Beruflich Dokumente
Kultur Dokumente
1. Etiologi
Tetanus disebabkan oleh bakteri Clostridium tetani. Bakteri ini bersifat obligat anaerob,
berbentuk batang Gram positif. Dapat membentuk spora yang terdapat di terminal sehingga
menghasilkan drum-stick appearance pada pewarnaan spora maupun pewarnaan gram. Spora
dapat ditemukan di tanah, debu, garam, air, atau feses. Sedangkan bentuk vegetatif beserta
spora terdapat di feses binatang, cavum oris mamalia, dan manusia.
2. Patogenesis
Bentuk vegetatif C. tetani gampang mati akibat paparan oksigen, akan tetapi spora dapat
bertahan di berbagai kondisi dan memungkinkan transmisi bakteri. Spora dapat bertahan dari
perubahan pH maupun suhu, bahkan dapat bertahan selama autoclaving beberapa menit.
Begitu spora masuk ke dalam jaringan, spora akan berubah menjadi bentuk vegetatif. Tetanus
neonatorum terjadi karena perawatan tali pusar yang tidak baik. Penggunaan alat yang tidak
steril sewaktu pemotongan tali pusar menyebabkan tetanus pada neonates. Sedangkan infeksi
pada anak-anak dan dewasa disebabkan oleh laserasi atau luka yang terkontaminasi bakteri
maupun sporanya. Otitis media, caries dentis juga penting dalam infeksi tetanus pada anakanak.
Clostridium tetani menghasilkan dua jenis toxin, yaitu tetanolysin dan tetanospasmin.
Tetanolysin merupakan suatu hemolisin dan bersifat oxygen labile (mudah diinaktivasi oleh
oksigen), sedangkan tetanospasmin merupakan suatu neurotoxin yang bersifat heat labile
(tidak tahan panas). Tetanolysin merupakan suatu toxin yang dikode oleh plasmid. Toxin ini
secara serologis mirip dengan Streptolysin O (Streptococcus pyogenes) dan hemolysin yang
dihasilkan oleh Clostridium perfringens dan Listeria monocytogenes. Kepentingan klinis dari
toxin ini tidak diketahui karena sifatnya yang mudah dihambat oleh oksigen dan serum
kolesterol.
Tetanospasmin adalah toxin yang berperan dalam manifestasi klinis dari tetanus. Begitu
toxin ini terikat dengan saraf, toxin tidak dapat dieliminasi. Penyebaran tetanospasmin dapat
melalui hematogen ataupun limfogen yang kemudian mencapai targetnya di ujung saraf
motorik. Toxin ini memiliki 2 subunit dan 3 domain, subunit A (light chain) dan subunit B
(heavy chain). Begitu toxin disekresikan, suatu protease endogen akan memecah
tetanospasmin mejadi 2 subunit. Reseptor untuk toxin ini adalah gangliosida pada neuron
motoris. Domain pengikat karbohidrat (Carbohydrate-binding Domain) pada ujung carboxyterminal subunit B berikatan dengan reseptor asam sialat yang spesifik dan glikoprotein pada
permukaan sel saraf motoric. Kemudian toxin akan diinternalisasi oleh vesikel endosome.
Asidifikasi endosome akan menyebabkan perubahan konformasi ujung N-terminus subunit
B, kemudian terjadi insersi subunit B kedalam membrane endosome, sehingga
memungkinkan subunit A keluar menembus membrane endosome menju ke sitosol. Toxin
mengalami retrograde axonal transport dari perifer kemudian menu saraf presinaps, tempat
toxin tersebut bekerja. Subunit A merupaan suatu zinc-dependent metalloprotease yang
Gejala klinis dapat berupa berupa trismus, iritable, kekakuan leher, susah menelan,
kekakuan dada dan perut (opistotonus), rasa sakit dan kecemasan yang hebat serta
kejang umum yang dapat terjadi dengan rangsangan ringan seperti sinar, suara dan
sentuhan dengan kesadaran yang tetap baik.
