Sie sind auf Seite 1von 28

PERAN KOMUNIKASI DALAM PENYELESAIAN

KONFLIK HORIZONTAL DI INDONESIA


Oleh:
YUHDI FAHRIMAL, S.I.Kom., M.I.Kom
(Dosen Prodi Ilmu Komunikasi, Universitas Teuku Umar)

Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang


laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsabangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal,
sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah
ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mendengar.
(Q.S. Al-Hujarat; 13)

Pendahuluan
Konflik menjadi momok yang menakutkan bagi warga negara. Hal ini karena
efek yang timbul akibat konflik itu, seperti, kehilangan harta benda, dirampasnya hak
milik tanah, pendudukan wilayah, bahkan hilangnya nyawa. Konflik sudah ada sejak
manusia hadir di muka bumi. Pertarungan antara Habil dan Qabil anak Nabi Adam
a.s. dianggap sebagai konflik dan pembunuhan pertama yang terjadi di bumi. Seiring
waktu berjalan, sejarah dunia mencatat bahwa tidak ada satu masa pun dalam
kehidupan manusia lepas dari konflik.
Bagi ilmuwan sosial, konflik merupakan suatu kewajaran dalam kehidupan
manusia. Para ilmuwan teori konflik seperti Ralf Dahrendorf mengatakan,
masyarakat sebenarnya mempunyai unsur-unsur konflik (Haryanto, 2012; 39).
Dalam pandangan ini berarti juga bahwa manusia dan konflik itu merupakan satu
kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Konflik muncul akibat adanya kepentingan
manusia dan upaya pemenuhan kepentingan itu. Kepentingan dalam hal ini dapat
pula berupa kebutuhannya. Jika mengacu kepada Teori Evolusi Darwin, hanya yang
mampu beradaptasi yang mampu bertahan hidup. Nyatanya bahwa kemampuan

beradaptasi ini tidak jarang dilakukan melalui cara-cara pertahan diri untuk
memenuhi kebutuhan. Cara-cara pertahan diri inilah yang cenderung disebut
sebagai konflik.
Indonesia sebagai bangsa yang besar dengan keberagaman etnis dan agama,
menjadi daerah yang rawan terjadi konflik, termasuk konflik horizontal. Laporan dari
United Nations Support Facilities for Indonesia Recovery (UNSFIR) yang
dipublikasikan pada tahun 2004, menunjukkan terdapat 4.720 kasus konflik
horizontal (komunal) yang terjadi di Indonesia dalam rentang waktu 1999-2003
dengan jumlah korban tewas 11.160 jiwa (Hasrullah, 2009; 8). Belum lagi data
infrastruktur yang rusak, seperti, rumah yang dibakar, masjid atau gereja yang
dibakar, dan lain sebagainya. Melihat angka tersebut tentunya menjadi gambaran
betapa besarnya dampak yang ditimbulkan oleh konflik, maka banyak orang
cenderung melihat konflik sebagai sebuah tragedi kemanusiaan alih-alih sebagai
bagian integral dalam kehidupan manusia untuk mencapai tujuan hidupnya.
Konflik horizontal dapat dimaknai sebagai konflik yang melibatkan gesekan dan
pertempuran antar masyarakat. Konflik yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia
menunjukkan antara lain kurangnya kemampuan pemerintah dalam mengatasi
penyebab terjadinya konflik. Konflik muncul dengan menggunakan simbol-simbol
etnis, agama, dan ras. Hal ini terjadi akibat adanya akumulasi "tekanan" secara
mental, spiritual, politik sosial, budaya dan ekonomi yang dirasakan oleh sebagian
masyarakat. (Lamria, 2004).
Banyak ilmuwan dan peneliti sosial merinci dan memformulasikan penyebabpenyebab konflik horizontal di Indonesia. Meskipun kebanyakan adalah faktor
ketimpangan ekonomi dan kegagalan akulturasi masyarakat pendatang dengan
masyarakat pribumi. Namun yang paling penting dan tidak bisa dilupakan begitu saja

adalah faktor komunikasi. Komunikasi selalu menjadi masalah yang melekat pada
konflik antar etnis. Kalau bukan sebagai penyebab terjadinya konflik, maka ia
menjadi masalah yang kemudian muncul pasca-konflik. Sayangnya, urgensi
komunikasi dalam kehidupan tidak dilihat sebagai aspek penting yang perlu dibenahi
maka yang kemudian terjadi adalah konflik horizontal yang tak kunjung habis dan
cenderung akan berulang, mengingat negara Indonesia adalah negara multi-etnis
terbesar di dunia. Komunikasi sebagai pemicu terjadinya konflik dikarenakan
kemacetan komunikasi yang terjadi baik antara elite politik (pemerintah) dengan
masyarakat ataupun sesama masyarakat. Komunikasi dapat menjadi trigger
(pemicu) terjadinya konflik baik vertikal maupun horizontal. Namun komunikasi juga
dapat menjadi pencegah terjadinya konflik. Komunikasi dapat pula menjadi sarana
sebagai jalan keluar dari sebuah konflik.

Indonesia; Negara Laten Konflik


Indonesia merupakan negara yang luasa dan menjadi salah satu negara
kepulauan terbesar di dunia. Jumlah penduduk Indonesia berdasarkan hasil Sensus
Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2010 adalah 237,641,326 jiwa. Terjadi
pertumbuhan penduduk sebesar lebih dari 30 juta jiwa selama kurun waktu 10
(sepuluh) tahun terakhir, yaitu, tahun 2000 penduduk Indonesia hanya 206,264,595
jiwa (www.bps.go.id, 2010). Dengan jumlah penduduk yang sebesar itu, Indonesia
masuk ke dalam lima negara dengan penduduk terbesar di dunia.
Lantas bagaimana dengan jumlah sukubangsa di Indonesia? Mengingat
Indonesia adalah negara kesatuan yang memiliki kebhinnekaan (keberagaman)
suku, budaya, etnis, ras, dan agama. Berdasarkan data sensus Badan Pusat
Statistik (BPS) tercatat ada 1.128 sukubangsa yang hidup di wilayah Indonesia

(www.jpnn.com, 2010). Akan tetapi data ini bukanlah data spesifik karena masih ada
sukubangsa yang belum terdata. Salah satu kendala dalam melakukan sensus
suskubangsa ini adalah keberadaan tiap sukubangsa ini yang tersebar bahkan
berada di daerah-daerah terpencil. Jumlah agama yang dianut oleh masyarakat
Indonesia dan diakui oleh negara adalah Islam (88%), Kristen Protestan (6%),
Khatolik Roma (3%), Hindu (2%), Budha (kurang dari 1 %) (Gunawan, 2011; 213).
Semua etnis dan agama tersebut tersebar di seluruh wilayah Indonesia dan
terkadang membentuk wilayah masing-masing. Saat globalisasi menerpa Indonesia
dimana kemajuan di bidang teknologi transportasi dan komunikasi menjadi
indikatornya, terjadi pula mobilisasi besar-besaran. Satu etnis tidak hanya hidup di
satu tempat saja melainkan hidup di tempat lain bersama dengan etnis atau suku
lain. Setiap saat terjadi perpindahan (migrasi) orang-orang dari berbagai suku
bangsa. Pertemuan-pertemuan ini pula yang menyebabkan terjadinya gesekan
antara pendatang dengan etnis pribumi. Gesekan ini dapat dimaknai sebagai konflik.
Pola perpindahan penduduk (lewat transmigrasi dan urbanisasi) membentuk
kemajemukan yang kompleks di sejumlah daerah, akibatnya konflik komunal tidak
dapat

terhindarkan.

