Sie sind auf Seite 1von 19

TUGAS HUKUM INTERNASIONAL

MASUKNYA PENGUNGSI ROHINGYA KE ACEH

Di susun oleh :
Achmad Julianto 568
Aditya Nugraha 569
Ady Ruswanto 570
Aji Arisandi 571
Akhsan Nizar 572
Alberto Vincensio GL 573
Andi Ahmad Akbar 574
Andi M Irwanto Mulki 575
Andriana 577

BADAN PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA HUKUM DAN HAM

AKADEMI IMIGRASI

2010
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur bagi Tuhan atas segala berkat dan kasih
sayang serta karunia dan segala kemudahan yang diberikan-Nya kepada
penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada
waktunya.

Makalah yang berjudul “Masuknya Pengungsi Rohingya ke


Aceh” ini disusun sebagai salah satu syarat yang telah ditetapkan oleh
Dosen Mata Kuliah Pengantar Hukum Internasional bagi Taruna Akademi
Imigrasi Tingkat II untuk dapat mengikuti Ujian Akhir Semester Mata
Kuliah Pengantar Hukum Internasional.

Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan rasa hormat


dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dosen Mata Kuliah
Pengantar Hukum Internasional yang telah membimbing dan
mengarahkan penulis dalam proses penyelesaian makalah ini. Tak lupa
pula ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
penulis dalam menyelesaikan makalah ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh


dari sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun dari
pembaca sangat diharapkan.

Akhir kata, penulis berharap semoga kiranya makalah ini dapat


bermanfaat bagi pihak-pihak yang berkepentingan, terutama bagi seluruh
Taruna Akademi Imigrasi kiranya dapat bermanfaat dalam proses
pembelajaran dan memajukan pendidikan di Akademi Imigrasi,

