Sie sind auf Seite 1von 7

Artikel Pengembangan Pendidikan Keprofesian Berkelanjutan

Sindrom Hipersensitivitas Obat

Rahmat Cahyanur, Sukamto Koesnoe, Nanang Sukmana


Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/
Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta,

Abstrak: Sindrom hipersensitivitas obat (SHO) atau Drug Rash Eosinophilia and Systemic
Symptoms (DRESS) adalah suatu kondisi mengancam nyawa yang ditandai oleh ruam kulit,
demam, leukositosis dengan eosinofilia atau limfositosis atipik, pembesaran kelenjar getah
bening, serta gangguan pada hati atau ginjal. Angka kematian pada SHO dapat mencapai
10%. Sindrom hipersensitivitas obat diakibatkan oleh pajanan terhadap obat pencetus pada
individu yang memiliki kerentanan. Kerentanan individu terjadi akibat faktor keturunan
(polimorfisme genetik, jenis kelamin) serta faktor didapat (lupus eritematosus sistemik, limfoma,
infeksi virus). Tata laksana SHO meliputi penghentian obat tersangka sesegera mungkin, terapi
suportif, serta pemberian kortikosteroid sistemik. Terapi suportif yang diberikan seperti nutrisi,
cairan, antihistamin, atau antipiretik. Kortikosteroid sistemik diberikan dengan dosis setara
prednison 1-1,5 mg/kgBB/hari yang diturunkan secara bertahap untuk mencegah kekambuhan.
Kata kunci: sindrom hipersensitivitas obat, diagnosis, tatalaksana, kortikosteroid

J Indon Med Assoc, Volum: 61, Nomor: 4, April 2011

179

Sindrom Hipersensitivitas Obat

Drug Rash Eosinophilia and Systemic Symptoms


Rahmat Cahyanur, Sukamto Koesnoe, Nanang Sukmana
Department of Internal Medicine, Faculty of Medicine University of Indonesia/
Ciptomangunkusumo Hospital, Jakarta,

Abstract: Drug Rash Eosinophilia and Systemic Symptoms (DRESS) is a life threatening condition
that is characterized with skin rash, fever, leukocytosis with eosinophilia or atypical lymphocytosis, lymphadenopathy, and liver or kidney involvement. Mortality rate in DRESS can reach 10%.
Drug Rash Eosinophilia and Systemic Symptomsis is caused by exposure against triggering
drugs in suspectible individual. Suspectible individual could be hereditary factors (gender, genetic
polymorphism) or acquired factors (systemic lupus erythematosus, lymphoma, viral infection).
Management of DRESS are prompt withdrawal of the offending drug, supportive therapy, and
systemic corticosteroid administration. Supportive therapy including adecuate nutritional support and intravenous fluid, antihistamine, or antipyretic. Systemic corticosteroid is administered
with doses 1-1,5 mg/BW/day equal of prednisone that is tapered down gradually to prevent flare
up.
Keywords: drug rash eosinophilia and systemic symptoms, diagnosis, treatment, corticosteroid

Pendahuluan
Seiring dengan munculnya obat-obat baru dalam upaya
diagnosis dan tata laksana penyakit, maka akan terjadi juga
peningkatan angka kejadian reaksi simpang obat. Reaksi
simpang obat adalah respons yang tidak diinginkan atau
diharapkan pada pemberian obat dalam dosis terapi, diagnosis, atau profilaksis.1 Sebagian besar reaksi simpang obat
tidak memiliki komponen alergi. Reaksi alergi obat adalah
reaksi simpang obat melalui mekanisme reaksi imunologi.
Diperkirakan sekitar 6-10% dari reaksi simpang obat merupakan reaksi alergi obat.1, 2
Reaksi alergi obat dapat muncul mulai dari yang ringan
seperti eritema hingga yang berat seperti reaksi anafilaksis,
Sindrom Steven-Johnson (SSJ), Nekrolisis Epidermal Toksik
(NET) serta Sindrom Hipersensitivitas Obat (SHO).1, 2 Sindrom
hipersensitivitas obat adalah suatu kondisi mengancam
nyawa yang ditandai oleh ruam kulit, demam, leukositosis
dengan eosinofilia atau limfositosis atipik, pembesaran
kelenjar getah bening, serta gangguan pada hati atau ginjal.
Sindrom hipersensitivitas obat memiliki gambaran klinis yang
sulit dibedakan dengan penyakit lain, oleh karena itu SHO
ini memiliki banyak nama lain seperti, Drug Rash Eosinophilia and Systemic Symptoms (DRESS), Drug-Induced
Delayed Multiorgan Hypersensitivity Syndrome (DIDMOHS), pseudolimfoma, serta febrile mucocutaneuous syndrome. 3, 4 Pada makalah ini selanjutnya akan digunakan istilah
SHO.
180

