Sie sind auf Seite 1von 14

PENDAHULUAN

Peristiwa G30S/1965 mungkin hanya secercah riak di lautan sejarah dunia dari masa ke
masa. Tetapi bagi bangsa Indonesia, peristiwa ini menjadi pembatas antara rezim lama dengan
rezim baru. Menandai perubahan besar dan drastis dalam bidang politik, ekonomi, sosial dan
budaya, dan yang perlu dicatat pula bahwa perubahan itu terjadi sekaligus. Dari waktu ke waktu
dalam perjalanan sejarah bangsa ini memang telah berlangsung perubahan, namun setelah
Indonesia merdeka, revolusi total secara serempak itu hanya terjadi pada tahun 1965. Dengan
seketika, pada bidang politik luar negeri, Indonesia yang menjadi ujung tombak gerakan NonBlok berubah jadi anak manis Blok Barat. Ekonomi berdikari berubah jadi ekonomi pasar dan
mengandalkan modal asing serta pinjaman luar negeri. Masyarakat yang dulu terbagi dalam
kubu-kubu ideologis tiba-tiba menjadi anti politik dan berebut mencicipi kue pembangunan.
Kedudukan militer dalam kancah politik nasional disahkan dan dilanggengkan. Sastra dan seni
yang bersifat heroik dan merakyat berganti dengan budaya pop yang cengeng (Asvi, 2004).

1. Supersemar
Masyarakat luas yang terdiri dari berbagai unsur seperti kalangan partai politik,
organisasi massa, perorangan, pemuda, mahasiswa, pelajar, kaum wanita secara kompak
membentuk kesatuan aksi dalam bentuk Front Pancasila untuk menghancurkan para pendukung
G30S/PKI yang diduga melakukan pemberontakan terhadap negara dengan menuntut agar ada
penyelesaian politik terhadap mereka yang terlibat dalam gerakan pemberontakan tersebut.
Kesatuan aksi ini kemudian terkenal dengan sebutan angkatan 66 antara lain Kesatuan Aksi
Mahasiswa Indonesia (KAMI), Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI), Kesatuan
Aksi Sarjana Indonesia (KASI), Kesatuan Aksi Wanita Indonesia (KAWI), dan lain-lain.
Sejak pertengahan tahun 1966, perkembangan politik nasional semakin kompleks.
Melalui Tap MPRS No. XIII/MPRS/1966, Letjen Soeharto ditugasi untuk membentuk Kabinet
Ampera. Akibatnya dualisme kepemimpianan nasional mulai terjadi. Kabinet Ampera dibentuk
melalui Keppres No. 163 tanggal 25 Juli 1966 yang ditandatangani Presiden Soekamo.
Selanjutnya MPRS mengadakan sidang. Pada 25 Juli 1966 Presiden Soekarno
melaksanakan Ketetapan MPRS No. XIII/MPRS/1966 tentang Kabinet Ampera dan
membubarkan Kabinet Dwikora. Kabinet Dwikora dibangan dalam tiga unsur yaitu (1)
Pimpinan kabinet: Presiden Soekamo;(2) Lima orang Menteri Utama yang merupakan suatu
presedium;(3) Anggota kabinet terdiri dari 24 menteri. Tugas pokok kabinet Ampera disebut
"Dwi Dharma" yaitu : (1) mewujudkan stabilitas politik (2) menciptakan stabilitas ekonomi.
Kabinet Ampera dirombak pada tanggal 11 Oktober 1966, jabatan presiden tetap Soekarno.
Namun, Letnan Jenderal Soeharto diangkat sebagai perdana menteri yang memiliki kekuasaan
eksekutif dalam Kabinet Ampera yang disempumakan.
Melalui Sidang Istimewa pada 7-12 Maret 1967 , Majlis Permusyawaratan Rakyat
Sementara berhasil merumuskan ketetapan Nomor : XXXIII/MPRS/1967 yang berisi hal-hal
sebagai berikut:
(1) Mencabut kekuasaan pemerintahan dari tangan Presiden Soekarno;
(2) Menarik kembali mandat MPRS dari Presiden Soekarno dengan segala kekuasaannya sesuai
UUD 1945;
(3) Mengangkat pengemban Tap Nomor IX/MPRS/1966 tentang supersemar itu sebagai pejabat
presiden hingga terpilihnya presiden menurut hasil pemilihan umum. Pada akhir Sidang
Istimewa MPRS, 12 Maret 1967, Jenderal Soeharto dilantik dan diambil sumpah oleh Ketua
MPRS Jenderal TN1 Abdul Haris Nasution.
Supersemar kemudian hingga saat ini menuai polemik yang berkepanjangan. Begitu
pentingnya Supersemar sehingga dokumen sakti tersebut dapat menentukan sebuah arah
perubahan yang sangat fundamental dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia. Sebagian saksi
sejarah beranggapan bahwa Supersemar ibarat batu sandungan bagi pemerintahan Presiden
Soekarno, karena dengan Supersemar itulah yang menjadi asal muasal runtuhnya rezim Orde
Lama. Bahkan dengan lebih ekstrim lagi sebagian kalangan menyebutnya Kudeta Politik.