4. Tetanus neonatorum
Tetanus yang terjadi pada bayi baru lahir, disebabkan adanya infeksi tali pusat, Gejala
yang sering timbul adalah ketidakmampuan untuk menetek, kelemahan, irritable,
diikuti oleh kekakuan dan spasme.
Faktor resiko : riwayat imunisasi yang buruk (belum pernah mendapat imunisasi tetanus),
melahirkan dengan alat-alat yang tidak steril.
b. Hasil Pemeriksaan Fisik dan penunjang sederhana (Objective)
Pemeriksaan Fisik
Dapat ditemukan: kekakuan otot setempat, trismus sampai kejang yang hebat.
1. Pada tetanus lokal ditemukan kekakuan dan spasme yang menetap.
2. Pada tetanus sefalik ditemukan trismus, rhisus sardonikus dan disfungsi nervus
kranial.
3. Pada tetanus umum/generalisata adanya: trismus, kekakuan leher, kekakuan dada dan
perut (opisthotonus), fleksi-abduksi lengan serta ekstensi tungkai, kejang umum yang
dapat terjadi dengan rangsangan ringan seperti sinar, suara dan sentuhan dengan
kesadaran yang tetap baik.
4. Pada tetanus neonatorum ditemukan kekakuan dan spasme dan posisi tubuh klasik:
trismus, kekakuan pada otot punggung menyebabkan opisthotonus yang berat dengan
lordosis lumbal. Bayi mempertahankan ekstremitas atas fleksi pada siku dengan
tangan mendekap dada, pergelangan tangan fleksi, jari mengepal, ekstremitas bawah
hiperekstensi dengan dorsofleksi pada pergelangan dan fleksi jari-jari kaki.
c. Penegakan Diagnostik (Assessment)
Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan temuan klinis dan riwayat imunisasi.
Tingkat keparahan tetanus:
Kriteria Pattel Joag
1. Kriteria 1: rahang kaku, spasme terbatas, disfagia, dan kekakuan otot tulang belakang
2. Kriteria 2: Spasme, tanpa mempertimbangkan frekuensi maupun derajat keparahan
3. Kriteria 3: Masa inkubasi 7hari
4. Kriteria 4: waktu onset 48 jam
5. Kriteria 5: Peningkatan temperatur; rektal 100F ( > 400 C), atau aksila 99F ( 37,6
C).
Grading
1. Derajat 1 (kasus ringan), terdapat satu kriteria, biasanya Kriteria 1 atau 2 (tidak ada
kematian)
2. Derajat 2 (kasus sedang), terdapat 2 kriteria, biasanya Kriteria 1 dan 2. Biasanya masa
inkubasi lebih dari 7 hari dan onset lebih dari 48 jam (kematian 10%)
3. Derajat 3 (kasus berat), terdapat 3 Kriteria, biasanya masa inkubasi kurang dari 7 hari
atau onset kurang dari 48 jam (kematian 32%)
c. TT harus diberikan jika riwayat booster terakhir lebih dari 10 tahun jika riwayat
imunisasi tidak diketahui, TT dapat diberikan. d. Jika riwayat imunisasi terakhir
lebih dari 10 tahun yang lalu, maka tetanus imunoglobulin (TIg) harus diberikan.
Keparahan luka bukan faktor penentu pemberian TIg
2. Pengawasan, agar tidak ada hambatan fungsi respirasi.
3. Ruang Isolasi untuk menghindari rangsang luar seperti suara, cahaya-ruangan redup
dan tindakan terhadap penderita.
4. Diet cukup kalori dan protein 3500-4500 kalori per hari dengan 100-150 gr protein.
Bentuk makanan tergantung kemampuan membuka mulut dan menelan. Bila ada
trismus, makanan dapat diberikan per sonde atau parenteral.
