Beruflich Dokumente
Kultur Dokumente
TINJAUAN PUSTAKA
1. Perilaku Antisosial
1.1 Pengertian Perilaku Antisosial
Penderita antisocial personality disorder (perilaku antisosial) adalah orangorang paling dramatik atau orang yang menunjukkan sifat-sifat yang ada dalam
dirinya secara berlebihan yang ditemui klinisi dalam praktiknya. Mereka ditandai
oleh adanya riwayat tidak mau mematuhi norma-norma sosial. Mereka melakukan
tindakan-tindakan yang bagi kebanyakan orang tidak dapat diterima. Individuindividu dengan gangguan kepribadian antisosial cenderung memiliki riwayat
panjang untuk pelanggaran hak-hak orang lain (Widiger dan Corbitt, 1995).
Robert Hare mendeskripsikan mereka sebagai predator sosial yang menawan
hati, memanipulasi, dan menerjang apa saja dengan kejam dalam menjalani
kehidupannya. Sama sekali tidak memiliki hati nurani dan empati, mereka dengan
semena-mena mengambil apa saja yang mereka inginkan dan melakukan apa saja
yang mereka senangi, melanggar norma-norma dan ekspektansi sosial tanpa secuil
pun rasa bersalah atau penyesalan (Hare, 1993).
Remaja sering dideskripsikan agresif karena mengambil apa saja yang mereka
inginkan, tanpa peduli persaan orang lain. Mereka sering tidak melihat perbedaan
antara kebenaran dan kebohongan ucapannya demi mencapai tujuannya. Mereka
tidak menunjukkan penyesalan atau peduli pada efek-efek tindakannya yang
kadang-kadang sangat merusak.
Berumur paling sedikit 18 tahun dan telah menunjukkan pola pervasif dari
sikap tidak peduli dan pelanggaran hak-hak orang lain sejak umur 15
tahun.
Suka memperdaya orang lain, termasuk berbohong, menggunakan namanama alias, atau menipu orang lain untuk memperoleh keuntungan atau
kesenangan
ketidakhadiran
5. Adanya pendapat bahwa antisosial datang dari semua kelas sosial yang
ayahnya antisosial (Nasir, A. & Muhith, A. , 2011).
kenakalan, oleh karena itu bagi Erikson, kenakalan adalah suatu upaya
untuk membentuk suatu identitas walaupun identitas tersebut negatif.
b. Kontrol diri
Kenakalan remaja juga dapat digambarkan sebagai kegagalan untuk
mengembangkan kontrol diri yang cukup dalam hal tingkah laku.
Beberapa anak gagal dalam mengembangkan kontrol diri yang esensial
yang sudah dimiliki orang lain selama proses pertumbuhan. Kebanyakan
remaja telah mempelajari perbedaan antara tingkah laku yang dapat
diterima dan tingkah laku yang tidak dapat, namun remaja yang
melakukan kenakalan tidak mengenali hal ini. Mereka mungkin gagal
membedakan tingkah laku yang dapat diterima dan yang tidak dapat
diterima, atau mungkin mereka sebenarnya sudah mengetahui perbedaan
antara keduanya namun gagal mengembangkan kontrol yang memadai
dalam menggunakan perbedaan itu untuk membimbing tingkah laku
mereka. Hasil penelitian yang dilakukan Santrok (1996) menunjukkan
bahwa ternyata kontrol diri mempunyai diri mempunyai peranan penting
dalam kenakalan remaja.
Pola asuh orangtua yang efektif di masa kanak-kanak (penerapan strategi
yang konsisten, berpusat pada anak dan tidak aversif) berhubungan dengan
dicapainya pengaturan diri oleh anak. Selanjutnya, dengan memiliki
keterampilan ini sebagai atribut internal akan berpengaruh pada
menurunnya tingkat kenakalan remaja.
c. Usia
Munculnya tingkah laku antisosial di usia dini berhubungan dengan
penyerangan serius nantinya di masa remaja, namun demikian tidak semua
anak yang bertingkah laku seperti hasil penelitian dari McCord(Kartono,
2003) yang menunjukkan bahwa pada usia dewasa, mayoritas remaja
nakal tipe terisolir meninggalkan tingkah laku kriminalnya.