Selanjutnya pertanyaan mendasar yang timbul adalah apakah dengan dikeluarkannya


Supersemar telah terjadi proses peralihan kekuasaan secara konstitusional? Atau dengan kata
lain apakah peralihan kekuasaan yang terjadi telah sesuai dengan UUD 1945?
Peralihan kekuasaan memang merupakan persoalan politik, tetapi proses peralihan
tersebut harus didasarkan pada hukum secara konstitusional. Dengan situasi dan kondisi
perpolitikan pada saat itu, dan kemudian diterbitkanlah Supersemar lebih bermakna
perwakilan/mandat dari Presiden Soekarno kepada Letjen Soeharto telah terjadi inkongruensi
antara kebutuhan untuk bertindak. Tingkat revolusi serta keadaan politik nasional merupakan
kendala yang membatasi kemampuan presiden untuk bertindak sesuai kebutuhan untuk
menciptakan ketenangan dan kestabilan pemerintahan dan jalannya revolusi. Dengan demikian
dikeluarkannya Supersemar tidak berarti telah terjadi peralihan kekuasaan kepada Letjen
Soeharto sebab Presiden Soekarno belum melepaskan tanggung jawab selaku pemegang
kekuasaan pemerintahan yang sah berdasarkan UUD 1945. Oleh karena itu, peristiwa tersebut
dapat dikualifikasikan sebagai pelimpahan kuasa (mandaatsverlening) sebagian kekuasaan
pemerintahan (Arif, 2007)
Tetapi apa yang selanjutnya terjadi? Pada Sidang Umum MPRS ke-IV tahun 1966
menghasilkan beberapa ketetapan yang dapat dianggap prinsipil dan fundamental, yang kiranya
perlu untuk dikaji dasar konstitusionalnya. Misalnya ketatapan MPRS No. IX/MPRS/1966
tentang Supersemar, dengan ketetapan ini Supersemar ditingkatkan dari Surat Perintah
Presiden/Pangti ABRI/Pemimpin Besar Revolusi/Mandataris MPRS menjadi ketetapan MPRS.
Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966 ini pada kenyataannya merupakan suatu tindakan
merebut Supersemar dari tangan Presiden Soekarno sebagai Pemberi Supersemar, lalu
menjadikan MPRS sebagai Pemberi Supersemar.
Dengan ketetapan tersebut Presiden Soekarno seakan-akan tidak boleh lagi
mengendalikan pelaksanaan Supersemar, karena sudah menjadi ketetapan MPRS. Kedudukan
Letjen Soharto sekarang sudah menjadi pengemban Tap MPRS No. X/MPRS/1966, dan sekilas
menjadi Mandataris MPRS, karena dalam ketetapan MPRS No. X tersebut MPRS
mempercayakan dan memberikan pertanggung jawaban atas pelaksanaan ketetapan MPRS
tersebut kepada Letjen Soeharto. Namun sebagai catatan bahwa meskipun Supersemar sudah
ditingkatkan dari Surat Perintah Presiden/Pangti ABRI/Mandataris MPRS menjadi Ketetapan
MPRS akan tetapi kewajiban Letjen Soeharto, Menteri Panglima AD (Pengemban Supersemar)
untuk melaporkan kepada Presiden Soekarno (Pemberi Supersemar) masih harus dilakukan baik
selaku Menteri AD kepada Presidennya maupun selaku Letnan Jenderal kepada panglima
tertinggi.
Padahal secara yuridis presiden Soekarno waktu itu juga telah mengambil kebijakan
dengan tidak mengubah Keputusan Presiden Nomor 1/3/Soeharto/1966 tentang pembubaran PKI
yang ditandatangani oleh Letnan Jenderal Soeharto selaku pemegang Surat Perintah 11 Maret