Depok, Maret 2010

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Berdasarkan Konvensi 1951 tentang Status Pengungsi, yang
dimaksud dengan pengungsi adalah orang-orang yang berada di luar
negara kebangsaannya atau tempat tinggalnya sehari-hari,
dikarenakan ketakutan beralasan akan mendapat penganiayaan
dikarenakan ras, agama, kebangsaan, keanggotaan dalam kelompok
sosial tertentu atau pendapat politik tertentu, berada diluar negara
kebangsaannya, yang tidak dapat, atau dikarenakan ketakutannya itu,
tidak mau meminta perlindungan dari negaranya itu.
Pengungsi yang melarikan diri dari negaranya karena alasan
perang atau penganiayaan berada dalam keadaan yang sangat
rentan. Mereka tidak mendapat perlindungan dari negaranya sendiri –
bahkan seringkali pemerintahannya sendiri mengancam akan
menganiaya mereka. Jika negara lain tidak mau menerima mereka,
dan tidak menolong mereka setelah mereka masuk, maka itu sama
dengan memberi keputusan mati – atau membiarkan mereka hidup
sengsara di dalam bayangan kehidupan, tanpa sarana hidup dan
tanpa adanya hak bagi mereka.
Merekapun tidak sama dengan orang-orang yang terpaksa
mengungsi karena bencana banjir, gempa bumi dan bencana alam
lainnya, karena biasanya masih bersimpati dengan mereka. Oleh
karena itu, betapapun besar kebutuhan mereka dalam hal pangan,
papan dan perawatan kesehatan, korban bencana alam tidak dapat
digolongkan sebagai pengungsi karena mereka tidak membutuhkan
suaka. Pengungsi terpaksa pindah untuk menyelamatkan jiwanya,
atau untuk mempertahankan kebebasannya.
Tak ada satu pun warga di dunia ini yang ingin menjadi
pencari suaka ataupun pengungsi. Sama halnya dengan warga
Rohingya. Sayangnya, negeri tempat mereka hidup tak lagi ramah
untuk mereka. Bukan hanya saat ini, sudah berpuluh tahun etnis
minoritas Rohingya hidup dalam kedukaan di Myanmar.
Tak ada data pasti tentang persentase Muslim di Myanmar.
Dan, Rohingya bukan satu-satunya etnis Muslim di Myanmar. Di
samping etnis Rohingya, ada pula etnis Indian Muslim yang
kebanyakan tinggal di Rangoon (berubah menjadi Yangoon pada
tahun 1989). Kemudian, etnis Panthay, etnis Muslim keturunan Cina
yang bermigrasi dari Cina barat laut (Muslim Hui). Lalu, ada etnis
Muslim keturunan Melayu yang tinggal di Kawthaung dan sebagian
kecil bermukim di pulau-pulau sekitar Laut Andaman dan kerap
disebut sebagai moken (atau sea gypsy/orang laut).
Etnis Rohingya mendiami sisi utara negara bagian Rakhine
(sebelumnya bernama Arakan) di Myanmar bagian barat. Konsentrasi
mereka ada di kota-kota di sisi utara Rakhine, yang masing-masing
adalah di Maungdaw, Buthidaung, Rathedaung, Akyab, Sandway,
Tongo, Shokepro, Rashong Island, dan Kyauktaw. Dari sisi geografis,
demografis, dan bahasa, mereka memiliki kedekatan dengan
Bangladesh (Bengal) yang memang dikenal sebagai negeri Muslim.
Status etnis Rohingya di Myanmar saat ini adalah stateless
persons alias orang tanpa kewarganegaraan. Mereka tak pernah
diakui Pemerintah Myanmar sebagai salah satu dari 137 etnis yang
diakui di Myanmar.
Etnis Rohingya adalah orang-orang tanpa kewarganegaraan
yang mendiami kawasan perbatasan antara Myanmar-Bangladesh. Di
Myanmar mereka mengalami penganiayaan dan siksaan yang brutal
dari rezim junta militer. Inilah yang memaksa mereka menjadi manusia
perahu yang berlayar dari satu negara ke negara lain, terutama
Thailand, Malaysia dan Indonesia, untuk mencari tempat penghidupan
yang lebih baik. Selain Myanmar, Thailand adalah negeri yang paling
tidak bersahabat dengan orang Rohingya. Pemerintah negeri yang
dulu bernama Siam itu selalu bertindak keras dan kasar bahkan
mengarah ke pembantaian.
Muslim Rohingya adalah keturunan Bengali, Panthay dan
campuran Burma-Cina. Sejak abad ke-7 Masehi mereka telah
mendiami kawasan Arakan, sebuah wilayah seluas 14.200 mil persegi
yang terletak di Barat Myanmar. Walau tinggal di kawasan yang
masuk wilayah Myanmar, namun junta militer tidak mengakui
kewarganegaraan mereka. Oleh sebab itu, mereka disebut juga
dengan manusia tak bernegara atau orang tanpa kewarganegaraan
(stateless people).
Sebagai Muslim yang hidup di bawah tekanan junta militer, tak
mudah bagi etnis Rohingya menjalankan keyakinan mereka. Ratusan
masjid dan madrasah di wilayah mereka dihancurkan, Al-Qur’an
sebagai kitab suci dinjak-injak dan dibakar para tentara yang brutal.
Perlakuan tak manusiawi ini membuat mereka berontak. Untuk
menyelamatkan diri dan akidah, mereka melarikan diri dari tanah
kelahirannya.

Muslim Rohingya termasuk dalam daftar pengungsi terbesar


di dunia. Bangladesh adalah salah satu negara yang menampung
mereka. Menurut data UNHCR, organisasi PBB yang mengurusi
masalah pengungsi, jumlah pengungsi Rohingya yang tinggal di
kamp-kamp UNHCR Bangladesh mencapai 28 ribu orang. Di luar itu,
lebih dari 200 ribu orang yang tak terdata. Mereka memilih hidup
sebagai manusia perahu.

Karena tak ada tempat berpijak lagi, umat Islam yang terusir
dari tanah kelahirannya ini memilih tinggal di atas perahu. Berlayar
dari satu tempat ke tempat yang lain. Kadang mereka juga mendiami
beberapa pulau kosong yang terdapat sepanjang perbatasan
Myanmar-Thailand. Walau hidup susah, namun di pulau-pulau tak
bernama ini mereka lebih leluasa menjalani hidup. Beberapa ormas
dan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) internasional kadang
memberikan mereka bantuan pangan, obat-obatan maupun fasilitas
pendidikan dan kesehatan.

B. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah yang diajukan dalam makalah ini


adalah sebagai berikut :

1. Apakah yang menyebabkan warga Rohingya mengungsi ke negara


lain ?
2. Bagaimana nasib pengungsi Rohingya setelah sampai ke negara
lain ?
3. Bagaimana penanganan yang ditempuh oleh Pemerintah dan
organisasi internasional kepada para pengungsi Rohingya
tersebut ?

C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah tentang pengungsi
Rohingya yang masuk ke Aceh ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui sebab-sebab serta alasan warga Rohingya
mengungsi ke negara lain.
2. Untuk mengetahui bagaimana nasib pengungsi Rohingya tersebut.
3. Untuk mengetahui bagaimana peranan Pemerintah serta organisasi
internasional dalam menyikapi masuknya pengungsi Rohingya ke
Aceh.
BAB II
ISI

A. Faktor Penyebab

Tak ada satu pun warga di dunia ini yang ingin menjadi
pencari suaka ataupun pengungsi. Sama halnya dengan warga
Rohingya. Sayangnya, negeri tempat mereka hidup tak lagi ramah
untuk mereka. Bukan hanya saat ini, sudah berpuluh tahun etnis
minoritas Rohingya hidup dalam kedukaan di Myanmar.

Tak ada data pasti tentang persentase Muslim di Myanmar.


Dan, Rohingya bukan satu-satunya etnis Muslim di Myanmar. Di
samping etnis Rohingya, ada pula etnis Indian Muslim yang
kebanyakan tinggal di Rangoon (berubah menjadi Yangoon pada
tahun 1989). Kemudian, etnis Panthay, etnis Muslim keturunan Cina
yang bermigrasi dari Cina barat laut (Muslim Hui). Lalu, ada etnis
Muslim keturunan Melayu yang tinggal di Kawthaung dan sebagian
kecil bermukim di pulau-pulau sekitar Laut Andaman dan kerap
disebut sebagai moken (atau sea gypsy/orang laut).

Etnis Rohingya mendiami sisi utara negara bagian Rakhine


(sebelumnya bernama Arakan) di Myanmar bagian barat. Konsentrasi
mereka ada di kota-kota di sisi utara Rakhine, yang masing-masing
adalah di Maungdaw, Buthidaung, Rathedaung, Akyab, Sandway,
Tongo, Shokepro, Rashong Island, dan Kyauktaw. Dari sisi geografis,
demografis, dan bahasa, mereka memiliki kedekatan dengan
Bangladesh (Bengal) yang memang dikenal sebagai negeri Muslim.

Status etnis Rohingya di Myanmar saat ini adalah stateless


persons alias orang tanpa kewarganegaraan. Mereka tak pernah
diakui Pemerintah Myanmar sebagai salah satu dari 137 etnis yang
diakui di Myanmar.

Di Myanmar mereka mengalami penganiayaan dan siksaan


yang brutal dari rezim junta militer. Inilah yang memaksa mereka
menjadi manusia perahu yang berlayar dari satu negara ke negara
lain, terutama Thailand, Malaysia dan Indonesia, untuk mencari
tempat penghidupan yang lebih baik. Selain Myanmar, Thailand
adalah negeri yang paling tidak bersahabat dengan orang Rohingya.
Pemerintah negeri yang dulu bernama Siam itu selalu bertindak keras
dan kasar bahkan mengarah ke pembantaian.

Para nelayan di Idi Rayeuk, Aceh Timur  dan Angkatan Laut


menyelamatkan sekitar 200 an manusia perahu etnis Rohingya, asal
Myanmar, yang terapung-apung dalam perahu kayu di lepas pantai
Aceh Timur. Setelah tiga pekan terombang-ambing di laut, kondisi
para pengungsi tersebut memprihatinkan. Beberapa diantaranya
menderita sakit dan mendapatkan perawatan kesehatan dari rumah
sakit setempat. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan yang
disampaikan juru bicara Departemen Luar Negeri Teuku Faizasyah:

“Ada kapal yang ditarik oleh pelaut nelayan kita ke wilayah Idi
Rayeuk, Aceh Timur. Kondisinya dapat kita bayangkan, sudah
berlayar lama, tentunya memprihatinkan. Pemerintah telah
mengirimkan mereka yang membutuhkan perawatan kesehatan ke
rumah sakit.Kini pengungsi yang selamat akan ditampung sementara
di pangkalan laut Aceh Timur. Pejabat setempat kini sedang mencari
penerjemah untuk mencari tahu dengan pasti identitas warga  etnis
Rohingya tersebut.”

