Beruflich Dokumente
Kultur Dokumente
Pendahuluan
Konflik menjadi momok yang menakutkan bagi warga negara. Hal ini karena
efek yang timbul akibat konflik itu, seperti, kehilangan harta benda, dirampasnya hak
milik tanah, pendudukan wilayah, bahkan hilangnya nyawa. Konflik sudah ada sejak
manusia hadir di muka bumi. Pertarungan antara Habil dan Qabil anak Nabi Adam
a.s. dianggap sebagai konflik dan pembunuhan pertama yang terjadi di bumi. Seiring
waktu berjalan, sejarah dunia mencatat bahwa tidak ada satu masa pun dalam
kehidupan manusia lepas dari konflik.
Bagi ilmuwan sosial, konflik merupakan suatu kewajaran dalam kehidupan
manusia. Para ilmuwan teori konflik seperti Ralf Dahrendorf mengatakan,
masyarakat sebenarnya mempunyai unsur-unsur konflik (Haryanto, 2012; 39).
Dalam pandangan ini berarti juga bahwa manusia dan konflik itu merupakan satu
kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Konflik muncul akibat adanya kepentingan
manusia dan upaya pemenuhan kepentingan itu. Kepentingan dalam hal ini dapat
pula berupa kebutuhannya. Jika mengacu kepada Teori Evolusi Darwin, hanya yang
mampu beradaptasi yang mampu bertahan hidup. Nyatanya bahwa kemampuan
beradaptasi ini tidak jarang dilakukan melalui cara-cara pertahan diri untuk
memenuhi kebutuhan. Cara-cara pertahan diri inilah yang cenderung disebut
sebagai konflik.
Indonesia sebagai bangsa yang besar dengan keberagaman etnis dan agama,
menjadi daerah yang rawan terjadi konflik, termasuk konflik horizontal. Laporan dari
United Nations Support Facilities for Indonesia Recovery (UNSFIR) yang
dipublikasikan pada tahun 2004, menunjukkan terdapat 4.720 kasus konflik
horizontal (komunal) yang terjadi di Indonesia dalam rentang waktu 1999-2003
dengan jumlah korban tewas 11.160 jiwa (Hasrullah, 2009; 8). Belum lagi data
infrastruktur yang rusak, seperti, rumah yang dibakar, masjid atau gereja yang
dibakar, dan lain sebagainya. Melihat angka tersebut tentunya menjadi gambaran
betapa besarnya dampak yang ditimbulkan oleh konflik, maka banyak orang
cenderung melihat konflik sebagai sebuah tragedi kemanusiaan alih-alih sebagai
bagian integral dalam kehidupan manusia untuk mencapai tujuan hidupnya.
Konflik horizontal dapat dimaknai sebagai konflik yang melibatkan gesekan dan
pertempuran antar masyarakat. Konflik yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia
menunjukkan antara lain kurangnya kemampuan pemerintah dalam mengatasi
penyebab terjadinya konflik. Konflik muncul dengan menggunakan simbol-simbol
etnis, agama, dan ras. Hal ini terjadi akibat adanya akumulasi "tekanan" secara
mental, spiritual, politik sosial, budaya dan ekonomi yang dirasakan oleh sebagian
masyarakat. (Lamria, 2004).
