Sie sind auf Seite 1von 6

Difteria

1. Etiologi
Difteria adalah suatu penyakit yang disebaban oleh bakteri Corynebacterium diphtheriae.
Bakteri ini merupakan bakteri batang gram positif tidak membentuk spora. Pada kedua
ujungnya bakteri ini memiliki granula metakromatik yang memberi gambaran club shape
pada pewarnaan gram. Bakteri ini dapat diisolasi di dalam loeffler medium dan inokulasi
pada blood tellurite agar menunjukkan koloni berwarna hitam. C. diphtheriae memiliki 4
biotipe yaitu gravis, mitis, intermedius, dan belfanti. Biotipe mitis adalah yang paling sering
menimbulkan penyakit diantara biotipe lainnya.
2. Patofisiologi
Penyakit disebabkan oleh toxin diphtheria yang merupakan faktor virulensi dari C.
diphtheriae. Toxin ini dikode oleh gen tox yang dibawa oleh suatu bakteriofaga lisogenik
yaitu Beta-faga. Hanya galur C. diphtheriae yang memiliki gen tox ini lah yang dapat
menimbulkan penyakit. Galur lain yang tidak memiliki gen ini tidak bersifat patogenik, akan
tetapi galur ini dapat berubah menjadi patogenik bila ditransduksi oleh bakteriofaga lisogenik
beta-faga. Spesies bakteri coryneform lain yang dapat menghasilkan toxin ini adalah
Corynebacterium ulcerans yang juga dapat menimbulkan manifestasi klinis difteri.
Toxin diphtheria memiliki 2 subunit dan 3 regio. Subunit A memiliki regio katalitik,
sedangkan subunit B memiliki regio pengikat reseptor (receptor-binding region), dan regio
translokasi (translocation region). Reseptor untuk toxin ini adalah heparin-binding epidermal
growth factor yang terdapat pada permukaan banyak sel eukariotik, termasuk sel jantung dan
sel saraf. Hal ini yang mendasari terjadinya komplikasi kardiologis dan neurologis dari
difteri. Begitu toxin difteri berlekatan dengan sel host melalui ikatan antara heparin-binding
epidermal growth factor dan receptor binding region subunit B, regio translokasi disisipkan
ke dalam membrane endosome yang kemudian memungkinkan pergerakan region katalitik
subunit A ke dalam sitosol. Kemudian subunit A bekerja dengan cara menghentikan sintesis
protein sel host. Subunit A memiliki aktivitas enzimatik yang mampu memecah
Nikotinamida dari Nicotinamide Adenine Dinucleotide (NAD) dan kemudian mentransfer
sisa ADP-ribosa dari hasil pemecahan tadi menuju Elongation Factor-2 (EF-2). EF-2 yang
ter-ADP ribosilasi ini kemudian menjadi inaktif. EF-2 merupakan faktor yang penting dalam
translasi protein, sehingga sintesis protein seluler menjadi terganggu. Proses ini kemudian
menyebabkan nekrosis sel disertai dengan inflamasi dan eksudat fibrin yang memberikan
gambaran pseudomembrane. Bentukan pseudomembrane ini dapat menghambat jalan napas,
sehingga kematian akibat difteri timbul karena sumbatan jalan napas.
3. Manifestasi Klinis