1966 (baca Peralihan Kekuasaan: Kajian Teoritis Dan Yuridis Terhadap Pidato Nawaksara,
karya Suwoto Mulyosudarmo, Gramedia, Jakarta, 1997).
Titik klimaks dari pergulatan politik yang mengarah kudeta tersebut adalah dengan
dikeluarkannya ketetapan MPRS No. XXXIII/MPRS/167 dalam Sidang Istimewa MPRS tahun
1967 yang mencabut kekuasaan pemerintahan negara dari Presiden Soekarno dengan alasan
tidak dapat memenuhi pertanggung jawaban konstitusional sebagaimana layaknya kewajiban
seorang mandataris, dan dinyatakan tidak dapat menjalankan haluan negara dan Putusan MPRS
yang kemudian dalam Diktum pasal 4 disebutkan Mengangkat Jenderal Soeharto, pengemban
Tap MPRS No. IX/MPRS/1966 tentang Supersemar sebagai Pejabat Presiden.
Tap MPRS No. XXXIII/MPRS/1967 merupakan kunci dari proses peralihan kekuasaan dari
Presiden Soekarno ke Presiden Soeharto. Ketetapan tersebut tidak dapat dipisahkan sama sekali
dari Supersemar. Supersemar adalah muara dari proses peralihan kekuasaan tersebut, karena
telah mengukuhkan Jenderal Soeharto selaku Pengemban Supersemar menjadi Pejabat Presiden.
Terlepas dari kontroversi seputar Supersemar namun sejarah bangsa telah mencatat bahwa
dokumen sakti bernama Supersemar telah dijadikan landasan konstitusional sebuah peralihan
dua era/fase pemerintahan yang berbeda.
Tap XXXIII/MPRS/1967 sebagai Kejatuhan Soekarno dan Orde Lama
TAP XXXIII/MPRS/1967 adalah sebuah ketetapan MPRS tentang Pencabutan
Kekuasaan Pemerintahan dari Presiden Soekarno. Tap XXXIII/MPRS/1967 tentang pencabutan
kekuasaan pemerintahan negara dari Presiden Soekarno dilatarbelakangi peristiwa terbunuhnya
tujuh Jenderal TNI pada 30 September 1965 sehingga dari peristiwa tersebut Presiden Soekarno
menjadi pesakitan serta dinistakan pada masa kepemimpinannya, dengan adanya Tap tersebut
merupakan akhir dari kepemimpinan beliau dan berakhir pula Orde Lama. Tap
XXXIII/MPRS/1967 adalah Ketetapan MPRS yang menandai pergantian kepemimpinan
nasional, dari Bung Karno ke Pak Harto, melalui sebuah SI MPRS. Inilah pengalaman kita
pertama kali terjadi pergantian kepemimpinan nasional dan itu pun terjadi dalam suatu SI
MPR(S). (Sulastomo, Jawa Pos, 2004)
Pasal 1 Tap MPRS itu menyatakan, Presiden Soekarno telah tidak dapat memenuhi
pertanggungan jawab konstitusional sebagaimana layaknya seorang Mandataris terhadap Majelis
Permusyawaratan Rakyat (Sementara) sebagai yang memberi mandat, yang diatur dalam UUD
1945. Pasal 3 Tap XXXIII/MPRS/1967 menyatakan, Melarang Presiden Soekarno melakukan
kegiatan politik sampai dengan pemilihan umum dan sejak berlakunya ketetapan ini menarik
kembali mandat Majelis Permusyawaratan Rakyat dari Presiden Soekarno serta segala
Kekuasaan Pemerintahan Negara yang diatur dalam UUD 1945. Tap ini lalu menetapkan
pemegang Tap IX/MPRS/1966, Jenderal Soeharto, sebagai pejabat Presiden (pasal 4).
Selanjutnya, pada pasal 6 dikatakan, penyelesaian persoalan hukum selanjutnya yang
menyangkut Dr Ir Soekarno, dilakukan menurut ketentuan-ketentuan hukum dalam rangka
menegakkan hukum dan keadilan, dan menyerahkan pelaksanaannya kepada pejabat Presiden.