Banyak ilmuwan dan peneliti sosial merinci dan memformulasikan penyebabpenyebab konflik horizontal di Indonesia. Meskipun kebanyakan adalah faktor
ketimpangan ekonomi dan kegagalan akulturasi masyarakat pendatang dengan
masyarakat pribumi. Namun yang paling penting dan tidak bisa dilupakan begitu saja
adalah faktor komunikasi. Komunikasi selalu menjadi masalah yang melekat pada
konflik antar etnis. Kalau bukan sebagai penyebab terjadinya konflik, maka ia
menjadi masalah yang kemudian muncul pasca-konflik. Sayangnya, urgensi
komunikasi dalam kehidupan tidak dilihat sebagai aspek penting yang perlu dibenahi
maka yang kemudian terjadi adalah konflik horizontal yang tak kunjung habis dan
cenderung akan berulang, mengingat negara Indonesia adalah negara multi-etnis
terbesar di dunia. Komunikasi sebagai pemicu terjadinya konflik dikarenakan
kemacetan komunikasi yang terjadi baik antara elite politik (pemerintah) dengan
masyarakat ataupun sesama masyarakat. Komunikasi dapat menjadi trigger
(pemicu) terjadinya konflik baik vertikal maupun horizontal. Namun komunikasi juga
dapat menjadi pencegah terjadinya konflik. Komunikasi dapat pula menjadi sarana
sebagai jalan keluar dari sebuah konflik.
(www.jpnn.com, 2010). Akan tetapi data ini bukanlah data spesifik karena masih ada
sukubangsa yang belum terdata. Salah satu kendala dalam melakukan sensus
suskubangsa ini adalah keberadaan tiap sukubangsa ini yang tersebar bahkan
berada di daerah-daerah terpencil. Jumlah agama yang dianut oleh masyarakat
Indonesia dan diakui oleh negara adalah Islam (88%), Kristen Protestan (6%),
Khatolik Roma (3%), Hindu (2%), Budha (kurang dari 1 %) (Gunawan, 2011; 213).
Semua etnis dan agama tersebut tersebar di seluruh wilayah Indonesia dan
terkadang membentuk wilayah masing-masing. Saat globalisasi menerpa Indonesia
dimana kemajuan di bidang teknologi transportasi dan komunikasi menjadi
indikatornya, terjadi pula mobilisasi besar-besaran. Satu etnis tidak hanya hidup di
satu tempat saja melainkan hidup di tempat lain bersama dengan etnis atau suku
lain. Setiap saat terjadi perpindahan (migrasi) orang-orang dari berbagai suku
bangsa. Pertemuan-pertemuan ini pula yang menyebabkan terjadinya gesekan
antara pendatang dengan etnis pribumi. Gesekan ini dapat dimaknai sebagai konflik.
Pola perpindahan penduduk (lewat transmigrasi dan urbanisasi) membentuk
kemajemukan yang kompleks di sejumlah daerah, akibatnya konflik komunal tidak
dapat
terhindarkan.
Kebijakan
transmigrasi
yang
dicanangkan
pemerintah,
konflik
horizontal
di
Indonesia
dapat
dikendalikan
bahkan
ditekan
kemunculannya, akan tetapi setiap saat konflik tersebut akan terulang kembali.
Potensi konflik tetap ada dan berkembang di tengah masyarakat, hanya menunggu
pemicunya saja. Jika pemicunya disulut maka konflik antar masyarakat tidak dapat
dihindarkan. Kondisi ini sangat memungkinkan terjadi di Indonesia karena belum
terlaksananya penanganan konflik secara baik oleh pemerintah dan masyarakat,
meskipun pemerintah baru mengesahkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012
tentang Penangan Konflik Sosial.
Kondisi konflik horizontal di Indonesia diperparah oleh kepentingan elite politik
(pemerintah) yang ikut menjadi pemicu lahirnya konflik di tengah masyarakat. Konflik
mencuat kepermukaan bukan karena agama atau etnis melainkan karena dipicu
oleh kepentingan elit dalam perebutan kekuasaan, apakah itu tingkat lurah, camat,
bupati, samapi level gubernur. Agama dan etnis dimobilisasi menjadi konflik SARA
sehingga dalam sekejab berubah menjadi perang etnis (Cangara, 2005; 8).
Salah satu konflik yang melibatkan kepentingan elite politik (pemerintahan)
sebagai pemicu terjadinya konflik adalah konflik Poso, Sulawesi Tengah.