Angka kejadian SHO diperkirakan 1:1 000 sampai 1:10


000 orang yang terpapar obat antikejang atau antibiotik
golongan sulfonamida. Angka kematian berkisar 10% kasus,
yang diakibatkan oleh gangguan organ sistemik yang
terlibat.3,4 Obat-obatan yang sering dikaitkan dengan SHO
adalah obat anti kejang, sufonamid, dapson, minosiklin, serta
alupurinol.5,6
Alergi obat merupakan suatu hal yang perlu dipahami
oleh seorang dokter. Akibat yang ditimbulkan tidak jarang
berakhir dengan kecacatan atau kematian, serta terkadang
menyebabkan dokter berurusan dengan aspek medikolegal.
Pengenalan dini kondisi berat dapat menurunkan angka
kecacatan dan kematian. Pada makalah ini akan dibahas
mengenai SHO dari aspek epidemiologi, etiologi, patogenesis,
patofisiologi, diagnosis, serta tata laksana.
Epidemiologi
Hingga saat ini belum banyak data epidemiologi mengenai SHO. Insidens terjadinya SHO diperkirakan sekitar 1
dari 1000 hingga 10 000 pajanan terhadap fenitoin. Kejadian
SHO umumnya under-diagnosis di seluruh dunia, hal
tersebut disebabkan oleh bervariasinya manifestasi klinis dan
temuan laboratorium yang menyebabkan pelaporan menjadi
tidak akurat.6
Data mengenai SHO dari studi RegiSCAR, suatu
registrasi kasus reaksi simpang obat yang berat seperti SSJ,
NET, serta SHO di 6 negara Eropa sejak tahun 2003 hingga
J Indon Med Assoc, Volum: 61, Nomor: 4, April 2011

Sindrom Hipersensitivitas Obat


November 2010, memperlihatkan bahwa kasus yang
potensial sebagai SHO sebanyak 92 kasus, serta yang probable atau definite sebanyak 46 kasus.7
Etiologi dan Patogenesis
Beberapa jenis obat, seperti obat golongan antikonvulsan, alupurinol, dan obat golongan sulfa yang terkait
dengan timbulnya SHO antara lain: Anti kejang, Karbamazepin, Fenitoin, Fenobarbital, Zonisamid, Lamotrigin,
Alupurinol, Minosiklin, Dapson, Sulfasalazin, Mexiletin.
Terdapat berbagai faktor yang berperan dalam terjadinya
SHO, yaitu paparan terhadap obat yang berpotensi kepada
individu yang memiliki kerentanan.8 Penelitian terhadap etnis
Han di Cina, memperlihatkan bahwa individu dengan HLAB*5801 memiliki kerentanan untuk mengalami SHO akibat
alupurinol.4 HLA-B*5701, HLA-DR7, dan HLA-DQ3 terkait
dengan SHO akibat abacavir.9 Sementara itu pada populasi
Kaukasia, minoksiklin sering menyebabkan SHO dibandingkan dengan populasi Jepang.6
Obat-obatan lain yang menjadi penyebab terjadinya
SHO juga semakin bertambah seiring berbagai laporan yang
muncul. Beberapa obat yang dilaporkan menjadi penyebab
terjadinya SHO berdasarkan laporan atau seri kasus adalah
nevirapin,6 abacavir,6 serta cefadroxil.10
Patogenesis terjadinya SHO hingga saat ini belum jelas
diketahui. Sebagian besar reaksi idiosinkratik yang terkait
dengan obat termasuk SHO tidak sepenuhnya mengikuti
klasifikasi Gell and Coombs. Terjadinya SHO memerlukan
kombinasi antara pajanan terhadap obat yang berpotensi
dengan individu yang memiliki kerentanan. Faktor obat yang
merupakan risiko terjadinya reaksi alergi obat adalah ukuran
serta kompleksitas molekul obat serta rute pemberian obat.8
Sementara itu beberapa faktor keturunan diduga berperan
dalam timbulnya kerentanan individu untuk mengalami SHO.
Jenis kelamin wanita, orang dewasa, riwayat alergi sebelumnya, serta polimorfisme genetik merupakan faktor risiko
terjadinya reaksi alergi obat.8 Faktor didapat yang diduga
berperan adalah asma, limfoma, lupus eritematosis sistemik
(LES), serta infeksi virus meliputi human herpesvirus 6 (HHV6), virus Epstein Barr (VEB), sitomegalovirus (CMV), serta
human immunodeficiency virus (HIV).11 Beberapa kelompok
peneliti telah memasukkan reaktivasi HHV 6 sebagai kriteria
diagnosis SHO.12,13
Mekanisme lain yang berperan dalam terjadinya SHO
adalah defek fungsi detoksifikasi tubuh. Beberapa penelitian
memperlihatkan bahwa terjadi peningkatan kerentanan sel
terhadap efek toksik metabolit obat yang seringkali terkait
dengan SHO, seperti sulfonamid, fenitoin, fenobarbital,
lamotirigin, serta karbamazepin. Fenitoin, karbamazepin, serta
fenobarbital dimetabolisme oleh CYP P-450 menjadi metabolit
reaktif. Metabolit tersebut akan didetoksifikasi oleh enzim
epoksida hidroksilase. Akan tetapi apabila terdapat defek
pada enzim tersebut, hal ini akan membuat metabolit
meningkat kadarnya yang kemudian menjadi hapten dan
J Indon Med Assoc, Volum: 61, Nomor: 4, April 2011

