Sie sind auf Seite 1von 6

BIMBINGAN KOAS:

MEDIKOLEGAL

Pembimbing:
dr. R. Soegandhi, Sp.F(K)

Penyusun 1:
Thiea Arantxa (030.09.255)
Penyusun 2:
Febrian Tan Jaya (030.09.084)
Koasisten lainnya:
P. Gusti Ratih (030.09.179)
Muhamad Rosaldy (030.09.138)
Noviana Sie (030.09.173)
Teresa Shinta P. (030.09.252)
Neneng Maya (030.09.169)
Nanda Anessa Minanti (030.09.168)
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal
Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti
Periode 24 Maret 2014 26 April 2014

MEDIKOLEGAL
Etikomedikolegal di bidang kedokteran forensik dipandang dari sudut hukum pidana
dan hukum kedokteran. Dalam sudut pandang hukum pidana, penyidik yang menangani
kasus harus punya kompetensi dari tingkat atas maupun bawah berdasarkan UU No. 2 tahun
2002.
Dasar hukum dalam operasional masing-masing diatur dalam KUHAP UU No. 8
tahun 1981, meliputi diantaranya:
1. Kasus hidup maupun mati berorientasi pada pasal 133 KUHAP tentang permintaan
keterangan ahli secara tertulis, pengiriman korban dan barang bukti, baik yang mati
maupun hidup. Proses operasional yang harus diperhatikan terutama untuk kasus mati
karena untuk kasus hidup, pasien dapat datang sendiri dengan pelaporan ke kepolisian
yang menyusul kemudian.
- Pasal 133 KUHAP tentang pengiriman untuk korban mati harus berlabel yang
memuat identitas mayat, disegel, dan diberi cap jabatan pada ibu jari kaki atau
-

bagian lain di badan mayat, sedangkan untuk kasus hidup tidak perlu.
Penjelasan pasal 133 KUHAP menerangkan bahwa keterangan yang diberikan ahli
kedokteran kehakiman disebut keterangan ahli, sedangkan keterangan yang

diberikan oleh dokter bukan ahli kedokteran kehakiman disebut keterangan.


Pasal 134 KUHAP tentang informed consent yang hidup/ mati dipandang dari
sudut hukum pidana. Yang wajib memberikan penjelasan mengenai tujuan dan
maksud kepada keluarga korban adalah penyidik yang berwenang. Dalam pasal
134 KUHAP juga disebutkan bahwa apabila dalam 2 hari tidak ada tanggapan
apapun dari keluarga atau pihak yang perlu diberitahu tidak diketemukan, pasal

133 KUHAP ayat 3 dapat dijalankan (segera diotopsi dan dikubur).


Pasal 136 KUHAP mengatur tentang biaya kasus hidup/ mati yang ditanggung

oleh Negara demi kepentingan penyidikan perkara pidana.


2. Pada kasus korban mati yang telah dimakamkan memiliki dasar hukum dilakukannya
exhumasi mengacu terhadap pasal 135 KUHAP.
cSurat keterangan medik dan surat keterangan mati untuk penyidikan berdasarkan
KUHAP UU No. 8 tahun 1981 tentang permintaan keterangan ahli dan keterangan medis.
Terkait kerahasiaan hukum dan pidana berdasarkan pasal 170 KUHAP menjelaskan
bahwa karena pekerjaan, harkat martabat atau jabatan diwajibkan menyimpan rahasia, dapat

minta dibebaskan dari kewajiban untuk memberikan keterangan sebagai saksi, yaitu tentang
hal yang dipercayakan. Semua keputusan ditentukan oleh Hakim berdasarkan pertimbangan
alasan yang diberikan sebelumnya.
Lembaran Negara No. 350 tahun 1937 mengatur mengenai visum et repertum.
Staatsblad 1937 No. 350 Pasal 1 menyatakan bahwa: vissum et repertum yang dibuat oleh
dokter dokter atas dasar sumpah jabatan atau sumpah khusus mempunyai daya bukti dalam
perkara pidana.
Legalitas prinsip yang harus diperhatikan diantaranya adalah bahwa penyidik dalam
menangani kasus korban mati harus menyaksikan, melihat, mencatat, dan memotret berbagai
kasus yang ditangani penyidik (harus ikut ke dalam ruang periksa/ otopsi).
Secara etika, atas dasar etika umum dan hukum terkait informasi dan komunikasi, tim
medis yang mencari informasi harus berdasarkan etika umum, etika hukum dan etika profesi
medis yang meliputi, sbb:
1.
2.
3.
4.