d. Jenis Kelamin
Remaja laki-laki lebih banyak melakukan tingkah laku antisosial daripada
perempuan. Menurut catatan kepolisian Kartono (2003) pada umumnya
jumlah remaja laki-laki yang melakukan kejahatan dalam kelompok gang
diperkirakan 50 kali lipat daripada geng remaja perempuan.
e. Harapan terhadap pendidikan dan nilai-nilai di sekolah
Remaja yang menjadi pelaku kenakalan seringkali memiliki harapan yang
rendah terhadap pendidikan di sekolah. Mereka merasa bahwa sekolah
tidak begitu bermanfaat untuk kehidupannya sehingga biasanya nilai-nilai
mereka terhadap sekolah cenderung rendah. Mereka tidak mempunyai
motivasi untuk sekolah. Umumnya remaja ini memiliki intelektual dan
prestasi yang rendah.
f. Proses Keluarga
Faktor keluarga sangat berpengaruh terhadap timbulnya kenakalan remaja.
Kurangnya dukungan keluarga seperti kurangnya perhatian orangtua
terhadap aktivitas anak, kurangnya penerapan disiplin yang efektif dapat
menjadi pemicu timbulnya kenakalan remaja. Sikap orang tua yang terlalu
lebih tinggi pada remaja yang memiliki hubungan regular dengan teman
sebaya yang melakukan kenakalan.
Kelompok teman sebaya memberi pengaruh pada sikap, pembicaraan,
minat maupun tingkah laku anak, kadang-kadang lebih besar daripada
pengaruh keluarga. Anak dan remaja biasanya akan selalu berusaha
memenuhi aturan-aturan kelompok agar tetap dapat diterima di kelompok
sebayanya. Hal ini dilakukan hanya karena alasan solidaritas atau
kesetiakawanan serta kekompakan.
h. Kelas sosial ekonomi
Adanya kecenderungan bahwa pelaku kenakalan lebih banyak berasal dari
kelas sosial ekonomi yang lebih rendah dengan perbandingan jumlah
remaja nakal diantara daerah perkampungan miskin yang rawan dengan
daerah yang memiliki banyak privilege diperkirakan 50:1 (Kartono, 2003).
Hal ini disebabkan kurangnya kesempatan remaja dari kelas social rendah
untuk mengembangkan keterampilan yang diterima oleh masyarakat.
Mereka mungkin saja merasa bahwa mereka akan mendapatkan perhatian
dan status dengan cara melakukan tindakan antisocial. Menjadi tangguh
dan maskulin adalah contoh status yang tinggi bagi remaja dari kelas
social yang lebih rendah, dan status seperti ini sering ditentukan oleh
keberhasilan remaja dalam melakukan kenakalan dan berhasil meloloskan
diri setelah melakukan kenakalan.
2. Remaja
2.1 Pengertian Remaja
Masa remaja merupakan masa peralihan antara masa kanak-kanak dan masa
dewasa, yang dimulai pada saat terjadinya kematangan seksual yaitu antara usia
11 atau 12 tahun sampai dengan 20 tahun, yaitu menjelang masa dewasa muda
(Soetjiningsih, 2004). Di dalam Undang-Undang Kesejahteraan Anak, pengertian
remaja adalah individu yang belum mencapai 21 tahun dan belum menikah dan
dalam Undang-Undang Perburuhan, anak dianggap remaja apabila telah mencapai
umur 16-18 tahun atau sudah menikah dan mempunyai tempat untuk tinggal.
Hampir sama dengan isi UU Perkawinan No 1 tahun 1974, anak dianggap sudah
remaja apabila cukup matang untuk menikah, yaitu umur 16 tahun untuk anak
perempuan dan 19 tahun untuk anak laki-laki.. WHO mendefenisikan remaja lebih
bersifat konseptual, ada tiga kriteria yaitu biologis, psikologik, dan sosial
ekonomi, dengan batasan usia antara 10-20 tahun, yang secara lengkap berbunyi
sebagai berikut:
a. Individu berkembang dari saat pertama kali menunjukkan tanda-tanda
seksual sekundernya sampai saat ia mencapai kematangan seksual.
b. Individu mengalami perkembangan psikologik dan pola identifikasi
dari kanak-kanak menjadi dewasa.
c. Terjadi peralihan dari ketergantungan social-ekonomi yang penuh
kepada keadaan yang relatif lebih mandiri (Sumiati dkk, 2009).
Santrock (2003) memberikan batasan usia remaja terdiri dari masa remaja awal
(10-14 tahun), masa remaja pertengahan (15-16 tahun) dan masa remaja akhir (1717 tahun).