Kebijakan

transmigrasi

yang

dicanangkan

pemerintah,

mendistribusikan penduduk (mayoritas etnis Jawa) ke berbagai daerah di Indonesia.


Mereka bekerja di perkebunan, tambang, atau pertanian di daerah-daerah yang saat
itu minim pembangunan. Tujuan dari program transmigrasi ini adalah agar terjadi
pemerataan penduduk dan pemerataan ekonomi. Akan tetapi pada kenyataannya,
program ini pula yang menjadi pemicu munculnya konflik di tengah masyarakat.
Sejarah mencatat bahwa Indonesia memiliki identitas nasional seiring lahirnya
gerakan pemuda Indonesia yang mengikrarkan Sumpah Pemuda pada tahun 1928,
namun waktu mencatat bahwa persatuan sejati bangsa Indonesia dalam bentuk

identitas nasional tidak pernah sungguh-sungguh ada (Sarwono, seperti dikutip


Mirawati, 2011; 250). Identitas nasional yang dibangun oleh funding father bangsa
Indonesia tidak sepenuhnya bisa melahirkan rasa kebangsaan dan kesatuan di
benak masyarakat. Masyarakat hanya mengerti dan paham jati diri sukubangsa-nya
tanpa mau peduli dengan kondisi sukubangsa lainnya, meski mereka sama-sama
hidup di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kondisi ini membuat konflik antarwarga selalu terjadi hampir setiap saat. Pada masa Orde baru potensi konflik dapat
dikendalikan guna menjaga stabilitas nasional untuk menyukseskan pembangunan
nasional. Pengendalian konflik konflik pada masa Orde Baru pun dominan
menggunakan kekuatan militer. Ruang gerak masyarakat dikontrol oleh militer,
bahkan militer masuk ke dalam kerja-kerja sipil seperti menjadi bupati, gubernur,
anggota DPR, bahkan menteri.
Keberagaman sukubangsa dan agama yang ada di Indonesia tidak disertai
dengan kesadaran berbangsa dan bernegara. Sikap toleransi atar sesama
masyarakat tidak terpupuk dengan baik. Sikap toleransi ini dapat disikapi dengan
perilaku menghargai perbedaan budaya yang ada. Samovar, Porter, dan McDaniel
(2010; 490) mengatakan bahwa setiap manusia baik yang memasuki budaya baru
atau berada dalam lingkungan yang berbeda budaya patut menumbuhkan sikap
saling menghargai dan bertoleransi terhadap perbedaan budaya. Pendapat ini
didasari oleh kenyataan bahwa manusia itu adalah berbeda meskipun terlihat sama,
untuk beberapa hal khusus manusia itu berada dalam sebuah bentuk perbedaan
yang nyata, seperti, jenis kelamin, umur, pendidikan, dan etnis.
Negara Indonesia yang multikultural membuat Indonesia berada dalam skala
negara laten konflik. Negara laten konflik ini maksudnya adalah meskipun di tataran
luar

konflik

horizontal

di

Indonesia

dapat

dikendalikan

bahkan

ditekan

kemunculannya, akan tetapi setiap saat konflik tersebut akan terulang kembali.
Potensi konflik tetap ada dan berkembang di tengah masyarakat, hanya menunggu
pemicunya saja. Jika pemicunya disulut maka konflik antar masyarakat tidak dapat
dihindarkan. Kondisi ini sangat memungkinkan terjadi di Indonesia karena belum
terlaksananya penanganan konflik secara baik oleh pemerintah dan masyarakat,
meskipun pemerintah baru mengesahkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012
tentang Penangan Konflik Sosial.
Kondisi konflik horizontal di Indonesia diperparah oleh kepentingan elite politik
(pemerintah) yang ikut menjadi pemicu lahirnya konflik di tengah masyarakat. Konflik
mencuat kepermukaan bukan karena agama atau etnis melainkan karena dipicu
oleh kepentingan elit dalam perebutan kekuasaan, apakah itu tingkat lurah, camat,
bupati, samapi level gubernur. Agama dan etnis dimobilisasi menjadi konflik SARA
sehingga dalam sekejab berubah menjadi perang etnis (Cangara, 2005; 8).
Salah satu konflik yang melibatkan kepentingan elite politik (pemerintahan)
sebagai pemicu terjadinya konflik adalah konflik Poso, Sulawesi Tengah.
Berdasarkan hasil studi Hasrullah (2009; 177-179) menemukan bahwa meskipun
yang terlihat dipermukaan bahwa konflik Poso merupakan konflik antara dua agama
yang berbeda (Islam dan Kristen) akan tetapi motif dan latar belakang terjadinya
konflik diakibatkan oleh perebutan kepentingan politik elite lokal. Perebutan
kekuasaan ini berimplikasi kepada the winner take all, sehingga elite dari salah satu
kelompok menjadi dominan. Menurut Jusuf Kalla (dalam Hasrullah, 2009; 26),
secara historis, Poso didominasi oleh umat Kristen, sementara umat Islam hanya
kecil jumlahnya (katakanlah 60 persen umat Kristen, 40 persen umat Islam). Pada
masa Orde Baru distribusi kekuasaan dilakukan secara berimbang. Semua elite
mewakili kelompok agama masing sehingga konflik cenderung dapat dikendalikan.

Setelah reformasi bergulir dan membawa kepada demokrasi serta terbukanya


infrastruktur maka jumlah ini terbalik. Umat Islam menjadi lebih banyak dari umat
Kristen. Setelah Pemilihan Umum (Pemilu) 1998, kelompok Islam menjadi
pemenang karena mereka mendominasi dengan jumlah yang dominan. Kondisi ini
dimanfaatkan oleh elite untuk merekrut orang-orang dari kelompok yang sama
dengannya. Terjadilah disparitas yang tinggi, sehingga kelompok Kristen merasa
tidak terwakili. Kondisi inilah yang menjadi ihwal awal terjadinya konflik Poso.
Demikian pula dengan konflik-konflik horizontal lainnya di Indonesia. Agama
dan etnis hanya menjadi balutan luar konflik. Konflik yang dihembuskan melalui
embel-embel agama lebih cepat dan efektif dalam menggerakkan massa. Orang
mau berperang demi membela agamanya sekalipun ia jarang melakukan ritual
keagamaan. Fanatisme terhadap agama dalam konflik tidak hanya melibatkan
penduduk lokal, orang-orang dari luar daerah konflik pun akan ikut berperang dan
membantu saudara-saudaranya se-iman. Saat konflik Poso dan Ambon, terjadi
pergerakan orang-orang dari luar dua daerah tersebut. Mereka mengatasnamankan
dirinya sebagai Laskar Jihad yang membantu dan membela saudara-saudara
muslimnya. Tidak hanya dari sisi muslim, umat Kristen dari luar Poso dan Ambon
pun ikut membantu saudara-saudaranya yang se-agama. Dampaknya adalah konflik
cenderung berlangsung lama dan sulit dikendalikan.

Konflik Horizontal; Pola Konflik Baru di Indonesia?