menimbulkan reaksi imun.9, 11


Obat sulfonamid akan dimetabolisme melalui proses
asetilasi menjadi metabolit non toksik yang akan diekskresikan oleh ginjal. Pada individu dengan kemampuan
asetilator lambat dapat mengalami metabolisme alternatif
melalui enzim CYP. Melalui jalur alternatif ini akan terbentuk
metabolit reaktif yaitu hidroksilamin dan senyawa nitroso
yang bersifat sitotoksik. Sebagian besar individu dapat
mengolah metabolit yang berbahaya tersebut. Akan tetapi
pada individu dengan gangguan enzim (defisiensi glutation)
dapat mengalami SHO.9
Dapson, obat yang seringkali digunakan untuk kasus
kusta, mengalami metabolisme dalam tubuh melalui N-asetilasi
dan N-hidroksilasi. Proses N-asetilasi dimediasi oleh N-asetil
transferase tipe 2, sementara N-hidroksilasi melalui enzim
CYP3A4. Melalui proses tersebut akan timbul metabolit antara
yang bersifat reaktif, yaitu hidroksilamin. Metabolit inilah
yang berperan dalam timbulnya SHO.9
Terdapat dua hipotesis untuk menjelaskan mekanisme
defek detoksifikasi yang menimbulkan SHO, yaitu hapten
hypothesis dan danger hypothesis. Menurut hapten hypothesis, produk reaktif obat akan berikatan dengan makromolekul
jaringan sehingga membentuk imunogen lengkap atau
neoantigen yang akan menimbulkan reaksi imun. Sementara
itu menurut danger hypothesis, kerusakan sel yang terjadi
adalah akibat produk reaktif obat yang akan menghasilkan
sitokin penanda kerusakan sel sehingga sistem imun akan
mengeliminasi sel yang rusak dan dianggap berbahaya
tersebut.11
Pada individu dengan infeksi HIV, angka kejadian reaksi
alergi obat cenderung meningkat. Peningkatan tersebut terjadi
akibat beberapa faktor seperti pemakaian obat dalam jangka
panjang, pemakaian obat multipel, perubahan metabolism
obat, peningkatan stres oksidatif (perubahan kadar thiol intra dan ekstra sel), hiperaktivasi sistem imun (peningkatan
produksi sitokin, ekspresi human leucocyte antigen [HLA]),
serta adanya danger signal. Beberapa obat yang digunakan
dalam tata laksana infeksi HIV juga merupakan pencetus
terjadinya SHO seperti abacavir dan nevirapin.14
Patofisiologi
Pasien yang mengalami SHO memiliki sel limfosit T yang
teraktivasi dalam sirkulasinya. Sel limfosit T yang spesifik
terstimulasi dengan konsep p-i (pharmacological interaction with immune receptors) menghasilkan interleukin 5 (IL5) dan interferon gamma (IFN-g). Interleukin 5 merupakan
faktor kunci dalam pengaturan pertumbuhan, diferensiasi, dan
aktivasi eosinofil. Sementara itu IFN-g memiliki peran dalam
up regulation major histocompatibility complex (MHC) kelas
II pada keratinosit. Aktivasi MHC kelas II tersebut selanjutnya akan mempresentasikan obat ke sel T CD4+.15
Konsep p-i menjelaskan bahwa obat memiliki kesesuaian
terhadap protein atau enzim tertentu sehingga mempengaruhi
kerjanya. Beberapa jenis obat dapat langsung berikatan
181