5. Oksigen, pernapasan buatan dan trakeostomi bila perlu.
6. Antikonvulsan diberikan secara titrasi, sesuai kebutuhan dan respon klinis. Diazepam
atau Vankuronium 6-8 mg/hari. Bila penderita datang dalam keadaan kejang maka
diberikan diazepam dosis 0,5 mg/kgBB/kali i.v. perlahan-lahan dengan dosis
optimum 10mg/kali diulang setiap kali kejang. Kemudian diikuti pemberian
Diazepam per oral (sonde lambung) dengan dosis 0,5/kgBB/kali sehari diberikan 6
kali. Dosis maksimal diazepam 240 mg/hari. Bila masih kejang (tetanus yang sangat
berat), harus dilanjutkan dengan bantuan ventilasi mekanik, dosis diazepam dapat
ditingkatkan sampai 480 mg/hari dengan bantuan ventilasi mekanik, dengan atau
tanpa kurarisasi. Magnesium sulfat dapat pula dipertimbangkan digunakan bila ada
gangguan saraf otonom.
7. Anti Tetanus Serum (ATS) dapat digunakan, tetapi sebelumnya diperlukan skin tes
untuk hipersensitif. Dosis biasa 50.000 iu, diberikan IM diikuti dengan 50.000 unit
dengan infus IV lambat. Jika pembedahan eksisi luka memungkinkan, sebagian
antitoksin dapat disuntikkan di sekitar luka.
8. Eliminasi bakteri, penisilin adalah drug of choice: berikan prokain penisilin, 1,2 juta
unit IM atau IV setiap 6 jam selama 10 hari. Untuk pasien yang alergi penisilin dapat
diberikan Tetrasiklin, 500 mg PO atau IV setiap 6 jam selama 10 hari. Pemberian
antibiotik di atas dapat mengeradikasi Clostridium tetani tetapi tidak dapat
mempengaruhi proses neurologisnya.
9. Bila dijumpai adanya komplikasi pemberian antibiotika spektrum luas dapat
dilakukan. Tetrasiklin, Eritromisin dan Metronidazol dapat diberikan, terutama bila
penderita alergi penisilin. Tetrasiklin: 30-50 mg/kgBB/hari dalam 4 dosis.
Eritromisin: 50 mg/kgBB/hari dalam 4 dosis, selama 10 hari. Metronidazol loading
dose 15 mg/KgBB/jam selanjutnya 7,5 mg/KgBB tiap 6 jam.
10. Pemberian Tetanus Toksoid (TT) yang pertama, dilakukan bersamaan dengan
pemberian antitoksin tetapi pada sisi yang berbeda dengan alat suntik yang berbeda.
Pemberian dilakukan dengan dosis inisial 0,5 ml toksoid intramuskular diberikan 24
jam pertama.
11. Pemberian TT harus dilanjutkan sampai imunisasi dasar terhadap tetanus selesai.
12. Mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit.
Pada pasien neonatus
1. Eradikasi kuman
a. Tali pusat dibersihkan dengan alcohol 70% atau providon iodin.
b. Antibiotik
c. Penisilin prokain 50.000 IU/kg/kali IM, tiap 12 jam, atau
d. Ampisilin 50 mg/kg/dosis, atau
Usia gestasi (UG) < 37 minggu
- n< 28 hari tiap 12 jam
- > 28 hari tiap 8 jam
UG > 37 minggu
- < 7 hari tiap 12 jam
- > 7 hari tiap 8 jam
e. Metronidazole loading dose 15mg/kg/dosis, selanjutnya 7,5mg/kg/dosis, atau
f. Interval
Usia < 28 hari tiap 12 jam
Usia > 28 hari tiap 8 jam
g. Pemberian dosis rumatan
UG < 37 minggu 24 jam setelah loading dose
UG > 37 minggu 12 jam setelah loading dose
h. Eritromisin 15-25 mg/kg/dosis tiap 8 jam
Bila ada sepsis/pneumonia dapat ditambahkan sefotaksim 50 mg/kg/dosis
UG < 30 minggu
- <28 hari tiap 12 jam
- >28 hari tiap 8 jam
UG > 30 minggu
- < 14 hari tiap 12 jam
- > 14 hari tiap 8 jam
2. Netralisasi toksin
a. ATS 50.000 100.000 IU, setengah dosis IM, setengahnya IV, dilakukan uji kulit
lebih dahulu.