Sedangkan Wakil Bupati Aceh Timur Nasrurin Abubakar


kepada kantor berita Reuters menceritakan para manusia perahu itu
telah seminggu kelaparan termasuk diantara mereka ada seorang
bocah 13 tahun. Sementara lebih dari 20 manusia perahu lainnya
tewas. Informasi tersebut diperoleh dari percakapan bahasa tubuh
antara pengungsi dengan nelayan. Terdamparnya para pengungsi
etnis Rohingga tersebut merupakan kali kedua dalam tahun ini.
Sebelumnya pada bulan Januari juga ditemukan terapung-apung di
lepas pantai Sabang. Hingga kini mereka pun masih ditampung di
pangkalan angkatan laut di Sabang, Aceh. Sementara kloter
sebelumnya terdampar di Aceh tahun 2006, setelah ditangani oleh
Badan Urusan Pengungsi Perserikatan Bangsa-bangsa UNHCR,
sebagian tidak ketahuan lagi nasib selanjutnya, menurut juru bicara
Departemen Luar Negeri Teuku Faizasyah:

“Pemerintah Indonesia sudah memberikan bantuan, yang


mereka sangat hargai dan juga dihargai oleh masyarakat
internasional. Tahun 2006 kita juga mengalami kasus serupa, ada 77
orang yang masuk ke wilayah kita, mereka ditangani oleh UNHCR.
Namun kasusnya tidak tuntas. Keberadaan mereka tidak kita ketahui
lagi. Tentunya bila melalui penganganan UNCHR, disalurkan ke
negara-negara ketiga.”

Berdasarkan Konvensi tentang Status Pengungsi tahun 1951


dan Protokol tahun 1967, seseorang disebut pengungsi ketika ia
memiliki dasar dan ketakutan yang beralasan akan menjadi korban
penyiksaan atas dasar ras, agama, kebangsaan, keanggotaan pada
kelompok sosial tertentu, ataupun karena opini politiknya, di mana ia
kemudian berada di luar negara asalnya dan tak dapat ataupun tak
ingin kembali ke negeri asalnya karena alasan akan menjadi korban
penyiksaan (persecution).

Pengertian 'pengungsi' amat berbeda dengan migran. Migran


adalah mereka yang berpindah ke luar negaranya karena pilihan
sendiri dan lebih karena alasan ekonomi ataupun karena ingin
mencari penghasilan yang lebih baik. Sebaliknya, 'pengungsi' adalah
mereka yang 'terpaksa' pindah dari negerinya karena alasan yang
kuat akan menjadi korban penyiksaan dan ketidakamanan.

Sementara itu, pencari suaka (asylum seekers) adalah orang-


orang yang terusir dari negerinya dan mencari suaka (asylum) ke
negeri lain di mana ia belum mendapatkan keputusan tentang 'status
pengungsi' (refugee status). Pencari suaka adalah mereka yang
belum mengajukan permohonan ataupun sedang menunggu hasil
keputusan mengenai status pengungsi-nya dari suatu negara.

Stateless persons alias 'orang tanpa kewarganegaraan'


adalah seseorang yang tak diakui sebagai warga negara oleh yuridiksi
hukum suatu negara. Stateless persons adalah memenuhi kualifikasi
untuk disebut sebagai pengungsi.

Bagaimanakah status 'manusia perahu' Rohingya? Menilik


pengertian di atas, mereka adalah orang-orang tanpa
kewarganegaraan (stateless persons) sekaligus pencari suaka
(asylum seekers). Namun, tidak jelas apakah kemudian suatu negara
akan memberikan mereka status sebagai 'pengungsi' (refugees) atau
tidak.

Etnis Rohingya asal Myanmar tersebut  melarikan diri dari


Myanmar, karena ketakutan akan dibunuh oleh junta militer.  Banyak
diantara mereka menjadi pekerja paksa dan mengalami penyiksaan.
Kini mereka mencoba untuk mencari suaka ke negara-negara lain dan
kehilangan kewarganegaraan. Nasib mereka kembali menarik
perhatian setelah muncul tudingan bahwa otoritas di Thailand
mencegat para manusia perahu ini ketika singgah di perairan
Thailand, namun  kemudian melepaskan begitu saja tanpa mesin dan
perbekalan. Sejumlah kapal dilaporkan tenggelam dan ratusan
diantara pengungsi tewas.