Sindrom Hipersensitivitas Obat


dengan reseptor pada sel T. Interaksi antara obat dengan sel
T akan mengaktifkan respon imun. Oleh karena itu terkadang
reaksi yang timbul tidak mengikuti kaidah respon imun yang
ada, yaitu reaksi dapat terjadi pada paparan pertama tanpa
memerlukan proses sensitisasi sebelumnya.15
Penjelasan lain adalah pada reaksi eksantema makulopapular, reaksi yang berperan didominasi oleh aktivasi sel
T helper 2 (Th2) (reaksi hipersensitivitas tipe IV) yang terkait
dengan sekresi IL-4, IL-5, serta IL-13. Selain itu juga terdapat
hubungan dengan reaksi alergi tipe I, yaitu sekresi IL-4 dan
IL-13 akan meningkatkan produksi IgE.15
Manifestasi klinis yang muncul pada pasien SHO baik
pada kulit maupun organ terkait dengan peningkatan
proliferasi klon limfosit T CD8 yang telah teraktivasi terhadap
antigen virus sebelumnya oleh obat pencetus. Dugaan
keterlibatan infeksi virus tersebut juga berdasarkan gambaran
klinis pasien SHO yaitu adanya demam, edema pada wajah,
limfadenopati, monositosis, mononukleosis, serta hepatitis
yang konsisten dengan gambaran infeksi virus.16
Picard et al16 memperlihatkan bahwa sekitar 76% pasien
SHO mengalami reaktivasi terhadap EBV, HHV-6, dan HHV7. Limfosit T CD8 akan meningkat jumlahnya di dalam darah
serta jaringan yang terlibat seperti kulit, hati, maupun paru.
Selain itu limfosit T CD8 meningkatkan sekresi sitokin yaitu
TNF-, IL-2, dan IFN-. Tingginya produksi sitokin tersebut
terkait dengan gangguan organ dalam yang lebih berat.
Peningkatan kadar berbagai mediator inflamasi tersebut
bertahan selama kurang lebih 3 bulan. Hal tersebut mungkin
menjelaskan memanjangnya periode gejala klinis yang dialami
pasien SHO meskipun obat pencetus telah dihentikan.
Keterlibatan paru serta hipereosinofilia yang terjadi dikaitkan
dengan peningkatan transkripsi IL-17. Peningkatan aktivitas
transkripsi IL-17 tersebut sedikit berbeda dengan peneliti
lain yang memperlihatkan bahwa IL-5 lebih berperan dalam
terjadinya hipereosinofilia.16
Pendekatan Diagnosis
Evaluasi awal dengan kecurigaan alergi obat adalah
mengenali reaksi simpang obat ringan dan berat. Kecepatan
dan ketepatan dalam mengenali reaksi simpang obat berat
penting dalam menurunkan mortalitas dan morbiditas pasien.5
Pertama-tama kita akan bahas dahulu gambaran klinis reaksi
simpang obat yang seringkali kita temukan.
Gambaran lesi erupsi obat yang seringkali ditemukan
adalah jenis eksantema morbiliformis (sekitar 95%) yang
umumnya tidak menimbulkan kematian atau kesakitan yang
bermakna.17 Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya,
penting bagi dokter untuk dapat mengenali reaksi simpang
obat yang berat seperti SHO, SSJ, serta NET. Terdapat
beberapa parameter klinis serta laboratorium yang mengarahkan kecurigaan kita terhadap reaksi simpang obat
yang berat.5 Berbagai parameter tesebut terdapat dalam
tabel 1.

182

Tabel 1. Kondisi-kondisi yang Mengarahkan pada Reaksi Berat5


Kulit
Eritema konfluens, Keterlibatan wajah atau edema pada wajah,
Nyeri kulit, Purpura, Nekrosis kulit, Terkelupasnya epidermis,
Erosi mukosa, Urtikaria, Pembengkakan lidah
Kondisi umum
Demam tinggi (>40C), Pembesaran kelenjar getah bening,
Atralgia atau artritisSesak nafas, mengi, hipotensi
Laboratorium
Hitung eosinofil >1000/mm3
Limfositosis dengan limfosit atipikal
Hasil laboratorium fungsi hati yang abnormal