Berdasarkan hasil studi Hasrullah (2009; 177-179) menemukan bahwa meskipun
yang terlihat dipermukaan bahwa konflik Poso merupakan konflik antara dua agama
yang berbeda (Islam dan Kristen) akan tetapi motif dan latar belakang terjadinya
konflik diakibatkan oleh perebutan kepentingan politik elite lokal. Perebutan
kekuasaan ini berimplikasi kepada the winner take all, sehingga elite dari salah satu
kelompok menjadi dominan. Menurut Jusuf Kalla (dalam Hasrullah, 2009; 26),
secara historis, Poso didominasi oleh umat Kristen, sementara umat Islam hanya
kecil jumlahnya (katakanlah 60 persen umat Kristen, 40 persen umat Islam). Pada
masa Orde Baru distribusi kekuasaan dilakukan secara berimbang. Semua elite
mewakili kelompok agama masing sehingga konflik cenderung dapat dikendalikan.
Bukan tidak ada insiden yang dapat mengganggu keamanan dan ketertiban.
Akan tetapi pendekatan militeristik meminjam istilah Nye (Djumala, 2013; 3) hard
power menyebabkan insiden-insiden itu dapat dikendalikan. Namun, bukan berarti
konflik serta merta berakhir hanya karena dominasi militer dan pola represif yang
dilakukan oleh Orde Baru. Justru ideologi separatisme berkembang pesat di tengah
masyarakat. Contohnya, Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Republik Maluku Selatan
(RMS), dan Organisasi Papua Merdeka (OPM) lahir dan berkembang pada masa
Orde Baru berkuasa. Meskipun gerak mereka masih underground agar tidak
diketahui militer, namun bukan berarti pergerakan separatisme ini dapat diabaikan
begitu saja. Inilah menjadi cikal bakal konflik di masa setelah Orde Baru.
Tidak hanya dominasi peran militer yang menyuburkan ideologi pemberontakan
di Indonesia. Program transmigrasi pemerintah turut pula menyumbang sumbu
konflik di masyarakat. Dengan dalil pemerataan ekonomi dan penduduk, pemerintah
melakukan penyebaran penduduk (mayoritas etnis Jawa) ke beberapa daerah
terpencil tapi memiliki sumber daya alam yang melimpah. Pola perpindahan
penduduk ini menjadi kemajemukan yang kompleks bagi masyarakat. Kompleksitas
itu dapat dilihat melalui realitas bahwa penduduk pendatang cenderung mengalami
peningkatan ekonomi lebih tinggi dari pada pribumi. Ketimpangan ekonomi ini
menyebabkan kecemburuan sosial yang selama Orde Baru hanya berada dalam
tataran bawah tanah saja.
Bukan hanya ketimpangan ekonomi yang begitu tinggi, kegagalan akulturasi
pendatang dengan pribumi juga menjadi faktor munculnya benih konflik. Kaum
pendatang cenderung eksklusif dan tidak mau membaurkan dirinya dengan
masyarakat setempat.
dan Saragih (2011; 260) mencatat bahwa dalam konflik etnis di Kalimatan Barat
antara suku Madura dan suku Dayak, turut pula berkembang stereotip sebagai
berikut;
Tabel 1. Stereotip Dalam Konflik di Kalimantan Barat
(Suku Dayak dan Suku Madura)
Suku Dayak
Suku Madura
1. Pemboros
1. Bekulit hitam
2. Tidak suka bekerja keras
2. Bau badan
3. Suka mabuk-mabukan
3. Sok jagoan
Sumber: diolah dari Mirawati dalam Bajari dan Saragih (2011; 60)
Potensi konflik baik vertikal maupun horizontal dapat dikatakan sudah ditanam
oleh Orde Baru. Bila dianalogikan seperti sebuah pohon. Orde Baru sebagai pemilik
menanam pohon dan merawatnya dengan baik. Maka pohon yang tumbuh adalah
pohon yang indah dan terawat. Jika ada rumput-rumput liar maka sang pemilik (Orde
Baru) akan membersihkannya. Pohon itu akan sangat indah jika dilihat oleh orang
lain. Demikian pula kiranya konflik di Indonesia. Pemerintah Orde Baru turut andil
dalam menanam benih konflik di benak masyarakat.