Beragamnya etnis yang hidup di Indonesia menjadikan Indonesia sebagai
negara dengan masyarakat multikultural terbesar di dunia. Usman Pelly (2003)
menyatakan masyarakat multikultural adalah masyarakat negara, bangsa, daerah,
bahkan lokasi geografis terbatas seperti kota atau sekolah yang terdiri atas orang-

orang yang memiliki kebudayaan yang berbeda-beda dalam kesederajatan. Pada


hakikat-nya masyarakat multikultural adalah masyarakat yang terdiri atas berbagai
macam suku yang

masing-masing mempunyai struktur budaya (culture) yang

berbeda-beda. Dalam hal ini masyarakat multikultural tidak bersifat homogen,


namun memiliki karakteristik heterogen di mana pola hubungan sosial antarindividu
di masyarakat bersifat toleran dan harus menerima kenyataan untuk hidup
berdampingan secara damai (peace co-exixtence) satu sama lain dengan
perbedaan yang melekat pada tiap entitas sosial dan politiknya (Gunawan, 2011;
216).
Kondisi masyarakat multikultural ini cenderung rawan konflik, khususnya konflik
horizontal (komunal). Konflik horizontal atau konflik antar-entis, suku, kelompok, dan
agama di Indonesia sudah ada sejak lama di Indonesia. Bahkan sejak Indonesia
masih berbentuk kerajaan-kerajaan, perang antar kerajaan dan perebutan
kekuasaan antar-saudara selalu terjadi. Namun, pola konflik ini dapat ditangani
dengan berkumpulnya para pemuda Indonesia pada tahun 1928 dan melahirkan
Sumpah Pemuda, dimana janji para pemuda Indonesia dan seluruh rakyat Indonesia
untuk berbangsa, bernegara, dan berbahasa satu yaitu Indonesia. Ide dan gagasan
dari pemuda Indonesia ini akhirnya termanifestasi dalam bentuk proklamasi
kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 oleh Soekarno dan
Mohammad Hatta setelah 3,5 abad dijajah oleh Belanda dan 1,5 abad dijajah oleh
Jepang. Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia ini menjadi babak baru bagi
Negara Republik Indonesia sebagai negara dan bangsa yang berdaulat serta
bermartabat.
Sebagai negara republik baru, pemerintah Indonesia berupaya untuk
mencanangkan program kehidupan berbangsa dan bernegara dengan falsafah

Pancasila. Maka dilakukanlah doktrin-doktrin kebangsaan seperti Bhinneka Tunggal


Ika, berbeda-beda tapi tetap satu juga. Doktrin ini dilakukan oleh pemerintah
mengingat keberagaman etnis di Indonesia. Negara Indonesia yang luas dan besar
akan sangat sulit dikelola tanpa adanya kesatuan paham kebangsaan guna
mendukung gerak pembangunan negara ke arah yang lebih baik.
Kondisi sosial dan perekonomian masyarakat ditata dengan baik guna
mencapai kesejahteraan. Pemerintahan Indonesia di bawah kendali Orde Lama
masih belum kuat dengan banyaknya intrik dan politisasi oleh para elite negara.
Sehingga program-program kesejahteraan masyarakat masih berjalan terseok-seok.
Masih adanya perang ideologi antara blok barat (Amerika) dan blok timur (Uni
Soviet) saat itu menjadikan Indonesia harus banyak fokus pada politik luar negeri.
Sebagai negara-bangsa baru, Indonesia memerlukan dukungan dan relasi yang baik
dengan negara-negara tetangga. Hal ini guna memantapkan posisi Indonesia
sebagai negara-bangsa berdaulat di mata dunia.
Pemerintahan Orde Lama jatuh setelah prosesi Gerakan 30 September Partai
Komunis Indonesia (G30S/PKI). Oleh kejadian ini, pemerintah Orde Lama tumbang
dan digantikan oleh pemerintahan Orde Baru di bawah komando Jenderal Soeharto.
Fokus pemerintahan Orde Baru adalah pada program pembangunan nasional. Guna
menyukseskan pembangunan nasional diperlukan stabilitas nasional. Untuk
mencapai itu semua, pemerintah Orde Baru melibatkan peran militer yang besar
mulai dari jajaran menteri, anggota legislatif tingkat pusat dan daerah, bahkan
sampai kepada gubernur, bupati, camat, hingga lurah dikuasai oleh militer.
Dominannya peran militer ini terwujudnya stabilitas keamanan dan ketertiban di
masyarakat.

Bukan tidak ada insiden yang dapat mengganggu keamanan dan ketertiban.
Akan tetapi pendekatan militeristik meminjam istilah Nye (Djumala, 2013; 3) hard
power menyebabkan insiden-insiden itu dapat dikendalikan. Namun, bukan berarti
konflik serta merta berakhir hanya karena dominasi militer dan pola represif yang
dilakukan oleh Orde Baru. Justru ideologi separatisme berkembang pesat di tengah
masyarakat. Contohnya, Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Republik Maluku Selatan
(RMS), dan Organisasi Papua Merdeka (OPM) lahir dan berkembang pada masa
Orde Baru berkuasa. Meskipun gerak mereka masih underground agar tidak
diketahui militer, namun bukan berarti pergerakan separatisme ini dapat diabaikan
begitu saja. Inilah menjadi cikal bakal konflik di masa setelah Orde Baru.
Tidak hanya dominasi peran militer yang menyuburkan ideologi pemberontakan
di Indonesia. Program transmigrasi pemerintah turut pula menyumbang sumbu
konflik di masyarakat. Dengan dalil pemerataan ekonomi dan penduduk, pemerintah
melakukan penyebaran penduduk (mayoritas etnis Jawa) ke beberapa daerah
terpencil tapi memiliki sumber daya alam yang melimpah. Pola perpindahan
penduduk ini menjadi kemajemukan yang kompleks bagi masyarakat. Kompleksitas
itu dapat dilihat melalui realitas bahwa penduduk pendatang cenderung mengalami
peningkatan ekonomi lebih tinggi dari pada pribumi. Ketimpangan ekonomi ini
menyebabkan kecemburuan sosial yang selama Orde Baru hanya berada dalam
tataran bawah tanah saja.
Bukan hanya ketimpangan ekonomi yang begitu tinggi, kegagalan akulturasi
pendatang dengan pribumi juga menjadi faktor munculnya benih konflik. Kaum
pendatang cenderung eksklusif dan tidak mau membaurkan dirinya dengan
masyarakat setempat.