Manifestasi Klinis
Sindrom hipersensitivitas obat terjadi sekitar 3 minggu
hingga 3 bulan setelah pemberian obat, yang ditandai oleh
demam dan munculnya lesi kulit. Gambaran klinis yang
penting adalah awitan yang lambat setelah obat penyebab
diberikan. Hal tersebut yang membedakan SHO dengan erupsi
obat lainnya.6
Erupsi kulit yang timbul biasanya dimulai dengan bercak
makula eritematosa, sedikit gatal, dan kemudian akan meluas
dan menyatu (konfluensi). Kelainan kulit generalisata
ditemukan pada sekitar 85% kasus.18 Demam muncul sesaat
mendahului ruam kulit, dengan kisaran suhu 38-40oC. Demam
umumnya akan tetap berlanjut meskipun obat penyebab telah
dihentikan. Lesi kulit awalnya muncul pada daerah wajah,
tubuh bagian atas, serta ekstremitas atas yang kemudian
diikuti oleh ekstremitas bawah. Pada wajah akan dijumpai
konjungtivitis, edema periorbita, dan pustul. Telapak tangan
biasanya tidak terkena, meski pada beberapa kasus dapat
dijumpai lesi dalam jumlah sedikit.6,9
Limfadenopati yang nyeri dapat ditemukan pada sekitar
70% kasus. Umumnya kelenjar getah bening yang terlibat
adalah kelenjar getah bening servikal. Mukosa umumnya tidak
terlibat pada SHO, namun dapat ditemukan sedikit lesi di
mukosa mulut dan bibir. Rongga mulut akan terasa kering
akibat xerostomia berat. Hal tersebut akan menyulitkan asupan
makanan pasien. Gejala dan tanda tersebut dapat mengalami
perburukan 3-4 hari setelah obat pencetus dihentikan. Fenomena paradoksikal tersebut juga menjadi salah satu karakteristik SHO. Pada pemeriksaan fisik abdomen ditemukan
hepatomegali atau splenomegali.6
Organ dalam yang seringkali terlibat pada SHO adalah
hati (80%), ginjal (40%), serta paru (33%). Keterlibatan
susunan saraf pusat (ensefalitis, meningitis aseptik) jarang
ditemukan. Sebagian kecil pasien dapat mengalami hipotiroid
akibat tiroiditis autoimun dalam waktu dua bulan setelah
gejala muncul. Kolitis yang ditandai oleh diare berdarah dan
nyeri abdomen juga dilaporkan meskipun jarang.9,18
Setiap obat yang mencetuskan SHO juga memiliki
gambaran yang spesifik. Lamotrigin menimbulkan SHO
dengan kadar eosinofilia yang lebih rendah. Sementara itu
alupurinol lebih sering menimbulkan gangguan fungsi ginjal

J Indon Med Assoc, Volum: 61, Nomor: 4, April 2011

Sindrom Hipersensitivitas Obat


dan minoksiklin menimbulkan limfadenopati masif dan
trombositopenia.6
Pemeriksaan laboratorium yang perlu dilakukan darah
perifer lengkap, enzim transaminase hati, ureum, kreatinin,
dan urinalisa. Pemeriksaan lain dilakukan sesuai dengan hasil
temuan pemeriksaan dan kecurigaan organ yang terlibat.
Gambaran yang menonjol adalah ditemukannya leukositosis,
limfositosis atipikal, serta eosinofilia pada pasien SHO. Pada
beberapa kasus dapat terjadi reaksi leukemoid. Limfositosis
yang terjadi disebabkan oleh peningkatan kadar limfosit T
CD4 dan CD8. Eosinofilia yang terjadi ditemukan pada 6070% kasus dengan awitan setelah 1-2 minggu gejala muncul.
Kelainan hati terjadi pada sekitar 70% pasien, ditandai oleh
peningkatan enzim transaminase tanpa adanya kuning.
Terjadinya hepatitis berat dengan kuning menjadi penanda
prognosis buruk dan terkait dengan angka mortalitas yang
meningkat. Keterlibatan jaringan ginjal umumnya adalah
nefritis tubulointerstisial hingga angitis nekrosis granulomatosa. Mortalitas SHO terkait dengan keterlibatan ginjal,
dan angkanya dapat mencapai 20%. 6 Pasien dengan
gambaran darah pansitopenia juga memiliki prognosis yang
buruk.18
Pada pemeriksaan immunoglobulin serum akan ditemukan penurunan kadar IgG, IgA, dan IgM pada awal
munculnya gejala. Setelah mengalami titik terendah, kadar
IgG akan mengalami lonjakan dalam 1-2 minggu dan kemudian
berangsur-angsur normal seiring perbaikan klinis.6
Peningkatan kadar procaltonin dapat ditemukan pada
pasien dengan SHO. Bonaci-Nicolic et al19 melaporkan pasien
SHO akibat karbamazepin yang mengalami peningkatan kadar
procalcitonin dan mengalami penurunan setelah menghentikan obat pencetus dan pemberian kortikosteroid.19
Gambaran histopatologi dari SHO adalah infiltrasi
limfosit superfisial di perivaskular dengan ekstravasasi
eritrosit atau eosinofil. Limfosit yang banyak menginfiltrasi
adalah limfosit T CD4 dan CD8.6
Kriteria Sindrom Hipersensitivitas Obat
Terdapat beberapa kriteria diagnosis yang digunakan
untuk SHO. Bocquet et al.20 menyatakan kriteria diagnosis
SHO adalah sebagai berikut: (1) kelainan kulit akibat erupsi
obat; (2) kelainan hematologi, yaitu eosinophilia >1500/L
atau adanya limfositosis atipik; (3) keterlibatan sistemik yang
ditandai oleh adenopati (diameter lebih dari 2 cm), hepatitis
(nilai enzim transaminase >2x normal), nefritis interstisial,
pneumonia interstisial, atau karditis. Kriteria diagnosis
Bocquet et al. ini menekankan pada keterlibatan multi organ
serta adanya eosinophilia.20 Sementara itu kelompok peneliti
Jepang menyatakan kriteria diagnosis untuk SHO adalah:3
1. Ruam makulopapular yang timbul lebih dari tiga minggu
pemberian obat-obat tertentu.
2. Manifestasi klinis yang memanjang, meskipun obat
penyebab telah dihentikan.

