auch gefallen