b. Bila tersedia dapat diberikan HTIG 3000-6000 IU IM
3. Memberikan pelemas otot untuk mengatasi spasme otot
Diazepam 20-40 mg/kgBB/hari, drip, dilarutkan dalam larutan dekstrose 5%
menggunakan syringe pump. Obat dibagi menjadi empat sediaan untuk menghindari efek
pengendapan obat diazepam. Hati-hati terjadi henti napas dalam pemberiannya. Bila
diazepam telah mencapai dosis maksimal tetapi spasme tetap tidak teratasi dianjurkan
pemberian pelumpuh otot pankuronium 0,05-0,1 mg/kgBB/kali dang penggunaan
ventilator mekanik.
4. Terapi suportif
a. Pemberian oksigen
b. Pembersihan jalan nafas
c. Keseimbangan cairan, elektrolit dan kalori
5. Imunisasi
Diberikan imunisasi Tetanus Toksoid sesuai dengan jadwal imunisasi diberikan pada saat
penderita pulang.
Sebelum memasukkan ATS ke tubuh pasien, harus dilakukan uji sensitivitas terlebih dahulu.
Terdapat dua cara untuk melakukan uji sensitivitas, dengan tes kulit dan tes mata.
a. Tes kulit. Sering dilakukan (lebih disukai dari pada tes mata).
Caranya yaitu 0,1 cc serum diencerkan dengan akuades atau cairan NaC1 0,9 % menjadi
1 cc. Suntikkan 0,1 cc dari larutan yang telah diencerkan pada lengan bawah sebelah
voler secara intrakutan, tunggu selama 15 menit. Reaksi positif (penderita hipersensitif
terhadap serum) bila terjadi infiltrat / indurasi dengan diameter lebih besar dari 10 mm (1
cm), yang dapat disertai rasa panas dan gatal.
b. Tes mata.
Caranya yaitu dengan meneteskan 1 tetes cairan serum pada mata, kemudian ditunggu
selama 15 menit. Reaksi positif bila mata merah dan bengkak.
Bila hasil uji sensitivitas positif, maka pemberian ATS harus dilakukan dengan cara Bedreska
dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1. 0,1 cc serum + 0,9 cc akuades atau NaC1 0,9 % disuntikkan secara subkutan, ditunggu
selama 30 menit.
2. Kemudian suntikkan 0,5 cc serum + 0,5 cc serum +0,5 cc akuades atau NaC1 0,9 %
secara subkutan, tunggulah 30 menit. Perhatikan reaksi. Bila tampak tanda tanda
hipersensitivitas, hentikan pemberian, dan berikan antihistamin serta kortikosteroid. Rawat
penderita sesuai keadaannya.
3. Bila tidak ada reaksi berarti setelah 30 menit sisa serum dapat disuntikkan secara
intramuscular.
8. Pencegahan
Pecegahan tetanus dapat dilakukan dengan pemberian imunisasi DPT. Imunisasi DPT
juga termasuk komitmen global dalam rangka eliminasi tetanus. Imunisasi DPT diberikan 3
kali secara serial sebagai imunisasi dasar pada usia 2, 4, dan 6 bulan, dilanjutkan dengan
imunisasi ulangan 1 kali (interval 1 tahun setelah DPT3). Pada usia 5 tahun, diberikan
ulangan lagi (sebelum masuk sekolah) dan pada usia 12 tahun berupa imunisasi Td. Pada
wanita, imunisasi TT perlu diberikan 1 kali sebelum menikah dan 1 kali pada ibu hamil, yang
bertujuan untuk mencegah tetanus neonatorum.