Akhir dari pemerintahan Orde Baru pada bulan Mei 1998, menjadi babak baru
bagi sistem politik, hukum, dan tata negara Indonesia. Keruntuhan Orde Baru yang
dimulai dari krisis moneter yang melanda Asia Tenggara termasuk Indonesia,
menyebabkan pemerintah kehilangan kepercayaan oleh masyarakat. Krisis ini
kemudian berkembang menjadi multi krisis dengan berbagai implikasi, diantaranya
Pemutusan
Hak
Kerja
(PHK),
meningkatnya
pengangguran,
hengkangnya
pemerkosaan.
Konflik
terjadi
dimana-mana
sebagai
pelampiasan
ekonomi yang sentralistik menuju sistem yang terdesentralisasi. Proses transisi itu
sedang berjalan, namun tidak ada yang bisa memastikan apakah transisi itu akan
berhasil mencapai keadaan yang diinginkan serta berlangsung mulus. Tidak ada
pula yang dapat memastikan berapa lama waktu yang akan dibutuhkan untuk
mencapi suatu keadaan keseimbangan sosial politik yang baru (Tadjoeddin, 2002;
11).
Corak dan pola konflik horizontal yang saat ini sering terjadi di Indonesia
berdampak kepada disintegrasi bangsa. Cita-cita kebangsaan dimana Bhinneka
Tunggal Ika menjadi sarana pemersatu bangsa tidak akan ampuh lagi. Menurut
Suparlan (2003; 26) terdapat beberapa indikator yang menjadi penyebab konflik di
Indonesia, sebagai berikut:
1. Corak bhinneka tunggal ika sebagai lambang negara yang menekankan
komposisinya pada keanekaragaman sukubangsa dan kesukubangsaan, dan
bukannya pada kebudayaan sebagai fokus keanekaragamannya, dan
keanekaragaman
sukubangsa
sebagai
produk
dari
keanekaragaman
kebudayaan tersebut;
2. Sistem nasional yang otoriter-militeristis dan korup dalam segala aspeknya
sehingga terjadi berbagai bentuk pemanipulasian hukum dan SARA bagi
berbagai
kepentingan
dan
keuntungan
oknum,
yang
menyebabkan
masyarakatnya
yang
tidak
demokratis
walau
diakui
sebagai
demokratis. Dalam pemerintahan Soeharto, konsep demokrasi diberi embelembel, seperti demokrasi Pancasila, yang hanya menjadi angan-angan
karena tidak operasional. Karena itu, demokrasi tidak menjadi ideologi dalam
%
1,7
7,8
1,8
4,2
1,5
2,4
20,4
5,3
11,9
5,2
4,6
3,9
1,3
2,6
Total Propinsi
Selain 14 propinsi
Total Keseluruhan
10.758
402
11.160
96,4
3,6
100
3.608
662
4.270
84,5
15,5
100
Sumber: diolah dari Hasrullah (2009; 9). Data dari hasil studi United Nations Support Facilities for
Indonesia Recovery (UNSFIR) dipublikasikan pada tahun 2004.
%
39,4
5,3
3,3
58,8
Sumber: diolah dari Hasrullah, 2009; 14. Data dari hasil studi United Nations Support Facilities for
Indonesia Recovery (UNSFIR) dipublikasikan pada tahun 2004.