Kemudian, dalam Sidang MPRS Juni 1966 ini ada beberapa keputusan amat penting.
Pertama Tap IX/MPRS/1966 mengukuhkan SP 11 Maret 1966. Dengan Ketetapan ini, materi SP
11 Maret 1966 dijadikan Ketetapan MPRS, sehingga (seandainya) Bung Karno tidak mungkin
lagi mencabut SP 11 Maret 1966. Letjen Soeharto memperoleh mandat untuk melaksanakan Tap
IX/MPRS/1966. Kedua, Tap XIII/MPRS/1966 tentang Pembentukan Kabinet Ampera. Dalam
ketetapan ini disebutkan, Presiden menugaskan Letnan Jenderal Soeharto sebagai pengemban
Tap IX/ MPRS/1966 untuk segera membentuk Kabinet Ampera (pasal 2). Selanjutnya dikatakan,
dalam menyusun kabinet, Letjen Soeharto wajib berkonsultasi dengan pimpinan DPR dan
MPRS (pasal 5), dan melapor kepada presiden (pasal 6).
Ketiga, Tap XVIII/MPRS/ 1966 tentang peninjauan kembali Tap III/MPRS/1963, tentang
pengangkatan

Presiden

Soekarno

sebagai

Presiden

Seumur

Hidup.

Keempat,

Tap

XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran PKI dan Larangan Penyebaran Ajaran Komunisme/


Marxisme/Leninisme. Dari Sidang MPR Juni 1966 itu, meski kedudukan Presiden Soekarno
sudah melemah, tetapi dia tetap Presiden RI. Letjen Soeharto yang ditugasi menyusun Kabinet
Ampera, lalu memimpin sebuah kabinet dengan Letjen Soeharto sebagai Ketua Presidium
Kabinet dan Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Adam Malik sebagai anggota presidium
(Sulastomo, Jawa Pos, 2004).
Tap MPRS No XXXIII/1967 tersebut juga menyebutkan bahwa ada petundjukpetundjuk, jang presiden Soekarno telah melakukan kebidjakan jang setjara tidak langsung
menguntungkan G30S/pki.[3] di dalam Buku Soerojo[4], keterangan di atas ditambah dengan
Dan melindungi tokoh2 G30S PKI. Padahal dalam alinea sebelumnya disebutkan bahwa G3S
PKI itu pemberontakan kontra revolusi. Jadi Soekarno selaku presiden yang sah ketika itu
telah mengambil kebijakan yang menguntungkan kaum pemberontak yang ingin merebut
kekuasaan darinya.
Pada Januari 1967, Presiden Soekarno menyampaikan Pelengkap Nawaksara,
disampaikan pada sidang MPRS 22 Juni 1966 kepada DPR. Setelah DPR mempelajari
pelengkap Nawaksara itu, ternyata DPR masih belum puas. Karena itu, melalui Resolusi
Djamaludin Malik dkk (NU), DPR meminta MPRS untuk melaksanakan Sidang Istimewa.
Dalam sidang Istimewa Maret 1967, keluar Tap XXXIII/ MPRS/1967 sebagaimana di
kemukakan di atas. Masalah utama, karena Bung Karno tetap dianggap tidak bersedia
membubarkan PKI. Hal ini tampak jelas dalam konsiderans TAP itu. Dalam pandangan Bung
Karno, G30S/PKI disebabkan tiga faktor yang saling terkait, yaitu keblinger-nya pimpinan PKI,
intervensi subversi Nekolim, dan memang ada hal-hal yang tidak benar. Langkah dari Soekarno
tersebut sudah tidak bisa diterima oleh kalangan DPR lagi, dengan demikian masa Soekarno
waktu itu memang sudah betul-betul berakhir.
2. Implikasi dari MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967
Menurut ketetapan (Tap) MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967 tentang pencabutan
kekuasaan pemerintahan negara dari Presiden Soekarno, khususnya Bab II Pasal 6, ditetapkan