Apabila imunisasi DPT terlambat diberikan, berapa pun interval keterlambatannya,
jangan mengulang dari awal, tetapi lanjutkan imunisasi sesuai jadwal. Bila anak belum
pernah diimunisasi dasar pada usia <12 bulan, lakukan imunisasi sesuai imunisasi dasar baik
jumlah maupun intervalnya. Bila pemberian DPT ke-4 sebelum usia 4 tahun, pemberian ke-5
paling cepat diberikan 6 bulan sesudahnya. Bila pemberian ke-4 setelah umur 4 tahun,
pemberian ke-5 tidak diperlukan lagi.
Referensi :
1. Farrar J, Hotez PJ, Junghanss T, Kang G, Lalloo D, White NJ. 2014. Mansons Tropical
Diseases, Twenty-Third Edition. Elsevier, Philadelphia.
2. Murray PR, Rosenthal KS, Pfaller MA. 2013. Medical Microbiology, Seventh Edition.
Elsevier, Philadelphia.
3. Brooks GF, Caroll KC, Butel JS, Morse, SA, Mietzner, TA. 2013. Jawetz, Melnick
&Adelbergs Medical Microbiology International Edition, Twenty Sixth. ed. McGrawHill Companies, New York.
4. Dirjen Bina Upaya Kesehatan. Kemenkes RI. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di
Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer, Edisi Revisi. 2014.
Dengue
1. Etiologi
Virus dengue merupakan angggota dari genus flavivirus, family flaviviridae, dengan
single-stranded enveloped RNA virus. Memiliki diameter 30 nm. Virus ini memiliki 4
serotipe yang berbeda namun berhubungan sangat dekat antara satu dan yang lainya
(DENV1-4). Virus ini memiliki antigen yang bereaksi silang terhadap anggota virus yang
lain, seperti demam kuning, Japanese encephalitis, dan West-Nile fever. Dengue merupakan
virus yang endemic di daerah tropis dan subtropis. Peningkatan transmisi virus dengue
biasanya meningkat pada musim hujan. Outbreak muncul paling sering di area dengan
serotipe dengue yang berbeda secara bersamaan endemic atau secara berurutan epidemic.
Pada area endemis, virus dengue muncul paling sering pada anak-anak usia 2-15 tahun.
Kasus dengue yang parah biasanya berkaitan dengan infeksi dengue sekunder atau infeksi
primer pada bayi kurang dari 1 tahun yang lahir dari ibu yang meiiliki imunitas terhadap
dengue.
2. Patogenesis
Virus dengue ditransmisikan melalui gigitan nyamuk Aedes, yang merupakan vector
utama virus ini. Nyamuk betina yang menggigit menularkan virus dengue ke manusia. Kasus
dengue yang parah berkaitan dengan infeksi dengue sekunder, pada saat jumlah virus di
dalam tubuh menurun. Hal ini terjadi karena progress penyakit dengue yang parah berkaitan
dengan ADE (Antibody dependent immune enhancement). Beberapa penelitian menunjukkan
infeksi sekunder dengan serotipe DENV-2 pada umumnya menyebabkan kasus dengue yang
parah. Selama infeksi sekunder dengan serotipe yang berbeda, antibody yang telah ada dari
infeksi dengue sebelumnya gagal menetralisasi virus, akan tetapi semakin meningkatkan
uptake virus dan multiplikasi di dalam sel Mononuklear atau sel dengan Fcg receptor lainnya.
Beberapa penelitian menunjukkan antibody yang bereaksi silang terhadap precursor
membrane Protein (prM) membentuk komponen mayor ADE, bahkan titer antibody anti-prM
yang tinggi gagal menetralisasi virus.