Keluarga pasien
Saksi
Wartawan dalam dan luar
Pihak penyidik
Untuk melakukan serah terima barang bukti diperlukan berita acara pidana (BAP)

terutama mencakup: waktu (tanggal dan jam), identitas penyidik, identitas penerima, dan
identitas barang bukti yang diserahkan. BAP diserahkan dari penyidik ke tim medis. Identitas
barang/ orang yang diserahkan ada pada lampiran dan harus ditandatangani oleh penyidik dan
tim medis.
Serah terima yang kedua adalah penyerahan dari tim medis kepada tim penyidik yang
semula menyerahkan barang bukti. Penyerahan jenazah disertai surat kematian formulir A,
untuk menerangkan korban meninggal, dan sebagai informasi dan pemakaman yang kadangkadang menjadi alat bukti hukum.
Informasi kematian diserahkan kepada RT, RW atau pihak kecamatan untuk
pemakaman dan untuk pembuatan akte kematian. Informasi kematian ke mass media harus
berupa fotokopi surat kematian (tidak diperbolehkan menyebarkan berita kematian tanpa
surat bukti kematian yang sah). Informasi kematian harus objektif dan dilampirkan barangbarang milik korban saat diperiksa, disertai laporan medis sementara setelah pemeriksaan
selesai dilakukan.

Laporan medis sementara untuk dilaporkan kepada polisi tercantum dalam BAP yang
dibuat oleh penyidik kepada keluarga, sehingga tim medis menyerahkan kepada penyidik,
kemudian penyidik menyerahkan kepada keluarga.
Saksi ahli kedokteran forensik adalah saksi ahli yang betul-betul memeriksa korban/
barang bukti/ pasien. Bila bukan demikian maka disebut saksi biasa. Saksi ahli memiliki dua
dasar hukum, yaitu:
-

Pasal 120 KUHAP yang berarti di depan penyidik, saksi ahli tidak disumpah,
namun berpegangan pada sumpah jabatan dan keilmuannya. Yang diminta oleh

penyidik dijawab oleh dokter dan dibuatkan berita acaranya.


Pasal 186 KUHAP yang berarti di depan pengadilan, saksi ahli disumpah oleh
hakim.

Pelayanan kedokteran forensik dalam sudut pandang hukum kesehatan:


Yang menjadi alat bukti pidana dalam bentuk surat ialah:
1.
2.
3.
4.

BAP
Surat kematian
Rekam medik
Visum et repertum

Secara operasional, dokter yang menangani harus memiliki kompetensi sesuai keahliannya
masing-masing. Dokter yang kompeten adalah dokter dari hasil pendidikan sampai lulus dan
harus memiliki ijazah. Harus memiliki SIP/ SIO (berdasarkan standar pelayanan kedokteran
forensik dan protab dan pembuatan harus urut dan sistematis) dan surat izin tugas (dari
dekan, dll).
Semua permintaan harus berdasarkan indikasi medik, sedangkan di forensik harus
berdasarkan indikasi medis dan informed consent dari keluarga oleh penyidik.
Indikasi medis meliputi:
-

Identifikasi
Berupa pengambilan darah, penentuan tanda-tanda intravital untuk pemeriksaan
PA atau toksikologi, dan penentuan saat kematian berdasarkan pemeriksaan

tanatologi atau parasitologi.