Etnis Rohingya sejak awal merdekanya negara Burma


(kemudian menjadi Myamnar pada tahun 1989) tak pernah mendapat
pengakuan sebagai etnis dari sekitar 137 etnis yang diakui di
Myanmar. Maka, dalam bahasa aktivis LSM di Thailand, etnis
Rohingya disebut sebagai stateless and forgotten people (orang tanpa
kewarganegaraan dan dilupakan).

Terusir dari negerinya dan menjadi manusia perahu (boat


people), warga Rohingya tertatih-tatih menanti negeri yang mau
menampung mereka. Sekitar 1200 warga Rohingya meninggalkan
Myanmar pada bulan Desember 2008 menuju Thailand. Datang
dengan cara yang tidak umum, otoritas Thailand segera menampik
mereka. Sebagian mereka masih ditahan di Thailand dan sebagian
kembali terusir ke laut. Menggunakan sembilan perahu, mereka
kemudian terdampar di Laut Andaman, sebagian kecil diselamatkan
oleh warga Indonesia dan kini ditampung sementara di Aceh.
Sebagian kecil yang lain diselamatkan oleh Angkatan Laut India.
Selebihnya, masih terkatung-katung.

B. Nasib Pengungsi Rohingya

Sebelum ditemukan terkatung-katung di tengah laut tanpa


persediaan makanan oleh nelayan dan TNI AL, ratusan manusia
perahu ini ditangkap oleh militer Thailand tepatnya di wilayah perairan
Laut Andaman dan menahan mereka secara rahasia di sebuah pulau
bernama Koh Sai Daeng. Usai ditahan selama beberapa hari, kaum
Muslimin yang tak berdaya ini kemudian diseret ke tengah laut lalu
ditinggalkan di atas kapal tanpa mesin. Bahkan sebagian hanya
ditinggali dayung. Tak ayal, sebagian besar manusia “tanpa negara”
ini hilang dan mati tenggelam. Sekarang ratusan “manusia perahu”
yang juga beragama Islam telah tiba di Serambi Mekkah setelah
ditemukan oleh nelayan setempat (Sabang dan Idi Rayeuk) . Kisah
pilu manusia perahu itu membuat masyarakat Aceh sadar dan rasa
ingin membantu. Yang paling memilukan adalah mereka harus
membuang 22 saudara mereka yang meninggal ke laut lepas. Mereka
meninggal karena kelaparan dan tidak adanya persediaan logistik di
tengah laut. Namun, bagaimana nasib mereka selanjutnya setelah
terdampar di negeri yang hampir seratus persen penduduknya
beragama Islam?

Sehubungan dengan hal tersebut, Pemerintah Indonesia akan


segera mendeportasi “manusia perahu” ke negera asal mereka,
Myanmar, namun jika pada akhirnya Pemerintah Myanmar tidak
mengakui mereka, maka akan diminta bantuan dari UNHCR, IOM,
dan organisasi internasional lainnya. Pemerintah menyimpulkan
bahwa manusia perahu yang terdampar di Sabang diduga kuat
bermotif ekonomi (economy migrant) .

Namun, berdasarkan hasil pengamatan dari berbagai pihak,


kesimpulan yang diambil pemerintah dalam proses pendataan dan
investigasi terkesan dan terdapat adanya manipulasi. Pemerintah
cenderung melibatkan International Organization for Migration (IOM)
ketimbang UNHCR dalam menangani Muslim Rohingya. Seharusnya
Pemerintah harus bekerjasama dengan pihak badan resmi PBB
United Nation High Commision for Refugee (UNHCR) karena ini tugas
dan wewenangnya mengurusi para pengungsi.