Imunitas seluler juga berperan dalam immunopathogenesis dengue yang parah. Penelitian
menunjukkan bahwa pada infeksi sekunder terbentuk sel T dengan aviditas rendah untuk
serotipe yang sedang menginfeksi tersebut, namun secara bersamaan juga terjadi sensitisasi
sel T dengan aviditas tinggi untuk serotipe yang menginfeksi sebelumya. Aktivasi sel T
memori CD4+ dan CD8+ inilah yang kemudian menyebabkan proliferasi cepat dan
pengeluaran sitokin pro-inflamasi seperti TNF-a dan IFN-g. Respon ini terutama berkaitan
dengan protein Non-structural 3 (NS3 protein). Proses ini menunjukkan bahwa sel T dengan
aviditas rendah yang spesifik dengan serotipe infeksi sekunder gagal mengontrol infeksi
virus, sebagai gantinya sel yang memproduksi sitokin mendominasi respon dengan sekresi
sitokin pro-inflamasi yang berlebihan menyebabkan kebocoran plasma.
Selain respin imun adaptif, komplemen juga berperan dalam progresifitas penyakit.
Penelitian menunjukkan bahwa anibodi yang bereaksi silang tersebut dapat mengaktivasi
system komplemen pada permukaan sel endotel. Pelepasan C3a dan C5a anafilatoksin
berhubungan secara temporer dengan onset dari kebocoran plasma dan shock. Tingginya
level non-structural protein NS1 berkaitan dengan keparahan penyakit. Penelitian di Thailand
menunjukkan bahwa NS1 dapat mengaktifkan komplemen yang mengarah kepada
pembentukan anafilatoksin C5a dan kompleks terminal SC5b-9. Antigen NS1 merupakan
protein glicocalyx yang disekresiken oleh sel yang terinfeksi oleh virus dengue dan berperan
penting dalam replikasi virus. NS1 secara selektif dapat berikatan pada heparan sulfat di
lapisan glicocalyx pada permukaan sel endotel mikrovaskuler.
Pembentukan kompleks imun dan aktivasi komplemen bergantung antibody
menyebabkan kebocoran vaskuler dan kerusakan endotel. Kerusakan microvascular terdiri
dari pembengkakan endotel, edema perivaskuler, dan infiltrasi sel2 mononuklear.
Ekstravasasi darah secara extensive tanpa reaksi inflamasi dapat dilihat dari lesi ptechiae.
Perubahan secara signifikan dapat ditemukan pada berbagai system organ :
1.
Perubahan vascular yang meliputi vasodilatasi, kongesti, hemoragi perivasuler,
dan edema padda dinding arteri.
2.
Proliferasi sel retikuloendotel dengan peningkatan aktifitas fagositik.
3.
Jaringan limfoid menunjukan peningkatan aktifitas system B limfosit dengan
proliferasi sel plasma dan sel limfoblastoid.
4.
Di hepar juga terjadi nekrosis fokal sel hepar dan kupffer.
5.
Antigen virus dengue dapat ditemui terutama pada sel limfa, timus, limfonodi,
pada sel kupffer, dan pada sel-sel dinding sinusoid hepar, serta sel-sel dinding alveolar
pada paru.
Abnormalitas hemostasis pada penderita dengue disebabkan oleh hal berikut :
1.
Vaskulopati
2.
Trombopati, dengan gangguan fungsi platelet dengan trombositopenia sedang
hingga parah
3.
Koagulopati dengan aktivasi system koagulasi dan fibrinolysis, serta pada tahap
yang parah terjadi Koagulasi Intravaskuler Diseminata.
4.
Perubahan sumsum tulang, meliputi depresi dari semua elemen sumsum tulang,
dengan penghentian maturasi megakariosit selama fase awal penyakit.
3. Manifestasi Klinis dan Diagnosis
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
1. Demam tinggi, mendadak, terus menerus selama 2 7 hari.
2. Manifestasi perdarahan, seperti: bintik-bintik merah di kulit, mimisan, gusi berdarah,
muntah berdarah, atau buang air besar berdarah.
3. Gejala nyeri kepala, mialgia, artralgia, nyeri retroorbital.
4. Gejala gastrointestinal, seperti: mual, muntah, nyeri perut (biasanya di ulu hati atau di
bawah tulang iga) 5. Kadang disertai juga dengan gejala lokal, seperti: nyeri menelan,
batuk, pilek.