Odontologi
Antropologi untuk identifikasi berupa penentuan sidik jari dan labioskopi

(pencetakan bibir)
DNA bila diperlukan, dapat diperiksa melalui sampel jaringan, tulang, sperma,
darah, dan air liur. Misal pada kasus gigitan untuk membedakan gigitan manusia
dan hewan, bila gigitan masih baru dapat diperiksakan air liur pada daerah gigitan
tersebut.

Kerahasiaan medis diatur berdasarkan:


1.
2.
3.
4.

Sumpah dokter (PP 10 tahun 1966)


UU Praktek Kedokteran
UU Kesehatan
UU Rumah Sakit

Hasil pemeriksaan medik ditulis di rekam medik dan dirahasiakan. Standarnya harus
memiliki informed consent dari aspek medis berdasarkan Permenkes No 585/ MenKes/ Per/
IX/ 1989 tentang persetujuan tindakan medis.
Untuk pasien hidup, informed consent-nya dibuat oleh tim medis dan keluarga
korban, tanpa adanya polisi. Korban jenazah informed consent-nya dibuat oleh penyidik dan
keluarga korban.
Risiko pelayanan medik:
-

Resiko penyakit, contoh: tifoid yang dapat menyebabkan perforasi


Risiko korban, misalnya datang dalam keadaan yang sudah berat
Risiko tindakan

Hasil pemeriksaan medik korban mati maupun hidup berupa:


-

Rekam medis
Surat: Visum et repertum untuk korban mati dan Surat keterangan medis untuk

korban hidup
Terdapat berita acara untuk korban mati, sedangkan untuk korban hidup tidak ada.

Sengketa medik terhadap pasien yang melibatkan dokter dan perawat sebagai
tersangka, memiliki saksi ahli dari tenaga medik itu sendiri. Saksi ahli harus independen,
yaitu mandiri dan tidak terpengaruh.

Audit di bidang kesehatan, meliputi:


1.
2.
3.
4.
5.

Audit administratif
Audit manajerial (harus sesuai standar dan protab)
Audit medik
Audit perawat, oleh perawat, bidan, dan laboratorium
Audit hukum dari hukum kesehatan

Etika dapat berupa etika umum dan etika profesi. Etika umum menyangkut HAM dan
berkaitan dengan etika adat/ agama.
Misalnya pada kasus Islam, leher dapat dibuka, sedangkan pada Kristiani bila tidak ada
indikasi tidak perlu dibuka, dengan alasan pemakamannya menggunakan pakaian lengkap.
Pada prinsipnya mammae kanan dan kiri harus berupa 1 kesatuan (tidak boleh dipisah).
Pengambilan testis secara etika tidak boleh dilakukan dengan membuka skrotum tapi
berdasarkan sistem alur testis dari rongga perut ke kanalis inguinalis.
Rujukan/ konsultasi ahli harus dilihat oleh dokter forensik.
Pasien hidup dapat dilakukan tindakan invasif, tindakan oleh tenaga kesehatan lain
tidak berwenang atas dasar perintah dokter lain yang berwenang, harus tertulis dan harus
berdasarkan protap.
Pembuatan visum harus ditandatangani dokter yang menangani dan dokter forensik
mengetahui dan menyetujui (tidak dapat diwakilkan). Saksi ahli independen harus berasal
dari audit medik. Kompetensi medik berbeda-beda sesuai cabang ilmu masing-masing, dan
saksi ahli harus sesuai dengan bidangnya.
Jadi, Hukum yang mengatur aspek medikolegal dalam pelayanan forensik dapat
berdasar hukum pidana dan hukum kesehatan, serta komunikasi.
Dapus:
1. Bagian Kedokteran Forensik FKUI. Peraturan Perundang-Undangan Bidang
Kedokteran. Cetakan kedua. Jakarta:FKUI. 1994: 11-27.
2. Nurhantari Y, Suhartini, Widagdo H., dkk. Panduan Belajar Ilmu Kedokteran Forensik
Dan Medikolegal. Cetakan ketujuh. Yogyakarta: FKUGM. 2012.

Das könnte Ihnen auch gefallen