Beruflich Dokumente
Kultur Dokumente
349 409 1 PB PDF
349 409 1 PB PDF
Abstrak: Sindrom hipersensitivitas obat (SHO) atau Drug Rash Eosinophilia and Systemic
Symptoms (DRESS) adalah suatu kondisi mengancam nyawa yang ditandai oleh ruam kulit,
demam, leukositosis dengan eosinofilia atau limfositosis atipik, pembesaran kelenjar getah
bening, serta gangguan pada hati atau ginjal. Angka kematian pada SHO dapat mencapai
10%. Sindrom hipersensitivitas obat diakibatkan oleh pajanan terhadap obat pencetus pada
individu yang memiliki kerentanan. Kerentanan individu terjadi akibat faktor keturunan
(polimorfisme genetik, jenis kelamin) serta faktor didapat (lupus eritematosus sistemik, limfoma,
infeksi virus). Tata laksana SHO meliputi penghentian obat tersangka sesegera mungkin, terapi
suportif, serta pemberian kortikosteroid sistemik. Terapi suportif yang diberikan seperti nutrisi,
cairan, antihistamin, atau antipiretik. Kortikosteroid sistemik diberikan dengan dosis setara
prednison 1-1,5 mg/kgBB/hari yang diturunkan secara bertahap untuk mencegah kekambuhan.
Kata kunci: sindrom hipersensitivitas obat, diagnosis, tatalaksana, kortikosteroid
179
Abstract: Drug Rash Eosinophilia and Systemic Symptoms (DRESS) is a life threatening condition
that is characterized with skin rash, fever, leukocytosis with eosinophilia or atypical lymphocytosis, lymphadenopathy, and liver or kidney involvement. Mortality rate in DRESS can reach 10%.
Drug Rash Eosinophilia and Systemic Symptomsis is caused by exposure against triggering
drugs in suspectible individual. Suspectible individual could be hereditary factors (gender, genetic
polymorphism) or acquired factors (systemic lupus erythematosus, lymphoma, viral infection).
Management of DRESS are prompt withdrawal of the offending drug, supportive therapy, and
systemic corticosteroid administration. Supportive therapy including adecuate nutritional support and intravenous fluid, antihistamine, or antipyretic. Systemic corticosteroid is administered
with doses 1-1,5 mg/BW/day equal of prednisone that is tapered down gradually to prevent flare
up.
Keywords: drug rash eosinophilia and systemic symptoms, diagnosis, treatment, corticosteroid
Pendahuluan
Seiring dengan munculnya obat-obat baru dalam upaya
diagnosis dan tata laksana penyakit, maka akan terjadi juga
peningkatan angka kejadian reaksi simpang obat. Reaksi
simpang obat adalah respons yang tidak diinginkan atau
diharapkan pada pemberian obat dalam dosis terapi, diagnosis, atau profilaksis.1 Sebagian besar reaksi simpang obat
tidak memiliki komponen alergi. Reaksi alergi obat adalah
reaksi simpang obat melalui mekanisme reaksi imunologi.
Diperkirakan sekitar 6-10% dari reaksi simpang obat merupakan reaksi alergi obat.1, 2
Reaksi alergi obat dapat muncul mulai dari yang ringan
seperti eritema hingga yang berat seperti reaksi anafilaksis,
Sindrom Steven-Johnson (SSJ), Nekrolisis Epidermal Toksik
(NET) serta Sindrom Hipersensitivitas Obat (SHO).1, 2 Sindrom
hipersensitivitas obat adalah suatu kondisi mengancam
nyawa yang ditandai oleh ruam kulit, demam, leukositosis
dengan eosinofilia atau limfositosis atipik, pembesaran
kelenjar getah bening, serta gangguan pada hati atau ginjal.
Sindrom hipersensitivitas obat memiliki gambaran klinis yang
sulit dibedakan dengan penyakit lain, oleh karena itu SHO
ini memiliki banyak nama lain seperti, Drug Rash Eosinophilia and Systemic Symptoms (DRESS), Drug-Induced
Delayed Multiorgan Hypersensitivity Syndrome (DIDMOHS), pseudolimfoma, serta febrile mucocutaneuous syndrome. 3, 4 Pada makalah ini selanjutnya akan digunakan istilah
SHO.