Melihat data yang ada, dapat menjadi gambaran dan acuan kepada kita semua
bagaimana konflik horizontal menjadi penghancur tatanan kehidupan berbangsa dan
bernegara. Konflik horizontal bukanlah pola konflik baru di Indonesia karena sejak
dulu bangsa Indonesia sudah menjadikan konflik horizontal (komunal) sebagai
bagian dari budayanya, seperti penghakiman para pencuri ayam, pemerkosa, hingga
perang saudara dalam memperebutkan kekuasaan. Korbannya sudah dapat
dipastikan adalah rakyat baik korban jiwa hingga korban harta benda. Saat perang
suku berkecamuk di Sambas dan Sampit, banyak etnis Madura yang mengungsi dan
keluar dari Kalimantan Barat bahkan mereka cenderung tidak kembali lagi.
Beberapa tempat di Kalimantan Barat tidak boleh lagi dimasuki oleh etnis Madura.
Pun demikian dengan Poso dan Ambon. Meskipun sudah ada penyelesaian damai
melalui Perjanjian Malino I dan Malino II, benih konflik tetap menyala hanya
merupakan bagian lazim dalam setiap hubungan manusia (Hasrullah, 2009; 39).
Dari berbagai definisi yang diberikan oleh para ahli sosial terhadap konflik, pada
dasarnya mengerucut pada satu pemahaman yaitu konflik merupakan pertentangan
antara satu/sekelompok orang untuk pemenuhan kepentingannya. Penemuhan
kepentingan ini dapat dilakukan melalui konflik lisan (dialog atau musyawarah) atau
konflik fisik (perang, kerusuhan, dan sebagainya).
Lantas bagaimana komunikasi memandang konflik tersebut. Beberapa fakta
hasil kajian para peneliti sosial bahwa konflik sebabkan oleh komunikasi. Bahkan
menurut Myers (1982) konflik terjadi karena adanya interaksi yang disebut
komunikasi. Hal ini dimaksudkan apabila kita ingin mengetahui konflik berarti kita
harus
mengetahui
kemampuan
dan
perilaku
komunikasi.
Semua
konflik
mengandung komunikasi, tapi tidak semua konflik berakar pada komunikasi yang
buruk. Myers berpendapat, jika komunikasi adalah suatu proses transaksi yang
berupaya mempertemukan perbedaan individu secara bersama-sama untuk mencari
kesamaan makna, maka dalam proses itu, pasti ada konflik. Konflik pun tidak hanya
diungkapkan secara verbal tapi juga diungkapkan secara nonverbal seperti dalam
bentuk raut muka, gerak badan, yang mengekspresikan pertentangan (Stewart &
Logan, 1993: 341). Konflik tidak selalu diidentifikasikan sebagai terjadinya saling
baku hantam antara dua pihak yang berseteru, tetapi juga diidentifikasikan sebagai
perang dingin antara dua pihak karena tidak diekspresikan langsung melalui kata
kata yang mengandung amarah (www.id.wikipedia.org).
Komunikasi tidak bisa hanya dipandang sebagai pelengkap dalam interaksi
sosial manusia. Bahkan lebih dari itu bahwa komunikasi menjadi elemen penting
dalam setiap pola tindakan individu dalam kaitannya sebagai makhluk sosial.
Komunikasi berfungsi meningkatkan hubungan kemanusiaan di antara pihak-pihak
yang berkomunikasi (Cangara; 2011; 61). Melalui komunikasi setiap manusia dapat
membangun hubungan yang baik sehingga menghindari dan mengatasi terjadinya
konflik dalam masyarakat. Komunikasi dapat menjadi cerminan bangsa yang
beradab dan indikator sebuah negara demokrasi.