Kondisi ini diperparah oleh stereotip-stereotip yang

berkembang baik di masyarakat pendatang maupun pribumi. Mirawati dalam Bajari

dan Saragih (2011; 260) mencatat bahwa dalam konflik etnis di Kalimatan Barat
antara suku Madura dan suku Dayak, turut pula berkembang stereotip sebagai
berikut;
Tabel 1. Stereotip Dalam Konflik di Kalimantan Barat
(Suku Dayak dan Suku Madura)
Suku Dayak
Suku Madura
1. Pemboros
1. Bekulit hitam
2. Tidak suka bekerja keras

2. Bau badan

3. Suka mabuk-mabukan

3. Sok jagoan

Sumber: diolah dari Mirawati dalam Bajari dan Saragih (2011; 60)

Potensi konflik baik vertikal maupun horizontal dapat dikatakan sudah ditanam
oleh Orde Baru. Bila dianalogikan seperti sebuah pohon. Orde Baru sebagai pemilik
menanam pohon dan merawatnya dengan baik. Maka pohon yang tumbuh adalah
pohon yang indah dan terawat. Jika ada rumput-rumput liar maka sang pemilik (Orde
Baru) akan membersihkannya. Pohon itu akan sangat indah jika dilihat oleh orang
lain. Demikian pula kiranya konflik di Indonesia. Pemerintah Orde Baru turut andil
dalam menanam benih konflik di benak masyarakat.
Akhir dari pemerintahan Orde Baru pada bulan Mei 1998, menjadi babak baru
bagi sistem politik, hukum, dan tata negara Indonesia. Keruntuhan Orde Baru yang
dimulai dari krisis moneter yang melanda Asia Tenggara termasuk Indonesia,
menyebabkan pemerintah kehilangan kepercayaan oleh masyarakat. Krisis ini
kemudian berkembang menjadi multi krisis dengan berbagai implikasi, diantaranya
Pemutusan

Hak

Kerja

(PHK),

meningkatnya

pengangguran,

hengkangnya

perusahaan asing, terjadinya penjarahan harta benda orang lain, pembakaran,


hingga

pemerkosaan.

Konflik

terjadi

dimana-mana

sebagai

pelampiasan

ketidakpuasan atas hasil pembangunan yang tidak mendatangkan keadilan dan


kesejahteraan (Cangara, 2005; 5).

Tumbangnya rezim Orde Baru yang otoriter dan sentralistik, membuat


Indonesia masuk ke dalam sistem demokrasi. Para pencetus ide demokrasi bagi
Indonesia memandang bahwa demokrasi adalah model ideal bagi masyarakat
Indonesia, dimana masyarakat dilibatkan baik dari segi perencanaan pembangunan
hingga implementasi. Demokrasi yang dianut oleh Indonesia juga memberikan ruang
kepada pembagian kekuasaan antara pusat dan daerah. Daerah diberikan
wewenang besar untuk membangun dan mengelola diri sendiri.
Berubahnya tatanan kehidupan sosial, ekonomi, dan politik di masyarakat
menyebabkan pertentangan-pertentangan dari yang sekedar lisan hingga benturan
fisik lazim terjadi di tengah masyarakat. Pertanyaannya sekarang adalah apakah
konflik horizontal (komunal) merupakan pola konflik baru di tengah masyarakat?
Sejarah mencatat bahwa kekerasan (konflik) dalam masyarakat sudah ada sejak
dulu. Konflik menjadi bagian dari budaya dan tradisi masyarakat Indonesia
(Hasrullah, 2009; 46). Berdasarkan pendapat tersebut, dapat dikatakan bahwa
kekerasan (konflik) komunal dalam masyarakat Indonesia bukanlah hal baru
melainkan sudah menjadi warisan secara turun temurun dan membudaya. Maka
akan sangat sulit untuk menghilangkan sama sekali konflik yang ada di tengah
masyarakat.
Indonesia tengah berada dalam suatu transisi yang historis. Transisi Indonesia,
setidaknya, terdiri dari tiga perubahan besar. Pertama adalah transisi dari suatu
sistem politik dan pemerintahan yang otokratik menuju suatu sistem yang
demokratis. Kedua, adalah transisi dari sistem ekonomi yang bersifat kapitalisme
perkoncoan dan patron-klien (patron-client and crony capitalist) menuju suatu sistem
ekonomi pasar yang berdasarkan pada suatu aturan permainan yang jelas (rulesbased market economy). Ketiga adalah transisi dari sistem sosial politik dan

ekonomi yang sentralistik menuju sistem yang terdesentralisasi. Proses transisi itu
sedang berjalan, namun tidak ada yang bisa memastikan apakah transisi itu akan
berhasil mencapai keadaan yang diinginkan serta berlangsung mulus. Tidak ada
pula yang dapat memastikan berapa lama waktu yang akan dibutuhkan untuk
mencapi suatu keadaan keseimbangan sosial politik yang baru (Tadjoeddin, 2002;
11).
Corak dan pola konflik horizontal yang saat ini sering terjadi di Indonesia
berdampak kepada disintegrasi bangsa. Cita-cita kebangsaan dimana Bhinneka
Tunggal Ika menjadi sarana pemersatu bangsa tidak akan ampuh lagi. Menurut
Suparlan (2003; 26) terdapat beberapa indikator yang menjadi penyebab konflik di
Indonesia, sebagai berikut:
1. Corak bhinneka tunggal ika sebagai lambang negara yang menekankan
komposisinya pada keanekaragaman sukubangsa dan kesukubangsaan, dan
bukannya pada kebudayaan sebagai fokus keanekaragamannya, dan
keanekaragaman

sukubangsa

sebagai

produk

dari

keanekaragaman

kebudayaan tersebut;
2. Sistem nasional yang otoriter-militeristis dan korup dalam segala aspeknya
sehingga terjadi berbagai bentuk pemanipulasian hukum dan SARA bagi
berbagai

kepentingan

dan

keuntungan

oknum,

yang

menyebabkan

munculnya rasa ketidakadilan hanya dapat diatasi dalam perlindungan


sukubangsa dan kesukubangsaan; dan
3. Corak

masyarakatnya

yang

tidak

demokratis

walau

diakui

sebagai

demokratis. Dalam pemerintahan Soeharto, konsep demokrasi diberi embelembel, seperti demokrasi Pancasila, yang hanya menjadi angan-angan
karena tidak operasional. Karena itu, demokrasi tidak menjadi ideologi dalam

pengertian yang sebenarnya karena hanya lip-service saja. Demokrasi


Pancasila dalam konteks filsafat dan ideologi menjadi obsolete (Suparlan
1992) karena tidak universal, dan tidak didukung oleh filsafat dan ideologi
lainnya, serta tidak menjadi bagian dari kebudayaan dan pranata-pranata
demokrasi, tetapi menjadi inti dari kebudayaan otoriter-militeristis yang
berlaku. Produk dari penerapan demokrasi Pancasila selama tiga puluh tahun
yang mementingkan lip-service ini tidak hilang begitu saja dengan kejatuhan
pemerintahan Soeharto, karena ia telah menjadi kebudayaan aktual yang
nyata-nyata ada dalam kehidupan orang Indonesia serta dimanfaatkan untuk
keselamatan jiwa-raga dan harta benda, untuk keuntungan sosial, ekonomi,
dan politik.
Studi yang dilakukan oleh United Nations Support Facility for Indonesia
Recovery (UNSFIR) pada tahun 2004 dengan melihat statistik insiden konflik yang
terjadi dan mendata jumlah korban jiwa dari tahun 1990 hingga 2003 menunjukkan;
sejumlah 10.758 (96,4%) korban tewas akibat kekerasan antar-kelompok di 14
propinsi, sedangkan sisanya terjadi di 15 propinsi lainnya. Data lengkapnya dapat
dilihat sebagai berikut:
Tabel 2. Kekerasan Antar-kelompok di Indonesia
Propinsi
Korban Tewas
%
Insiden
Maluku Utara
2.794
25
72
Maluku
2.046
18,3
332
Kalimantan Barat
1.525
13,6
78
Jakarta
1.332
11,8
178
Kalimantan Tengah
1.284
11,5
62
Sulawesi Tengah
669
6
101
Jawa Barat
256
2,3
871
Jawa Timur
254
2,3
551
Jawa Tengah
165
1,5
506
Sulawesi Selatan
118
1,1
223
Nusa Tenggara Barat
109
1
198
Riau
100
0,9
165
Nusa Tenggara Timur
89
0,8
55
Banten
37
0,3
112

%
1,7
7,8
1,8
4,2
1,5
2,4
20,4
5,3
11,9
5,2
4,6
3,9
1,3
2,6

Total Propinsi
Selain 14 propinsi
Total Keseluruhan

10.758
402
11.160

96,4
3,6
100

3.608
662
4.270

84,5
15,5
100

Sumber: diolah dari Hasrullah (2009; 9). Data dari hasil studi United Nations Support Facilities for
Indonesia Recovery (UNSFIR) dipublikasikan pada tahun 2004.