Difteri pada umumnya merupakan penyakit pada anak. Manifestasi klinis disebakan oleh
penyebaran toxin diphtheria. Manifestasi klinis difteri dapat berupa :
a. Difteri hidung (anterior nasal diphtheria)
Gejala dapat berupa keluarnya pus dari hidung. Biasanya timbul unilateral, kemudian
purulent discharge dapat keluar bersama dengan darah dan timbul ekskoriasi pada
area lubang hidung dan mulut bagian atas. Difteri hidung pada umumnya timbul pada
bayi.
b. Difteri faucial
Bentuk ini merupakan bentuk tersering dari difteri. Gejala dapat berupa tonsillitis
disertai dengan pseudomembran yang berwarna kuning keabuan pada salah satu atau
kedua tonsil. Pseudomembran dapat membesar hingga ke uvula, palatum mole,
orofaring, nasofaring, atau bahkan laring. Gejala dapat disertai dengan mual, muntah,
dan disfagia.
c. Difteri tracheolaryngeal
Difteri laring biasanya terjadi sekunder akibat difteri faucial. Difteri tracheolaryngeal
dapat menimbulkan gambaran bullneck pada pasien difteri akibat cervical adenitis
dan edema yang terjadi pada leher. Timbulnya bullneck merupakan tanda dari difteri
berat, karena dapat timbul obstruksi pernapasan akibat lepasnya pseudomembran
sehingga pasien membutuhkan trakeostomi.
d. Difteri maligna
Hal ini merupakan bentuk difteri yang paling parah dari difteri. Toxin secara cepat
menyebar dengan demam tinggi, denyut nadi cepat, penurunan tekanan darah dan
sianosis. Biasanya penyebaran membrane meluas dari tonsil, uvula, palatum, hingga
lubang hidung. Gambaran bullneck dapat terlihat, dan timbul perdarahan dari mulut,
hidung, dan kulit. Gangguan jantung berupa heart block muncul beberapa hari
sesudahnya.
e. Difteri kutaneus
Difteri kutaneus saat ini lebih sering muncul ketimbang penyakit nasofaring di negara
barat. Hal ini berkaitan dengan alkoholisme dan kondisi lingkungan yang tidak
higienis. Bentuknya dapat berupa pustule hingga ulkus kronis dengan membrane
keabuan yang kotor. Komplikasi toksik dari difteri kutaneus ini jarang terjadi, dan
jika terjadi komplikasi, neuritis adalah komplikasi yang paling sering bermanifestasi
dibandingkan miokarditis.
4. Diagnosis
Diagnosis dini difteri sangat penting karena keterlambatan pemberian antitoksin sangat
mempengaruhi prognosis pasien. Penegakan diagnosis difteri didasarkan pada temuan klinis
tanpa menunggu hasil mikrobiologi. Hal ini dikarenakan preparat smear kurang dipercaya,
dan hasil kultur membutuhkan waktu beberapa hari. Temuan berupa faringitis dan/atau
laryngitis disertai dengan pseudomembran, hoarseness dan stridor, cervical adenitis dan
bullneck merupakan temuan klinis bermakna sehingga pasien harus segera diterapi dengan
antitoksin. Pemeriksaan mikrobiologi biasanya menggunakan blood tellurite agar untuk
isolasi bakteri.

5. Diagnosis banding
a. Difteria Hidung, penyakit yang menyerupai difteria hidung ialah rhinorrhea (common
cold, sinusitis, adenoiditis), benda asing dalam hidung, snuffles (lues congenital).
b. Difteria Faring, harus dibedakan dengan tonsillitis membranosa akut yang disebabkan
oleh streptokokus (tonsillitis akut, septic sore throat), mononucleosis infeksiosa,
tonsillitis membranosa non-bakterial, tonsillitis herpetika primer, moniliasis, blood
dyscrasia, pasca tonsilektomi.
c. Difteria Laring, gejala difteria laring menyerupai laryngitis, dapat menyerupai infectious
croups yang lain yaitu spasmodic croup, angioneurotic edema pada laring, dan benda
asing dalam laring.
d. Difteria Kulit, perlu dibedakan dengan impetigo dan infeksi kulit yang disebabkan oleh
streptokokus atau stafilokokus.
6. Komplikasi
a. Miokarditis
b. Neuritis
7. Tata Laksana
a. Penatalaksanaan umum
Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan tenggorok negative 2
kali berturut-turut. Pada umumnya pasien tetap diisolasi selama 2-3 minggu. Istirahat
tirah baring selama kurang lebih 2-3 minggu, pemberian cairan serta diet yang adekuat,
makanan lunak yang mudah dicerna, cukup mengandung protein dan kalori. Penderita
diawasi ketat atas kemungkinan terjadinya komplikasi antara lain dengan pemeriksaan
EKG pada hari 0, 3, 7 dan setiap minggu selama 5 minggu. Khusus pada difteri laring di
jaga agar nafas tetap bebas serta dijaga kelembaban udara dengan menggunakan
nebulizer.
b. Penatalaksanaan khusus
1. Antitoksin : Anti-Diphtheria Serum (ADS)
Antitoksin harus diberikan segera setelah diagnosis difteria ditegakkan. Dengan
pemberian antitoksin pada hari pertama, angka kematian pada penderita kurang dari
1%. Namun dengan penundaan lebih dari hari ke-6, angka kematian ini biasa
meningkat sampai 30%.
Dosis ADS Menurut Lokasi Membran dan Lama Sakit:
Difteria Hidung 20.000 IU Intramuscular
Difteria Tonsil 40.000 IU Intramuscular / Intravena
Difteria Faring 40.000 IU Intramuscular / Intravena
Difteria Laring 40.000 IU Intramuscular / Intravena
Kombinasi lokasi diatas 80.000 IU Intravena
Difteria + penyulit, bullneck 80.000-100.000 IU Intravena
Terlambat berobat (>72 jam) 80.000-100.000 IU Intravena