5. Pada kondisi syok, anak merasa lemah, gelisah, atau mengalami penurunan kesadaran.
6. Pada bayi, demam yang tinggi dapat menimbulkan kejang.
Faktor Risiko
1. Sanitasi lingkungan yang kurang baik, misalnya: timbunan sampah, timbunan barang
bekas, genangan air yang seringkali disertai di tempat tinggal pasien sehari-hari.
2. Adanya jentik nyamuk Aedes aegypti pada genangan air di tempat tinggal pasien seharihari.
3. Adanya penderita demam berdarah dengue (DBD) di sekitar pasien.
Hasil Pemeriksaan Fisik dan penunjang sederhana (Objective)
Pemeriksaan Fisik
Tanda patognomonik untuk demam dengue
1. Suhu > 37,5 derajat celcius
2. Ptekie, ekimosis, purpura
3. Perdarahan mukosa
4. Rumple Leed (+)
Tanda Patognomonis untuk demam berdarah dengue
1. Suhu > 37,5 derajat celcius
2. Ptekie, ekimosis, purpura
3. Perdarahan mukosa
4. Rumple Leed (+)
5. Hepatomegali
6. Splenomegali
7. Untuk mengetahui terjadi kebocoran plasma, diperiksa tanda-tanda efusi pleura dan asites.
8. Hematemesis atau melena
Pemeriksaan Penunjang :
1. Darah perifer lengkap, yang menunjukkan:
a. Trombositopenia ( 100.000/L).
b. Kebocoran plasma yang ditandai dengan:
peningkatan hematokrit (Ht) 20% dari nilai standar data populasi menurut umur
Apabila ditemukan gejala demam ditambah dengan adanya dua atau lebih tanda dan gejala
lain, diagnosis klinis demam dengue dapat ditegakkan.
Diagnosis Klinis Demam Berdarah Dengue
1. Demam 27 hari yang timbul mendadak, tinggi, terus-menerus (kontinua)
2. Adanya manifestasi perdarahan baik yang spontan seperti petekie, purpura, ekimosis,
epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis dan atau melena; maupun berupa uji Tourniquette
yang positif
3. Sakit kepala, mialgia, artralgia, nyeri retroorbital
4. Adanya kasus demam berdarah dengue baik di lingkungan sekolah, rumah atau di sekitar
rumah
a. Hepatomegali
b. Adanya kebocoran plasma yang ditandai dengan salah satu:
Peningkatan nilai hematokrit, >20% dari pemeriksaan awal atau dari data populasi
menurut umur
Ditemukan adanya efusi pleura, asites
Hipoalbuminemia, hipoproteinemia
c. Trombositopenia <100.000/mm3
Adanya demam seperti di atas disertai dengan 2 atau lebih manifestasi klinis, ditambah bukti
perembesan plasma dan trombositopenia cukup untuk menegakkan diagnosis Demam
Berdarah Dengue.
Tanda bahaya (warning signs) untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya syok pada
penderita Demam Berdarah Dengue.
Klinis
Laboratoriu
m
Confirmed Dengue, apabila diagnosis klinis diperkuat dengan deteksi genome virus Dengue
dengan pemeriksaan RT-PCR, antigen dengue pada pemeriksaan NS1, atau apabila
didapatkan serokonversi pemeriksaan IgG dan IgM (dari negatif menjadi positif) pada
pemeriksaan serologi berpasangan.
Isolasi virus Dengue memberi nilai yang sangat kuat dalam konfirmasi diagnosis klinis,
namun karena memerlukan teknologi yang canggih dan prosedur yang rumit pemeriksaan ini
bukan merupakan pemeriksaan yang rutin dilakukan.