penyelesaian persoalan hukum selanjutnya yang menyangkut Soekarno, dilakukan menurut


ketentuan-ketentuan hukum dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan, dan menyerahkan
pelaksanaannya kepada pejabat presiden. Tap MPRS ini jelas mengandung sangkaan atau
tuduhan, yang harus dibuktikan secara hukum (praduga tak bersalah). Namun, sebagaimana kita
tahu, hingga saat ini tidak ada proses hukum yang dilakukan terhadap Soekarno. Semasa
hidupnya, Soekarno tidak pernah sekalipun dituntut ke muka pengadilan karena tuduhan bahwa
dia terlibat dalam peristiwa G30S. Soekarno hanya diminta pertanggungjawaban di depan MPRS
sebagai seorang presiden (dengan pidato Nawaksara yang ditolak oleh MPRS), dan bukan
sebagai seorang yang dicurigai berada di balik sebuah usaha makar.
Dengan tak adanya proses hukum terhadap Soekarno, pemerintah juga dinilai belum
dapat membuktikan secara hukum tuduhannya itu sebagaimana dituangkan dalam ketetapan
MPRS. Kepastian hukum bagi Soekarno, juga bagi pemerintah dan masyarakat, tentu tidak
terpenuhi tentang terlibat atau tidaknya Soekarno. Ia seperti sengaja dihukum dengan cara
lain dalam kenestapaan, tanpa teman dan keluarga, juga tanpa pengobatan yang maksimal.
Soekarno wafat meninggalkan Tap MPR yang hingga kini masih menuduhnya, dan belum
dicabut.
Banyak stigma yang melekat pada diri Soekarno karena banyak yang mencurigai beliau
sebagai seorang yang, langsung atau tidak langsung, bertanggung jawab terhadap peristiwa
G30S itu. Bahkan banyak analis-analis dari dalam dan luar negeri yang menuliskan tentang hal
itu. Tapi apakah kita tahu bahwa Soekarno memang benar-benar bersalah atas peristiwa itu?
Tidak pernah tahu, karena, sekali lagi, Soekarno tidak pernah dimajukan ke depan pengadilan
dan kebenaran secara hukum tidak terungkap. Kita tidak pernah memberikan kesempatan kepada
Soekarno untuk membela dirinya dimuka pengadilan.
Akhirnya Soekarno meninggal mengenaskan di Rumah Sakit TNI Angkatan Darat
setelah menderita dalam kesendirian di Wisma Yaso dan Istana Bogor. Soekarno tak akan
diproses secara hukum, Soekarno dibiarkan sakit hingga ajalnya dengan membawa tuduhan,
tanpa pembuktian. Sebagai seorang yang dituduh, ia tidak diberi hak untuk membela diri dan
membuktikan dirinya tidak bersalah. Soekarno dihukum oleh opini dan stigma negatif yang
melekat pada dirinya : dia bersalah. Sementara kebenaran hukum dan pembelaan dirinya tidak
pernah terungkap. Memang, mengingat hingga hari ini tidak pernah ada proses pengadilan
terhadap Soekarno. Sebagai proklamator bangsa, ia mendapat stigma terkait G 30 S/PKI. Stigma
itu hingga kini belum pupus meski banyak kajian yang menyebutkan Soekarno tak tersangkut
aksi itu.