Keterlibatan IOM semata tanpa adanya pihak UNHCR soal


penanganan pengungsi Myanmar ini sebenarnya belum sempurna
segi keakuratan data dan informasi. Akibatnya mencuat isu dari politik
berubah ke motif ekonomi. Kita yakin bahwa warga Rohingya yang
terseret arus laut di perairan Aceh itu adalah bahagian dari keburukan
politik dan penindasan penguasa junta militer. Kita sangat memahami
penyebab buruknya ekonomi itu merupakan akibat dari runyamnya
situasi politik sehingga membuat para manusia perahu itu harus hijrah
menyelamatkan diri sekaligus memperbaiki ekonomi dari luar
negaranya.

Dengan kata lain, persoalan politik dan ekonomi yang sedang


dihadapi para pengungsi politik dimanapun di dunia, merupakan dua
sisi kehidupan antara keselamatan nyawa dan perubahan hidup. Jika
perlindungan telah ada, maka secara otomatis akan menyusul dengan
perbaikan nasib untuk hidup secara ekonomi. Singkatnya, dua hal
tersebut tak mungkin terpisahkan dan itu fakta.

Badan PBB yang menangani masalah pengungsi (UNHCR)


akan dilibatkan untuk menangani pengungsi Rohingya di Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). “Keterangan yang kami peroleh
dari Departemen Luar Negeri (Deplu), UNHCR akan datang ke
Sabang dan Idi Rayeuk untuk menangani pengungsi Rohingya,” kata
Walikota Sabang, Munawarliza Zainal di Banda Aceh.

UNHCR termasuk dalam Joint Verification Team (JVC) yang


terdiri dari pejabat Deplu, Kementerian Koordinator Kesra, Ditjen
Imigrasi, Organisasi Migrasi Internasional (IOM) akan berangkat ke
Sabang pada 2 April 2009.

JVC akan bekerja dalam dua tahap untuk mencari


penyelesaian komprehensif masalah manusia perahu, yaitu tahap
pertama pada 2-7 April dan tahap kedua 14-22 April mendatang.

Sebanyak 193 manusia perahu yang seluruhnya muslim dari


etnis Rohingya terdampar di Sabang, Pulau Weh, pada awal Januari
2009 sementara 220 lainnya terdampar di Idi Rayeuk Aceh Timur
pada awal Februari lalu.

Mereka ditemukan terapung-apung di laut dalam kapal kayu


oleh nelayan Aceh dan hingga saat ini pengungsi Rohingya di Sabang
ditampung di Lanal Sabang sedangkan di Idi Rayeuk di kantor camat
setempat. Selama hampir tiga bulan mereka berada di Aceh dan
pemerintah setempat telah mengupayakan membantu logistik dan
mengharapkan pemerintah pusat segera menentukan status manusia
perahu tersebut.

Sebelumnya Deplu bersama IOM telah melakukan verifikasi


sebanyak dua kali, namun Pemerintah Aceh berharap UNHCR
menemukan solusi bagi penyelesaian nasib mereka.

C. Penanganan Terhadap Pengungsi Rohingya

Pemerintah Indonesia secara umum mempunyai komitmen


yang kuat untuk menangani setiap pengungsi yang masuk sesuai
kaidah internasional. Penanganan imigran yang masuk ke Indonesia
selama ini dilakukan dengan melibatkan tiga negara terkait, yaitu
negara asal, Indonesia, dan negara tujuan mereka.Imigran etnis
Rohingya terdampar di Aceh pada dua tempat terpisah. Awalnya
sebanyak 193 orang yang berasal dari Myanmar dan Bangladesh
terdampar di Pulau Rondo, Kota Sabang, 7 Januari 2009. Kemudian
kejadian yang sama terulang pada 3 Februari lalu, sebanyak 198
orang etnis Rohingya juga terdampar di Idi, Aceh Timur.

Rohingya adalah salah satu suku asli Myanmar yang memeluk


agama Islam. Mereka terbiasa bermigrasi ke negara tetangga
Malaysia dan Thailand untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik.
Saat ini etnis Rohingya di seluruh Myanmar diperkirakan 2 juta jiwa
dan 1,5 juta diantaranya tinggal di Arakan, Myanmar, 600 ribu tinggal
di Bangladesh, 350 ribu di Pakistan, 400 ribu di Arab Saudi dan 100
ribu di Uni Emirat Arab, Thailand dan Malaysia.