Diagnosis Banding
1. Demam karena infeksi virus ( influenza , chikungunya, dan lain-lain)
2. Idiopathic thrombocytopenic purpura
3. Demam tifoid
Komplikasi
Dengue Shock Syndrome (DSS), ensefalopati, gagal ginjal, gagal hati
4. Tata Laksana
Penatalaksanaan komprehensif (Plan)
Penatalaksanaan pada Pasien Dewasa
1. Terapi simptomatik dengan analgetik antipiretik (Parasetamol 3 x 500-1000 mg).
2. Pemeliharaan volume cairan sirkulasi
- Alur penanganan pasien dengan demam dengue/demam berdarah dengue, yaitu:
pemeriksaan penunjang Lanjutan
- Pemeriksaan Kadar Trombosit dan Hematokrit secara serial
Penatalaksanaan pada Pasien Anak
Demam berdarah dengue (DBD) tanpa syok
1. Bila anak dapat minum
a. Berikan anak banyak minum
Dosis larutan per oral: 1 2 liter/hari atau 1 sendok makan tiap 5 menit.
Jenis larutan per oral: air putih, teh manis, oralit, jus buah, air sirup, atau susu.
b. Berikan cairan intravena (infus) sesuai dengan kebutuhan untuk dehidrasi sedang.
Berikan hanya larutan kristaloid isotonik, seperti Ringer Laktat (RL) atau Ringer
Asetat (RA), dengan dosis sesuai berat badan sebagai berikut:
Berat badan < 15 kg : 7 ml/kgBB/jam Berat badan 15 40 kg : 5
ml/kgBB/jam
Berat badan > 40 kg : 3 ml/kgBB/jam
2. Bila anak tidak dapat minum, berikan cairan infus kristaloid isotonik sesuai kebutuhan
untuk dehidrasi sedang sesuai dengan dosis yang telah dijelaskan di atas.
3. Lakukan pemantauan: tanda vital dan diuresis setiap jam, laboratorium (DPL) per 4-6
jam.
a. Bila terjadi penurunan hematokrit dan perbaikan klinis, turunkan jumlah cairan secara
bertahap sampai keadaan klinis stabil.
b. Bila terjadi perburukan klinis, lakukan penatalaksanaan DBD dengan syok.
5. Kriteria rujukan
a. DBD dengan syok (terdapat kegagalan sirkulasi).
b. Bila anak tidak dapat minum dengan adekuat, asupan sulit, walaupun tidak ada kegagalan
sirkulasi.
c. Bila keluarga tidak mampu melakukan perawatan di rumah dengan adekuat, walaupun
DBD tanpa syok..
6. Pencegahan
Penjelasan mengenai faktor risiko dan cara-cara pencegahan yang berkaitan dengan
perbaikan higiene personal, perbaikan sanitasi lingkungan, terutama metode 4M plus
seminggu sekali, yang terdiri atas:
a. Menguras wadah air, seperti bak mandi, tempayan, ember, vas bunga, tempat minum
burung, dan penampung air kulkas agar telur dan jentik Aedes aegypti mati.
b. Menutup rapat semua wadah air agar nyamuk Aedes aegypti tidak dapat masuk dan
bertelur.
c. Mengubur atau memusnahkan semua barang bekas yang dapat menampung air hujan agar
tidak menjadi sarang dan tempat bertelur nyamuk Aedes aegypti.
d. Memantau semua wadah air yang dapat menjadi tempat nyamuk Aedes aegypti
berkembang biak.
e. Tidak menggantung baju, menghindari gigitan nyamuk, membubuhkan bubuk abate, dan
memelihara ikan.
Referensi :
1. Farrar J, Hotez PJ, Junghanss T, Kang G, Lalloo D, White NJ. 2014. Mansons Tropical
Diseases, Twenty-Third Edition. Elsevier, Philadelphia.
2. Murray PR, Rosenthal KS, Pfaller MA. 2013. Medical Microbiology, Seventh Edition.
Elsevier, Philadelphia.
3. Brooks GF, Caroll KC, Butel JS, Morse, SA, Mietzner, TA. 2013. Jawetz, Melnick
&Adelbergs Medical Microbiology International Edition, Twenty Sixth. ed. McGrawHill Companies, New York.
4. Dirjen Bina Upaya Kesehatan. Kemenkes RI. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di
Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer, Edisi Revisi. 2014.