3. TAP MPRS/RI/ No. XIII/MPRS/1966


K E T E TAPAN
MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT SEMENTARA
REPUBLIK INDONESIA
No. XIII/MPRS/1966
TENTANG
KABINET AMPERA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT SEMENTARA
REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. Bahwa sebagai akibat gerakan kontra-revolusi G-30-S/PKI, Negara dan
Bangsa Indonesia masih tetap dalam keadaangawat yang
membahayakan keselamatan Bangsa, Negara dan Revolusi;
b. Bahwa Letnan Jenderal Soeharto/Menteri Panglima
Angkatan Darat telah mendapat Surat Perintah 11 Maret dari
Presiden yang telah dikukuhkan oleh Ketetapan MPRS No.
IX/MPRS/1966 tanggal 21 Juni 1966;
c. Bahwa Kabinet Dwikora yang telah disempurnakan lagi
dengan program yang lama ternyata belum meyakinkan
Rakyat akan kemampuan untuk melaksanakan Tri Tuntutan Rakyat;
d. Bahwa dalam rangka usaha untuk memenuhi dan
melaksanakan Tri Tuntutan Rakyat bidang ekonomi,
keuangan dan pembangunan perlu diambeg-prama-artakan.
Mengingat:

1. Undang-Undang Dasar 1945 pasal 1, pasal 2, pasal 3, pasal 4, dan


Pasal 17;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik
Indonesia No. IX/MPRS/1966, tanggal 21 Juni 1966.

Mendengar : Permusyawaratan dalam rapat-rapat MPRS dari tanggal 20 Juni


1966 sampai dengan 5 Juli 1966.
M E M U T U S K AN :
Menetapkan: KETETAPAN TENTANG KABINET AMPERA.

Pasal 1
Memandang perlu selambat-lambatnya tanggal 17 Agustus 1966 sudah
dibentuk Kabinet Ampera untuk menggantikan Kabinet Dwikora yang lebih
disempurnakan lagi dengan mengutamakan program perbaikan kehidupan Rakyat
sebagai langkah mutlak untuk mensukseskan Revolusi.
Pasal 2
Dalam rangka memanfaatkan Ketetapan MPRS IX/MPRS/1966 tanggal 21 Juni 1966, Presiden,
menugaskan kepada Letnan Jenderal Soeharto sebagai pengemban Ketetapan MPRS tersebut
untuk segera membentuk KABINET AMPERA dengan ketentuan-ketentuan sebagai berikut :
(1) TUGAS-POKOK : menciptakan kestabilan POLITIK dan EKONOMI
(2) PROGRAM :
(a)

memperbaiki peri-kehidupan Rakyat terutama dibidang sandang dan


pangan;

(b)

melaksanakan Pemilihan Umum dalam batas waktu seperti dicantumkan


dalam Ketetapan MPRS No. XI/MPRS/1966, tanggal 5 Juli 1966;

(c)

Melaksanakan politik luar negeri yang bebas dan aktip untuk


kepentingan nasional sesuai dengan Ketetapan MPRS No. XII/MPRS/1966,
tanggal 5 Juli 1966;

(d)

melanjutkan perjuangan anti imperalisme dan kolonialisme dalam segala


bentuk dan manifestasinya.
Pasal 3

Sambil menunggu ketentuan-ketentuan mengenai susunan dan jumlah maksimal daripada


Departemen-departemen yang akan ditentukan dengan Undangundang, maka Kabinet Ampera
disusun secara sederhana, effektif dan effisien.
Pasal 4
Menteri-menteri memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
(a)

bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;

(b)

setia pada Pancasila dan Revolusi;

(c)

berwibawa;

(d)

Jujur;

(e)

cakap/ahli;
TAP MPRS No. XIII/MPRS/1966

(f)

adil;

(g)

dukungan dari rakyat;

(h)

tidak terlibat baik langsung maupun tidak langsung, dalam gerakan


Kontrarevolusi G-30-S/PKI dan atau organisasi-organisasi terlarang
lainnya.