UNSFIR juga memetakan kategori konflik horizontal di Indonesia. Berdasarkan


hasil studi UNSFIR tersebut didapatkan bahwa kategori paling tinggi dalam konflik
horizontal di Indonesia adalah kekerasan ethno-communal (kelompok etnis) dengan
korban tewas mencapai 82 persen (9.612 jiwa) dari total keseluruhan data yang ada.
Kategori lain yang dipetakan oleh UNSFIR adalah state-community, economic, dan
lain-lain. Data lengkapnya dapat dilihat sebagai berikut:
Tabel 3. Kategori Kekerasan Kelompok di Indonesia (1990-2003)
Insiden
Kategori
Meninggal
%
Insiden
%
Meninggal
Ethno-Communal
9.612
89,3
599
16,6
409
State-Community
105
1,0
423
11,7
55
Economic
78
0,7
444
12,3
34
Others
963
9
2.142
59,4
610

%
39,4
5,3
3,3
58,8

Sumber: diolah dari Hasrullah, 2009; 14. Data dari hasil studi United Nations Support Facilities for
Indonesia Recovery (UNSFIR) dipublikasikan pada tahun 2004.

Melihat data yang ada, dapat menjadi gambaran dan acuan kepada kita semua
bagaimana konflik horizontal menjadi penghancur tatanan kehidupan berbangsa dan
bernegara. Konflik horizontal bukanlah pola konflik baru di Indonesia karena sejak
dulu bangsa Indonesia sudah menjadikan konflik horizontal (komunal) sebagai
bagian dari budayanya, seperti penghakiman para pencuri ayam, pemerkosa, hingga
perang saudara dalam memperebutkan kekuasaan. Korbannya sudah dapat
dipastikan adalah rakyat baik korban jiwa hingga korban harta benda. Saat perang
suku berkecamuk di Sambas dan Sampit, banyak etnis Madura yang mengungsi dan
keluar dari Kalimantan Barat bahkan mereka cenderung tidak kembali lagi.
Beberapa tempat di Kalimantan Barat tidak boleh lagi dimasuki oleh etnis Madura.
Pun demikian dengan Poso dan Ambon. Meskipun sudah ada penyelesaian damai
melalui Perjanjian Malino I dan Malino II, benih konflik tetap menyala hanya

menunggu pemicunya kembali. Selama ketimpangan ekonomi, stereotip, stigma,


etnosentrisme, primordialisme, serta kepentingan elite dalam perebutan kekuasaan
masih terjadi, maka konflik horizontal akan tetap ada.

Konflik Dalam Perspektif Komunikasi


Teori konflik pertama sekali berkembang pada dekade 1950-an hingga 1960-an
yang berkembang di daratan Eropa lalu dikembang pula oleh ilmuwan sosial di
Amerika. Teori konflik dikembangkan seiring meredupnya teori struktural fungsional
yang dikembangkan oleh Talcott Parsons (1983) melalui karyanya The Structure of
Social Action (Haryanto, 2012; 11-13). Teori konflik memberikan catatan kritikan
terhadap teori struktural fungsional karena teori ini cenderung melihat konflik
sebagai patologis (suatu keabnormalan dalam masyarakat) dan bersifat destruktif
bagi masyarakat. Sebaliknya teori konflik melihat bahwa masyarakat pada dasarnya
memiliki unsur-unsur konflik, selain unsur-unsur integratif semisal konsensus sosial
(Haryanto, 2012; 39). Esensi dari teori konflik sendiri adalah pengakuannya bahwa
realitas sosial diorganisasikan berdasarkan ketimpangan distribusi nilai dan sumber
daya, seperti kesejahteraan material, kekuasaan dan prestise serta ketimpanganketimpangan lain yang secara sistematik meningkatkan tegangan di antara
kelompok-kelompok masyarakat.
Berdasarkan esensi dari teori konflik tersebut, para ahli membuat formulasi
definisi tentang konflik. Pendefinisian konflik ini oleh beberapa ahli disesuaikan
dengan bidang keilmuannya. Misalnya Darwin dan Maltus membahas dan
mendefinisikan konflik dari sudut pandang kompetisi untuk mendapatkan sumber
daya. Sementara Ferrington dan Chertok membahas Marxian Theory yang
memandang konflik adalah struktur dasar kondisi masyarakat dan konflik yang

merupakan bagian lazim dalam setiap hubungan manusia (Hasrullah, 2009; 39).
Dari berbagai definisi yang diberikan oleh para ahli sosial terhadap konflik, pada
dasarnya mengerucut pada satu pemahaman yaitu konflik merupakan pertentangan
antara satu/sekelompok orang untuk pemenuhan kepentingannya. Penemuhan
kepentingan ini dapat dilakukan melalui konflik lisan (dialog atau musyawarah) atau
konflik fisik (perang, kerusuhan, dan sebagainya).
Lantas bagaimana komunikasi memandang konflik tersebut. Beberapa fakta
hasil kajian para peneliti sosial bahwa konflik sebabkan oleh komunikasi. Bahkan
menurut Myers (1982) konflik terjadi karena adanya interaksi yang disebut
komunikasi. Hal ini dimaksudkan apabila kita ingin mengetahui konflik berarti kita
harus

mengetahui

kemampuan

dan

perilaku

komunikasi.

Semua

konflik

mengandung komunikasi, tapi tidak semua konflik berakar pada komunikasi yang
buruk. Myers berpendapat, jika komunikasi adalah suatu proses transaksi yang
berupaya mempertemukan perbedaan individu secara bersama-sama untuk mencari
kesamaan makna, maka dalam proses itu, pasti ada konflik. Konflik pun tidak hanya
diungkapkan secara verbal tapi juga diungkapkan secara nonverbal seperti dalam
bentuk raut muka, gerak badan, yang mengekspresikan pertentangan (Stewart &
Logan, 1993: 341). Konflik tidak selalu diidentifikasikan sebagai terjadinya saling
baku hantam antara dua pihak yang berseteru, tetapi juga diidentifikasikan sebagai
perang dingin antara dua pihak karena tidak diekspresikan langsung melalui kata
kata yang mengandung amarah (www.id.wikipedia.org).
Komunikasi tidak bisa hanya dipandang sebagai pelengkap dalam interaksi
sosial manusia. Bahkan lebih dari itu bahwa komunikasi menjadi elemen penting
dalam setiap pola tindakan individu dalam kaitannya sebagai makhluk sosial.
Komunikasi berfungsi meningkatkan hubungan kemanusiaan di antara pihak-pihak