J Indon Med Assoc, Volum: 61, Nomor: 4, April 2011

3.
4.
5.

6.
7.

Demam (>38C)
Gangguan hati (peningkatan SGPT >100 U/L) atau
terdapat keterlibatan organ lain.
Abnormalitas leukosit (setidaknya ditemukan satu):

Leukositosis (>11 000/L)

Limfositosis atipikal (>5%)

Eosinofilia (>1 500/L)


Limfadenopati
Aktivasi HHV-6 (pada minggu kedua atau ketiga setelah
gejala muncul)

Diagnosis SHO ditegakkan apabila ketujuh kriteria


tersebut dijumpai (SHO tipikal). Apabila hanya ditemukan
lima kriteria saja maka disebut sebagai SHO atipikal. Apabila
ditemukan gangguan ginjal, hal tersebut dapat menggantikan
gangguan fungsi hati.3
Diagnosis Banding
Dengan menggunakan kriteria diagnosis yang telah
disebutkan diatas, beberapa reaksi alergi obat yang lain dapat
disingkirkan yaitu SSJ dan NET. Diagnosis banding yang
mungkin pada kasus SHO adalah: Lupus eritematosus imbas
obat, Sindrom hipereosinofilia, Mononukleosis infeksiosa,
Penyakit Kawasaki, Campak, Pseudolimfoma/imunoblastik
limfadenopati, Serum sickness like reaction, Staphylococcal toxic shock syndrome. Pada kasus pseudolimfoma imbas
obat, rentang waktu antara erupsi obat dengan awal pemberian obat sangat panjang, dapat mencapai 110 hari. Pada
pseudolimfoma imbas obat tidak terdapat demam atau
keterlibatan multi organ.3
Tata Laksana
Tata laksana yang dilakukan bersifat suportif yaitu
antipiretik untuk menurunkan suhu, nutrisi adekuat, cairan
intravena yang cukup, serta perawatan kulit. Penghentian
obat tersangka sesegera mungkin merupakan tindakan
pertama yang perlu dilakukan. Hingga saat ini kortikosteroid
merupakan terapi pilihan untuk SHO. Umumnya demam serta
ruam kulit akan mengalami perbaikan dengan pemberian
kortikosteroid sistemik. Dosis yang digunakan adalah
prednison 1-1,5 mg/kgBB/hari. Pemberian kortikosteroid
sistemik harus secara perlahan diturunkan, meskipun
didapatkan gambaran klinis yang membaik dengan cepat.
Hal tersebut dikarenakan besarnya kemungkinan terjadinya
flare up kembali pada SHO.6 Risiko terjadinya sepsis akibat
pemberian kortikosteroid sistemik lebih rendah apabila
dibandingkan dengan kasus SSJ atau NET. Hal tersebut
diakibatkan tidak adanya perubahan barier mukosa atau kulit
yang signifikan.9 Antihistamin dan kortikosteroid topikal
dapat pula diberikan untuk mengurangi keluhan yang ada.9
Apabila tetap terjadi perburukan gejala meskipun
kortikosteroid sistemik telah diberikan, maka terdapat
beberapa obat lain yang dapat diberikan. Pemberian immunoglobulin intravena dan plasma exchange dapat menjadi
183