Sebelum Pemberian ADS harus dilakukan uji kulit atau uji mata terlebih dahulu, oleh
karena pada pemberian ADS dapat terjadi reaksi anafilaktik, sehingga harus
disediakan larutan adrenalin 1:1000. Uji kulit dilakukan dengan penyuntikan 0,1 ml
ADS dalam larutan garam fisiologis 1:1.000 secara intrakutan. Hasil positif bila
dalam 20 menit terjadi indurasi > 10 mm. Uji mata dilakukan dengan meneteskan 1
tetes larutan serum 1:10 dalam garam fisiologis. Pada mata yang lain diteteskan
garam fisiologis. Hasil positif bila dalam 20 menit tampak gejala hiperemis pada
konjungtiva bulbi dan lakrimasi. Bila uji kulit/mata positif, ADS diberikan dengan
cara desentisasi (Besredka). Bila ujihipersensitivitas tersebut diatas negative, ADS
harus diberikan secara intravena. 1 vial ADS =10 cc = 20.000 IU.
Langkah-langkah pemberian ADS :
Jika uji sensitivitas positif : BESREDKA
1)
0,05 ADS ditambah 1 cc aquades diberikan injeksi sub cutan (SC).
2)
0,1 ADS ditambahkan 1 cc aquades diberikan injeksi sub cutan (SC).
3)
0.1 ADS murni diberikan injeksi SC
4)
0,2 cc ADS murni diberikan injeksi sub cutan (SC)/IM
5)
0,5 cc ADS murni diberikan injeksi sub cutan (SC)/IM
6)
2 cc ADS murni diberikan injeksi sub cutan (SC)/IM
7)
4 cc ADS murni diberikan injeksi sub cutan (SC)/IM
8)
Sisanya diberikan semua bergantian kiri dan kanan
Atau bila keadaan penderita tidak memungkinkan bisa diberikan bertahap dengan
jarak 15 menit. Bila pada waktu pemberian BESREDKA terjadi alergi maka suntikan
dosis obat diulang sama dengan 1 tingkat/1 tahap sebelumnya.
Jika uji sinsitivitas negative: Diberikan melalui infus (Drip)
1.
Pasang infus D5 Saline 200 cc + ADS dosis sesuai dengan berat ringan difteri
yang dialami, kemudian diberikan harus habis dalam waktu 4-6 jam.
2.
Bila mendapat ADS 20.000 bisa langsung diberikan secara IM, asal pasien tidak
panas atau nadi stabil/baik.
3.
Bila terjadi alergi selama pemberian melalui infus/dripp maka tetesan
diperlambat dan bila masih alergi pemberian diganti dengan cara BESREDKA.
2. Antibiotik
Penicillin procain 50.000-100.000 IU/kgBB/hari dibagi 2 dosis selama 10 hari
berturut-turut
Eritromycin 40-50 mg/kg/hari dibagi 4 dosis selama 10 hari
3. Kortikosteroid
Prednisone 2 mg/kgBB
c. Pengobatan penyulit
Tracheostomi dilakukan jika terjadi sumbatan jalan napas.
8. Pencegahan