yang berkomunikasi (Cangara; 2011; 61). Melalui komunikasi setiap manusia dapat
membangun hubungan yang baik sehingga menghindari dan mengatasi terjadinya
konflik dalam masyarakat. Komunikasi dapat menjadi cerminan bangsa yang
beradab dan indikator sebuah negara demokrasi.
Untuk menyatakan suatu negara menganut prinsip demokrasi, ada 11 pilar
yang menjadi penyangganya, yaitu, (1) konstitusi yang ditaati, (2) pemilihan umum
yang demokratis, (3) federalism untuk mendekatkan pemerintah kepada rakyatnya,
(4) pembuatan undang-undanng oleh legislatif, (5) sistem peradilan yang
independen, (6) kekuasaan lembaga kepresidenan, (7) peranan media massa yang
bebas, (8) peranan kelompok-kelompok kepentingan, (9) adanya hak rakyat untuk
mengetahui, (10) melindungi hak-hak minoritas, dan (11) adanya adanya kontrol sipil
terhadap militer (Cangara, 2005; 6). Dari 11 indikator negara demokratis tersebut,
setidaknya terdapat dua indikator (nomor 7 dan 9) yang terkait erat dengan peran
komunikasi. Artinya, komunikasi menjadi usur urgent dalam kehidupan masyarakat.
Komunikasi bisa menjadi pemicu konflik dan perusak tatanan kebangsaan
apabila terjadi kegagalan komunikasi atau terjadi kemacetan komunikasi. Perlu
diingat bahwa komunikasi adalah bagian mutlak dari proses budaya yang adab.
Komunikasi merupakan proses penciptaan kebersamaan dalam makna. Dalam
masyarakat yang kurang adab dan demokratis, sulit terjadi komunikasi yang wajar
karena semua makna menjadi hak tafsir si penguasa. Slogannya adalah sambung
rasa, namun rasa-rasanya tidak ada yang nyambung. Siaran berita adalah siaran
pandangan penguasa. Pers yang bertanggung jawab adalah pers yang harus
memberikan pertanggungjawaban kepada penguasa yang memberikan izin terbit
bukan kepada publik. Kementerian Penerangan adalah Kementerian Kebenaran
(Ministry of Truth). Menggembirakan, dalam kurun waktu setahun terakhir ini telah

terbit secercah harapan akan hidupnya demokrasi pers kita. Demokrasi pers kita
diharapkan bisa menjadi jembatan tumbuhnya komunikasi interaktif yang wajar
antara masyarakat dan penguasa.
Konflik horizontal di Indonesia pun banyak disebabkan oleh komunikasi.
Temuan dari hasil penelitian Maria Lamria (2004), Yohanes Bahari (2005), dan Ira
Mirawati (2011) mengindikasikan bahwa konflik sosial, etnis, ras, dan agama antar
warga (horizontal) disebabkan oleh kegagalan dalam mengelola pesan-pesan verbal
dan non-verbal. Masyarakat pendatang cenderung menggunakan bahasa yang
berbeda dengan penduduk lokal meskipun telah ada kesepakatan (tidak tertulis)
untuk menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu bangsa, akan
tetapi logat atau aksen yang digunakan oleh masing-masing orang yang berinteraksi
masih mengikuti logat atau aksen dari sukunya masing-masing. Kondisi ini
menyebabkan sulitnya menerima pesan yang disampaikan, lalu terjadi kesalahan
interpretasi, hingga akhirnya memicu konflik.
Kegagalan pengelolaan pesan tidak hanya terjadi secara verbal (lisan), pesan
non-verbal juga ikut menyumbang terjadinya konflik antar warga. Mirawati (2011)
mengatakan bahwa konflik antara Suku Dayak dan Madura di Kalimantan Barat juga
disebabkan karena gaya berpakaian dan bersosialisasi masyarakat Suku Madura
yang sering membawa Clurit (senjata khas Madura) dan parang kemanapun mereka
pergi. Hal ini mengindikasikan bahwa mereka (Suku Madura) merasa dirinya hebat
dan jagoan. Faktor Emosional pun tidak bisa dilepaskan dari Suku Madura. Mereka
cenderung akan ringan tangan (membunuh dengan parang atau Clurit) orang yang
bersengketa dengan mereka, termasuk jika mereka bersengketa dengan orang dari
Suku Dayak.

Selama konflik Ambon dari tahun 1999 hingga 2002 yang mengakibatkan
korban jiwa hampir 10 ribu jiwa, ternyata juga menyeret peran media massa dalam
pusaran konflik (Cangara, 2005; 8-10). Dalam suasana perang (konflik) media dapat
dibagi secara tegas dalam dua kategori, yaitu, hot media (media panas) dan cold
media (media dingin). Media panas terindikasi sebagai media yang cenderung
memanaskan suasana, selalu mencari titik-titik kerusuhan atau konflik untuk
selanjutnya disiarkan dengan cara yang bombastis. Media jenis ini cenderung
mengabaikan etika dalam setiap liputannya. Tujuan dari media seperti ini adalah
mencari jumlah oplah atau rating yang tinggi. Media jenis ini yang menjadikan konflik
tetap bertahan dan menjadi sulit dikendalikan.
Sedangkan media dingin terindikasi sebagai media yang cenderung
menjalankan teknik-teknik peace journalism (jurnalisme damai). Paradigma ini
dilandaskan bahwa perang atau konflik hanya membawa kepada ke sengsaraan
bagi masyarakat dan kehancuran bagi peradaban manusia. Dalam setiap liputannya,
media dingin cenderung mengabarkan sisi kemanusiaan yang terenggut oleh
konflik dan berupaya agar semua masyarakat yang berkonflik sadar akan dampak
buruk yang ditimbulkan konflik. Media jenis ini juga berupaya terciptanya resolusi
konflik secara tepat dan bermartabat bagi seluruh masyarakat.
Media massa merupakan sarana komunikasi yang dapat memengaruhi massa
secara cepat konon lagi dala situasi konflik. Media mass mengikuti Hypodhermic
Needle Theory/Bullet Theory (teori jarum suntik) (Arifin, 2003; 41-45) -bahwa
khalayak cenderung menelan mentah-mentah apa yang disampaikan oleh media.
Tidak ada filterisasi dalam pikiran dan benak khalayak sehingga apa yang
disampaikan media itulah yang dipahami khalayak sebagai suatu kebenaran.
Merujuk perdapat tersebut, maka sudah seharusnya media massa mereposisikan

dirinya untuk terlibat aktif dalam upaya perdamaian dan penyelesaian konflik, melalui
pemberitaan yang tidak melulu mengenai jumlah korban, jumlah rumah yang
dibakar, serta jumlah tanah yang dirampas melainkan pemberitaan-pemberitaan
mengenai efek buruk dari konflik.