Sindrom Hipersensitivitas Obat


alternatif.6 Immunoglobulin intravena diberikan atas dasar
proses reaktivasi virus dalam terjadinya SHO. Pemberian
immunoglobulin intravena diharapkan dapat menekan
reaktivasi virus yang terjadi.21 Selain itu juga terdapat laporan
kasus mengenai manfaat pemberian siklosporin pada kasus
SHO persisten, yaitu steroid tidak dapat diberikan akibat efek
samping yang ditimbulkannya.9, 22
Pemberian N-asetilsistein pada kasus SHO diperkirakan
memberikan manfaat. Hal tersebut berdasarkan pemahaman
bahwa N-asetilsistein merupakan prekursor glutation serta
memodulasi produksi berbagai sitokin pro inflamasi.
Meskipun demikian pemberian rutin N-asetilsistein belum
direkomendasikan karena belum adanya uji klinis yang
mendukung.23
Pencegahan sekunder yang dilakukan terhadap pasien
adalah dengan menghindari obat tersangka di masa mendatang. Obat alternatif sebaiknya digunakan apabila memang
tersedia.23
Uji Diagnostik
Upaya untuk menentukan obat penyebab seringkali sulit
ditegakkan hanya berdasarkan temuan klinis. Data yang
penting dikumpulkan meliputi riwayat penyakit yang lengkap,
data penggunaan obat, cara pemberian obat, dosis yang
diberikan, serta obat yang pernah digunakan sebelumnya.15
Uji provokasi merupakan tes baku emas dalam mendiagnosis obat penyebab reaksi hipersensitivitas obat termasuk
SHO. Uji provokasi adalah pemberian obat secara terkontrol
untuk mendiagnosis reaksi simpang obat baik yang
diperantarai imun maupun tidak. Dua indikasi dilakukannya
uji provokasi obat adalah untuk mengeksklusi reaksi
hipersensitivitas pada kondisi yang meragukan baik dari
riwayat maupun tampilan klinis dan menegakkan diagnosis
reaksi hipersensitivitas pada kasus yang mengarah dengan
hasil pemeriksaan uji alergi lain yang inkonklusif atau negatif.
Keunggulan uji provokasi obat adalah memungkinkan kita
mengetahui metabolisme individu serta latar belakang
imunogenetika. Akan tetapi risiko tindakan uji provokasi obat
juga besar yaitu dapat memicu reaksi relaps yang berat dan
tidak terkontrol. Uji provokasi dilakukan terhadap pasien yang
sudah dalam kondisi stabil serta dilakukan dengan pendampingan oleh dokter yang berpengalaman.24
Berdasarkan pemahaman mengenai adanya limfosit T
spesifik terhadap obat, yang berperan dalam terjadinya SHO
maka uji diagnostik yang seringkali digunakan adalah uji
tempel dan tes transformasi limfosit. Tes transformasi limfosit
memiliki keamanan yang lebih baik serta risiko lebih rendah
dalam mencetuskan alergi terhadap obat lain. Pada pasien
SHO waktu untuk melakukan tes transformasi limfosit adalah
5-6 minggu setelah gejala muncul. Hasil positif dapat berlangsung hingga satu tahun sesudahnya.6, 25
Prognosis
Usia terkait dengan luaran klinis. Usia tua terkait dengan
184

prognosis yang lebih buruk sementara usia muda atau anakanak sebaliknya. Pada umumnya pasien SHO yang mendapatkan tata laksana adekuat akan pulih beberapa bulan
setelah munculnya gejala. Pada penelitian terhadap 38 kasus
SHO angka kesembuhan mencapai 94,8% pasien.26 Kematian
yang terjadi disebabkan oleh infeksi oportunistik akibat
pemberian kortikosteroid jangka panjang atau gagal organ
yang berat.18 Pasien yang mengalami SHO memiliki risiko
yang lebih besar untuk mengalami penyakit autoimun seperti
DM tipe 1, penyakit graves, dan sklerosis sistemik.6
Ringkasan
Sindrom hipersensitivitas obat merupakan salah satu
reaksi simpang obat yang berat. Sindrom hipersensitivitas
obat ditandai oleh ruam kulit, demam, leukositosis dengan
eosinofilia atau limfositosis atipik, pembesaran kelenjar getah
bening, serta gangguan pada hati atau ginjal.
Faktor yang berperan dalam terjadinya SHO adalah
paparan terhadap obat yang berpotensi kepada individu yang
memiliki kerentanan. Obat-obatan yang seringkali menyebabkan SHO adalah anti kejang, alupurinol, atau OAINS.
Kerentanan individu disebabkan oleh faktor keturunan (jenis
kelamin, polimorfisme genetik) maupun faktor didapat (infeksi
HIV, LES, HHV-6).
Tata laksana kasus SHO meliputi tata laksana suportif
serta pemberian kortikosteroid sistemik. Sebagian besar kasus
SHO akan mengalami penyembuhan dengan baik. Antihistamin serta kortikosteroid topikal dapat diberikan untuk
meringankan keluhan. Pada kasus yang persisten dapat
digunakan terapi immunoglobulin intravena atau siklosporin.
Daftar Pustaka
1.

2.

3.

4.

5.
6.

7.

8.