Pencegahan secara umum dengan menjaga kebersihan dan memberikan pengetahuan


tentang bahaya difteria bagi anak. Pada umumnya setelah seseorang anak menderita difteria,
kekebalan terhadap penyakit ini sangat rendah sehingga perlu imunisasi DPT dan pengobatan
karier. Seorang anak yang telah mendapat imunisasi difteria lengkap, mempunyai antibodi
terhadap toksin difteria tetapi tidak mempunyai antibody terhadap organismenya. Keadaan
demikian memungkinkan seseorang menjadi pengidap difteria dalam nasofaringnya (karier)
atau menderita difteri ringan.
Toksoid difteri dipersiapkan dengan pengobatan formaldehid toksin, kekuatannya
dibakukan, dan diserap pada garam alumunium, yang memperbesar imunogenitas. Dua
preparat toksoid difteri dirumuskan sesuai dengan kandungan batas flokulasi (Bf) suatu
pengukuran kuantitas toksoid. Preparat pediatric (yaitu DPT,DT,DTaP) mengandung 6,7-12,5
Bf unit toksoid difteri per dosis 0,5mL; preparat dewasa (yaitu Td) mengandung tidak lebih
dari 2 Bf unit toksoid per 0,5 mL dosis. Formulasi toksoid potensi yang lebih tinggi (yaitu D)
digunakan untuk dosis seri primer dan booster untuk anak umur 6 tahun karena
imunogenitasnya superior dan reaktogenisitasnya minimal. Untuk individu umur 7 tahun dan
yang lebih tua, Td dianjurkan untuk seri primer dan dosis booster, karena kadar toksoid
difteri yang lebih rendah cukup imunogenik dan karena semakin kadar toksoid difteri makin
tinggi reaktogenitas pada umur yang semakin tinggi. Vaksin DTP pertama diberikan paling
cepat pada umur 6 minggu. Dapat diberikan vaksin DTwP atau DTaP atau kombinasi dengan
vaksin lain. Untuk anak umur lebih dari 7 tahun diberikan vaksin Td, dibooster setiap 10
tahun.
Jadwal vaksinasi difteri :
Untuk anak umur 6 minggu sampai 7 tahun , beri 0,5 mL dosis vaksin
mengandung-difteri (D). seri pertama adalah dosis pada sekitar 2,4, dan 6 bulan.
Dosis ke empat adalah bagian intergral seri pertama dan diberikan sekitar 6-12
bulan sesudah dosis ke tiga. Dosis booster siberikan umur 4-6 tahun (kecuali
kalau dosis primer ke empat diberikan pada umur 4 tahun).
Untuk anak-anak yang berumur 7 tahun atau lebih, gunakan tiga dosis 0,5 mL
yang mengandung vaksin (D). Seri primer meliputi dua dosis yang berjarak 4-8
minggu dan dosis ketiga 6-12 bulan sesudah dosis kedua.
Untuk anak yang imunisasi pertusisnya terindikasi digunakan DT atau Td. Mereka
yang mulai dengan DTP atau DT pada sebelum usia 1 tahun harus mengalami
lima dosis vaksin yang mengandung difteri (D) 0,5 mL pada usia 6 tahun. Untuk
mereka yang mulai pada atau sesudah umur 1 tahun, seri pertama adalah tiga
dosis 0,5 mL vaksin mengandung difteri, dengan booster yang diberikan pada usia
4-6 tahun, kecuali kalau dosis ketiga diberikan sesudah umur 4 tahun.

Referensi :
1. Farrar J, Hotez PJ, Junghanss T, Kang G, Lalloo D, White NJ. 2014. Mansons Tropical
Diseases, Twenty-Third Edition. Elsevier, Philadelphia.
2. Murray PR, Rosenthal KS, Pfaller MA. 2013. Medical Microbiology, Seventh Edition.
Elsevier, Philadelphia.

3. Brooks GF, Caroll KC, Butel JS, Morse, SA, Mietzner, TA. 2013. Jawetz, Melnick
&Adelbergs Medical Microbiology International Edition, Twenty Sixth. ed. McGrawHill Companies, New York.
4. Levinson, Warren. 2014. Review of Medical Microbiology and Immunology, Thirteenth
Edition. McGraw-Hill Companies, New York.
5. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jadwal Imunisasi Anak Umur 0-18 Tahun. 2014.

Das könnte Ihnen auch gefallen