Myanmar dan Indonesia akan membahas hal-hal yang bisa


meningkatkan hubungan bilateral kedua negara. Sein bertemu dengan
kedua pemimpin pemerintahan tersebut beberapa waktu lalu dalam
pertemuan ASEAN di Thailand. Sein diperkirakan akan kembali
bertemu dengan mereka dalam pertemuan ASEAN bersama enam
negara mitra, Australia, China, India, Jepang, Selandia Baru, dan
Korea Selatan 10-12 April mendatang di Thailand.Persoalan hak asasi
manusia dan kegagalan negara pimpinan Junta militer tersebut
cenderung menjadi bahan perdebatan di berbagai pertemuan ASEAN.

Pemerintah Indonesia sudah memberikan bantuan, yang


mereka sangat hargai dan juga dihargai oleh masyarakat
internasional. Tahun 2006 kita juga mengalami kasus serupa, ada 77
orang yang masuk ke wilayah kita, mereka ditangani oleh UNHCR.
Namun kasusnya tidak tuntas. Keberadaan mereka tidak kita ketahui
lagi. Tentunya bila melalui penganganan UNCHR, disalurkan ke
negara-negara ketiga.

Untuk 193 manusia perahu yang terdampar di Aceh sejak


tanggal 7 Januari, maka proses identifikasi dan investigasi yang
dilakukan oleh tim pemerintah bekerjasama dengan IOM, International
Organization for Migration, hampir mendekati penyelesaian.

Dan kita harapkan dalam beberapa hari ke depan, mereka


sudah dapat menyampaikan rekomendasi kepada pemerintah dari
proses investigasi/interview yang dilakukan pada setiap orang perahu
yang berada di Kepulauan Sabang. Proses itu sudah akan selesai dan
segera mereka akan menyampaikan temuannya dan rekomendasi
dari apa yang telah didapatkan dari mereka.

Keputusan pemerintah melibatkan IOM terkait dengan temuan


awal pada saat kita melakukan interview secara acak pada tanggal 9
dan 10 Januari. Dari proses interview tersebut, kita menarik satu
kesimpulan bahwa kedatangan mereka ke Indonesia lebih didasari
oleh kepentingan untuk mencari kehidupan yang lebih baik.

Dengan demikian IOM adalah lembaga yang sangat tepat


untuk dilibatkan, khususnya mengetahui sejauh mana ada isyu-isyu
migrasi, people smuggling atau traficking in person. Pemerintah ingin
cepat menyelesaikan permasalahan ini dengan tuntas. Karena kita
sebelumnya juga memiliki pengalaman masalah manusia perahu dari
Rohingya juga pada tahun 2006 dan ditangani oleh UNHCR tapi tidak
selesai secara tuntas.

Selain IOM, Badan PBB yang menangani masalah pengungsi


(UNHCR) akan dilibatkan untuk menangani pengungsi Rohingya di
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). UNHCR akan datang ke
Sabang dan Idi Rayeuk untuk menangani pengungsi Rohingya.
UNHCR termasuk dalam Joint Verification Team (JVC) yang terdiri
dari pejabat Deplu, Kementerian Koordinator Kesra, Ditjen Imigrasi,
Organisasi Migrasi Internasional (IOM) akan berangkat ke Sabang
dan akan bekerja dalam dua tahap untuk mencari penyelesaian
komprehensif masalah manusia perahu, yaitu tahap pertama pada 2-7
April dan tahap kedua 14-22 April mendatang.

Selama hampir tiga bulan mereka berada di Aceh dan


pemerintah setempat telah mengupayakan membantu logistik dan
mengharapkan pemerintah pusat segera menentukan status manusia
perahu tersebut.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisa dari berbagai permasalahan yang
timbul akibat dari masuknya pengungsi Rohingya ke Aceh, maka
dapat ditarik kesimpulan bahwa Etnis Rohingya adalah orang-orang
tanpa kewarganegaraan yang mendiami kawasan perbatasan antara
Myanmar-Bangladesh. Di Myanmar mereka mengalami penganiayaan
dan siksaan yang brutal dari rezim junta militer. Inilah yang memaksa
mereka menjadi manusia perahu yang berlayar dari satu negara ke
negara lain, terutama Thailand, Malaysia dan Indonesia, untuk
mencari tempat penghidupan yang lebih baik. Selain Myanmar,
Thailand adalah negeri yang paling tidak bersahabat dengan orang
Rohingya yang selalu bertindak keras dan kasar bahkan mengarah ke
pembantaian.