Peranan Komunikasi Dalam Penyelesaian Konflik Horizontal


Konflik merupakan aspek yang tidak bisa dihindarkan dari setiap hubungan.
Jika diatur dengan tidak tepat maka konflik dapat mengarah pada masalah yang
tidak dapat diperbaiki disintegrasi bangsa. Ada keterkaitan antara konflik dan
komunikasi seperti yang dikemukakan oleh Pepper (dalam Samovar, dkk., 2010;
382) bahwa komunikasi merupakan karakter konflik yang dominan karena berfungsi
sebagai alat penyebar konflik dan sumber dari manajemen konflik. Komunikasi hadir
sebagai wujud yang melekat dalam diri masyarakat sosial. Seperti halnya konflik,
komunikasi hadir seiring dengan kehadiran manusia di muka bumi.
Komunikasi ibarat dua mata pedang di satu sisi dapat menjadi pemicu
lahirnya konflik karena kegagalan cara berkomunikasi yang efektif, di sisi lain
berperan sebagai pencegah dan penyelesai konflik itu sendiri. Komunikasi bukanlah
panasea (obat mujarab) bagi segala konflik dalam kehidupan sosial, namun
komunikasi dapat berperan sebagai pereduksi potensi munculnya konflik. Peran
komunikasi dalam pencegahan dan penyelesaian konflik horizontal di Indonesia
dapat dilaksanakan melalui beberapa bentuk, sebagai berikut:
1. Menggiatkan seluruh elemen masyarakat untuk terlibat dalam pendidikan
damai, toleransi, serta kehidupan berbangsa dan bernegara. Program ini
perlu dilakukan mengingat memudarnya nilai-nilai toleransi di tengah
masyarakat. Pola pemerintahan yang berubah menjadikan kedamaian di

tengah masyarakat yang pluralis seperti Indonesia ikut terancam. Maka


pendidikan damai dan toleransi harus kembali digiatkan agar tumbuh rasa
saling menghargai dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI).
2. Mengembangkan sistem pencegahan dan penyelesaian konflik melalui jalan
damai. Program ini dapat dilaksanakan melalui membentuk Lembaga Adat
atau Majelis Adat di setiap daerah di Indonesia. Lembaha Adat atau Majelis
Adat yang ada saat ini di Indonesia hanya dimiliki oleh beberapa daerah
saja, seperti, Aceh, Ambon, dan Papua. Alangkah lebih bijaknya jika
pemerintah membentuk lebaga serupa di tiap propinsi guna melakukan
pendekatan

humanis

kepada

seluruh

lapisan

masyarakat

tentang

pentingnya menjaga kedamaian dan persatuan antar-sesama manusia.


3. Meredam potensi konflik melalui program-program seperti; melakukan
perencanaan dan pelaksanaan pembangunan yang memerhatikan aspirasi
masyarakat, menerapkan prinsip tata kelola pemerintahan yang baik,
melakukan

program

perdamaian

di

daerah

berpotensi

konflik,

mengintensifkan dialog antar-kelompok masyarakat, dan menegakkan


hukum tanpa diskriminatif. Dalam negara demokrasi, pola komunikasi yang
dijalankan adalah dialogis, interaktif, dan transaksional (komunikasi dua
arah), dimana setiap kebijakan yang akan dikeluarkan pemerintah
merupakan hasil dari perundingan dengan melibatkan masyarakat.
4. Pola penyelesaian konflik harus diubah dari hard power (menggunakan
kekuatan militer) kepada soft power (lebih mengedepankan dialog).
Penyelesaian konflik melalui dialog merupakan pendekatan bermartabat
karena semua pihak yang terlibat konflik duduk dalam satu meja

memikirkan

penyelesaian

yang baik

bagi kelangsungan

kehidupan

masyarakat. Pola penyelesaian konflik seperti ini sudah dilakukan oleh


pemerintah dalam menangani konflik Aceh, Ambon, dan Poso. Meskipun
tidak ada jaminan bahwa konflik tidak terulang lagi, namun dialog menjadi
contoh ampuh bagi penyelesaian konflik. Dalam dialog tidak berlaku zero
sum game (menang-kalah) melainkan win win solution (secara bersama
memperoleh keuntungan) sehingga kepentingan dua belah pihak yang
berkonflik terakomodir.
5. Meningkatkan peran media massa dalam mendukung program perdamaian
serta ikut terlibat dalam penyelesaian konflik horizontal. Media massa
memiliki kekuatan yang besar dalam merekonstruksi perilaku masyarakat.
Paradigm media massa harus diubah karena selama ini media cenderung
berideologi war journalism dalam daerah konflik. Sudah saatnya media
massa menjalankan peace journalism sebagai bentuk tanggung jawab
sosialnya.
Tentunya masih banyak peran komunikasi yang dapat dirunut sebagai sarana
penyelesaian konflik horizontal. Konflik tidak dapat dihilangkan dari interaksi
masyarakat. Konflik hanya dapat diredam untuk tidak muncul ke permukaan. Kalau
pun muncul, paling tidak dapat dibendung efek dari konflik tersebut. Komunikasi
dapat dimanfaatkan sebagai media untuk menciptakan kohesi masyarakat sehingga
cita-cita bangsa Indonesia menjadi bangsa yang beradab seperti yang diamanahkan
Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila dapat tercapai.

Kesimpulan
Dari pembahasan yang telah dipaparkan, kesimpulan yang dapat ditarik adalah
sebagai berikut:
1. Konflik merupakan ancaman bagi keharmonisan kehidupan masyarakat
bahkan ia menjadi ancaman bagi disintegrasi bangsa. Konsekuensi logis
dari bangsa yang plural seperti Indonesia adalah tumbuh suburnya konflik
horizontal di masyarakat. Konon lagi Indonesia baru memasuki era
demokrasi

dimana

keterbukaan,

aspirasi,

dan

kebebasan

menjadi

implikasinya.
2. Konflik horizontal merupakan bentuk ekspresi ketimpangan sosial yang
diwariskan oleh rezim Orde Baru. Meskipun dalam tataran luar selama Orde
Baru, konflik nyaris tidak ada dan kondisi keamanan nasional terkendali,
namun potensi konflik tetap tertanam dan menunggu pemicunya saja.
3. Ketidakpuasan elite politik terhadap hasil kompetisi yang berlangsung
menjadi salah satu faktor pendorong terjadinya konflik horizontal sehingga
cenderung memanfaatkan isu perbedaan etnis, agama, dan SARA sebagai
pelampiasan kepentingan yang tidak terakomodir.
4. Banyak faktor yang menyebabkan konflik horizontal dapat terjadi, akan
tetapi yang paling penting dari semuanya adalah komunikasi. Mengikuti
sebuah pameo, komunikasi bukanlah segala-galanya namun segalagalanya perlu di komunikasikan. Komunikasi dapat menjadi pemicu lahirnya
konflik, namun komunikasi juga dapat menjadi benteng untuk mencegah
konflik itu terjadi.
5. Media massa ikut terlibat dalam pusaran konflik melalui pemberitaan yang
cenderung memperparah konflik, alih-alih membantu agar konflik cepat

berakhir. Hal ini tidak lebih dikarenakan paradigm lama yang masih dipakai
oleh insan pers, yaitu, bad news is good news.
6. Pemerintah cenderung menggunakan pendekatan hard power (kekuatan
militer) dalam menyelesaikan konflik horizontal di Indonesia, sedangkan
masyarakat butuh pendekatan yang lebih humanis (manusiawi) dan
mengutamakan dignity (martabat).
7. Tidak tuntasnya penyelesaian konflik oleh pemerintah sehingga menyisakan
residu seperti dendam, ketidakadilan, dan lain-lain dimana hal ini akan
sewaktu-waktu akan muncul sebagai pemicu konflik di masa yang akan
datang.