Untuk menyatakan suatu negara menganut prinsip demokrasi, ada 11 pilar
yang menjadi penyangganya, yaitu, (1) konstitusi yang ditaati, (2) pemilihan umum
yang demokratis, (3) federalism untuk mendekatkan pemerintah kepada rakyatnya,
(4) pembuatan undang-undanng oleh legislatif, (5) sistem peradilan yang
independen, (6) kekuasaan lembaga kepresidenan, (7) peranan media massa yang
bebas, (8) peranan kelompok-kelompok kepentingan, (9) adanya hak rakyat untuk
mengetahui, (10) melindungi hak-hak minoritas, dan (11) adanya adanya kontrol sipil
terhadap militer (Cangara, 2005; 6). Dari 11 indikator negara demokratis tersebut,
setidaknya terdapat dua indikator (nomor 7 dan 9) yang terkait erat dengan peran
komunikasi. Artinya, komunikasi menjadi usur urgent dalam kehidupan masyarakat.
Komunikasi bisa menjadi pemicu konflik dan perusak tatanan kebangsaan
apabila terjadi kegagalan komunikasi atau terjadi kemacetan komunikasi. Perlu
diingat bahwa komunikasi adalah bagian mutlak dari proses budaya yang adab.
Komunikasi merupakan proses penciptaan kebersamaan dalam makna. Dalam
masyarakat yang kurang adab dan demokratis, sulit terjadi komunikasi yang wajar
karena semua makna menjadi hak tafsir si penguasa. Slogannya adalah sambung
rasa, namun rasa-rasanya tidak ada yang nyambung. Siaran berita adalah siaran
pandangan penguasa. Pers yang bertanggung jawab adalah pers yang harus
memberikan pertanggungjawaban kepada penguasa yang memberikan izin terbit
bukan kepada publik. Kementerian Penerangan adalah Kementerian Kebenaran
(Ministry of Truth). Menggembirakan, dalam kurun waktu setahun terakhir ini telah
terbit secercah harapan akan hidupnya demokrasi pers kita. Demokrasi pers kita
diharapkan bisa menjadi jembatan tumbuhnya komunikasi interaktif yang wajar
antara masyarakat dan penguasa.
Konflik horizontal di Indonesia pun banyak disebabkan oleh komunikasi.
Temuan dari hasil penelitian Maria Lamria (2004), Yohanes Bahari (2005), dan Ira
Mirawati (2011) mengindikasikan bahwa konflik sosial, etnis, ras, dan agama antar
warga (horizontal) disebabkan oleh kegagalan dalam mengelola pesan-pesan verbal
dan non-verbal. Masyarakat pendatang cenderung menggunakan bahasa yang
berbeda dengan penduduk lokal meskipun telah ada kesepakatan (tidak tertulis)
untuk menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu bangsa, akan
tetapi logat atau aksen yang digunakan oleh masing-masing orang yang berinteraksi
masih mengikuti logat atau aksen dari sukunya masing-masing. Kondisi ini
menyebabkan sulitnya menerima pesan yang disampaikan, lalu terjadi kesalahan
interpretasi, hingga akhirnya memicu konflik.
Kegagalan pengelolaan pesan tidak hanya terjadi secara verbal (lisan), pesan
non-verbal juga ikut menyumbang terjadinya konflik antar warga. Mirawati (2011)
mengatakan bahwa konflik antara Suku Dayak dan Madura di Kalimantan Barat juga
disebabkan karena gaya berpakaian dan bersosialisasi masyarakat Suku Madura
yang sering membawa Clurit (senjata khas Madura) dan parang kemanapun mereka
pergi. Hal ini mengindikasikan bahwa mereka (Suku Madura) merasa dirinya hebat
dan jagoan. Faktor Emosional pun tidak bisa dilepaskan dari Suku Madura. Mereka
cenderung akan ringan tangan (membunuh dengan parang atau Clurit) orang yang
bersengketa dengan mereka, termasuk jika mereka bersengketa dengan orang dari
Suku Dayak.