Pasal 5
Dalam melaksanakan pembentukan Kabinet Ampera, Pengemban Ketetapan MPRS No.
X/MPRS/1966 tanggal 21 Juni 1966, supaya mengadakan konsultasi dengan Pimpinan MPRS
dan Pimpinan DPR-GR.
Pasal 6
Pengemban Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966, tanggal 21 Juni 1966 melaporkan segala
sesuatu mengenai tugas dan tanggung jawabnya kepada Presiden.
Pasal 7
Ketetapan ini mulai berlaku pada hari ditetapkan.
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 5 Juli 1966.
MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT SEMENTARA
REPUBLIK INDONESIA
K e t u a,
ttd.
(Dr. A.H. Nasution)
Jenderal TNI
Wakil Ketua,

Wakil Ketua

ttd.

ttd.

(Osa Maliki)

(H.M. Subchan Z.E.)

Wakil Ketua,

Wakil Ketua,

ttd.

ttd.

(M. Siregar).

(Mashudi)
Brig.Jen. TNI
Sesuai dengan aslinya
Administrator Sidang Umum IV MPRS
ttd.
(Wilujo Puspo Judo)
Maj. Jen. T.N.I

PENJELASAN
#
1
2
3
4
5
6

Jabatan

Nama

Ketua Presidium
Menteri Utama bidang Pertahanan dan Keamanan
Menteri Utama bidang Politik
Menteri Utama bidang Kesejahteraan Rakyat
Menteri Utama bidang Ekonomi dan Keuangan
Menteri Utama bidang Industri dan Pembangunan

Letjen Soeharto
Letjen Soeharto
Adam Malik
Idham Chalid
Sultan Hamengkubuwono IX
Sanusi Hardjadinata

KETETAPAN
MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT SEMENTARA
REPUBLIK INDONESIA
No.: XIII/MPRS/1966
tentang
Kabinet Ampera
Jiwa Ketentuan Pasal 2 jo Pasal 6 Ketetapan ini ialah Presiden bersama-sama Let.
Jen. Soeharto.
4. Presidium Kabinet AMPERA I (25 Juli 1966 - 17 Oktober 1967)
Anggota Kabinet

Pertahanan dan keamanan

1. Menteri/Panglima Angkatan Darat: Letjen Soeharto


2. Menteri/Panglima Angkatan Laut: Laksdya Muljadi
3. Menteri/Panglima Angkatan Udara: Marsekal Rusmin Nurjadin
4. Menteri/Panglima Angkatan Kepolisian: Sutjipto Judodihardjo
5. Menteri Veteran dan Demobilisasi: Mayjen Sarbini

Urusan politik

1. Menteri Luar Negeri: Adam Malik


2. Menteri Dalam Negeri: Mayjen Basuki Rahmat
3. Menteri Kehakiman: Prof. Umar Seno Adji
4. Menteri Penerangan: B.M. Diah

Kesejahteraan rakyat

1. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan: Sarino Mangunpranoto


2. Menteri Agama: K.H. Sjaifuddin Zuchri
3. Menteri Sosial: A.M. Tambunan
4. Menteri Kesehatan: Prof. G.A. Siwabessy
5. Menteri Tenaga Kerja: Komjen Polisi Awaluddin Djamin