2.2 Karakteristik Masa Remaja
Karakteristik perkembangan normal yang terjadi pada remaja dalam
menjalankan tugas perkembangannya dalam mencapai identitas diri antara lain
menilai diri secara objektif dan merencanakan untuk mengaktualisasikan
kemampuannya. Dengan demikian pada fase ini, seorang remaja akan :
a. Menilai rasa identitas pribadi
b. Meningkatkan minat pada lawan jenis
serta
mempengaruhi
produksi
hormone
kortikotrop
berfungsi
pertumbuhan
anak
sehingga
terjadi
percepatan
masa remaja mampu menahan diri untuk tidak mengekspresikan emosi secara
ekstrem dan mampu mengekspresikan emosi secara tepat sesuai dengan situasi
dan kondisi lingkungan dengan cara yang dapat diterima masyarakat maka remaja
dikatakan mencapai kematangan emosi dan memberikan reaksi emosi yang stabil
(Hurlock, 1999).
Remaja yang ingin mencapai kematangan emosi harus belajar memperoleh
gambaran tentang situasi-situasi yang dapat menimbulkan reaksi emosional.
Adapun caranya adalah dengan membicarakan berbagai masalah pribadinya
dengan orang lain, ia juga harus belajar menggunakan katarsis emosi untuk
menyalurkan emosinya dengan cara latihan fisik yang berat, bermain atau bekerja,
tertawa atau menangis (Hurlock, 1992).
Nuryoto (1992) menyebutkan ciri-ciri kematangan emosi pada masa remaja yang
ditandai dengan sikap sebagai berikut:
a. Tidak bersikap kekanak-kanakan
Artinya,
remaja
bisa
memahami
dan
mengendalikan
emosinya,
jelas yang membuat individu menjadi tidak efektif bahkan bisa menjadi
depresi.
c. Bersikap objektif
Sikap objektif ini terlihat pada kebiasaan menyatakan apa adanya, tanpa
diikuti perasaan pribadi.
d. Dapat menerima kritikan, pendapat, argumentasi, dan keterangan orang
lain, walaupun pada akhirnya pendapat, argumentasi, kritik, dan
keterangan orang lain tersebut tidak diterima karena tidak sepaham atau
tidak sesuai dengan kata lain remaja harus memiliki sifat terbuka.
e. Bertanggung jawab terhadap tindakan yang dilakukan yaitu menerima
semua resiko dari apa yang ia telah perbuat.
f. Mampu menghadapi masalah dan tantangan yang dihadapi yaitu, berusaha
untuk mengatasi sendiri suatu masalah tanpa mengeluh dan mengharapkan
bantuan kepada orang lain.
Kondisi ini membuat remaja sangat rentan terhadap pengaruh teman dalam hal
minat, sikap penampilan dan perilaku. Perubahan yang paling menonjol adalah
hubungan heteroseksual. Remaja akan memperlihatkan perubahan radikal dari
tidak menyukai lawan jenis menjadi lebih menyukai. Remaja ingin diterima,
diperhatikan dan dicintai oleh lawan jenis dan kelompoknya. Untuk mencapai
tujuan dari pola sosialisasi dewasa, remaja harus membuat banyak penyesuaian
baru. Yang paling penting dan tersulit adalah penyesuaian terhadap hal-hal
berikut::
a. Kuatnya Pengaruh Kelompok Sebaya
Remaja lebih banyak berada di luar rumah bersama dengan teman-teman
sebaya sebagai kelompok, sehingga dapat dimengerti bahwa pengaruh
teman-teman sebaya pada sikap, pembicaraan, minat, penampilan, dan
perilaku lebih besar daripada keluarga.
b. Perubahan Dalam Perilaku Sosial
Perubahan yang paling menonjol dari semua perubahan yang terjadi dalam
sikap dan perilaku sosial adalah hubungan heteroseksual. Dari tidak
menyukai lawan jenis sebagai teman, menjadi lebih menyukai daripada
teman sejenis. Dengan meluasnya kesempatan untuk melibatkan diri
fisik, psikis maupun social (Hurlock, 1973). Pada masa transisi tersebut
kemungkinan
dapat
menimbulkan
krisis
yang
ditandai
dengan
3.5.3
positif
tentang
dirinya,
mampu
berinteraksi
dengan
remaja
yang
tidak
normal
atau
mengalami