Selama konflik Ambon dari tahun 1999 hingga 2002 yang mengakibatkan
korban jiwa hampir 10 ribu jiwa, ternyata juga menyeret peran media massa dalam
pusaran konflik (Cangara, 2005; 8-10). Dalam suasana perang (konflik) media dapat
dibagi secara tegas dalam dua kategori, yaitu, hot media (media panas) dan cold
media (media dingin). Media panas terindikasi sebagai media yang cenderung
memanaskan suasana, selalu mencari titik-titik kerusuhan atau konflik untuk
selanjutnya disiarkan dengan cara yang bombastis. Media jenis ini cenderung
mengabaikan etika dalam setiap liputannya. Tujuan dari media seperti ini adalah
mencari jumlah oplah atau rating yang tinggi. Media jenis ini yang menjadikan konflik
tetap bertahan dan menjadi sulit dikendalikan.
Sedangkan media dingin terindikasi sebagai media yang cenderung
menjalankan teknik-teknik peace journalism (jurnalisme damai). Paradigma ini
dilandaskan bahwa perang atau konflik hanya membawa kepada ke sengsaraan
bagi masyarakat dan kehancuran bagi peradaban manusia. Dalam setiap liputannya,
media dingin cenderung mengabarkan sisi kemanusiaan yang terenggut oleh
konflik dan berupaya agar semua masyarakat yang berkonflik sadar akan dampak
buruk yang ditimbulkan konflik. Media jenis ini juga berupaya terciptanya resolusi
konflik secara tepat dan bermartabat bagi seluruh masyarakat.
Media massa merupakan sarana komunikasi yang dapat memengaruhi massa
secara cepat konon lagi dala situasi konflik. Media mass mengikuti Hypodhermic
Needle Theory/Bullet Theory (teori jarum suntik) (Arifin, 2003; 41-45) -bahwa
khalayak cenderung menelan mentah-mentah apa yang disampaikan oleh media.
Tidak ada filterisasi dalam pikiran dan benak khalayak sehingga apa yang
disampaikan media itulah yang dipahami khalayak sebagai suatu kebenaran.
Merujuk perdapat tersebut, maka sudah seharusnya media massa mereposisikan
dirinya untuk terlibat aktif dalam upaya perdamaian dan penyelesaian konflik, melalui
pemberitaan yang tidak melulu mengenai jumlah korban, jumlah rumah yang
dibakar, serta jumlah tanah yang dirampas melainkan pemberitaan-pemberitaan
mengenai efek buruk dari konflik.
humanis
kepada
seluruh
lapisan
masyarakat
tentang
program
perdamaian
di
daerah
berpotensi
konflik,
memikirkan
penyelesaian
yang baik
bagi kelangsungan
kehidupan
Kesimpulan
Dari pembahasan yang telah dipaparkan, kesimpulan yang dapat ditarik adalah
sebagai berikut:
1. Konflik merupakan ancaman bagi keharmonisan kehidupan masyarakat
bahkan ia menjadi ancaman bagi disintegrasi bangsa. Konsekuensi logis
dari bangsa yang plural seperti Indonesia adalah tumbuh suburnya konflik
horizontal di masyarakat. Konon lagi Indonesia baru memasuki era
demokrasi
dimana
keterbukaan,
aspirasi,
dan
kebebasan
menjadi
implikasinya.
2. Konflik horizontal merupakan bentuk ekspresi ketimpangan sosial yang
diwariskan oleh rezim Orde Baru. Meskipun dalam tataran luar selama Orde
Baru, konflik nyaris tidak ada dan kondisi keamanan nasional terkendali,
namun potensi konflik tetap tertanam dan menunggu pemicunya saja.
3. Ketidakpuasan elite politik terhadap hasil kompetisi yang berlangsung
menjadi salah satu faktor pendorong terjadinya konflik horizontal sehingga
cenderung memanfaatkan isu perbedaan etnis, agama, dan SARA sebagai
pelampiasan kepentingan yang tidak terakomodir.