Status etnis Rohingya di Myanmar saat ini adalah stateless


persons alias orang tanpa kewarganegaraan. Mereka tak pernah
diakui Pemerintah Myanmar sebagai salah satu dari 137 etnis yang
diakui di Myanmar. Etnis Rohingya asal Myanmar tersebut  melarikan
diri dari Myanmar, karena ketakutan akan dibunuh oleh junta militer. 
Banyak diantara mereka menjadi pekerja paksa dan mengalami
penyiksaan. Kini mereka mencoba untuk mencari suaka ke negara-
negara lain dan kehilangan kewarganegaraan.

Selain IOM, Badan PBB yang menangani masalah pengungsi


(UNHCR) akan dilibatkan untuk menangani pengungsi Rohingya di
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). UNHCR akan datang ke
Sabang dan Idi Rayeuk untuk menangani pengungsi Rohingya.
UNHCR termasuk dalam Joint Verification Team (JVC) yang terdiri
dari pejabat Deplu, Kementerian Koordinator Kesra, Ditjen Imigrasi,
Organisasi Migrasi Internasional (IOM) akan berangkat ke Sabang
dan akan bekerja dalam dua tahap untuk mencari penyelesaian
komprehensif masalah manusia perahu, yaitu tahap pertama pada 2-7
April dan tahap kedua 14-22 April mendatang.

Selama hampir tiga bulan mereka berada di Aceh dan


pemerintah setempat telah mengupayakan membantu logistik dan
mengharapkan pemerintah pusat segera menentukan status manusia
perahu tersebut. Sebelumnya Deplu bersama IOM telah melakukan
verifikasi sebanyak dua kali, namun Pemerintah Aceh berharap
UNHCR menemukan solusi bagi penyelesaian nasib mereka.

B. Saran

Adapun saran yang dapat kami berikan terkait dengan


masalah pengungsi Rohingya, khususnya untuk Pemerintah Indonesia
adalah supaya mempertimbangkan kembali niatnya untuk
mendeportasikan Muslim Rohingya agar keselamatan mereka
terjamin. Departemen luar negeri kiranya perlu melihat secara lebih
teliti bahwa kehadiran mereka ke Indonesia itu masih dalam konteks
politik negara Myanmar yang begitu parah yang menyebabkan
mereka tertindas dan keluar dari negaranya untuk mencari perhatian
dan perlindungan politik dunia internasional. Mereka perlu dilindungi
secara politik oleh Indonesia. Oleh sebab itu, pemerintah diharapkan
menyambut baik semua manusia perahu dengan memberikan status
negara kedua dan pemberian suaka kepada mereka sambil
menunggu adanya jaminan keamanan yang menyeluruh dari negara
ketiga.
Nasib manusia perahu sangat memerlukan perhatian dan
bantuan dari Pemerintah Indonesia. Mereka itu (etnis muslim minoriti)
golongan tertindas dan diusir dari negaranya akibat perlakuan
penguasa junta militer yang cukup ganas. Sekarang mereka sudah
terselamatkan dalam wilayah hukum negara Indonesia atau mereka
kini berada di negara kedua. Karena itu perlindungan dan
keselamatan harus diberikan kepada mereka dan bukannya
membuang mereka kembali ke negara asalnya.

Sebaiknya Pemerintah Indonesia sesegera mungkin mencari


jalan terbaik bagi menangani pengungsi tersebut. Pemerintah sangat
diharapkan segera mengambil langkah positif untuk mengizinkan dan
mengundang pihak UNHCR atau IOM guna mempercepat
penanganan mereka dan selanjutnya diterbangkan kenegara ketiga.
Nasib dan derita yang mereka alami saat ini sungguh memprihatinkan.
UNHCR dan IOM adalah lembaga paling tepat untuk mengurusi
mereka yang berstatus pelarian politik dan masalah ekonomi.

Oleh karena itu, harapan besar agar para pengungsi Rohingya


asal Myanmar tersebut dapat segera mendapatkan kembali kehidupan
yang layak tanpa adanya intimidasi dari segala pihak sehingga
mereka dapat menjalani hidup dengan normal dan aman.

Das könnte Ihnen auch gefallen