Rekomendasi
Hasil kajian ini memberikan rekomendasi sebagai berikut:
1. Konflik selamanya tidak akan hilang dari kehidupan masyarakat sehingga
pola

penangannya

pun

harus

dilakukan

secara

sungguh-sungguh.

Khusunya bagi masyarakat ada beberapa teknik untuk menghindari konflik,


yaitu, (1) pelajari budaya lain untuk menghilangkan stigma dan stereotip,
dan (2) kurangi etnosentrisme yaitu anggapan bahwa budaya sendiri jauh
lebih hebat dari budaya orang lain serta perilaku primordialisme.
2. Perlu adanya komitmen penuh dari semua pihak (pemerintah dan
masyarakat) untuk tetap menjaga suasana damai dengan meminimalisir
disparitas pembangunan dan ekonomi di masyarakat.
3. Dalam masyarakat yang tingkat heterogenitasnya tinggi perlu diupayakan
keseimbangan pembagian kekuasaan (power sharing) agar tidak muncul
anggapan the winner take all.

4. Kecerdasan dalam berpolitik perlu diilhami oleh seluruh elite politik


khususnya elite politik lokal agar tidak menjadikan kepentingan pribadi di
atas segalanya sehingga mereduksi nilai-nilai kebersamaan sebagai
masyarakat yang bermartabat.
5. Pemerintah harus segera mengupayakan sistem penanganan konflik sosial
terkait dengan pencegahan, penyelesaian, dan pemulihan pasca-konflik.
Pencegahan dapat dilakukan dengan cara meredam potensi konflik,
menyiapkan sistem penanganan konflik, dan membangun sistem peringatan
dini. Sedangkan penyelesaian konflik dapat dilakukan dengan cara
penghentian kekerasan fisik, penyelesaian konflik melalui komunikasi harus
dilakukan dengan cara dialog dan perundingan karena lebih mengutamakan
pendekatan humanis (manusiawi). Peran militer dalam penyelesaian konflik
perlu dikurangi karena masyarakat sudah trauma setelah hampir 30 tahun
dikekang dalam rezim militer berbalut demokrasi, penetapan status
keadaan fisik, serta tindakan darurat dan perlindungan korban. Sementara
itu untuk pemulihan pasca-konflik dapat dilakukan melalui pembentukan
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) sebagai lembaga independen
dalam mencatat jumlah korban jiwa dan infrastruktur yang rusak saat konflik
serta berupaya merekomendasikan pemenuhan hak korban.
6. Lembaga Adat atau Majelis Adat perlu segera dibentuk di setiap daerah di
Indonesia. Lembaga ini nantinya yang menjadi mitra pemerintah dalam
menjalankan

tugas

meredam

potensi

konflik

melalui

pendidikan

masyarakat, menjadi penengah saat konflik terjadi melalui proses dialog,


serta menjadi pengontrol saat proses pemulihan pasca-konflik dilakukan
agar semua masyarakat yang terkena dampak dari konflik tidak terabaikan

sehingga dendam konflik muncul yang bisa memicu lahirnya konflik di masa
yang akan datang.
7. Peran media massa dalam meredam potensi konflik dan mengupayakan
penyelesaian konflik melalui cara-cara damai harus ditingkatkan. Paradigma
awak media harus diubah dari war journalism (jurnalisme perang) kepada
paradigm peace journalism jurnalisme damai) sehingga fungsi kontrol media
massa sebagai tanggung jawab dalam iklim bebas bertanggung-jawab
dapat dilaksanakan dengan baik.
8. Pemerintah diharapkan dapat memaksimalkan penerapan Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial dan Instruksi
Presiden Nomor 2 Tahun 2013 tentang Penanganan Gangguan Dalam
Negeri. Jika kedua aturan ini dioptimalkan pelaksanaannya diharapkan ke
depan konflik sosial (horizontal) di Indonesia dapat diminimalisir.

Referensi
Arifin, Anwar. 2003. Komunikasi Politik; Paradigma, Teori, Aplikasi, Strategi, dan
Komunikasi Politik di Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Bahari, Yohanes. 2005. Resolusi Konflik Berbasis Pranata Adat Pamabakang dan
Pati Nyawa pada Masyarakat Dayak Kanayatn di Kalimantan Barat.
Disertasi. Bandung: Universitas Padjajaran.
Cangara, Hafied. 2005. Kebebasan dan Tanggung Jawab Media Massa Indonesia di
Tengah Reformasi dan Ancaman Disintegrasi Bangsa. Pidato pengukuhan
Guru Besar dalam Bidang Ilmu Komunikasi, FISIP, Universitas Hasanuddin.
Makassar.
--------------------. 2011. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: RajaGrafindo Perkasa.
Djumala, Darmansjah. 2013. Soft Power Untuk Aceh; Resolusi Konflik dan Politik
Desentralisasi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Gunawan, Ketut. 2011. Manajemen Konflik Atasi Dampak Masyarakat Multikultural
di Indonesia. Jurnal Mitra Ekonomi dan Manajemen Bisnis, Vol. 2, No. 2, hal.
212-224. PDF.
Haryanto, Sindung. 2012. Spektrum Teori Sosial; Dari Klasik Hingga Postmodern.
Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Hasrullah. 2009. Dendam Konflik Poso (Periode 1998-2001); Konflik Poso dari
Perspektif Komunikasi Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Lamria, Maria. Tth. Analisa Terhadap Terjadinya Konflik Horizontal di Kalimantan


Barat. Jurnal Hukum Humaniter.
Mirawati, Ira. 2011. Manajemen Komunikasi dan Perdamaian Antaretnis. Dalam
Atwar Bajari dan S. Sahala Tua Saragih. Komunikasi Kontekstual; Teori dan
Praktik Komunikasi Kontemporer (hal. 247-278). Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Samovar, Larry, Richard E. Porter, dan Edwin R. Mcdaniel. 2010. Komunikasi Lintas
Budaya; Communication Between Cultures. Indri Margaretha Sidabalok
(penj.). Jakarta: Salemba Humanika.
Suparlan, Parsudi. 2003. Bhinneka Tunggal Ika; Keanekaragaman Sukubangsa atau
Kebudayaan?. Jurnal Antropologi Indonesia 72. PDF.
Suryanto Gono, Joyo Nur. 2001. Resolusi Konflik. Majalah Pengembangan Ilmu-Ilmu
Sosial-FORUM FISIP Undip, Vol. 30, No. 2, hal. 86-90. PDF.
Tadjoeddin, Muhammad Zulfan. 2002. Anatomi Kekerasan Sosial Dalam Konteks
Transisi; Kasus Indonesia 1990-2001. Working Paper: 02/01-I United
Nations Support Facility for Indonesian Recovery. Jakarta: UNSFIR. PDF.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 Tentang Penangangan Konflik Sosial.
http://www.bps.go.id/. 2010. Diakses 14 Juni 2013, pukul 22.30 WITa.
http://www.jpnm.com/. 2010. Diakses 14 Juni 2013, pukul 22.00 WITa.
http://www.id.wikipedia.org/wiki/Konflik. Diakses 15 Juni 2013, pukul 10.00 WITa.

Das könnte Ihnen auch gefallen