4. Banyak faktor yang menyebabkan konflik horizontal dapat terjadi, akan
tetapi yang paling penting dari semuanya adalah komunikasi. Mengikuti
sebuah pameo, komunikasi bukanlah segala-galanya namun segalagalanya perlu di komunikasikan. Komunikasi dapat menjadi pemicu lahirnya
konflik, namun komunikasi juga dapat menjadi benteng untuk mencegah
konflik itu terjadi.
5. Media massa ikut terlibat dalam pusaran konflik melalui pemberitaan yang
cenderung memperparah konflik, alih-alih membantu agar konflik cepat
berakhir. Hal ini tidak lebih dikarenakan paradigm lama yang masih dipakai
oleh insan pers, yaitu, bad news is good news.
6. Pemerintah cenderung menggunakan pendekatan hard power (kekuatan
militer) dalam menyelesaikan konflik horizontal di Indonesia, sedangkan
masyarakat butuh pendekatan yang lebih humanis (manusiawi) dan
mengutamakan dignity (martabat).
7. Tidak tuntasnya penyelesaian konflik oleh pemerintah sehingga menyisakan
residu seperti dendam, ketidakadilan, dan lain-lain dimana hal ini akan
sewaktu-waktu akan muncul sebagai pemicu konflik di masa yang akan
datang.
Rekomendasi
Hasil kajian ini memberikan rekomendasi sebagai berikut:
1. Konflik selamanya tidak akan hilang dari kehidupan masyarakat sehingga
pola
penangannya
pun
harus
dilakukan
secara
sungguh-sungguh.
tugas
meredam
potensi
konflik
melalui
pendidikan
sehingga dendam konflik muncul yang bisa memicu lahirnya konflik di masa
yang akan datang.
7. Peran media massa dalam meredam potensi konflik dan mengupayakan
penyelesaian konflik melalui cara-cara damai harus ditingkatkan. Paradigma
awak media harus diubah dari war journalism (jurnalisme perang) kepada
paradigm peace journalism jurnalisme damai) sehingga fungsi kontrol media
massa sebagai tanggung jawab dalam iklim bebas bertanggung-jawab
dapat dilaksanakan dengan baik.
8. Pemerintah diharapkan dapat memaksimalkan penerapan Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial dan Instruksi
Presiden Nomor 2 Tahun 2013 tentang Penanganan Gangguan Dalam
Negeri. Jika kedua aturan ini dioptimalkan pelaksanaannya diharapkan ke
depan konflik sosial (horizontal) di Indonesia dapat diminimalisir.
Referensi
Arifin, Anwar. 2003. Komunikasi Politik; Paradigma, Teori, Aplikasi, Strategi, dan
Komunikasi Politik di Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Bahari, Yohanes. 2005. Resolusi Konflik Berbasis Pranata Adat Pamabakang dan
Pati Nyawa pada Masyarakat Dayak Kanayatn di Kalimantan Barat.
Disertasi. Bandung: Universitas Padjajaran.
Cangara, Hafied. 2005. Kebebasan dan Tanggung Jawab Media Massa Indonesia di
Tengah Reformasi dan Ancaman Disintegrasi Bangsa. Pidato pengukuhan
Guru Besar dalam Bidang Ilmu Komunikasi, FISIP, Universitas Hasanuddin.
Makassar.
--------------------. 2011. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: RajaGrafindo Perkasa.
Djumala, Darmansjah. 2013. Soft Power Untuk Aceh; Resolusi Konflik dan Politik
Desentralisasi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Gunawan, Ketut. 2011. Manajemen Konflik Atasi Dampak Masyarakat Multikultural
di Indonesia. Jurnal Mitra Ekonomi dan Manajemen Bisnis, Vol. 2, No. 2, hal.
212-224. PDF.
Haryanto, Sindung. 2012. Spektrum Teori Sosial; Dari Klasik Hingga Postmodern.
Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Hasrullah. 2009. Dendam Konflik Poso (Periode 1998-2001); Konflik Poso dari
Perspektif Komunikasi Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.