Keuangan dan ekonomi

1. Menteri Perdagangan: Mayjen Ashari Danudirdjo


2. Menteri Keuangan: Dr. Frans Seda
3. Menteri Perhubungan: Komodor Sutopo
4. Menteri Kelautan : Laksdya Jatidjan
5. Menteri Pertanian: Brigjen Sutjipto
6. Menteri Perkebunan: P.C. Harjasudirdja

Industri dan pembangunan

1. Menteri Perindustrian Ringan dan Energi: Mayjen M. Jusuf


2. Menteri Perindustrian Tekstil dan Kerajinan: Muhammad Sanusi
3. Menteri Pertambangan: Bratanata
4. Menteri Pekerjaan Umum: Sutami
5.

Kabinet Ampera II (17 Oktober 1967 - 6 Juni 1968)

No

Jabatan

Nama

Menteri Negara Ekonomi, Keuangan, dan Industri

Sultan Hamengkubuwana IX

Menteri Negara Kesejahteraan

Idham Chalid

Menteri Pertahanan dan Keamanan

Jenderal Soeharto

Menteri Urusan Luar Negeri

Adam Malik

Menteri Urusan Dalam Negeri

Mayjen Basuki Rahmat

Menteri Kehakiman/Hukum

Prof. Oemar Seno Adji, SH

Menteri Penerangan

B.M. Diah

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan

Sanusi Hardjadinata

Menteri Urusan Agama

K.H. Muhammad Dahlan

10 Menteri Kesehatan

Prof. G.A. Siwabessy

11 Menteri Tenaga Kerja

Brigjen Awaluddin Djamin

12 Menteri Urusan Sosial

A.M. Tambunan

13 Menteri Keuangan

Dr. Frans Seda

14 Menteri Perdagangan

Mayjen M. Jusuf

15 Menteri Pertanian

Mayjen Sutjipto

16 Menteri Perkebunan

Prof. Dr. Toyib Hadiwidjaja

17 Menteri Transportasi

Marsekal Madya Sutopo

18 Menteri Kelautan

Laksdya Jatidjan

19 Menteri Pekerjaan Umum

Sutami

20 Menteri Perindustrian Ringan dan Energi

Mayjen Ashari Danudirdjo

21 Menteri Perindustrian Tekstil dan Kerajinan

Muhammad Sanusi

22 Menteri Pertambangan

Prof. Soemantri Brodjonegoro

23 Menteri Transmigrasi, Veteran, dan Demobilisasi

Letjen Sarbini

DISUSUN OLEH :
Nama : FIRMANSYAH SY. L.
Kelas : XII IPA 1
SEJARAH

SMA NEGERI 3 POSO


KATA PENGANTAR

Assalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.


Puji Syukur kehadirat Allah SWT, yang senantiasa memberikan Rahmat dan Karunia
serta petunjuk-Nya., sehingga penulis dapat menyelesaikan Makalah yang berjudul KABINET
AMPERA ini sesuai dengan doa dan harapan penulis. Makalah ini merupakan tugas untuk
mendapatkan nilai pada mata pelajaran sejarah dan untuk di diskusikan selanjutnya.
Dalam penyusunan Makalah ini penulis menyadari banyak hambatan dan kesulitan yang
dialami, namun berkat bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak terutama dari dosen
pembimbing, maka hambatan dan kesulitan tersebut dapat teratasi. Untuk itu perkenankan
penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tulus dan rasa hormat kepada :
-

Bapak La Ranggai, S.Pd., selaku guru mata pelajaran sejarah yang telah memberikan
tugas mengenai makalah ini sehingga pengetahuan penulis makin bertambah.

Semua pihak yang mustahil saya sebutkan satu per satu, yang telah berjasa kepada saya.
Kiranya Tuhan YME membalas kebaikan mereka.
Akhir kata, penulis berharap semoga penulisan makalah ini dapat memberikan manfaat

bagi semua pihak serta menambah wacana pemikiran bagi kita semua.

Poso, 17 SEPTEMBER 2011

Penulis

Das könnte Ihnen auch gefallen