180
182
Manifestasi Klinis
Sindrom hipersensitivitas obat terjadi sekitar 3 minggu
hingga 3 bulan setelah pemberian obat, yang ditandai oleh
demam dan munculnya lesi kulit. Gambaran klinis yang
penting adalah awitan yang lambat setelah obat penyebab
diberikan. Hal tersebut yang membedakan SHO dengan erupsi
obat lainnya.6
Erupsi kulit yang timbul biasanya dimulai dengan bercak
makula eritematosa, sedikit gatal, dan kemudian akan meluas
dan menyatu (konfluensi). Kelainan kulit generalisata
ditemukan pada sekitar 85% kasus.18 Demam muncul sesaat
mendahului ruam kulit, dengan kisaran suhu 38-40oC. Demam
umumnya akan tetap berlanjut meskipun obat penyebab telah
dihentikan. Lesi kulit awalnya muncul pada daerah wajah,
tubuh bagian atas, serta ekstremitas atas yang kemudian
diikuti oleh ekstremitas bawah. Pada wajah akan dijumpai
konjungtivitis, edema periorbita, dan pustul. Telapak tangan
biasanya tidak terkena, meski pada beberapa kasus dapat
dijumpai lesi dalam jumlah sedikit.6,9
Limfadenopati yang nyeri dapat ditemukan pada sekitar
70% kasus. Umumnya kelenjar getah bening yang terlibat
adalah kelenjar getah bening servikal. Mukosa umumnya tidak
terlibat pada SHO, namun dapat ditemukan sedikit lesi di
mukosa mulut dan bibir. Rongga mulut akan terasa kering
akibat xerostomia berat. Hal tersebut akan menyulitkan asupan
makanan pasien. Gejala dan tanda tersebut dapat mengalami
perburukan 3-4 hari setelah obat pencetus dihentikan. Fenomena paradoksikal tersebut juga menjadi salah satu karakteristik SHO. Pada pemeriksaan fisik abdomen ditemukan
hepatomegali atau splenomegali.6
Organ dalam yang seringkali terlibat pada SHO adalah
hati (80%), ginjal (40%), serta paru (33%). Keterlibatan
susunan saraf pusat (ensefalitis, meningitis aseptik) jarang
ditemukan. Sebagian kecil pasien dapat mengalami hipotiroid
akibat tiroiditis autoimun dalam waktu dua bulan setelah
gejala muncul. Kolitis yang ditandai oleh diare berdarah dan
nyeri abdomen juga dilaporkan meskipun jarang.9,18
Setiap obat yang mencetuskan SHO juga memiliki
gambaran yang spesifik. Lamotrigin menimbulkan SHO
dengan kadar eosinofilia yang lebih rendah. Sementara itu
alupurinol lebih sering menimbulkan gangguan fungsi ginjal
3.
4.
5.
6.
7.
Demam (>38C)
Gangguan hati (peningkatan SGPT >100 U/L) atau
terdapat keterlibatan organ lain.
Abnormalitas leukosit (setidaknya ditemukan satu):
prognosis yang lebih buruk sementara usia muda atau anakanak sebaliknya. Pada umumnya pasien SHO yang mendapatkan tata laksana adekuat akan pulih beberapa bulan
setelah munculnya gejala. Pada penelitian terhadap 38 kasus
SHO angka kesembuhan mencapai 94,8% pasien.26 Kematian
yang terjadi disebabkan oleh infeksi oportunistik akibat
pemberian kortikosteroid jangka panjang atau gagal organ
yang berat.18 Pasien yang mengalami SHO memiliki risiko
yang lebih besar untuk mengalami penyakit autoimun seperti
DM tipe 1, penyakit graves, dan sklerosis sistemik.6
Ringkasan
Sindrom hipersensitivitas obat merupakan salah satu
reaksi simpang obat yang berat. Sindrom hipersensitivitas
obat ditandai oleh ruam kulit, demam, leukositosis dengan
eosinofilia atau limfositosis atipik, pembesaran kelenjar getah
bening, serta gangguan pada hati atau ginjal.
Faktor yang berperan dalam terjadinya SHO adalah
paparan terhadap obat yang berpotensi kepada individu yang
memiliki kerentanan. Obat-obatan yang seringkali menyebabkan SHO adalah anti kejang, alupurinol, atau OAINS.
Kerentanan individu disebabkan oleh faktor keturunan (jenis
kelamin, polimorfisme genetik) maupun faktor didapat (infeksi
HIV, LES, HHV-6).
Tata laksana kasus SHO meliputi tata laksana suportif
serta pemberian kortikosteroid sistemik. Sebagian besar kasus
SHO akan mengalami penyembuhan dengan baik. Antihistamin serta kortikosteroid topikal dapat diberikan untuk
meringankan keluhan. Pada kasus yang persisten dapat
digunakan terapi immunoglobulin intravena atau siklosporin.
Daftar Pustaka
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
185