9.

de Swarte RD, Peterson R. Drug allergy. In: Petterson R, Grammer


LC, Greenberger PA, editors. Allergic disease diagnosis and management. Philadelphia: Lippincott-Raven;1997.p.317-412
Sundaru H. Alergi obat. In: Mansjoer A, Setiati S, Syam AF, Laksmi
PW, editors. Naskah Lengkap PIT Ilmu Penyakit Dalam 2008.
Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI;
2008.p.243-52
Kano Y, Shiohara T. The variable clinical picture of drug-induced
hypersensitivity syndrome/drug rash with eosinophilia and systemic symptoms in relation to the eliciting drug. Immunol Allergy Clin North Am. 2009;29(3):481-501.
Mockenhaupt M. Epidemiology and causes of severe cutaneuos
adverse reactions to drugs. In: Pichler WJ, editor. Drug hypersensitivity. Basel: Karger; 2007.p.18-31.
Roujeau JC, Stern RS. Severe adverse cutaneous reactions to drugs.
N Engl J Med. 1994;331:1272-85.
Shiohara T, Takahashi R, Kano Y. Drug-induced hypersensitivity
syndrome and viral reactivation. In: Pichler WJ, editor. Drug
hypersensitivity. Basel: Karger; 2007.p.251-66.
Project R. Current Status. RegiSCAR Project. [cited 2010 Nov
14]. Available from: http://regiscar.uni-freiburg.de/status/
index.html.
de Silva NP, Piquioni P, Kochen S, Saidon P. Risk factors associated with DRESS syndrome produced by aromatic and non-aromatic antipiletic drugs. Eur J Clin Pharmacol. 2011;67(5):46370.
Knowles SR, Shear NH. Recognition and Management of Severe

J Indon Med Assoc, Volum: 61, Nomor: 4, April 2011

Sindrom Hipersensitivitas Obat


Cutaneous Drug Reactions. Dermatol Clin. 2007;25:245-53.
10. Suswardhana, Hernanto M, Yudani BA, Pudjiati SR, Indrastuti N.
DRESS syndrome from cefadroxil confirmed by positive patch
test. Allergy. 2007;62:1216-7.
11. Sullivan JR, Shear NH. The drug hypersensitivity syndrome: what
is the pathogenesis? Arch Dermatol. 2001;137:357-63.
12. Shiohara T, Inaoka M, Kano Y. Drug-induced hypersensitivity
syndrome(DIHS): a reaction induced by a complex interplay
among herpesviruses and antiviral and antidrug immune responses.
Allergol Int. 2006;55:1-8.
13. Riedl MA, Cassilas AM. Adverse drug reactions: types and treatment options. Am Fam Physician. 2003;68:1781-90.
14. Pirmohamed M. HIV and drug hypersensitivity. In: Pichler WJ,
editor. Drug Hypersensitivity. Basel: Karger; 2007.p.84-94.
15. Pichler WJ. Drug hypersensitivity reactions: Classification and
relationship to T-Cell Acitvation. In: Pichler WJ, editor. Drug
Hypersensitivity. Basel: Karger; 2007.p.168-89.
16. Picard D, Janela B, Descamps V, DIncan M, Courville P, Jacquot
S, et al. Drug reaction with eosinophilia and systemic symptoms
(DRESS): a multiorgan antiviral T cell response. Sci Transl Med.
2010;2(46):46ra62.
17. Cotliar J. Approach to the patient with a suspected drug eruption.
Semin Cutan Med Surg. 2007;26(3):147-54.
18. Chen Y, Chiu H, Chu C. Drug reaction with eosinophilia and
systemic symptoms: a retrospective study of 60 cases. Arch
Dermatol. 2010;146(12):1373-9.

J Indon Med Assoc, Volum: 61, Nomor: 4, April 2011

19. Bonaci-Nikolic B, Jeremic I, Nikolic M, Andrejevic S, Lavadinovic


L. High procalcitonin in a patient with drug hypersensitivity
syndrome. Inter Med. 2009;48:1471-4.
20. Bocquet H, Bagot M, Roujeau J. Drug-induced pseudolymphoma
and drug hypersensitivity syndrome (Drug Rash with Eosinophilia and Systemic Symptoms: DRESS). Semin Cutan Med Surg.
1996;15(4):250-7.
21. Kano Y, Inaoka M, Sakuma K, Shiohara T. Virus reactivation and
intravenous immunoglobulin (IVIG) therapy of drug-induced hypersensitivity syndrome. Toxicology. 2005;209(2):165-7.
22. Harman KE, Morris SD, Higgins EM. Persistent anticonvulsant
hypersensitivity syndrome responding to ciclosporin. Clin Exp
Dermatol. 2003;28:364-5.
23. Tas S, Simonart T. Management of drug rash with eosinophilia
and systemic symptoms. DRESS syndrome: an update. Dermatology. 2003;206:352-6.
24. Aberer W, Kranke B. Provocation tests in drug hypersensitivity.
Immunol Allergy Clin N Am 2009;29:567-84.
25. Baratawidya KG, Rengganis I. Imunologi Dasar. Jakarta: Balai
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2009.
26. Um SJ, Lee SK, Kim YH, Kim KH, Son CH, Roh MS. et al.
Clinical Features of Drug-Induced Hypersensitivity Syndrome in
38 Patients. J Investig Allergol Clin Immunol. 2010;20(7):55662.
FA

185

Das könnte Ihnen auch gefallen